Analisis Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013 Mengenai Bukti Adanya Utang (Kasus Pailitnya PT Sri Melamin Rejeki).

(1)

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI

NOMOR 45K/PDT.SUS-PAILIT/2013

MENGENAI BUKTI ADANYA UTANG

(PAILITNYA PT. SRI MELAMIN REJEKI)

NI MADE ASRI MAS LESTARI NIM. 1203005111

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TAN GELAR SARJANA HUKUM

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI

NOMOR 45K/PDT.SUS-PAILIT/2013

MENGENAI BUKTI ADANYA UTANG

(PAILITNYA PT. SRI MELAMIN REJEKI)

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

NI MADE ASRI MAS LESTARI NIM. 1203005111

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

(4)

(5)

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan tuntunan-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul, “Analisis Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013 Mengenai Bukti Adanya Utang (Pailitnya PT Sri Melamin Rejeki)”.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum dalam bidang studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Sehingga melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang dengan segala kebijakannnya telah banyak membantu dalam proses pendidikan;

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana;

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana;


(6)

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana;

5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH., Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana;

6. Ibu Dr. Ni Nyoman Sukerti, SH., MH., Dosen Pembimbing Akademik yang telah banyak membantu dan mengarahkan saya selama perkuliahan;

7. Bapak Marwanto, SH., M.Hum., Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing serta memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini;

8. Ibu Ida Ayu Sukihana, SH.,MH., Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing serta memberikan arahan dalam penyusunan skripsi ini;

9. Seluruh dosen pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu serta wawasan lebih kepada penulis;

10.Seluruh staf Tata Usaha, Laboratorium Hukum dan Perpustakaan Fakultas Hukum yang telah banyak membantu dalam hal pengurusan administrasi selama penulis mengikuti perkuliahan dan penyusunan skripsi;

11.Kedua orang tua penulis, I Wayan Astranaya (Alm) dan Ibu Ni Nyoman Mahendrayani yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini, dan juga kepada kakak dan adik


(7)

12.Seluruh teman-teman angkatan 2012 dan 2013 Fakultas Hukum Universitas Udayana yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu, yang telah memberikan semangat dan dukungan bagi penulis dalam penyelesaian skripsi ini;

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat adanya keterbatasan bagi penulis dalam pengetahuan dan pengalaman. Sehingga dalam perkembangannya, diharapkan saran atau pendapat yang membangun sebagai bahan pertimbangan dan koreksi kedepannya. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.

Denpasar, 28 Maret 2016


(8)

(9)

2.HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... 2i

3.HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... i3

3.HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

5.HALAMAN KATA PENGANTAR ... v

6.HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... 7i

7.HALAMAN DAFTAR ISI ... ix

8.ABSTRAK………..…………..xi

9.ABSTRACT ... 12

1BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah... 6

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 7

1.4. Orisinalitas Penelitian ... 7

1.5. Tujuan Penelitian ... 8

1.5.1. Tujuan umum ... 8

1.5.2. Tujuan khusus ... 9

1.6. Manfaat Penelitian ... 9

1.6.1. Manfaat teoritis ... 9

1.6.2. Manfaat praktis ... 9

1.7. Landasan Teoritis ... 10

1.8. Metode Penelitian ... 12

1.8.1. Jenis penelitian ... 13

1.8.2. Jenis pendekatan ... 14

1.8.3. Sumber bahan hukum ... 15

1.8.4. Teknik pengumpulan bahan hukum ... 16

1.8.5. Teknik analisis bahan hukum ... 16

1BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, KEPAILITAN, DAN PENAFSIRAN ... 18


(10)

2.1.1 Istilah dan pengertian perjanjian ... 18

2.1.2. Asas-asas dalam perjanjian... 20

2.1.3. Syarat sah-nya perjanjian ... 23

2.2. Kepailitan... 27

2.2.1. Pengertian pailit dan kepailitan ... 27

2.2.2. Syarat permohonan kepailitan ... 29

2.2.3. Pihak yang dapat memohonkan pailit ... 31

2.2.4. Pihak yang dapat dimohonkan pailit ... 33

2.3. Penafsiran ... 34

2.3.1. Pengertian penafsiran ... 34

2.3.2. Jenis-jenis penafsiran ... 35

1BAB III PERTIMBANGAN HUKUM MAJELIS HAKIM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 45K/PDT.SUS-PAILIT/2013 ... 39

3.1. Para Pihak Dalam Perkara Nomor 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013 ... 39

3.2. Dasar Permohonan Kasasi ... 40

3.3. Pertimbangan dan Putusan Mahkamah Agung ... 42

1BAB IVAKIBAT HUKUM ADANYA PERBEDAAN PERTIMBANGAN HUKUM ANTARA PENGADILAN NIAGA DAN MAHKAMAH AGUNG ... 46

4.1. Konsep Utang Menurut Undang-Undang Kepailitan ... 46

4.2. Kasus dan Analisis... 48

4.2.1. Kasus ... 48

4.2.2. Analisis ... 50

1BAB V .... PENUTUP………...59

5.1. Kesimpulan ... 59

5.2. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(11)

ABSTRAK

Utang adalah faktor paling esensial bagi lahirnya lembaga kepailitan. UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menganut konsep utang secara luas. Namun ternyata walaupun demikian, dalam prakteknya masih saja ditemui perbedaan pertimbangan mengenai bukti adanya utang oleh Majelis Hakim pada setiap tingkat peradilan. Salah satu kasus yang terjadi baru-baru ini adalah kasus Pailitnya PT. Sri Melamin Rejeki yang permohonannya diajukan oleh salah satu Debiturnya yaitu PT.Pupuk Indonesia

Holding Company (Persero). Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor. 45K/PDT.SUS/PAILIT/2013, menjatuhkan amar putusan yang mengabulkan Permohonan Pailit pihak Kreditor sebagai Pemohon Kasasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dasar pertimbangan Majelis Hakim

Judex Juris dalam putusannya yang mengakibatkan batalnya Putusan Judex Factie.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan analisa konsep hukum. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara meneliti setiap peristiwa hukum, alat bukti, dan pertimbangan hukum yang dinyatakan dalam putusan. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meneliti peraturan perundang-perundang-undangan yang berkaitan dengan kasus yang diteliti. Pendekatan analisa konsep hukum dilakukan dengan menganalisa prinsip-prinsip hukum dalam hukum perusahaan, hukum perjanjian dan dalam hukum kepailitan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa alasan Majelis Hakim mengabulkan Permohonan Kasasi dari pihak Kreditur adalah karena Majelis Hakim menganggap BAR Hutang Piutang merupakan suatu bukti nyata adanya utang yang lahir dari Perjanjian Penyediaan Bahan Baku dan Utilitas serta Penyerapan Off Gas. Bukti tersebut juga dianggap telah memenuhi konsep pembuktian sederhana yang dianut UUKPKPU. Pendapat ini tentu bertentangan dengan putusan Judex Factie, yang beranggapan sebaliknya. Sehingga sebenarnya dalam meneliti perkara ini, Majelis Hakim diharapkan juga menguasai bidang hukum yang berkaitan dengan perkara.


(12)

ABSTRACT

ABSTRACT

Debt is the most essential factor for the birth of the institution of bankruptcy. The Act Number 37 year 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment of debt concept widely embraced. But it turns out however, in practice still found differences in consideration of the evidence of debt by the judges at every level of the judiciary. One of the cases that occurred recently is the case of bankruptcy of PT. Melamine Sri Rejeki the petition filed by one of the debtors, namely PT.Pupuk Indonesia Holding Company (Persero). Panel of Judges of the Supreme Court in its Decision Number. 45K / Pdt.Sus-Pailit/ 2013, dropping the ruling granting the application Bankruptcy Creditors as Cassation. This study was conducted to determine the basic consideration of the judges Judex Juris in its decision that resulted in the cancellation of the Decision Judex Factie.

This research was conducted using the method of normative legal research. The type of approach used is case approach, the approach of legislation and legal concept analysis approach. Case approach is done by examining each event law, evidence, and legal considerations stated in the decision. Approach legislation is done by examining the legislation relating to the cases studied. Approach analysis is done by analyzing the legal concept of legal principles in corporate law, contract law and the bankruptcy law.

The results of this study indicate that the reason the judges granted the application of Cassation of the creditors is because the judges interpret BAR Debt is an obvious evidence of a debt that is born of Raw Material Supply Agreement and the Utilities and Off Gas Absorption. The evidence is also deemed to have met the simple proof of concept adopted UUKPKPU. This opinion is certainly contrary to the decision of Judex factie, mainly because the concept of debt, and a simple verification of the debt held by UUKPKPU. So it is actually in researching this case, the judges are expected to also master the field of law relating to the case.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perekonomian merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunan sebuah Negara, termasuk di Indonesia sendiri yang notabenenya adalah negara berkembang. Jika kita telusuri dalam sejarah, bidang perekonomian selalu menjadi sebuah motif yang melatarbelakangi dan mempengaruhi berbagai peristiwa yang ada dari masa ke masa. Walaupun bangsa Indonesia telah merdeka, seperti yang kita ketahui bahwa dalam bidang hukum keperdataan atau hukum privat, kita masih menggunakan warisan pemerintahan kolonial yang diberlakukan dengan asas konkordansi. Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam aturan – aturan yang masih bernuansa kolonial itu, diatur mengenai beberapa bentuk badan usaha mulai dari yang sederhana hingga yang lebih kompleks yaitu, usaha dagang (UD), persekutuan perdata (vennootschap), Persekutuan Firma

(vennootschap onder eene firma), dan Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap). Selanjutnya, menjawab tantangan perkembangan jaman, maka pada tahun 1995 pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah produk hukum bernama Undang – Undang No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang kemudian pada tanggal 16 Agustus 2007 diganti dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT).

Perseroan Terbatas merupakan sebuah bentuk badan usaha yang paling diminati oleh para pelaku usaha. Hal tersebut dikarenakan Perseroan Terbatas


(14)

2

merupakan badan usaha berbentuk badan hukum yang diharuskan memiliki harta kekayaan yang terpisah dari harta kekayaan pelaku usahanya. Dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam bentuk saham, maka pelaku usaha memiliki tanggung jawab terbatas yaitu hanya sebesar saham yang dimilikinya. Tentunya hal ini memberikan posisi yang lebih aman dan menguntungkan bagi para pelaku usaha dalam hal ini pemegang saham. Maka tidak heran jika kemudian dewasa ini, bentuk badan usaha yang lain mulai ditinggalkan oleh para pelaku usaha dengan modal besar, dan beralih pada Perseroan Terbatas.

Dalam melakukan kegiatan bisnisnya, tentu tidak mengherankan lagi jika suatu perseroan melakukan perjanjian dengan pihak lain. Pasal 1313 KUHPerdata memberikan definisi perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri.1 Dalam suatu perjanjian tentu terdapat prestasi yang mana bisa terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

Walaupun telah terikat dalam suatu perjanjian yang bersifat mengikat, namun tidak jarang dalam suatu perikatan, salah satu pihak melakukan ingkar janji atau yang sering disebut wanprestasi. Penyelesaian sengketa akibat wanprestasi dapat dilakukan baik dengan jalur non litigasi maupun litigasi. Jalur non litigasi dapat ditempuh melalui mediasi, negosiasi, maupun arbitrase dengan

1

Ahmad Miru dan Sakka Pati, 2011, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Cet.III, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 63.


(15)

sebelumnya mencantumkan klausul arbitrase didalam perjanjian yang bersangkutan. Sedangkan jalur litigasi dapat ditempuh dengan mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Umum. Namun pada kenyataannya banyak pula perkara yang timbul akibat wanprestasi ini diselesaikan melalui jalur kepailitan yang ditangani di Pengadilan Niaga.

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya.2 Kepailitan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Selanjutnya, disebut UUKPKPU). UUKPKPU menganut pengertian utang secara luas yaitu berarti utang tidak hanya sebatas timbul dari perjanjian utang piutang, dan tidak terbatas hanya dalam jumlah uang, namun dapat mencakup berbagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang. Serta tidak hanya yang timbul dari perjanjian, tapi juga dari undang-undang, contohnya perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

Ini berarti segala prestasi atau kewajiban dalam suatu perjanjian yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang adalah merupakan utang sesuai pengertian utang yang dianut UUKPKPU. Hal tersebutlah yang menjadi dasar bagaimana sengketa wanprestasi dapat menjadi dasar permohonan kepailitan. Secara lengkap,

2

M.Hadi Subhan, 2009, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik Peradilan, Cet.II, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 2.


(16)

4

syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pailit tertuang pada Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, yaitu:

“Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri

maupun permohonan satu atau lebih Kreditornya.”

Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, yang dimaksud dengan Kreditor adalah baik itu kreditor konkuren, kreditor separatis, maupun

kreditor preferen. Yang dimaksud dengan “utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik

karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.

Setelah syarat seperti tertuang di atas dipenuhi, maka permohona pailit dapat diajukan ke Pengadilan Niaga yang berwenang. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Pasal 2 UUKPKPU juga diatur bahwa pengajuan tersebut dapat dilakukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum, lalu dalam hal Debitornya adalah bank maka pengajuannya hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia, dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan pailit hanya dapat dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal, serta yang terakhir dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana


(17)

Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Perkara kepailitan adalah perkara yang sumir atau sederhana, maka dari itu perkara kepailitan diajukan berupa permohonan dan syaratnya pun terlihat sangat sederhana. Selain itu dalam Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU dinyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.

Dalam prakteknya fakta-fakta untuk membuktikan syarat adanya utang tidaklah selalu sesederhana bunyi norma-norma hukum tersebut. Permasalahannya kemudian adalah dalam menilai sederhana atau rumitnya suatu perkara kepailitan hakim memiliki pandangannya tersendiri. Perbedaan pandangan antara majelis hakim pada tiap-tiap tingkat peradilan tentu tidak jarang terjadi. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan hakim mengenai aturan-aturan yang memiliki relevansi terhadap perkara yang ditangani, sehingga menyebabkan adanya putusan yang berbeda antar tingkat peradilan. Walaupun hal ini terkesan lazim terjadi namun kebiasaan yang dibenarkan seperti ini akan mencederai nilai kepastian hukum.

Salah satunya kasus kepailitan yang baru-baru ini terjadi dan putusannya cukup menimbulkan pro kontra adalalah kasus PT. Pupuk Indonesia Holding Company (Persero) dahulu PT. Pupuk Sriwidjaja (Persero) (selanjutnya disebut


(18)

6

PT. Pupuk Indonesia) dan PT. Pupuk Sriwidjaja Palembang (selanjutnya disebut PT.PSP) selaku Pemohon pailit melawan PT. Sri Melamin Rejeki (selanjtnya disebut PT.SMR) yang merupakan anak perusahaan dari PT. Pupuk Sriwidjaja (Persero) selaku Termohon pailit. Berdasarkan segala dalil permohonan Pemohon, dan dalil sanggahan Termohon, maka Majelis Hakim Pengadilan Niaga melalui Putusan Nomor 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst menjatuhkan putusan menolak permohonan kepailitan yang diajukan Pemohon terhadap Termohon.

Pemohon yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut kemudian mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Setelah mempelajari memori kasasi dan kontra memori kasasi, Majelis Hakim Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013 ternyata menjatuhkan putusan yang berbeda dengan putusan Judex Facti. Salah satu poin utama yang membedakan antara putusan Judex Facti dan Judex Juris

adalah perbedaan pandangan mengenai bukti adanya utang yang dimiliki Termohon terhadap Pemohon sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka ditulislah

skripsi ini dengan judul: “Analisis Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013 Mengenai Bukti Adanya Utang (Pailitnya PT Sri Melamin Rejeki)”.

1.2. Rumusan Masalah

Bahwa berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalah yang didapat adalah sebagai berikut.


(19)

1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 45K/Pid.Sus-Pailit/2013?

2. Apakah akibat hukum dari adanya perbedaan pertimbangan hukum antara Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung dalam perkara Nomor 45K/Pid.Sus-Pailit/2013?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, untuk mendapatkan hasil pembahasan yang sistematis dan tidak keluar dari pokok permasalahan, maka perlu kiranya ditetapkan batasan-batasan dalam ruang lingkup tertentu. Oleh karenanya pembahasan dalam penelitian ini hanya berpusat pada dasar pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim untuk mengabulkan Permohonan Kasasi pada perkara kepailitan PT Sri Melamin Rejeki serta apa akibat hukum dari perbedaan pandangan antara Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung ditinjau dari peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, peraturan perundang-undangan di bidang perseroan, yurisprudensi dan dari berbagai teori-teori, doktrin-doktrin, serta asas-asas hukum.

1.4. Orisinalitas Penelitian

Usulan peneilitian ini diajukan pada Bulan Oktober 2015. Ide penelitian ini murni dari hasil pemikiran peneliti yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan ditemukan beberapa penelitian sejenis namun memiliki substansi yang berbeda dengan penelitian ini.


(20)

8

Penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain adalah sebagaimana disebutkan dibawah ini.

a. Penelitian yang dilakukan oleh Fuji Kadriah Zulaika, S.H. dengan judul Pengertian Utang Dalam Kasus Kepailitan (Suatu Analisa Yuridis: Berkaitan Dengan Utang Dalam Putusan Pailit Manulife), Tesis pada Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2003.

Permasalahan yang diangkat adalah mengenai pengertian utang dalam pandangan hakim – hakim pengadilan niaga serta mengenai dasar pertimbangan keputusan majelis hakim berdasarkan pengertian utang dalam Undang – Undang No 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan menjadi Undang – Undang, sedangkan penelitian yang Peneliti lakukan berjudul

“Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013 Mengenai Bukti Adanya Utang (Pailitnya PT Sri Melamin Rejeki)”.

Permasalahan yang diangkat adalah mengenai dasar pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim pada Putusan Mahkamah Agung RI No. 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013 perkara kepailitan PT Sri Melamin Rejeki serta apa akibat hukum dari perbedaan pertimbangan antara Majelis Hakim Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung dalam perkara tersebut.

1.5. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:


(21)

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum terkait paradigma science as a process, yang artinya ilmu tidak akan pernah final untuk digali dan tidak akan pernah habis untuk ditelusuri kebenarannya.

1.5.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013.

b. Untuk mengetahui akibat hukum dari adanya perbedaan pertimbangan hukum antara Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung.

1.6. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adaalah dapat memberikan dampak yang positif bagi penulis dan bagi semua pihak. Adapun manfaat tersebut dibagi menjadi dua yaitu.

1.6.1 Manfaat teoritis

Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini adalah terjadinya perkembangan ilmu hukum sehingga kiranya dapat dipergunakan sebagai bahan pustaka dan rujukan dalam bidang hukum kepailitan dan hukum perusahaan.

1.6.2 Manfaat praktis

Manfaat praktis yang diharapkan melalui penelitian ini untuk para mahasiswa hukum adalah agar dapat memberikan pengetahuan dan penjelasan mengenai hukum kepailitan dan penerapannya di dalam sebuah putusan. Sedangkan bagi para penegak hukum khususnya Majelis Hakim yang menangani


(22)

10

perkara kepailitan, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menangani perkara-perkara kepailitan yang ada di negara ini.

1.7. Landasan Teoritis

Kepailitan berasal dari kata dasar pailit (dalam bahasa Indonesia), failliet

(dalam bahsa Belanda), dan bankruptcy (dalam bahasa Inggris). Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran – pembayaran terhadap utang – utang dari para kreditornya.3

Secara yuridis UUKPKPU tidak memberikan definisi dari pailit, namun hanya memberikan definisi kepailitan dalam Ketentuan Umum pasal 1 UUKPKPU yang menyatakan sebagai berikut.

"Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini."

Siapakah kemudian yang dapat disebut dengan Debitor menurut UUKPKPU, “Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang –undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.”

Penagihan utang tersebut dimuka pengadilan ini, haruslah memenuhi syarat kepilitan yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa. "Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yangtelah jatuh waktu dan dapat ditagih,

3Ibid,


(23)

dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya."

Jadi utang merupakan unsur penting dari adanya kepailitan itu sendiri, maka dari itu kita perlu mengetahui apa itu utang. Dalam Pasal 1 angka 6 UUKPKPU tertuang definisi yuridis mengenai utang.

"Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada

Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.”

Dari rumusan di atas kita dapat melihat bahwa utang bisa timbul salah satunya dari perjanjian. Dalam praktik bisnis, adalah hal yang lumrah jika antara pihak satu dengan pihak lainnya membuat sebuah perikatan. Perikatan tersebut kemudian dituangkan dalam berbagai jenis kontrak atau perjanjian.

Dalam bahasa Indonesia istilah kotrak sama pengertiannya dengan perjanjian. Istilah kontrak lebih menunjukkan nuansa bisnis atau komersial dalam hubungan hukum yang dibentuk, sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas.4

Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal lima macam asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas kepribadian.5 Kelima asas

4

Simamora Sogar, 2013, Hukum Kontrak “Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintahan di Indonesia”, Kantor Hukum WINS and Patners, Surabaya, h. 23.

5

Salim H.S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, 2011, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Cet.V, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1.


(24)

12

tersebutlah yang umumnya menjadi dasar pembuatan – pembuatan perjanjian yang terjadi dalam lapangan hukum perdata.

Dalam membuat perjanjian tersebut di atas, agar perjanjian tersebut menjadi sah, maka harus dipenuhi syarat – syarat sahnya perjanjian.dalam hukum Eropa Kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW Baru) Belanda.6 Pasal 1320 KUH Perdata menentukan 4 syarat sahnya perjanjian yaitu :

1. adanya kesepakatan;

2. kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum; 3. adanya obyek;

4. adanya kausa yang halal.

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif, sedangkan syarat tiga dan empat adalah syarat obyektif. Jika syarat subyektif tidak terpenuhi maka berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Artinya jika salah satu pihak melakukan gugatan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, dan sebaliknya jika tidak diajukan gugatan maka perjanjian tersebut tetap berlaku. Selanjutnya jika syarat obyektif yang tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum secara serta merta.

1.8. Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian

6

Salim H.S., 2009, Hukum Kontrak “Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak”, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim H.S. II), h. 33.


(25)

Terdapat 2 (dua) jenis penelitian hukum yaitu penelitian hukum normative dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normative adalah penelitian hukum yang meliputi penelitian tentang asas hukum, norma hukum, perbandingan hukum, sejarah hukum, inventarisasi hukum, sistematika hukum, dan sinkroniasi hukum (vertical dan horizontal), sedangkan penelitian hukum empiris adalah penelitian ilmiah yang menerangkan fenomena hukum mengenai terjadinya kesenjangan antara norma dengan perilaku masyarakat (kesenjangan antara das sollen dan das sein).

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Terdapat beberapa ciri-ciri penelitian hukum normatif, diantaranya sebagai berikut.

a. Penelitian beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma hukum/asas hukum;

b. tidak menggunakan hipotesa; c. menggunakan landasan teori;

d. menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.7

Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisa konsep hukum yang diutarakan oleh para ahli hukum maupun para pakar hukum, serta dilandasi oleh berbagai teori-teori hukum yang relevan dan didukung oleh berbagai bahan hukum dan data penunjang.

7

Amiruddin dan Zainal Azikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 166.


(26)

14

1.8.2 Jenis pendekatan

Penelitian hukum normative mengenal adanya 7 (tujuh) jenis pendekatan yaitu, pendekatan kasus (The Case Approach), pendekatan perndang-undangan

(The Statute Approach), pendekatan fakta (The Fact Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach), pendekatan frasa

(words and Phrase Approach), pendekatan sejarah (Historical Approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (the case approach), pendekatan perundang-undangan (the statute approach) dan pendekatan analisa konsep hukum (analitical & conseptual approach).

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara meneliti setiap peristiwa hukum, alat bukti, dan pertimbangan hukum yang dinyatakan dalam putusan Mahkamah Agung No. 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013. Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang ditangani.8 Sedangkan pendekatan analisa konsep hukum (analitical & conseptual approach) digunakan untuk memahami prinsip-prinsip hukum yang terkait dengan kasus yang dibahas. Semua pendekatan tersebut digunakan untuk menghasilan penilaian yang maksimal terhadap putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013.

8

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.93


(27)

1.8.3 Sumber bahan hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri dari asas dan kaidah hukum. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan ruang lingkup pembahasan penelitian ini, diantaranya Putusan Mahkamah Agung No. 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013, Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan berbagai peraturan hukum lainnya serta berbagai putusan pengadilan yang relevan dengan pokok permasalahan.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder terdiri atas buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa, kamus dan ensiklopedia, serta informasi dari media internet yang relevan dan dapat dipercaya.


(28)

16

Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan bahan hukum melalui studi dokumen dan metode sistematis atau sistem kartu (card system). Soerjono Soekanto menyatakan bahwa studi dokumen merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis.9 Studi dokumen dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Metode sistematis (sistem kartu), yaitu setelah mendapat semua bahan yang diperlukan kemudian dibuat catatan mengenai hal-hal yang dianggap penting bagi penelitian yang dilakukan.10 Pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara pemilahan bahan hukum yang relevan, yaitu bahan hukum yang berkaitan dengan hukum kepailitan, hukum perjanjian, hukum perusahaan dan konsep hukum perdata pada umumnya.

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum

Setelah seluruh bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini terkumpul, selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisa menggunakan teknik deskripsi, teknik sistematisasi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi. Teknik deskripsi diaplikasikan dengan dengan membaca serta mencatat materi-materi yang memiliki relevansi terhadap penelitian ini. sedangkan teknik sistematisasi diaplikasikan dengan melihat kaitan diantara norma-norma dalam peraturan perundangan-undangan yang digunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya berdasarkan hasil teknik deskripsi dan sistematisasi, digunakan teknik evaluasi dengan melakukan penilaian terhadap rumusan pernyataan norma ataupun

9

Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, h.21

10

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian hukum Normatif, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.13


(29)

keputusan dengan menggunakan alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Hasil evaluasi tersebut kemudian digunakan sebagai dasar dalam membangun argumentasi hukum terhadap permasalahan yang diangkat dalam penelitian.


(30)

18

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, KEPAILITAN, DAN PENAFSIRAN

2.1. Perjanjian

2.1.1. Istilah dan pengertian perjanjian

Istilah perjanjian merupakan istilah yang mengandung pengertian yang luas. Dewasa ini, umumnya dalam dunia bisnis istilah yang lebih sering digunakan untuk menyebutkan istilah perjanjian tertulis adalah kontrak. Istilah tersebut diambil dari bahasa Inggris contract, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah overeenkomst (Perjanjian), sedangkan dalam KUH Perdata, pengertian istilah perjanjian ada dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang bunyinya

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Pengertian yang termuat dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidaklah

jelas karena disana hanya mendefinisikan perjanjian sebagai “suatu perbuatan”.

Hal ini tentu berarti suatu perbuatan yang dimaksud tersebut tidak hanya berupa perbuatan hukum melainkan dapat juga berupa bukan perbuatan hukum. Dilihat

dari sudut pandang doktrin teori lama yang disebut perjanjin adalah “Perbuatan

hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.” Jika kemudian diuraikan, maka unsur-unsur perjanjian menurut teori lama yaitu:

1. adanya perbuatan hukum;


(31)

3. persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan/dinyatakan;

4. perbuatan hukum terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih; 5. pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai harus saling bergantung

satu sama lain;

6. kehendak ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;

7. akibat hukum untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik;

8. persesuaian kehendak harus dengan meningat peraturan perundang-undangan.

Kemudian, seorang ahli hukum bernama Van Dunne mengemukakan sebuah teori yang disebut teori baru. Menurut teori ini, yang diartikan sebagai

perjanjian adalah “Suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.” Teori ini tidak hanya mengkaji pengertian dari perjanjian atau kontrak melainkan juga menentukan unsur-unsur apa saja yang harus ada sehingga suatu perbuatan kemudian dapat disebut dengan kontrak. Ada tiga unsur kontrak yaitu sebagai berikut.

1. The agreement fact between the parties (adanya kesepakatan tentang fakta antara dua belah pihak).


(32)

20

3. The set of rights and duties created by (1) and (2) (adanya orang yang berhak dan berkewajiban untuk membuat: (1) kesepakatan dan (2) persetujuan tertulis).1

Dari definisi-definisi perjanjian yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat ditarik pengertian mengenai perjanjian yaitu suatu hubungan hukum antara satu atau beberapa orang dengan satu atau beberapa orang lainnya yang dilandasi dengan kesepakatan mengenai suatu hal.

2.1.2 Asas-asas dalam perjanjian

Di dalam KUH Perdata Buku ke III dikenal adanya lima macam asas hukum yang menjiwai ketentuan-ketentuan di dalamnya. Kelima asas tersebut, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas iktikad baik, asas konsualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), dan asas kepribadian. Asas-asas tersebut merupakan asas umum dalam perjanjian, sebagaimana dijabarkan dibawah ini.

1. Asas Kebebasan Berkontrak

Jika dilihat pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata maka disanalah dapat dilihat ketentuan yang berdasarkan asas kebebasan

berkontrak ini. Pasal 1338 menyatakan: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.” Rumusan tersebut dipertegas lagi oleh ayat (2) Pasal yang sama, yang menyatakan bahwa perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan yang ditentukan undang-undang. Secara umum para

1


(33)

ahli hukum seringkali menghubungkan dan memperlakukan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 1338 KUH Perdata sebagai asas kebebasan berkontrak.

Ahmad Miru mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak memberikan jaminan kepada setiap orang mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian yaitu: (1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; (2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; (3) bebas menentukan isi atau klausul perkankian; (4) bebas menentukan bentuk perjanjian; dan (5) kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak merupakan merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak.

Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.2

2. Asas Pacta Sunt Servanda

Selain bernama asas Pacta Sunt Servanda, asas ini juga dikenal dengan sebutan asas kepastian hukum. Asas ini berkaitan dengan akibat dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak, dimana asas ini tersimpul pada

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

2

Ahmad Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 4.


(34)

22

membuatnya.” Ini berarti baik hakim maupun pihak ketiga tidak dapat

melakukan intervensi terhadap substansi perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut.

3. Asas Konsensualisme

Konsensualisme berasal dari bahasa latin “consensus” yang berarti

sepakat. Asas konsensualisme sendiri bermakna bahwa pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kata sepakat. Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas kebebasan berkontrak dan tercermin juga dari Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Berdasarkan asas konsensualisme ini, perjanjian itu sudah sah apabila sudah disepakati mengenai hal-hal yang pokok, dan tidaklah memerlukan suatu formalitas.

4. Asas Iktikad Baik

Asas iktikad baik tercermin dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Menurut Subekti, pengertian iktikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (2) (pengertian obyektif).3

5. Asas Personalia

Asas Personalia (Asas Kepribadian) tercermin dalam Pasal 1315 KUH Perdata dan dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 1340 KUH Perdata. Dari kedua pasal tersebut, pada intinya mengatur bahwa perjanjian pada

3


(35)

dasarnya hanya akan melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban diantara para pihak yang membuatnya. Pada dasarnya, seorang tidak dapat mengikatkan dirinya untuk kepentingan maupun kerugian pihak ketiga, kecuali dalam hal terjadinya peristiwa penanggungan (dalam hal demikianpun penanggungan tetap berkewajiban untuk membentuk perjanjian dengan siapa penanggungan tersebut akan diberikan dan dalam hal yang demikian, perjanjian yang ditanggung dalam perjanjian penanggungan). Ini berarti perjanjian dibuat oleh para pihak tersebut, demi hukum hanya mengikat para pihak yang membuatnya.4

Itulah kelima asas yang menjiwai ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian (kontrak).

2.1.3 Syarat sah-nya perjanjian

Selanjutnya sebuah perjanjian atau kotrak baru untuk dapat dikatakana sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.

a. Kesepakatan

Kesepakatan atau consensus dari masing-masing pihak merupakan syarat paling esensial dalam sebuah perjanjian atau kontrak. Agar kontrak menjadi sah, para pihak harus sepakat terhadap hal yang terdapat di dalam perjanjian.5 Kesepakatan diartikan sebagai persesuaian pernyataan

4

Kaligis O.C., 2013, Kontrak Bisnis Teori dan Praktik, PT Alumni Bandung, h. 6.


(36)

24

kehendak antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:

1. Bahasa yang sempurna dan tertulis; 2. Bahasa yang sempurna secara lisan;

3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Hal ini mengingat dalam kenyataannya sering kali seeorang yang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;

4. Bahasa isyrat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; dan

5. Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.

Mariam Darus Badrulzaman memberikan pengertian sepakat sebagai kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara pihak-pihak. Pernyatan dari pihak yang menawarkan disebut tawaran (offerte), dan pernyataan dari pihak yang menerima penawaran disebut akseptasi (acceptatie) menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban yang termaktub dalam surat tersebut.6

Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat yang diberikan menjadi tidak sah, apabila kemudian kata sepakat tersebut diberikan karena salah pengertian (khilaf), paksaan, atau penipuan. Hal tersebut dikarenakan persetujuan diberikan dengan cacat kehendak, sehingga menjadi tidak sah.

6


(37)

Perjanjian yang demikian dapat dimohonkan pembatalannya kepada pengadilan. Hal tersebut harus mengenai intisari pokok persetujuan. Ada

dua jenis salah pengertian atau kekeliruan yaitu “kekeliruan mengenai

hakikat benda atau barang yang menjadi obyek dari suatu perjanjian (error in substantia)” dan “kekeliruan mengenai orangnya (error in persona)”.

Salah pengertian mengenai orangnya tidak menyebabkan persetujuan dibatalkan.7

b. Kecakapan bertindak

Dalam KUH Perdata kecakapan dikaitkan dengan batasan usia dewasa yaitu 21 tahun atau sudah kawin sesuai dengan yang ditetapkan dalam Pasal 330 KUH Perdata. Jadi jika seseorang belum mencapai usia 21 tahun namun telah menikah, maka ia dianggap sudah cakap. Sedangkan dalam hal perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan ukuran kedewasaan yang berbeda dari KUH Perdata, yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan.

Sedangkan Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan, “Tidak cakap untuk

membuat suatu persetujuan-persetujuan adalah: 1. orang-orang yang belum dewasa

2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang-undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.

7


(38)

26

Namun dalam perkembangannya, seorang perempuan yang telah kawin (istri) dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 jo SEMA No. 3 Tahun 1963.

a. Suatu hal tertentu

Perjanjian haruslah tentang suatu hal tertentu yang telah di sepakati oleh kedua belah pihak. Suatu hal tertentu tersebut merupakan hak dan kewajiban, atau yang kerap disebut prestasi. Prestasi dapat berupa perbuatan positif maupun perbuatan negatif. Dalam Pasal 1234

dinyatakan, “perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk

berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”

Prestasi itu harus dapat ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat dinilai dengan uang. Dapat ditentukan artinya, di dalam mengadakan perjanjian, isi perjanjian harus dipasikan, dalam arti dapat ditentukan secara cukup.8

b. Suatu Sebab yang Hahal

Dalam suatu perjanjian yang dimaksud dengan suatu sebab yang halal atau

orzaak (kausa yang halal) adalah berkaitan dengan isi dari perjanjian tersebut. Pasal 1320 KUH Perdata tidak memberikan penjelasan mengenai apa itu orzaak, namun di dalam Pasal 1337 KUH Perdata disebutkan apa saja yang dianggap kausa terlarang. Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan:

8


(39)

“suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau apabila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan

ketertiban umum.”

Jadi agar suatu perjanjian menjadi sah maka, perjanjian tersebut harus memenuhi 4 syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata seperti yang telah dijabarkan di atas. Syarat nomor 1 dan 2 disebut syarat subyektif, karena berkaitan degan orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian, sedangak syarat nomor 3 dan 4 disebut syarat obyektif, karena berkaita dengan obyek dari suatu perjanjian. Jika kemudian syarat 1 dan 2 tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak dapat mengajukan pembatalah perjanjian tersebut ke pengadilan. Sedangkan jika syarat 3 dan 4 yang tidak terpenuhi maka secara otomatis perjanjian tersebut batal demi hukum.

2.2 Kepailitan

2.2.1 Pengertian pailit dan kepailitan

Pengertian dari pailit tidak dapat kita temukan di dalam UUKPKPU karena pembuat undang-undang tidak merumuskan pengertian pailit di dalamnya. Oleh karena itu, pengertian pailit dapat kita kutip dari literatur-literatur maupun pendapat ahli. Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk elakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para


(40)

28

kreditornya.9 Tidak jauh berbeda dari pengertian tersebut, Subekti dan R. Tjitrosoedibio memberikan pengertian sebagai berikut.

"Pailit adalah keadaan di mana seorang debitor telah berhenti membayar utang-utangnya. Setelah orang yang demikian atas permintaan para kreditornya atau atas permintaan sendiri oleh pengadilan dinyatakan pailit, maka harta kekayaannya dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan selaku curatrice (pengampu) dalam urusan kepailitan tersebut untuk dimanfaatkan bagi semua kreditor."10

Pengertian dari pailit dan kepailitan tidaklah sama, namun keduanya memiliki hubungan yang erat karena kepailitan berasal dari kata pailit itu sendiri. Jika pailit merupakan keadaan dari si debitor yang tidak mampu membayar utang-utang kepada kreditornya, maka kepailitan adalah suatu mekanisme atau proses sita umum terhadap harta kekayaan debitor pailit untuk membayar utang-utangnya tersebut. Peter J.M mengungkapkan sebagai berikut.

A bankruptcy petition has to state facts and circumstances that constitute prima facie evidence that the debtor has ceased to pay its debts. This isi considered to be the case if there are at least two creditors, one of who, has a claim whis is due and payable and which the debtor cannot pay, refuses to pay, or simply does not pay.”11

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Kepailitan memberikan definisi kepailitan sebagai berikut.

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah

9

M. Hadi Subhan, Op.cit, h.1

10

Syamsudin M. Sinaga, op.cit, h. 4, dikutip dari Subekti dan R. Tjitrosoedibio, 1978,

Kamus Hukum, Pradya Pramita, Jakarta, h. 89.

11

M. Hadi Subhan, Op.cit h. 4, dikutip dari Peter J.M. Declercq, 2002, Netherlands Insolvency Law, The Netherlands Bankruptcy Act and The Mose Important Legagl Concept,


(41)

pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang

ini.”

Dari pengertian yang diberikan oleh UUKPKPU tersebut tentu jelas bahwa kepailitan ini adalah suatu proses untuk menyelesaikan suatu keadaan pailit dari seorang debitor sehingga kreditornya mampu mendapatkan pelunasan atas piutangnya.

2.2.2 Syarat permohonan kepailitan

Dalam mengajukan pernohonan kepailitan tentu pemohon harus memperhatikan syarat yang ditelah ditentukan oleh UUKPKPU. Syarat mengajukan permohonan kepailitan tersebut tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yaitu:

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar

lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya

sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih Kreditornya.”

Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut dapat kita ketahui syarat-syarat kepailitan adalah sebagai berikut.

1. Adanya utang yang tidak di bayar lunas

Utang merupakan hal yang paling mendasar dalam perkara kepailitan, karena tanpa adanya utang maka tidak ada kepailitan. Utang dalam UUKPKPU di definisikan dalam Pasal 1 angka 6 sebagai berikut.


(42)

30

“utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang – undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.” Selain memastikan bahwa telah ada utang, maka juga harus dipastikan bahwa utang tersebut belum di bayarkan hingga lunas. Dalam hal ini mungkin saja debitur telah melakukan pembayaran secara berkala, namun jika belum seluruhnya utang tersebut dibayarkan, maka satu syarat permohonan pailit ini terpenuhi.

2. Adanya minimal satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa yang dimaksud dengan

“utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah kewajiban untuk

membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan penagihan sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.

Selanjutnya M. Hadi Subhan dalam bukunya juga menjelaskan bahwa suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut timbul bukan dari perikatan alami (natuurlijke verbintenis). Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat dituntut di muka pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami


(43)

(natuurlijke verbintenis) tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan pailit.12

3. Adanya dua atau lebih kreditor

Syarat ini berarti bahwa debitor haruslah memiliki minimal dua kreditor. Dimana dalam bagian penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU dijelaskan,

yang dimaksud dengan “Kreditor” adalah baik Kreditor konkuren,

Kreditor separatis, maupun Kreditor preferen.

Keseluruh syarat dalam Pasal 2 ayat (1) ini adalah bersifat kum ulatif, sehingga tidak dapat dikurangi. Jadi permohonan pailit baru dapat diterima ketika semua syarat tersebut terpenuhi.

2.2.3 Pihak yang dapat memohonkan pailit

Pengajuan permohonan pailit tidaklah dapat dilakukan oleh semua orang, melainkan terbatas hanya pada pihak-pihak yang telah ditentukan oleh pembuat undang-undang. Hal tersebut dijabarkan dalam Pasal 2 UUKPKPU, yang dimana pada pkoknya menyatakan bahwa pihak yang dapat mengajukan pailit adalah Debitor sendiri, Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Menteri Keuangan.

Mengenai dalam hal apa kemudian pihak-pihak tersebut dapat bertindak sebagai pemohon pailit adalah sebagai berikut.

1. Debitor

Bila debitor merasa dirinya tidak mampu lagi untuk membayar utang-utangnya pada kreditor maka debitor dapat melakukan permohonan pailit.

12Op.cit,


(44)

32

2. Kreditor

Kreditor memiliki hak untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya. Kreditor yang dimaksud disini adalah baik itu Kreditor Sparatis, Kreditor konkuren, maupun Kreditor preferen. Bagi kreditor separatis dan juga Kreditor preferen kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta kekayaan debitor. Walaupun ada kekhususan tersebut namun hak untuk mengajukan bai ketiga golongan kreditor ini adalah sama.

3. Kejaksaan

Kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepaiitan dalam hal demi kepentingan umum. Berkaitan dengan hal tersebut dalam Penjelasan Pasal

2 Ayat (2) diberikan batasan yang dimaksud dengan “kepentingan umum”

oleh pembuat undang-undang, yaitu adalah kepentingan bangsa dan negara dan/ atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:

a. debitor melarikan diri;

b. debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan;

c. debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha lainnya yang menghimpun dana dari masyarakat;

d. debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;

e. debitor tidak beriktikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau


(45)

4. Bank Indonesia

Dalam hal Debitor adalah Bank, maka Pasal 2 ayat (3) menentukan bahwa yang boleh mengajukan permohonan pernyataan pailitnya hanya Bank Indonesia. Bagian penjelasan pasal ini menerangkan bahwa pengajuan permohonan pailit oleh Bank Indonesia selalu dilakukan semata-mata dengan didasarkan atas penilaian kondisi keuangan bank tersebut dan kondisi perbankan secara keseluruhan.

5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)

Jika debitor merupakan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Hal ini dikarenakan Debitor menjalankan usaha yang menghimpun dana besar dari masyarakat luas sehingga pengajuan permohonan pailitnya tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang. 6. Menteri Keuangan

Jika Debitor merupakan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan public, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

2.2.4 Pihak yang dapat dimohonkan pailit

Mengenai siapa pihak yang dapat dimohonkan pailit tentunya adalah debitor, maka kita harus melihat ketentuan pada Pasal 1 angka 3 yang mendefinisikan sebagai “Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena


(46)

34

perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka

pengadilan.”

Dari definisi tersebut maka kita mengetahui bahwa debitor adalah “orang”

yaitu adalah “setiap orang”, dimana dalam Pasal 1 angka 11 menyatakan sebagai

berikut.

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk

korporasi yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

dalam likuidasi.”

Di sini jelas bahwa tidak hanya orang perorangan ataupun badan hukum yang bisa dimohonkan pailit, melainkan juga korporasi yang bukan badan hukum.

2.3 Penafsiran

2.3.1 Pengertian penafsiran

Setiap ketentuan dari undang–undang adalah berbentuk tertulis sehingga bersifat statis serta sulit diubah serta kaku. Sering kali maksna suatu kata dalam undang-undang tersebut tidaklah selalu jelas, sehingga hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dalam rangka memberikan putusan yang seadil-adilnya, diberikan kewenangan melakukan penafsiran-penafsiran hukum (Interpretasi). Penafsiran (Interpretasi) menurut Soedjono Dirdjosisworo, adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi pasal berdasar pada kaitannya.13 Sedangkan

13

Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Rajagafindo Persada, h. 156.


(47)

menurut R. Soeroso yang dimaksud dengan penafsiran (interpretasi) adalah me ncari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.

2.3.2 Jenis-jenis penafsiran

Dalam melakukan penafsiran, hakim dapat menggunakan beberapa jenis cara penafsiran, yaitu sebagai berikut.

1. Penafsiran Gramatikal

Penafsiran undang-undnag secara tata bahasa (gramatikal), yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam undang-undang.14 Tidak jarang penafsiran gramatikal kemudian membawa hakim untuk juga memakai penafsiran historis maupun sistematis.

2. Penafsiran Sistematis

Penafsiran ini menitikberatkan pada pandangan bahwa antara satu undang-undang dengan perundang-undang-undang-undangan lainnya memiliki hubungan yang tidak terlepas, dan akan selalu berhubungan satu sama lain. Cara penafsiran ini dilakukan yaitu dengan melihat hubungan perkataan yang ingin ditafsirkan secara luas, yaitu dengan melihat juga kalimat

14


(48)

36

keseluruhan pasal tersebut, atau bahkan melihat juga pasal lainnya yang memiliki sangkut paut.

3. Penafsiran Historis

Setiap ketentuan peraturan perundang-undangan yang lahir pasti memiliki sejarah pembentukannya sendiri. Penafsiran secara historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya undang-undang tersebut. Penafsiran secara historis ada dua macam, yaitu sebagai berikut.

a. Penafsiran menurut sejarah hukum (rechthistorische interpretative). Penafsiran menurut serah hukum merupakan suatu cara penafsiran hukum dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Penafsiran tersebut adalah penafsiran yang luas yang meliputi penafsiran menurut sejarah penetapan perundang-undangan.15 b. Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan

(wetshistorische interpretative).

Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan merupakan penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangannya sejak dibuat dan untuk mengetahui apa maksud ditetapkannya peraturan itu. Maksud tersebut dapat diketahui dengan jalan melihat siding Dewan Perwakilan Rakyat dari surat-menyurat

15


(49)

antara menteri-menteri yang bersangkutan dan komisi DPR yang bersangkutan (kenbron) dan sebagainya.16

4. Penafsiran Sosiologis (Teleologis)

Penafsiran sosiologis adalah salah satu cara penafsiran dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-undang di dalam masyarakat. Pada dasarnya ketika hakim melakukan penafsiran gramatikal maka harus selalu diakhiri dengan penafsiran sosiologis. Hal tersebut karena hakim juga perlu meninjau kenyataan hukum yang ada dimasyarakat saat itu.

5. Penafsiran Autentik

Panafsiran autentik adalah penafsiran resmi yang telah ditentukan oleh pembuat undang-undang di dalam undang-udang itu sendiri.

6. Penafsiran Ekstensif

Penafsiran ekstensif artinya penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalam arti kata yang bersangkutan.

7. Penafsiran Restriktif

Penafsiran udang-undnag secara restriktif adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara membatasi atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.17

8. Penafsiran Analogis

16

Ibid, h. 91


(50)

38

Penafsiran analogis dilakukan dengan cara memberikan kias atau ibarat terhadap kata-kata yang terdapat dalam suatu undang-undang sesuai dengan asas hukumnya.

9. Penafsiran A Contrario

Penafsiran a contrario adalah salah satu penafsiran yang dilakukan dengan memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Dengan begitu maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu berada diluar ketentuan perundang-undangan.


(1)

4. Bank Indonesia

Dalam hal Debitor adalah Bank, maka Pasal 2 ayat (3) menentukan bahwa yang boleh mengajukan permohonan pernyataan pailitnya hanya Bank Indonesia. Bagian penjelasan pasal ini menerangkan bahwa pengajuan permohonan pailit oleh Bank Indonesia selalu dilakukan semata-mata dengan didasarkan atas penilaian kondisi keuangan bank tersebut dan kondisi perbankan secara keseluruhan.

5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)

Jika debitor merupakan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Hal ini dikarenakan Debitor menjalankan usaha yang menghimpun dana besar dari masyarakat luas sehingga pengajuan permohonan pailitnya tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang. 6. Menteri Keuangan

Jika Debitor merupakan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan public, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

2.2.4 Pihak yang dapat dimohonkan pailit

Mengenai siapa pihak yang dapat dimohonkan pailit tentunya adalah debitor, maka kita harus melihat ketentuan pada Pasal 1 angka 3 yang mendefinisikan sebagai “Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena


(2)

perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih dimuka

pengadilan.”

Dari definisi tersebut maka kita mengetahui bahwa debitor adalah “orang”

yaitu adalah “setiap orang”, dimana dalam Pasal 1 angka 11 menyatakan sebagai

berikut.

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi termasuk

korporasi yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

dalam likuidasi.”

Di sini jelas bahwa tidak hanya orang perorangan ataupun badan hukum yang bisa dimohonkan pailit, melainkan juga korporasi yang bukan badan hukum.

2.3 Penafsiran

2.3.1 Pengertian penafsiran

Setiap ketentuan dari undang–undang adalah berbentuk tertulis sehingga bersifat statis serta sulit diubah serta kaku. Sering kali maksna suatu kata dalam undang-undang tersebut tidaklah selalu jelas, sehingga hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dalam rangka memberikan putusan yang seadil-adilnya, diberikan kewenangan melakukan penafsiran-penafsiran hukum (Interpretasi). Penafsiran (Interpretasi) menurut Soedjono Dirdjosisworo, adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi pasal berdasar pada kaitannya.13 Sedangkan

13

Soedjono Dirdjosisworo, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Rajagafindo Persada, h. 156.


(3)

menurut R. Soeroso yang dimaksud dengan penafsiran (interpretasi) adalah me ncari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.

2.3.2 Jenis-jenis penafsiran

Dalam melakukan penafsiran, hakim dapat menggunakan beberapa jenis cara penafsiran, yaitu sebagai berikut.

1. Penafsiran Gramatikal

Penafsiran undang-undnag secara tata bahasa (gramatikal), yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam undang-undang.14 Tidak jarang penafsiran gramatikal kemudian membawa hakim untuk juga memakai penafsiran historis maupun sistematis.

2. Penafsiran Sistematis

Penafsiran ini menitikberatkan pada pandangan bahwa antara satu undang-undang dengan perundang-undang-undang-undangan lainnya memiliki hubungan yang tidak terlepas, dan akan selalu berhubungan satu sama lain. Cara penafsiran ini dilakukan yaitu dengan melihat hubungan perkataan yang ingin ditafsirkan secara luas, yaitu dengan melihat juga kalimat

14


(4)

keseluruhan pasal tersebut, atau bahkan melihat juga pasal lainnya yang memiliki sangkut paut.

3. Penafsiran Historis

Setiap ketentuan peraturan perundang-undangan yang lahir pasti memiliki sejarah pembentukannya sendiri. Penafsiran secara historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya undang-undang tersebut. Penafsiran secara historis ada dua macam, yaitu sebagai berikut.

a. Penafsiran menurut sejarah hukum (rechthistorische interpretative). Penafsiran menurut serah hukum merupakan suatu cara penafsiran hukum dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Penafsiran tersebut adalah penafsiran yang luas yang meliputi penafsiran menurut sejarah penetapan perundang-undangan.15 b. Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan

(wetshistorische interpretative).

Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan merupakan penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangannya sejak dibuat dan untuk mengetahui apa maksud ditetapkannya peraturan itu. Maksud tersebut dapat diketahui dengan jalan melihat siding Dewan Perwakilan Rakyat dari surat-menyurat

15


(5)

antara menteri-menteri yang bersangkutan dan komisi DPR yang bersangkutan (kenbron) dan sebagainya.16

4. Penafsiran Sosiologis (Teleologis)

Penafsiran sosiologis adalah salah satu cara penafsiran dengan jalan mencari maksud atau tujuan pembuatan undang-undang di dalam masyarakat. Pada dasarnya ketika hakim melakukan penafsiran gramatikal maka harus selalu diakhiri dengan penafsiran sosiologis. Hal tersebut karena hakim juga perlu meninjau kenyataan hukum yang ada dimasyarakat saat itu.

5. Penafsiran Autentik

Panafsiran autentik adalah penafsiran resmi yang telah ditentukan oleh pembuat undang-undang di dalam undang-udang itu sendiri.

6. Penafsiran Ekstensif

Penafsiran ekstensif artinya penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalam arti kata yang bersangkutan.

7. Penafsiran Restriktif

Penafsiran udang-undnag secara restriktif adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara membatasi atau mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.17

8. Penafsiran Analogis

16

Ibid, h. 91


(6)

Penafsiran analogis dilakukan dengan cara memberikan kias atau ibarat terhadap kata-kata yang terdapat dalam suatu undang-undang sesuai dengan asas hukumnya.

9. Penafsiran A Contrario

Penafsiran a contrario adalah salah satu penafsiran yang dilakukan dengan memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Dengan begitu maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu berada diluar ketentuan perundang-undangan.


Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Hak dan Kewajiban Kurator Pasca Putusan Pembatalan Pailit Pada Tingkat Kasasi Oleh Mahkamah Agung (Studi Kasus Kepailitan PT. Telkomsel vs PT. Prima Jaya Informatika)

1 38 128

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150