Aktivitas Enzim Peroksidase Dan Polifenol Oksidase Pada Kalus Terung Belanda (Solanum betaceum CAV.) Setelah Diinduksi EMS (Ethyl Methane Sulphonate)

(1)

AKTIVITAS ENZIM PEROKSIDASE DAN POLIFENOL OKSIDASE PADA KALUS TERUNG BELANDA (Solanum betaceum Cav.)

SETELAH DIINDUKSI EMS (Ethyl Methane Sulphonate)

PROPOSAL PENELITIAN

SURIA WULANDARI PURNAMA 050805006

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2009


(2)

PERSETUJUAN

Judul : AKTIVITAS ENZIM PEROKSIDASE DAN

POLIFENOL OKSIDASE PADA KALUS TERUNG BELANDA (Solanum betaceum CAV.) SETELAH DIINDUKSI EMS (Ethyl Methane Sulphonate) Kategori : SKRIPSI

Nama : SURIA WULANDARI PURNAMA

Nomor Induk Mahasiswa : 050805006

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM Universitas : SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Oktober 2009 Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

(Dra.Isnaini Nurwahyuni, M.Sc) (Dra.Elimasni, M.Si) NIP. 19600523 198502 2001 NIP. 1965024 199103 2001

Diketahui/Disetujui oleh Departemen Biologi FMIPA USU

Ketua,

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc NIP. 19640409 199403 1003


(3)

PERNYATAAN

AKTIVITAS ENZIM PEROKSIDASE DAN POLIFENOL OKSIDASE PADA KALUS TERUNG BELANDA (Solanum betaceum Cav.) SETELAH DIINDUKSI

EMS (Ethyl Methane Sulphonate)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya

Medan, Oktober 2009

SURIA WULANDARI PURNAMA NIM. 050805006


(4)

PENGHARGAAN

Bismillahirrahmannirrahim, Kupersembahkan kepada

Allah S.W.T dan rasulnya Muhammad S.A.W

Puji dan syukur dihaturkan atas segala nikmat Iman, Islam dan Ihsan serta karunia yang berlimpah yang telah diberikan

Ibu Dra. Elimasni, M.Si (Dosen Pembimbing I) dan Dra. Isnaini Nurwahyuni, M.Sc (Dosen Pembimbing II)

Terima kasih atas kesediaannya untuk membimbing dan memberikan arahan serta nasehat dan perhatian ikhlas sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

baik

Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc dan Ibu Yurnaliza, M.Si

Terima kasih atas luang waktu yang diberi untuk menguji dan memperbaiki skripsi ini

Terima kasih seindah-indahnya untuk Penasehat Akademik penulis

Ibu Dra. Elimasni, M.Si

Yang bersedia memberikan perhatian dan nasehat terbaiknya Yang tersayang untuk kedua orang tua penulis

Ayahanda tercinta Kasianto dan Bunda tersayang Sunarti

Terima kasih atas semua anugerah kasih sayang, rasa hengat, nasehat bimbingan serta cinta yang tulus yang diberikan tanpa mengharapkan imbalan

Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Departemen Biologi F-MIPA USU dan Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Pematang

Siantar, Sumatera Utara

Terima kasih atas keberadaannya yang telah mendukung penulis menyelesaikan penelitian ini

Buat keikhlasan serta keridhoan untuk menyemangati penulis menyelesaikan skripsi ini

Kakanda tersayang Irhan Wahyudi Amd dan istri Ira Eka Wathi, kakanda terbaikku Wahyu Ningsih dan suami Eko Suwarno, kakanda seperjuanganku Fitri Handayani S,Pd, dan yang paling kujaga keberadaannya Adinda termanisku Juli Astika, serta

yang paling mungil, maniz dan lucu keponakanku Fahri Yudha Pratama


(5)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi F-MIPA USU dan Ibu Dra. Nunuk Priyani, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi F-MIPA USU, Dekan dan Pembatu Dekan F-MIPA USU, serta semua dosen yang telah memberikan penulis ilmu yang berharga.

Terima kasih yang tak terhingga pula untuk empat sahabat seperjuangan Widya, Nikma, Susi dan Rico yang telah sama-sama berjuang untuk membantu menyelesaikan penelitian penulis. Untuk teman berbagi suka duka Irfan, Andi, Wenny, Yoki, Chandra terima kasih buat segala kekompakannya. Terima kasih buat persahabatan terindah yang tak terlupakan teman stambuk ’05 (eri, dwi, andini, patimah, winda, yanti, santi, fitria, erni, erna, becca, toberni, misran, taripar, sarah, rosida, valen, azai, fifi, diana, dahin, juned, dini, ummi, utin, imus, kabul, koko fendi, cici susanti, rahmat, elfrida, nia, maysarah, ruth, riris, julita, siti, delni, simlah,dan kalista. Terima kasih untuk semua anggota Tissue Culture Study Club (TCSC) dan teman-teman asisten yang telah banyak membantu. Terima kasih atas dukungan kakanda Prasiska Dwi Listiani S.Si, Rini Julia Simarmata S.Si, Metha Anastasia S.Si, Endang Sihombing S.Si dan Franhot Hamonangan S.Si (stambuk ’03) dan Lidya Sari, S.Si (stambuk ’04) serta adik-adik stambuk ’06 (terkhusus liya, reni dan dian), ’07 (terkhusus adinda tersayang dessy), ’08 dan ’09. Dan terima yang sedalamnya buat para peneliti di dunia atas segala informasi yang berharga. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa membalasnya.

Penulis menyadari adanya ketidak sempurnaan dari skripsi ini maka dari itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dalam melengkapi kekurangan serta penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengharapkan skripsi ini dapat berguna bagi penelitian selanjutnya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Oktober 2009


(6)

ABSTRAK

Aktifitas enzim peroksidase dan polifenol oksidase pada kalus terung belanda (Solanum betaceum Cav.) setelah diinduksi EMS (Ethyl Mathane Sulphonate) dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dan di Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Pematang Siantar, Sumatera Utara dari bulan Maret-Juni 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi dan lama perendaman EMS (Ethyl Mathane Sulphonate) yang terbaik dalam meningkatkan aktivitas enzim peroksidase dan poifenol oksidase pada tanaman terung belanda (Solanum betaceum Cav.). Metode yang digunakan mencakup penentuan berat basah kultur dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor konsentrasi EMS dengan C0

(0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), dan faktor lama perendaman EMS

dengan T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit), untuk determinasi protein kalus

menggunakan metode Bradford (1976) sedangkan untuk menentukan aktifitas enzim peroksidase dan enzim polifenol oksidase menggunakan metode Kar dan Mishra (1987). Hasil analisis secara statistik untuk berat basah kalus menunjukkan bahwa peningkatan lama perendaman dan konsentrasi EMS berpengaruh menurunkan berat basah kalus akan tetapi dapat meningkatkan aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase. Perlakuan yang terbaik untuk berat basah kalus ataupun untuk aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase yaitu terdapat pada perlakuan C3T1.

Kata kunci : Kultur Jaringan Tanaman, Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.), EMS, Peroksidase, Polifenol Oksidase


(7)

THE ACTIVITIES OF PEROXIDASE AND PHOLYPHENOL OXIDASE IN THE TAMARILLO (Solanum betaceum Cav.) CALLI WITH EMS (ETHYL

METHANE SULPHONATE) INDUCTION

ABSTRACT

“The activities of Peroxidase and Pholyphenol Oxidase in The Tamarillo (Solanum betaceum Cav.) Calli with EMS (Ethyl Methane Sulphonate) Induction”, has been done in Plant Tissue Culture Laboratory of Biology Department at Faculty of Mathematics And Natural Science North Sumatra University, Laboratory of Chemistry Kuantitatif at Faculty of Pharmacy North Sumatra University and Laboratory of Biology Molecular Palm Research Centre of Marihat Pematang Siantar, North Sumatra from March until June 2009. The objective of the research was to obtained the effect of concentration and time of submertion of EMS to increase peroxidase and pholyphenol oxidase activities from tamarillo calli. The design of the research is Complete Randomized Design Factorial with 2 factors, those are 4 levels of EMS 0; 0,05; 0,1; and 0,15 % and combined with time of submertion of 30, 60, and 90 minutes. The statistic analysis showed that the raising of concentration and time of submertion of EMS caused decrease of calli fresh weight but it can increase for peroxidase and pholyphenol oxidase activities. The most of fresh weight, peroxidase and pholyphenol oxidase activities is C3T1.

Key words : Plant Tissue Culture, Tamarillo (Solanum betaceum cav.), EMS, Peroxidase, Pholyphenol Oxidase


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak vi

Abstract vii

Daftar Isi viii

Daftar Gambar x

Daftar Tabel xi

Daftar Lampiran xii

Bab 1 Pendahuluan 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

Bab 2 Tinjauan Pustaka 4

2.1 Botani Solanum betaceum Cav. 4

2.2 Kultur Jaringan 5

2.3 Media Kultur Jaringan 7

2.4 Zat Pengatur Tumbuh 8

2.5 Kalus 8

2.6 Ethyl Methane Sulphonate (EMS) 10 2.7 Enzim Peroksidase dan Polifenol Oksidase 11

2.7.1 Enzim Peroksidase 12

2.7.2 Enzim Polifenol Oksidase 13

Bab 3 Bahan dan Metoda 14

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 14

3.2 Alat dan Bahan Penelitian 14

3.3 Metoda penelitian 15

3.4 Prosedur Kerja 15

3.4.1 Sterilisasi Alat 15

3.4.2 Pembuatan Media 16

3.4.3 Sterilisasi dan Perlakuan Biji Pada EMS 16 3.4.4 Penanaman Biji Pada Media MS 17 3.4.5 Pemeliharaan Kultur Kalus Pada Media

MS

18 3.4.6 Preparasi Reagen Protein 18 3.4.7 Pembuatan Kurva Standar BSA 18

3.4.8 Ekstraksi Kalus 18


(9)

3.4.10 Penentuan Aktivitas Enzim 19

3.4.10.1 Peroksidase 19

3.4.10.2 Polifenol Oksidase 20

3.4.11 Parameter Pengamatan 20

3.5 Analisis Data 21

Bab 4 Hasil dan Pembahasan 22

4.1 Berat Basah Kultur (g) 22

4.2 Warna Kalus 24

4.3 Persentase Kultur Yang Hidup (%) 26 4.4 Persentase Kultur Yang Terkontaminasi (%) 28

4.5 Determinasi Protein Kalus 29

4.6 Penentuan Aktivitas Enzim Peroksidase (PO) 31 4.7 Penentuan Aktivitas Enzim Polifenol Oksidase

(PPO)

33

Bab 5 Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 36

5.2 Saran 36


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul halaman

3.4.4 Penanaman Biji Pada Media MS 17

4.1.1 Pengaruh Lama Perendaman EMS Terhadap Rata-rata Berat Basah Kalus Terung Belanda

23 4.1.2 Pengaruh Konsentrasi EMS terhadap Rata-rata

Berat Basah Kalus Terung Belanda

24 4.2.1 Warna Kalus Setelah Perlakuan EMS 25 4.3.1 Kultur Yang Hidup Pada Perlakuan C3T1 28

4.5.1 Pengaruh Lama Perendaman Dan Konsentrasi EMS Terhadap Kadar Protein Kalus Terung Belanda

30

4.6.1 Aktivitas Peroksidase 32


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul halaman

4.1 Rata-rata Penambahan Berat Basah Kultur Pada Perlakuan Konsentrasi Dan Lama Perendaman EMS Setelah Ditransformasi Kedalam (Y+0,5)0,5

22

4.2 Pengamatan Warna Kalus Setelah Perlakuan EMS

25 4.3 Rataan Persentase Kultur Yang Hidup 26 4.5 Data Determinasi Protein Kalus Yang Diukur

Menggunakan Spektrofotometer Pada Panjang Gelombang 595 nm

30

4.6 Aktivitas Peroksidase 32


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

Lampiran A: Pengamatan Berat Basah Kutur (g) 41 Lampiran B: Data Pengamatan Persentase Kultur Hidup

(%)

42 Lampiran C: Data Pengamatan Persentase Kultur

Terkontaminasi (%)

43 Lampiran D: Data Pengamatan Warna Kalus 44 Lampiran E: Data Pengukuran Absorbansi Determinasi

Protein Kalus Pada Panjang Gelombang 595 nm

45

Lampiran F: Data Pengukuran Absorbansi Aktivitas Peroksdase Pada Panjang Gelombang 420 nm dan Nilai Aktivitas Peroksidase

46

Lampiran F: Data Pengukuran Absorbansi Aktivitas Polifenol Oksidase Pada Panjang Gelombang 420 nm dan Nilai Aktivitas Polifenol Oksidase

47

Lampiran H: Alur Kerja Pengkulturan Biji Terung Belanda dan Induksi EMS

48 Lampiran I : Alur Kerja Pembuatan Kurva Standar

BSA

49 Lampiran J : Alur Kerja Ekstraksi Kalus 50 Lampiran K: Alur Kerja Preparasi Reagen Protein dan

Analisis Protein

51 Lampiran L : Alur Kerja Penentuan Aktivitas Enzim

Peroksidase Dan Polifenol Oksidase

52 Lampiran M: Kurva Standar Dan Persamaan Garis

Regrasi Kurva Bsa (Bovine Serum Abumin)

53

Lampiran N: Kurva Standar dan Persamaan Garis Regresi Kurva Pyrogallol

54 Lampiran O : Komposisi Media MS (Murashige & Skoog) 55


(13)

ABSTRAK

Aktifitas enzim peroksidase dan polifenol oksidase pada kalus terung belanda (Solanum betaceum Cav.) setelah diinduksi EMS (Ethyl Mathane Sulphonate) dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dan di Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Pematang Siantar, Sumatera Utara dari bulan Maret-Juni 2009. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi dan lama perendaman EMS (Ethyl Mathane Sulphonate) yang terbaik dalam meningkatkan aktivitas enzim peroksidase dan poifenol oksidase pada tanaman terung belanda (Solanum betaceum Cav.). Metode yang digunakan mencakup penentuan berat basah kultur dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor konsentrasi EMS dengan C0

(0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), dan faktor lama perendaman EMS

dengan T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit), untuk determinasi protein kalus

menggunakan metode Bradford (1976) sedangkan untuk menentukan aktifitas enzim peroksidase dan enzim polifenol oksidase menggunakan metode Kar dan Mishra (1987). Hasil analisis secara statistik untuk berat basah kalus menunjukkan bahwa peningkatan lama perendaman dan konsentrasi EMS berpengaruh menurunkan berat basah kalus akan tetapi dapat meningkatkan aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase. Perlakuan yang terbaik untuk berat basah kalus ataupun untuk aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase yaitu terdapat pada perlakuan C3T1.

Kata kunci : Kultur Jaringan Tanaman, Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.), EMS, Peroksidase, Polifenol Oksidase


(14)

THE ACTIVITIES OF PEROXIDASE AND PHOLYPHENOL OXIDASE IN THE TAMARILLO (Solanum betaceum Cav.) CALLI WITH EMS (ETHYL

METHANE SULPHONATE) INDUCTION

ABSTRACT

“The activities of Peroxidase and Pholyphenol Oxidase in The Tamarillo (Solanum betaceum Cav.) Calli with EMS (Ethyl Methane Sulphonate) Induction”, has been done in Plant Tissue Culture Laboratory of Biology Department at Faculty of Mathematics And Natural Science North Sumatra University, Laboratory of Chemistry Kuantitatif at Faculty of Pharmacy North Sumatra University and Laboratory of Biology Molecular Palm Research Centre of Marihat Pematang Siantar, North Sumatra from March until June 2009. The objective of the research was to obtained the effect of concentration and time of submertion of EMS to increase peroxidase and pholyphenol oxidase activities from tamarillo calli. The design of the research is Complete Randomized Design Factorial with 2 factors, those are 4 levels of EMS 0; 0,05; 0,1; and 0,15 % and combined with time of submertion of 30, 60, and 90 minutes. The statistic analysis showed that the raising of concentration and time of submertion of EMS caused decrease of calli fresh weight but it can increase for peroxidase and pholyphenol oxidase activities. The most of fresh weight, peroxidase and pholyphenol oxidase activities is C3T1.

Key words : Plant Tissue Culture, Tamarillo (Solanum betaceum cav.), EMS, Peroxidase, Pholyphenol Oxidase


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Terung Belanda pada awalnya berasal dari pegunungan Andes dan lebih kurang 30 species dari genus ini yang tersebar di bagian selatan Amerika (Faucon, 1998), namun tanaman ini sangat populer di New Zealand dan pada saat ini mulai berkembang di daerah tropis lainnya seperti Indonesia. Di Indonesia sendiri penyebaran species Terung Belanda tidak begitu banyak, hanya terdapat pada beberapa daerah saja yaitu Bali, Jawa Barat dan Tanah Karo Sumatera Utara (Kumalaningsih, 2006). Rasa asam manis pada buah Terung Belanda yang banyak diminati masyarakat Sumatera Utara dianggap mempunyai potensi yang cukup baik untuk menambah nilai ekonomi daerah tersebut, maka banyak dikembangkan pengolahannya dalam bentuk sirup dan selai (Departemen Pertanian, 2003). Namun penyebaran yang tidak begitu banyak memungkinkan tanaman ini mengalami kepunahan. Hal ini mungkin dikarenakan adanya faktor lingkungan yang kurang mendukung untuk tanaman ini tumbuh dengan baik. Maka perlu diupayakan suatu cara perbanyakan tanaman Terung Belanda. Adapun perbanyakan yang telah dilakukan yaitu secara konvensional namun hasil yang didapatkan juga kurang menguntungkan dan kurang efisien (Yuwono, 2006).

Masalah tersebut perlu dipecahkan dengan dilakukan suatu usaha perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan. Dengan menggunakan teknik kultur jaringan dapat dihasilkan tanaman yang identik dengan induknya (Departemen Pertanian, 2003). Perbanyakan dengan teknik kultur jaringan selain mampu memperoleh tanaman yang identik dengan induknya, juga dapat dimanfaatkan untuk memperoleh tanaman dengan kualitas yang lebih baik. Salah satu cara yaitu dengan mengubah materi genetik tanaman tersebut pada tingkat DNA, sehingga dapat dihasilkan variasi-variasi tanaman Terung Belanda yang lebih unggul (Suryo, 1995). Pengubahan materi genetik tersebut dapat dilakukan dengan menambahkan senyawa mutagen seperti


(16)

Ethyl Methane Sulphonate (EMS) yang merupakan mutagen kimia dan dapat

menyebabkan alkilasi yang efektif pada tingkat DNA serta menyebabkan pertumbuhan tidak terbatas (indeterminate), sehingga tanaman dapat berbuah beberapa kali dalam setahun.

Penggunaan mutagen dapat menyebabkan perubahan genetik pada tanaman. Perubahan genetik akan berpengaruh terhadap proses fisiologis terutama metabolisme sel. Metabolisme berkaitan erat dengan aktivitas dan distribusi dari beberapa enzim pada tanaman seperti peroksidase dan polifenol oksidase. Kedua enzim ini pada tumbuhan terdapat pada organ, jaringan, sel serta komponen terkecil dari sel seperti organel serta bagian interselulernya. Peranan dari peroksidase dan polifenol oksidase yaitu berperan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Widiyanto, 1992) dan juga dapat meningkatkan resisten ketahanan dari tumbuhan tersebut.

Pada beberapa hasil penelitian dikatakan bahwa hormon tumbuhan dapat menginduksi perubahan peroksidase dan polifenol oksidase seiring dengan adanya regulasi dari pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Arora & Bajaj, 1981). Dalam hal resistensi terhadap adanya patogen pada tanaman, aktivitas peroksidase akan meningkat pada tanaman yang terserang patogen dan enzim ini akan membentuk suatu ketahanan internal yang dapat meningkatkan resistensi dari tanaman. Pada penelitian mengenai aktivitas peroksidase, skor ELISA dan respon ketahanan 29 genotip cabai merah terhadap infeksi Cucumber Mosaic Virus (CMV) diperoleh hasil bahwa beberapa genotip cabai merah yang tahan terhadap CMV dan dapat digunakan sebagai sumber gen ketahanan terhadap CMV. Aktivitas peroksidase pada tanaman cabai merah yang terinfeksi CMV berperan dalam mekanisme ketahanan terhadap infeksi virus (Herison, et al. 2007). Dari hal-hal tersebut dapat dilihat adanya korelasi yang sinergis antara peroksidase dan polifenol oksidase terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta resistensi dari tanaman.


(17)

Penggunaan mutagen kimia seperti EMS terhadap kultur in vitro telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya untuk mengetahui pengaruhnya pada tanaman. Akan tetapi belum diketahui pengaruh EMS terhadap aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman Terung Belanda.

1.3Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi dan lama perendaman EMS yang terbaik dalam meningkatkan aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase pada tanaman Terung Belanda.

1.4Hipotesis

Konsentrasi dan lama perendaman EMS berpengaruh terhadap aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase pada tanaman Terung Belanda.

1.5Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan informasi bagi penelitian selanjutnya dan bagi masyarakat yang membutuhkan khususnya bagi petani tanaman Terung Belanda.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Solanum betasium Cav.

Terung Belanda awalnya dikenal dengan nama Cyphomandra betacea (Cav) namun kemudian direvisi oleh seorang ahli yang bernama Sendtner menjadi Solanum

betaceum (Cav) dan masuk kedalam famili dari Solanaceae. Tanaman ini juga dikenal

dengan nama Tamarillo. Tanaman ini berasal dari pegunungan di Andes dan lebih kurang 30 species dari genus ini yang tersebar di bagian selatan Amerika, namun saat ini telah berkembang hingga ke negara-negara tropis lainnya seperti Indonesia. Setelah Terung Belanda menjadi sesuatu komoditi yang diperhitungkan tanaman ini banyak diekspor ke luar negeri termasuk Selandia Baru (Faucon, 1998). Tanaman ini menjadi sangat popular di negara Selandia Baru. Buahnya berbentuk bulat panjang dan memiliki kombinasi rasa antara buah tomat dan jambu biji sehingga masyarakat di Selandia Baru sangat menyukainya. Di Indonesia Terung Belanda dikembangkan di daerah Bali, Jawa Barat, dan Tanah Karo Sumatera Utara (Kumalaningsih, 2006).

Menurut Tjitrosoepomo (2000), kedudukan tanaman Terung Belanda dalam sistematika adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae Klass : Dicotyledonae Ordo : Solanales Family : Solanaceae Genus : Solanum

Spesies : Solanum betaceum Cav.

Pohon Terung Belanda ini memiliki tinggi mencapai 3,5 meter. Daunnya berbentuk oval dengan panjang 6-12 inchi. Bunganya kecil-kecil berwarna merah


(19)

jambu dan tumbuh selama musim semi dan awal musim panas. Buah Terung Belanda akan matang selama musim gugur dan dingin. Saat matang buah ini akan berwarna merah jingga atau keunguan, tergantung varietasnya. Daging buahnya tebal berwarna merah kekuningan, dibungkus oleh selaput tipis yang mudah dikelupas. Daging buah ini melindungi biji-bijinya, yang jumlahnya banyak dan tersusun melingkar dan rapi. Daya tahan pohon ini dapat mencapai 10 tahun. Kendala pertumbuhan biasanya pada daun yang sering dimakan oleh laba-laba atau serangga lainnya. Karena berdaun lebar maka tanaman ini memerlukan pengairan yang teratur diakses pada tanggal 28 September 2007).

Secara fungsional buah Terung Belanda mempunyai khasiat khusus yang sangat unggul sebagai sumber antioksidan alami karena dapat meluruhkan zat-zat yang bersifat radikal bebas. Buah ini mengandung berbagai jenis vitamin antara lain vitamin E, vitamin A, vitamin C, vitamin B6 (Kumalaningsih, 2006). Terung belanda

juga mengandung beberapa komponen lainnya seperti air 80 % -90 %, protein 1,4 % - 2 %, lemak 0,1 % - 0,6 %, serat 1,4 %-4,7 %, karbohidrat 110 KJ – 150 KJ (Faucon, 1998).

2.2 Kultur Jaringan

Kultur jaringan tanaman merupakan teknik budidaya (perbanyakan) sel, jaringan, dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas dari mikroorganisme. Secara umum perbanyakan tanaman berdasarkan perkembangan dan siklus hidupnya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu perbanyakan secara seksual dan perbanyakan secara aseksual (Santoso dan Nursandi, 2004).

Berdasarkan bagian tanaman yang dikulturkan secara lebih spesifik terdapat tipe-tipe kultur yaitu, kultur kalus, kultur suspensi sel, kultur anter, kultur akar, kultur pucuk tunas, kultur embrio, kultur ovul, dan kultur kuncup bunga. Kultur jaringan bermula dari adanya pembuktian sifat totipotensi sel, yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi dengan informasi genetik dan perangkat fisiologis yang


(20)

lengkap untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh, jika berada dalam kondisi yang sesuai. Penemuan zat pengatur tumbuh (ZPT) dan upaya pengembangan formulasi media sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan teknik kultur jaringan (Yusnita, 2003). Zat pengatur tumbuh yang paling sering digunakan adalah asam 2,4-diklorofenoksi asetat (2,4-D) (Wetter & Constabel, 1991). Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman dengan menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat yang steril (Departemen Pertanian, 2007).

Dalam perbanyakan teknik kultur jaringan, eksplan merupakan faktor yang penting dalam penentuan keberhasilan. Menurut Gunawan (1995) disamping eksplan faktor genotip, umur eksplan, letak pada cabang dan seks (pohon jantan atau betina) juga perlu diperhatikan dalam pembuatan kultur jaringan. Eksplan adalah bagian tanaman yang dijadikan bahan inokulum awal yang ditanam dalam media, yang akan menunjukan pertumbuhan dan perkembangan tertentu. Dalam pemilihan bagian tanaman perlu juga dipertimbangkan tujuan dari kultur yang akan dilakukan. Bagian tertentu akan memberikan variasi dalam jumlah kromosom maupun variasi dalam beberapa gen. Santoso & Nursandi (2004) menambahkan bahwa langkah pertama untuk menentukan bagian mana dari tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan adalah melihat potensi genetik yang ada pada tanaman dilapangan. Untuk itu perlu dilakukan analisis jaringan secara in vivo untuk mengetahui bagian tanaman yang mempunyai kandungan tertinggi senyawa yang diinginkan. Tanaman yang mempunyai kandungan senyawa tertentu dalam jumlah besar akan mampu menghasilkan senyawa yang sama dalam jumlah besar pula apabila tanaman tersebut dikulturkan secara in vitro. Hal ini sesuai dengan teori totipotensi yang dimiliki suatu sel.


(21)

Media merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan. Media kultur secara fisik dapat berbentuk cair atau padat (Yusnita, 2003). Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon. Selain itu diperlukan pula bahan tambahan seperti agar, gula dan lain-lain. Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya juga jumlahnya tergantung dengan kebutuhan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan (Departemen Pertanian, 2007).

Medium MS merupakan media yang secara luas dikembangkan pada tahun 1962. Dari berbagai komposisi dasar ini kadang-kadang dibuat modifikasi, misalnya hanya menggunakan setengah dari konsentrasi garam-garam makro yang digunakan atau menggunakan komponen garam-garam makro berdasarkan MS yang disesuaikan (Gunawan, 1994). Medium yang dikembangkan oleh Murashige dan Skoog (MS) untuk kultur jaringan tanaman digunakan secara luas untuk kultivasi kalus pada agar demikian juga kultur suspensi sel dalam medium cair. Keistimewaan medium ini yaitu kandungan nitrat, kalium dan amoniumnya yang tinggi (Wetter & Constabel, 1991). Selain medium MS ada beberapa contoh medium lainnya yaitu komposisi Knudson C (1946), Heller(1953), Nitsch dan Nitsch (1972), Gamborg dkk. B5 (1976), Linsmaier dan Skoog-LS (1965), serta Woody Plant Medium-WPM (Lloyd dan McCown, 1980) (Yusnita, 2003).

Ada medium tertentu yang dapat menumbuhkan eksplan melalui kalus langsung berkembang menjadi plantula, misalnya medium Vacin dan Went untuk kultur jaringan anggrek. Metode ini dinamakan one step method. Kerap kali tidak dapat secepat itu hasil budidaya jaringan dapat dicapai. Misalnya dengan medium tertentu dapat dihasilkan kalus namun tidak mau berkembang menjadi tunas-berakar. Dan setelah diganti medium, maka terjadi diferensiasi menjadi plantula yang mana ini disebut dengan two step methods (Suryowinoto, 1996).


(22)

Pada tumbuhan zat pengatur tumbuh sangat berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan (Abidin,1982). Selain itu zat pengatur tumbuh juga berperan dalam mempercepat terbentuknya kalus serta proses diferensiasi semua fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Heddy, 1986), juga dapat memberikan arah bagi perkembangan sel tanaman (Pierik, 1987). Faktor yang perlu mendapatkan perhatian dalam penggunaan zat pengatur tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh yang akan digunakan, konsentrasi zat pengatur tumbuh, urutan penggunaannya, dan periode masa induksi yang dilakukan dalam teknik kultur jaringan tertentu (Gunawan, 1995).

Dalam kultur jaringan zat pengatur auksin dan sitokinin sangat berpengaruh (Gunawan, 1995). Auksin adalah zat pengatur tumbuh yang mempengaruhi pertumbuhan kalus. Jenis auksin buatan yang biasa digunakan adalah IBA, 2,4-D, dan ANA sedangkan yang alami biasa digunakan IAA (Katuuk, 1989). Asam Naftalen Asetat (ANA) adalah senyawa sintetis yang berhasil dibuat. Senyawa ini tidak mengandung ciri-ciri indole tetapi mempunyai aktifitas biologis seperti IAA, ANA dan 2,4-D merupakan golongan auksin sintetis yang mempunyai sifat lebih stabil dari pada IAA karena tidak mudah terurai oleh enzim-enzim yang dikeluarkan oleh sel atau oleh pemanasan pada proses sterilisasi. Sitokinin alamiah yang sering digunakan dalam kultur jaringan adalah zeatin, 2-iP, sedangkan untuk sintetik meliputi BAP dan kinetin (Wattimena, 1988).

2.5 Kalus

Pada batang muda yang terluka sering dijumpai suatu jaringan meristematis penutup luka. Jaringan yang meristematis ini dikenal dengan nama kalus (callus). Kalus merupakan salah satu wujud kumpulan sel yang belum berdiferensiasi. Dalam budidaya in vitro menginduksi terbentuknya kalus merupakan salah satu langkah yang penting. Setelah itu diusahakan rangsangan agar berdiferensiasi membentuk tunas dan akar. Proses mulai terjadinya kalus sampai diferensiasi berbeda-beda, tergantung macam dan bagian tanaman yang dipakai untuk eksplan, metode budidaya in vitro


(23)

yang digunakan. Juga zat-zat tanaman yang dicampurkan pada medium dasar (Suryowinoto, 1996).

Tanaman dapat diperbanyak secara vegetatif menggunakan teknik kultur in

vitro dengan teknik kultur kalus atau kultur sel. Jika suatu eksplan ditanam pada

medium padat atau dalam medium cair yang sesuai, dalam waktu 2–4 minggu, tergantung spesiesnya maka akan terbentuk kalus yang merupakan massa amorf dan tersusun atas sel-sel parenkim berdinding sel tipis yang berkembang dari hasil poliferasi sel-sel jaringan induk (Yuwono, 2006).

Beberapa jaringan tanaman dapat digunakan untuk membentuk biakkan kalus seperti akar, batang, dan daun. Untuk membentuk kalus, jaringan dipisahkan dari tanaman dan permukaan sayatan disterilkan untuk membunuh pengkontaminasi biakkan. Beberapa biakkan yang membentuk kalus dari tanaman yang tumbuh dalam kondisi aseptik dengan permukaan biji yang disterilkan untuk mengurangi kontaminasi (Nasir, 2002). Membuat kalus berarti menginduksi dari bagian tanaman tertentu, biasanya dengan jalan dirangsang secara hormonal. Hormon yang banyak digunakan untuk induksi kalus adalah auksin. Induksi kalus dipengaruhi oleh auksin. Tahapan induksi kalus adalah suatu tahapan yang penting dalam budidaya kultur jaringan. Tahapan inilah yang merupakan tahapan untuk mendapatkan tanaman utuh atau untuk tujuan lain sesuai yang diinginkan. Sitokinin sering pula digunakan sebagai bahan kombinasi untuk induksi kalus (Santoso & Nursandi, 2004).

Untuk menghasilkan kalus yang baik, zat hara sangat berperan dalam merangsang pertumbuhan sel dengan cepat. Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman yang dikulturkan secara in vitro pada dasarnya sama dengan kebutuhan hara tanaman yang ditumbuhkan di tanah, yaitu meliputi hara-hara makro dan mikro. Hara makro adalah hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang besar seperti N, P, K, Ca, Mg dan S. Sedangkan hara mikro adalah hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit seperti Fe, Cu, Mn, Zn, B, Mo, dan Co.


(24)

Ethyl Methane Sulphonate (EMS) dapat menyebabkan mutasi yang terjadi pada

tingkat DNA pada berbagai jenis organisme (Priyono & Agung, 2002). Mutasi dengan menggunakan mutagen kimia EMS telah banyak dilakukan pada berbagai spesies tanaman. EMS merupakan kelompok alkil yang dapat mengubah basa-basa DNA (guanin dan timin) menjadi basa lain dan akan berpasangan dengan basa yang berbeda sehingga terjadi transisi (Purwati et al. 2007). EMS telah terbukti telah menghasilkan mutan antara lain daun variegata pada Arabidopsis (Chen et al. 2000), jumlah cabang yang banyak pada kenaf (Arumingtyas & Indriani, 2005), peningkatan keragaman Abaka serta resistensinya (Purwati et al. 2007).

Aplikasi mutagen secara in vitro telah lazim digunakan dalam metode mutasi buatan seiring dengan keberhasilan aplikasi teknik perbanyakan in vitro pada berbagai jenis tanaman. Prinsip dasar mutasi in vitro adalah meningkatkan frekuansi variasi somaklonal dan meningkatkan efektifitas variasi somaklonal sehingga keragaman genetik tanaman diharapkan akan meningkat. Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan EMS. Salah satunya adalah penelitian tentang perlakuan pemberian EMS terhadap pembentukan sisik mikro tanaman Lily Kerk yang telah dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Bahan yang digunakan adalah umbi Lily Kerk kultivar lokal, bahan kimia penyusun media MS, bahan sterilisasi, EMS (Ethyl Methane Sulphonate), dan asam thioglikolat. Hasil menunjukkan bahwa EMS pada konsentrasi 0,05 % dapat berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh dalam hal peningkatan nilai jumlah bulbet dan persentase perakaran, sedangkan pada konsentrasi 0,1 % EMS mampu memacu peningkatan jumlah bulbet. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penggunaan 2,4-D yang mana pada konsentrasi tinggi dapat sebagai herbisida namun pada konsentrasi rendah justru memacu pembelahan sel tanaman. Perendaman eksplan dalam EMS selama 4 hari memungkinkan terjadinya proses difusi EMS secara maksimal ke dalam jaringan, sehingga dihasilkan tanaman yang beragam dalam hal pembungaan, pertumbuhan serta hasil uji DNA mutan. (Priyono & Agung, 2002).


(25)

Enzim adalah protein khusus yang disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalis reaksi yang berlangsung di dalamnya. Oleh karena reaksi yang terjadi banyak maka biokatalisator yang dibentuk jumlah ataupun jenisnya tak terhitung banyaknya. Enzim pertama kali dikenal sebagai protein oleh Sumner pada tahun 1926 yang telah berhasil mengisolasi urease dari kara pedang (Martoharsono, 1998).

Enzim dikatakan sebagai suatu kelompok protein yang berperan sangat penting dalam proses aktivitas biologi. Reaksi atau proses kimia yang berlangsung di dalam tubuh dimungkinkan karena adanya katalis yang disebut enzim (Poedjiadi, 2004). Enzim ini berfungsi sebagai katalisator dalam sel yang mempunyai sifat yang khas karena hanya bekerja pada substrat dan bentuk reaksi yang tertentu (Girindra, 1990). Ada juga enzim yang bekerja terhadap lebih dari satu substrat namun enzim tersebut tetap saja mempunyai kekhasan tertentu (Poedjiadi, 1994). Dalam jumlah yang sangat kecil, enzim dapat mengatur reaksi tertentu sehingga dalam keadaan normal tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan hasil akhir reaksinya. Menurut Gaman & Sherington (1992) bahwa kerja enzim dipengaruhi oleh suhu, pH, kofaktor dan aktivator serta konsentrasi dari substratnya. Enzim dapat mengontrol dan mengkatalisis aktifitas kimia dari sel makhluk hidup (page, 1989). Salah satu fungsi yang menonjol dari protein adalah aktifitas enzim. Enzim mengontrol dan mengkatalis aktifitas kimia dari sel makhluk hidup (Page, 1989).

Isozim adalah enzim yang merupakan produk langsung dari gen, terdiri dari berbagai molekul aktif yang mempunyai struktur kimia yang berbeda tetapi mengkatalisis reaksi yang sama. Enzim merupakan protein biokatalisator untuk proses-proses fisiologi tanaman yang pengadaan dan pengaturannya dikontrol secara genetik Penggunaan penandaan isozim mempunyai kelebihan karena isozim diatur oleh gen tunggal dan bersifat kodominan dalam pewarisan dan bersegregasi secara normal. Penanda ini bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, lebih cepat dan akurat karena tidak menunggu tanaman ini sampai bereproduksi (Poedjiadi, 1994).


(26)

Peroksidase terdistribusi luas pada banyak jenis tanaman dan luas pada banyak bagian dari tanaman antara lain terdapat pada bagian organ tanaman, jaringan tanaman, sel serta komponen subselulernya termasuk organel sel (Birecka et al. 1975; Catesson et

al. 1986). Peroksidase merupakan anggota dari enzim reduktase yang dianggap

memiliki hubungan nyata dengan penyebab perubahan pada rasa, warna, tekstur dan kandungan gizi buah-buahan dan sayur-sayuran yang belum diolah. Peroksidase pada tanaman merupakan isozim yang berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi dan pertahanan. Aktivitas isozim peroksidase dapat dideteksi karena adanya aktivitas yang luar biasa pada jaringan. Peroksidase mengkatalisis H2O2 menjadi H2 dan O2 (Gaspar et al. 1980).

Ada beberapa fungsi dari peroksidase yaitu sebagai pengontrol tingkat regulasi hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Lewak, 1986), serta dapat dijadikan sebagai indikasi resistensi pada jaringan tanaman Penelitian mengenai peroksidase yang berhubungan dengan resistensi tanaman telah banyak dilakukan, khususnya pada penelitian 29 genotip cabai merah yang diinfeksi dengan Cucumber

Mosaic Virus (CMV). Hasil yang diperoleh ada beberapa genotip cabai merah yang

tahan terhadap CMV dan dapat digunakan sebagai sumber gen ketahanan terhadap CMV. Intensitas penyakit berkaitan cukup erat dengan tingkat konsentrasi virus sehingga variabel yang diperoleh layak digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan atau ketahanan tanaman cabai merah terhadap CMV. Aktivitas enzim peroksidase pada tanaman cabai merah yang terinfeksi CMV berperan dalam mekanisme ketahanan terhadap infeksi virus. Mekanisme ketahanan dapat terlihat dengan adanya pembentukan lignifikasi pada dinding sel, pembentukan senyawa fitoalexin serta adanya reaksi hipersensitif pada jaringan tanaman, dengan demikian perkembangan patogen dapat terhambat (Herison et al. 2007).


(27)

Enzim diproduksi pada bagian-bagian tanaman yang dapat dideteksi pada organ tanaman, jaringan tanaman, sel serta lokasi terkecil dari sel yaitu organel dan bagian lain yang mudah terlarut dari sel (Kar & Mishra, 1976; Sato & Hasegawa, 1976). Tingkat aktivitas polifenol oksidase sering berubah-ubah selama terjadinya proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Aktivitas polifenol oksidase akan meningkat dengan adanya pelukaan yang terjadi pada jaringan tanaman yang dapat disebabkan oleh tekanan mekanik ataupun oleh adanya infeksi (Jeannings et al. 1969). Tolbert (1973) menambahkan bahwa inhibitor yang dapat menghentikan kerja dari enzim ini seperti dengan pemberian 1-cysteine dan glutathione dalam konsentrasi rendah. Dalam beberapa penelitian sebelumnya dikatakan bahwa polifenol oksidase memiliki tingkat energi serta aktivitas yang lebih tinggi dibanding dengan peroksidase dalam suatu tanaman.

Pada organ daun, polifenol oksidase terlokalisasi pada kloroplas dan tidak terdapat pada bagian sitoplasmanya. Aktivitasnya terdapat pada bagian lamelar dan tidak sampai ke plastida. Pada daun, aktivitasnya dapat diukur pada suhu antara 4 oC sampai dengan 8 oC . Pada beberapa tanaman seperti tomat, kacang-kacangan dan pada daun jagung enzim polifenol oksidase ini dapat mengoksidasi dihidrophenilalanin pada keadaan tanpa cahaya (Tolbert, 1973).

Katekol oksidase sering juga disebut polifenol oksidase, polifenolase, atau fenolase. Polifenol oksidase berperan dalam proses oksidasi enzimatik polifenol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yulianto, et al. (2007) mengenai model perpindahan massa proses steaming inaktivitasi polifenol oksidase dalam pengolahan teh hijau. Dalam penelitiannya dikatakan bahwa, katekin banyak terkandung pada pucuk tanaman teh yang memberikan mutu, baik cita rasa, kenampakan ataupun warna air seduhan teh. Katekin merupakan senyawa yang dihasilkan dari hasil oksidasi katekol oksidase yang sering disebut polifenol oksidase. Oksidasi enzimatik polifenol oksidase dan katekin akan terjadi bila keduanya bergabung dalam sel daun teh.


(28)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juni 2009. Tahap pengkulturan kalus dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan, Sumatera Utara. Sedangkan tahap analisis protein sampai penentuan aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Pematang Siantar, Sumatera Utara dan Laboratorium Kimia Kuantitatif Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf, spektrofotometer, mikrosentrifus, mikropipet, tabung reaksi, laminar air flow (LAF), botol kultur, aluminium foil, pipet serologi, alat diseksi, gelas beaker, gelas ukur, neraca analitik, erlenmeyer, cawan petri, dan kertas saring. Sedangkan bahan penelitian yang digunakan adalah biji Terung Belanda. Buah yang digunakan berupa buah yang masih muda dengan warna kulit buah hijau kemerahan, larutan pemutih (NaOCl 5,25%), fungisida, alkohol 70%, akuades, agar-agar, gula, hara makro dan hara mikro.


(29)

Penelitian ini menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan 2 faktor, yaitu:

A. Faktor konsentrasi EMS (C) C0 : Konsentrasi 0 %

C1 : Konsentrasi 0,05 %

C2 : Konsentrasi 0,10 %

C3 : Konsentrasi 0,15 %

B. Faktor lamanya waktu perendaman (T) T1 : Selama 30 menit

T2 : Selama 60 menit

T1 : Selama 90 menit

Sehingga diperoleh 12 kombinasi, yaitu:

C0T1 C1T1 C2T1 C3T1

C0T2 C1T2 C2T2 C3T2

C0T3 C1T3 C2T3 C3T3

Dibuat 1 set perlakuan dengan 6x Ulangan

3.4 Prosedur kerja

3.4.1 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini seperti cawan petri (yang telah diisi kertas saring), botol kultur, erlenmeyer, pipet volume dicuci dengan deterjen dan dibilas dengan air mengalir, dikeringkan dan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C dengan tekanan 15 Psi selama 60 menit. Bersamaan dengan alat dimasukkan juga botol berisi akuades yang ikut dalam sterilisasi alat.


(30)

Media yang digunakan untuk penumbuhan kalus adalah media dasar MS (Murashige Skoog) dengan penambahan 2,4-D 1 mg/l serta BAP 0,5 mg/l. Komposisi media MS dapat dilihat pada Lampiran O Halaman 55. Tahap awal pembuatan media adalah pembuatan larutan stok yang terdiri dari stok hara makro, mikro, iron, dan vitamin. Sementara unsur lain seperti gula sukrosa dan agar dapat ditimbang langsung sesuai kebutuhan tanpa harus dijadikan larutan stok. Pembuatan media sebanyak 1000 ml.

Larutan MS dibuat dengan cara memasukkan hara makro, mikro, iron, vitamin, dan sukrosa ke dalam erlenmeyer yang ditambah akuades hingga 500 ml kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur 1000 ml dan dipenuhkan dengan akuades hingga 62,5 ml. Selanjutnya larutan dibagi ke 12 perlakuan yang setiap perlakuannya berisi 200 ml. Derajat keasaman (pH) larutan diukur setiap perlakuan dengan menggunakan pH meter sebesar 5,8. Untuk mendapatkan pH yang optimal maka ditambahkan NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N.

Masing-masing media dari tiap perlakuan dimasak dengan menambahkan agar yang telah ditimbang sebanyak 0,89 gram. Kemudian dituang ke dalam botol-botol kultur yang ditutup dengan aluminium foil steril dan diikat dengan karet gelang selanjutnya disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121 0C dan tekanan 15 Psi selama 15 menit. Botol yang berisi media yang telah disterilkan kemudian disimpan dalam ruang kultur sebelum digunakan.

3.4.3 Sterilisasi dan Perlakuan Biji Pada EMS

Eksplan yang digunakan berupa biji Terung Belanda. Biji dibersihkan dibawah air kran yang mengalir, dibilas dengan akuades steril. Biji direndam dalam agrept 1% yang ditambahkan tween 20 sebanyak 2 tetes dan dishaker selama 30 menit. Biji disterilkan dengan larutan pemutih 10% selama 5 menit, dibilas 3 kali dengan akuades steril dan selanjutnya dengan larutan pemutih 5% selama 5 menit. Biji dicuci dengan akuades steril. Biji diletakkan di dalam cawan petri dan dikeringkan dengan kertas saring steril. Setelah biji steril kemudian diberi perlakuan EMS dimana konsentrasinya


(31)

meliputi 0; 0,05; 0,10 dan 0,15 % dengan lama waktu perendaman selama 30, 60 dan 90 menit. Perendaman dilakukan didalam Laminar air flow (LAF).

3.4.4 Penanaman Biji Pada Media MS

Sebelum melakukan penanaman diupayakan agar ruangan dalam keadaan bersih. Penanaman dilakukan di dalam laminar air flow. Alat-alat diseksi, lampu bunsen, dan alkohol 70% dipersiapkan terlebih dahulu. Botol-botol berisi media yang sudah disterilkan, dibuka tutupnya dengan menggunakan pinset yang sudah dicelupkan pada alkohol dan telah dibakar. Lampu bunsen digunakan untuk mencegah kontaminasi saat penanaman eksplan. Setelah tutup botol dibuka, bagian sekitar mulut botol dilewatkan di atas api bunsen untuk memperkecil kontaminasi. Eksplan yang telah disterilkan, diambil dari dalam cawan petri dan dimasukkan ke dalam botol kultur dengan menggunakan pinset steril. Lalu botol kultur ditutup dengan aluminium foil dan disusun di rak kultur.

Gambar 3.4.4 Penanaman biji pada media MS


(32)

Eksplan yang telah ditanam di dalam botol kultur diletakkan pada rak pemeliharaan dengan kondisi ruangan yang steril, suhu berkisar 17 oC. Intensitas cahaya yang digunakan dengan penyinaran lampu neon 500 lux. Botol-botol yang berisi eksplan diatur posisinya sehingga memudahkan untuk pengamatan. Tiap kali pengamatan hendaknya tangan dan area tempat botol yang telah berisi eksplan disterilkan dengan alkohol 70% untuk mengurangi terjadinya kontaminasi.

3.4.6 Preparasi Reagen Protein

Coomassie Brilliant Blue G-250 sebanyak 100 mg dilarutkan kedalam 50 ml etanol

95%. Larutan ini kemudian dicampur dengan 100 ml asam fosfat 85%, dilarutkan dengan 1 L akuades. Reagen kemudian disaring dengan kertas penyaring sebelum disimpan pada suhu kamar.

3.4.7 Pembuatan Kurva Standar BSA (Bovine Serume Albumin)

Larutan protein standar dibuat dengan melarutkan 1 g BSA dalam 100 ml akuades dan dimasukkan ke dalam masing-masing tabung reaksi. Dalam larutan ditambahkan reagen protein Coomassie Brilliant Blue G-250 hingga volume maksimal dan dihomogenkan. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm serta ditentukan persamaan kurva standar larutan protein.

3.4.8 Ekstraksi Kalus

Kalus dari biji Terung Belanda yang diperoleh secara in vitro pada tiap perlakuan, ditimbang berat basahnya seberat 200 mg dalam 2X pengambilan (duplo), digerus dengan menggunakan nitrogen cair hingga terbentuk larutan. Ekstrak kemudian di homogenasikan dengan 2 ml buffer Tris-HCl (0,05 M, pH 8). Lalu larutan tersebut disentrifus dengan kecepatan 14.000 rpm selama 20 menit pada suhu 0 0C hingga


(33)

terbentuk 2 bagian yaitu bagian pertama adalah bagian supernatan yang berupa protein kalus dan bagian yang lainnya residu berupa endapan, bagian yang membentuk supernatan berupa ekstrak kasar protein kalus diambil untuk analisis selanjutnya.

3.4.9 Analisis Protein

Prosedur analisis protein dilakukan berdasarkan metode Bradford (1976) dengan menggunakan 0,1 ml ekstrak kalus dan dicampurkan dengan 5 ml (Coomassie

Brilliant Blue G-250), kemudian homogenkan. Larutan diukur absorbansinya dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Cara penentuan konsentrasi protein kalus adalah dengan mengekstrapolasikan nilai absorbansi ekstrak kalus dengan kurva standard BSA (Lampiran M, Halaman 53).

3.4.10 Penentuan Aktivitas Enzim

Penentuan aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase dengan menggunakan metode Kar dan Mishra (1976). Prosedur ini berdasarkan pada kemampuan peroksidase dan polifenol oksidase dapat mengoksidasi pyrogallol. Proses oksidasi dari enzim peroksidase dalam mengkatalisis reaksi menggunakan H2O2 (Kar & Mishra, 1976;

Maehly & Chance, 1954), berbeda dengan oksidasi dari polifenol oksidase yang tidak menggunakan H2O2. Nilai absorban kalus dikonversikan menjadi aktivitas enzim

dengan menentukan pyrogallol (substrat) yang diubah menjadi purpurogalin. Penentuan pyrogallol yang bereaksi adalah dengan mengekstrapolasikan nilai absorban dengan kurva pyrogallol (Lampiran N, Halaman 54)

3.4.10.1 Peroksidase

Pengujian aktivitas enzim ini menggunakan 5 ml pyrogallol 10 mM yang dicampurkan dengan 0,1 mM buffer posfat pada pH 6,8. Campuran ditambahkan 30 µg ekstrak kalus, dan ditambahkan 0,1 ml H2O2 10 mM, di diamkan selama 5 menit


(34)

pada suhu 25 oC, kemudian campuran ekstrak kalus dengan pyrogallol ditambahkan 0,5 ml H2SO4 5% untuk menghentikan reaksi. Pengukuran absorbansi dilakukan

dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm.

3.4.10.2 Polifenol Oksidase

Pengujian aktivitas enzim ini menggunakan 5 ml pyrogallol 10 mM yang dicampurkan dengan 0,1 mM buffer posfat pada pH 6,8. Campuran ditambahkan 70 µg ekstrak kalus, kemudian campuran ekstrak kalus dan pyrogallol ditambah 0,5 ml H2SO4 5% untuk menghentikan reaksi. Pengukuran absorbansi dilakukan dengan

menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm.

3.4.11 Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah: Pengamatan secara kuantitatif

a. Berat basah kalus tanaman Terung Belanda (gram) b. Persentase kontaminasi keseluruhan (%)

persentase kultur terkontaminasi dihitung setiap hari sejak awal hingga akhir penelitian

Jumlah eksplan yang terkontaminasi

persentase terkontaminasi = X 100 %

Jumlah eksplan seluruh perlakuan c. Warna Kalus

d. Persentase Kultur Yang Hidup (%)

Jumlah eksplan yang terkontaminasi

persentase terkontaminasi = X 100 %

Jumlah eksplan seluruh perlakuan


(35)

f. Penentuan aktivitas peroksidase (PO)

g. Penentuan aktivitas polifenol oksidase (PPO)

3.5Analisis Data

Data penelitian menggunakan metode RAL ini akan dianalisis dengan Análisis of Variace (ANOVA). Sedangkan untuk menguji beda antara perlakuan dilakukan dengan Uji Jarak Duncan (UJD) atau sering disebut Duncan New Multiple Range Test (DNMRT) (Sastrosupadi, 2004).


(36)

1,00 1,20

a

lu

s (

g

)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Berat Basah kultur (g)

Berat basah kultur dan analisis statistiknya dapat dilihat pada Lampiran A Halaman 41. Dari tabel sidik ragam diketahui bahwa interaksi antara konsentrasi EMS dengan waktu perendaman memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Sedangkan konsentrasi EMS memberikan berpengaruh nyata bagi pertambahan berat basah kultur, begitu juga dengan lama perendaman dalam EMS memberikan hasil yang sangat berbeda nyata. Rata-rata penambahan berat basah kalus ditampilkan pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Rata-rata Penambahan Berat Basah Kalus (g) Pada Perlakuan Konsentrasi dan Lama Perendaman EMS

Konsentrasi Lama Perendaman Rataan

T1 T2 T3

C0 1,07 0,98 0,85 0,97 a

C1 1,05 0,80 0,33 0,73 b

C2 0,70 0,70 0,25 0,55 c

C3 1,10 0,50 0,42 0,67 d

Rataan 0,98 aA 0,75 bB 0,46 cC

Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama bila diikuti dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% (huruf) kecil) dan taraf 1% (huruf besar menrut uji Duncan.

C0 (0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit)

Hubungan yang terjadi antara lama perendaman dengan berat basah kultur adalah berbanding terbalik dan tampak bahwa hubungan tersebut sangat berbeda nyata. Respon rata-rata persentase kultur berkalus terhadap lama perendaman dapat dilihat pada Gambar 4.1.1 berikut:


(37)

0,60 0,80 1,00 1,20

t b

a

sa

h

k

a

lu

s (

g

)

Gambar 4.1.1 Pengaruh lama perendaman EMS terhadap rata-rata berat basah kalus Terung Belanda

Lama perendaman selama 30 menit (T1) memberikan rata-rata berat basah

kalus yang lebih tinggi dibanding dengan perendaman 60 (T2) dan 90 (T3) menit

(Gambar 4.1.1). Hal ini dikarenakan pada menit ke-30 jumlah kandungan EMS dalam jaringan belum menyebabkan toksik sehingga EMS tersebut dapat memacu sel-sel pada eksplan untuk membelah dengan demikian dapat meningkatkan berat basah kalus dari tanaman Terung Belanda. Menurut Priyono dan Agung (2002) bahwa sel-sel pada kalus dapat terpicu untuk melakukan pembelahan apabila lama perendaman mutagen yang diberikan sesuai sehingga difusi kedalam jaringan akan terjadi lebih baik sehingga dapat meningkatkan berat basah kalus.

Dengan lama perendaman yang lebih lama sekitar 60 dan 90 menit dalam EMS dapat menyebabkan terhambatnya proses pembentukan kalus karena telah terjadi akumulasi EMS yang sangat tinggi, sehingga sel-sel dari kalus tidak dapat berproliferasi dengan sempurna bahkan hal ini dapat menyebabkan toksik bagi kalus tanaman. Jander (2003) menambahkan bahwa mutagen dengan akumulasi dosis yang tinggi dapat mematikan eksplan tanaman dan dapat mengakibatkan eksplan tanaman yang termutasi menjadi steril.


(38)

Gambar 4.1.2 Pengaruh konsentrasi EMS terhadap rata-rata berat basah kalus Terung Belanda

Sedangkan pemberian perlakuan konsentrasi EMS terhadap rata-rata berat basah kalus menunjukkan bahwa konsentrasi EMS memberikan hasil yang fluktuatif terhadap berat basah kalus Terung Belanda. Pada konsentrasi C2 (0,10 %) memiliki berat basah kalus yang terendah dari konsentrasi yang lainnya, sedangkan pada konsentrasi C0 (0 %) memiliki berat basah kalus yang paling tinggi namun pada konsentrasi C3 (0,15 %) terjadi peningkatan berat basah kalus (Gambar 4.1.2). Hal ini kemungkinan karena pada konsentrasi tersebut EMS dapat memberikan rangsangan yang positif terhadap fitohormon dalam kalus Terung Belanda, sehingga sel-sel kalus dapat membelah dan meningkatkan berat basah kalus. Menurut Priyono dan Agung (2002) bahwa penggunaan mutagen dengan konsentrasi tertentu dapat memacu fitohormon dalam tumbuhan misalnya auksin yang dapat mendorong pembelahan sel pada tanaman.

4.2 Warna Kalus

Pada umumnya warna kalus setiap eksplan tanaman berbeda satu dengan yang lainnya. Pada penelitian ini warna kalus digunakan sebagai parameter guna mengetahui ada tidaknya pengaruh dari EMS terhadap kalus biji Terung Belanda. Dari hasil pengamatan warna kalus Terung Belanda bervariasi yaitu putih, putih kecoklatan, dan coklat (Gambar 4.2.1). Warna kalus pada semua perlakuan menunjukkan 14,06% putih, 71,87% putih kecoklatan dan 14,06% coklat (Tabel 4.2).


(39)

Warna kalus putih sebanyak 9 botol (14,06%), warna kalus putih kecoklatan sebanyak 46 botol (71,87%) dan 9 botol (14,06%) kalus bewarna coklat. Warna kalus putih berpotensi untuk tumbuh membentuk planlet karena kalus terlihat segar, kompak, dan bernodul. Sedangkan warna kalus yang berpotensi untuk mati adalah kalus yang berwarna coklat dan warna kalus putih kecoklatan kemungkinan dapat berubah warna lagi menjadi coklat dan mati seiring lamanya inkubasi.

(a) (b) (c)

Gambar 4.2.1 Warna kalus setelah perlakuan EMS: (a) putih; (b) putih kecoklatan; (c) coklat

Tabel 4.2 Pengamatan Warna Kalus setelah Perlakuan EMS

Perlakuan Warna Kalus Total

Putih Putih

Kecoklatan

Coklat

C0T1 0 6 0 6

C0T2 3 3 0 6

C0T3 1 5 0 6

C1T1 0 5 1 6

C1T2 1 3 2 6

C1T3 0 3 1 4

C2T1 0 4 1 5

C2T2 3 2 1 6

C2T3 0 2 1 3

C3T1 1 5 0 6

C3T2 0 5 0 5

C3T3 0 3 2 5

Total 9

(14,06 %)

46 (71,87 %)

9 (14,06 %)

64 (100 %) Kalus yang bewarna coklat apabila tidak disubkultur kembali maka akan mengalami penuaan dan dapat mengeluarkan senyawa fenolat pada kultur. Untuk menghindari oksidasi dari senyawa fenolat tersebut maka sebelum kalus mengalami penuaan harus segera mungkin disubkulturkan ke medium baru. Menurut Gunawan


(40)

(1995) perlu dilakukan subkultur pada kalus setiap 28 hari sekali dalam media yang baru yang komposisinya sama dengan media asal sebelum disubkultur untuk mencegah kurangnya nutrisi pada kalus.

Pada beberapa kalus pencoklatan terjadi seiring lamanya waktu pengkalusan. Hal ini diduga akibat kalus mengalami penuaan sehingga pertumbuhan kalus terhenti dan akhirnya akan mati. Soegihardjo (1993) menjelaskan bahwa apabila kalus mengalami penuaan dengan ciri-ciri kalus berubah warna menjadi coklat, pertumbuhan terhenti dan akhirnya terjadi pengeringan akibat nutrisi habis sehingga menghambat difusi nutrien, penguapan air yang mengakibatkan naiknya konsentrasi nutrien tertentu dalam media, dan penimbunan metabolit yang bersifat racun bagi kalus.

4.3 Persentase Kultur Yang Hidup (%)

Persentase kultur yang hidup merupakan banyaknya kultur yang hidup dari seluruh eksplan yang ditanam. Biasanya persentasi kultur yang hidup ini diamati pada akhir penelitian. Dari pengamatan didapat bahwa jumlah kultur yang hidup sebanyak 64 botol atau 88,88 % (Lampiran B, Halaman 42). Jumlah ini sudah dapat mewakili untuk menjelaskan pengaruh pemberian EMS dan lama perendaman terhadap pertumbuhan kalus terung belanda secara in vitro. Kultur yang hidup dapat diamati dengan ciri kalus segar, bernodul, terlihat kompak dan tidak bewarna coklat yang sangat tua. Salah satu contoh kultur yang hidup dapat dilihat pada Gambar 4.3.1, sedangkan data pengamatan persentase kultur yang hidup dapat ditampilkan pada Tabel 4.3 yang terlihat sebagai berikut:

Tabel 4.3 Rataan persentase kultur yang hidup

Konsentrasi Lama Perendaman Rataan

T1 T2 T3

C0 100% 100% 100% 100%

C1 100% 100% 66,66% 88,88%


(41)

C3 100% 83,33% 83,33% 88,88%

Rataan 95,83% 95,83% 75% 88,88%

Pada Tabel 4.3 terlihat hampir pada semua perlakuan terdapat kultur yang hidup dan pada perlakuan C2T3 memiliki jumlah kultur hidup yang paling sedikit yaitu

sebanyak 50 %. Hal ini mungkin disebabkan konsentrasi dan lama waktu perendaman dengan EMS tidak sesuai untuk menghasilkan kultur hidup. Peningkatan konsentrasi dan lama perendaman EMS dapat menurunkan persentase kultur yang hidup.

Menurut Priyono dan Agung (2002) bahwa waktu perendaman serta konsentrasi dari EMS yang tinggi dapat menghambat jaringan untuk tumbuh. Sama halnya dengan EMS mutagen lainnya seperti kolkisin bila digunakan dengan konsentrasi tinggi dan waktu perendaman yang tinggi dapat mengakibatkan kerusakan fisiologi dari tanaman. Simarmata (2008) dalam skripsinya menambahkan bahwa penggunaan kolkisin yang semakin tinggi dapat menghambat kemampuan sel-sel kalus untuk beregenerasi. Pemberian kolkisin mengakibatkan penundaan pertumbuhan akibat jaringan yang rusak dan memerlukan kisaran waktu tertentu untuk tumbuh.

Menurut Greene et al. (2005) dalam jurnalnya menambahkan bahwa peningkatan senyawa mutagenik pada jaringan tanaman dapat mempengaruhi sistem metabolisme tanaman tersebut. Pemberian mutagen pada jaringan tanaman dapat berdampak buruk apabila tidak sesuai dengan kemampuan jaringan tanaman untuk mengoptimalkan mutagen tersebut.

Persentase kultur yang hidup untuk perlakuan C3T3 diperoleh lebih tinggi

dibandingkan persentase dari perlakuan C2T3. Hal ini disebabkan pada penelitian ini

perlakuan C3T3 sedikit terdapat kontaminasi pada perlakuannya bila dibandingkan

C2T3 yang lebih banyak terjadi kontaminasi. Menurut Gunawan (1995) bahwa

kontaminasi dapat mempengaruhi jumlah kultur yang hidup.

3 1


(42)

2

Gambar 4.3.1 Kultur yang hidup pada perlakuan C3T1 (konsentrasi EMS 0,15%

dan lama perendaman 30 menit) Keterangan: (1) kalus; (2) sisa eksplan; (3) nodul

Pada pengamatan tidak terjadi perubahan kalus menjadi planlet, namun kalus tetap hidup dan ditandai dengan penambahan ukuran kalus. Tingginya persentase kultur yang hidup memperlihatkan bahwa aktifitas metabolisme yang terjadi pada kalus berjalan dengan baik dan nutrisi pada media masih tercukupi sehingga pertumbuhan kultur yang hidup tinggi.

Yusnita (2003) menambakan bahwa nutrien yang lengkap dalam media sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan dari kalus tanaman. Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan.

4.4 Persentase Kultur Yang Terkontaminasi (%)

Data pengamatan kultur terkontaminasi dapat dilihat pada Lampiran C Halaman 43. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa persentase kultur yang terkontaminasi sebesar 11,11 % yaitu sebanyak 8 botol dari 72 botol kultur.

Kontaminasi diduga karena pengaruh beberapa faktor antara lain adanya lendir yang berasal dari bagian testa dari biji yang sulit dihilangkan sehingga menyebabkan bakteri dan jamur untuk masuk. Jamur dan bakteri merupakan kontaminan yang sering mengkontaminasi dan harus dihilangkan dari eksplan. Menurut Gunawan (1995) salah satu pembatas dalam keberhasilan kultur jaringan adalah kontaminasi yang dapat


(43)

terjadi setiap saat selama masa kultur. Kontaminasi dapat berasal dari eksplan, botol kultur, dan alat penanam yang kurang steril, lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor serta kecerobohan dalam pelaksanaan.

Untuk menghilangkan kontaminan-kontaminan pada eksplan maka dilakukan suatu sterilisasi yang baik. Menurut Gunawan (1995), bahwa inisiasi kultur yang terbebas dari kontaminasi merupakan langkah yang sangat penting karena pada bahan tanaman banyak mengandung debu, kotoran-kotoran dan berbagai kontaminan lainnya. Katuuk (1989) menambahkan bila kontaminan tidak dihilangkan maka pada media yang mengandung gula, vitamin dan mineral akan tumbuh jamur dan bakteri secara cepat karena media tersebut disenangi jamur dan bakteri.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan, penyebab kontaminasi lebih banyak disebabkan oleh jamur dimana perkembangan jamur sangat cepat sehingga bisa menutupi media dan eksplan. Menurut Katuuk (1989), kontaminasi yang sering terjadi disebabkan dari spora jamur dan bakteri yang ada dimana-mana, karena massa yang ringan dan ukuran yang sangat kecil memungkinkan spora untuk berpindah hanya dengan gerakan udara yang lambat.

Apabila kultur tanaman dalam botol sudah terkontaminasi maka botol tersebut harus segera dikeluarkan dari ruang inkubasi (Nugroho & Sugito, 2000). Setelah itu, botol harus dicuci bersih agar kultur yang sehat dalam botol lainnya tidak terkontaminasi sebab spora jamur yang sudah berkembang mudah sekali untuk terhambur keluar oleh angin.

4.5 Determinasi Protein Kalus

Daftar sidik ragam untuk determinasi protein pada Lampiran E Halaman 45. menunjukkan bahwa hasil pengukuran protein kalus dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Data pengukuran protein kalus dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Data determinasi protein kalus yang diukur menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm


(44)

0 5 10 15 20 25 30

C0T1 C0T2 C0T3 C1T1 C1T2 C1T3 C2T1 C2T2 C2T3 C3T1 C3T2 C3T3 Perlakuan K a d a r p r o te in ( µ g /g e k st r a k k a lu s)

C0T1 20,726 cC

C0T2 22,148 abB

C0T3 22,207 abB

C1T1 22,845 aA

C1T2 24,383 aA

C1T3 22,990 aA

C2T1 20,436 cCd

C2T2 22,816 aA

C2T3 19,623 dD

C3T1 22,119 abB

C3T2 21,336 bBc

C3T3 21,510 bBc

Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama bila diikuti dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% (huruf) kecil) dan taraf 1% (huruf besar menurut uji Duncan.

C0 (0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit)

Gambar 4.5.1 Pengaruh lama perendaman dan konsentrasi EMS terhadap kadar protein kalus Terung Belanda

Pada Gambar 4.5.1 menunjukkan bahwa kadar protein tertinggi yaitu pada perlakuan C1T2 yaitu konsentrasi 0,05 % dengan lama perendaman 60 menit memiliki

kadar protein sebesar 24,383 µg/g ekstrak kalus dan kadar protein yang terendah yaitu pada perlakuan C2T3 yaitu konsentrasi 0,10 % dengan lama perendaman 90 menit

memiliki kadar protein sebesar 19,623 µg/g ekstrak kalus. Kadar protein kalus yang diinduksi EMS bila dibandingkan dengan kontrol tidak terlalu menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata. Hal ini mungkin dikarenakan konsentrasi 0,05% dengan lama perendaman 60 menit merupakan perlakuan yang sesuai terhadap kadar protein kalus Terung Belanda sehingga pada perlakuan ini protein kalus memiliki kadar yang lebih tinggi dibanding kontrol. Apabila konsentrasi dan lama perendaman ditingkatkan mungkin dapat menurunkan kadar protein kalus. Seperti yang terlihat pada perlakuan


(45)

C2T3 yang konsentrasi dan lama perendamannya meningkat menyebabkan kadar

protein kalus rendah.

Rendahnya nilai kadar protein kalus dapat disebabkan karena adanya pengaruh dari aktivitas metabolisme protein secara umum. Apabila aktivitas metabolisme protein terganggu akibat adanya senyawa lain seperti EMS yang merupakan mutagen dapat menghambat proses terbentuknya protein dari kalus terung belanda sehingga aktivitas pembentukan protein menurun. Menurut Shiomi and Hori (1975) bahwa protein kalus dapat terhambat pembentukannya apabila ada suatu hal yang menghambat proses kerja pembentukan protein dalam kalus. Hal ini dapat dianalisis secara biokimia.

4.6 Penentuan Akivitas Peroksidase (PO)

Hasil pengukuran aktivitas peroksidase dapat dilihat pada Lampiran F Halaman 46, dari daftar sidik ragam yang diperoleh bahwa aktivitas peroksidase menunjukkan pengaruh yang sangat berbeda nyata. Nilai aktivitas enzim ditandai dengan banyaknya pyrogallol yang terurai menjadi purpurogallin. pengukuran aktivitas peroksidase dapat dilihat pada tabel 4.6, sedangkan untuk pola perubahan aktivitas peroksidase tersebut ditampilkan pada Gambar 4.6.1.

Dari Tabel 4.6 dapat dilihat bahwa nilai aktivitas enzim tertinggi terdapat pada perlakuan C3T1, begitu juga untuk nilai aktivitas spesifiknya. Sedangkan kontrol

menunjukkan aktivitas enzim dan aktivitas spesifik yang lebih tinggi bila dibanding dengan perlakuan induksi EMS 0,05% dan lebih rendah dari perlakuan induksi EMS 0,1% dan 0,15%. Hal ini mungkin dikarenakan aktivitas peroksidase pada kontrol tanpa induksi EMS merupakan aktivitas yang konstitutif dan akan meningkat apabila diinduksi. Menurut Herison et al. (2007) bahwa peroksidase merupakan salah satu enzim yang sifatnya konstitutif pada tanaman dan akan meningkat apabila terinduksi oleh suatu hal.

Tabel 4.6 Aktivitas Peroksidase


(46)

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40

C0T1 C0T2 C0T3 C1T1 C1T2 C1T3 C2T1 C2T2 C2T3 C3T1 C3T2 C3T3 Perlakuan A k tiv it a s p e r o k sid a se ( µ m o l/m e n it )

(µmol/menit) (unit/µg protein)

C0T1 0,254 aAb 0,012

C0T2 0,196 bB 0,009

C0T3 0,267 aA 0,012

C1T1 0,210 bB 0,009

C1T2 0,169 cC 0,007

C1T3 0,156 cC 0,007

C2T1 0,217 bB 0,011

C2T2 0,230 aAb 0,010

C2T3 0,271 aA 0,014

C3T1 0,363 aA 0,016

C3T2 0,295 aA 0,014

C3T3 0,321 aA 0,015

Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama bila diikuti dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% (huruf) kecil) dan taraf 1% (huruf besar menurut uji Duncan.

C0 (0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit)

Gambar 4.6.1 Pola perubahan aktivitas peroksidase (µg/menit)

Selain dengan penginduksian tanaman yang mengalami cekaman fisik ataupun

fisiologis juga menampakkan peningkatan aktivitas peroksidase yang signifikan (Artlip and Funkhouser, 1995). Herison et al. (2007) juga mengemukakan bahwa peningkatan aktivitas enzim peroksidase adalah respon umum tanaman terhadap cekaman lingkungan.

Hasil penelitian aktivitas enzim akibat adanya induksi EMS ini sesuai dengan penelitian yang terdahulu, yakni dengan penginduksian EMS dianggap dapat memberikan cekaman secara fisiologis dari kalus terung belanda sehingga dapat meningkatkan aktivitas dari peroksidase tersebut. Hal ini didukung oleh Herison et

al.(2007) bahwa tanaman yang resisten memperlihatkan aktivitas peroksidase yang


(47)

Pemberian perlakuan mutagen EMS yang dianggap dapat memicu peningkatan aktivitas peroksidase pada kalus Terung Belanda. Peroksidase merupakan enzim yang sifatnya memang ada secara alami dalam tanaman dan dapat meningkat aktivitasnya bila diinduksi dengan hal-hal tertentu misalkan dengan pemberian mutagen seperti EMS. Seiring dengan meningkatnya konsentrasi dari EMS maka meningkat pula aktivitas dari peroksidase kalus Terung Belanda. Sedangkan untuk lama perendaman EMS memberikan waktu yang flukuatif terhadap aktivitas pembentukan peroksidase. Menurut Herison et al. (2007) bahwa aktivitas peroksidase meningkat dengan adanya induksi tertentu seperti pemberian senyawa kimia ataupun dengan penginfeksian patogen pada tumbuhan tersebut.

4.7 Penentuan Aktivitas Polifenol Oksidase (PPO)

Hasil pengukuran aktivitas enzim dapat dilihat pada Lampiran G Halaman 47, daftar sidik ragam menunjukkan bahwa aktivitas polifenol oksidase dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm menunjukkan pengaruh yang sangat berbeda nyata. Aktivitas polifenol oksidase ditandai dengan banyaknya pyrogallol yang terurai menjadi purpurogallin untuk tiap menitnya. Nilai aktivitas polifenol oksidase dapat dilihat pada Tabel 4.7 dan pola perubahan aktivitas polifenol oksidase ditampilkan pada Gambar 4.7.1.

Data pengukuran aktivitas polifenol oksidase dapat dilihat pada Tabel 4.7. Dari Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa perlakuan C3T1 memiliki nilai aktivitas enzim dan

aktivitas spesifik yang tertinggi. Pada kontrol diperoleh hasil yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan induksi EMS 0,05% dan lebih rendah dari perlakuan induksi EMS 0,1% dan 0,15% . Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas polifenol oksidase bersifat sama dengan peroksidase yaitu konstitutif dan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi EMS yang diberikan. Aktivitas polifenol oksidase yang semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi EMS ini bertujuan sebagai sistem resistensi internal dari kalus Terung Belanda tersebut. Sama halnya


(48)

0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08

C0T1 C0T2 C0T3 C1T1 C1T2 C1T3 C2T1 C2T2 C2T3 C3T1 C3T2 C3T3

Perlakuan A k tiv it a s p o lif en o l o k sid a se m o l/ m en it)

dengan peroksidase, enzim ini juga dapat meningkatkan sistem mekanisme pertahanan dalam bentuk lignifikasi dinding sel. Sehingga tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Tabel 4.7 Aktivitas Polifenol oksidase

Perlakuan Nilai aktivitas polifenol oksidase (µmol/menit)

Nilai aktivitas spesifik (unit/µg protein)

C0T1 0,063 aAb 0,0030

C0T2 0,062 aAb 0,0028

C0T3 0,069 bBc 0,0031

C1T1 0,059 a 0,0026

C1T2 0,056 a 0,0023

C1T3 0,065 bB 0,0028

C2T1 0,066 bB 0,0032

C2T2 0,061 aAb 0,0027

C2T3 0,061 aAb 0,0031

C3T1 0,076 cC 0,0034

C3T2 0,072 cC 0,0034

C3T3 0,066 bB 0,0031

Keterangan: Angka-angka dalam kolom yang sama bila diikuti dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% (huruf) kecil) dan taraf 1% (huruf besar menurut uji Duncan.

C0 (0,0%), C1 (0,05%), C2 (0,10%), C3 (0,15%), T1 (30 menit), T2 (60 menit), T3 (90 menit)

Gambar 4.7.1 Pola perubahan aktivitas polifenol oksidase (µg/menit) Aktivitas polifenol oksidase dan peroksidase berjalan secara sinergis dalam tanaman. Enzim-enzim tersebut terdapat hampir di setiap organ tanaman dan memiliki nilai aktivitas yang berbeda untuk setiap organ tanaman. Terdapat hubungan yang sangat dekat antara peningkatan aktivitas polifenol oksidase dengan aktivitas metabolik lainnya. Menurut Bashan et al. (1987) beberapa penelitian menemukan


(49)

bahwa terdapat hubungan yang sangat dekat antara peningkatan aktivitas polifenol oksidase dengan komposisi senyawa fenolat dan aktivitas peroksidase.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kar dan Mishra (1976) memperoleh hasil bahwa polifenol oksidase dan peroksidase bekerja secara sinergis. Pada penelitiannya tentang aktivitas katalase, peroksidase dan polifenol oksidase terhadap penuaan daun padi didapat hasil bahwa ketiga enzim ini saling berhubungan. Katalase dapat berperan dalam pengekspresian hormon kinetin sedangkan peroksidase dan polifenol oksidase berperan sebagai pengontrol dalam regulasi penyerapan mineral.

BAB 5


(50)

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

a. Peningkatan konsentrasi dan lama perendaman EMS menyebabkan penurunan berat basah kalus akan tetapi dapat meningkatkan aktivitas dari peroksidase dan polifenol oksidase.

b. Perlakuan terbaik untuk berat basah kalus yaitu C3T1 (1,10 gram), sedangkan

untuk aktivitas peroksidase yaitu C3T1 (0,363 µmol/menit) dan polifenol oksidase

yaitu C3T1 (0,076 µmol/menit).

5.2 Saran

a. Perlu diuji korelasi antara aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase terhadap resistensi pada tanaman Terung Belanda.

b. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas peroksidase dan polifenol oksidase pada tanaman yang bernilai ekonomi lainnya.


(51)

Abidin, Z.1982. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Bandung. Penerbit Angkasa. hlm: 1

Arora, Y.K and D.S. Wagle. 1985. Interrelationship Between Peroxidase, Poliphenol Oxidase Activities And Phenolic Content of Wheat For Resistance To Loose Smut. Plant Physol 180:75-78

Artlip, T.S and E.A. Funkhouser.1995. Protein Synthetic Responses To Environmental Stresses.New York. Marcel Dekker, Inc. page: 627-644

Arumingtyas, E.L dan S. Indriani. 2005. Induksi Variabilitas Genetik Percabangan Tanaman Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) Dengan Mutagen Kimia Ethyl

Methane Sulphonate (EMS). Natural Jurnal 8(2):hlm. 24-28

Bashan, Y., Y. Akon, and Y. Henis. 1987. Peroxidase, Polifenol Oxidase And Phenols In Relation To Resistance Against Pseudomonas syringae pv. Tomato In Tomato Plants. Bothanical 65:366-372.

Birecka, H., J. L. Catalfamo, and M.O. Garraway. 1975. Cell Wall And Protoplast Isoperoksidases of Corn Leaves In Relation To Cut Injury And Infection With

Helminthosporium maydis. Plant Physol 55:607-610

Bradford, M. M. 1976. A Rapid And Sensitive Methode For The Quantitation of Microgram quantities of Protein Utilizing The Principle of Protein – Dye Binding. Anal. Biochem 72:248-254

Catesson, A. M., A. Imberty, R. Goldberg, and Y. Czaninski. 1986. Nature,

Localization And Specificity of Peroksidases Involved In Lignification Process.

In: Molecular and Physiological Aspects of Plant Peroksidases. Eds. Greppin, H., C. Penel, and Th. Gaspar. Univ. of Geneva. Geneva, Switzerland. hlm: 189-198

Chen, M. Y, A. Hervas, R.M Jimenez-diaz and M. Tena. 2002. Plant Defence Reactions Against Fusarium Wilt In Chickpea Induced By Incompatible Race 0 of Fusarium oxysporum f.sp ciceris And Non Host Isolated of Fusarium

oxysporum. Plant Pathol 51:765-776

Departemen Pertanian, 1997. Kultur Jaringan. http//www.deptan.go.id. Diakses pada tanggal 17 September 2007.

Faucon, P. 1998. Tree Tomato, Tamarillo. http//www.deserttropical.com. diakses pada tanggal 10 Maret 2008

Gaman, P.M. & Sherrington, K.B. 1992. Ilmu Pangan: Penghantar Ilmu Pangan,

Nutrisi dan Mikrobiologi. Diterjemahkan oleh Gardjito, dkk. Edisi Kedua.


(52)

Gaspar, Th., C. Penel, F.J. Castillo, H. Greppin. 1985. A Two-Step Control of Basic And Acidic Peroxidases And Its Significance for Growth And Development.

Physiol Plant 64:418-423

Girindra, A. 1990. Biokimia 1. Jakarta. Penerbit PT Gramedia. hlm: 91-99

Greene, E.A., C.A. Codomo, N.E. Taylor, and J.G. Henikoff. 2003. Spectrum of Chemically Induced Mutation From a Large-Scale Reverse-Genetic Screen In Arabidopsis. Genetics 169:731-740

Gunawan, L. W. 1995. Teknik Kultur In Vitro Dalam Holtikultura. Jakarta. Penebar Swadaya. hlm: 6, 41-43, 50-51

Heddy, S.1986. Hormon Tumbuhan. Jakarta. Penerbit Rajawali. hlm: 3

Herison, C., Rustikawati, dan Sudarsono. 2007. Aktivitas Peroksidase, Skor ELISA dan Respon Ketahanan 29 Genotipe Cabai Merah Terhadap Infeksi Cucumber Mosaic Virus (CMV). Jurnal Akta Agrosia 10(1):1-13

Jander, G., S.R. Bearson, J.A. Hudak, and K.A. Gozales. 2003. Ethylmethanesulphonate Saturation Mutagenesis In Arabidopsis To Determine Frequency of Herbiside Resistance. Plant Physol 131:139-146 Jeannings, P. H., B. L. brannaman, and F. P. Zscheile Jr. 1969. Peroxidase And

Polyphenoloxidase Activity Associated With Helminthosporium Leaf Spot of maize. Phytopathology 59:963-967

Lewak, S. 1986. Peroxidases And Germination. In: Molecular And Physiological Aspects of Plant Peroksidases. Eds. Greppin, H., C. Penel, and Th. Gaspar. Univ. of Geneva. Geneva, Switzerland. page: 367-374

Kar, M., and D. Mishra. 1976. Catalase, Peroksidase, And Polyphenoloxidase Activities During Rice Leaf Senescence. Plant Physol 57:315-319

Katuuk, J.R.P. 1989. Teknik Kultur Jaringan, Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan

Tanaman Secara Vegetatif Modern. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. hlm: 12,

97-98

Kumalaningsih, S. 2006. Tamarillo (Terung Belanda). Cetakan 1. Surabaya. Trubus Agrisarana. hlm: 1-2

Martoharsono, S. 2000. Biokimia. Jilid II. Yogyakarta. UGM Press. hlm: 81-83

Nasir, M. 2002. Bioteknologi: Potensi dan Keberhasilannya dalam Bidang Pertanian. Cetakan pertama. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. hlm: 33

Nugroho, A dan H. Sugito. 2004. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. Cetakan kelima. Jakarta. Penebar Swadaya. hlm: 41


(53)

Page, D.S. 1989. Prinsip-Prinsip Biokimia. Diterjemahkan oleh Soendono. Jakarta. Penerbit Airlangga. hlm: 80

Pierik, R. L. M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Netherland. Martinus Nijhoff Publisher. page: 50

Poedjiadi. A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta. UI Press. hlm: 81-82

Priyono dan Agung, W. S. 2002. Respon Regenerasi In Vitro Eksplan Sisik Mikro Kerk Lily (Lilium longiflorum) Terhadap Ethyl Methane Sulphonate (EMS).

Jurnal Ilmu Dasar 3(2):74-79

Purwati, R.D , Untung Setio Budhi, dan Sudarsono. 2007. Penggunaan Asam Fusarat Dalam Seleksi In Vitro Untuk Resistensi Abaka Terhadap Fusarium

oxysporum f.sp. cubense. Jurnal Littri 13(2):64-72

Santoso, U dan F. Nursandi. 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Cetakan Kedua. Malang. Universitas Muhammadiyah. hlm: 63, 115, 137-138

Sastrosupadi, A. 2004. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Edisi Revisi. Cetakan Kelima. Yogyakarta. Kanisius. hlm: 53 & 57

Sato, M & M. Hasegawa. 1976. The Letency of Spinach Chloroplast Phenolase.

Phytochemistry 15(2):61-65

Simarmata, R.J.S. 2008 Kultur Kalus Biji Terung Belanda (Solanum tuberosum Cav.) Dengan Induksi Kolkisin Pada Media MS. Skripsi. Departemen Biologi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan

Shiomi, N and S. Hori. 1975. Photosyntetic Activity In Rice Seedling Infected With

piricularia oryzae Cavara. Ann. Rep. Radiation Center Osaka. Prefecture

16:65-67

Sugihardjo, C.J. 1993. Bioteknologi Kultur Jaringan Tanaman. Yogyakarta. UGM Press. hlm: 1-2

Suryo, H. 1995. Sitogenetika. Cetakan pertama. Yogyakarta.UGM Press. hlm: 219, 222-223

Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In vitro. Cetakan Pertama. Yogyakarta. Kanisius. hlm: 43-46, 89

Tjitrosoepomo, G. 2000. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Cetakan Kedua. Yogyakarta. UGM Press. hlm: 450-458

Tolbert, N. E. 1973. Activation of Polyphenol Oxidase of Chloroplasts. Plant Physol 51(2):234-244.


(54)

Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Bogor. Pusat Antara Universitas IPB. hlm: 18

Widiyanto, S. N. M. 1992. Dissertation Enzymatic Change In Rice Callus Lines Tolerant To Picolinic Acid. Jurnal Biologi 2:18-22.

Wetter, L. R. & Constabel, F. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Bandung. ITB Press. hlm: 3, 46

Yulianto M. E, Didik A, Fahmi A, Heni K, dan Nugraheni. 2007. Model Perpindahan Massa Proses Steaming Inaktivasi Enzim Polyphenol Oksidase Dalam Pengolahan Teh Hijau. Jurnal Teknik Dasar 1:22-30.

Yusnita, 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Cetakan Pertama. Jakarta. Agromedia Pustaka. hlm: 8, 46-47, 56

Yuwono,T. 2006. Bioteknologi Pertanian. Cetakan pertama. Yogyakarta. UGM Press.hlm: 163-165

Lampiran A. Pengamatan Berat Basah Kultur (g)

Data Pengamatan Berat Basah Kultur Sebelum Ditransformasi

Perlakuan Ulangan Total Rataan


(1)

Diambil 200 mg (duplo) Digerus dengan Nitrogen cair

Dihomogenkan dengan 2 ml buffer Tris-HCl 0,05 M

Disentrifuse dengan kecepatan 14000 rpm, suhu 00C selama 20 menit

Lampiran K. Alur Kerja Preparasi Reagen Protein dan Analisis Protein

1. Preparasi Reagen

Kalus

Larutan

Endapan Protein Kalus


(2)

Dilarutkan 100 mg kedalam 50 ml etanol 95 % Dicampur dengan 100 ml asam fosfat 85 % Dilarutkan dengan 1 liter aquades

Disaring dengan kertas penyaring Disimpan pada suhu kamar

2. Analisis Protein

Diambil 100 µg

Dimasukkan dalam tabung reaksi Dicampur dengan 5 ml reagen protein Dihomogenkan

Diukur absorbansinya pada panjang gelombang 595 nm

Lampiran L. Alur Kerja Penentuan Aktivitas Enzim Peroksidase dan Polifenol Oksidase

Coomassie Brilliant Blue G-250

Reagen Protein

Protein kalus

Hasil


(3)

1,2 1,4 1,6 1,8

o

r

b

a

n

si

1. Enzim Peroksidase

Ditambahkan 10 mM Pyrogallol

Dicampur dengan 0,1 mM buffer fosfat pH 6,8 Ditambahkan dengan 0,1 ml H2O2 10 mM

Diinkubasi selama 5 menit, suhu 25 0C Ditambahkan 0,5 ml H2SO4 5%

Diukur absorbansi pada panjang gelombang 420 nm

2. Enzim Polifenol Oksidase

Ditambahkan 10 mM Pyrogallol

Dicampur dengan 0,1 mM buffer fosfat pH 6,8 Ditambahkan 0,5 ml H2SO4 5%

Diukur absorbansi pada panjang gelombang 420 nm

Lampiran M. Kurva standar dan persamaan garis regresi kurva BSA (Bovine Serum Albumin)

30 µg Protein Kalus

Hasil

70 µg Protein Kalus

Hasil


(4)

0,6 0,8 1,0 1,2 1,4 la i a b so r b a n si R=0,9899

No Konsentrasi BSA

(µg/ml) (X)

Absorbansi (Y) XY X2 Y2

1. 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

2. 3,000 0,417 1,251 9,000 0,174

3. 6,000 0,725 4,350 36,000 0,526

4. 9,000 1,186 10,314 81,000 1,406

5. 12,000 1,398 17,316 144,000 1,954

6. 15,000 1,669 25,035 225,000 2,785

Σ X= 45 Σ Y= 5,395 Σ XY=58,266 Σ X2

= 495 Σ Y2= 6,845

Rataan X= 7,5 Rataan Y= 0,899

(n ΣXY) – ( (ΣX)(ΣY) )

b = a = Y – bX

(n ΣX2)- (Σ Y2)

= 0,883 – ((0,036) (7,5))

(6 (58,266)) – ((45)(5,395))

= = 0,613

(6(495)) – (6,845)

106,21 Y = a + b X

= = 0,613 + 0,036 X

2963,155

= 0,036

Lampiran N. Kurva standar dan persamaan garis regresi kurva pyrogallol


(5)

R=0,9876

No Konsentrasi BSA

(µg/ml) (X)

Absorbansi (Y) XY X2 Y2

1. 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000

2. 0,400 0,303 0,121 0,160 0,092

3. 0,800 0,588 0,470 0,640 0,346

4. 1,200 0,903 1,084 1,440 0,815

5. 1,400 0,987 1,382 1,960 0,974

6. 1,600 1,116 1,786 2,560 1,245

Σ X=5,4 Σ Y= 3,897 Σ XY= 4,843 Σ X2

= 6,760 Σ Y2= 34,73

Rataan X= 0,9 Rataan Y= 0,650

(n ΣXY) – ( (ΣX)(ΣY) )

b = a = Y – bX

(n ΣX2)- (Σ Y2)

= 0,650 – ((0,216)(0,9))

(6 (4,843)) – ((5,4)(3,897))

= = 0,456

(6(6,760)) – (34,73)

8,012 Y = a + b X

= = 0,456 + 0,216 X

37,087

= 0,216

Lampiran N. Komposisi Media MS (Murashige & Skoog) 1962


(6)

Bahan Kimia Konsentrasi Dalam Media (mg/l) Makro Nutrien

NH4NO3 1650,000

KNO3 1900,000

CaCl2 . H2O 440,000

MgSO4 . 7H2O 370,000

KH2PO4 170,000

Iron

Na2EDTA 37,000

FeSO4 . 7H2O 27,000

Mikro Nutrien

MnSO4 . 4H2O 22,300

ZnSO4 . 7H2O 8,600

H3BO3 6,200

KI 0,830

NaMoO4 . 2H2O 0,250

CuSO4 . 5H2O 0,025

CoCl . 6H2O 0,025

Vitamin

Glycine 2,000

Nicotine Acid 0,500

Pyrodoxin HCl 0,500

Thyamine HCl 0,100

Myo-inositol 100,000

Sukrosa 30.000,000

Agar 7.000,000

pH 5,8