SELF DISCLOSURE SISWA SMP DENGAN GURU BIMBINGAN KONSELING (BK) (Studi Kasus Deskriptif Kualitatif Tingkat Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa SMP dengan Guru Bimbingan Konseling serta Teknik Meningkatkan Self Disclosure di SMPK St. Stanislaus II Sura
SELF DISCLOSURE SISWA SMP DENGAN GURU BIMBINGAN KONSELING (BK)
(Studi Kasus Deskriptif Kualitatif Tingkat Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa SMP dengan Guru Bimbingan Konseling serta Teknik Meningkatkan Self Disclosure
di SMPK St. Stanislaus II Surabaya)
SKRIPSI
Oleh :
CHRISTINA PUTRI ARBADITA NPM. 1043010030
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FALKUTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
(2)
SELF DISCLOSURE SISWA SMP DENGAN GURU BIMBINGAN KONSELING (BK)
(Studi Kasus Deskriptif Kualitatif Tingkat Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa SMP dengan Guru Bimbingan Konseling serta Teknik Meningkatkan Self
Disclosure di SMPK St. Stanislaus II Surabaya)
SKRIPSI
Oleh :
CHRISTINA PUTRI ARBADITA NPM. 1043010030
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA
TIMUR
FALKUTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
(3)
SELF DISCLOSURE SISWA SMP DENGAN GURU BIMBINGAN KONSELING (BK)
(Studi Kasus Deskriptif Kualitatif Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa SMP dengan Guru Bimbingan Konseling serta Teknik Meningkatkan Self Disclosure di
SMPK St. Stanislaus II Surabaya)
Disusun Oleh: Christina Putri Arbadita
NPM. 1043010030
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui, Pembimbing Utama
Dra. Sumardjijati, M.Si NIP 196203231993092001
Mengetahui, D E K A N
Dra.Hj.Suparwati, Msi NIP. 195507181983022001
(4)
SELF DISCLOSURE SISWA SMP DENGAN GURU BIMBINGAN KONSELING (BK)
(Studi Kasus Deskriptif Kualitatif Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa SMP dengan Guru Bimbingan Konseling serta Teknik Meningkatkan Self Disclosure di
SMPK St. Stanislaus II Surabaya) Oleh:
Christina Putri Arbadita NPM. 1043010030
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Falkutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 17 Juli 2014
Pembimbing Utama Tim Penguji: 1. Ketua
Dra. Sumardjijati, M.Si Dra. Sumardjijati, M.Si NIP 196412251993092001 NIP 196203231993092001
2. Sekretaris
Dra. Herlina Suksmawati, M.Si NIP 196203231993092001 3. Anggota
Dra. Diana Amalia, M.Si NIP 196309071991032001
Mengetahui, D E K A N
Dra.Hj.Suparwati, Msi NIP. 195507181983022001
(5)
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan tuntunanNya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan judul “SELF DISCLOSURE SISWA SMP DENGAN GURU BIMBINGAN KONSELING (BK) DI SMPK ST. STANISLAUS II SURABAYA (Studi Kasus Deskriptif Kualitatif Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa SMP dengan Guru Bimbingan Konseling serta Teknik Meningkatkan Self Disclosure)”.
Skripsi ini dapat terselesaikan berkat dukungan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak. Tidak lupa, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada yang terhormat Dra. Sumardjijati, M.Si selaku Dosen pembimbing. Beliau telah banyak memberi bimbingan dan bantuan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Dra. Hj. Suparwati, Msi selaku Dekan Falkutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
2. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si. Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
3. Seluruh Dosen Falkutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah berbagi ilmu dalam proses belajar- mengajar.
(6)
4. Seluruh keluarga tercinta; ayah, ibu, didi, kungkung, bobo yang telah mendukung dan mendoakan penulis dengan setia hingga skripsi ini terselesaikan.
5. Novena Fransisca, Rika Indrianti, Ronazahra Pratiwi, Wahyuning Dwi merci
beacoup mesdemaselles!!
6. Teman- teman seperjuangan angkatan 2010, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa kegiatan ini tidak luput dari kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak sebagai bahan masukan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi penulis maupun semua pihak.
Surabaya, 1 Juli 2014
(7)
ABSTRAKSI
Christina Putri Arbadita. 1043010030. Self Disclosure Siswa SMP Dengan Guru Bimbingan Konseling (BK) Di SMPK St. Stanislaus II Surabaya (Studi Kasus Deskriptif Kualitatif Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa SMP dengan Guru Bimbingan Konseling serta Teknik Meningkatkan Self Disclosure).
Penelitian ini bertujuan untuk mengambarkan Keterbukaan Diri remaja pada Sekolah Menengah Pertama Katolik dengan guru Bimbingan Konseling serta menjelaskan teknik meningkatkan Keterbukaan Diri siswa oleh guru Bimbingan Konseling. Dengan demikian diharapkan dapat membantu siswa mengurangi beban pikiran atau gangguan lainnya dalam proses belajar- mengajar.
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Metode ini merupakan metode yang memberikan gambaran atas uraian suatu keadaan sejernih mungkin tanpa adanya perlakuan terhadap obyek yang diteliti serta tidak menggunakan statistik atau angka- angka tertentu.
Melalui teknik komunikasi yang tepat, maka tingkat keterbukaan siswa akan semakin tinggi. Dimulai dari hanya sekedar basa- basi, kemudian membicarakan orang lain, menyatakan gagasan, hingga akhirnya menyatakan perasaan dan pengungkapan diri.
Kata Kunci : Komunikasi Interpersonal, Self Disclosure (Keterbukaan Diri), Komunikasi Terapeutik, Siswa SMP.
ABSTRACTION
Christina Putri Arbadita. 1043010030. Self-Disclosure of Junior High School Students With The Guidance of Counseling Teacher (BK) at St. Stanislaus II Surabaya (Descriptive Qualitative Case Study of Junior High School Student’s Self Disclosure with the guidance of Counseling Teacher and Self-Disclosure Improvement Technique)
This study aims to describe the teenage self-disclosure at Catholic junior high school with the guidance of counseling teacher and to explain self-disclosure improvement technique by the guidance of counseling teacher. It’s expected to help students reduce the burden of mind or another distraction in the learning-teaching process.
The research method used is descriptive qualitative. This method gives an overview of a situation as clear as possible without any treatment of the research object and also does not use statistics or specific figures.
Through accurate communication techniques, the degree of openness of the students will be higher. Starting from a preamble, the students are expected to talk about others, express the idea, until finally express his feelings and self-disclosure.
Keywords: Interpersonal Communication, Self Disclosure, Therapeutic Communication, Junior High School Students.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PERSETUJUAN ii
LEMBAR PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR iv
ABSTRAKSI vi
DAFTAR ISI vii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 7
1.3 Tujuan Penelitian 8
1.4 Manfaat Penelitian 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA 10
2.1 Penelitian Terdahulu 10
2.2 Landasan Teori 12
2.2.1 Komunikasi Interpersonal 12 2.2.1.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal 13 2.2.1.2 Ciri- ciri Komunikasi Interpesonal 16
2.2.2 Self Disclosure 17
2.2.2.1 Pengertian Self Disclosure 17 2.2.2.2 Ciri- ciri Self Disclosure 20 2.2.2.3 Tingkatan- tingkatan Self Disclosure 20
2.2.2.4 Johari Window 22
2.2.2.5 Fungsi Self Disclosure 24 2.2.2.6 Pedoman Self Disclosure 25 2.2.2.7 Keuntungan Self Disclosure 28
(9)
2.2.3.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik 29 2.2.3.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik 29 2.2.3.3 Manfaat Komunikasi Terapeutik 30 2.2.3.4 Syarat- Syarat Komunikasi Terapeutik 30 2.2.3.5 Prinsip- Prinsip Komunikasi Terapeutik 30 2.2.3.6 Sikap Komunikasi Terapeutik 32 2.2.3.7 Teknik Komunikasi Terapeutik 33
2.2.3.8 Dimensi Respon 40
2.2.3.9 Kebuntuan Komunikasi Terapeutik 43 2.2.3.10 Mengatasi Kebuntuan Terapeutik 47
2.2.4 Remaja 48
2.2.4.1 Masa Remaja 48
2.2.4.2 Kategori Remaja 51
2.2.5 Sekolah Menengah Pertama (SMP) 54
2.2.6 Guru 56
2.2.7 Bimbingan Konseling 57
2.2.7.1 Fungsi Bimbingan Konseling 58
BAB III METODE PENELITIAN 60
3.1 Jenis Penelitian 60
3.2 Definisi Konseptual 62
3.3 Lokasi Penelitian 63
3.4 Informan dan Teknik Penarikan Sampel 63
3.5 Metode Pengumpulan Data 64
3.6 Metode Analisis Data 66
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 68 4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian 68
4.1.1 Siswa SMP 68
4.2 Penyajian Data 69
(10)
4.2.2 Self Disclosure Siswa SMP 73 4.2.2.1 Self Disclosure Siswa SMP Yang Dipanggil
Ke Ruang BK 74
4.2.2.2 Self Disclosure Siswa SMP Yang Mendatangi
Ruang BK 83
4.2.3 Teknik Meningkatkan Self Disclosure Siswa SMP 91 4.2.3.1 Teknik Komunikasi Terapeutik 91 4.2.3.2 Dimensi Respon Komunikasi Terapeutik 92 4.2.3.3 Mengatasi Kebuntuan Terapeutik 94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 96
5.1 Kesimpulan 96
5.2 Saran 98
(11)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 01 : Interview Guide Murid SMP Yang Dipanggil Ruang BK 102 Lampiran 02 : Interview Guide Murid SMP Yang Mendatangi Ruang BK 103 Lampiran 03 : Interview Guide Guru Bimbingan Konseling 104 Lampiran 04 : Wawancara Dengan Informan 1 105 Lampiran 05 : Wawancara Dengan Informan 2 109 Lampiran 06 : Wawancara Dengan Informan 3 114 Lampiran 07 : Wawancara Dengan Informan 4 117 Lampiran 08 : Wawancara Dengan Informan 5 120
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Hasil Wawancara Peneliti Mengenai Self Disclosure Informan
Pertama 79
Tabel 4.2 Hasil Wawancara Peneliti Mengenai Self Disclosure Informan
Kedua 82
Tabel 4.3 Hasil Wawancara Peneliti Mengenai Self Disclosure Informan
Ketiga 87
Tabel 4.4 Hasil Wawancara Peneliti Mengenai Self Disclosure Informan
(13)
1. 1 Latar Belakang Masalah
Salah satu indikasi bahwa manusia sebagai mahkluk sosial adalah perilaku komunikasi antar manusia. Komunikasi menjadi sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan manusia untuk mempertahankan hidup dan membangun konsep diri. Komunikasi tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia sejak pertama manusia itu dilahirkan. Hubungan antar manusia tercipta melalui komunikasi, baik komunikasi verbal maupun non verbal. Selain itu komunikasi dilakukan karena mempunyai fungsi untuk mempertahankan hidup, memupuk hubungan dan memperoleh kebahagiaan.
Menurut Stewart L dan Sylvia Moss dalam Rakhmat (2000), komunikasi yang efektif adalah paling tidak menimbulkan lima hal: pengertian, kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan yang makin baik, dan tindakan. Oleh karena itu orang sering membuka diri, memberikan informasi tentang berbagai hal menyangkut dirinya kepada orang lain dengan siapa dia membina hubungan. Inilah yang disebut dengan pengungkapan diri (self disclosure). Self disclosure adalah suatu jenis komunikasi dimana kita mengungkapkan informasi tentang diri kita sendiri yang biasanya kita sembunyikan (De Vito 1997: 61). Melalui self disclosure komunikasi akan menjadi efektif dalam menciptakan hubungan yang lebih bermakna. Dalam komunikasi, self disclosure ini sangat penting untuk
(14)
membina hubungan interpersonal. Sepanjang kehidupan manusia, self
disclosure akan terus berlangsung dan dilakukan oleh semua orang.
Semakin orang melakukan pengungkapan diri maka akan lebih banyak mendapat teman dan dapat hidup dalam pergaulannya serta beban pikirannya terasa lebih ringan daripada orang menutup diri.
Sebagai salah satu aspek penting dalam hubungan sosial, self
disclosure juga perlu bagi remaja karena masa remaja merupakan periode
individu belajar menggunakan kemampuannya untuk memberi dan menerima dalam berhubungan dengan orang lain. Sesuai dengan perkembangannya, remaja dituntut lebih belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang lebih luas dan majemuk. Ketrampilan self disclosure yang dimiliki oleh remaja, akan membantu siswa dalam mencapai kesuksesan akademik dan penyesuaian diri. Apabila remaja tersebut tidak memiliki kemampuan self disclosure, maka dia akan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang lain. Misalnya dalam lingkungan sekolah banyak dijumpai adanya komunikasi yang kurang efektif antara siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa. Salah satu penyebab adalah kurang adanya keterbukan diri (Self Disclosure) siswa. Hal ini dapat dilihat dari gejala- gejala seperti tidak bisa mengeluarkan pendapat, tidak mampu mengemukakan ide atau gagasan yang ada pada dirinya, merasa was- was atau takut jika hendak mengemukakan pendapat menurut Johnson (Supratiknya, 1995).
(15)
Berdasarkan perkembangan kehidupan individu, masalah penyesuaian sosial pada umunya lebih banyak dirasakan pada masa usia remaja. Siswa SMP merupakan peserta didik yang berada pada tahap perkembangan masa akhir anak- anak dan mulai menginjak masa remaja. Pada umumnya mereka berusia antara 12 - 15 tahun. Menurut Hurlock (1990), masa remaja merupakan masa yang sangat sulit dalam melakukan penyesuaian sosial. Kesulitan yang dialami oleh individu antara lain kurang dapat membuka diri dengan orang lain.
Ketrampilan self disclosure sangat penting bagi siswa yang mengalami kesulitan dalam keterbukaan dirinya karena sangat mempengaruhi hubungan interpersonal dengan seseorang. Johnson (1981) menyatakan bahwa self disclosure berpengaruh besar terhadap hubungan sosial karena (1) self disclosure merupakan dasar bagi hubungan yang sehat antara dua orang, (2) semakin terbuka seseorang kepada orang lain, semakin orang tersebut menyukai dirinya, (3) orang yang rela mengungkapkan diri kepada orang lain cenderung memiliki sifat- sifat kompeten, adaptif dan terbuka, (4) mengungkapkan diri pada orang lain merupakan dasar yang memungkinkan komunikasi yang intim baik bagi diri sendiri maupun orang lain, dan (5) mengungkapkan diri berarti bersikap realistik, sehingga keterbukaan diri bersikap jujur, tulus, dan autentik (Supratiknya, 1995: 15).
Tingkat keterbukaan diri seseorang dapat menentukan tahap hubungan interpersonal seseorang dengan individu lainnya. Tahap hubungan tersebut dapat dilihat dari tingkat keluasan dan kedalaman topik
(16)
pembicaraan. Orang yang terlalu membuka diri, maksudnya menginformasikan segala hal tentang dirinya atau hidupnya maka disebut dengan over disclosure. Sedangkan jika terlalu menutup diri yakni jarang sekali membicarakan tentang kehidupannya kepada orang lain maka disebut
under disclosure. Mereka memiliki dan memilih topik- topik mana yang
akan diinformasikan dan dengan siapa mereka akan mengungkapkannya (De Vito, 1999: 84- 85).
Guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah harus terus- menerus membina suasana hubungan konseling sedemikian rupa dengan siswa, sehingga siswa yakin bahwa guru BK bersikap terbuka dan yakin bahwa asas kerahasiaan memang terjaga dengan baik. Keterbukaan diri siswa akan muncul dengan sendirinya bila siswa tidak lagi mempersoalkan asas kerahasiaan yang diterapkan guru BK serta tidak merasa diadili atas permasalahan yang dialaminya. Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Bimbingan Konseling (2004: 4) bimbingan dan konseling merupakan proses bantuan psikologis dan kemanusiaan secara ilmiah dan profesional yang diberikan oleh pembimbing kepada yang dibimbing (peserta didik) agar ia dapat berkembang secara optimal, yaitu mampu memahami diri, mengarahkan diri, dan mengaktualisasikan diri, sesuai tahap perkembangan, sifat- sifat, potensi yang dimiliki, dan latar belakang kehidupan serta lingkungannya sehingga tercapai kebahagiaan dalam kehidupannya.
(17)
Jika self disclosure siswa dengan guru BK berjalan dengan baik maka siswa akan cenderung memiliki sikap positif, dinamis terhadap fisik dan psikisnya, memiliki pola hubungan sosial yang baik di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat, memiliki prestasi belajar yang baik dan dapat merencanakan dan mengembangkan karirnya.
Self disclosure akan sangat membantu terutama bagi murid yang
bermasalah di dalam sekolah. Permasalahan atau pelanggaran yang umum ditemui di dalam sekolah tidak lain seperti keterlambatan, bolos sekolah, merokok, pencurian, perkelahian, dan masih banyak lainnya. Pelanggaran- pelanggaran tersebut terjadi tentu karena ada sebuah permasalahan yang menjadi latar belakang. Melalui adanya self disclosure pada diri siswa, sebenarnya siswa sendiri akan tertolong untuk meringankan beban atau tekanan yang ia hadapi di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah serta mendapatkan solusi dan arahan yang tepat dari guru BK.
Beberapa guru Bimbingan Konseling (BK) menyampaikan bahwa jumlah siswa SMP yang mau terbuka mengenai permasalahannya kepada mereka, masih sedikit. Pandangan bahwa guru BK adalah ‘Polisi Sekolah’ masih ada dan berpengaruh. Padahal para guru BK telah berusaha mengubah pandangan tersebut, agar siswa mau lebih terbuka dan tidak merasa diadili. Menurut Dra. Maria Kristina, guru BK kelas delapan di sebuah SMP swasta, mengubah pandangan tersebut dari siswa- siswa bukan hal yang mudah karena beberapa guru mata pelajaran juga masih memposisikan guru BK sebagai ‘Polisi Sekolah’. Guru- guru tersebut
(18)
mengancam jika siswa terus berbuat nakal atau melanggar aturan, maka akan diserahkan ke guru BK. Selain karena adanya stigma yang telah 'mengakar', beberapa murid mengaku kurang nyaman untuk terbuka dengan guru BK.
Siswa akan membutuhkan orang lain yang secara selektif dipilih untuk mendengarkan dan memahami permasalahan yang ia hadapi. Pemikiran yang sepaham dan solusi yang tidak menghakimi tentu hal yang dibutuhkan oleh siswa. Umumnya makin bersifat pribadi pengungkapan diri itu, makin dekat hubungan yang diperlukan. Biasanya seseorang tidak akan mengungkapkan sesuatu yang bersifat terlalu pribadi kepada orang yang tidak terlalu akrab, kepada kenalan biasa atau pada tahap awal suatu hubungan terutama untuk pengungkapan yang bersifat negatif.
Beberapa siswa SMP mengaku lebih nyaman terbuka dengan teman sebaya yang tentu saja lebih akrab dibanding dengan guru BK yang sebenarnya jauh lebih berpengalaman dari segi usia. Raymond, seorang siswa di sekolah swasta misalnya, ia mengaku lebih nyaman untuk terbuka dengan teman sebaya daripada guru BK karena karena baginya berbicara dengan guru BK akan berbuntut dengan ceramah panjang dan dirinya akan merasa sedang ‘disidang’.
Berdasarkan perbandingan terhadap beberapa sekolah, ditemukan fenomena keterbukaan yang sangat baik di sebuah SMP swasta Katolik Santo Stanislaus II Surabaya. Jumlah siswa yang mau terbuka terhadap guru BK hampir mencapai 90%. Murid perempuan mendominasi jumlah murid
(19)
yang mau terbuka, meskipun selisihnya tidak terpaut jauh dengan murid laki- laki. Dalam proses konseling dengan guru BK, murid perempuan cenderung menceritakan permasalahan tentang relasi maupun ketertarikannya dengan lawan jenis. Sedangkan murid laki- laki cenderung mengutarakan ketidakpuasan terhadap orang tua. Memang bukan hal yang mudah untuk memancing siswa agar mau terbuka terhadap guru BK. Salah seorang guru BK di SMPK Santo Stanislaus II Surabaya, mengungkapkan bahwa teknik bertanya dan memberi solusi kepada siswa merupakan salah satu cara atau strategi agar siswa terus- menerus mau untuk terbuka. Teknik yang tepat tentu akan menunjang guru BK untuk membantu siswa SMP dalam memperjelas dan mengurangi beban perasaan serta pikirannya .
Melalui teknik komunikasi yang tepat, maka tingkat keterbukaan siswa akan semakin tinggi. Dimulai dari hanya sekedar basa- basi, kemudian membicarakan orang lain, menyatakan gagasan, hingga akhirnya menyatakan perasaan dan pengungkapan diri (Supratikna, 1995).
Dari tingkat keterbukaan yang tinggi pada SMPK St. Stanislaus II Surabaya, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut sejauh mana tingkat keterbukaan diri (self disclosure) siswa SMP yang disampaikan kepada guru BK serta bagaimana teknik untuk membantu siswa agar mau terbuka karena
self disclosure bukanlah hal yang mudah diungkapkan oleh siswa SMP
kebanyakan. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan jawaban atas tingginya tingkat keterbukaan diri (self disclosure) siswa di SMPK St. Stanislaus II Surabaya dibandingkan sekolah menengah pertama lainnya.
(20)
1. 2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana keterbukaan diri (self disclosure) siswa SMPK St. Stanislaus II kepada guru Bimbingan Konseling (BK)?
2. Bagaimana teknik guru BK meningkatkan keterbukaan siswa SMP? 1. 3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah diatas adalah: untuk menggambarkan keterbukaan diri (self disclosure) siswa SMPK St. Stanislaus II kepada guru Bimbingan Konseling (BK) serta teknik meningkatkan keterbukaan siswa SMP kepada guru BK.
1. 4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan guna baik secara teoritis maupun praktis:
1. Kegunaan Teoritis
Untuk dapat menambah wacana serta memberikan informasi dan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu komunikasi sebagai bahan masukan maupun referensi untuk penelitian selanjutnya.
2. Kegunaan Praktis
a)Memberikan referensi bagi penelitian lain sebagai acuan pengembangan penelitian selanjutnya
(21)
memiliki tingkat keterbukaan siswa rendah
c)Diharapkan mampu menambah wawasan dari pentingnya self
disclosure dalam komunikasi interpersonal, terlebih bagi remaja
yang masih membutuhkan bimbingan dan arahan dari orang disekitarnya.
(22)
2. 1 Penelitian Terdahulu
Untuk menunjang penelitian ini, penulis mencari jurnal penelitian ilmu komunikasi yang relevan. Dengan adanya jurnal tersebut diharapkan dapat digunakan dalam referensi penyusunan penelitian. Jurnal penelitian pertama ditulis oleh Fransisca Michellida. A tahun 2013 , dengan judul “Self Disclosure Perempuan Pengidap Kanker Payudara Kepada Kekasihnya”. Latar belakang masalah dalam penelitian tersebut, yaitu tidak semua orang yang mengidap sebuah penyakit dapat melakukan self
disclosure kepada orang terdekatnya. Peneliti melihat beberapa kasus;
seorang perempuan pengidap kanker payudara tidak berani mengungkapkan penyakitnya kepada orang terdekatnya karena rasa malu dan tidak percaya diri. Melalui penelitian tersebut, diperoleh temuan bahwa makna self disclosure seorang perempuan pengidap kanker payudara kepada adalah kebutuhan untuk terbuka, pengembangan hubungan dan kepercayaan. Self disclosure juga menjadi sebuah titik awal untuk terbuka dengan orang lain.
Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengetahui makna dan proses self disclosure perempuan pengidap kanker payudara kepada kekasihnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Temuan data yang didapatkan dari hasil wawancara
(23)
dengan informan, direduksi untuk memilah data yang dipakai dan juga yang mendukung topik penelitian tersebut. Dari proses reduksi data yang dilakukan oleh peneliti, ada beberapa makna dalam proses self disclosure perempuan pengidap kanker payudara kepada kekasihnya, yaitu (1) Sebagai kebutuhan untuk bersikap terbuka, (2) Untuk pengembangan hubungan, (3) Kepercayaan, (4) Titik awal terbuka kepada orang lain.
Peneleitian lainnya dilakukan oleh Maryam B. Gainau dengan judul “Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa Dalam Perspektif Budaya dan Implikasinya Bagi Konseling”. Keterbukaan diri (Self
Disclosure) merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
dalam interaksi sosial. Ketrampilan self disclosure yang dimiliki oleh remaja, akan membantu siswa dalam mencapai kesuksesan akademik dan penyesuaian diri. Jika remaja tidak memiliki self disclosure, maka ia akan mengalami kesulitan berkomunikasi dengan orang lain.
Budaya mempengaruhi cara pandang, dan sikapnya terhadap orang lain. Sikap budaya siswa yang kurang terbuka akan mengakibatkan hubungan sosial menjadi kurang baik, rasa minder, takut dan cemas mengungkapkan pendapat atau ide. Untuk itu konselor perlu melakukan berbagai upaya untuk mengembangkan siswa untuk bersosialisasi khususnya mengenai keterbukaan dirinya.
Berikut beberapa kesimpulan dalam penelitian ini: (1) Keterbukaan diri (self disclosure) sangat penting dalam hubungan sosial dengan orang lain. Individu yang mampu membuka diri akan dapat
(24)
mengungkapkan diri secara tepat, terbukti mampu menyesuaikan diri, dll (2) Keterbukaan diri (self disclosure) sangat dipengaruhi budaya baik itu nilai- nilai, aturan- aturan, cara pandang, dan sikap seseorang terhadap lingkungannya. (3) Kompetensi konselor sangat diperlukan dalam memberikan konseling bagi anak yang mengalami kesulitan self
disclosure. (4) Kompetensi konselor sangat diperlukan dalam
memberikan konseling bagi anak yang mengalami kesulitan self
disclosure.
2. 2 Landasan Teori
2.2.1 Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal secara garis besar merupakan kegiatan komunikasi yang melibatkan dua orang, maka secara tidak langsung komunikasi interpersonal memegang peranan yang cukup penting dalam kehidupan manusia yang setiap harinya harus berinteraksi dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Untuk lebih meningkatkan kajian mengenai komunikasi interpersonal maka berikut ini akan diuraikan beberapa teori yang mendukung tentang komunikasi antar pribadi yang diungkapkan oleh para ahli.
Komunikasi interpersonal berperan dalam mentransfer pesan atau informasi dari seseorang kepada orang lain berupa ide, fakta, pemikiran serta perasaan. Oleh karena itu, komunikasi interpersonal merupakan suatu jembatan bagi setiap individu pada masyarakat di lingkungannya. Komunikasi interpersonal selalu menimbulkan saling pengertian dan
(25)
saling mempengaruhi antara seorang dengan orang lain (Djamadin, 2004: 17- 19).
2.2.1.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal
Menurut De Vito yang dikutip oleh Liliweri, bahwa komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan umpan balik langsung. Pada hakekatnya komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya jika ia dapat memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya seluas- luasnya (Liliweri, 2001: 12).
Sedangkan menurut Effendi (2003: 221) komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi yang terjadi antara dua orang, antara komunikator dengan seorang komunikan sifatnya dialogis. Komunikasi berlangsung secara timbal balik (two traffic of communication). Arus balik (feedback) berlangsung dengan segera artinya komunikator mengetahui dengan segera reaksi komunikan pada saat itu juga. Dampak atau efek yang terjadi dapat merupakan arus balik yang bersifat negatif atau positif. Dampak positif yang ditimbulkan ini biasanya disebabkan karena komunikan merasa senang atas pesan yang disampaikan.
(26)
Sedangkan dampak negatif ini terjadi karena adanya perasaan tidak senang atas pesan yang disampaikan oleh komunikator, pesan yang disampaikan dianggap menyinggung atau tidak sesuai dengan suasana hati dari komunikan.
Menurut Effendi (2003: 8) komunikasi diartikan tatap muka karena ketika komunikasi berlangsung, komunikator dan komunikan saling berhadapan sambil saling melihat. Dalam situasi komunikasi seperti ini komunikator dapat melihat dan mengkaji serta mengetahui secara langsung perubahan sikap dan tingkah laku dari komunikan.
Pengertian dari komunikasi antar personal menurut De Vito adalah proses pengiriman dan penerimaan diantara dua orang atau diantara sekelompok kecil orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (Effendy, 2003: 59- 60).
Berdasarkan definisi tersebut, komunikasi interpersonal dapat berlangsung antara dua orang yang memang sedang berdua- duaan seperti pasangan suami istri yang sedang bercakap- cakap, umumnya berlangsung secara tatap muka, maka terjadilah kontak pribadi. Para ahli komunikasi mendefinisikan komunikasi interpersonal secara berbeda- beda, akan tetapi definisi tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: definisi berdasarkan komponen, definisi berdasarkan hubungan diadik, dan definisi berdasarkan pengembangan. Penjelasan dari masing- masing definisi tersebut adalah sebagai berikut (De Vito, 2006: 231):
(27)
Definisi berdasarkan komponen menjelaskan komunikasi interpersonal dengan mengamati komponen- komponen utamanya- dalam hal ini, penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera.
b. Definisi berdasarkan hubungan diadik
Dalam definisi berdasarkan hubungan, komunikasi interpersonal sebagai komunikasi yang berlangsung diantara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas. Misalnya komunikasi interpersonal meliputi komunikasi yang terjadi antara pramuniaga dengan pelanggan, anak dengan ayah, dua orang dalam suatu wawancara, dan sebagainya. Dengan definisi ini hampir tidak mungkin ada komunikasi diadik (dua orang) yang bukan komunikasi interpersonal. Tidaklah mengherankan, definisi ini juga disebut sebagai definisi diadik (dyadic). Hampir tidak terhindarkan, selalu ada hubungan tertentu antara dua orang. Bahkan seorang asing di sebuah kota yang menanyakan arah jalan ke seorang penduduk mempuyai hubungan yang jelas dengan penduduk itu segera setelah pesan pertama disampaikan. Adakalanya definisi hubungan ini diperluas sehingga mencakup juga sekelompok kecil orang, seperti anggota keluarga atau kelompok- kelompok yang terdiri atas tiga atau empat orang.
(28)
c. Definisi berdasarkan pengembangan
Dalam definisi berdasarkan pengembangan (developmental), komunikasi interpersonal dilihat sebagai akhir dari perkembangan dari komunikasi yang bersifat tidak pribadi (impersonal) pada satu ekstrim menjadi komunikasi pribadi atau intim pada ekstrim yang lain. Perkembangan ini mengisyaratkan atau mendefinisikan pengembangan komunikasi interpersonal. Dalam komunikasi interpersonal, pesan yang disampaikanakan mendapat umpan balik secara langsung (immediate feed back). Komunikator dan komunikan langsung dapat mengetahui tanggapan terhadap pesan yang disampaikan. Komunikasi interpersonal dapat pula didefinisikan berdasarkan hubungan diadik, yaitu komunikasi yang berlangsung antara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas.
Melalui definisi di atas, terlihat bahwa komunikasi interpersonal sangat diperlukan dalam membina dan memelihara suatu hubungan agar semakin mantap dan jelas. Karena sifatnya yang tatap muka, serta umpan balik yang langsung, memudahkan melihat tanggapan terhadap pesan yang disampaikan, selain itu dengan adanya umpan balik dapat meningkatkan kesadaran diri yang merupakan landasan bagi semua bentuk dan fungsi komunikasi (De Vito, 2006: 57- 59).
2.2.1.2 Ciri- Ciri Komunikasi Interpersonal
(29)
dirumuskan sebagai berikut:
1. Spontanitas, terjadi sambil lalu dengan media utaman adalah tatap muka
2. Tidak mempunyai tujuan yang ditetapkan terlabih dahulu
3. Terjadi secara kebetulan diantara peserta yang identitasnya kurang jelas
4. Mengakibatkan dampak yang disengaja dan tidak disengaja 5. Kerap kali berbalas- balasan
6. Mempersyaratkan hubungan paling sedikit dua orang dengan hubungan yang bebas dan bervariasi, ada keterpengaruhan
7. Harus membuahkan hasil
8. Menggunakan lambang- lambang yang bermakna 2.2.2 Self Disclosure (Keterbukaan Diri)
Individu akan bersikap cermat dan menggunakan akal sehat ketika membuka dirinya. Walaupun keterbukaan diri pada umumnya akan membuat hubungan antar individu semakin dekat, namun jika orang terlalu berlebihan mengungkapkan dirinya pada tahap awal hubungannya dengan seseorang maka hubungan tersebut akan berakhir lebih cepat. 2.2.2.1 Pengertian Self Disclosure
Self disclosure adalah komunikasi yang menyatakan pengakuan tentang diri sendiri. Karena self disclosure adalah jenis komunikasi yang tidak hanya menyertakan pernyataan tetapi juga terdapat maksud dari bahasa non verbal. Seperti halnya kita membuka rahasia kepada teman
(30)
dekat kita dan melakukan pengakuan kepada publik pada acara talk show di televisi (De Vito, 2006: 103).
Menurut Johnson dalam Supratiknya (2002: 14), pengungkapan diri (self disclosure) merupakan pengungkapan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan atau yang berguna untuk memahami tanggapan kita di masa kini tersebut." Sedangkan menurut De Vito (2006: 62) pengungkapan diri adalah jenis komunikasi antarpribadi yang melibatkan sedikitnya satu orang lain dimana individu mengungkapkan informasi yang rahasia tentang dirinya kepada orang lain.
Menurut De Vito (2006: 61- 68), self disclosure adalah suatu jenis komunikasi, yaitu pengungkapan informasi tentang diri sendiri baik yang disembunyikan maupun yang tidak disembunyikan. Self disclosure sangat penting dalam komunikasi terutama dalam konteks membina dan memelihara hubungan interpersonal. Self disclosure dapat membantu komunikasi menjadi efektif, menciptakan hubungan yang lebih bermakna juga untuk kesehatan dan mengurangi stress.
Keterbukaan diri (self disclosure) seseorang dapat menentukan tahap hubungan interpersonal seseorang dengan individu lainnya. Tahap hubungan tersebut dapat dilihat dari tingkat keluasan (breadth) dan kedalaman (depth) topik pembicaraan. Ada individu yang terlalu membuka diri yang disebut dengan over disclosure, yaitu
(31)
Sedangkan individu yang terlalu menutup dirinya kepada siapapun disebut dengan under disclosure yaitu jarang sekali membicarakan dirinya kepada orang lain. Menurut De Vito (2006: 72) topik yang sering dibicarakan dalam self disclosure adalah topik:
a. Tentang sikap
b. Tentang opini, baik mengenai politik maupun seks c. Tentang orang- orang terdekat
d. Tentang seks, meliputi khayalan seks, pengalaman seks, dan lain- lain
e. Tentang kebiasaan f. Tentang keadaan fisik
g. Tentang tujuan hidup pribadi h. Tentang pengalaman hidup
i. Tentang perasaan, meliputi perasaan bahagia maupun senang
Dalam "Interpersonal Communication Book" dituliskan bahwa satu bentuk terpenting dari komunikasi interpersonal dimana kita dapat melibatkan pembicaraan tentang diri kita sendiri, atau membuka diri. Self
disclosure mengacu pada mengkomunikasikan informasi kita tentang diri
kita kepada orang lain (De Vito, 2006: 77).
Dalam istilah di Indonesia, self disclosure juga disebut sebagai membuka diri atau penyingkapan diri. Penyingkapan diri adalah membeberkan informasi tentang diri sendiri. Banyak hal yang dapat diungkapkan tentang diri kita melalui ekspresi wajah, sikap tubuh,
(32)
pakaian, nada suara, dan melalui isyarat- isyarat non verbal lainnya yang tidak terhitung jumlahnya, meskipun banyak diantara perilaku tersebut tidak disengaja, namun penyingkapan diri yang sesungguhnya adalah perilaku yang disengaja. Penyingkapan diri tidak hanya merupakan bagian integral dari komunikasi dua orang; penyingkapan diri lebih sering muncul dalam konteks hubungan dua orang daripada dalam konteks jenis komunikasi lainnya (Tubbs & Moss, 2006: 12- 13).
2.2.2.2 Ciri- Ciri Self Disclosure
Self Dislcosure seringkali merupakan suatu usaha untuk
memasukkan otentisitas ke dalam hubungan sosial. Ada saatnya hubungan self disclosure lebih merupakan usaha untuk menekankan bagaimana kita memainkan peranan kita daripada bagaimana orang lain mengharapkan kita memainkan peranan tersebut. Tubbs & Moss menggambarkan beberapa ciri self disclosure yang tepat (De Vito 2006: 18), yaitu:
1. Merupakan fungsi dari suatu hubungan sedang berlangsung 2. Dilakukan oleh kedua belah pihak
3. Disesuaikan dengan keadaan yang berlangsung
4. Berkaitan dengan apa yang terjadi saat ini pada dan antara orang- orang yang terlibat
5. Ada peningkatan dalam penyingkapan, sedikit demi sedikit 2.2.2.3 Tingkatan- Tingkatan Self Disclosure
(33)
tingkatan yang berbeda dalam pengungkapan diri. Menurut Powell (dalam Supratikna, 1995) tingkatan- tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi yaitu:
a. Basa- basi
Merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal, walaupun terdapat keterbukaan diantara individu tetapi tidak terjadi hubungan antar pribadi. Masing- masing individu berkomunikasi basa- basi sekedar kesopanan.
b. Membicarakan orang lain
Yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah tentang orang lain atau hal- hal yang diluar dirinya. Walaupun pada tingkat ini isi komunikasi lebih mendalam, tetapi pada tingkat ini individu tidak mengungkapkan diri.
c. Menyatakan gagasan atau pendapat
Sudah mulai dijalin hubungan yang erat. Individu mulai mengungkapkan dirinya kepada individu lain.
d. Perasaan
Setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama tetapi perasaan atau emosi yang menyertai gagasan atau pendapat setiap individu dapat berbeda- beda. Setiap hubungan yang menginginkan pertemuan antar pribadi yang sungguh- sungguh, haruslah didasarkan atas hubungan yang jujur, terbuka dan menyatakan perasaan- perasaan mendalam.
(34)
e. Hubungan puncak
Pengungkapan diri telah dilakukan secara mendalam, individu yang menjalin hubungan antar pribadi dapat menghayati perasaan yang dialami individu lainnya. Segala persahabatan yang mendalam dan sejati haruslah berdasarkan pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak. (Hudaniah, 2006: 106).
2.2.2.4 Johari Window
Rakhmat menuliskan bahwa dengan membuka diri (melakukan
self disclosure), konsep diri menjadi lebih dekat pada kenyataan. Bila
konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman- pengalaman dan gagasan- gagasan baru, lebih cenderung menghindari sikap defensif, dan lebih cermat memandang diri kita dan orang lain. Hubungan antara konsep diri dan membuka diri dapat dijelaskan dengan Johari Window sebagai berikut:
Gambar 2.2 Johari Window II, Jalaludin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (2000: 107)
Sebelah kiri jendela menunjukan aspek diri yang kita ketahui, sebelah kanan adalah aspek diri yang tidak kita ketahui. Bila kedua jendela digabung menjadi Jendela Johari yang lengkap dengan masing- masing daerah yaitu: "terbuka" (open), "buta" (blind), "tersembunyi"
Diri Yang Ketahui
Diri Yang Tidak Diketahui
(35)
(hidden), dan "tidak diketahui" (unknown).
Gambar 2.3 Johari Window III, Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (2000: 107)
Penjelasan dari gambar di atas adalah:
Kuadran terbuka (I), mencerminkan keterbukaan seseorang pada dunia secara umum, keinginan yang untuk diketahui. Kuadran ini mencakup semua aspek diri seseorang yang diketahui dan tidak diketahui oleh orang lain. Kuadran ini adalah dasar bagi kebanyakan komunikasi antara dua orang.
Kuadran buta (II), meliputi semua hal mengenai diri seseorang yang dirasakan orang lain tetapi tidak dirasakan sendiri. Mungkin seseorang cenderung memonopoli percakapan tanpa disadari, atau seseorang menganggap dirinya jenaka tetapi rekannya menganggap gurauannya canggung. Kuadran gelap dapat membuat setiap rangsangan komunikatif yang tidak disengaja.
Kuadran tersembunyi (III), diri orang yang bersangkutanlah yang menentukan kebijaksanaan. Kuadran ini dibangun oleh semua hal dimana seseorang lebih suka untuk tidak lain seperti gaji, perceraian, perasaan, dan lain- lain. Pendeknya, kuadran ini mewakili usaha seseorang untuk
Kita Ketahui Tidak Kita Ketahui Publik Terbuka (I) Buta (II)
(36)
Kuadran tidak dikenali (IV), kuadran ini tidak diketahui oleh diri sendiri, meskipun diketahui orang lain. Kuadran ini mewakili segala sesuatu tentang diri seseorang yang belum ditelusurinya maupun oleh orang lain- semua sumber yang tidak tersentuh, semua potensi seseorang bagi pengembangan pribadi (De Vito 2006: 98).
2.2.2.5 Fungsi Self Disclosure
Menurut Derlega dan Grzelak (dalam Sears, dkk, 1998) ada lima fungsi pengungkapan diri, yaitu:
a. Ekpresi (expression)
Dalam kehidupan ini kadang- kadang kita mengalami suatu kekecewaan atau kekesalan, baik itu yang menyangkut pekerjaan ataupun lainnya. Untuk membuang semua kekesalan itu biasanya kita akan merasa senang bila bercerita pada seorang teman yang sudah kita percaya. Dengan pengungkapan diri semacam ini kita mendapat kesempatan untuk mengekspresikan perasaan kita.
b. Penjernihan diri (self-clarification)
Dengan saling berbagi rasa serta menceritakan perasaan dan masalah yang sedang kita hadapi kepada orang lain, kita berharap agar dapat memperoleh penjelasan dan pemahaman orang lain akan masalah yang kita hadapi sehingga pikiran kita akan menjadi lebih jernih dan kita dapat melihat duduk persoalannya dengan baik.
c. Keabsahan sosial (social validation)
(37)
hadapi biasanya pendengar kita akan memberikan tanggapan mengenai permasalah tersebut. Sehingga dengan demikian, kita akan mendapatkan suatu informasi yang bermanfaat tentang kebenaran akan pandangan kita. Kita dapat memperoleh dukungan atau sebaliknya.
d. Kendali sosial (social control)
Seseorang dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi tentang keadaan dirinya yang dimaksudkan untuk mengadakan kontrol sosial, misalnya orang akan mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan kesan baik tentang dirinya.
e. Perkembangan hubungan (relationship development)
Saling berbagi rasa dan informasi tentang diri kita kepada orang lain serta saling mempercayai merupakan saran yang paling penting dalam usaha merintis suatu hubungan sehingga akan semakin meningkatkan derajat keakraban (Hudaniah, 2006: 107- 108).
2.2.2.6 Pedoman Self Disclosure
Pengungkapan diri kadang- kadang menimbulkan bahaya, seperti resiko adanya penolakan atau dicemooh orang lain, bahkan dapat menimbulkan kerugian material. Untuk itu, kita harus mempelajari secara cermat konsekuensi- konsekuensinya sebelum memutuskan untuk melakukan pengungkapan diri. Menurut De Vito (1992) hal- hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengungkapan diri adalah sebagai berikut:
(38)
Pengungkapan diri haruslah didorong oleh rasa berkepentingan terhadap hubungan dengan orang lain dan diri sendiri. Sebab pengungkapan diri tidak hanya bersangkutan dengan diri kita saja tetapi juga bersangkutan dengan orang lain. Kadang- kadang keterbukaan yang kita ungkapkan dapat saja melukai perasaan orang lain.
b. Kesesuaian dalam pengungkapan diri
Dalam melakukan pengungkapan diri haruslah disesuaikan dengan keadaan lingkungan. Pengungkapan diri haruslah dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat. Misalnya bila kita ingin mengungkapkan sesuatu pada orang lain maka kita haruslah bisa melihat apakah waktu dan tempatnya sudah tepat.
c. Timbal balik dari orang lain
Selama melakukan pengungkapan diri, berikan lawan bicara kesempatan untuk melakukan pengungkapan dirinya sendiri. Jika lawan bicara kita tidak melakukan pengungkapan diri juga, maka ada kemungkinan bahwa orang tersebut tidak menyukai keterbukaan yang kita lakukan (Hudaniah, 2006: 109- 110).
Menurut Mark Knapp dan Anita Vangelisti (2000), keterbukaan untuk mengungkapkan informasi yang bersifat intim harus didasarkan atas kepercayaan. Menurut mereka, jika kita menginginkan resiprositas dalam hal keterbukaan maka kita juga harus mencoba untuk memperoleh kepercayaan dari orang lain dan sebaliknya kita juga harus percaya
(39)
dengan orang lain. Hal- hal lain yang berpengaruh dalam mendorong keterbukaan diri dapat dilihat pada tabel.
Tabel Panduan Self Disclosure
Tanyakan Diri Anda Saran
Apakah orang lain itu penting bagi anda?
Jika ya, ungkapkan informasi penting mengenai diri anda kepada
orang itu, yaitu dengan siapa anda telah menjalin hubungan selama
ini.
Apakah akan ada resiko jika informasi itu dikemukakan?
Cobalah untuk tidak
mengungkapkan informasi penting jika hal itu menimbulkan resiko
yang terlalu besar. Anda harus menilai tingkat resiko yang
dihadapi.
Apakah sejumlah dan jenis keterbukaan sudah sesuai?
Anda harus mengukur apakah informasi yang diungkapkan itu
terlalu berlebihan atau terlalu sedikit. Perhatikan juga waktu untuk mengungkapkannya. Apakah informasi yang
diungkapkan itu relevan dengan
Pengungkapan terus- menerus tidaklah terlalu bermanfaat dalam
(40)
situasi saat itu? suatu hubungan. Jangan kemukakan semuanya.
Apakah ungkapan diri anda dibalas?
Pengungkapan diri yang tidak seimbang akan menciptakan hubungan yang tidak seimbang. Tunggu tanggapan yang seimbang.
Akankah efek yang dihasilkan konstruktif?
Jika tidak dikemukakan dengan hati- hati, pengungkapan diri dapat
dimanfaatkan untuk tujuan destruktif. Hati- hati dalam menyampaikan informasi yang dapat membahayakan diri anda.
Apakah kesalahpahaman budaya dapat terjadi?
Perhatikan aspek budaya ketika anda mengungkapkan diri kepada
orang lain dan sebaliknya.
2.2.2.7 Keuntungan Self Disclosure
Melalui self disclosure seorang individu akan lebih terbuka untuk menerima pengalaman- pengalaman dan gagasan- gagasan baru, lebih cenderung menghindari sikap defensif, dan lebih cermat memandang dirinya dan orang lain. Adapun keuntungan self disclosure antara lain:
1. Pengetahuan tentang diri, melalui self disclosure kita menemukan perspektif baru pada diri kita. Pemahaman yang lebih mendalam dari perilaku kita sendiri.
(41)
2. Kemampuan untuk mengatasi (keadaan) 2.2.3 Komunikasi Terapeutik
2.2.3.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik
Terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dari penyembuhan (AS Hornby dalam Intan, 2005). Maka di sini dapat diartikan bahwa terapeutik adalah segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan. Sehingga komunikasi terapeutik itu sendiri adalah komunikasi yang direncanakan dan dilakukan untuk membantu penyembuhan atau pemulihan pasien. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi profesional bagi para perawat (Damaiyanti, 2010: 11).
2.2.3.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik
Dengan memiliki ketrampilan berkomunikasi terapeutik, seorang perawat akan lebih mudah menjalin hubungan saling percaya dengan klien, sehingga akan lebih efektif dalam mencapai tujuan. Berikut tujuan komunikasi terapeutik menurut Purwanto dalam Damaiyanti (2010: 11)
a. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan.
b. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya.
(42)
2.2.3.3 Manfaat Komunikasi Terapeutik
Manfaat komunikasi terapeutik menurut Christina, dkk (Damaiyanti, 2010: 12) adalah:
a. Mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dengan pasien melalui hubungan perawat- pasien
b. Mengidentifikasi, mengungkapkan perasaan, dan mengkaji maslaah dan mengevaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat.
2.2.3.4 Syarat- syarat Komunikasi Terapeutik
Stuart dan Sundeen mengatakan ada dua persyaratan dasar untuk komunikasi terapeutik efektif:
a. Semua komunikasi harus ditujukan untuk menjaga harga diri pemberi maupun penerima pesan.
b. Komunikasi yang menciptakan saling pengertian harus dilakukan terlebih dahulu sebelum memberikan sarana, informasi maupun masukan.
2.2.3.5 Prinsip- prinsip Komunikasi Terapeutik
Prinsip- prinsip komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers adalah (Damaiyanti, 2010: 13)
a. Perawat harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut.
b. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling menghargai
(43)
maupun mental.
d. Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas berkembang tanpa rasa takut.
e. Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah- masalah yang dihadapi.
f. Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk mngetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan maupun frustasi.
g. Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan konsistensinya.
h. Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya simpati bukan tindakan yang terapeutik.
i. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik.
j. Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan meyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu perawat perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik mental, spiritual, dan gaya hidup.
k. Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila dianggap mengganggu.
(44)
lain secara manusiawi.
m. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan manusia. n. Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab
terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang lain.
2.2.3.6 Sikap Komunikasi Terapeutik
Egan mengidentifikasi lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi terapeutik (Damaiyanti, 2010: 14), yaitu:
a. Berhadapan
Arti dari posisi ini adalah saya siap untuk anda b. Mempertahankan kontak mata
Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi
c. Membungkuk ke arah klien
Posisi ini menunjukkan keinginan untuk menyatakan atau mendengarkan sesuatu
d. Memperlihatkan sikap terbuka
Tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi dan siap membantu
e. Tetap rileks
(45)
ketegangan dan relaksasi dalam memberikan respons kepada pasien, meskipun dalam situasi yang kurang menyenangkan
2.2.3.7 Teknik Komunikasi Terapeutik
Beberapa teknik komunikasi terapeutik menurut Wilson dan Kneist (1992) serta Stuart dan Sundeen (1998) antara lain (Damaiyanti, 2010: 14- 20):
a. Mendengarkan dengan penuh perhatian
Sikap yang dibutuhkan untuk menjadi pendengar yang baik adalah: Pandangan saat berbicara, tidak menyilangkan kaki dan tangan, hindari tindakan yang tidak perlu, anggukan kepala jika klien membicarakan hal- hal yang penting atau memerlukan umpan balik, condongkan tubuh kea rah lawan bicara. Mendengar ada dua macam:
1. Mendengar pasif
Kegiatan mendengar dengan kegiatan non verbal untuk klien misalnya dengan kontak mata, menganggukan kepala dan juga keikutsertaan secara verbal. Mendengar pasif akan dapat memperdayakan diri kita saat kita mendengar dengan pasif karena kita kurang memahami perasaan orang lain.
2. Mendengar aktif
Kegiatan mendengar yang menyediakan pengetahuan bahwa kita tahu perasaan orang lain dan mengerti mengapa
(46)
dia merasakan hal tersebut. b. Menunjukkan penerimaan
Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti bersedia untuk mendengarkan oran lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan. Perawat harus waspada terhadap ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang menyatakan tidak setuju, seperti mengerutkan kening atau menggeleng yang menyatakan tidak percaya. Berikut ini adalah sikap perawat: Mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan, memberikan umpan balik verbal yang menyatakan pengertian, memastikan bahwa isyarat non verbal cocok dengan komunikasi verbal, menghindari perdebatan, ekspresi keraguan atau usaha untuk mengubah pikiran klien.
c. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapat informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh klien. Oleh karena itu, pertanyaan sebaliknya dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan gunakan kata- kata yang sesuai dengan konteks sosial budaya klien. Contoh: “Tadi anda katakan anda memiliki tiga orang saudara, siapa yang anda rasakan dekat dengan anda?”
d. Pertanyaan terbuka (Open- Ended Question)
Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban “Ya” dan “Mungkin”, tetapi pertanyaan memerlukan jawaban yang luas, sehingga pasien dapat mengemukakan masalahnya, perasaannya
(47)
dengan kata- kata sendiri, atau dapat memberikan informasi yang diperlukan. Contoh: “Coba Ibu ceritakan apa yang biasanya dilakukan bila Ibu sakit perut?” atau “Coba Ibu ceritakan tentang riwayat penyakit Ibu?”
e. Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata- kata sendiri Melalui pengulangan kembali kata- kata klien, perawat memberikan umpan balik bahwa ia mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan.
f. Mengklarifikasi
Klarifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk menjelaskan dalam kata- kata, ide atau pikiran (implisit maupun eksplisit) yang tidak jelas dikatakan oleh klien. Tujuan dari teknik ini adalah untuk menyamakan pengertian.
g. Memfokuskan
Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga percakapan menjadi lebih spesifik dan dimengerti. Hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan metode ini adalah usahakan untuk tidak memutuskan pembicaraan ketika klien menyampaikan masalah yang penting.
h. Menyatakan hasil observasi
Perawat harus memberikan umpan balik kepada klien dengan menyatakan hasil pengamatannya sehingga klien dapat mengetahui apakah pesannya diterima dengan benar atau tidak.
(48)
Dalam hal ini perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien. Teknik ini seringkali membuat klien berkomunikasi lebih jelas tanpa perawat harus bertanya, memfokuskan dan mengklarifikasi pesan. Observasi dilakukan sedemikian rupa sehingga klien tidak menjadi malu atau marah. i. Menawarkan informasi
Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan kesehatan untuk klien. Perawat tidak dibenarkan memberikan nasihat kepada klien ketika memberikan informasi, karena tujuan dari tindakan ini adalah memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan. Penahanan informasi yang dilakukan saat klien membutuhkan akan mengakibatkan klien menjadi tidak percaya.
j. Diam (memelihara ketenangan)
Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisir pikirannya. Penggunaan metode ini memerlukan ketrampilan dan ketepatan waktu, jika tidak akan menimbulkan perasaan tidak enak. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisir pikiran dan memproses informasi. Diam sangat berguna terutama pada saat klien harus mengambil keputusan. Diam tidak dapat dilakukan dalam waktu yang lama karena akan mengakibatkan klien menjadi khawatir. Diam dapat juga diartikan sebagai mengerti atau marah.
(49)
Diam disini juga menunjukkan kesediaan seseorang untuk menanti orang lain agar punya kesempatan berpikir, meskipun begitu, diam yang tidak tepat dapat menyebabkan orang lain merasa cemas. Diam digunakan pada saat klien perlu mengekspresikan ide tapi tidak tahu bagaimana melakukan atau menyampaikan hal tersebut. k. Meringkas
Meringkas adalah pengulangan ide utama telah dikomunikasikan secara singkat. Metode ini bermanfaat untuk membantu mengingat topik yang telah dibahas sebelum menerukan pembicaraan berikutnya.
l. Memberikan penghargaan
Penghargaan jangan samapi jadi beban untuk klien. Dalam arti jangan sampai klien berusaha keras dan melakukan segalanya demi untuk mendapatkan pujian atau persetujuan atas perbuatannya. Selain itu teknik ini tidak pula dimaksudkan utnuk menyatakan bahwa yang ini bagus dan yang sebaliknya buruk. m. Menawarkan diri
Perawat menyediakan diri tanpa respon bersyarat atau respon yang diharapkan.
n. Memberikan kesempatan pada klien untuk memulai pembicaraan Memberikan kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik pembicaraan. Untuk klien yang merasa ragu- ragu dan tidak pasti tentang perannya dalam interaksi ini, perawat
(50)
dapat menstimulusnya untuk mengambil inisiatif dan merasakan bahwa ia diharapkan untuk membuka pembicaraan.
o. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
Teknik ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan. Teknik ini juga mengindikasikan bahwa perawat mengikuti apa yang dibicarakan dan tertarik dengan apa yang akan dibicarakan selanjutnya. Perawat lebih berusaha menafsirkan daripada mengarahkan diskusi pembicaraan.
p. Menempatkan kejadia secara berurutan
Mengurutkan kejadian secara teratur akan membantu perawat dan klien untuk melihatnya dalam sutau perspektif. Kelanjutan dari suatu kejadian akan menuntun perawat dan klien untuk melihat kejadian berikutnya yang merupakan akibat dari kejadian sebelumnya dan juga dapat menemukan pola kesukaran interpersonal. Teknik ini bernilai terapeutik apabila perawat dapat mengekplorasi klien dan memahami masalah yang penting dan teknik ini menjadi tidak terapeutik apabila perawat memberikan nasihat, meyakinkan atau tidak mengakui klien.
q. Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan persepsinya
Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus melihat segala sesuatunya dari perspektif klien. Klien harus merasa
(51)
bebas untuk menguraikan persepsinya kepada perawat. Sementara itu perawat harus waspada terhadap gejala ansietas yang mungkin muncul.
r. Refleksi
Refleksi ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengemukakan dan menerima ide dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri. Dengan demikian perawat mengindikasikan bahwa pendapat klien adalah berharga dan klien mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya, membuat keputusan, dan memikirkan dirinya sendiri.
s. Assertive
Adalah kemampuan dengan cara meyakinkan dan nyaman mengekspresikan pikiran dan perasaan diri dengan tetap menghargai orang lain. Kemampuan asertif antara lain (Smith, 1992): berbicara jelas, mampu menghadapi manipulasi pihak lain tanpa menyakiti hatinya (berani mengatakan tidak tanpa merasa bersalah), melindungi diri dari kritik.
t. Humor
Dugaan (1989) menyebutkan humor sebagai hal yang penting dalam komunikasi verbal dikarenakan: tertawa mengurangi ketegangan dan rasa sakit akibat stress, dan meningkatkan keberhasilan asuhan keperawatan. Sementara Sullivan – Deane (1988) menyatakan bahwa humor merangsang produksi
(52)
katekolamin sehingga seorang merasa sehat, dan hal ini akan meningkatkan toleransi nyeri, mengurangi kecemasan serta memfasilitasi relaksasi meningkat metabolisme.
2.2.3.8 Dimensi Respon
Dimensi respon yang harus dimiliki oleh perawat ada empat, yaitu:
1. Kesejatian
Kesejatian adalah pengiriman pesan pada orang lain tentang gambaran diri kita yang sebenarnya. Kesejatian dipengaruhi oleh:
a. Kepercayaan diri
Orang yang mempunyai kepercayaan diri yang tinggi akan mampu menunjukkan kesejatiannya pada saat keadaan yang tidak nyaman dimana kesejatian yang ditampilkan akan mengakibatkan resiko tertentu.
b. Persepsi terhadap orang lain
Apabila seseorang melihat orang lain mempunyai kekuatan yang lebih besar dan menguasai kita akan mempengaruhi bagaimana kita akan menampilkan seperti apa diri kita yang sebenarnya.
c. Lingkungan
Lingkungan terdiri dari waktu dan tempat. Tempat dimana seseorang berada di muka public (auditorium,
(53)
panggung, dan lain- lain) akan mengakibatkan seseorang merasa sulit untuk menunjukkan seperti apa dirinya yang sebenarnya. Waktu yang terbatas juga akan mengakibatkan seseorang tidak mampu menunjukkan siapa dia yang sebenarnya.
2. Empati
Empati adalah kemampuan menempatkan diri kita pada orang lain, bahwa kita telah memahami bagaimana perasaan orang lain tersebut dan apa yang menyebabkan reaksi mereka tanpa emosi kita terlarut dalam emosi orang lain. Berikut beberapa aspek dari empati antara lain:
a. Aspek mental
Kemampuan melihat dunia orang lain dengan menggunakan paradigma orang lain tersebut. Aspek mental juga berarti memahami orang tersebut secara emosional dan intelektual.
b. Aspek verbal
Kemampuan mengungkapkan secara verbal pemahaman terhadap perasaan dan alasan reaksi emosi klien. Aspek verbal dalam menunjukkan empati memerlukan hal- hal, seperti keakuratan, kejelasan, kealamiahan, dan mengecek.
(54)
c. Aspek non verbal
Aspek non verbal yang diperlukan adalah kemampuan menunjukkan empati dengan kehangatan dan kesejatian. 3. Respek/ Hormat
Respek mempunyai pengertian perilaku yang menunjukkan kepedulian/ perhatian, rasa suka, dan menghargai klien. Perawat menghargai klien seorang yang bernilai dan menerima klien tanpa syarat (Stuart dan Sundeen, 1995). Melalui respek perawat akan dapat mengakui kebutuhan orang lain untuk dipenuhi, dimengerti dan dibantu dalam keterbatasan waktu yang dimiliki oleh perawat. Perilaku respek dapat ditunjukkan dengan (Smith, 1992):
a. Melihat ke arah klien
b. Memberikan perhatian yang tidak terbagi c. Memelihara kontak mata
d. Senyum pada saat yang tidak tepat e. Bergerak ke arah klien
f. Menentukan sapaan yang disukai g. Jabat tangan atau sentuhan yang lembut 4. Konkret
Perawat menggunakan terminologi yang spesifik dan bukan abstrak pada saat mendiskusikan dengan klien mengenai perasaan, pengalaman, dan tingkah lakunya. Fungsi dari dimensi
(55)
ini adalah dapat mempertahankan respon perawat terhadap klien, penjelasan dengan akurat tentang masalah dan mendorong klien memikirkan masalah yang spesifik.
2.2.3.9 Kebuntuan Terapeutik
Kebuntuan terapeutik adalah hambatan kemajuan hubungan antara perawat dan klien dimana hambatan itu terjadi baik dari klien maupun dari perawat sendiri. Ada lima hambatan kebuntuan terapeutik, yaitu: resistens, tranference, countertransference, dan boundary violation (Damaiyanti, 2010: 38- 41).
a. Resistens
Resistens merupakan upaya klien untuk tidak menyadari aspek dari penyebab cemas atau kegelisahan yang dialami. Ini juga merupakan keengganan alamiah atau penghindaran secara verbal yang dipelajari. Klien yang resisten biasanya menunjukkan ambivalensi antara menghargai tetapi juga menghindari pengalaman yang menimbulkan cemas padahal hal ini merupakan bagian normal dari proses terapeutik. Resisten ini sering terjadi akibat ketidaksediaan klien untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah telah dirasakan. Perilaku resisten biasanya diperlihatkan oleh klien pada fase kerja, karena pada frase ini sangat banyak berisi proses penyelesaian masalah menurut Stuart dan Sundeen. Berikut ini bentuk resistensi:
(56)
2. Intensifikasi gejala
3. Devaluasi diri serta pandangan dan keputusan tentang masa depan
4. Dorongan untuk sehat, yang terjadi secara tiba- tiba tetapi hanya kesembuhan yang bersifat sementara
5. Hambatan intelektual yang mungkin tampak ketika klien mengatakan ia tidak mempunyai pikiran apapun atau tidak mampu memikirkan masalahnya, saat ia tidak memenuhi janji untuk pertemuan atau tiba terlambat untuk suatu sesi, lupa, diam atau mengantuk
6. Pembicaraan yang bersifat permukaan atau dangkal
7. Penghayatan intelektual dimana klien memverbalisasi pemahaman dirinya dengan menggunakan istilah yang tepat namun tetap berperilaku maladaptive, atau menggunakan mekanisme pertahanan intelektualisasi tanpa diikuti penghayatan
8. Muak terhadap normalitas yang terlihat ketika klien telah mempunyai penghayatan tetapi menolak memikul tanggung jawab untuk berubah dengan alasan bahwa normalitas adalah hal yang tidak penting
9. Reaksi transference (respon tidak sabar dimana klien mengalami perasaan dan sakit terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam kehidupannya yang
(57)
dulu)
10.Perilaku amuk atau tidak rasional b. Tranference
Tranference merupakan respon tak sadar berupa pesan atau
perilaku terhadap perawat yang sebetulnya berawal dan berhubungan dengan orang- orang tertentu yang bermakna baginya pada waktu dia masih kecil (Stuart dan Sundeen, 1995). Reaksi
transference membahayakan untuk proses terapeutik hanya bila hal
ini diabaikan dan tidak ditelaah oleh perawat. Ada dua jenis utama reaksi transference yaitu reaksi bermusuhan dan tergantung.
c. Countertransference
Countertransference merupakan kebuntuan terapeutik yang
dibuat oleh perawat dan bukan oleh klien. Hal ini dapat mempengaruhi hubungan perawat- klien. Beberapa bentuk
countertransference menurut Stuart dan Sundeen:
1. Ketidakmampuan utnuk berempati terhadap klien dalam area masalah tertentu
2. Menekan perasaan selama atau sesudah sesi
3. Kecerobohan dalam mengimplementasikan kontrak dengan datang terlambat, atau melampaui waktu yang telah ditentukan
4. Mengantuk selama sesi
(58)
untuk berubah
6. Dorongan terhadap ketergantungan, pujian atauk afeksi klien 7. Berdebat dengan klien atau kecenderungan untuk memaksa
klien sebelum ia siap
8. Mencoba untuk menolong klien dalam segalah hal tidak berhubungan dengan tujuan keperawatan yang telah diidentifikasi
9. Keterlibatan dengan klien dalam tingkat personal dan sosial 10.Melamunkan atau memikirkan klien
11.Fantasi seksual atau agresi yang diarahkan kepada klien
12.Perasaan cemas, gelisah atau perasaan bersalah terhadap klien
13.Kecenderungan untuk memusatkan secara berulang hanya pada satu aspek datu cara memandang pada informasi yang diberikan klien
14.Kebutuhan utnuk mempertahankan intervensi keperawatan dengan klien
Reaksi countertransference biasanya dalam tiga bentuk, yaitu: 1. Reaksi sangat mencintai atau “caring”
2. Reaksi sangat bermusuhan
3. Reaksi sangat cemas seringkali digunakan sebagai respons terhadap resistensi
(59)
Lima cara mengidentifikasi terjadinya countertransference menurut Stuart G. W, yaitu:
1. Perawat harus mempunyai standar yang sama terhadap dirinya sendiri atas apa yang diharapka kepada kliennya. 2. Perawat harus dapat menguji diri sendiri melalui latihan
menjalin hubungan, terutama ketika klien menentang atau mengritik.
3. Perawat harus dapat menemukan sumber masalahnya
4. Ketika countertransference terjadi, perawat harus dapat melatih diri untuk mengontrolnya.
5. Jika perawat membutuhkan pertolongan dalam mengatasi
countertransference, pengawasan secara individu maupun
kelompok dapat lebih membantu. d. Bondary Violation
Perawat perlu membatasi hubungannya dengan klien. Batas hubungan perawat dengan klien adalah bahwa hubungan yang dibina adalah hubungan terapeutik, dalam hubungan ini perawat berperan sebagai penolong dan klien berperan sebagai yang ditolong. Baik perawat maupun klien harus menyadari batas tersebut (Suryani, 2006).
2.2.3.10 Mengatasi Kebuntuan Terapeutik
a. Perawat harus mengetahui pengetahuan tentang kebuntuan terapeutik dan mengenali perilaku tersebut
(60)
b. Klarifikasi dan refleksi perasaan c. Gali latar belakang perawat- klien
d. Bertanggung jawab terhadap kebuntuan terapeutik dan dampak negatif proses terapeutik
e. Tinjau kembali hubungan, area kebutuhan, dan masalah klien f. Bina kembali kerjasama perawat- klien yang konsisten 2.2.4 Remaja
2.2.4.1 Masa Remaja
Remaja atau adolescene berasal dari bahasa Latin adolescere yang berarti "Tumbuh" atau "Tumbuh Menjadi Dewasa". Istilah ini mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Menurut Piaget, secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Masa remaja adalah usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang dewasa melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang- kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam masyarakat, mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, transformasi yang khas dari cara berpikir remaja memunginkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan.
Dilihat dari siklus kehidupan, masa remaja merupakan masa yang paling sulit untuk dilalui oleh individu. Masa ini dikatakan sebagai masa
(61)
yang paling krisis bagi perkembangan pada tahap- tahap kehidupan selanjutnya. Dikatakan demikian dikarenakan pada masa inilah terjadi begitu banyak perubahan dari individu baik itu perubahan fisik maupun psikologis. Perubahan dari ciri kanak- kanak menuju pada kedewasaan. Pada wanita ditandari dengan mulainya menstruasi atau buah dada yang membesar. Pada pria antara lain ditandai dengan perubahan suara, otot yang semakin membesar serta mimpi basah (Dariyo, 2001: 25).
Penelitian terkenal Charles Nelson (2003) menekankan bahwa saat remaja mampu mengalami emosi yang kuat, korteks prefrontal mereka belum berkembang hingga titik dimana mereka dapat mengontrol hasrat tersebut. Ini sama saja seolah- olah otak tidak memiliki rem untuk memperlambat emosi remaja, atau seolah- olah remaja menggabungkan "Aktivasi dini dari perasaan yang kuat dengan serangkaian 'ketrampilan mengemudi' atau kemampuan kognitif yang relatif amatir untuk menyesuaikan emosi dan motivasi yang kuat" (Dahl, 2004: 18). Laurence Steinberg (2004) menekankan bahwa area sistem limbik yang terlibat dengan reward dan kesenangan mungkin terlibat pula dalam kesulitan remaja dalam mengendalikan perilaku mereka. Argumen yang menentang adalah bahwa perubahan dalam sistem limbik pada masa puber mengarahkan remaja untuk mencari kesegaran baru dan untuk membutuhkan rangsangan tingkat tinggi untuk merasakan kesenangan (Price, 2005; Spear, 2004; White, 2005). Meskipun demikian, perkembangan yang relatif lambat dari korteks prefrontal, yang terus
(62)
matang menjelang masuk ke masa dewasa, berarti bahwa remaja mungkin kurang ketrampilan kognitif untuk secara efektif mengontrol pencarian kesenangan mereka. Terputusnya perkembangan ini mungkin menjelaskan peningkatan dalam perilaku mengambil resiko dan masalah lain pada remaja.
Steinberg (2004: 56) menyimpulkan bahwa sebuah strategi yang sangat membantu adalah dengan membatasi kemungkinan adanya penilaian yang tidak matang untuk mendapat konsekuensi yang membahayakan pada remaja. Oleh karena itu, strategi seperti menaikkan harga rokok, mengatur penjualan rokok, menaikkan usia mengemudi mungkin akan menjadi lebih efektif dibandingkan dengan strategi yang bertujuan untuk membuat remaja lebih bijaksana, tidak terlalu impulsif, atau tidak terlalu berpikiran sempit. Beberapa hal memang membutuhkan waktu untuk berkembang, dan penilaian yang matang mungkin adalah salah satunya. (Santrock, 2007: 175- 176).
Ada tiga masalah yang cenderung muncul pada masa remaja dibandingkan pada masa kanak- kanak atau dewasa: Konflik dengan orang tua, suasana hati yang berubah- ubah (mood swings) dan depresi, serta tingginya angka perilakku ceroboh, pelanggaran hukum, dan tindakan- tindakan berisiko (Spear, 2000). Dalam budaya Barat, masalah- masalah ini merupakan sisi negatif dalam proses pendewasaan. Walaupun pertengkaran dengan orang tua terasa menyakitkan, hal ini cenderung menandai peralihan dari kekuasaan orang tua yang sepihak
(63)
menjadi hubungan yang timbal balik antara dua orang dewasa. Pelanggaran aturan sering kali terjadi karena remaja membangun standar dan nilai mereka sendiri, seringkali dengan meniru gaya, tindakan, dan sikap dari teman sebaya, yang sangat bertentangan dengan gaya atau sikap orang tua mereka. Teman sebaya memegang peranan paling penting karena mereka mewakili nilai dan gaya generasi yang termasuk dalam kelompok usia remaja tersebut, yakni generasi dimana remaja akan berbagi pengalaman sebagai orang dewasa nantinya (Bukowski, 2001; Haris, 199; Hartup, 1999). Sebagaimana kita ketahui, banyak orang menyatakan bahwa penolakan oleh teman sebaya saat masa remaja terasa lebih menyakitkan dibandingkan perlakuan kejam dari orang tua.
Remaja yang kesepian, tertekan, cemas atau marah, cenderung mengekspresikan hal- hal ini dalam cara yang sesuai dengan karakteristik jenis kelaminnya. Anak laki- laki cenderung mengungkapkan maslah emosional melalui tindakan agresif dan perilaku antisosial lain. Sebaliknya, dibandingkan anak laki- laki, anak perempuan cenderung menginternalisasikan perasaan dan masalah, misalnya dengan menarik diri (withdrawal) atau memunculkan gejala gangguan makan (Zahn- Walker, 1996).
2.2.4.2 Kategori Remaja
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Remaja) Menurut psikologi, remaja adalah suatu periode transisi dari masa awal anak anak hingga masa awal dewasa, yang dimasuki pada usia kira kira 10 hingga
(64)
12 tahun dan berakhir pada usia 18 tahun hingga 22 tahun. Masa remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan dalamnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin banyak menghabiskan waktu di luar keluarga.
Dilihat dari bahasa inggris "teenager", remaja artinya yakni manusia berusia belasan tahun. Dimana usia tersebut merupakan perkembangan untuk menjadi dewasa. Oleh sebab itu orang tua dan pendidik sebagai bagian masyarakat yang lebih berpengalaman memiliki peranan penting dalam membantu perkembangan remaja menuju kedewasaan. Remaja juga berasal dari kata latin "adolensence" yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock, 1992). Remaja memiliki tempat di antara anak-anak dan orang tua karena sudah tidak termasuk golongan anak tetapi belum juga berada dalam golongan dewasa atau tua. Seperti yang dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak.
(65)
Menurut Sri Rumini & Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek / fungsi untuk memasuki masa dewasa. Masa remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Sedangkan menurut Zakiah Darajat (1990: 23) remaja adalah: Masa peralihan di antara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang. Hal senada diungkapkan oleh Santrock (2003: 26) bahwa remaja (adolescene) diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun.
Rentang waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu:
a. Masa remaja awal, 12 - 15 tahun
b. Masa remaja pertengahan, 15 – 18 tahun c. Masa remaja akhir, 18 – 21 tahun
Tetapi Monks, Knoers, dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja 10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18 tahun, dan masa
(66)
remaja akhir 18 – 21 tahun (Deswita, 2006: 192) Definisi yang dipaparkan oleh Sri Rumini & Siti Sundari, Zakiah Darajat, dan Santrock tersebut menggambarkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak dengan masa dewasa dengan rentang usia antara 12-22 tahun, dimana pada masa tersebut terjadi proses pematangan baik itu pematangan fisik, maupun psikologis.
2.2.5 Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Sekolah menengah pertama (disingkat SMP, Bahasa Inggris:
junior high school) adalah jenjang pendidikan dasar pada pendidikan
formal di Indonesia setelah lulus sekolah dasar (atau sederajat). Sekolah menengah pertama ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004, sekolah ini pernah disebut sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Murid kelas 9 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang memengaruhi kelulusan siswa. Lulusan sekolah menengah pertama dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas atau sekolah menengah kejuruan (atau sederajat).
Pelajar sekolah menengah pertama umumnya berusia 13-15 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (atau sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun.
(67)
pengelolaan sekolah menengah pertama negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, sekolah menengah pertama negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan kabupaten/ kota. Di beberapa negara, SMP berlaku sebagai jembatan antara sekolah dasar dengan sekolah menengah atas. Namun istilah tersebut dapat dipergunakan secara berbeda di beberapa negara, kadang-kadang saling berbanding terbalik. Untuk negara-negara yang mempergunakan bahasa Cina, khususnya di Tiongkok, Taiwan dan Hong Kong, juga di Italia (= scuola media), SMP berkonotasi yang sama dengan secondary school.
Oleh karenanya di beberapa istilah di pemerintahan dan institusi pendidikan, SMP adalah nama lain dari "junior high school", yang pada dasarnya suatu sekolah setelah sekolah dasar. Penamaan sebagai junior
high mulai muncul sekitar tahun 1909 pada waktu pendirian sekolah
Indianola Junior High School di Columbus, Ohio. Sedangan konsep penamaan sebagai middle school mulai diperkenalkan pada tahun 1950 dari Bay City, Michigan. Pada masa penjajahan Belanda, sekolah menengah tingkat atas disebut sebagai meer uitgebreid lager onderwijs (MULO). Setelah Indonesia merdeka, MULO berubah menjadi sekolah menengah pertama (SMP) pada tanggal 13 Maret 1946. Pada tahun ajaran
(68)
1994/1995 hingga 2003/2004, sebutan SMP berubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Setelah tahun ajaran 2003/2004, SLTP
berubah lagi menjadi SMP. (Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_menengah_pertama)
2.2.6 Guru
Guru (bahasa Sanskerta: yang berarti guru, tetapi arti secara harfiahnya adalah "berat") adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Secara umum, guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru.
Secara formal, guru adalah seorang pengajar di sekolah negeri ataupun swasta yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal minimal berstatus sarjana, dan telah memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia. Guru dibagi menjadi dua, yaitu:
(1)
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian keterbukaan siswa SMPK St. Stanislaus II dengan guru Bimbingan Konseling (BK) serta Teknik Meningkatkan Self
Disclosure melalui pendekatan deskriptif kualitatif, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Murid SMPK St. Stanislaus II yang dipanggil ke Ruang BK
Murid SMPK St. Stanislaus yang dipanggil ke ruang BK, tetap melakukan Self Disclosure dengan guru Bimbingan Konseling. Meskipun Ruang Tersembunyi lebih mendominasi dibandingkan dengan Ruang Terbuka.
a. Informan Pertama
Informan pertama lebih cenderung tertutup jika yang menjadi topik pembahasan adalah alasan mengenai pelanggarannya. Ia paham bahwa ia memang melakukan kesalahan, oleh sebab itu ia takut menerima hukuman atau sanksi dari guru kesiswaan. Lain halnya jika yang didiskusikan adalah masalah mengenai relasinya dengan teman maupun keluarga. Ia lebih mau terbuka.
(2)
97
b. Informan Kedua
Informan kedua berkebalikan dengan informan pertama. Ia akan menjadi cukup terbuka jika guru BK membahas pelanggaran yang ia lakukan. Ia bahkan mau mengakui alasan dari pelanggarannya. Namun ia akan sangat tertutup jika topik pembicaraan beralih mengenai masalah keluarga dan relasinya dengan lawan jenis. Ia akan sangat tertutup dan begitu menyaring informasi yang akan disampaikan.
2. Murid SMPK St. Stanislaus II yang mendatangi ruang BK
Murid yang mau mendatangi ruang BK atas inisiatif sendiri, patut diacungi jempol. Karena tidak banyak remaja yang menyadari bahwa mereka memiliki permasalahan yang dapat mengganggu aktivitas mereka yang lainnya. Meskipun demikian tidak dipungkiri, mereka tetap memilliki rahasia atau ruang tersembunyi dari guru BK.
a. Informan Ketiga
Informan ketiga memiliki ruang terbuka yang sangat luas mengenai relasinya dengan sang pacar. Ia juga cukup terbuka mengenai relasinya dengan teman di sekolah. Bahkan ia terang- terangan mengaku pernah melakukan upaya bunuh diri karena putus dengan pacarnya. Namun ia akan sedikit tertutup mengenai permasalahan seputar keluarganya.
(3)
b. Informan Keempat
Informan keempat ini akan sangat antusias jika diajak berbicara mengenai hobi, cita- cita, dan relasinya dengan teman- temannya. Namun ia akan menyembunyikan permasalahannya dengan sang pacar dihadapan guru BK. Ia mengaku malu jika harus berterus terang kepada guru BK mengenai relasinya dengan lawan jenis.
3. Menggali Self Dislcosure siswa bukan hal yang mudah jika tidak
berdasarkan rasa aman dan nyaman antara dua pihak. Dibutuhkan teknik yang tepat dan pengalaman. Seorang guru BK diharapkan mampu membantu siswa dalam mengurangi beban permasalahannya agar setidaknya proses belajar- mengajar di sekolah tidak terganggu. Ibu M.G Lannie selaku guru BK SMPK St. Stanislaus II Surabaya memiliki tujuan membantu siswa untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran. Hal tersebut memiliki kesamaan dengan tugas seorang perawat yang menggunakan Teori Komunikasi Terapeutik. Hal serupa lainnya adalah prinsip, sikap, teknik, dimensi respon, dll.
5.2 Saran
Adapun saran atau masukan yang ingin diberikan oleh peneliti sebagai berikut:
(4)
99
kendala- kendala penyebab terganggunya proses belajar- mengajar yang timbul dapat dikurangi. Terlebih siswa- siswa tersebut tentu membutuhkan orang lain yang tepat untuk mengurangi ‘beban’. Kadang kala remaja yang masih berada dalam masa penyesuaian, melakukan keterbukaan pada orang yang salah. Sehingga tidak sedikit remaja di luar sana yang harus terjerumus pada hal- hal yang salah. Seperti contohnya narkoba, miras, dan merokok.
b. Kepada Guru Bimbingan Konseling SMPK St. Stanislaus II Surabaya,
diharapkan terus mempertahankan teknik yang selama ini telah digunakan. Tentu tidak perlu diragukan lagi kemampuan guru BK yang telah dimiliki SMPK St. Stanislaus II Surabaya, dalam membantu siswa menyelesaikan masalahnya ataupun mengurangi beban pikiran siswa. Sehingga seperti harapan pihak sekolah, proses belajar- mengajar dapat berjalan dengan baik dan siswa dapat berprestasi.
c. Berhubung penelitian ini belum sempurna, maka diperlukan penelitian
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Dariyo, Agus. 2004. Psikologi Perkembangan Anak. Bogor: Ghalia Indonesia. Damaiyanti, Mukhripah. 2010. Komunikasi Terapeutik dalam Pratik
Keperawatan. Bandung: PT. Refika Aditama.
Departemen Pendidikan Nasional, 2004. Pedoman Pelaksanaan Pelayanan
Bimbingan Konseling. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Devito, J.A. 2006. Komunikasi Antar Manusia, edisi 5, Jakarta: Profesional Books.
Efendy, Onong Uchjana MA. 2003. Dinamika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Hudaniah, Tri Dayakisni. 2006. Psikologi Sosial. Malang: Universitas Muhammadiyah.
Hurlock, E.B. 1997. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentan Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kountur, Rony. 2003. Metode Penelitian untuk Penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta: PPM.
Liliweri, Alo. 2001. Komunikasi Antar Pribadi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Moelong, L.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, Jalaludin. 2002. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga. Supratiknya, A. 2002. Komunikasi Antar Pribadi. Yogyakarta: Kanisius
(6)
Jurnal Penelitian:
Jurnal E- Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra, Vol I. No 3 Tahun 2013. Ditulis oleh Fransisca Michellida. A dengan judul Self Disclosure Perempuan Pengidap Kanker Payudara Kepada Kekasihnya.
Keterbukaan Diri (Self Disclosure) Siswa Dalam Perspektif Budaya dan Implikasinya Bagi Konseling. Ditulis oleh Maryam B. Gainau dari Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) Papua.
Sumber Non Buku:
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Guru http://id.wikipedia.org/wiki/Remaja
http://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_menengah_pertama www.surabaya.go.id/files.php?id=2006