123dok ketahanan tanaman terung belanda solanum betaceum cav setelah diinduksi dengan sinar uv terhadap c
KETAHANAN TANAMAN TERUNG BELANDA
(
Solanum betaceum
Cav
)
SETELAH DIINDUKSI DENGAN
SINAR UV TERHADAP
Colletotrichum
sp.
SKRIPSI
ROSIMA SIMANJUNTAK 080805051
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(2)
KETAHANAN TANAMAN TERUNG BELANDA
(
Solanum betaceum
Cav
)
SETELAH DIINDUKSI DENGAN
SINAR UV TERHADAP
Colletotrichum
sp.
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
ROSIMA SIMANJUNTAK 080805051
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2013
(3)
Judul : Ketahanan Tanaman Terung Belanda (Solanum betaceum Cav) Setelah Diinduksi Dengan Sinar UV Terhadap Colletotrichum sp.
Kategori : Skripsi
Nama : Rosima Simanjuntak
Nomor Induk Mahasiswa : 0808085051
Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI Departemen : BIOLOGI
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara
Disetujui di Medan, Juli 2013
Komisi Pembimbing:
Pembimbing 2 Pembimbing 1
Dra. Isnaini Nurwahyuni, M.Sc Dra. Elimasni, M.Si
NIP. 19600523 198502 2 001 NIP. 19650524 199003 2 001
Disetujui Oleh
Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,
Dra. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP. 19630123 199003 2 001
(4)
PERNYATAAN
KETAHANAN TANAMAN TERUNG BELANDA (Solanumbetaceum Cav) SETELAH DIINDUKSI DENGAN SINAR UV TERHADAP Colletotrichum sp.
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Juli 2013
Rosima Simanjuntak 080805051
(5)
Puji dan syukur penulis ucapkan pada Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:
“Ketahanan Tanaman Terung Belanda (Solanum betaceum Cav) Setelah Diinduksi Sinar UV Terhadap Colletotrichum sp.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada; Ibu Dra. Elimasni, MSi., Ibu Dra. Isnaini Nurwahyuni, MSc. selaku pembimbing, Bapak Drs. Muhammad Zaidun S. M.Si., dan Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc., selaku penguji yang telah memberi arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan hasil skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak/Ibu dosen dan pegawai di Departemen Biologi FMIPA USU.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada orang tua penulis (U. Simanjuntak, B. Parhusip) dan Saudara penulis (Jetty Simanjuntak S.Si, Rebekka, Jojor, Leta dan Ramot) yang telah memberi dukungan materi dan doa kepada penulis. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Rohana, Rani, Hanna, Perdana, Imam, Mirza, Asril dan teman seperjuangan Bio’08 yang telah memberi doa dan saran dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terima kasih.
(6)
KETAHANAN TANAMAN TERUNG BELANDA (Solanum betaceumCav) SETELAH DIINDUKSI DENGAN UV TERHADAP Colletotrichum sp.
ABSTRAK
Ketahanan tanaman terung belanda (Solanum betaceum Cav) setelah diinduksi dengan UV terhadap Colletotrichum sp. telah dilakukan dari Februari sampai Desember 2012 di Departemen Biologi FMIPA dan rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu faktor daya UV (0, 10, 20, dan 30 watt) dan faktor lama penyinaran UV (30, 60, dan 90 detik). Induksi UV dilakukan dengan penyinaran UV pada kecambah Solanum betaceum
Cav dengan kombinasi daya UV dan lama penyinaran UV. Analisis kromosom dilakukan dengan metode pencet. Hasil pengamatan terhadap kariotipe Solanum betaceum Cav tidak berpengaruh terhadap jumlah kromosom (12n) tetapi beberapa kromosom mengalami perubahan dari metasentrik menjadi submeta sentrik. Hasil penelitian terhadap morfologi, kadar protein total dan intensitas serangan secara statistika berbeda nyata tetapi tidak berbeda nyata terhadap aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase.
Kata kunci: Terung belanda, UV, kromosom, peroksidase, dan polifenol oksidase.
(7)
ABSTRACT
The of resistance of tamarillo (Solanum betaceum Cav) after UV induction to
Colletotrichum sp. has been done from February to December 2012 at Biology Departement, Faculty of Mathematic and Natural Science and Greenhouse Agriculture Faculty, Sumatera Utara University, Medan. This research used complete factorial randomized design with two factors, which are UV power (0, 10, 20 and 30 watt) and length of UV induction (30, 60 and 90 second). The induction was done by UV light power combined with length of UV exposure to the sp.rout. Chromosome analysis was observed used squash method. The results indicate that the power and duration of UV light had no effect on the number of chromosomes (12n), but some chromosomes are deformed from metacentric to submetacentric. Statistical analysis showed that plant morphology, protein standart content and onset intensity were significantly different while peroxidase and polyphenoloxidase activities were not significant.
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
Persetujuan i
Pernyataan ii
Penghargaan iii
Abstrak iv
Abstract v
Daftar Isi vi
Daftar Tabel viii
Daftar Gambar ix
Daftar Lampiran x
Bab 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang 1
1.2. Permasalahan 2
1.3. Tujuan Penelitian 2
1.4. Hipotesis 2
1.5. Manfaat 3
Bab 2. Tinjauan Pustaka 2.1. Terung Belanda (Solanum betaceum Cav) 4
2.2. Kromosom Terung Belanda (Solanum betaceum Cav) 5
2.3. Mutasi UV 6
2.4. Enzim 7
2.4.1. Peroksidase (PO) 8
2.4.2. Polifenol Oksidase (PPO) 9
2.5. Jamur Colletotrichum sp. 10
Bab 3. Metode Penelitian 3.1. Waktu dan Tempat 11
3.1. Alat dan Bahan 11
3.3. Metode Penelitian 12
3.4. Prosedur Kerja 12
3.4.1. Persiapan dan Penanaman Biji Terung Belanda 12
3.4.2. Pengamatan Kromosom 13
3.4.3. Isolasi dan Pembuatan Filtrat Colletotrichum sp. 13
3.4.3. Perlakuan Tanaman Dengan Filtrat Colletotrichum sp. 14
3.4.4. Ekstraksi Daun 14
3.4.5. Penentuan Kadar Protein 14
3.4.6. Penentuan Aktivitas Enzim PO dan PPO 15
3.4.6.1. Peroksidase (PO) 15
3.4.6.2. Polifenol Oksidase (PPO) 15
3.5. Parameter Pengamatan 16
(9)
Bab 4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Kromosom 17
4.2. Pengamatan Morfologi 18
4.3. Intensitas Serangan Pada Daun 20
4.4. Kadar Protein 22
4.5. Aktivitas Peroksidase 23
4.6. Aktivitas Polifenol Oksidase 24
Bab 5. Kesimpulan dan Saran 5.1. Kesimpulan 26
5.2. Saran 26
(10)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel
4.1. Pengamatan Morfologi Terung Belanda 16 4.2. Jumlah dan Tipe Kromosom Terung Belanda 18 4.3. Intensitas Serangan Pada Daun Terung Belanda 19
4.4. Kadar Protein Terung Belanda 21
4.5. Aktivitas Peroksidase (PO) Terung Belanda 22 4.6. Aktivitas Polifenol Oksidase (PPO) Terung Belanda 23
(11)
Nomor Judul Halaman Gambar
3.4.3. Biakan Colletotrichum sp. pada media GYB 13 4.1. Pengaruh lama penyinaran daya UV terhadap rata-rata tinggi 17
Terung belanda
4.2. Sel akar terung belanda (Solanum betaceum Cav) perbesaran 18 1000X dengan pewarna asetokarmin
4.3. Pengaruh daya UV terhadap rata-rata intensitas serangan 20
Colletotrichum sp. pada daun terung belanda
4.4. Pengaruh daya UV terhadap rata-rata kadar protein daun terung 21 belanda
(12)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
Lampiran
1. Alur Kerja Persiapan dan Penanaman Biji Terung Belanda 30 2. Alur Kerja Perlakuan Terung Belanda dengan Filtrat 30
Colletotrichum Sp.
3. Alur Kerja Pengamatan Kromosom 31
4. Alur Kerja Pembuatan Kurva Standard BSA 32
5. Alur Kerja Ekstraksi Daun 33
6. Alur Kerja Determinasi Protein 33 7. Alur Kerja Penentuan Aktivitas Peroksidase (PO) 34 8. Alur Kerja Penentuan Aktivitas Polifenol Oksidase (PPO) 34 9. Data Mentah Morfologi Tanaman 35 10. Data Tinggi Tanaman Pada Minggu Terakhir 39 11. Data Jumlah Daun Minggu Terakhir 40 12. Data Intensitas Serangan Pada Daun Setelah Penyemprotan 41
125 ppm (%)
13. Data Kadar Protein 42
14. Kurva Standard dan Persamaan Garis Regresi Kurva BSA 43 (Bovine Serum Albumine)
15. Kurva Standard dan Persamaan Garis Regresi Kurva Pyrogallol 44 16. Data Pengukuran Aktivitas Peroksidase dengan Spektrofotometer 45
Pada Panjang Gelombang 420 nm
17. Data Pengukuran Aktivitas Polifenol Oksidase dengan 46 Spektrofotometer Pada Panjang Gelombang 420 nm
18. Data Kadar Protein 47
19. Data Nilai Aktivitas Enzim PO dan PPO 47 20. Kariotipe Terung Belanda (Solanum betaceum Cav) 49 21. Indeks Sentromer (IS) Kromosom Setiap Perlakuan 51
(13)
ABSTRAK
Ketahanan tanaman terung belanda (Solanum betaceum Cav) setelah diinduksi dengan UV terhadap Colletotrichum sp. telah dilakukan dari Februari sampai Desember 2012 di Departemen Biologi FMIPA dan rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu faktor daya UV (0, 10, 20, dan 30 watt) dan faktor lama penyinaran UV (30, 60, dan 90 detik). Induksi UV dilakukan dengan penyinaran UV pada kecambah Solanum betaceum
Cav dengan kombinasi daya UV dan lama penyinaran UV. Analisis kromosom dilakukan dengan metode pencet. Hasil pengamatan terhadap kariotipe Solanum betaceum Cav tidak berpengaruh terhadap jumlah kromosom (12n) tetapi beberapa kromosom mengalami perubahan dari metasentrik menjadi submeta sentrik. Hasil penelitian terhadap morfologi, kadar protein total dan intensitas serangan secara statistika berbeda nyata tetapi tidak berbeda nyata terhadap aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase.
Kata kunci: Terung belanda, UV, kromosom, peroksidase, dan polifenol oksidase.
(14)
RESISTANCE OF TAMARILLO (Solanum betaceumCav) AFTER UV INDUCTION TO Colletotrichum sp.
ABSTRACT
The of resistance of tamarillo (Solanum betaceum Cav) after UV induction to
Colletotrichum sp. has been done from February to December 2012 at Biology Departement, Faculty of Mathematic and Natural Science and Greenhouse Agriculture Faculty, Sumatera Utara University, Medan. This research used complete factorial randomized design with two factors, which are UV power (0, 10, 20 and 30 watt) and length of UV induction (30, 60 and 90 second). The induction was done by UV light power combined with length of UV exposure to the sp.rout. Chromosome analysis was observed used squash method. The results indicate that the power and duration of UV light had no effect on the number of chromosomes (12n), but some chromosomes are deformed from metacentric to submetacentric. Statistical analysis showed that plant morphology, protein standart content and onset intensity were significantly different while peroxidase and polyphenoloxidase activities were not significant.
(15)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Terung belanda mempunyai aspek fungsional yang tinggi sebagai antioksidan karena mengandung vitamin A, C, E dan B6 (Kumalaningsih & Suprayogi, 2006). Terung belanda juga mengandung mineral penting seperti potassium, fosfor dan magnesium berguna menjaga dan memelihara kesehatan. Terung belanda dimanfaatkan untuk pembuatan sirup, jus, selai hiasan es krim dan acar (Zeladmin, 2012).
Pentingnya peranan terung belanda untuk dikomsumsi maka produksinya harus ditingkatkan. Tanaman ini dapat diserang berbagai jamur seperti Fusarium
sp., Colletotrichum sp. dan lain-lain. Sementara itu, tanaman yang tumbuh di Berastagi sebagian besar terserang penyakit terutama antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum sp. Jamur ini sangat berbahaya karena dapat menyerang daun menyebabkan nekrosis. Jamur ini juga menyerang buah mentah dan tinggal dorman selama 3 bulan. Tanaman terung belanda seragam dan rentan terhadap penyakit tersebut sehingga perlu mutan untuk memperoleh tanaman yang tahan. Tanaman mutan diperoleh dengan induksi UV.
Keberhasilan induksi mutasi pada tanaman tergantung jenis mutagen, konsentrasi mutagen, lama perlakuan mutagen, umur dan organ yang diperlakukan (Yanti, 2011). Mutagen fisik adalah berbagai tipe radiasi (contoh sinar-X, gamma, ultraviolet) (Nasir, 2002). Sinar UV dapat menyebabkan terbentuknya ikatan kovalen antara dua molekul timin yang menghasilkan dimer timin. Sinar UV ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kelangsungan dan keefektifan transformasi DNA dari suatu spesies (Setiawan, 2012). Terganggunya aktivitas
(16)
2
DNA berakibat pada perubahan pada kromosom dan sintesis protein terganggu. Supriharti et al. (2007) menyatakan penyusunan kromosom dilakukan berdasarkan ukuran dan tipe/bentuknya disebut kariotipe. Ginting (2010) menyatakan peningkatan energi lampu UV sampai 60 watt seiring dengan peningkatan waktu penyinaran sampai 4 jam menyebabkan penurunan tinggi tanaman.
Elimasni (2010 Laporan Penelitian) menyatakan secara in vitro telah dilakukan penelitian pengaruh UV terhadap aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase menggunakan daya UV 10, 20, 30 watt dan lama penyinaran UV 30, 60, 90 detik. Aktivitas enzim PO tertinggi terdapat pada perlakuan U1T3 dan U2T2. Sedangkan aktivitas enzim PPO tertinggi terdapat pada perlakuan U2T3. Agrios (2005) dan Purnama (2009) menyatakan induksi mutasi dan patogen pada tanaman dapat meningkatkan aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase. Enzim ini berperan dalam ketahanan pada tanaman. Pada tanaman yang tahan terjadi peningkatan aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase. Oleh karena itu, perlu dilakukan induksi UV untuk mengetahui aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase terung belanda yang tahan terhadap Colletotrichum sp.
1.2Permasalahan
Terung belanda mempunyai banyak manfaat karena kandungan nutrisinya yang tinggi, namun perhatian terhadap kualitas dan kuantitasnya masih kurang. Sampai saat ini sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas terung belanda misalnya dengan menggunakan kolkisin dan UV namun belum didapat mutan yang tahan terhadap Colletotrichum sp. Oleh karena itu, peneliti mencoba dengan menginduksi biji terung belanda dengan UV untuk mendapatkan mutan yang tahan terhadap penyakit tersebut.
(17)
1.3Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui kariotipe dan pertumbuhan terung belanda (Solanum betaceum Cav) setelah diinduksi UV.
b. Untuk mengetahui aktivitas enzim PO dan PPO terung belanda (Solanum betaceum Cav) mutan yang tahan terhadap Colletotrichum sp.
1.4 Hipotesis
a. Perbedaan daya dan lama penyinaran lampu UV berpengaruh terhadap kariotipe dan pertumbuhan terung belanda.
b. Inokulasi filtrat Colletotrichum sp. berpengaruh terhadap intensitas serangan, aktivitas enzim PO dan PPO.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Dengan penelitian ini diharapkan memperoleh terung belanda yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang lebih baik.
(18)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terung Belanda (Solanum betaceumCav)
Buah Tamarillo atau terung belanda sangat popular di New Zealand. Tanaman ini berasal dari Peru dan masuk ke Indonesia dikembangkan antara lain di Bali, Jawa Barat, dan Tanah Karo Sumatera Utara (Kumalaningsih & Suprayogi, 2006). Menurut Tjitrosoepomo (2003), klasifikasi terung belanda sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Division : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Solanum
Spesies : Solanum betaceum Cav
Terung belanda dapat bertahan hidup pada ketinggian 1000-2000 m dpl, jika suhu bulanan rata-ratanya tetap diatas 10oC. Di dataran rendah, terung belanda tidak mampu berbunga, sedangkan udara sejuk malam dapat mendorong pembungaan. Tanaman ini berbuah matang pada suhu dingin di daerah subtropik, dan jika ditanam di daerah tropik buah matang sesudah terjadi udara dingin. Buah berasa lebih manis pada musim kemarau yang panas dibandingkan pada musim dingin di dataran tinggi. Terung belanda tumbuh baik di tanah yang baik drainasenya dengan bahan organik dan kelembaban sedang, tetapi tidak tahan terhadap genangan walaupun hanya untuk 1-2 hari. Tanaman ini berakar dangkal sehingga mudah roboh. Cabang mudah patah jika berbuah lebat (Sinaga, 2009).
(19)
Terung belanda berupa perdu yang rapuh, tingginya 2-3 m, pangkal batangnya pendek, percabangannya lebat. Daunnya bulat, berselang-seling, berbulu, bunga muncul dalam rangkaian kecil dari ketiak daun, berwarna merah jambu hingga biru muda, berbau harum. Buahnya berbentuk buah buni bulat lonjong dengan meruncing ke ujung. Daging buahnya mengandung sari buah, agak asam, berwarna kuning kehitaman. Bijinya pipih dan tipis (Tubagus, 2007).
2.2 Kromosom Terung Belanda (Solanum betaceumCav)
Kromosom terung belanda berjumlah 24 (n= 12). Kromosom ini mepunyai dua tipe yaitu metasentrik dan submetasentrik. Penyusunan kromosom dilakukan berdasarkan ukuran dan tipe/bentuknya disebut kariotipe (Supriharti et al, 2007). Metode yang digunakan dalam pengamatan kromosom ini adalah metode pencet dengan pewarna asetokarmin.
Pengamatan kromosom dilakukan pada stadium metaphase, sebab pada stadium ini kromosom tampak jelas karena mengalami kondensasi, yaitu kromatin menggumpal karena menggulung dan melipat rapat. Bagian kromosom yang mengalami kondensasi dan menyempitan disebut sentromer. Sentromer dapat terletak di tengah dan di ujung kromosom. Pada saat pembelahan, benang sitoplasmik dari sentriol menempel pada sentromer dan tertarik kearah kutub pembelahan. Dengan adanya sentromer maka kromosom terbagi menjadi dua bagian, masing-masing bagian tersebut dinamakan lengan kromosom. Jumlah kromosom pada suatu organisme tetap, tetapi ada variasi dalam jumlah dan jenis pola garis kromosomnya (Irawan, 2008).
2.3 Mutasi UV
Mutasi berasal dari kata mutatus (bahasa latin) yaitu perubahan. Mutasi didefinisikan sebagai perubahan genetik (DNA) yang diwariskan pada keturunan.
(20)
6
Istilah mutasi pertama kali digunakan oleh Hugo de Vries, untuk mengemukakan perubahan fenotip mendadak pada bunga Oenothera lamarckiana dan bersifat menurun. Ternyata perubahan tersebut terjadi karena penyimpangan kromosom. Mutasi adalah perubahan materi genetik suatu makhluk yang terjadi secara tiba-tiba, acak dan merupakan dasar sumber variasi organisme hidup. Mutasi ada dua macam yaitu mutasi gen dan mutasi genom. Peristiwa terjadinya mutasi disebut mutagenesis. Makhluk hidup yang mengalami mutasi disebut mutan dan faktor penyebab mutasi disebut mutagen (Warianto, 2011).
Mutagen digunakan untuk induksi mutasi pada tanaman tingkat tinggi. Secara umum mutagen dikelompokkan dalam mutagen kimia dan fisik. Mutagen kimia adalah berbagai senyawa kimia (contoh kolkisin, EMS). Mutagen fisik adalah berbagai tipe radiasi (contoh sinar-X, gamma, ultraviolet) (Nasir, 2002). Sinar ultraviolet (UV) adalah tipe radiasi elektromagnetik yang digunakan untuk induksi mutasi. Secara umum, tiga kelas radiasi UV yaitu; UV-A ( = 320-400 nm), UV-B ( = 280-320 nm) dan UV-C ( = 250-290 nm). UV-A dan UV-B ada pada cahaya matahari dan UV-C pada lapisan ozon. Gelombang pendek UV-C digunakan sebagai agen mutagen. Panjang gelombang UV-C 254 merupakan penyerapan maksimal asam nukleat (DNA) (Harten, 1998).
Sinar UV dapat menyebabkan terbentuknya ikatan kovalen antara dua molekul timin yang menghasilkan dimer timin. Sinar UV ini mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kelangsungan dan keefektifan transformasi DNA dari suatu spesies (Setiawan, 2012). Terganggunya aktivitas DNA berakibat pada perubahan pada kromosom dan sintesis protein terganggu. Daryono (1998) menyatakan variasi jumlah dan pola garis kromosom terjadi apabila ada pengaruh dari luar seperti penyinaran radioaktif, dan zat mutagenik.
Mutagenesis dengan UV pada Kluyveromyces masxianus menyebabkan penurunan persentase sel hidup, peningkatan pertumbuhan diameter koloni mutan, aktivitas spesifik inulinase ekstraselular, dan penambahan berat kering sel (Zul et al, 2003). Menurut Ginting (2010), peningkatan energi lampu UV sampai 60 watt
(21)
seiring dengan peningkatan waktu penyinaran sampai 4 jam menyebabkan penurunan tinggi tanaman, panjang dan lebar daun, berat basah dan berat kering tanaman, tidak berpengaruh terhadap penurunan jumlah daun dan berpengaruh terhadap peningkatan kadar klorofil. Menurut Purnama (2009), pemberian mutagen seperti EMS berpengaruh terhadap aktivitas enzim seperti PO dan PPO.
2.4 Enzim
Enzim adalah protein yang khusus disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi yang berlangsung di dalamnya (Martoharsono, 1998). Enzim juga disebut katalisator untuk reaksi-reaksi kimia di dalam sistem biologi. Katalisator mempercepat reaksi kimia. Walaupun katalisator ikut serta dalam reaksi, ia kembali ke keadaan semula bila reaksi telah selesai. Enzim adalah katalisator reaksi-spesifik karena semua reaksi biokimia perlu dikatalisis oleh enzim. Hampir setiap senyawa organik terdapat satu enzim pada beberapa organisme hidup mampu bereaksi dan mengkatalisis beberapa perubahan kimia (Indah, 2004).
Dalam suatu organisme suatu reaksi tertentu tidak harus dikatalisis oleh satu enzim saja. Suatu sel mengandung enzim-enzim yang strukturnya mirip dan menggunakan mekanisme katalisis yang sama tetapi parameter kinetik berbeda untuk memenuhi kebutuhan sel. Enzim seperti ini disebut isoenzim atau isozim (McGilvery & Goldstein, 1996). Isozim merupakan bentuk enzim berbeda yang mengkatalisis reaksi kimia yang sama. Isozim ini berasal dari duplikasi gen. Isozim dapat memperlihatkan perbedaan ringan dalam sifat sensivitas terhadap faktor regulatorik tertentu atau afinitas substrak yang mengadaptasikan isozim kejaringan atau lingkungan tertentu (Santoso, 2010).
Pada beberapa enzim yang mengkatalisis reaksi kimia tertentu berada dalam bentuk multiple di dalam organisme. Bentuk multiple isozim ini disusun oleh beberapa macam polipeptida (Shahib, 1992). Suatu organisme mempunyai isozim yang berbeda untuk mengakatalisis reaksi yang sama karena faktor
(22)
8
lingkungan. Jika lingkungan berubah, isozim paling aktif melaksanakan fungsinya dan membantu organisme bertahan hidup. Disamping itu, satu isozim sering terdapat pada satu jaringan atau organ dan yang lain pada jaringan atau organ yang berbeda dengan fungsi berbeda. Isozim yang berbeda kadang dijumpai pada sel yang sama. Setiap isozim terpajan pada lingkungan kimia yang berbeda di dalam sel, dan masing-masing berperan dalam urutan reaksi (lintasan metabolik) yang berlainan. Jadi, didalam tiap organel, sel atau jaringan setiap organisme, keberadaan lebih dari satu isozim berguna untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan (Salisbury & Ross, 1995).
Penggunaan penanda isozim seperti PO dan PPO mempunyai kelebihan karena diatur oleh gen tunggal dan bersifat kodominan dalam pewarisan, bersegregasi secara normal menurut nisbah Mendel, kolinier dengan gen dan merupakan produk gen. Penanda ini bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, lebih cepat dan akurat karena tidak menunggu tanaman sampai bereproduksi (Cahyarini et al., 2004).
2.4.1 Peroksidase (PO)
Peroksidase termasuk anggota enzim oksidoreduktase. Enzim peroksidase mudah dideteksi karena aktivitasnya yang tinggi dan dapat menggunakan sejumlah substrak sebagai donor hidrogen. Peroksidase pada tanaman merupakan isoenzim yang berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi dan pertahanan (Cahyarini et al., 2004). Menurut Gaspar (1984) dalam Yanti (2011), peroksidase terdapat di vakuola atau ruang interseluler dan dinding sel dengan berat molekulnya 40 kDa.
Peroksidase berfungsi mengoksidasi fenol dan meningkatkan laju polimerisasi senyawa-senyawa seperti lignin yang terdeposit dalam dinding sel dan papila serta mengganggu pertumbuhan dan perkembangan patogen (Agrios, 1996). Aktivitas enzim ini akan meningkat apabila ada cekaman kekeringan,
(23)
patogen dan induksi mutagen. Tanaman tahan penyakit memiliki aktivitas enzim peroksidase yang tinggi. Menurut Gaston dan Davies (1970), mekanisme tanaman mengahadapi cekaman karena serangan patogen adalah dengan pembentukan dinding sel baru yang tidak tembus air dan pembentukan fitoaleksin melalui aktivitas peroksidase.
2.4.2 Polifenol Oksidase (PPO)
Enzim polifenol oksidase (PPO) adalah enzim oksidoreduktase yang mengandung tembaga (Cu) yang berperan dalam proses melanisasi pada hewan dan pencoklatan pada tanaman. Enzim PPO tersebar luas di alam, mempunyai berat molekul 128 kDa dalam keadaan murni, tidak berwarna, dan stabil pada pH netral. Konsentrasi enzim yang tinggi ditemukan pada umbi kentang, apel, pisang, alpukat, daun teh, biji kopi dan daun tembakau. Selain pada tanaman, enzim PPO juga ditemukan pada bakteri dan mamalia. Enzim polifenol oksidase atau PPO dalam tanaman berperan terhadap sistem ketahanan dan penyembuhan jaringan yang terluka. Peningkatan aktivitas PPO dalam jaringan tanaman terserang penyakit sejalan dengan bertambah luasnya serangan, makin parah serangan maka jumlah sel yang terangsang menghasilkan PPO akan semakin banyak (Julhasratman, 2012).
Banyak penyakit berkaitan dengan pengaruh enzim seperti kekurangan jumlah dan aktivitas PO dan PPO. Hal ini disebabkan karena kelainan genetik, kekurangan gizi atau toksin. Biosintesis enzim merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan proses di inti sel dan sitoplasma. Adanya gangguan pada biosintesis tersebut mengakibatkan perubahan efektifitas dalam pembentukan enzim yang berdampak pada jumlah enzim (Santoso, 2010). Enzim PO dan PPO berperan dalam mengkatalisis berbagai proses oksidatif pada reaksi perubahan warna, cita rasa, dan pembentukan senyawa toksin sebagai reaksi atas serangan patogen atau luka pada jaringan tanaman (Gardjito et al., 2006).
(24)
10
Beberapa senyawa fenolik (fenol) dan hasil oksidasi enzimnya (quinon) menghasilkan ketahanan terhadap penyakit melalui reaksi penghambatan terhadap enzim pektinolitik dan enzim patogen lain, tetapi bukan terhadap patogen itu sendiri. Pada beberapa penyakit pada jaringan yang lebih tahan, kandungan fenolnya lebih tinggi dan fenol tersebut tidak menghambat pertumbuhan patogen. Fenol tersebut menghambat enzim pektinolitik dan memberi peranan dalam ketahanan terhadap patogen (Agrios, 1996).
2.5 Jamur Collectotrichum sp.
Colletotrichum merupakan jamur yang bersifat kosmopolitan, sehingga jamur ini dapat menyebabkan penyakit pada beberapa jenis tanaman. Menurut Wahyuni (2011), pengamatan mikrokropis koloni Colletotrichum sp. memperlihatkan hifa bersepta tipis, konidiofor pendek tidak bercabang, konidium bersel satu, jorong memanjang, tidak bersekat, dan terbentuk pada ujung konidiofor.
Penyakit Colletotrichum atau antraknosa menunjukkan simpton pada daun, batang, dan buah. Penyakit ini menyebabkan nekrosis pada daun. Gejala ini yang disebut sebagai hawar daun (leaf blight). Daun muda yang sakit dapat juga membentuk bintik-bintik kecil dan biasanya rontok. Pada daun dewasa, bercak-bercak nekrosis tidak teratur. Bercak-bercak-bercak ini dapat menjadi lubang (Semangun, 2000). Serangan lebih berat pada musim hujan. Pada serangan berat, batang dan buah terserang juga (Tjahjadi, 1989). Cuaca yang sangat lembap membantu jamur membentuk banyak spora pada bagian tanaman yang sakit. Pada bagian-bagian bunga terjadi bintik-bintik kecil berwarna hitam dan akan menyebabkan sebagian atau seluruh kuncup bunga rontok (Semangun, 1996).
Penyakit antraknosa tersebar melalui biji atau benih, angin dan sisa tanaman yang terserang. Pengendalian dilakukan dengan pemusnahan bagian tanaman yang terserang, pergiliran tanaman dan penyemprotan fungisida yang disesuaikan dengan tempat penanaman varietas yang terserang (Tjahjadi, 1989).
(25)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Desember 2012 di Laboratorium sentral, Mikrobiologi, Genetika, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah cawan petri, gelas benda, gelas penutup, mikroskop, kamera digital, polibag, gelas ukur, corong, Erlenmeyer, gelas beker, tabung reaksi, rak tabung reaksi, spatula, tangkai pengaduk, neraca analitik, pinset, pisau, lampu spiritus, oven, inkubator, autoklaf, kulkas, silet, vortex, gunting, pipet volume, mikro pipet, pipet serologi, pensil, penggaris, mortar, semprot tangan, aluminium poil, thermos, spektrofotometer dan sentrifus.
Bahan yang digunakan adalah biji terung belanda (Solanum betaceum
Cav) varietas berastagi, media kompos : pasir : humus (1:1:1), sinar UV, kertas saring, akuades, gliserin, asetokarmin, HCl 1N, asam asetat, filtrat Colletotrichum
sp., media PDA, media GYB, alkohol 70%, H2SO4 5%, H2O2, Triton X 100 0,15 %, nitrogen cair, buffer fosfat , buffer Tris-HCl, BSA, Quick Strat Bradford, dan pyrogallol.
(26)
12
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dirancang dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap Faktorial. Faktorial dengan dua faktor yaitu:
1. Faktor Daya UV (U) U0 = tanpa penyinaran U1 = 10 watt
U2 = 20 watt U3 = 30 watt
2. Faktor Lama Penyinaran (T) T1 = 30 detik
T2 = 60 detik T3 = 90 detik
Banyak perlakuan adalah kombinasi kedua faktor yaitu intensitas lampu UV dan lama penyinaran yaitu 4x3 = 12 perlakuan, dengan 3 ulangan. Unit percobaan berjumlah 36. Penelitian dibuat sebanyak 2 set yaitu satu set untuk pengamatan kromosom dan satu set lainnya untuk mengevaluasi aktivitas enzim PO dan PPO.
3.4 Prosedur Kerja
3.4.1 Persiapan dan Penanaman Biji Terung Belanda
Biji terung belanda diambil dari buah yang masak, dikering anginkan dan dipilih biji yang baik secara visual. Biji direndam di dalam air kemudian dikecambahkan dengan media kertas saring di dalam cawan petri sampai didapatkan kecambah yang berumur 1 minggu. Kecambah diperlakukan dengan UV sesuai dengan uraian metode penelitian. Setelah penyinaran, kecambah di tanam dalam polibag dengan media kompos : pasir : humus (1:1:1) (Nainggolan, 2008).
(27)
3.4.2 Pengamatan Kromosom
Setelah kecambah berumur 2 minggu, preparat dibuat dari bagian ujung akar untuk mengamati kromosom. Pembuatan preparat untuk mengamati kromosom menggunakan ujung akar meristematis dengan metode pencet (Suntoro, 1983).
Ujung akar difiksasi dengan asam asetat 45% dan dimasukkan pada lemari pendingin selama 15 menit. Ujung akar yang telah difiksasi dibilas dengan akuades sebanyak 3 kali dan didiamkan selama 30 detik didalam HCl 1N pada suhu 500 C. Ujung akar dimasukkan pada larutan pewarna asetokarmin dan dibiarkan selama 30 menit. Ujung akar diambil, diletakkan diatas objek gelas, ditetesi dengan gliserin dan ditutup dengan gelas penutup. Ujung akar dipencet hingga hancur. Preparat diamati dibawah mikroskop, difoto dengan perbesaran 1000X dan hasil foto diolah dengan photoshop CS3. Kromosom disusun membentuk kariotipe Solanum betaceum Cav (Lampiran 3, hal. 30).
3.4.3 Isolasi dan Pembuatan Filtrat Colletotrichumsp.
Isolat Colletotrichum sp. diisolasi dari akar, batang dan daun terung belanda. Disterilisasi dengan alkohol 70% dan ditumbuhkan pada media PDA. Jamur yang tumbuh dimurnikan dan diidentifikasi menurut Alexopoulus (1972).
Gambar 3.4.3 Biakan Colletotrichum sp pada media GYB (a), filtrat Colletotrichum sp. (b), konidia Colletotrichum sp. (c)
Isolat Colletotrichum sp. ditumbuhkan di dalam media GYB dan diinkubasi ±2 minggu. Kerapatan konidia dihitung sampai 108 sel/ml. Filtrat
c b
(28)
14
Colletotricum sp. dibuat dengan memsentrifius media GYB yang berisi
Colletotrichum sp. dengan kecepatan 12.000 rpm selama 30 menit sehingga terbentuk endapan dan supernatan. Supernatan diambil dan disaring. Supernatan digunakan sebagai filtrat. Konsentrasi filtrat yang terbentuk dianggap 1000 ppm (Komunikasi pribadi, Elimasni, 2012). Dari stok filtrat dibuat pengenceran 0,025, 0,050, 0,075, 0,100 dan 0,125 ppm.
3.4.4Perlakuan Tanaman dengan Filtrat Colletotrichum sp.
Tanaman yang tumbuh baik diperlakukan dengan filtrat Colletotrichum sp. dengan konsentrasi 0,025, 0,050, 0,075, 0,100 dan 0,125 ppm. Penyemprotan filtrat dilakukan satu kali seminggu dengan volume penyemprotan 10 ml. Pertumbuhan vegetatif tanaman dan intensitas serangan jamur Colletotrichum sp. pada daun terung belanda diamati (Lampiran 2, hal. 29).
3.4.5 Ekstraksi Daun
Pembuatan ekstrak kasar daun terung belanda dilakukan sesuai penelitian yang dilakukan oleh Widiyanto (1992). Daun terung belanda diambil 0,2 g dari masing-masing perlakuan filtrat Colletotrichum sp., ditambahkan nitrogen cair dan digerus hingga terbentuk larutan. Ekstrak kemudian dihomogenkan dengan 2 ml buffer Tris-HCl (0,05 M, pH 8) dan Triton X 100 0,15 %. Selanjutnya larutan tersebut disentrifus dengan kecepatan 14.000 rpm selama 20 menit pada suhu 00 C hingga terbentuk 2 bagian yaitu supernatan dan endapan. Supernatan dipakai untuk determinasi protein dan penentuan aktivitas enzim (Lampiran 5, hal. 32).
3.4.6 Penentuan Kadar Protein
Menurut Bradford (1976), penentuan kadar protein menggunakan 0,1 ml larutan ekstrak daun dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dicampur dengan 5 ml reagen Quick Start Bradford. Campuran dihomogenkan dan diukur absorbansi
(29)
dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 596 nm (Lampiran 6, hal. 32).
3.4.7 Penentuan Aktivitas Enzim PO dan PPO
Penentuan aktivitas PO dan PPO dilakukan menurut metode Karr dan Mishra (1976). Prosedur ini berdasarkan kemampuan PO dan PPO dalam mengoksidasi pyrogallol. Aktivitas enzim diuji dengan mencampur 10 mM pyrogallol dan 0,1 M buffer fosfat (pH 6,8, suhu 250 C). Penentuan pyrogallol yang bereaksi adalah dengan mengektrapolasikan nilai absorbansi dengan kurva pyrogallol.
3.4.7.1 Peroksidase (PO)
Pengujian enzim PO menggunakan 30 µl ekstrak daun ditambah dengan 5 ml pyrogallol 10 mM, dan 0,1 ml buffer fosfat 0,1 mM pada pH 6,8. Selanjutnya campuran ditambahkan dengan 0,1 ml H2O2 10 mM, didiamkan selama 5 menit pada suhu 250C, dan ditambahkan 0,5 ml H2SO4 5% untuk menghentikan reaksi. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm (Lampiran 7, hal. 33).
3.4.7.2 Polifenol Oksidase (PPO)
Pengujian aktivitas enzim PPO menggunakan 70 µl ekstrak daun ditambah dengan 5 ml pyrogallol 10 mM dan 0,1 ml buffer fosfat 0,1 mM pada pH 6,8. Campuran didiamkan selama 5 menit dan ditambahkan 0,5 ml H2SO4 5% untuk menghentikan reaksi. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm (Lampiran 8, hal. 33).
(30)
16
3.5 Parameter pengamatan
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: a. Kariotipe terung belanda, diamati pada umur 2 minggu.
b. Pertumbuhan Tanaman yang meliputi: tinggi tanaman dan jumlah daun seminggu sampai selesai.
c. Intensitas serangan Colletotrichum sp., dilakukan 1 minggu setelah penyemprotan suspensi tanaman.
d. Penentuan kadar protein
e. Penentuan aktivitas Peroksidase (PO)
f. Penentuan aktivitas Polifenol Oksidase (PPO)
3.6 Analisis Data
Data penelitian menggunakan RAL selanjutnya dianalisis menggunakan ANOVA. Sedangkan untuk menguji beda antara perlakuan dilakukan uji jarak Duncan atau Duncan New Multiple Range Test (DNMRT) (Steel & Torrie, 1991).
(31)
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kromosom
Pada Gambar 4.1 dapat dilihat gambar sel dengan nukleus terung belanda dengan menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 1000X. Di dalam nukleus terdapat kromosom. Kromosom merupakan benang-benang halus yang terpilin dan menebal yang mengandung materi genetik yaitu DNA dan RNA. Kromosom di dalam nukleus tersebar dan berada pada tahap metafase sehingga dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya. Menurut Suryo (1995), apabila menggunakan mikroskop cahaya, maka pada umumnya kromosom tampak sebagai badan berupa batang yang lurus atau bengkok.
Gambar 4.1 Sel akar terung belanda (Solanum betaceum Cav) perbesaran 1000X dengan pewarna asetokarmin (A) Kromosom (B) nukleus
Perbedaan kariotipe tanaman terung belanda kontrol dengan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Lampiran 20 (hal. 48). Lama penyinaran UV dan daya penyinaran UV tidak berpengaruh terhadap jumlah kromosom.
A B
(32)
18
Tabel 4.1 Jumlah dan Tipe Kromosom Terung Belanda
Perlakuan Jumlah Tipe Kromosom
Kromosom(n) Metasentrik Submetasentrik
U0T1 12 12 0
U0T2 12 12 0
U0T3 12 12 0
U1T1 12 11 1 (no. 2)
U1T2 12 10 2(no. 6, 8)
U1T3 12 12 0
U2T1 12 8 4 (no. 3, 7, 10, 11)
U2T2 12 9 3 (no. 1, 7, 10)
U2T3 12 8 4 (no. 2, 3, 9, 11)
U3T1 12 10 2 (no. 5, 11)
U3T2 12 9 3 (no 6, 11, 12)
U3T3 12 11 1 (no. 3)
Perbedaan kariotipe tanaman terung belanda kontrol dengan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.1. Lama penyinaran UV dan daya penyinaran UV tidak berpengaruh terhadap jumlah kromosom (n= 12) tetapi berpengaruh pada tipe kromosom tanaman. Tipe kromosom tanaman ini ada dua yaitu metasentris dan submetasentris. Tanaman kontrol dan perlakuan U1T3 tidak memiliki tipe submetasentris. Tipe kromosom submetasentris tertinggi terdapat pada U2T1 dan U2T3 sebanyak 4. Dari semua perlakuan, submetasentris paling banyak terdapat pada kromosom no 11. Hal ini sama dengan penelitian Limbong (2013) pada tanaman kacang kedelai bahwa mutasi induksi UV dengan daya 10, 20, dan 30 watt dan lama penyinaran 5, 10 dan 15 menit dapat mengubah tipe kromosom.
Menurut Deleeuw et al. (2003), radiasi UV merupakan mutagen yang kuat terhadap DNA. (Menurut Lloyd (1986), induksi UV menyebabkan dimer timin yaitu terjadi ikatan kovalen antara timin dengan timin yang disebelahnya. Terjadinya ikatan kovalen dapat mengganggu aktivitas DNA.
4.2 Pengamatan Morfologi
Pengamatan morfologi terung belanda (Solanum betaceum Cav) meliputi tinggi dan jumlah daun. Tabel sidik ragam tinggi tanaman menunjukkan tidak berbeda
(33)
nyata terhadap daya UV tetapi berbeda nyata terhadap lama penyinaran UV (Lampiran 10, hal. 38). Jumlah daun tidak berbeda nyata terhadap daya UV dan lama penyinaran (Lampiran 11, hal. 39). Data pengamatan morfologi terung belanda ditampilkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Pengamatan Morfologi Terung Belanda
Daya UV Rata-rata tinggi tanaman (cm)
Waktu U0 U1 U2 U3 Rata-rata
T1 9,97 10,53 12,17 14,23 11,72a
T2 9,97 7,90 8,6 10,13 9,15b
T3 9,97 9,90 11,5 7,4 9,69ab
9,97 9,44 10,75 10,58 10,18
Daya UV Rata-rata jumlah daun
Waktu U0 U1 U2 U3 Rata-rata
T1 5 8,33 5,33 7,33 6,49
T2 5 7,00 5,00 6,66 5,90
T3 5 7,00 5,66 4,66 5,58
Rata-rata 5 7,44 5,33 6,21 5,99
Keterangan: U (daya UV), T (waktu), U0 (0 watt), U1 (10 watt), U2 (20 watt), U3 (30 watt), T1 (30 detik), T2 (60 detik) dan T3(90 detik), huruf kecil yang berbeda menyatakan berbeda nyata 5% setelah uji duncan
Berdasarkan Tabel 4.2, rata-rata tinggi tanaman paling tinggi terdapat pada perlakuan U3T1 (14,23 cm) dan terendah terdapat pada perlakuan U3T3 (7,4 cm). Rata-rata jumlah daun tertinggi terdapat pada U1T1 (8,33) dan terendah terdapat pada U3T3 (4,66). Batang tertinggi tidak mengikuti daun paling banyak, sedangkan batang terendah diikuti dengan jumlah daun yang sedikit. Hal ini terjadi karena mutasi UV terjadi secara acak dan berpengaruh terhadap perubahan fenotip sehingga hasil didapat tidak konsisten.
Daya UV yang tinggi menyebabkan penurunan tinggi tanaman dan jumlah daun. Hal ini berbeda dengan penyinaran UV pada kacang kedelai yang dilakukan oleh Limbong (2013) bahwa pengaruh peningkatan daya (30 watt) dan lama penyinaran UV (15 menit) menyebabkan peningkatan tinggi tanaman.
(34)
20
Gambar 4.2Pengaruh lama penyinaran UV terhadap rata-rata tinggi terung belanda
4.3 Intensitas Serangan Colletotrichum sp. Pada Daun
Tabel sidik ragam intensitas serangan pada daun terung belanda menunjukkan tidak berbeda nyata terhadap lama penyinaran UV tetapi berbeda nyata terhadap daya UV (Lampiran 12, hal. 40). Data intensitas serangan Colletotrichum sp. pada daun terung belanda dapat dilihat pada Tabel 4.3 di bawah ini.
Tabel 4.3 Intensitas Serangan Colletotrichum sp. Pada Daun Terung Belanda Daya UV Intensitas serangan (%)
Waktu U0 U1 U2 U3 Rata-rata
T1 32,96 8,67 18,27 7,09 16,75
T2 32,96 5,83 6,13 5,37 12,44
T3 32,96 34,55 7,69 7,22 20,61
32,96a 16,35a 10,70ab 6,56b 16,64 Keterangan: U (daya UV), T (waktu), U0 (0 watt), U1 (10 watt), U2 (20 watt), U3 (30 watt), T1 (30 detik), T2 (60 detik) dan T3(90 detik), huruf kecil yang berbeda menyatakan berbeda nyata 5% setelah uji duncan
Berdasarkan Tabel 4.3, intensitas serangan Colletotrichum sp. pada daun terung belanda tertinggi terdapat pada perlakuan U1T3 (34,55%) dan terendah pada perlakuan U3T2 (5,37%). Secara umum intensitas serangan Colletotrichum
sp. lebih tinggi pada kontrol dibandingkan dengan perlakuan UV kecuali pada
0 2 4 6 8 10 12 14
T1 T2 T3
Ra ta -ra ta t ing g i ta na m a n (cm )
Lama penyinaran UV (detik)
Ket. : T1= 30 detik T2= 60 detik T3= 90 detik
(35)
perlakuan U1T3. Sinar UV berperan terhadap ketahanan karena daya UV yang tinggi menurunkan intensitas serangan. Intensitas serangan patogen terhadap tanaman selain dipengaruhi oleh mutagen juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Menurut Soenartiningsih dan Haris (2010), intensitas serangan penyakit antraknosa dipengaruhi oleh kelembaban dan curah hujan. Menurut Semangun (1996), Cuaca yang sangat lembap membantu jamur membentuk banyak spora pada bagian tanaman sakit sehingga intensitas serangan juga meningkat.
Kurva respon rata-rata intensitas serangan Colletotrichum sp. pada daun terung belanda terhadap daya UV dapat dilihat pada Gambar 4.3. Semakin tinggi daya UV maka semakin rendah intensitas serangan Colletotrichum sp. pada daun atau sebaliknya.
Gambar 4.3Pengaruh daya UV terhadap rata-rata intensitas serangan
Colletotrichum sp. pada daun terung belanda
Menurut Semangun (1996, 2000), penyakit antraknosa oleh
Colletotrichum sp. pada daun muda menyebabkan daun mati dan pada daun dewasa menyebabkan terjadinya bercak-bercak nekrosis sampai menjadi lubang. Pada bagian-bagian bunga terjadi bintik-bintik kecil berwarna hitam dan akan menyebabkan sebagian atau seluruh kuncup bunga rontok. Serangan
Colletotrichum sp. pada daun terung belanda dapat mengurangi hasil fotosintesis karena tempat untuk fotosintesis telah berkurang akibat jaringan daun mati. Hasil fotosintesis berkurang menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas tanaman.
0 5 10 15 20 25 30 35
U0 U1 U2 U3
Ra ta -ra ta inte ns it a s ser a ng a n
Daya UV (watt)
Ket. : U0= 0 watt U1= 10 watt U2= 20 watt U3= 30 watt
(36)
22
4.4 Kadar Protein
Pengamatan kadar protein dilakukan karena kadar protein diperlukan untuk perhitungan aktivitas enzim. Tabel sidik ragam kadar protein terung belanda menunjukkan berbeda nyata pada perlakuan dan daya penyinaran UV tetapi tidak berbeda nyata terhadap lama penyinaran UV (Lampiran 13, hal. 41). Hasil pengukuran kadar protein terung belanda dapat dilihat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 Kadar Protein Terung Belanda
Daya UV Kadar Protein (µg/g ekstrak daun)
Waktu U0 U1 U2 U3 Rata-rata
T1 890,691 314,096 351,329 394,947 487,7658 T2 890,691 410,904 130,053 306,649 434,5743 T3 890,691 171,542 555,585 417,287 508,7763 890,691aA 298,8473cC 345,6557aAbB 372,961bbcC 477,0388 Keterangan: U (daya UV), T (waktu), U0 (0 watt), U1 (10 watt), U2 (20 watt), U3 (30 watt), T1 (30 detik), T2 (60 detik) dan T3(90 detik), huruf kecil yang berbeda menyatakan berbeda nyata 5% dan huruf besar yang berbeda menyatakan berbeda nyata 1% setelah uji duncan
Dari Tabel 4.4, terung belanda yang diperlakukan dengan filtrat
Colletotrichum sp. 0,125 ppm mempunyai kadar protein yang berbeda-beda pada setiap perlakuan. Pengaruh daya UV terhadap kadar protein daun terung belanda dapat dilihat pada Gambar 4.4. Kadar protein daun tanaman perlakuan UV meningkat dengan meningkatnya daya UV.
Gambar 4.4 Pengaruh daya UV terhadap rata-rata kadar protein daun terung belanda 0 200 400 600 800 1000
U0 U1 U2 U3
Ra ta -ra ta k a da r pro tein ( g /g ek st ra k da un )
Daya UV (watt)
Ket. : U0= 0 watt U1= 10 watt U2= 20 watt U3= 30 watt
(37)
Dari Tabel 4.4 dan Gambar 4.4 dapat dilihat kadar protein tertinggi terdapat pada kontrol sebesar 890,691 µg/g ekstrak daun dan terendah terdapat pada U2T2 sebesar 130,053 µg/g ekstrak daun. Hal ini terjadi karena aktivitas metabolisme protein terganggu. Metabolisme protein terganggu akibat induksi sinar UV (mutagen) sehingga kadar protein daun berkurang. Menurut Wang & John (1991), sinar UV dapat menyebabkan dimer timin. Dimer timin dapat mengurangi atau mengakhiri kemampuan struktural dan regulatory protein untuk mengikat dan berfungsi dengan baik.
4.5 Aktivitas Peroksidase
Tabel sidik ragam aktivitas peroksidase terung belanda menunjukkan tidak berbeda nyata (Lampiran 16, hal. 44). Hasil pengukuran aktivitas peroksidase dapat dilihat pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Aktivitas Peroksidase (PO) Terung Belanda Perlakuan Nilai Aktivitas PO
(Unit)
Nilai Aktivitas Spesifik PO (unit/µg protein)
U0T1 0,0091 1,026x10-5
U0T2 0,0091 1,026x10-5
U0T3 0,0091 1,026x10-5
U1T1 0,0064 2,043x10-5
U1T2 0,0074 1,819x10-5
U1T3 0,0085 4,989x10-5
U2T1 0,0062 1,777x10-5
U2T2 0,0082 6,311x10-5
U2T3 0,0112 2,026x10-5
U3T1 0,0070 1,781x10-5
U3T2 0,0045 1,491x10-5
U3T3 0,0055 1,327x10-5
Dari Tabel 4.5 dapat dilihat aktivitas PO tertinggi terdapat pada tanaman perlakuan U2T3 (0,0112 unit) dan terendah pada perlakuan U3T2 (0,0045 unit). Aktivitas spesifik PO tanaman mutan lebih tinggi dibandingkan kontrol. Aktivitas
(38)
24
spesifik tertinggi terdapat pada tanaman perlakuan U2T2 berkisar 6,311x10-5 unit/µg protein dan terendah terdapat pada tanaman kontrol berkisar 1,026x10-5 unit/µg protein. Nilai aktivitas dan nilai aktivitas spesifik PO dipengaruhi induksi UV dan patogen.
Menurut Purnama (2009), aktivitas PO meningkat jika diinduksi dengan mutagen (EMS) dan patogen. Semakin meningkat konsentrasi EMS maka semakin meningkat juga aktivitas peroksidase kalus terung belanda. Perlakuan lama perendaman EMS memberikan waktu yang fluktuatif terhadap aktivitas peroksidase.
4.6 Aktivitas Polifenol Oksidase
Tabel sidik ragam aktivitas polifenol oksidase terung belanda menunjukkan tidak berbeda nyata pada perlakuan, lama penyinaran UV dan daya UV (Lampiran 17, hal. 45). Hasil pengukuran aktivitas dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Aktivitas Polifenol Oksidase (PPO) Terung Belanda Perlakuan Nilai Aktivitas PPO
(Unit)
Nilai Aktivitas Spesifik PPO (unit/µg protein)
U0T1 0,0061 6,944x10-6
U0T2 0,0061 6,944x10-6
U0T3 0,0061 6,944x10-6
U1T1 0,0066 21,09x10-6
U1T2 0,0069 16,97x10-6
U1T3 0,0024 14,01x10-6
U2T1 0,0037 10,68x10-6
U2T2 0,0038 29,52x10-6
U2T3 0.0070 12,71x10-6
U3T1 0,0033 8,461x10-6
U3T2 0,0024 8,125x10-6
U3T3 0,0020 4,987x10-6
Dari Tabel 4.6 dapat dilihat nilai aktivitas dan nilai aktivitas spesifik PPO pada terung belanda dengan perlakuan UV dan kontrol berbeda satu sama lain.
(39)
Aktivitas PPO tertinggi terdapat pada perlakuan U2T3 (0,0070 unit) dan terendah pada U3T3 (0,0020 unit). Untuk aktivitas spesifik enzim PPO terdapat pada perlakuan U2T2 (29,52x10-6 unit/µg protein) dan terendah pada U3T3 (4,987x 10-6 unit/µg protein). Daya penyinaran UV yang tinggi (30 watt) dan lama penyinaran yang tinggi (90 detik) menurunkan aktivitas enzim dan aktivitas spesifik enzim PO dan PPO. Tinggi rendahnya aktivitas enzim PPO dipengaruhi faktor luar seperti induksi UV dan serangan patogen Colletotrichum sp. Aktivitas spesifik enzim PPO dipengaruhi kadar protein. Semakin tinggi kadar protein tanaman maka semakin rendah aktifitas spesifiknya.
Induksi mutasi UV pada terung belanda mempengaruhi aktivitas polifenol oksidase. Menurut Micke 1996; Silverio et al. 2007 dalam Yanti 2011, mutagen dapat menyebabkan perubahan DNA sehingga struktur gen mengalami perubahan, yang menimbulkan: 1) perubahan pada aktivitas enzim 2) perubahan DNA sehingga enzim gagal disintesis.
Dari perbandingan Tabel 4.3, Tabel 4.5 dan Tabel 4.6, aktivitas enzim PO dan PPO terhadap intensitas serangan sejalan. Semakin rendah intensitas serangan maka semakin rendah juga aktivitas PO dan PPO. Menurut Julhasratman (2012), peningkatan aktivitas PPO dalam jaringan tanaman terserang penyakit sejalan dengan bertambah luasnya serangan, makin parah serangan maka jumlah sel yang terangsang menghasilkan PPO akan semakin banyak. Menurut Santoso (2010), kekurangan jumlah dan aktivitas PO dan PPO juga disebabkan kelainan genetik, kekurangan gizi atau toksin.
Menurut Agrios (1996), beberapa senyawa fenolik dan hasil oksidasinya menghasilkan ketahanan terhadap penyakit melalui reaksi penghambatan terhadap enzim pektinolitik dan enzim patogen lain, tetapi bukan terhadap patogen itu sendiri. Pada beberapa penyakit, jaringan yang lebih tahan kandungan polifenol lebih tinggi. Fenol tersebut menghambat enzim pektinolitik dan memberi peranan dalam ketahanan terhadap patogen.
(40)
26
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
a. Induksi sinar UV pada terung belanda berpengaruh terhadap tinggi tanaman, ukuran dan tipe kromosom tetapi tidak untuk jumlah daun dan jumlah kromosom (12n).
b. Tanaman yang tahan terhadap Colletorichum sp. adalah perlakuan U3T2. Tanaman perlakuan ini mempunyai aktivitas enzim PO dan PPO yang rendah.
5.2 Saran
a. Perlu adanya penelitian pengaruh UV dan induksi Colletotrichum sp. terhadap terung belanda pada tingkat DNA
b. Perlu adanya penelitian pengaruh UV dan induksi Colletotrichum sp. terhadap ketebalan daun, fotosintesis dan respirasi terung belanda.
(41)
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Edisi ke-3. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. Edition 5. San Diego Academic Press. Alexopoulus, C. J. 1907. Mycology. Third edition. John Wiley & Sons. US. Bradford, M.M. 1976. A Rapid and Sensitive Methode For The Kuantitation Of Microgram Quantities Of Protein Utilizing The Principle Of Protein-Dye Binding. Anal. Biochem. 72: 248-254.
Cahyonugroho, O.H. 2010. Pengaruh Intensitas Ultra Violet dan Pengadukan terhadap Reduksi Jumlah Bakteri E. coli. Jurnal Ilmu Teknik Lingkungan. 2(1): 19.
Daryono, B.S. 1998. Pengaruh Kolkisin Terhadap Pembentukan Sel-Sel Melon Tetraploid. Buletin Agro Industri. 5: 2-11.
Elimasni. 2010. Regenerasi Tanaman Terung Belanda (Solanum betaceum Cav) Hasil Metagenesis In Vitro Melalui Pembentukan Embriosomatik dalam Produksi Bibit Unggul. Laporan Penelitian Lembaga Penelitian USU. Gardjito, M., Mochamad A. dan Tranggono. 2006. Etilen Luka Aktivitas Enzim Peroksidase, Polifenol Oksidase dan Fenil Alanin Liase pada Irisan Mesokarp Labu Kuning. Majalah Ilmu dan teknologi Pertaniaan. 16(1): 14.
Ginting, S.R. 2010. Mutasi Induksi Caladium bicolor (W.Ait) Vent. Menggunakan Sinar Ultra Violet. [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Galston, A.W. and D.J. Davies. 1970. Control Mechanisms in Plant Development. Prentice-Hall, Inc. Engliword Clifs. New Jersey.
Harten, A.M.V. 1998. Mutation Breeding: Theory and Practical Application. Cambridge University Press. New York.
Indah, M. 2004. Enzim. Medan: Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
Irawan, B. 2008. Genetika Molekuler. Airlangga University Press. Surabaya. Julhasratman. 2012. Enzim Polifenol Oksidase dan Mekanisme Resistensi. http://julhasratman.blogspot.com/2012/01/. Diakses tanggal 23 Februari, 2012.
(42)
28
Kar, M. and D. Mishra. 1976. Catalase, Peroksidase, and Polyphenoloxidase Activities During Rice Leaf Senescence. Plant Physiol. 57: 315-319. Kumalaningsih, S. dan Suprayogi. 2006. Tamarillo (Terung Belanda). Cetakan 1. Trubus Agrisarana. Surabaya.
Limbong, R. 2013. Analisis Pertumbuhan dan Kariotipe kacang Kedelai (Glycine max L.) Setelah Diinduksi Sinar UV. [Skripsi]. Medan. Universitas Sumatera Utara.
Lloyd, J.R. 1986. Genes and Chromosomes. Macmillan Education LTD. London. Martoharsono, S. 1998. Biokimia. Jilid 1. Cetakan 15. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
McGilvery dan Gerald W.G. 1996. Biokimia Suatu Pendekatan Fungsional. Edisi ke 3. Airlangga University Press. Virginia.
Nasir, M. 2002. Bioteknologi, Potensi dan Keberhasilan dalam Bidang Pertanian. PT. Raja Gravindo Persada. Jakarta.
Purnama, S.W. 2009. Aktivitas Enzim Peroksidase dan Polifenol Oksidase Pada Kalus Terung Belanda (Solanum betaceum Cav) Setelah Diinduksi EMS (Ethyl Methane Sulphonate). [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Salisbury, F.B. dan Cleon, W.R. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 2. Penerbit ITB. Bandung.
Santoso. 2010. Enzimologi. Edisi 2010. Semarang.
Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Cetakan 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. University Press. Yogyakarta.
Shahib, M.N. 1992. Pemahaman Seluk Beluk Biokimia Dan Penerapan Enzim. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Sinaga, I.L.H. 2009. Skrining Fitokimia dan Uji Aktivatas Antioksidan dari Ekstrak Etanol Buah Terong Belanda (Solanum beaceum Vac). [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Setiawan, A. 2012 terhadap-mutasi-gen.html. Diakses tanggal 20 Juni, 2013.
(43)
Steel, G.D. dan Torrie J.H. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistik (Suatu Pendekatan Biometrik Alih Bahasa: Sumantri, B.). Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Soenartiningsih dan Haris T. 2010. Intensitas Serangan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum sp) Pada Varietas/Galur dan Hasil Sorgum.
Suntoro, S.H. 1983. Metode Pewarnaan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
Supriharti, D., Elimasni, dan Emita, S. 2007. Identifikasi Kariotipe Terung Belanda (Solanum betaceum Cav) Kultivar Berastagi Sumatera Utara. Jurnal Biologi Sumatera. 2(1): 8.
Tjahjadi, N. 1989. Hama dan Penyakit Tanaman. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Tjitrosoepomo, G. 2003. Taksonomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tubagus, D.P.K. 2007. Pemanfaatan Tepung Kulit Buah Terong Belanda (Cyphomandra betacea) Fermentasi (Aspergillus niger) Terhadap Produksi Telur Burung Puyuh (Coturnix-coturnix japonica). [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Wahyuni, S. 2011. Pengendalian Serangan Colletotrichum sp Pada tanaman Kakao (Theobroma cacao L) Menggunakan Isolat Bakteri Kitinolitik. Tesis. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Wang, C. dan John S.T. 1991. Site-specific Effect Of Thymine Dimer Formation On dAn.dTn Tract Bending And Its Biological Implications. Proc.Natl.Acad.Sci.USA. 88: 9075.
Warianto, C. 2011. Mutasi. hal. 1. Indonesia/Mutasi_ChaidarWarianto_17.pdf
Widiyanto, S.N.M. 1992. Enzymatic Change In Rice Callus lines To Picolinic Acid. Dissertation. Colorodo State University. USA.
Yanti, Y. 2011. Aktivitas Peroksidase Mutan Pisang Kapok dengan Ethyl Methane Sulphanate (EMS) Secara In Vitro. Jurnal Natur Indonesia. 14(1):32.
Zul, D., Chainulfiffah, A., dan Irma, F. 2003. Mutagenesis pada Kuyveromyces
marxianus T-2 Penghasil Inulinase Ekstraselular dengan Ultra Violet. Jurnal Natur Indonesia. 6(1): 28.
Deleeuw, R., Aleisha H., Kevin L., Eva T., & Justin W. 2003. UV Intensity and Duration Of Exposure Affects The Reversion Of HisG46 In Salmonella Typhimirium TA100. JEMI. 3: 60.
(44)
30
Lampiran 1. Alur Kerja Persiapan dan Penanaman Biji Terung Belanda
dikering anginkan dipilih biji yang baik
dikecambahkan selama 1 minggu
diperlakukan dengan sinar UV sesuai dengan uraian metode penelitian dan dibiarkan 1 hari ditempat yang gelap
ditanam dalam polibag dengan media
kompos : pasir : humus (1:1:1)
Lampiran 2. Alur Kerja Perlakuan Tanaman Terung Belanda dengan Filtrat Colletotrichum sp.
Dillakukan penyemprotan filtrat Colletotrichum sp. Secara bertahap dangan konsentrasi 0,025, 0,050, 0,075, 0,100, dan 0,125 ppm
Diamati intensitas serangan pada daun Biji Terung Belanda
Kecambah Terung Belanda
Hasil
Hasil
(45)
Lampiran 3. Alur Kerja Pengamatan Kromosom
dipotong akarnya sepanjang 1 cm dan difiksatif dengan asam asetat 45% dimasukkan ke dalam lemari pendingin selama 15 menit
dibilas dengan akuades
dihidrolisis dengan HCl 1N yang telah dipanaskan pada suhu 500C selama 30 detik
dimasukkan ke dalam pewarna acetocarmin selama 30 menit
diletakkan akar diatas objek gelas, ditetesi dengan gliserin dan ditutup dengan gelas penutup
dipencet hingga akar hancur
diamati dibawah mikroskop dan difoto perbesaran 1000X
diolah hasil foto secara komputerisasi dengan Photoshop CS3
L
Kecambah Terung Belanda
(46)
32
Lampiran 4. Alur Kerja Pembuatan Kurva Standard BSA
Dibuat konsentrasi 0; 3; 6; 9; 1,2; dan 1,5 g/ml Diambil 0,1 ml dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi sesuai dengan konsentrasinya
Ditambahkan reagen Quick Start Bradford sebanyak 5 ml
Dihomogenkan
Dimasukkan kedalam kuvet Spektrofotometer Diukur absorbasi pada panjang gelombang 595 nm
Ditentukan persamaan garis regresi kurva standar larutan protein dengan metode teast square
BSA
Larutan
Absorbansi
(47)
Lampiran 5. Alur Kerja Ekstraksi Daun
Diambil 0,2 g
Ditambahkan nitrogen cair secukupnya
Digerus
Dihomogenkan dengan 2 ml buffer Tris HCl 0,05 M, pH8 dan Triton X 100 0,15 % Disentrifuse dengan
kecepatan 14.000 rpm suhu 00C selama 20 menit
Alur Kerj
Lampiran 6. Alur Kerja Determinasi Protein
Diambil sebanyak 0,1 ml
Dimasukkan kedalam tabung reaksi
Dicampur dengan 5 ml larutan reagen Quick Start Bradford
Dihomogenkan dan didiamkan 5 menit
Diukur Absorbasinya pada panjang gelombang 595 nm
Daun
Larutan
Endapan Protein Daun
Ekstrak Daun
(48)
34
Lampiran 7. Alur Kerja Penentuan Aktivitas Peroksidase (PO)
Ditambahkan 5ml pyrogallol10 mM Ditambahkan 0,1 ml buffer fosfat 0,1mM, pH 6,8 dan suhu 250C
Ditambahkan 0,1 ml H2O2 10 mM Didiamkan selama 5 menit
Ditambahkan 0,5 ml H2SO4 5% (v/v) untuk menghentikan reaksi
Dimasukkan kedalam kuvet spektrofotometer
Diukur pada panjang gelombang 420 nm
Lampiran 8. Alur Kerja Penentuan Aktivitas Polifenol Oksidase (PPO)
Ditambahkan 5 ml Pyrogallol 10 mM Ditambahkan 0,1 ml buffer fosfat 0,1 mM, pH 6,8 dan suhu 250C
Didiamkan selama 5 menit
Ditambahkan 0,5 ml H2SO4 5% (v/v) untuk menghentikan reaksi
Dimasukkan kedalam kuvet spektrofotometer
Diukur pada panjang gelombang 420 nm 30 l Ekstrak Daun
Absorbansi
70 l Ekstrak Daun
(49)
Lampiran 9. Data Mentah Morfologi Tanaman
Minggu ke-1
Perlakuan Ulangan
1 2 3
Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumla h Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun
U0T1 3,0 2 3,4 4 3,8 3
U0T2 3,0 2 3,4 4 3,8 3
U0T3 3,0 2 3,4 4 3,8 3
U1T1 2,8 4 2,9 4 3,1 4
U1T2 2,9 4 2,7 3 4,0 4
U1T3 3,0 1 3,0 3 2,9 2
U2T1 3,1 3 4,6 4 4,8 4
U2T2 3,4 5 3,2 4 2,8 2
U2T3 4,6 3 4,2 4 4,1 4
U3T1 3,1 3 3,9 4 4,2 4
U3T2 3,6 3 4,0 4 4,0 5
U3T3 2,9 3 3,7 3 3,4 3
Minggu ke-2
Perlakuan Ulangan
1 2 3
Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun
U0T1 3,4 3 4,0 3 4,6 3
U0T2 3,4 3 4,0 3 4,6 3
U0T3 3,4 3 4,0 3 4,6 3
U1T1 4,0 4 4,8 4 5,0 3
U1T2 3,8 3 3,0 3 5,2 4
U1T3 4,1 4 3,8 4 4,0 2
U2T1 4,7 3 6,0 4 6,0 5
U2T2 4,8 4 4,8 4 3,0 3
U2T3 5,0 4 5,4 4 5,4 4
U3T1 4,0 3 5,2 4 5,2 5
U3T2 5,0 3 5,0 4 5,0 5
(50)
36
Minggu ke-3
Perlakuan Ulangan
1 2 3
Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun
U0T1 4,1 4 5,0 4 5,0 3
U0T2 4,1 4 5,0 4 5,0 3
U0T3 4,1 4 5,0 4 5,0 3
U1T1 4,7 5 5,3 3 6,8 4
U1T2 4,0 4 3,5 5 4,8 3
U1T3 4,7 5 4,8 4 6,0 4
U2T1 5,6 4 7,0 4 8,0 6
U2T2 5,0 5 5,0 5 3,3 4
U2T3 6,0 5 5,5 5 6,7 5
U3T1 4,5 4 5,7 5 6,9 5
U3T2 6,5 4 5,3 4 6,0 6
U3T3 4,3 3 5,4 3 5,9 3
Minggu ke-4
Perlakuan Ulangan
1 2 3
Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun
U0T1 4,3 4 6,2 4 6,0 4
U0T2 4,3 4 6,2 4 6,0 4
U0T3 4,3 4 6,2 4 6,0 4
U1T1 5,0 5 5,5 4 7,2 5
U1T2 4,4 5 4,5 5 - -
U1T3 5,5 5 4,9 4 6,7 4
U2T1 6,1 5 7,1 5 9,0 6
U2T2 5,4 5 5,6 5 4,0 4
U2T3 6,2 5 7,1 6 7,0 4
U3T1 5,4 5 6,7 5 8,0 5
U3T2 7 3 5,5 5 7,0 6
(51)
Minggu ke-5
Perlakuan Ulangan
1 2 3
Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun
U0T1 4,4 3 7,9 5 7,0 5
U0T2 4,4 3 7,9 5 7,0 5
U0T3 4,4 3 7,9 5 7,0 5
U1T1 6,2 6 6,0 5 8,2 5
U1T2 4,9 5 5,0 4 - -
U1T3 7,1 6 5,1 4 7,8 5
U2T1 7,5 7 8,2 6 10,9 7
U2T2 6,1 5 6,5 4 4,8 5
U2T3 7,0 6 9,5 6 7,5 4
U3T1 9,6 7 8,6 6 7,2 3
U3T2 7,5 4 6,1 5 8,5 6
U3T3 5,5 5 5,6 3 6,8 4
Minggu ke-6
Perlakuan Ulangan
1 2 3
Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun
U0T1 6,0 4 9,3 6 7,5 5
U0T2 6,0 4 9,3 6 7,5 5
U0T3 6,0 4 9,3 6 7,5 5
U1T1 6,9 7 7,5 6 9 5
U1T2 5,1 7 5,8 4 - -
U1T3 8,5 6 5,5 4 8,1 6
U2T1 8,4 8 8,9 7 10,6 7
U2T2 6,0 7 6,0 4 5,5 3
U2T3 8,0 6 12 8 7,6 5
U3T1 10 7 8,5 6 11 8
U3T2 7,0 4 6,3 5 10,5 7
(52)
38
Minggu ke-7
Perlakuan Ulangan
1 2 3
Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun
U0T1 6,5 4 11,5 8 7,8 4
U0T2 6,5 4 11,5 8 7,8 4
U0T3 6,5 4 11,5 8 7,8 4
U1T1 8,5 7 8,5 5 9,2 3
U1T2 7,8 8 6,0 4 - -
U1T3 9,0 6 5,8 5 8,7 6
U2T1 9,0 6 10,1 6 11,8 5
U2T2 6,1 4 8,0 6 6,0 3
U2T3 8,2 5 13,3 9 9,0 4
U3T1 10,2 8 11,0 6 13 8
U3T2 8,1 6 7,0 5 13,8 7
U3T3 5,7 4 6,1 5 8,4 4
Minggu ke-8
Perlakuan Ulangan
1 2 3
Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun Tinggi Tanaman Jumlah Daun
U0T1 8,4 4 13,5 6 8,0 5
U0T2 8,4 4 13,5 6 8,0 5
U0T3 8,4 4 13,5 6 8,0 5
U1T1 11,5 9 10,2 11 9,9 5
U1T2 8,8 8 7,0 6 - -
U1T3 13 7 6,2 7 10,5 7
U2T1 9,3 3 12,7 8 14,5 5
U2T2 6,2 3 11,0 7 - -
U2T3 9,8 6 14,6 5 10,1 6
U3T1 13,6 5 15,1 10 14 7
U3T2 8,4 7 8,0 7 14 6
(53)
Lampiran 10. Data Tinggi Tanaman Pada Minggu Terakhir
Perlakuan Ulangan Total
1 2 3
U0T1 8,4 13,5 8 29,9
U0T2 8,4 13,5 8 29,9
U0T3 8,4 13,5 8 29,9
U1T1 11,5 10,2 9,9 31,6
U1T2 8,8 7 - 15,8
U1T3 13 6,2 10,5 29,7
U2T1 9,3 12,7 14,5 36,5
U2T2 6,2 11 - 17,2
U2T3 9,8 14,6 10,1 34,5
U3T1 13,6 15,1 14 42,7
U3T2 8,4 8 14 30,4
U3T3 5,8 7 9,4 22,2
Data Tinggi Tanaman Minggu Terakhir Setelah Transformasi (Y+0,5)0,5
Perlakuan Ulangan Total
1 2 3
U0T1 2,98 3,74 2,91 9,63
U0T2 2,98 3,74 2,91 9,63
U0T3 2,98 3,74 2,91 9,63
U1T1 3,46 3,27 3,22 9,95
U1T2 3,04 2,74 0,71 6,49
U1T3 3,67 2,59 3,32 9,58
U2T1 3,13 3,63 3,87 10,63
U2T2 2,59 3,39 0,71 6,69
U2T3 3,21 3,89 3,25 10,35
U3T1 3,75 3,95 3,81 11,51
U3T2 2,98 2,91 3,81 9,7
U3T3 2,51 2,74 3,15 8,4
Tabel Sidik Ragam RALF 4x3x3 Tinggi Tanaman Minggu Terakhir Setelah Transformasi (Y+0,5)0,5
SK DB JK KT Fh 5% 1%
Perlakuan 11 8,08 0,73 1,74tb 2,22 3,09
U 3 0,83 0,28 0,67tb 3,01 4,72
T 2 3,58 1,79 4,26* 3,40 5,61
Kudratik 1 1,45 1,45 3,45tb 4,26 7,82
Linier 1 0,18 0,18 0,43tb 4,26 7,82
(54)
40
Galat 24 10,22 0,42 - - -
Keterangan: tb ( tidak berbeda nyata), * (berbeda nyata) Lampiran 11. Data Jumlah Daun Minggu Terakhir
Perlakuan Ulangan Total
1 2 3
U0T1 4 6 5 15
U0T2 4 6 5 15
U0T3 4 6 5 15
U1T1 9 11 5 25
U1T2 8 6 - 14
U1T3 7 7 7 21
U2T1 3 8 5 16
U2T2 3 7 - 10
U2T3 6 5 6 17
U3T1 5 10 7 22
U3T2 7 7 6 20
U3T3 5 4 5 14
Total 65 83 56 204
Data Jumlah Daun Minggu Terakhir Setelah Transformasi (Y+0,5)0,5
Perlakuan Ulangan Total
1 2 3
U0T1 2,12 2,55 2,34 7,01
U0T2 2,12 2,55 2,34 7,01
U0T3 2,12 2,55 2,34 7,01
U1T1 3,08 3,39 2,34 8,81
U1T2 2,91 2,55 0,71 6,17
U1T3 2,74 2,74 2,74 8,22
U2T1 1,87 2,91 2,34 7,12
U2T2 1,87 2,74 0,71 5,32
U2T3 2,55 2,34 2,55 7,44
U3T1 2,34 2,24 2,74 8,32
U3T2 2,74 2,74 2,55 8,03
U3T3 2,34 2,12 2,34 6,80
Tabel Sidik Ragam RALF 4x3x3 Jumlah Daun Setelah Transformasi (Y+0,5)0,5
SK DB JK KT Fh 5% 1%
Perlakuan 11 64,66 5,87 1,26tb 2,22 3,09
U 3 22,88 7,62 1,64tb 3,01 4,72
T 2 15,16 7,58 1,63tb 3,40 5,61
Kudratik 1 0,25 0,25 0,05tb 4,26 7,82
Linier 1 3,2 3,20 0,68tb 4,26 7,82
(55)
Galat 24 111,36 4,64 - - - Keterangan: tb ( tidak berbeda nyata)
Lampiran 12. Data Intensitas Serangan Pada Daun Setelah Penyemprotan 0,125 ppm (%)
Perlakuan Ulangan Total
1 2 3
U0T1 17,77 70 11,11 98,88
U0T2 17,77 70 11,11 98,88
U0T3 17,77 70 11,11 98,88
U1T1 5,71 8,88 11,42 26,01
U1T2 - 15 2,5 17,5
U1T3 66,66 12 25 103,66
U2T1 14 33,32 22 54,82
U2T2 6,66 8,88 2,85 18,39
U2T3 8,57 2 12,5 23,07
U3T1 7 14,26 - 21,26
U3T2 5 8,88 2,22 16,10
U3T3 6,66 2,5 12,5 21,66
Data Hasil Transformasi Sin-1 Intensitas Serangan Pada Daun Setelah Penyemprotan 0,125 ppm
Perlakuan Ulangan Total
1 2 3
U0T1 24,93 56,79 19,47 101,19
U0T2 24,93 56,79 19,47 101,19
U0T3 24,93 56,79 19,47 101,19
U1T1 13,82 17,26 19,75 50,83
U1T2 3,00 22,79 9,10 34,89
U1T3 54,73 20,27 30,00 105
U2T1 21,97 35,26 15,89 73,12
U2T2 14,95 17,34 9,72 42,01
U2T3 17,02 8,13 20,70 45,85
U3T1 15,34 22,19 3,00 40,53
U3T2 12,92 17,34 8,53 38,79
U3T3 14,95 9,10 20,70 44,75
Tabel Sidik Ragam RALF 4x3x3 Intensitas Serangan
SK DB JK KT Fh 5% 1%
Perlakuan 11 3097,84 281,62 2,04tb 2,22 3,09
U 3 1999,34 666,45 4,10* 3,01 4,72
T 2 270,40 135,20 0,83tb 3,40 5,61
Kuadratik 1 360,43 360,43 2,22tb 4,26 7,82
Linier 1 4036,21 4036,21 24,85** 4,26 7,82
Interaksi 6 828,10 138,02 0,85tb 2,51 3,67
(56)
42
Keterangan: tb ( tidak berbeda nyata), * (berbeda nyata), ** (sangat berbeda nyata)
Lampiran 13. Data Kadar Protein
Perlakuan Ulangan Total
1 2 3
U0T1 1,071 1,012 0,545 2,628
U0T2 1,071 1,012 0,545 2,628
U0T3 1,071 1,012 0,545 2,628
U1T1 0,165 0,386 0,452 1,003
U1T2 - 0,53 0,321 0,851
U1T3 0,307 0,162 0,13 0,599
U2T1 0,444 0,35 0,313 1,107
U2T2 0,119 0,194 0,169 0,482
U2T3 0,565 0,571 0,546 1,682
U3T1 0,227 0,594 - 0,821
U3T2 0,228 0,387 0,367 0,982
U3T3 0,389 0,527 0,377 1,293
Data Kadar Protein Setelah Transformasi (Y+0,5)0,5
Perlakuan Ulangan Total
1 2 3
U0T1 1,253 1,23 1,022 3,505
U0T2 1,253 1,23 1,022 3,505
U0T3 1,253 1,23 1,022 3,505
U1T1 0,815 0,941 0,976 2,732
U1T2 0,707 1,014 0,906 2,627
U1T3 0,898 0,814 0,793 2,505
U2T1 0,971 0,922 0,902 2,795
U2T2 0,787 0,833 0,818 2,438
U2T3 1,032 1,035 1,023 3,09
U3T1 0,853 1,046 0,707 2,606
U3T2 0,853 0,942 0,931 2,726
U3T3 0,943 1,013 0,936 2,892
Tabel Sidik Ragam RALF 4x3x3 Kadar Protein
SK DB JK KT Fh 5% 1%
Perlakuan 11 0,577 0,052 5,77** 2,22 3,09
U 3 0,484 0,161 17,88** 3,01 4,72
T 2 0,020 0,010 1,11tb 3,40 5,61
Kuadratik 1 0,407 0,407 45,22** 4,26 7,82
Linier 1 0,514 0,514 57,11** 4,26 7,82
Interaksi 6 0,073 0,073 8,10** 2,51 3,67
(57)
Keterangan: tb ( tidak berbeda nyata), * (berbeda nyata), ** (sangat berbeda nyata)
Lampiran 14. Kurva Standard dan Persamaan Garis Regresi Kurva BSA (Bovine Serum Albumine)
X Y XY X² Y²
0 0 0 0 0
125 0,15 18,75 15625 0,0225
250 0,30 75,00 62500 0,0900
500 0,55 275,0 250000 0,3025
750 0,75 562,5 562500 0,5625
1000 0,95 950,0 1000000 0,9025
ƩX= 2625 ƩY=2,70 ƩXY = 1881,25 ƩX²= 1890625 ƩY² = 1,88
= 437,5 =0,45
r =
r = 0,9833 r2= 0,966
b = = 0,00094
-a = 0,03875
Maka, persamaan regresinya adalah Y = 0,03875 + 0,00094X
y = 0,00094x + 0,03875 R² = 0,966
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2
0 200 400 600 800 1000 1200
Y
(
Ab
so
rb
a
n
si
)
X (Konsentrasi)
Y Linear (Y)
(58)
44
Lampiran 15. Kurva Standard dan Persamaan Garis Regresi Kurva Pyrogallol
X Y XY X² Y²
0 0 0 0 0
3 0,321 0,963 9 0,103
6 0,548 3,288 36 0,300
9 0,624 5,616 81 0,389
12 0,660 7,920 144 0,436
ƩX= 30 ƩY= 2,153 ƩXY = 17,787 ƩX²= 270 ƩY² = 1,228
= 6
= 0,4306
r =
r = = 0,953
r2= 0,875
b = =
b = 0,0541
- = 0,4306 – (0,0541 x 6) a = 0,106
y = 0,0541x + 0,106 R² = 0,875
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8
0 5 10 15
Y (Ab so rb a n si ) X (Konsentrasi) Y Linear (Y)
(59)
Maka, persamaan regresinya adalah Y = 0,106 + 0,0541X
Lampiran 16. Data Pengukuran Aktivitas Peroksidase (PO) dengan Sfektrofotometer Pada Panjang Gelombang 420 nm
Perlakuan Ulangan Total Rata-rata
1 2 3
U0T1 0,440 0,507 0,307 1,254 0,418
U0T2 0,440 0,507 0,307 1,254 0,418
U0T3 0,440 0,507 0,307 1,254 0,418
U1T1 0,333 0,247 0,394 0,974 0,325
U1T2 - 0,423 0,299 0,722 0,361
U1T3 0,540 0,278 0,375 1,193 0,398
U2T1 0,366 0,308 0,284 0,958 0,319
U2T2 0,282 0,359 0,516 1,157 0,386
U2T3 0,537 0,598 0,335 1,470 0,490
U3T1 0,341 0,352 - 0,6930 0,346
U3T2 0,142 0,352 0,293 0,787 0,262
U3T3 0,305 0,281 0,299 0,885 0,295
Data Pengukuran Aktivitas Peroksidase dengan Sfektrofotometer Pada Panjang Gelombang 420 nm Setelah Transformasi (Y+0,5)0,5
Perlakuan Ulangan Total Rata-rata
1 2 3
U0T1 0,969 1,003 0,898 2,87 0,957
U0T2 0,969 1,003 0,898 2,87 0,957
U0T3 0,969 1,003 0,898 2,87 0,957
U1T1 0,913 0,864 0,945 2,722 0,907
U1T2 0,707 0,961 0,894 2,562 0,854
U1T3 1,020 0,882 0,935 2,837 0,946
U2T1 0,930 0,899 0,885 2,714 0,905
U2T2 0,884 0,927 1,008 2,819 0,940
U2T3 1,018 1,048 0,914 2,98 0,993
U3T1 0,917 0,923 0,707 2,547 0,849
U3T2 0,801 0,923 0,890 2,614 0,871
U3T3 0,897 0,884 0,890 2,671 0,890
Tabel Sidik Ragam RALF 4X3X3 PO Setelah Transformasi (Y+0,5)0,5
SK DB JK KT Fh 5% 1%
Perlakuan 11 0,071 6,45x10-3 1,269tb 2,22 3,09
U 3 0,044 0,0146 2,872tb 3,01 4,72
T 2 0,014 7x10-3 1,377tb 3,40 5,61
Kudratik 1 0,002 0,002 0,393tb 4,26 7,82
Linier 1 0,047 0,047 9,246** 4,26 7,82
Interaksi 6 0,013 2,16x10-3 0,426tb 4,51 3,67
(60)
46
Keterangan: tb ( tidak berbeda nyata), * (berbeda nyata), ** (sangat berbeda nyata)
Lampiran 17. Data Pengukuran Aktivitas Polifenol Oksidase (PPO) dengan Sfektrofotometer Pada Panjang Gelombang 420 nm
Perlakuan Ulangan Total Rata-rata
1 2 3
U0T1 0,388 0,402 0,161 0,951 0,317
U0T2 0,388 0,402 0,161 0,951 0,317
U0T3 0,388 0,402 0,161 0,951 0,317
U1T1 0,791 0,046 0,158 0,995 0,331
U1T2 - 0,228 0,052 0,280 0,140
U1T3 0,291 0,124 0,150 0,565 0,188
U2T1 0,227 0,273 0,203 0,703 0,234
U2T2 0,205 0,195 0,312 0,712 0,237
U2T3 0,403 0,383 0,256 1,042 0,347
U3T1 0,224 0,217 - 0,441 0,220
U3T2 0,232 0,186 0,155 0,573 0,191
U3T3 0,182 0,156 0,193 0,531 0,177
Data Pengukuran Aktivitas Polifenol Oksidase dengan Sfektrofotometer Pada Panjang Gelombang 420 nm Setelah Transformasi (Y+0,5)0,5
Perlakuan Ulangan Total Rata-rata
1 2 3
U0T1 0,942 0,950 0,813 2,705 0,902
U0T2 0,942 0,950 0,813 2,705 0,902
U0T3 0,942 0,950 0,813 2,705 0,902
U1T1 1,136 0,739 0,811 2,686 0,895
U1T2 0,707 0,853 0,743 2,303 0,768
U1T3 0,889 0,790 0,806 2,485 0,828
U2T1 0,853 0,879 0,838 2,570 0,857
U2T2 0,840 0,834 0,901 2,575 0,858
U2T3 0,950 0,940 0,869 2,759 0,920
U3T1 0,850 0,847 0,707 2,404 0,801
U3T2 0,855 0,828 0,809 2,492 0,831
U3T3 0,826 0,810 0,832 2,468 0,823
Tabel Sidik Ragam RALF 4X3X3 PPO Setelah Transformasi (Y+0,5)0,5
SK DB JK KT Fh 5% 1%
Perlakuan 11 0,0750 0,0068 1,000tb 2,22 3,09
U 3 0,0420 0,0140 2,059tb 3,01 4,72
T 2 0,0050 0,0025 0,368tb 3,40 5,61
Kudratik 1 0,0006 0,0006 0,088tb 4,26 7,82
Linier 1 0,0415 0,0415 6,103* 4,26 7,82
(61)
Galat 24 0,1640 0,0068 - - - Keterangan: tb ( tidak berbeda nyata), * (berbeda nyata)
Lampiran 18. Data Kadar Protein
Dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi, yaitu Y = a+bX Dimana nilai a = 0,03875
b = 0,00094 maka, X = =
BSA PROTEIN
Konsentrasi Absorbansi Perlakuan Absorbansi Kadar protein
0 0 U0T0 0,876 890,691
125 0,15 U1T1 0,334 314,096
250 0,30 U1T2 0,425 410,904
500 0,55 U1T3 0,200 171,542
750 0,75 U2T1 0,369 351,329
1000 0,95 U2T2 0,161 130,053
U2T3 0,561 555,585
U3T1 0,410 394,947
U3T2 0,327 306,649
U3T3 0,431 417,287
Lampiran 19. Data Nilai Aktivitas Enzim PO dan PPO
Pyrogallol Perlakuan PO PPO
Konsentrasi ABS ABS Unit Unit/µg
protein
ABS Unit Unit/µg
protein
0 0 U0T0 0,418 0,0091 1,026x10-5 0,317 0,0061 6,944x10-6
3 0,321 U1T1 0,325 0,0064 2,043x10
-5
0,332 0,0066 2,109x10-5
6 0,548 U1T2 0,361 0,0074 1,819x10-5 0,344 0,0069 1,697x10-5
9 0,624 U1T3 0,398 0,0085 4,989x10
-5
0,188 0,0024 1,401x10-5
12 0,660 U2T1 0,319 0,0062 1,777x10-5 0,234 0,0037 1,068x10-5
U2T2 0,386 0,0082 6,311x10-5 0,237 0,0038 2,952x10-5
U2T3 0,490 0,0112 2,026x10-5 0,347 0.0070 1,271x10-5
U3T1 0,346 0,0070 1,781x10-5 0,220 0,0033 8,461x10-6
U3T2 0,262 0,0045 1,491x10
-5
(1)
Keterangan: tb ( tidak berbeda nyata), * (berbeda nyata), ** (sangat berbeda
nyata)
Lampiran 17. Data Pengukuran Aktivitas Polifenol Oksidase (PPO) dengan
Sfektrofotometer Pada Panjang Gelombang 420 nm
Perlakuan Ulangan Total Rata-rata
1 2 3
U0T1 0,388 0,402 0,161 0,951 0,317
U0T2 0,388 0,402 0,161 0,951 0,317
U0T3 0,388 0,402 0,161 0,951 0,317
U1T1 0,791 0,046 0,158 0,995 0,331
U1T2 - 0,228 0,052 0,280 0,140
U1T3 0,291 0,124 0,150 0,565 0,188
U2T1 0,227 0,273 0,203 0,703 0,234
U2T2 0,205 0,195 0,312 0,712 0,237
U2T3 0,403 0,383 0,256 1,042 0,347
U3T1 0,224 0,217 - 0,441 0,220
U3T2 0,232 0,186 0,155 0,573 0,191
U3T3 0,182 0,156 0,193 0,531 0,177
Data Pengukuran Aktivitas Polifenol Oksidase dengan Sfektrofotometer
Pada Panjang Gelombang 420 nm Setelah Transformasi (Y+0,5)
0,5Perlakuan Ulangan Total Rata-rata
1 2 3
U0T1 0,942 0,950 0,813 2,705 0,902
U0T2 0,942 0,950 0,813 2,705 0,902
U0T3 0,942 0,950 0,813 2,705 0,902
U1T1 1,136 0,739 0,811 2,686 0,895
U1T2 0,707 0,853 0,743 2,303 0,768
U1T3 0,889 0,790 0,806 2,485 0,828
U2T1 0,853 0,879 0,838 2,570 0,857
U2T2 0,840 0,834 0,901 2,575 0,858
U2T3 0,950 0,940 0,869 2,759 0,920
U3T1 0,850 0,847 0,707 2,404 0,801
U3T2 0,855 0,828 0,809 2,492 0,831
U3T3 0,826 0,810 0,832 2,468 0,823
Tabel Sidik Ragam RALF 4X3X3 PPO Setelah Transformasi (Y+0,5)
0,5SK DB JK KT Fh 5% 1%
Perlakuan 11 0,0750 0,0068 1,000tb 2,22 3,09
U 3 0,0420 0,0140 2,059tb 3,01 4,72
T 2 0,0050 0,0025 0,368tb 3,40 5,61
Kudratik 1 0,0006 0,0006 0,088tb 4,26 7,82
Linier 1 0,0415 0,0415 6,103* 4,26 7,82
(2)
Galat 24 0,1640 0,0068 - - -
Keterangan: tb ( tidak berbeda nyata), * (berbeda nyata)
Lampiran 18. Data Kadar Protein
Dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi, yaitu Y = a+bX
Dimana nilai a = 0,03875
b = 0,00094
maka, X =
=
BSA PROTEIN
Konsentrasi Absorbansi Perlakuan Absorbansi Kadar protein
0 0 U0T0 0,876 890,691
125 0,15 U1T1 0,334 314,096
250 0,30 U1T2 0,425 410,904
500 0,55 U1T3 0,200 171,542
750 0,75 U2T1 0,369 351,329
1000 0,95 U2T2 0,161 130,053
U2T3 0,561 555,585
U3T1 0,410 394,947
U3T2 0,327 306,649
U3T3 0,431 417,287
Lampiran 19. Data Nilai Aktivitas Enzim PO dan PPO
Pyrogallol Perlakuan PO PPO
Konsentrasi ABS ABS Unit Unit/µg protein
ABS Unit Unit/µg protein 0 0 U0T0 0,418 0,0091 1,026x10-5 0,317 0,0061 6,944x10-6 3 0,321 U1T1 0,325 0,0064 2,043x10
-5
0,332 0,0066 2,109x10-5 6 0,548 U1T2 0,361 0,0074 1,819x10-5 0,344 0,0069 1,697x10-5 9 0,624 U1T3 0,398 0,0085 4,989x10
-5
0,188 0,0024 1,401x10-5 12 0,660 U2T1 0,319 0,0062 1,777x10-5 0,234 0,0037 1,068x10-5 U2T2 0,386 0,0082 6,311x10-5 0,237 0,0038 2,952x10-5 U2T3 0,490 0,0112 2,026x10-5 0,347 0.0070 1,271x10-5 U3T1 0,346 0,0070 1,781x10-5 0,220 0,0033 8,461x10-6 U3T2 0,262 0,0045 1,491x10
-5
(3)
U3T3 0,295 0,0055 1,327x10-5 0,177 0,0020 4,987x10-6
Perhitungan Nilai Aktivitas Enzim PO dan PPO
Dilakukan dengan menggunakan persamaan regresi Y = a+bX
Maka nilai X diperoleh dengan persamaan, X =
X =
Aktivitas enzim PO atau PPO (unit) =
Aktivitas Enzim Spesifik enzim PO atau PPO =
Dimana : a = 0,106
BM Pyrogallol = 126,11
b = 0,0541
Y = absorbansi
(4)
Lampiran 20. Kariotipe Terung Belanda (
Solanum betaceum
Cav)
Kontrol
U1T1
U1T2
U1T3
(5)
U2T3
U3T1
U3T2
U3T3
(6)
Lampiaran 21. Indeks Sentromer (IS) Kromosom Setiap Perlakuan
Kromosom
haploid (n) Indeks Sentromer (%)
Kontrol U1T1 U1T2 U1T3 U2T1 U2T2 U2T3 U3T1 U3T2 U3T3 1 42,37 39,46 39,44 49,77 39,05 28,51 49,50 49,89 48,83 50,00 2 45,41 33,74 50,00 42,93 43,82 47,24 36,81 47,75 43,42 50,00 3 49,82 50,00 49,85 50,00 28,19 46,71 32,16 47,55 39,46 29,9 4 49,82 39,09 47,24 42,14 45,83 47,29 39,76 46,71 50,00 43,23 5 39,43 40,51 47,40 47,92 42,61 45,24 43,72 35,10 38,28 48,95 6 49,60 49,74 47,67 48,00 45,80 47,54 49,76 48,00 34,89 46,31 7 45,83 49,71 36,72 44,83 36,47 33,02 46,23 49,33 45,03 46,58 8 37,62 42,10 47,13 50,00 36,06 42,31 49,73 37,61 50,00 50,00 9 46,92 50,00 28,63 39,39 45,49 41,24 34,55 48,72 39,44 45,70 10 44,90 48,35 45,75 42,86 32,48 27,37 38,63 41,99 44,80 46,60 11 47,03 40,22 49,37 44,16 27,91 48,94 32,63 22,22 26,83 50,00 12 49,46 50,00 38,39 42,31 39,28 44,30 46,72 48,12 26,56 50,00