Aktivitas Enzim Peroksidase Dan Polifenol Oksidase Pada Kalus Terung Belanda (Solanum Betaceum Cav.) Setelah Diinduksi Kolkisin

(1)

AKTIVITAS ENZIM PEROKSIDASE DAN POLIFENOL

OKSIDASE PADA KALUS TERUNG BELANDA (Solanum betaceum

Cav.) SETELAH DIINDUKSI KOLKISIN

SKRIPSI

WIDYA SARI AKRIYANI

050805041

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PERSETUJUAN

Judul : AKTIVITAS ENZIM PEROKSIDASE DAN

POLIFENOL OKSIDASE PADA KALUS TERUNG BELANDA (Solanum betaceum Cav.) SETELAH DIINDUKSI KOLKISIN

Kategori : SKRIPSI

Nama : WIDYA SARI AKRIYANI

Nomor Induk Mahasiswa : 050805041

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA

UTARA

Diluluskan di

Medan, November 2009

Komisi Pembimbing :

Pembimbing II Pembimbing I

Dra. Isnaini Nurwahyuni, M.Sc Dra. Elimasni, M.Si

NIP. 19600523 198502 2001 NIP. 19650524 199103 2001

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. NIP. 19640409 199403 1003


(3)

PERNYATAAN

AKTIVITAS ENZIM PEROKSIDASE DAN POLIFENOL OKSIDASE PADA KALUS TERUNG BELANDA (Solanum betaceumCav.) SETELAH DIINDUKSI

KOLKISIN

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, November 2009

WIDYA SARI AKRIYANI 050805041


(4)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini dengan judul ”Aktivitas Enzim Peroksidase dan Polifenol Oksidase Pada Kalus Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.) Setelah Diinduksi Kolkisin”.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dra.Elimasni, M.Si dan Ibu Dra.Isnaini Nurwahyuni, M.Sc yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini serta memberi doa dan dukungannya, kepada Bapak Prof. Dr.Dwi Suryanto, M.Sc selaku pembimbing serta ketua Departemen Biologi, Ibu Yurnaliza, M.Si, Bapak Riyanto Sinaga, M.Si selaku penasehat akademik, Ibu Deni Supriharti, M.Sc, Ibu Prof.Dr.Retno Widhiastuti, M.Si, Bapak Arlen,H.J, Kepada Bapak Nursal, kepada Ibu dan Bapak dosen Departemen Biologi yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuannya dalam perkuliahan, kepada Ibu Nurhasni Muluk, Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin selaku pegawai di Departemen Biologi. Kepada Bapak Edi Marliyanto selaku Dekan FMIPA USU. Juga Kepada Pegawai Laboratorium Biomolekuler, Marihat dan para asisten Farmasi Kuantitatif, Suji, Limiyan, dan Gema.

Terima kasih juga kepada Ayahku Bahrul Akri dan Ibuku Rayoani, serta adik-adikku tercinta Dedi Adriyansyah, M. Fachru Rozi dan Dinda Fachrani Akri yang selalu memberi semangat, dukungan, doa dan kasih sayang kepada penulis. Kepada seluruh keluarga besarku di Medan maupun di Padang dan di Jakarta.

Terima kasih juga kepada para sahabat-sahabatku yang selalu menemaniku dalam suka dan duka, Ulan, Nikma, Irfan, Andi, Kabul, Effendi, Imus, Ummi, Utin, Susi, Rico, Maysarah, Diana, Kak Put, Rahmad, Fifi, Dahin, Juned, Eri, Dwi, Andini, Yanti, Seneng, Siti, Riris, Timah, Susanty SM, Susanti Giant, Ocid, Fitria, Kalis, Ruth, Beca, Tober, Misran, Valen, Simlah, Julita, Erna, Erni, Delni, Winda, Dini, Verta, Taripar, Sarah L.P, dan Kurniayanti. Abang asuhku Bang M. Ghazali (Jhalie), kak Maini, Bang Rizki, bang Yophi, kak Atika, kak Ika dan senior-senior stambuk ’02, ’03 dan ’04 lainnya. Adik-adik juniorku Zuki, Umri, Mirza, Asril, Surya, Fatma, Farid, Nila, Zulfa, Nurma, Tetty, Kasbi, Dwi Ramdhani, Sirma, Tombak, dan semuanya adik-adik junior stambuk ’06,’07 dan’08 serta adik-adik dari jurusan Kimia Analis yang selalu memberikan semangat dan doanya.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada teman-teman SMA, kepada Dian, Irma, Ika, Ober, Dinda, Novo, Ratih, Kak Dodi yang selalu memberikan doa dan dukungannya. Kepada Raden Nugroho Adi Negoro, kepada Bang Asrul, Joko, Bang Anto. Kepada Ibu dan Bapak Guru TK/ Madrasah Al Iklasiyah, SD Muhammadiyah 17, SMPN 6 Medan dan SMAN 14 Medan yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuannya selama ini.

Penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya. Dan dapat digunakan untuk penelitian yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Sebelum dan sesudahnya, penulis mengucapkan terima kasih.


(5)

ABSTRAK

Penelitian tentang”Aktivitas Enzim Peroksidase dan Polifenol Oksidase Pada Kalus Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.) Setelah Diinduksi Kolkisin” telah dilakukan pada bulan April sampai dengan Agustus 2009 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Biologi, FMIPA USU, Laboratorium Biomolekuler, PPKS, Marihat, Pematang Siantar dan Laboratorium Farmasi Kuantitatif, Fakultas Farmasi USU dan Laboratorium Kimia Bahan Pangan, Fakultas Pertanian USU. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kolkisin dengan konsentrasi dan lama waktu perendaman yang paling baik terhadap nilai aktivitas enzim Peroksidase dan Polifenol oksidase pada kalus Terung Belanda.

Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor konsentrasi kolkisin 0: 0,01: 0,1 dan 1% serta lama waktu perendaman 5, 15 dan 30 menit. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi yang diberikan akan berpengaruh terhadap nilai berat basah dan nilai aktivitas enzim Peroksidase dan Polifenol oksidase sedangkan waktu perendaman berpengaruh secara fluktuatif. Dari hasil yang diperoleh bahwa perlakuan dengan konsentrasi kolkisin 0,1% (C3) memiliki rataan berat basah yang paling tinggi yaitu sebesar 1,32 g, sedangkan perlakuan kolkisin 1% memiliki berat basah yang paling rendah yaitu sebesar 1,14 g. Untuk nilai aktivitas tinggi terdapat pada perlakuan kolkisin 0,1% dengan waktu perendaman 30 menit (C3T3) sebesar 0,0082 unit dan

nilai aktivitas yang paling rendah pada perlakuan kolkisin 1% dengan waktu perendaman 5 menit (C4T1) sebesar 0,0068 unit. Untuk nilai aktivitas PPO tertinggi

terdapat pada perlakuan kolkisin 0,01% dengan waktu perendaman 30 menit (C2T3)

sebesar 0,0066 unit, sedangkan nilai PPO terrendah pada perlakuan kolkisin 0% dengan waktu perendaman 30 menit sebesar 0,0041unit.


(6)

ACTIVITIES OF PEROXIDASE AND POLYPHENOL OXIDASE OF TAMARILLO CALLI (Solanum betaceum Cav.) INDUCTION BY

COLCHISINE

ABSTRACT

The study on “Peroxidase and Polyphenol Oxidase of Tamarillo (Solanum betaceum Cav.) Calli Induction by Colchisine has been done on April to August 2009 in Tissue Culture Laboratory, Biology Departement of North Sumatera, Biomoleculer Laboratory of PPKS Marihat, Pematang Siantar, Quantitative Pharmacy, Pharmacy of North Sumatera and Material of Chemical, Agriculture of North Sumatera. The objective of the research was to obtain the effect of the best concentration and submertion time in colchisine to activity of peroxidase and polyphenol oxidase of tamarillo calli.

The research used Completly Randomized Design with 2 factors, which is 4 levels of colchisine (0; 0,01; 0,1 and 1%) and 3 levels submertion time (5, 15 and 30 minutes). The statistical analysis showed that with concentration affected to fresh weight of calli and the enzyme activities, however, the submertion time is fluctuation. The calli treated 0,1% colchisine has the great value of fresh weight 1,32 g and the lowest of fresh weight 1% (C4) with the value 1,14 g. The colchisine treatment of C3T3 indicated the great value of PO activity was equal to 0,0082 unit and meanwhile

the PPO activity was 0,0066 unit for the treatment of C2T3. The lowest value of

peroxidase activity was 0,0068 unit in C4T1, and PPO activity was 0,0041 unit in

C1T3.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar Isi vii

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar ix

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 4

1.3 Tujuan 4

1.4 Hipotesis 4

1.5 Manfaat Penelitian 4

BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Botani Solanum betaceumCav. 5

2.2 Budidaya Terung Belanda Secara In Vitro 6

2.3 Media Kultur Jaringan 8

2.4 Kalus 8

2.5 Kolkisin 9

2.6 Poliploidi 10

2.7 Enzim 11

2.8 Enzim Peroksidase (PO) 13

2.9 Enzim Polifenol Oksidase (PPO) 14

BAB 3 Bahan dan Metode 3.1 Waktu dan Tempat 16

3.2 Alat dan Bahan Penelitian 16

3.3 Metoda Penelitian 17

3.4 Cara Kerja 17

3.4.1 Sterilisasi Alat dan Bahan 17

3.4.2 Pembuatan Media 18

3.4.3 Sterilisasi Biji dan Perlakuan Biji Pada larutan Kolkisin 18

3.4.4 Penanaman Biji Pada Media MS 19

3.4.5 Pemeliharaan Kultur Kalus Pada Media MS 20

3.4.6 Pembuatan Reagen Coomassie Briliant Blue G 250 20

3.4.7 Pembuatan kurva standar Bovine Serum Albumin (BSA) 21

3.4.8 Ekstraksi Kalus 21

3.4.9 Determinasi Protein 21

3.5.0 Penentuan Aktivitas Enzim 22


(8)

3.5.2 Pengujian Enzim Polifenol Oksidase (PPO) 22

3.5.3 Parameter Pengamatan 23

3.5.4 Analisa Data 23

BAB 4 Hasil dan Pembahasan

4.1 Persentase Kultur Hidup Setelah Diinduksi Kolkisin 24 4.1.1 Berat Basah Kalus (g) 25

4.1.2 Warna Kalus 26

4.1.3 Proliferasi Kalus 28

4.1.4 Persentase Kultur Terkontaminasi (%) 30 4.2 Kadar Protein Kalus 31 4.3 Penentuan Aktivitas Enzim Peroksidase 33

4.4 Penentuan Aktivitas Enzim Polifenol Oksidase 35

BAB 5 Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 38

5.2 Saran 38

Daftar Pustaka 39

Lampiran A: Komposisi Media MS (Murashige dan Skoog) 46

Lampiran B: Alur Kerja Pembuatan Reagen 47

Coomassie Briliant Blue G-250

Lampiran C: Alur Kerja Pembuatan Kurva Standar BSA 48

Lampiran D: Alur Kerja Ekstraksi Kalus 49

Lampiran E: Alur Kerja Kerja Determinasi Protein 50 Lampiran F: Alur Kerja Penentuan Aktivitas Enzim Peroksidase 51 Lampiran G: Alur Kerja Penentuan Aktivitas Enzim Polifenol Oksidase 52

Lampiran H: Lay-out Penelitian 53

Lampiran I: Data Pengamatan Persentase Kultur Hidup Setelah Diinduksi 54 Kolkisin

Lampiran J: Data Pengamatan persentase Kultur Terkontaminasi 55

Lampiran K: Data Pengamatan Warna Kalus 56

Lampiran L: Data Pengamatan Awal Pembentukan Kalus 57 Lampiran M: Data Pengamatan Berat Basah Kalus (g) 58 Lampiran N: Data Pengukuran Kurva Standar BSA 60 Lampiran O: Data Pengukuran Kurva Standar Pyrogallol 62 Lampiran P: Data Pengukuran Determinasi Protein Kalus 64 Lampiran Q: Data Pengamatan Hasil Pengukuran Aktivitas Peroksidase 65 Lampiran R: Data Pengamatan Hasil Pengukuran Aktivitas Polifenol Oksidase 66 Lampiran S: Data Pengamatan Nilai Pyrogallol Yang Diubah 67

Menjadi Purpurogallin Pada Peroksidase

Lampiran T: Data Pengamatan Nilai Pyrogallol Yang Diubah 68 Menjadi Purpurogallin Pada Polifenol Oksidase


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1.0 Persentase Kultur Kalus Biji Terung Belanda yang hidup 24

setelah diinduksi Kolkisin Tabel 4.1.1 Hubungan Antara Berat Basah Kalus Terhadap Perlakuan 25

Kolkisin Dan Waktu Perendaman Tabel 4.1.2 Warna Kalus Setiap Perlakuan 27

Tabel 4.1.3 Proliferasi Kalus Yang Hidup Dan Beregenerasi 29

Tabel 4.3.0 Pengukuran Nilai Aktivitas Peroksidase 33

Tabel 4.4.0 Pengukuran Nilai Aktivitas Polifenol Oksidase 35


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.4.4 Biji Terung Belanda yang akan Diinduksi Kolkisin 19 Gambar 3.4.5 Pemeliharaan Kalus pada media MS di Ruang Kultur 20 Gambar 4.1.2 Warna Kalus Yang Terbentuk 28 Gambar 4.1.3 Kalus Yang Membentuk Tunas 29 Gambar 4.1.4 Kalus Yang Mengalami Kontaminasi 31 Gambar 4.2.0 Perlakuan Kolkisin Dengan Nilai Kadar Protein Kalus 32 Gambar 4.3.0 Perlakuan Kolkisin Dan Waktu Perendaman Dengan Nilai 33

Aktivitas Peroksidase

Gambar 4.50 Perlakuan Kolkisin Dan Waktu Perendaman Dengan Nilai 35 Aktivitas Polifenol Oksidase


(11)

ABSTRAK

Penelitian tentang”Aktivitas Enzim Peroksidase dan Polifenol Oksidase Pada Kalus Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.) Setelah Diinduksi Kolkisin” telah dilakukan pada bulan April sampai dengan Agustus 2009 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Biologi, FMIPA USU, Laboratorium Biomolekuler, PPKS, Marihat, Pematang Siantar dan Laboratorium Farmasi Kuantitatif, Fakultas Farmasi USU dan Laboratorium Kimia Bahan Pangan, Fakultas Pertanian USU. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kolkisin dengan konsentrasi dan lama waktu perendaman yang paling baik terhadap nilai aktivitas enzim Peroksidase dan Polifenol oksidase pada kalus Terung Belanda.

Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor konsentrasi kolkisin 0: 0,01: 0,1 dan 1% serta lama waktu perendaman 5, 15 dan 30 menit. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa konsentrasi yang diberikan akan berpengaruh terhadap nilai berat basah dan nilai aktivitas enzim Peroksidase dan Polifenol oksidase sedangkan waktu perendaman berpengaruh secara fluktuatif. Dari hasil yang diperoleh bahwa perlakuan dengan konsentrasi kolkisin 0,1% (C3) memiliki rataan berat basah yang paling tinggi yaitu sebesar 1,32 g, sedangkan perlakuan kolkisin 1% memiliki berat basah yang paling rendah yaitu sebesar 1,14 g. Untuk nilai aktivitas tinggi terdapat pada perlakuan kolkisin 0,1% dengan waktu perendaman 30 menit (C3T3) sebesar 0,0082 unit dan

nilai aktivitas yang paling rendah pada perlakuan kolkisin 1% dengan waktu perendaman 5 menit (C4T1) sebesar 0,0068 unit. Untuk nilai aktivitas PPO tertinggi

terdapat pada perlakuan kolkisin 0,01% dengan waktu perendaman 30 menit (C2T3)

sebesar 0,0066 unit, sedangkan nilai PPO terrendah pada perlakuan kolkisin 0% dengan waktu perendaman 30 menit sebesar 0,0041unit.


(12)

ACTIVITIES OF PEROXIDASE AND POLYPHENOL OXIDASE OF TAMARILLO CALLI (Solanum betaceum Cav.) INDUCTION BY

COLCHISINE

ABSTRACT

The study on “Peroxidase and Polyphenol Oxidase of Tamarillo (Solanum betaceum Cav.) Calli Induction by Colchisine has been done on April to August 2009 in Tissue Culture Laboratory, Biology Departement of North Sumatera, Biomoleculer Laboratory of PPKS Marihat, Pematang Siantar, Quantitative Pharmacy, Pharmacy of North Sumatera and Material of Chemical, Agriculture of North Sumatera. The objective of the research was to obtain the effect of the best concentration and submertion time in colchisine to activity of peroxidase and polyphenol oxidase of tamarillo calli.

The research used Completly Randomized Design with 2 factors, which is 4 levels of colchisine (0; 0,01; 0,1 and 1%) and 3 levels submertion time (5, 15 and 30 minutes). The statistical analysis showed that with concentration affected to fresh weight of calli and the enzyme activities, however, the submertion time is fluctuation. The calli treated 0,1% colchisine has the great value of fresh weight 1,32 g and the lowest of fresh weight 1% (C4) with the value 1,14 g. The colchisine treatment of C3T3 indicated the great value of PO activity was equal to 0,0082 unit and meanwhile

the PPO activity was 0,0066 unit for the treatment of C2T3. The lowest value of

peroxidase activity was 0,0068 unit in C4T1, and PPO activity was 0,0041 unit in

C1T3.


(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Terung belanda merupakan tanaman yang sangat populer di New Zealand. Tanaman ini termasuk keluarga Solanaceae yang berasal dari Peru dan masuk ke Negara Indonesia. Tanaman ini dikembangkan antara lain di Bali, Jawa Barat, dan Tanah Karo Sumatera Utara (Kumalaningsih, 2006). Tanaman ini telah dikenal dikalangan masyarakat Sumatera Utara sebagai salah satu bahan untuk jus buah segar yang sangat diminati karena rasanya yang asam manis. Terung belanda juga mulai dikembangkan pengolahannya dalam bentuk sirup. Selain itu, tanaman ini juga mempunyai potensi yang cukup baik untuk dijadikan selai yang tentunya akan menambah nilai ekonominya (Departemen Pertanian, 2003).

Terung belanda di Sumatera Utara mulai dikembangkan pengolahannya dalam bentuk sirup yang ternyata sangat disukai oleh masyarakat. Namun produksi sirup Terung belanda ini masih sangat terbatas karena tingkat produktivitasnya yang masih rendah dan disebabkan karena penyakit yang menyerang tanaman ini serta tempat tumbuhnya tidak tahan terhadap intensitas cahaya matahari yang terlalu tinggi (Departemen Pertanian, 2005). Disamping itu tanaman ini rentan terhadap serangan penyakit misalnya anthrax yang disebabkan olah jamur Colletotrichum sp (Bohs, 2001), seperti yang dialami tanaman Terung belanda di daerah Brastagi, Sumatera Utara (Departemen Pertanian, 2005).

Untuk itu perlu dilakukan perbaikan kualitas genetik dari terung belanda dengan cara mutagenesis. Peningkatan keragaman genetik melalui mutasi induksi telah berhasil dilakukan pada banyak tanaman. Variasi yang muncul dapat


(14)

menghasilkan keragaman baik dari sifat morfologi dan ketahanan terhadap penyakit (Husni, 2005). Untuk mendapatkan keragaman genetik secara cepat dapat dilakukan mutasi induksi dengan pemberian beberapa senyawa kimia seperti pemberian kolkisin untuk memicu poliploidi, ethylmethanesulfonate (EMS) serta radiasi sinar ultraviolet.

Kolkisin selain dapat menyebabkan poliploidi juga dapat menyebabkan pertumbuhan tidak terbatas (indeterminate), sehingga tanaman dapat berbuah beberapa kali dalam setahun. Hal ini tentunya menguntungkan karena memberikan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak mengalami poliploidi (Stebbin, 1984: Sergaves et al., 1999).

Perbanyakan terung belanda dilakukan secara generatif yaitu dengan memanfaatkan bijinya. Hal ini dapat menyebabkan turunnya produksi tanaman tersebut karena dalam pertumbuhannya biji memerlukan waktu yang relatif lama dan seringkali hasilnya tidak seperti tanaman induknya (Yuwono, 2006). Selain itu, hama seperti aphids dan ulat pemakan daun atau penyakit seperti busuk pada batang atau busuk pohon yang menyerang pada musim hujan juga dapat menyebabkan produksi tanaman ini menurun (Kumalaningsih, 2006). Secara fisiologis, mekanisme ketahanan terhadap beberapa penyakit dan mikroorganisme melibatkan peningkatan aktivitas enzim tertentu, antara lain aktivitas enzim peroksidase, yang merupakan salah satu enzim yang terkait dengan mekanisme ketahanan tanaman terhadap cekaman (Artlip & Funkhouser, 1995).

Dari beberapa hasil penelitian yang telah diperoleh bahwa aktivitas Peroksidase tanaman tomat yang diserang penyakit seperti nematoda akan meningkat pada umumnya jika dibandingkan dengan tanaman yang sehat. Hal ini menggambarkan bahwa makin tinggi infeksi serangan, maka makin tinggi aktivitas peroksidasenya (Simhian, 1998).

Isozim adalah enzim yang merupakan produk langsung dari gen, terdiri dari berbagai molekul aktif yang mempunyai struktur kimia yang berbeda tetapi mengkatalisis reaksi yang sama. Enzim merupakan protein biokatalisator untuk proses-proses fisiologi tanaman yang pengadaan dan pengaturannya dikontrol secara


(15)

genetik (Shannon, 1968). Penggunaan penandaan isozim mempunyai kelebihan karena isozim diatur oleh gen tunggal dan bersifat kodominan dalam pewarisan dan bersegregasi secara normal. Penanda ini bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, lebih cepat dan akurat karena tidak menunggu tanaman ini sampai bereproduksi (Hadiati et al., 2002). Peroksidase merupakan anggota enzim reduktase yang dianggap memiliki hubungan nyata dengan penyebab perubahan pada rasa, warna, tekstur dan kandungan gizi buah-buahan dan sayur-sayuran yang belum diolah (Burnette, 1977). Peroksidase pada tanaman merupakan isozim yang berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi dan pertahanan (Gaspar et al., 1980). Aktivitas isozim peroksidase mudah dideteksi karena aktivitasnya yang luar biasa pada jaringan (Touti, 1988). Peroksidase mengkatalisis H2O2 menjadi H2 dan O2.

Polifenol Oksidase (PPO) tidak terbatas pada beberapa bagian organ tanaman. Keberadaannya dapat dilihat dalam setiap jenis dari organ-organ tersebut. Jaringan, sel, dan ditempat yang sama dalam suatu varietas dari fraksi sel, keduanya terdapat di dalam organela-organela dan dalam cairan sel (Kar and Mishra, 1976; Sato and Hasegawa, 1976).

Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang sangat dekat antara peningkatan aktivitas dari PPO dan aktivitas metabolik lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan dari aktivitas PPO berhubungan dengan komposisi dari senyawa fenolat dan aktivitas peroksidase (PO) (Bashan et al., 1987; Czech-Kozlowska and Krzywanski, 1984; Srivastava and van Huystee, 1977b). Para ahli menemukan bahwa PPO dan PO sangat signifikan di dalam reaksi pertahanan (Arora and Wagle, 1985; Bashan et al., 1987; Maraite, 1973; Retig, 1974).

Dalam penelitian ini digunakan 2 media dengan penambahan zat pengatur tumbuh yang berbeda-beda. Media yang pertama digunakan adalah media MS dengan penambahan 0,5 mg/l BAP dan 0,5 mg/l 2,4 D untuk mendapatkan kalus. Sedangkan media yang kedua yaitu untuk kultur differensiasi digunakan media MS dengan penambahan 1 mg/l BAP dan 0,5 mg/l NAA (Suryowinoto, 1996).


(16)

1.2Pemasalahan

Terung belanda mempunyai nilai ekonomi yang tinggi bagi masyarakat Sumatera Utara, tetapi produktivitas tanaman ini mulai menurun dari tahun ketahun yang disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah serangan dari penyakit. Maka dalam penelitian ini bahan tanaman diinduksi kolkisin sehingga menjadi tanaman yang poliploidi dan dapat diseleksi ketahanannya terhadap penyakit berdasarkan aktivitas Peroksidase dan Polifenol Oksidase yang dihasilkan.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan kolkisin dengan konsentrasi dan waktu perendaman yang paling baik terhadap kalus yang tumbuh serta pengaruhnya terhadap nilai aktivitas Peroksidase dan Polifenol Oksidase pada kalus terung belanda tersebut.

1.4Hipotesis

Kalus yang tumbuh dari beberapa perlakuan kolkisin dengan konsentrasi dan waktu perendaman yang berbeda akan mempengaruhi nilai aktivitas Peroksidase dan Polifenol Oksidase terung belanda tersebut.

1.5Manfaat

Penelitian ini merupakan langkah awal untuk memperoleh tanaman terung belanda yang memiliki karakteristik pertumbuhan, perkembangan dan resistensi tanaman terhadap penyakit yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan nilai produktivitas tanaman ini.


(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Solanum betaceum Cav.

Terung belanda pertama kali dikenal dengan nama Cyphomondra betacea, tanaman ini termasuk ke dalam famili Solanaceae. Tanaman ini memiliki akar yang dangkal, pohonnya perdu setengah berkayu, dapat tumbuh di daerah dataran sedang dan tinggi yang memiliki iklim dingin, serta tumbuh liar (Kumalaningsih, 2006).

Menurut Tjitrosoepomo (2000), bahwa klasifikasi dari Solanum betaceum adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Solanales

Famili : Solanaceae

Genus : Solanum

Spesies : Solanum betaceumCav.

Terung belanda merupakan tanaman perdu dengan tinggi 2-8 m, memiliki pangkal batang pendek, daun tunggal, berselang-seling, bentuknya bulat telur sampai bentuk jantung, berukuran (10-35) cm x (4-20) cm, berpinggiran rata, berbulu halus, berujung lancip dan pendek. Bunga berada dalam rangkaian kecil di ketiak daun dekat ujung cabang, berwarna merah jambu sampai biru muda, berdiameter kira-kira 1 cm, bagian bunga berbilang lima, daun mahkota berbentuk genta, benang sari 5 utas, berada di depan daun mahkota. Buahnya berupa buah buni yang berbentuk bulat telur, berukuran (3-10) cm x (3-5) cm, meruncing kedua ujungnya, tumbuh bergelantungan,


(18)

bertangkai panjang, kulit buah tipis, licin, berwarna lembayung kemerah-merahan, daging buahnya mengandung banyak sari buah, agak asam sampai manis. Bijinya bulat pipih, tipis, dan keras. Setiap 100 g bagian buah yang dapat dimakan mengandung air 85 g, protein 1,5 g, lemak 0,06-1,28 g, karbohidrat 10g, serat 1,4-4,2g, abu 0,7g, vitamin A 150-500 SI, dan vitamin C 25 mg (http://www.iptek.net.id/ind/teknologi_pangan.diakses tanggal 3 Maret 2008).

Terung belanda merupakan tanaman yang sudah banyak dikembangkan terutama di Negara Chili. Buah dari tanaman ini sudah dijadikan komoditi ekspor yang dapat memberikan devisa bagi negara tersebut (Faucon, 1998). Buah Terung belanda biasanya gampang rusak sehingga harus disimpan pada suhu < 0oC (Bohs, 2001).

2.2 Budidaya Terung belanda Secara In Vitro

Suatu kendala yang sering dihadapi dalam pengadaan bibit unggul secara konvensional adalah sulitnya mendapatkan bibit yang berkualitas dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat. Salah satu keunggulan perbanyakan tanaman melalui teknik kultur jaringan adalah sangat dimungkinkan mendapatkan bahan tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat (Priyono et al., 2000)

Teknik kultur jaringan memiliki dua kegunaan yaitu sebagai perbanyakan klon yang menghasilkan propagul yang bermutu, dan sebagai perbaikan tanaman untuk menghasilkan kultivar baru yang lebih unggul dan lebih mantap sesuai dengan program perbaikan sifat-sifat genetik yang dikehendaki (Priyono et al., 2000). Klon adalah individu-individu yang secara genetik sama atau identik. Klon dapat diperoleh dengan perbanyakan vegetatif dari satu tanaman induk atau dari beberapa individu yang berasal dari klon yang sama dengan yang telah ada (Suryowinoto, 1996). Keunggulan dari perbanyakan secara in vitro ini selain menghemat biaya, tempat maupun waktu, adalah memperoleh tanaman baru yang toleran terhadap virus. Manfaat ini yang membuat budidaya dengan menggunakan teknik kultur jaringan ini


(19)

banyak diminati dalam bidang pertanian, perkebunan, dan bidang-bidang lainnya (Suryowinoto, 1996).

Kultur jaringan tanaman adalah suatu teknik budidaya sel, jaringan, dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas mikroorganisme (Santoso & Nursandi, 2004). Perbanyakan dengan kultur jaringan tidak mengenal musim karena kondisi lingkungan yang diatur sesuai dengan kebutuhan. Biji yang memegang peranan penting dalam mempertahankan kondisi yang seperti ini. Keadaan seperti ini dapat diterapkan pada kultur biji. Kegunaan kultur biji adalah menghilangkan kontaminasi eksternal seperti jamur, bakteri, dan mikroorganisme lainnya (Katuuk, 1989).

Teori totipotensi sel merupakan prinsip dasar dari metode kultur jaringan. Sel memiliki kemampuan autonom yang ada di dalammya mengandung material genetik lengkap, sehingga apabila ditumbuhkan pada lingkungan tumbuh yang sesuai, sel tersebut akan dapat tumbuh dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Pierik, 1987).

Kegiatan awal yang harus dilakukan sebelum melakukan kultur jaringan suatu tanaman adalah memilih tanaman induk yang akan diperbanyak. Tanaman tersebut harus jelas jenisnya dan varietasnya serta harus sehat. Umumnya bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif (meristematis). Jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi yang lebih tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri dan relatif lebih bersih (mengandung lebih sedikit kontaminan). Sementara itu tanaman yang lebih tua akan lebih sulit beregenerasi, dan biasanya mengandung lebih banyak kontaminan (Yusnita, 2003).

Dalam perbanyakan dengan kultur jaringan, eksplan merupakan faktor yang penting menentukan keberhasilan. Eksplan adalah bagian tanaman yang dijadikan bahan inokulum awal yang ditanam dalam media, yang akan menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan tertentu. Eksplan menjadi dasar pembentukan kalus yaitu bentuk awal calon tunas yang kemudian mengalami proses pembentukkan


(20)

tanaman seperti daun, batang dan akar (Nugroho & Sugito, 2004). Langkah selanjutnya untuk menentukan bagian tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan adalah melihat potensi genetik yang ada pada tanaman di lapangan.

2.3 Media Kultur Jaringan

Media kultur merupakan faktor penentu keberhasilan dalam perbanyakan tanaman dengan menggunakan kultur jaringan. Berbagai komposisi media telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan. Sebagai contoh media yang sering digunakan adalah komposisi Knudson C (1946), Heller (1953), Nitsch dan Nitsch (1972), Gamborg (1976), Murashige dan Skoog-MS (1962). Media yang sering kali digunakan berbentuk padat menggunakan agar-agar atau gelrite (Yusnita, 2003).

Medium MS merupakan media yang paling banyak digunakan karena memiliki komposisi yang lebih lengkap (George & Sherrington, 1984). Media ini digunakan secara luas untuk kultivasi kalus pada agar demikian juga kultur suspensi sel dalam media yang cair. Keistimewaan media ini adalah memiliki kandungan nitrat, kalium dan amoniumnya yang tinggi (Wetter & Constabel, 1991). Dari banyak jenis media dasar yang digunakan dalam teknik kultur jaringan, media MS (Murashige dan Skoog) mengandung jumlah hara organik yang memenuhi kebutuhan banyak jenis sel tanaman dalam kultur (Gunawan, 1990).

2.4 Kalus

Tanaman dapat diperbanyak secara vegetatif menggunakan teknik kultur in vitro. Jika suatu eksplan ditanam pada media padat ataupun cair yang sesuai dalam waktu 2-4 minggu, akan membentuk kalus yaitu suatu massa amorf yang tersusun atas sel-sel parenkim berdinding tipis yang berkembang dari hasil proliferasi sel-sel jaringan induknya (Yuwono, 2006).


(21)

Beberapa jaringan tanaman dapat digunakan untuk membentuk biakan kalus seperti akar, batang, dan daun, Untuk membentuk kalus, jaringan dipisahkan dari tanaman dan permukaan sayatan disterilkan untuk membunuh pengkontaminasi biakan. Beberapa biakan yang membentuk kalus dari tanaman yang tumbuh dalam kondisi aseptik dengan permukaan biji yang disterilkan untuk mengurangi kontaminasi (Nasir, 2002).

2.5 Kolkisin

Kolkisin merupakan suatu alkaloid yang berasal dari umbi dan biji dari tanaman Autumn crocus (Colchicum autumnale Linn.) yang termasuk dalam famili Liliaceae. Nama Colchicum berasal dari nama Colchis yaitu seorang raja yang menguasai daerah tepi Laut Hitam, dan karena di daerah tersebut ditemukan banyak sekali tanaman itu. Pada musim semi tanaman ini memiliki daun, buah dan biji (Suryo, 1995).

Kolkisin atau Colchicine merupakan suatu senyawa alkaloid yang berasal dari tanaman Colchicum autumnale Linn. Yang memiliki sifat sangat toksik. Nama kimia Colchicine adalah 5,6,7,9-tetrahidro 1,2,3,10-tetramethoxy-9-oxobenzo (alpha) hepthalene-7-acetamida (Rn-List, 2005). Larutan kolkisin dengan konsentrasi yang tepat dapat mencegah terbentuknya benang-benang spindel sehingga pemisahan kromosom pada anaphase tidak terjadi, akibatnya terjadi penggandaan kromosom tanpa pembentukkan dinding sel. Kolkisin adalah senyawa kimia yang dapat mengganggu depolimerisasi protein mikrotubulus sehingga mencegah pembentukan benang-benang spindel (Griffith, 2000). Konsentrasi kolkisin yang digunakan bervariasi dari 0,0005-1% dengan perendaman 1-6 hari, tergantung jenis benih yang digunakan. Umumnya, benih yang lama berkecambah memerlukan waktu perendaman yang lebih lama. Jauhariana (1995) menyatakan bahwa pada umumnya kolkisin efektif pada konsentrasi 0,01-1%. Penelitian Herawati (1989) dalam Sulistianingsih, menunjukkan bahwa pada tembakau (Nicotiana tabacum L.) terjadi peningkatan jumlah daun, lebar dan panjang serta luas daun semakin besar. Pada konsentrasi 0,1% menghasilkan tanaman triploid dan konsentrasi 0,25% menghasilkan tanaman yang albino.


(22)

Menurut Mariska (1996), masih rendahnya kalus yang beregenerasi pada perlakuan pemberian kolkisin diduga karena pemberian kolkisin dengan konsentrasi yang tinggi pada awal perlakuan akan mengakibatkan kerusakan fisiologis tanaman. Pemberian kolkisin juga mengakibatkan penundaan pertumbuhan akibat jaringan yang rusak dan memerlukan waktu yang lama untuk tumbuh. Menurut Eigisti dan Dustin (1995), bahwa kolkisin merupakan senyawa kimia yang bersifat toksik yang pada konsentrasi yang tepat dapat mencegah terbentuknya benang-benang spindel, kolkisin dengan konsentrasi yang beragam dapat menyebabkan pengaruh yang beragam pula. Berbagai konsentrasi kolkisin jika tidak sesuai akan memberikan pengaruh yang berbeda pada pertumbuhan tanaman seperti jumlah daun, berat basah tunas, berat basah akar, berat kering tunas dan berat kering akar.

2.6 Poliploidi

Poliploidi adalah suatu kondisi dimana susunan kromosom menjadi lebih dari dua set kromosom. Tanaman poliploidi mempunyai keunggulan yaitu sel-selnya menjadi lebih besar sehingga tanaman menjadi lebih besar. Hal ini tentunya menguntungkan karena memberikan nilai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tidak mengalami poliploidi. Selain itu tanaman poliploidi lebih subur dan pertumbuhannya lebih cepat (Griffith, 2000).

Manipulasi poliploidi merupakan suatu cara yang banyak digunakan untuk peningkatan produktivitas pada banyak tanaman seperti Solanum, Citrus, Scutelia baicalansis, Alocasia, Allium cepa dan Azalea. Poliploidi dilakukan pada tanaman untuk berbagai alasan, yaitu (1) menghasilkan tanaman tanpa biji, (2) meningkatkan senyawa metabolit sekunder, (3) untuk mendapatkan varietas baru dan (4) meningkatkan plasma nutfah guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat (Madon, et al., 2006).

Tanaman poliploidi juga akan menghasilkan daun yang lebih besar, batangnya lebih tebal, bunga dan buahnya juga lebih besar dibandingkkan dengan tanaman asalnya yang diploid (Dermen dan Bain, 1994). Selanjutnya Stebbins (1984) dan


(23)

Segraves et al., (1999) menyatakan bahwa tanaman yang poliploid berbeda dibandingkan dengan tanaman yang diploid, yaitu :

a. Individu maupun populasinya lebih terjaga sifat heterozigositasnya

b. Pada saat terjadi inbreeding akan lebih menguntungkan karena tekanan yang dialami akan lebih kecil dibandingkan dengan yang diploid

c. Pada umumnya, spesies yang poliploid bersifat polipheletic

Poliploid dapat terjadi melalui pembentukan sel-sel gamet yang terbentuk dari proses mitosis. Bila sel-sel tersebut mengalami penggandaan kromosom, phase S tidak akan dilewati pada siklus sel, maka gamet yang diploid akan terbentuk (Stebbins, 1984 dan Segraves et al., 1999). Secara laboratorium poliploidi dapat dilakukan yaitu dengan menginduksi sel yang akan membelah dengan berbagai zat kimia.

2.7 Enzim

Enzim merupakan protein biokatalisator untuk proses-proses fisiologi tanaman yang pengadaan dan pengaturannya dikontrol secara genetik (Shannon, 1968). Penggunaan penandaan isozim mempunyai kelebihan karena isozim diatur oleh gen tunggal dan bersifat kodominan dalam pewarisan dan bersegregasi secara normal. Penanda ini bersifat stabil karena tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, lebih cepat dan akurat karena tidak menunggu tanaman ini sampai bereproduksi (Hadiati et al., 2002).

Suatu reaksi kimia khususnya antara senyawa organik yang dilakukan di laboratorium memerlukan suatu kondisi yang ditentukan oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan, waktu dan lain-lain. Reaksi atau proses kimia yang berlangsung dengan baik di dalam tubuh dimungkinkan karena adanya katalis yang disebut enzim (Poedjiadi, 2004). Salah satu fungsi dari protein adalah sebagai enzim.


(24)

Menurut Gaman & Sherrington (1992), bahwa sifat-sifat enzim adalah sebagai berikut:

a. Aktivitas enzim sangat spesifik

Pada umumnya enzim tertentu hanya akan mengkatalis satu reaksi. Sebagai contoh laktase menghidrolisis gula laktosa tetapi tidak berpengaruh terhadap disakarida lain. Hanya molekul laktosa saja yang sesuai dalam sisi aktif pada enzim.

b. Pengaruh suhu

Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim pada hewan suhu optimalnya 35-40o C. Pada suhu di atas dan di bawah suhu optimal maka aktivitas enzim akan menurun. Di atas suhu 50o C enzim secara bertahap menjadi inakstif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100o C semua enzim rusak. Pada suhu sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang.

c. Pengaruh pH

Setiap reaksi yang dikatalisatori oleh enzim menunjukkan laju reaksi yang cepat pada pH tertentu. pH optimal dari enzim berkisar 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim mengalami inaktifasi. Akan tetapi beberapa enzim akan bekerja dalam kondisi asam atau alkalis.

d. Koenzim dan Aktifator

Enzim seringkali memerlukan bantuan substansi lain agar berfungsi secara efektif. Koenzim adalah substansi bukan protein yang mengaktifkan enzim. Beberapa vitamin berfungsi sebagai enzim. Beberapa ion anorganik, misalnya ion kalsium dan ion klorida dapat meningkatkan aktivitas beberapa enzim. Senyawa ini dikenal sebagai kofaktor.

e. Konsentrasi substrat

Kompleks enzim dan substrat terjadi karena adanya kontak. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa dengan konsentrasi enzim yang tetap, maka pertambahan konsentrasi substrat akan meningkatkan laju reaksi. Akan tetapi pada batas konsentrasi tertentu, tidak terjadi kenaikan kecepatan reaksi walaupun konsentrasi substrat diperbesar. Pada konsentrasi substrat rendah, pada sisi aktif enzim hanya menampung sedikit substrat.


(25)

2.8 Enzim Peroksidase (PO)

Peroksidase pada tanaman (Hydrogen peroxidase oxidoreductase; EC 1.11.1.1) terdiri dari monomer-monomer glycoprotein (Cassab and Varner, 1988; Valpuesata et al., 1989). Enzim ini menggunakan hydrogen peroxida (H2O2) atau oksigen bebas (O2)

untuk mengoksidasi suatu variasi yang lebih luas dari penerima hidrogen. Dengan adanya penambahan dari H2O2, dapat mengkatalisis reaksi oksidasi dari berbagai

bentuk substrat, termasuk phenolik, nitrit, sitokrom c, asam askorbat, atau gugus amin (Kerby and Somerville, 1989; Mäder and Fűssl, 1982; Scandalios, 1974). Reaksi oksidasi terjadi dibawah kondisi aerobik dengan menggunakan oksigen bebas dan tanpa peroksidase eksogen (Mäder and Amberg-Fisher, 1982

Peroksidase (PO) didistribusikan cukup luas pada setiap organ tanaman. Peroksidase dihasilkan dalam organ, jaringan, sel, dan variasi komponen subseluler. PO adalah enzim yang larut di dalam sitoplasma atau tempat intraseluler. PO dapat dideteksi di dalam organel-organel dan pada dinding sel atau membran sel (Birecka et al., 1975a; Bireck et al., 1975b; Catesson et al., 1986; Meudt and Stecher, 1972).

Pada umumnya, PO merupakan isozim. Isozim ini memiliki kekuatan yang berbeda dalam bahan biokimianya seperti dalam aktifitas yang lebih spesifik, pH optimal, afinitasnya terhadap substrat dan sensitivitasnya terhadap inhibitor (Bakardjieva, 1986; Fry, 1986; Mäder et al., 1980; Siegel and Siegel, 1986). PO berbeda dalam struktur biokimianya maupun respon terhadap rangsangannya juga berbeda (Hu et al., 1990). Beberapa penelitian menyatakan bahwa PO pada suatu jaringan berbeda dalam jumlah yang sangat besar pada spesies tanaman. Kenyataannya, PO diidentifikasi lebih sering terdapat pada tanaman untuk jumlah yang lebih besar (Chiu and Teng, 1977; Lee, 1973; Maldonado and van Huystee, 1980; Sesto and van Huystee, 1989; Wijsman and Hendriks, 1986).


(26)

2.9 Enzim Polifenol Oksidase

Polifenol Oksidase (PPO) tidak terbatas pada beberapa bagian organ tanaman. Keberadaannya dapat dilihat pada setiap jenis organ. Jaringan, sel, dan ditempat yang sama dalam suatu varietas dari fraksi sel, keduanya terdapat di dalam organela-organela dan dalam cairan sel (Kar and Mishra, 1976; Sato and Hasegawa, 1976).

Pada tingkat dari aktivitas PPO sering terjadi kesalahan selama proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Fric, 1976; Scandalios, 1974). Aktivitas PPO akan meningkat apabila terjadi luka pada jaringan tanaman, penyebabnya antara lain terjadinya perubahan bentuk isozim yang akan mempengaruhi aktivitas PPO (Bashan et al., 1987; Maraite, 1973; Sato and Hasegawa, 1976).

Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang sangat dekat antara peningkatan aktivitas PPO dan aktivitas metabolik lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas PPO berhubungan dengan komposisi senyawa fenolat dan aktivitas peroksidase (PO) (Bashan et al., 1987; Czech-Kozlowska and Krzywanski, 1984; Srivastava and van Huystee, 1977b). Para ahli menemukan bahwa PPO dan PO sangat signifikan di dalam reaksi pertahanan (Arora and Wagle, 1985; Bashan et al., 1987; Maraite, 1973; Retig, 1974), enzim PO dapat terinduksi oleh beberapa senyawa kimia yang akan mempengaruhi ekspresi dari gen yang mengkodenya. Pada tanaman Padi, gen yang terganggu akibat induksi tersebut akan mempengaruhi gen no.3.

Pengaruh PO dan PPO pada tanaman adalah meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit (Bell, 1981; Farkas and Kiraly, 1962; Kosuge, 1969; Tomiyama, 1963). Mereka mengindikasikan bahwa PPO dan PO terlibat dalam proses reaksi dari jaringan tanaman setelah terjadi pelukaan dan infeksi. Reaksi ini terjadi sebagai hasil dari oksidasi fenol yang selalu berhubungan dengan biosintesis dari fitoaleksin atau substansi-substansi lain yang toksik yang berasal dari patogen (Batra and Kuhn, 1975; Czech-Kozlowska and Krzywanski, 1984; Lazarovits and Ward, 1982).


(27)

Meskipun begitu, peneliti harus berhati-hati dalam membedakan antara PPO dan PO, karena kadang-kadang oksidasi peroksidatif dari senyawa fenol sering terjadi kesalahan selama penentuan aktivitas PPO. Metode umum untuk membedakan aktivitas PPO dan PO adalah metode Kar dan Mishra (1976). Metode ini spesifik dalam mengidentifikasi perbedaan antara PPO dan PO di dalam gel setelah pemisahan dengan elektroforesis (Srivastava and van Huystee, 1973; Srivastava dan van Huystee, 1977a).


(28)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Agustus 2009 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Biologi Molekuler Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat, Pematang Siantar, Farmasi Kuantitatif, Fakultas Farmasi, USU dan Laboratorium Kimia Bahan Pangan, Fakultas Pertanian, USU.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoklaf, laminar air flow (LAF), botol, alumunium foil, pipet serologi, pipet tetes, alat diseksi, gelas beaker, gelas ukur, neraca analitik, spektrofotometer, kuvet, shaker, pH meter, mikrosentrifuse, tabung Nitrogen cair dan mikropipet.

Sedangkan bahan penelitian yang digunakan adalah biji Terung belanda. Buah yang digunakan adalah buah yang masih muda yaitu yang memilki warna kulit buah hijau kemerahan, larutan pemutih, fungisida, alkohol 70%, akuades, agar-agar, gula, hara makro dan mikro, buffer fosfat, pyrogallol, coomassie briliant blue G 250, Bovine Serum Albumin (BSA), Triton X 100, H2O2, H2SO4 5%, buffer Tris HCl,


(29)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Lengkap faktorial dengan 2 faktor, yaitu :

A. Faktor konsentrasi kolkhisin (C) C1 : konsentrasi 0%

C2 : konsentrasi 0,01%

C3 : konsentrasi 0,1%

C4 : konsentrasi 1%

B. Faktor lamanya waktu perendaman (T) T1 : selama 5 menit

T2 : selama 15 menit

T3 : selama 30 menit

Sehingga diperoleh 12 kombinasi, yaitu :

C1T1 C2T1 C3T1 C4T1

C1T2 C2T2 C3T2 C4T2

C1T3 C2T3 C3T3 C4T3

Setiap perlakuan diulang sebanyak 6x.

3.4 Cara Kerja

3.4.1 sterilisasi alat dan bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini seperti cawan petri (yang telah diisi kertas saring), botol kultur, erlenmeyer, pipet volume dicuci dengan deterjen dan dibilas dibawah air mengalir, dikeringkan dan disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 15 Psi selama 60 menit. Bersamaan dengan alat dimasukkan juga botol yang berisi akuades untuk disterilisasi.


(30)

3.4.2 Pembuatan Media

Media yang digunakan untuk penumbuhan kalus adalah media dasar MS (Murashige Skoog) dengan penambahan 1 mg/l 2,4 D serta 0,5 mg/l BAP. Tahap awal pembuatan media adalah pembuatan larutan stok yang terdiri dari stok hara makro, mikro, iron, dan vitamin. Sementara unsur lain seperti myo-inisitol, gula sukrosa dan agar dapat ditimbang langsung sesuai kebutuhan tanpa harus dijadikan larutan stok. Pembuatan media sebanyak 1000 ml.

Larutan MS dibuat dengan cara memasukkan hara makro, mikro, iron, vitamin, dan sukrosa ke dalam erlenmeyer yang ditambah aquadest hingga 500 ml kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur 1000 ml dan ditambahkan akuades hingga 1000 ml Selanjutnya larutan dibagi ke dalam 16 perlakuan pada erlenmeyer yang setiap perlakuan berisi 62,5 ml. Diukur pH larutan setiap perlakuan dengan menggunakan pH meter sebesar 5,8. Untuk mendapatkan pH yang optimal maka ditambahkan NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N.

Media pada setiap perlakuan dimasak dengan menambahkan agar yang telah ditimbang sebanyak 0,89 gram dan diaduk sampai mendidih dan larutan berubah menjadi berwarna bening. Setelah mendidih, larutan dituang ke dalam botol-botol kultur yang kemudian ditutup dengan alumunium foil yang telah steril dan diikat dengan karet gelang, selanjutnya disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121oC dengan tekanan 15 Psi selama 15 menit. Botol yang berisi media tersebut kemudian disterilisasi kembali dan disimpan dalam ruang kultur sebelum digunakan untuk penanaman eksplan.

3.4.3 Sterilisasi Biji Dan Perlakuan Biji Pada Larutan Kolkisin

Eksplan yang digunakan berupa biji Terung belanda. Eksplan dibersihkan dengan air mengalir. Eksplan dibilas dengan akuades steril sampai benar-benar bersih. Eksplan direndam dalam laritan fungisida (Dithane) dengan konsentrasi 0,2 g/ml, ditambahkan 2 tetes tween 80 sambil dishaker selama 30 menit. Eksplan dibilas dengan air mengalir


(31)

sampai bersih, lalu direndam dalam alkohol 70 % 1 menit. Kemudian eksplan selanjutnya direndam dalam larutan pemutih (NaOCl 0,525%) 10% dan dishaker selama 5 menit lalu dibilas dengan akuades sebanyak 3 kali dan dilanjutkan dengan larutan pemutih (NaOCL 0,525%) 5% dan dishaker selama 5 menit lalu dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali. Kemudian eksplan steril tersebut diletakkan di dalam cawan petri dan dikeringkan dengan kertas saring. Sterilisasi eksplan tersebut dilakukan di dalam Laminar Air Flow untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Setelah biji steril, kemudian diberi perlakuan kolkhisin dengan konsentrasi 0; 0,01; 0,1% dengan lama waktu perendaman 5, 15 dan 30 menit, perendaman dilakukan di dalam Laminar Air Flow.

3.4.4 Penanaman Biji Pada Media MS

Sebelum melakukan penanaman, sudah dipastikan ruang yang akan digunakan benar-benar steril. Penanaman dilakukan di dalam laminar air flow (enkas). Alat-alat diseksi, bunsen, dan alkohol 70% dipersiapkan terlebih dahulu. Botol-botol yang berisi media yang telah disterilkan di letakkan di dalam laminar air flow. Dibuka tutup botol tersebut, penanaman dilakukan didekat bunsen untuk meminimalisir terjadinya kontaminasi. Eksplan yang telah disterilkan dimasukkan ke dalam botol yang telah berisi media dengan menggunakan pinset steril, eksplan sebaiknya ditekan sedikit sampai benar-benar tertanam ke dalam media, ini untuk mempermudah eksplan dalam mengambil nutrisi dari media. Lalu botol kultur ditutup kembali dengan alumunium foil dan disimpan di rak kultur yang memiliki cahaya yang cukup atau tidak terlalu terang.

a. b.

Gambar 3.4.4 a. Biji Terung belanda steril yang akan diinduksi dengan kolkisin b.Penanaman biji pada media MS


(32)

3.4.5 Pemeliharaan Kultur Kalus Pada Media MS

Eksplan yang ditanam di dalam botol kultur diletakkan pada rak pemeliharaan dengan kondisi ruangan yang steril, dengan suhu ruangan 23oC dan intensitas cahaya yang digunakan adalah dengan penyinaran lampu neon 500 lux. Botol-botol yang berisi eksplan diatur jaraknya antara botol yang satu dengan botol yang lainnya sehingga mempermudah dalam perolehan sinar dan mempermudah dalam pengamatan. Setiap kali pengamatan sebaiknya tangan dan area disekitar tempat botol disterilkan dengan alkohol 70%.

Gambar 3.4.5 Pemeliharaan Kalus Pada Media MS di Ruang Kultur

3.4.6 Pembuatan Reagen Coomassie Briliant Blue G 250

Reagen yang digunakan adalah Coomassie Briliant Blue G 250 dibuat dengan cara ditimbang sebanyak 100 mg Coomassie Briliant Blue G 250 dilarutkan dalam 50 ml etanol 95%, larutan ini kemudian dicampur dengan 100 ml asam fosfat 85% dan diencerkan hingga 1 L dengan menambahkan akuades. Reagen kemudian disaring dengan kertas Whatman No.1 dan disimpan pada suhu kamar.


(33)

3.4.7 Pembuatan Kurva Standar Bovine Serum Albumin

Larutan BSA dibuat dengan konsentrasi 0; 3; 6; 9; 12 dan 15 μg/ml dengan cara ditimbang sebanyak 0,1 g BSA lalu dilarutkan ke dalam 100 ml akuades. Lalu larutan BSA di masukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan Coomassie Briliant Blue G 250 hingga volume total mencapai 5 ml. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Persamaan garis regresi kurva standar larutan protein ditentukan dengan rumus sebagai berikut :

Y = a + bX

Dimana : a = intersep a = Y- bX

n (∑XY) – (∑X)(∑Y) b = slope (koefisien regresi) b = n (∑X2)   (∑Y)2

3.4.8 Ekstraksi Kalus

Kalus dari setiap perlakuan yang telah diperoleh, diambil sebanyak 200 mg dalam 2 kali pengambilan (duplo), kemudian kalus gerus dengan menggunakan Nitrogen cair dan dihomogenasikan dengan 2 mL larutan buffer Tris-HCl 0,05 M pada pH 8 dan suhu 0oC dan 0,15% Triton X 100, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 20 menit dengan suhu 0oC. Supernatan yang terbentuk diambil untuk analisis selanjutnya.

3.4.9 Determinasi Protein

Penentuan kadar protein menggunakan 0,1 ml larutan ekstrak kalus dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dicampur dengan 5 ml reagen pewarna protein Coomassie Briliant Blue G 250. Campuran dihomogenkan dan diukur absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Ini ditandai dengan


(34)

terjadinya perubahan warna larutan dari warna merah menjadi biru apabila terjadi ikatan antara reagen warna protein dengan protein setelah 2 menit hingga 1 jam.

3.5.0 Penentuan Aktivitas Enzim

Penentuan aktivitas Peroksidase (PO) dan Polyphenoloksidase (PO) dengan menggunakan metoda Kar and Mishra (1976). Prosedur ini berdasarkan kenyataan bahwa PO dan PPO dapat mengoksidasi pyrogallol. Proses oksidasi dari PO dalam mengkatalisis reaksi menggunakan H2O2 (Kar and Mishra, 1976: Maehly and Chance,

1954), sedangkan oksidasi dari PPO tidak menggunakan H2O2.

3.5.1 Pengujian Enzim Peroksidase (PO)

Pengujian aktivitas enzim ini dengan menggunakan 30 μl protein kalus (crude extract) dan ditambahkan 5 ml larutan pereaksi yang terdiri dari 10 mM pyrogallol dicampur 0,1 m buffer fosfat pada pH 6,8 dan suhu 25oC, lalu ditambahkan 10 mM H2O2

sebanyak 0,1 ml, didiamkan selama 5 menit, kemudian ditambahkan 0,5 mL H2SO4

5% (v/v) untuk menghentikan reaksi. Pengukuran kadar purpurogallin dilakukan dengan pengukuran nilai absorbansi yang menggunakan metoda Bausch & Lomb Spectronic 70 kolorimeter dengan panjang gelombang 420 nm. Campuran reaksi antara buffer posfat dengan pyrogallol digunakan sebagai larutan blanko.

3.5.2 Pengujian Enzim Polifenol oksidase (PPO)

Pengujian aktivitas enzim ini menggunakan prosedur yang hampir sama dengan pengujian peroksidase. Pengujian ini menggunakan penambahan ekstrak kalus sebanyak 70 μl dan ditambahkan 5 ml larutan pereaksi yang terdiri dari 0,1 m buffer posfat pada pH 6,8 dan suhu 25oC, didiamkan selama 5 menit, kemudian ditambahkan 0,5 mL H2SO4 5% (v/v) untuk menghentikan reaksi. Larutan diukur nilai


(35)

3.5.3 Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah : Pengamatan secara kuantitatif

a. Berat basah kultur (gram) b. Persentase terkontaminasi (%)

Persentase kultur terkontaminasi dihitung setiap hari sejak awal hingga akhir penelitian

Jumlah eksplan yang terkontaminasi

Persentase terkontaminasi = X 100 % Jumlah eksplan seluruh perlakuan

c. Penentuan kadar protein

d. Penentuan aktivitas peroksidase (PO)

e. Penentuan aktivitas polifenol oksidase (PPO) f. Warna Kalus

3.5.4 Analisa Data

Data penelitian menggunakan metoda RAL yang dianalisis dengan Analisis Of Variace (ANOVA). Sedangkan untuk menguji beda antara perlakuan dilakukan dengan Uji Jarak Duncan (UJD) atau sering disebut Duncan New Multiple Range Test (DMRT) (Sastrosupandi, 2004).


(36)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Persentase Kultur Yang Hidup Setelah Diinduksi Kolkisin (%)

Pengamatan persentase kultur hidup dari semua perlakuan menunjukkan persentase hidup sebesar 90,27% yaitu sebanyak 65 botol dari 72 botol perlakuan (Tabel 4.1). Persentase kultur yang yang hidup untuk semua perlakuan menunjukkan hasil yang fluktuatif untuk konsentrasi dan waktu perendaman.

Tabel 4. 1 Persentase kultur Kalus Terung belanda Yang Hidup Setelah Diinduksi Kolkisin

Waktu Perendaman Konsentrasi

Kolkisin T1 T2 T3

Total C1 5 (83,33%) 6 (100%) 5 (83,33%) 16 (88,8%) C2 5 (83,33%) 4 (66,67%) 6 (100%) 15 (83,33%) C3 6 (100%) 5 (83,33%) 6 (100%) 17 (94,4%) C4 6 (100%) 5 (83,33%) 6 (100%) 17 (94,4%) Total 22 (91,67%) 20 (83,33%) 23 (95,83%) 65 (90,27%)

Ket: Konsentrasi Kolkisin C1 (0%), C2 (0,01%), C3 (0,1%) dan C4 (1%)

Waktu Perendaman T1 (5 menit), T2 (15 menit) dan T3 (30 menit)

Pada perlakuan dengan konsentrasi 0,1% memiliki persentase kultur hidup yang lebih besar yaitu 94,4%, sedangkan kultur hidup terendah pada perlakuan dengan konsentrasi 0,01% sebesar 83,33%. Waktu perendaman berpengaruh fluktuatif terhadap persentase kultur hidup. Perendaman selama 30 menit memiliki persentase kultur hidup tertinggi yaitu sebesar 95,83%, sedangkan perendaman selama 15 menit memiliki persentase kultur hidup terendah yaitu sebesar 83,33%. Tinggi rendahnya persentase kultur hidup terung belanda mungkin disebabkan oleh beberapa faktor


(37)

seperti kerja yang aseptis, eksplan yang bagus dan viabilitas eksplan setelah diinduksi kolkisin.

Menurut Jauhariana (1995), bahwa pada umumnya kolkisin efektif untuk pertumbuhan tanaman pada konsentrasi 0,01-1%. Penelitian Herawati (1989) dalam Sulistianingsih, pada tembakau (Nicotiana tabacum L.) terjadi peningkatan jumlah daun, peningkatan kultur yang hidup, lebar dan panjang serta luas daun semakin besar.

Tetapi Menurut Suryo (1995), bahwa jika konsentrasi kolkisin dan waktu perlakukan yang tidak tepat, maka kolkisin akan memperlihatkan pengaruh negatif yaitu kerusakan sel-sel tanaman bahkan menyebabkan matinya jaringan tanaman. Konsentrasi kolkisin yang digunakan bervariasi dari 0,0005-1% dengan perendaman 1-6 hari, tergantung jenis benih yang digunakan. Umumnya, benih yang lama berkecambah memerlukan waktu perendaman yang lebih lama.

4.1.1 Berat Basah Kalus (g)

Hasil analisis sidik ragam pada pengamatan berat basah kalus (Lampiran M), menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan konsentrasi dan waktu perendaman berpengaruh sangat nyata, dimana pada kombinasi perlakuan yang memiliki berat basah kalus yang tertinggi pada C3T1 dan kombinasi perlakuan yang memiliki berat

basah kalus terrendah pada C4T2. Hasil rataan berat basah kalus dapat dilihat pada

Tabel 4.1.1 dibawah ini.

Tabel 4.1.1 Hubungan antara berat basah kalus dengan perlakuan kolkisin dengan waktu perendaman.

Waktu Perendaman Konsentrasi

Kolkisin T1 T2 T3

C1 1,07 cdB 1,24 abcdAB 1,26 abcdAB C2 1,11 abcAB 1,10 cdB 1,50 aA C3 1,41 abAB 1,23 abcdAB 1,33 abcdA C4 1,35 bcdAB 0,99 cdB 1,10 abcdAB


(38)

Dari hasil yang diperoleh bahwa pada semua perlakuan, perlakuan C3T1

memiliki rataan berat basah kultur tertinggi sebesar 1,41 g, sedangkan pada perlakuan C4T2 memiliki rataan berat basah kalus terrendah sebesar 0,99 g. Hasil tersebut

memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Hal ini menujukkan bahwa pada kombinasi perlakuan C3T1 (konsentrasi 0,1% dengan waktu

perendaman 5 menit) merupakan kombinasi yang paling baik untuk penginduksian dengan kolkisin, ini ditandai dengan peningkatan berat basah kalus. Sedangkan kombinasi perlakuan C4T2 (konsentrasi 1% dengan waktu perendaman 15 menit)

merupakan kombinasi yang kurang baik untuk penginduksian dengan kolkisin yang ditandai dengan penurunan berat basah kalus, begitu juga untuk kombinasi perlakuan dengan konsentrasi 0% (kontrol) memberikan pengaruh yang tidak terlalu baik dimana berat basah kalus tidak terlalu tinggi.

Menurut Eigisti dan Dustin (1995), bahwa kolkisin dengan konsentrasi yang beragam dapat menyebabkan pengaruh yang beragam pula. Berbagai konsentrasi kolkisin jika tidak sesuai akan memberikan pengaruh yang berbeda pada pertumbuhan tanaman seperti jumlah daun, berat basah tunas, berat basah akar, berat kering tunas dan berat kering akar.

4.1.2 Warna Kalus

Warna kalus pada setiap perlakuan bervariasi yaitu putih kekuningan, putih kecoklatan dan putih kehijauan (Gambar 4.1.2). Kalus yang bewarna putih kekuningan merupakan kalus yang paling banyak tumbuh dari kedua warna kalus lainnya yaitu dengan persentase sebesar 60%, sedangkan untuk warna putih kecoklatan dan putih kehijauan yaitu sebesar 36,92% dan 3,07% (Tabel 4.1.2).

Kalus yang paling baik adalah kalus yang bewarna putih kekuningan karena kalus ini memiliki ciri-ciri kalus yang kompak dan bernodul serta bersifat embriogenik. Sedangkan kalus yang kurang baik yaitu kalus yang bewarna putih kecoklatan karena kalus tersebut merupakan kalus yang telah mengalami penuaan dan


(39)

kalus ini cendrung mengeluarkan senyawa fenolat yang dapat menghambat pertumbuhan kalus tersebut.

Tabel 4.1.2 Warna Kalus Pada Setiap Perlakuan Warna Kalus Perlakuan

Putih Kekuningan Putih

Kecoklatan Putih Kehijauan

Total Kalus yang Hidup

C1T1 3 2 - 5 C1T2 3 2 1 6 C1T3 3 2 - 5

C2T1 5 - - 5

C2T2 - 4 - 4 C2T3 2 3 1 6

C3T1 6 - - 6

C3T2 2 3 - 5 C3T3 3 3 - 6 C4T1 5 1 - 6 C4T2 2 3 - 5 C4T3 5 1 - 6

Total 39

(60%)

24 (36,92%)

2

(3,07%) 65

Kalus yang berwarna putih kekuningan merupakan kalus yang paling banyak dan lebih berpotensi untuk membentuk tunas, karena kalus tersebut memiliki sifat yang embrio somatik. Untuk kalus yang bewarna putih kecoklatan terjadi karena kalus telah mengalami penuaan dimana kalus tersebut cendrung mengeluarkan senyawa fenolat dan faktor perendaman biji pada kolkisin yang terlalu lama juga akan menyebabkan kematian sel atau jaringan tanaman. Pada kalus yang berwarna putih kecoklatan dapat mengindikasikan bahwa potensi regenerasi kalus menjadi planlet lebih rendah dibandingkan dengan kalus yang berwarna putih kekuningan, karena warna coklat tersebut menunjukkan terbentuknya senyawa fenolik menjadi kuinon akibat adanya pertahanan tanaman dari kondisi yang tidak sesuai sehingga akan terbentuk warna coklat (browning).


(40)

a. b. c.

Gambar 4.1.2 Kalus dengan beberapa variasi warna (a) Kalus yang berwarna coklat (b) Kalus yang berwarna kehijauan (c) Kalus yang berwarna kekuningan

Menurut Fitriani (2003), bahwa warna kalus kekuningan dan kehijauan merupakan kalus yang paling bagus, dimana banyak kalus yang mengalami diffrensiasi menjadi planlet, sedangkan warna coklat pada kalus menandakan sel mengalami cekaman karena luka pada jaringan selain cekaman dari medium itu sendiri, sehingga terjadi sintesis senyawa fenolat sebagai pertahanan sel tanaman tersebut.

Menurut Santoso dan Nursandi (2004), warna kalus yang tidak hijau disebabkan oleh hilangnya polarisasi dari sel yang diinduksi dan dalam keadaan normal sel akan membentuk lebih banyak klorofil. Jika eksplan pada awalnya berwarna hijau berubah menjadi warna putih kecoklatan berarti terjadi proses degradasi dari klorofil.

4.1.3 Proliferasi Kalus

Dari semua perlakuan kultur kalus yang hidup sebanyak 58,46% (38 dari 65 botol) kalus yang mampu membentuk tunas dan 13,84% (9 dari 65 botol) kalus yang mampu membentuk planlet (Gambar 4.1.3). Kalus yang mampu membentuk tunas dan planlet sekaligus ada sebanyak 6 perlakuan, sedangkan 6 perlakuan lainnya hanya membentuk tunas atau planlet saja (Tabel 4.1.3).


(41)

Tabel 4.1.3 Proliferasi dari Kalus yang Hidup dan Beregenerasi Proliferasi Perlakuan Kalus Yang Hidup

Pembentukan Tunas Pembentukan Planlet

C1T1 5 4 1

C1T2 6 4 2

C1T3 5 3 1

C2T1 5 2 -

C2T2 4 1 -

C2T3 6 2 -

C3T1 6 6 2

C3T2 5 4 2

C3T3 6 3 -

C4T1 6 4 2

C4T2 5 5 -

C4T3 6 1 -

Total 65

(100%)

38 (58,46%)

9 (13,84%)

Dari keenam perlakuan yang mampu membentuk tunas dan planlet sekaligus terdapat pada 3 perlakuan kontrol, 2 perlakuan dengan konsentrasi 0,1% (C2) dan 1

perlakuan dengan konsentrasi 1% (C4). Hal ini mungkin disebabkan karena pada

perlakuan kontrol, proses pembentukan tunas dan planlet tidak terganggu karena belum diinduksi dengan kolkisin, tetapi pada konsentrasi 0,01% justru menghambat proses pembentukan kalus untuk beregenerasi menjadi planlet, namun akan terlihat kembali pengaruhnya pada konsentrasi 0,1 dan 1%. Kalus yang hidup dan beregenerasi menjadi tunas dan planlet dari semua perlakuan menunjukkan perubahan atau differensiasi dari kalus yang hidup baik. Perubahan itu terjadi karena sifat embriogenik dari kalus, sehingga kalus yang hidup memiliki potensi yang cukup besar dalam membentuk planlet ataupun tunas.

b a


(42)

Menurut Purnamaningsih (2006), untuk memacu regenerasi kalus, media yang digunakan harus sesuai. Keseimbangan nutrisi di dalam suatu media sangat mempengaruhi pertumbuhan kalus maupun diferensiasinya membentuk planlet. Menurut Santoso dan Nursandi (2004), kemampuan kalus dalam beregenerasi dipengaruhi oleh kondisi kalus dan komposisi media. Ketidakmampuan kalus dalam beregenerasi disebabkan karena tidak seimbangnya antara zat pengatur tumbuh yang diberikan yaitu antara auksin dan sitokinin. Perubahan warna kalus menjadi hitam dan pertumbuhan yang lambat bahkan tidak mengalami pertumbuhan sama sekali dapat diindikasikan bahwa kalus tersebut sudah mati.

Menurut Kosmiatin & Mariska (2005), bahwa masih rendahnya kalus yang beregenerasi pada perlakuan diduga karena pemberian kolkisin dengan konsentrasi yang tinggi pada perlakuan mengakibatkan kerusakan fisiologi tanaman. Pemberian kolkisin akan mengakibatkan jaringan tanaman menjadi rusak dan penundaan pertumbuhan sehingga memerlukan waktu yang lama untuk tumbuh kembali.

4.1.4 Persentase Kultur Terkontaminasi (%)

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa persentase kultur terkontaminasi adalah 9,73% yaitu sebanyak 7 botol dari 72 botol perlakuan, kontaminasi tersebut pada umumnya berasal eksplan (Lampiran J). Kondisi kultur yang terkontaminasi ini lebih banyak yang disebabkan oleh jamur, dimana seluruh permukaan media dan eksplannya tertutupi oleh hifa-hifa jamur (Gambar 4.1.4).

Dari hasil data tersebut menunjukkan bahwa dalam proses kerja teknik kultur jaringan harus dilakukan secara aseptik, baik dari awal pembuatan media, sterilisasi bahan tanaman yang akan digunakan sampai tahap pemeliharaannya. Sterilisasi merupakan tahapan penting yang harus dilakukan demi tercapainya hasil yang maksimal. Dalam penelitian ini, penyebab kontaminasi mungkin saja berasal dari eksplan (bahan tanaman) yang digunakan.


(43)

Kalus

Gambar 4.1.4 Kalus biji terung belanda yang mengalami kontaminasi pada eksplan

Menurut Hendaryono & Wijayani (1994), bahwa kondisi laboratorium kultur jaringan harus mengutamakan dan memperhatikan tingkat sterilitas dari ruangan sehingga terbebas dari kontaminasi mikroba yang tidak dikehendaki. Kontaminasi dapat terjadi setiap saat dalam masa kultur yang mungkin berasal dari eksplan, mikroba lingkungan kerja serta kecerobohan dalam pelaksanaan kultur jaringan.

Beberapa jaringan tanaman dapat digunakan untuk membentuk biakkan kalus seperti akar, batang, dan daun, Untuk membentuk kalus, jaringan dipisahkan dari tanaman dan permukaan sayatan disterilkan untuk membunuh pengkontaminasi biakkan. Beberapa biakkan yang membentuk kalus dari tanaman yang tumbuh dalam kondisi aseptik dengan permukaan biji yang disterilkan untuk mengurangi kontaminasi (Nasir, 2002).

4.2 Pengukuran Kadar Protein Kalus

Pengukuran kadar protein kalus ini diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Data kadar pengukuran protein semua perlakuan dapat dilihat pada Lampiran P halaman 64. Tinggi rendahnya kadar protein kalus untuk semua perlakuan dapat dilihat pada grafik Gambar 4.2 dibawah.


(44)

25,45 25,5 25,55 25,6 25,65 25,7 25,75 25,8 25,85 25,9 C1 T 1 C1 T 2 C1 T 3 C2 T 1 C2 T 2 C2 T 3 C3 T 1 C3 T 2 C3 T 3 C4 T 1 C4 T 2 C4 T 3

Perlakuan Kolkisin dan Waktu Perendaman

N il a i K a da r P rot e in K a lus ( µ g/ g e kstr a k ka lu s)

Gambar 4.Perlakuan Konsentrasi Kolkisin dan Waktu Perendaman Terhadap Kadar Protein Kalus

Dari Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa dari hasil pengukuran kadar protein kalus diperoleh hasil yang bervariasi. Kadar protein kalus yang paling tinggi sebesar 25,870 µg/g ekstrak kalus yang terdapat 3 perlakuan yaitu C1T2, C3T3 dan C4T1, sedangkan

2 perlakuan yaitu C2T1 dan C3T1 memiliki kadar protein kalus terendah sebesar

25,617 µg/g ekstrak kalus. Tingginya kadar protein pada ketiga perlakuan tersebut karena banyaknya kandungan senyawa-senyawa lain yang terdapat di dalam ekstrak kalus tersebut seperti enzim dan senyawa metabolit lainnya. Sedangkan rendahnya kadar protein kalus disebabkan karena pengaruh aktivitas sintesis protein secara umum pada suatu jaringan tersebut. Apabila aktivitas sintesis protein terganggu yang disebabkan karena adanya penambahan senyawa mutagen yang bersifat toksik seperti kolkisin yang dapat menghambat proses sintesis protein dari kalus tersebut. Menurut Simhian (1998), bahwa protein dari suatu kalus dapat terhambat pembentukannya apabila ada satu hal yang dapat mengganggu proses sintesis di dalam kalus, hal tersebut dapat dianalis secara biokimia.

4.3 Penentuan Aktivitas Enzim Peroksidase (PO)

Dari hasil analisi sidik ragam dari pengukuran aktivitas enzim peroksidase menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata untuk setiap perlakuan. Nilai aktivitas


(45)

enzim ini ditandai dengan adanya penguraian substrat yang terjadi yaitu pyrogallol terurai menjadi purpurogallin. Rataan hasil pengukuran aktivitas enzim peroksidase dan aktivitas spesifiknya dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.3.

Tabel 4.3 Nilai Pengukuran Aktivitas Enzim Peroksidase dan Aktivitas Spesifik Enzim Peroksidase

Perlakuan Aktivitas Enzim PO (Unit) Aktivitas Spesifik Enzim PO (Unit/µg protein)

C1T1 0,0074 2,872 x 10-4

C1T2 0,0076 2,938 x 10-4

C1T3 0,0071 2,762 x 10-4

C2T1 0,0072 2,810 x 10-4

C2T2 0,0075 2,918 x 10-4

C2T3 0,0079 3,074 x 10-4

C3T1 0,0081 3,162 x 10-4

C3T2 0,0071 2,756 x 10-4

C3T3 0,0082 3,170 x 10-4

C4T1 0,0068 2,629 x 10-4

C4T2 0,0072 2,795 x 10-4

C4T3 0,0071 2,762 x 10-4

0 0,001 0,002 0,003 0,004 0,005 0,006 0,007 0,008 0,009 C1 T 1 C1 T 2 C1 T 3 C2 T 1 C2 T 2 C2 T 3 C3 T 1 C3 T 2 C3 T 3 C4 T 1 C4 T 2 C4 T 3

Perlakuan Kolkisin dan Waktu Perendaman

Ni la i Akti vi ta s P O (U n it)

Gambar 4.3 Perlakuan Konsentrasi Kolkisin dan Waktu Perendaman Terhadap Nilai AktivitasPeroksidase


(46)

Dari Tabel 4.3 di atas terlihat bahwa nilai aktivitas peroksidase pada perlakuan kolkisin 0,1% dengan waktu perendaman 30 menit (C3T3) memiliki nilai aktivitas

peroksidase tertinggi sebesar 0,0082 unit, begitu juga untuk nilai aktivitas spesifiknya sebesar 3,170 x 10-4 unit/µg protein, sedangkan perlakuan kolkisin 1% dengan waktu perendaman 5 menit (C4T1) memiliki nilai aktivitas PO terendah sebesar 0,0068 unit

dan nilai aktivitas spesifiknya sebesar 2,629 x 10-4 unit/µg protein. Sedangkan pada perlakuan kontrol (C1T2) menunjukkan hasil aktivitas enzim dan aktivitas spesifik

yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kolkisin dengan konsentrasi 1% (C4T1) yang memiliki nilai aktivitas PO dan aktivitas spesifik yang lebih rendah

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini mungkin disebabkan karena aktivitas PO pada perlakuan kontrol yang memiliki aktivitas enzim secara konstitutif yang memang sudah ada di dalam jaringan tanaman tersebut, dan aktivitas tersebut akan terhambat bila diinduksi dengan konsentrasi yang lebih tinggi (1%) namun akan terlihat kembali jika diinduksi pada konsentrasi 0,01-0,1%.

Pengaruh pemberian kolkisin dengan konsentrasi yang berbeda akan mempengaruhi nilai aktivitas peroksidase, dimana kolkisin yang diberikan pada kalus Terung belanda merupakan suatu cekaman eksternal bagi jaringan tanaman tersebut. Pada umumnya enzim PO dan PPO terbentuk di dalam jaringan tanaman bila terdapat cekaman dari luar, seperti penambahan senyawa mutagen diantaranya kolkisin. Enzim PO dan PPO secara umum berperan dalam perkembangan, pertumbuhan serta resistensi tanaman. Sedangkan waktu perendaman berpengaruh secara fluktuatif untuk setiap perlakuan.

Secara fisiologis, tanaman yang mengalami cekaman eksternal dapat meningkatkan aktivitas Peroksidase dan Polifenol Oksidase yang signifikan (Artlip & Funkhouser, 1995). Dari beberapa hasil penelitian yang telah diperoleh pada umumnya terjadi peningkatan aktivitas PO pada tanaman tomat yang terserang penyakit seperti penyakit yang disebabkan oleh nematoda. (Simhian, 1998).


(47)

4.4 Penentuan Aktivitas Polifenol Oksidase (PPO)

Dari hasil analisi sidik ragam dari pengukuran aktivitas enzim polifenol oksidase menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata untuk setiap perlakuan. Nilai aktivitas enzim ini ditandai dengan adanya penguraian substrat yang terjadi yaitu pyrogallol terurai menjadi purpurogallin. Rataan hasil pengukuran aktivitas enzim polifenol oksidase dan aktivitas spesifiknya dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Gambar 4.4.

Tabel 4.4 Nilai Pengukuran Aktivitas Enzim Polifenol Oksidase dan Aktivitas Spesifik Enzim PPO

Perlakuan Aktivitas Enzim PPO (Unit) Spesifisitas Enzim PO (Unit/µg protein)

C1T1 0,0061 2,386 x 10-4

C1T2 0,0043 1,662 x 10-4

C1T3 0,0041 1,560 x 10-4

C2T1 0,0060 2,324 x 10-4

C2T2 0,0057 2,218 x 10-4

C2T3 0,0066 2,568 x 10-4

C3T1 0,0042 1,640 x 10-4

C3T2 0,0043 1,670 x 10-4

C3T3 0,0055 2,126 x 10-4

C4T1 0,0052 2,010 x 10-4

C4T2 0,0061 2,370 x 10-4

C4T3 0,0043 1,673 x 10-4

0 0,001 0,002 0,003 0,004 0,005 0,006 0,007 C1 T 1 C1 T 2 C1 T 3 C2 T 1 C2 T 2 C2 T 3 C3 T 1 C3 T 2 C3 T 3 C4 T 1 C4 T 2 C4 T 3

Perlakuan Kolkisin dan Waktu Perendaman

N il a i A k ti vi tas P P O (U n it)

Gambar 4.4 Perlakuan Konsentrasi Kolkisin dan Waktu Perendaman Terhadap Nilai Aktivitas Polifenol Oksidase


(48)

Dari Tabel 4.4 menunjukkan bahwa nilai aktivitas polifenol oksidase pada perlakuan kolkisin 0,01% dengan waktu perendaman 30 menit (C2T3) memiliki nilai

aktivitas paling tinggi sebesar 0,0066 unit, begitu juga nilai aktivitas spesifiknya sebesar 2,568 x 10-4 unit/µg protein, sedangkan nilai aktivitas polifenol oksidase terendah pada perlakuan kolkisin 0% dengan waktu perendaman 30 menit (C1T3)

sebesar 0,0041 unit dan nilai aktivitas spesifiknya sebesar 1,560 x 10-4 unit/µg protein. Sedangkan pada perlakuan kontrol (C1T1) menunjukkan hasil aktivitas enzim dan

aktivitas spesifik yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kolkisin dengan konsentrasi 1% (C4T2) yang memiliki nilai aktivitas PPO dan aktivitas spesifik yang

lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini mungkin disebabkan karena aktivitas PPO pada perlakuan kontrol yang memiliki aktivitas enzim secara konstitutif yang memang sudah ada di dalam jaringan tanaman tersebut, dan aktivitas tersebut akan terhambat bila diinduksi dengan konsentrasi yang lebih tinggi (1%) namun akan terlihat kembali jika diinduksi pada konsentrasi 0,01-0,1%.

Aktivitas enzim polifenol oksidase dan peroksidase tidak jauh berbeda, dimana aktivitas yang paling tinggi terlihat pada konsentrasi kolkisin yang sesuai diberikan pada tanaman yaitu pada konsentrasi 0,01-0,1% sedangkan waktu perendaman berpengaruh secara fluktuatif. Enzim peroksidase dan polifenol oksidase berjalan secara sinergis di dalam suatu tanaman, enzim ini terdapat hampir di setiap organ tanaman dengan penyebaran dan nilai aktivitas yang berbeda di setiap organ tanaman tersebut. Hal ini terjadi karena pengaruh pemberian kolkisin dengan konsentrasi yang berbeda akan mempengaruhi nilai aktivitas peroksidase, dimana kolkisin yang diberikan pada kalus Terung belanda merupakan suatu cekaman eksternal bagi jaringan tanaman tersebut. Pada umumnya enzim PO dan PPO terbentuk di dalam suatu jaringan tanaman terjadi apabila terdapat cekaman dari luar antara lain penambahan senyawa mutagen seperti kolkisin. Enzim PO dan PPO secara umum berperan dalam perkembangan, pertumbuhan serta resistensi tanaman. Sedangkan waktu perendaman berpengaruh secara fluktuatif untuk setiap perlakuan.

Dari hasil uji sidik ragam terhadap nilai aktivitas polifenol oksidase menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan. Hal ini


(49)

disebabkan nilai aktivitas yang berfluktuatif untuk setiap perlakuan karena pada penelitian, kalus yang digunakan umumnya telah berwarna kecoklatan, ini menyebabkan nilai PPO untuk setiap perlakuan hampir sama. Dari hasil penelitian tanaman kubis menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas PPO berhubungan dengan komposisi senyawa fenolat yang dihasilkan, semakin tinggi senyawa fenolat dihasilkan semakin tinggi pula aktivitas PPO (Bashan et al., 1987; Czech-Kozlowska and Krzywanski, 1984; Srivastava and van Huystee, 1977b).

PO dan PPO ikut dilibatkan di dalam reaksi pertahanan dari tanaman yang resisten terhadap bakteri, jamur, dan virus, khususnya dalam reaksi terhadap hipersensitif (Bell, 1981; Farkas and Kiraly, 1962; Kosuge, 1969; Tomiyama, 1963). Mereka mengindikasikan bahwa PPO dan PO dilibatkan dalam proses reaksi dari jaringan tanaman setelah terjadi pelukaan dan terjadi infeksi. Reaksi ini terjadi sebagai hasil dari oksidasi fenol yang selalu berhubungan dengan biosintesis dari phytoalexin atau substansi-substansi lain yang bersifat toksik sampai dengan yang bersifat sebagai patogen (Batra and Kuhn, 1975; Czech-Kozlowska and Krzywanski, 1984; Lazarovits and Ward, 1982).


(50)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

a. Peningkatan konsentrasi kolkisin menyebabkan penurunan berat basah kalus dan persentase kultur hidup serta variasi warna kalus, akan tetapi terjadi peningkatan terhadap nilai aktivitas enzim peroksidase dan polifenol oksidase. b. Perlakuan terbaik dari berat basah kalus yaitu pada perlakuan kombinasi C3T3

(konsentrasi kolkisin 0,1% dengan waktu perendaman 30 menit) begitu juga untuk nilai aktivitas enzim peroksidase dan polifenol oksidase.

5.2 Saran

a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui aktivitas enzim peroksidase dan polifenol oksidase pada tanaman yang sakit, untuk dibandingkan dengan aktivitas enzim pada tanaman yang sehat.

b. Perlu dilakukan uji korelasi terhadap nilai aktivitas enzim peroksidase dan polifenol oksidase.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Arora, Y.K., and K.L Bajaj. 1985. Peroxidase and polyphenol oxidase associated with induced restistance of mung bean to Rhizoctonia solani Kuhn. Phytopath. Z.114: 325-331

Artlip, T.S., and E.A.Funkhouser. 1995. Protein Synthetic Responses to Enviromental Stresses. In M. Pessarakli (Ed). Handbook of Plant and Crop Physiology. Marcel Dekker, Inc., New York. hlm. 627-644

Bakardjieva, N.T. 1986. Metal ions control on activity, polyfunctionality an UV-photosensitivity of plant peroxidase. In: Molecular and Physiological Aspect of Plant Peroxidases. Eds. Greppin, H., C. Penel, and Th. Gaspar. Univ. of Geneva. Geneva, Switzerland. hlm. 143-154

Bashan, Y., Y. Okon, and Y. Henis. 1987. Peroxidase, polyphenol oxidase and phenols in relation to resistance against Pseudomonas syringae pv.tomato in tomato plant. Can. J. Bot. 65: 366-372

Batra, G.K., and C.W. kuhn. 1975. Polyphenoloxidase activities associated with acquired resistance and its inhibition by 2-thiouracil in virus-infected soybean. Physiol. Plant Pathol. 5: 239-248

Bell, A.A. 1981. Biochemical mechanisms of disease resistenace. Ann. Rev. Plant Phyiol. 32: 21-81

Birecka, H., J.L. Catlfamo, and M.O. Garraway. 1975a. Cell wall and protoplast isoperoxidases of corn leaves in relation to cut injury and infection with tobacco mosaic virus. Plant Physiol. 55: 611-619

Bohs. 2001. Tamarillo in New Zealand. http://www. Accthor.Org/books/486/486-33.htm

Bradford, M.M. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Anal. Biochem. 72: 248-254

Cantwell. 2001. Keanekaragaman Rekayasa Genetik Pada Tanaman Tomat http://www.highwire.stanford.edu

Cassab, G.I., and J.E. Varner. 1988. Cell wall proteins. Ann. Rev. Plant Physiol. Plant Mol. Biol. 39: 321-353


(52)

Catesson, A.M., A. Imberty, R. Goldberg, and Y. Czaninski. 1986. Nature, localization and specificity of peroxidases involved in lignification process. In: Molecular and Physiological Aspects of Plant Peroxidases. Eds. Greppin, H., C. Penel, ang Th. Gaspar. Univ. of Geneva, Geneva, Swizerland. hlm. 189-198

Chiu, S.M., and Y.C. Teng. 1977. Studies on disease resistance, yielding capacity and grain quality of blast, Pyricularia oryzae, resistant multiline and composite varieties of rice. J. Agric. Res. China.25: 249-258

Czech-Kozlowska, M., and Z. Krzywanski. 1984. Phenolic compounds and the polyphenoloxidase and peroxidase activity in callus tissue culture-pathogen combination of red rasberry and Didymella applanata (Niessl.) Sacc. Phytopath. Z. 109: 176-182

Departemen pertanian. 2003. Data Agribisnis Wilayah Sumatera. http://www.agribisnis.deptan.go.id.diakses tanggal 21 Mei 2008

---. 2005. Data Agribisnis Wilayah Sumatera I. http://www.agribisnis.deptan.go.id

Eigisti, P.J. & P.J. Dustin. 1995. Colchichine in Agricultur, Medicine Biology and Chemistry. Lowa: The lowa State Collage Press.hlm.275

Farkas, G.L., and Z. Kiraly. 1962. Role of phenolic compound in the physiology of plant diseases and disease resistance. Phytopathol. Z.44: 105-140

Faucon, P. 1998. Tree Tomato, Tamarillo. http://www.deserttropical.com diakses tanggal 23 Mei 2008

Fitriani, A. 2003. Kandungan Ajmalisin Pada Kultur Kalus Catharanthus roseus L. dan Setelah Dielisitasi Homogenat Jamur Pythium aphanidermatum Edson Fitzp. Makalah Pengantar Falsafah Sains. Bogor: Program Pascasarjana IPB.hlm.10

Fric, F. 1976. Oxidative enzymes. In: Encyclopedia of Plant Physiology. New Series. Eds. Heitefuss, R. and P.H Williams. Springer-Verlag. Berlin, Germany. hlm. 617-631

Fry, S.C. 1986. Polymer-bound phenols as natural substrates of peroxidases. In: Molecular and Physiological Aspects of Plant peroxidases. Eds. Greppin, H., C. Penel, and Th. Gaspar. University of Geneva. Geneva, Switzerland. hlm. 169-182

Gaman. P.M. & sherrington, K.B. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Edisi ke-2. Yogyakarta: UGM Press. hlm: 167-168 Gaspar, T., C.Penel, T. Thorpe and H. Greeppin. 1980. Peroxidases A Survey of Their

Biochemical and Physiology Roles in Higer Plant. University of Geneva. hlm. 210-225


(1)

∑ XY- (∑X)(∑Y)/n 

r =

√ {∑X2‐(X)2/n} {Y2‐(Y)2/n}

14.976 – 10.605

=

√(7)(2.756) 4.371 r2 =

4.3924

= 0.9911

n (∑XY) – (∑X)(∑Y)

b =

n (∑X2) – (∑Y)2

7 (14.976) – (10.5)(7.07)

=

7 (22.750) – (9.896) = 0.2034

a = Y- b X

= 1.0128 – 0.2034(1.5) = 0,7077

sehingga, Y = a + bX


(2)

Lampiran P : Data Pengukuran Determinasi Protein Kalus

Dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi, yaitu : Y = a + bX Dimana nilai a = 0,6320

Nilai b = 0,0356

Sehingga diperoleh untuk masing-masing nilai X yaitu dengan rumus

X = Y – a B

Perlakuan Absorban Nilai Determinasi Protein Kalus (µg/g Ekstrak Kalus)

C1T1 1,549 25,758

C1T2 1,553 25,870

C1T3 1,547 25,702

C2T1 1,544 25,617

C2T2 1,547 25,702

C2T3 1,547 25,702

C3T1 1,544 25,617

C3T2 1,549 25,758

C3T3 1,553 25,870

C4T1 1,553 25,870

C4T2 1,549 25,758


(3)

Lampiran Q : Data Pengamatan Hasil Pengukuran Aktivitas Enzim Peroksidase Dengan Spektrofotometer Pada Panjang Gelombang 420 nm

Ulangan Perlakuan

1 2 3 Total (A) Rataan (A)

C1T1 1.654 1.693 1.630 4.977 1.659 C1T2 1.654 1.701 1.705 5.060 1.687 C1T3 1.554 1.658 1.669 4.881 1.627 C2T1 1.567 1.674 1.682 4.923 1.641 C2T2 1.646 1.701 1.703 5.050 1.683 C2T3 1.716 1.783 1.700 5.199 1.733 C3T1 1.635 1.802 1.815 5.252 1.750 C3T2 1.511 1.578 1.579 4.668 1.556 C3T3 1.722 1.798 1.793 5.313 1.771 C4T1 1.564 1.605 1.604 4.773 1.591 C4T2 1.600 1.651 1.648 4.899 1.633 C4T3 1.551 1.642 1.648 4.841 1.614

Daftar Sidik Ragam Aktivitas Enzim Polifenol oksidase

SK DB JK KT fhit f5% f1%

Perlakuan 11 0.146 0.013 1.242tn 2.22 3.09 Galat 24 0.246 0.010

Total 35 0.402

Keterangan :

tn : Tidak berbeda nyata ** : Berbeda sangat nyata * : Berbeda nyata


(4)

Lampiran R : Data Pengamatan Hasil Pengukuran Aktivitas Enzim Polifenol Oksidase Dengan Spektrofotometer Pada Panjang Gelombang 420 nm

Ulangan Perlakuan

1 2 3 Total (A) Rataan (A)

C1T1 1.486 1.499 1.500 4.485 1.495 C1T2 1.270 1.226 1.287 3.783 1.261 C1T3 1.224 1.253 1.252 3.729 1.243 C2T1 1.446 1.517 1.500 4.463 1.487 C2T2 1.403 1.452 1.479 4.334 1.445 C2T3 1.464 1.515 1.686 4.665 1.555 C3T1 1.226 1.259 1.266 3.751 1.250 C3T2 1.499 1.574 1.615 4.688 1.562 C3T3 1.367 1.423 1.459 4.249 1.416 C4T1 1.342 1.387 1.430 4.159 1.386 C4T2 1.471 1.518 1.515 4.504 1.501 C4T3 1.243 1.267 1.276 3.786 1.262

Daftar Sidik Ragam Aktivitas Enzim Peroksidase

SK DB JK KT fhit f5% f1%

Perlakuan 11 0.494 0.044 1.025tn 2.22 3.09 Galat 24 1.053 0.043

Total 35 1.548

Keterangan :

tn : Tidak berbeda nyata ** : Berbeda sangat nyata * : Berbeda nyata


(5)

Lampiran S : Data Pengamatan Nilai Aktivitas Peroksidase

Dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi, yaitu : Y = a + bX Dimana nilai a = 0,7077 BM Pyrogallol = 126,11

Nilai b = 0,2034

Sehingga diperoleh untuk masing-masing nilai X yaitu dengan rumus

X = Y – a b

Perlakuan Absorban

Konsentrasi Pyrogallol

(µg)

Sisa Pyrogallol

(µg)

Aktivitas Enzim PO

(Unit)

Aktivitas Spesifik Enzim

PO (Unit/µg protein)

C1T1 1,659 2,492 7,508 0,0074 2,872 x 10-4

C1T2 1,687 2,554 7,446 0,0076 2,938 x 10-4

C1T3 1,627 2,446 7,554 0,0071 2,762 x 10-4

C2T1 1,641 2,466 7,534 0,0072 2,810 x 10-4

C2T2 1,683 2,545 7,455 0,0075 2,918 x 10-4

C2T3 1,733 2,663 7,337 0,0079 3,074 x 10-4

C3T1 1,75 2,703 7,297 0,0081 3,162 x 10-4

C3T2 1,623 2,440 7,560 0,0071 2,756 x 10-4

C3T3 1,771 2,753 7,247 0,0082 3,170 x 10-4

C4T1 1,591 2,394 7,606 0,0068 2,629 x 10-4

C4T2 1,633 2,455 7,545 0,0072 2,795 x 10-4

C4T3 1,614 2,427 7,573 0,0071 2,762 x 10-4

Misalnya :

Sisa Pyrogallol = Konsentrasi Pyrogallol awal – Konsentrasi Pyrogallol akhir = 10µg – 2,492 µg


(6)

Lampiran T : Data Pengamatan Nilai Aktivitas Polifenol Oksidase Dapat dihitung dengan menggunakan persamaan regresi, yaitu : Y = a + bX Dimana nilai a = 0,7077 BM Pyrogallol = 126,11

Nilai b = 0,2034

Sehingga diperoleh untuk masing-masing nilai X yaitu dengan rumus

X = Y – a b

Perlakuan Absorban

Konsentrasi Pyrogallol

(µg)

Sisa Pyrogallol

(µg)

Aktivitas Enzim PPO

(Unit)

Aktivitas Spesifik Enzim PO

(Unit/µg protein) C1T1 1,495 2,257 7,743 0,0061 2,386 x 10-4 C1T2 1,261 1,901 8,099 0,0043 1,662 x 10-4 C1T3 1,243 1,868 8,132 0,0041 1,560 x 10-4 C2T1 1,487 2,245 7,755 0,0060 2,324 x 10-4 C2T2 1,445 2,185 7,815 0,0057 2,218 x 10-4 C2T3 1,555 2,343 7,657 0,0066 2,568 x 10-4 C3T1 1,250 1,881 8,119 0,0042 1,640 x 10-4 C3T2 1,562 2,354 7,646 0,0043 1,670 x 10-4 C3T3 1,416 2,143 7,857 0,0055 2,126 x 10-4 C4T1 1,386 2,100 7,900 0,0052 2,010 x 10-4 C4T2 1,501 2,266 7,734 0,0061 2,370 x 10-4 C4T3 1,262 1,903 8,097 0,0043 1,673 x 10-4 Misalnya :

Sisa Pyrogallol = Konsentrasi Pyrogallol awal – Konsentrasi Pyrogallol akhir = 10µg – 2,257 µg

= 7,743 µg

Aktivitas Enzim PO = 4,676/5 menit Sehingga Aktivitas PO = 0,0061 Unit = 0,774/ BM Pyrogallol

Aktivitas Spesifik = Nilai Aktivitas PO/ Nilai Kadar Protein = 0,0061/ 25,758