KETAHANAN Staphylococcus sciuri BT 5 TERHADAP SENYAWA ANTIMIKROBIAL PADA LENGKUAS.

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

KETAHANAN Staphylococcus sciuri BT 5 TERHADAP SENYAWA

ANTIMIKROBIAL PADA LENGKUAS

OLEH :

NI KETUT CANDRA PUTRI

NIM. 1220025046

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(2)

UNIVERSITAS UDAYANA

KETAHANAN Staphylococcus sciuri BT 5 TERHADAP SENYAWA

ANTIMIKROBIAL PADA LENGKUAS

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

OLEH :

NI KETUT CANDRA PUTRI NIM. 1220025046

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA


(3)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 11 Juli 2016

Penguji I

dr. Ni Wayan Arya Utami, M.App.Bsc., Ph.D. NIP. 19810901 200604 2 001

Penguji II

Made Ayu Hitapretiwi Suryadhi, S.Si.,MHSc NIP. 19811010 200501 2 003


(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui dsn diperiksa dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 11 Juli 2016

Pembimbing

Ir. I Nengah Sujaya, M.Agr.,Sc.,Ph.D NIP. 19661231 199311 1 002


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “KETAHANAN Staphylococcus sciuri BT 5 TERHADAP SENYAWA ANTIMIKROBIAL PADA LENGKUAS” dengan baik dan sesuai waktu yang ditentukan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya dalam penyusunan proposal penelitian ini kepada :

1. Bapak dr. I Made Ady Wirawan, MPH., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2. Ibu dr. Ni Wayan Arya Utami, M. AppBsc., Ph.D., selaku Kepala Bagian

Peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Bapak Ir. I Nengah Sujaya, M.Agr.,Sc.,Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu dalam memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan proposal penelitian ini.

4. Ibu A.A.I Sri Wiadnyani, S.Tp.,MSc selaku Kepala Laboratorium Analisis Pangan Fakultas Teknologi Pertanian yang telah memberikan saran dan motivasi kepada penulis.

5. Ibu dr. Ni Wayan Arya Utami, M.App.Bsc., Ph.D. dan Ibu Made Ayu Hitapretiwi Suryadhi, S.Si., MHSc selaku penguji yang telah memberikan masukan dan saran untuk menyempurnakan skripsi ini.

6. Seluruh dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan ilmu serta masukan selama penulis menempuh pendidikan serta kepada para staf/pegawai yang telah banyak membantu dalam hal administrasi.

7. Keluarga tercinta, Bapak I Ketut Suberata, SE.,MH, Ibu Desak Made Kayahati, SE, Kakak Ni Putu Suwariani, S.TP.,M.Biotech, Kakak I Made Tangkas Suabawa, SE, dan Kakak Ni Nyoman Suka Ardani, S.TP yang telah memberikan motivasi, masukan, dan semangat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.


(6)

8. Seorang terkasih, Tuttu Santika Undaharta serta sahabat spesial, Ayu Oktafia Santi dan Citra Mutiarahati yang telah memberikan semangat dan motivasi untuk dapat menyelesaikan skripsi ini

9. Teman-teman Program Studi Kesehatan Masyarakat Angkatan 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Udayana serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini.

Dengan keterbatasan waktu dan pengalaman, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan permakluman dan masukannya baik berupa kritik dan saran yang bersifat membangun untuk melengkapi segala kekurangan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 24 Juni 2016 Penulis


(7)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA PEMINATAN GIZI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, 11 Juli 2016

Ni Ketut Candra Putri

Ketahanan Staphylococcus sciuri BT 5 Terhadap Senyawa

Antimikrobial Pada Lengkuas

ABSTRAK

Ayam betutu merupakan salah satu makanan tradisional khas Bali yang terbuat dari daging ayam yang dibalurkan bumbu Bali yaitu base genep. Dibalik rasanya yang enak serta memberikan kontribusi energy, lemak, dan protein, daging ayam yang biasa digunakan dalam pembuatan ayam betutu ternyata merupakan media tumbuh yang baik bagi bakteri, salah satunya adalah bakteri Staphylococcus sciuri. Staphylococcus sciuri merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat yang bersifat pathogen, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora dan tidak bergerak. Senyawa antimikrobial alami yang terkandung pada rempah-rempah yang digunakan sebagai bahan untuk membuat base genep seperti jahe, kunyit, kencur dan lengkuas memiliki efektivitas yang tinggi dalam melawan mikroba penyebab penyakit yang berasal dari makanan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ketahanan bakteri Staphylococcus sciuri terhadap senyawa antimikrobial yang terkandung dalam jahe, kunyit, kencur, dan lengkuas.

Penelitian ini bersifat eksperimental dengan desain penelitian yang digunakan adalah Post Test Only Control Group Design. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Jahe (Zingiber officinale.), Kunyit (Curcuma domestica Val.), Lengkuas (Alpinia galanga), dan Kencur (Kaempferia galanga L.) dengan metode pengambilan sampel purposive sampling. Proses ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi sebanyak dua kali. Uji aktivitas antimikroba dilakukan dengan menggunakan metode difusi cakram yang ditandai dengan terbentuknya zona bening disekitar papper disk.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak lengkuas dengan konsentrasi 500.000 ppm, 250.000 ppm, 200.000 ppm, 150.000, 100.000, dan 50.000 ppm aktif menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus sciuri dengan diameter daerah hambatan masing-masing sebesar 16,533 mm; 13,183 mm; 12,433 mm, 11,733 mm; 9,466 mm; dan 8 mm.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bakteri Stapyhlococcus sciuri BT 5 hanya mampu dihambat dengan menggunakan ekstrak lengkuas. Disarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait ketahanan bakteri

Staphylococcussciuri pada bumbu yang berbeda.

Kata Kunci : Antimikroba, ayam betutu, base genep, lengkuas, Staphylococcus sciuri


(8)

SCHOOL OF PUBLIC HEALTH MEDICAL FACULTY

UDAYANA UNIVERSITY PUBLIC HEALTH NUTRITION Skripsi, 11 July 2016

Ni Ketut Candra Putri

The Resistance Of Staphylococcus sciuri BT 5 Towards

Antimicrobial Compounds On The Galanga

ABSTRACT

Ayam Betutu is one of Balinese traditional food made from chicken meat with seasoning Bali namely base genep. Behind the good taste and contributes energy, fat, and protein, chicken meat used in the manufacture of ayam betutu proved to be a good growth medium for bacteria, one of which is the bacterium Staphylococcus sciuri. Staphylococcus sciuri a spherical Gram-positive bacteria that are pathogenic, facultative anaerobic, spore-forming and non-motile. Natural antimicrobial compounds contained in the spices that are used as materials for making base genep such as ginger, turmeric, galangal kencur and has a high effectiveness against disease-causing microbes from food. The purpose of this study was to determine the resistance of Staphylococcus sciuri against antimicrobial compounds contained in ginger, turmeric, galingale, and galangal.

This study is an experimental research design used is Post Test Only Control Group Design. The sample used in this study is Ginger (Zingiber officinale.), Turmeric (Curcuma domestica Val.), Galangal (Alpinia galanga) and Galingale (Kaempferia galanga L.) with purposive sampling method. The extraction process is done by maceration method twice. Test of antimicrobial activity is done by using the disc diffusion method which is characterized by the formation of a clear zone around the disk papper.

The results of this study showed that the extract of galangal with concentration of 500,000 ppm, 250,000 ppm, 200,000 ppm, 150,000, 100,000, and 50,000 ppm actively inhibit the growth of Staphylococcus sciuri BT 5 diameter area constraints, each for 16,533 mm; 13,183 mm; 12,433 mm; 11,733 mm; 9,466 mm; and 8 mm.

Based on these results we can conclude Stapyhlococcus sciuri are only able to be inhibited by using extracts of galangal. It is suggested to conduct further research related Staphylococcus sciuri resistance to antimicrobial compounds contained in other spices that are used to produce base genep in making ayam betutu

Keywords : Antimicrobials, ayam betutu, base genep, galanga, Staphylococcus sciuri


(9)

DAFTAR ISI

KETAHANAN Staphylococcus sciuri BT 5TERHADAP SENYAWA

ANTIMIKROBIAL PADA LENGKUAS ... i

KETAHANAN Staphylococcus sciuri BT 5TERHADAP SENYAWA ANTIMIKROBIAL PADA LENGKUAS ... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iii

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

DAFTAR SINGKATAN, LAMBANG, DAN ISTILAH ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.4.1 Tujuan Umum ... 4

1.4.2 Tujuan Khusus ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 5

1.5.2 Manfaat Praktis ... 5

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Ayam Betutu ... 7

2.2 Staphylococcus sciuri ... 8

2.2.1 Taksonomi Staphylococcus sciuri ... 8

2.2.2 Morfologi ... 9

2.2.3 Karakteristik Umum ... 10

2.2.4 Epidemiologi ... 11


(10)

2.2.6 Sumber Cemaran Staphylococcus sciuri pada Pangan... 11

2.3 Tanaman Jahe (Zingiber officinale) ... 12

2.3.1 Klasifikasi ... 12

2.3.2 Deskripsi Tanaman... 12

2.3.3 Deskripsi Rimpang ... 14

2.3.4 Komponen Kimia ... 15

2.3.5 Senyawa Antimikrobial ... 16

2.4 Tanaman Kunyit (Curcuma domestica Val.) ... 17

2.4.1 Klasifikasi ... 17

2.4.2 Deskripsi Tanaman... 17

2.4.3 Deskripsi Rimpang ... 18

2.4.4 Komponen Kimia ... 19

2.4.5 Senyawa Antimikrobial ... 19

2.5 Tanaman Kencur (Kaempferia galanga L.) ... 20

2.5.1 Klasifikasi ... 20

2.5.2 Deskripsi Tanaman... 20

2.5.3 Deskripsi Rimpang ... 21

2.5.4 Komponen Kimia ... 22

2.5.5 Senyawa Antimikrobial ... 22

2.6 Tanaman Lengkuas (Alpinia galanga) ... 23

2.6.1 Klasifikasi ... 23

2.6.2 Deskripsi Tanaman... 23

2.6.3 Deskripsi Rimpang ... 24

2.6.4 Komponen Kimia ... 25

2.6.5 Senyawa Antimikrobial ... 25

2.7 Senyawa Antibakteri ... 26

2.7.1 Efek Senyawa Antibakteri Terhadap Mikrobia... 26

2.7.2 Mekanisme Penghambatan Antibakteri ... 28

2.8 Ekstraksi ... 30

2.8.1 Metode Ekstraksi ... 30

2.8.2 Penggunaan Etanol Sebagai Pelarut ... 36

2.9 Uji Aktivitas Antimikroba... 36

2.9.1 Metode Dilusi ... 36


(11)

2.9.3 Metode Turbudimetri ... 37

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 38

3.1 Kerangka Konsep ... 38

3.2 Hipotesis ... 39

3.3 Variabel dan Definisi Operasional ... 39

BAB IV METODE PENELITIAN ... 41

4.1 Desain Penelitian ... 41

4.2 Sampel Penelitian ... 41

4.3 Bahan dan Peralatan Penelitian ... 41

4.3.1 Bahan... 41

4.3.2 Alat ... 42

4.4 Metode Analisis Laboratorium ... 42

4.4.1 Pembuatan Bubuk Rimpang ... 44

4.4.2 Proses Ekstraksi ... 44

4.4.3 Pembuatan Media LSA (Listeria Selective Agar) dan Nutrient Broth .. 45

4.4.4 Persiapan Biakan Bakteri Staphylococcus sciuri ... 45

4.4.5 Uji Aktivitas Antimikrobial ... 46

BAB V HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN ... 47

5.1 Rendemen Ekstrak Rimpang ... 47

5.2 Diameter Penghambatan ... 48

BAB VI PEMBAHASAN ... 50

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 52

7.1 Simpulan ... 52

7.2 Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Variabel dan Definisi Operasional ... 40 Tabel 5.1 Nilai Rendemen Ekstrak Rimpang ... 47 Tabel 5.2 Diameter Penghambatan Ekstrak Rimpang ... 49


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Morfologi Staphylococcus sciuri ... 10

Gambar 2.2 Tanaman Jahe dan Rimpang Jahe ... 13

Gambar 2.3 Tanaman dan Rimpang Kunyit ... 18

Gambar 2.4 Rimpang Kencur ... 22

Gambar 2.5 Rimpang Lengkuas ... 25

Gambar 2.6 Efek antibakteri yang bersifat bakteriostatik setelah penambahan senyawa antibakteri pada kultur yang berada pada fase logaritmik. .... 27

Gambar 2.7 Efek antibakteri yang bersifat bakteriosidal setelah penambahan senyawa antibakteri pada kultur yang berada pada fase logaritmik. .... 28

Gambar 2.8 Efek antibakteri yang bersifat bakteriolitik setelah penambahan senyawa antibakteri pada kultur yang berada pada fase logaritmik. ... 28

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 38

Gambar 4.1 Diagram Alur Analisis Laboratorium ... 43


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Diagram Alur Pembuatan Bubuk Rimpang (Jahe, Kunyit, Kencur, dan Lengkuas). ... 60 Lampiran 2. Diagram Alur Pembuatan Ekstrak Rimpang (Jahe, Kunyit, Kencur, dan

Lengkuas). ... 61 Lampiran 3. Diagram Alur Uji Aktivitas Antimikrobial ... 62 Lampiran 4. Hasil Pengukuran Zona Bening yang Terbentuk pada Uji Aktivitas

Antimikroba ... 63 Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian ... 65


(15)

DAFTAR SINGKATAN, LAMBANG, DAN ISTILAH

Daftar Lambang

% : persen µ : mikro

oC : derajat celcius β : beta

α : alpha ρ : rho

Daftar Singkatan

CFU : Colony Forming Unit

SNI : Standar Nasional Indonesia PCR : Polymerase Chain Reaction

Lansia : Lanjut Usia

CDC : Centers for Disease Control

AS : Amerika Serikat

Kemenkes RI : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia DNA : Deoxyribonucleic acid

AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome

Kg : Kilogram


(16)

mm : milimeter

MIC : Minimum Inhibitory Concentration

Dpl : dari pemukaan air laut TPC : Tropical Plant Curriculum

RNA :Ribonucleic Acid

Ditjen POM : Direktorat Jenderal Pengawas Obat dan Makanan KHM : Kadar Hambat Minimum

MBC : Minimum Bacterisidal Concentration

KBM : Kadar Bunuh Minimum ppm : part per milion

LSA : Listeria Selective Agar


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kesatuan yang memiliki berbagai suku bangsa dan budaya. Pulau Bali sebagai salah satu pulau yang ada di Indonesia memiliki daya tarik yang menjadikannya sebagai obyek wisata yang sangat diminati hingga ke mancanegara. Selain karena kesenian tradisional dan keindahan panorama alamnya, Pulau Bali juga terkenal dengan kulinernya yang khas. Salah sau makanan khas Bali yang sangat diminati adalah ayam betutu.

Ayam betutu merupakan jenis lauk pauk yang dibuat dari daging ayam yang telah dibersihkan, ditambah bumbu (base genep) dengan cara dibalurkan ke seluruh permukaan tubuh ayam dan sebagian lagi dimasukkan dalam rongga abdomennya yang kemudian direbus atau langsung dibakar. Dibalik rasanya yang enak serta memberikan kontribusi energy, lemak, dan protein yang cukup besar bagi tubuh, ayam betutu ternyata menyimpan kekhawatiran tersendiri bagi masyarakat yang ingin mengkonsumsi ayam betutu. Daging ayam yang biasa digunakan dalam pembuatan ayam betutu ternyata merupakan media tumbuh yang baik bagi mikroorganisme (bakteri). Berdasarkan hasil penelitian Santi (2016), ditemukan bahwa terdapat bakteri Staphylococcus sciuri dari isolat ayam betutu yang ditumbuhkan di media LSA (OXOID, CM0856)

Staphylococcus sciuri merupakan bakteri Gram positif berbentuk bulat dengan diameter 0,5 – 1.5 � tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seprti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora dan tidak


(18)

2

bergerak. Koloni yang tumbuh pada media agar biasanya berwarna putih keruh, cokelat dan bahkan kuning. Suhu pertumbuhan optimum bakteri ini adalah 30 – 370C (UK Standards for Microbiology Investigations, 2014).

Makanan yang sering dicurigai dalam kasus keracunan makanan staphylococcal antara lain daging dan produk daging, daging unggas, produk telur, ikan tuna, kentang, macaroni, produk roti, kue krim, cokelat, roti isi, susu dan produk susu. Makanan yang memerlukan banyak penanganan selama penyiapannya dan yang disimpan dalam suhu yang sedikit lebih tinggi setelah dimasak sering menjadi penyebab kasus keracunan makanan staphylococcal (Food Info, 2014)

Staphylococci ada di udara, debu, air buangan, air, susu, dan makanan atau pada peralatan makan, permukaan-permukaan di lingkungan, manusia, dan hewan. Manusia dan hewan merupakan sumber utama infeksi. Staphylococci ada pada saluran hidung dan tenggorokan dan pada rambut dan kulit dari 50% atau lebih individu yang sehat. Tingkat keberadaan bakteri ini bahkan lebih tinggi pada mereka yang berhubungan dengan individu yang sakit dan lingkungan rumah sakit (Food Info, 2014).

Pada bulan Mei 2008, program pengendalian infeksi di Zou / Collines Rumah Sakit Pusat (CHDZ / C) di Benin melaporkan seorang anak dirawat di unit pediatrik pengembangan bakteri nosokomial akibat Staphylococcus sciuri

diisolasi dalam kultur murni. Penyelidikan berikut mengidentifikasi wabah nosokomial pertama karena Staphylococcus sciuri di Benin (Ahoyo et al., 2013). Masalah keamanan pangan memang masih menjadi kendala utama dalam produk makanan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, definisi keamanan


(19)

3

pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah keamanan pangan, salah satunya adalah penambahan berbagai macam rempah-rempah pada makanan sebagai bahan pengawet alami.

Rempah-rempah telah dimanfaatkan sebagai bahan pengawet makanan di berbagai negara terutama di Indonesia. Aktivitas rempah-rempah sebagai pengawet disebabkan fungsinya sebagai antioksidan dan antimikroba. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa senyawa antimikrobial alami memiliki efektivitas yang tinggi dalam melawan mikroba penyebab penyakit yang berasal dari makanan. Tanaman rempah penghasil senyawa antimikrobial diantaranya adalah rimpang jahe, kunyit, lengkuas, dan kencur.

Nurina (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ekstrak kunyit memiliki diameter zona hambat tertinggi pada bakteri Escherichia coli

dibandingkan ekstrak kunyit putih, temulawak, dan temuireng yaitu 5.64 mm dengan kadar hambat minimum 50%. Berdasarkan penelitian Renny (2010), gel ekstrak etanol lengkuas memiliki aktivitas antibakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa karena positif mengandung flavanoid dan minyak atsiri yang merupakan senyawa antimikrobial.

Jahe, kunyit, lengkuas dan kencur merupakan rempah-rempah yang umum digunakan sebagai bumbu makanan, terutama dalam pembuatan bumbu khas Bali yang dikenal dengan base genep. Bumbu ini digunakan untuk berbagai macam olahan makanan khas Bali, salah satunya adalah ayam betutu. Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan penelitian terkait ketahanan bakteri


(20)

4

jahe, kunyit, lengkuas, dan kencur sebagai bahan dari bumbu untuk pembuatan

ayam betutu.

1.2 Rumusan Masalah

Kontaminasi bakteri Staphylococcus sciuri dalam makanan ayam betutu

dapat mengakibatkan penyakit. Maka dari itu diperlukan upaya untuk menghambat pertumbuhan mikroba patogen dengan cara penambahan rempah-rempah pada makanan ayam betutu melalui penggunaan bumbu khas Bali yakni

base genep yang dipercaya mengandung senyawa antimikrobial. Berdasarkan hal tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah jahe, kunyit, lengkuas, dan kencur dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus sciuri?

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka beberapa permasalahan yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah apakah jahe, kunyit, lengkuas dan kencur dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus sciuri?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui ketahanan bakteri Staphylococcus sciuri terhadap senyawa antimikrobial yang terkandung dalam rempah-rempah yang digunakan untuk pembuatan base genep sebagai bumbu ayam betutu.

1.4.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui daya hambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus sciuri


(21)

5

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan tentang adanya kandungan senyawa antimikrobial dalam Jahe (Zingiber officinale..), Kunyit (Curcuma domestica Val.), Lengkuas (Alpinia galanga), dan Kencur (Kaempferia galanga L.) yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri

Staphylococcus sciuri.

1.5.2 Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam pembuatan bumbu base genep

sehingga selain memberikan rasa yang nikmat, bumbu base genep juga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, khususnya bakteri

Staphylococcus sciuri

b. Hasil penelitian ini dapat membantu pemerintah dalam menjaga keamanan makanan khususnya makanan tradisional khas Bali ayam betutu sebagai salah satu bentuk kepedulian dalam pelestarian kuliner nusantara tanpa mengindahkan aspek-aspek kesehatan.

c. Hasil penelitian ini merupakan langkah nyata dalam menggalakkan program pencegahan khususnya pencegahan penyakit yang diakibatkan dari infeksi bakteri Staphylococcus sciuri.

d. Peneliti dapat mengaplikasikan teori perkuliahan yang didapat dan memperoleh pengalaman baru tentang cara pembuatan ekstrak dari bahan alam.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah bidang gizi khususnya mikrobiologi dalam proses pembiakan bakteri dan uji aktivitas antimikrobial untuk melihat daya hambat


(22)

6

pertumbuhan bakteri. Disisi lain, penelitian ini juga termasuk ke dalam ruang lingkup bidang gizi kesehatan masyarakat yaitu terkait dengan upaya pencegahan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Staphylococcus sciuri.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ayam Betutu

Be-Tutu merupakan jenis makanan tradisional daerah Bali yang bahan mentahnya berupa karkas utuh itik dan ayam. Kata betutu berasal dari kata tunu yang berarti bakar dan dirangkai dengan kata be yang berarti daging. Berdasarkan uraian tersebut betutu berarti daging yang dibakar. Ayam betutu merupakan jenis lauk pauk yang dibuat dari daging ayam yang telah dibersihkan kemudian dibalurkan bumbu khas Bali yang dikenal dengan base genep di seluruh permukaan tubuh daging ayam dan sebagian lagi dimasukkan ke dalam rongga abdomennya. Daging ayam yang telah dibumbui tersebut kemudian direbus atau langsung dibakar hingga menghasilkan aroma yang khas. Aroma khas yang muncul disebabkan karena adanya pemanasan yang menyebabkan air dan lemak daging berantai pendek ikut menguap. Semakin banyak uap yang dihasilkan, semakin kuat dan enak aromanya. Menurut tradisi Bali, ayam betutu biasanya disajikan pada saat upacara adat seperti odalan, otonan, maupun perkawinan. Akan tetapi, sekarang makanan ini sudah menjadi kuliner khas Bali yang sekarang menjadi daya tarik wisatawan dan sudah dijual di berbagai tempat kuliner di Bali. (Sugitha, 2009).

Bahan yang diperlukan untuk membuat ayam betutu terdiri dari satu ekor ayam yang sudah dibersihkan bagian dalamnya, bumbu genep, bumbu wewangenan, garam, dan minyak kelapa. base genep merupakan bumbu khas Bali yang terdiri dari bawang merah, kencur, kemiri, bawang putih, kunyit, lengkuas, jahe, laos, cabai rawit, serai, gula merah, terasi, daun limau, daun salam, dan minyak kelapa.


(24)

8

Sedangkan bumbu wewangenan terdiri dari merica hitam, merica putih, cengkeh, pala, tabia bun, ketumbar, kemiri, menyan, jangu, bangle, dan kulit jeruk purut. Proses pembuatan ayam betutu dimulai dengan menghaluskan base genep dan wewangenan kemudian ditumis hingga harum. Selanjutnya ayam dibersihkan dari bulu, jeroan, paruh, dan kulit kaki yang keras dikelupas. Panaskan air dengan sedikit bumbu, daun salam, daun limau, dan batang serai yang telah dimemarkan. Ayam direbus ke dalam air hingga tiga per empat matang kemudian diangkat. Setelah diangkat, base genep dimasukkan ke dalam perut ayam dan sebagian base genep

yang dicampurkan dengan minyak tandusan dibalurkan di seluruh permukaan tubuh ayam. Ayam yang telah dibumbui kemudian sedikit diremas-remas agar ayam menjadi lunak dan dibungkus dengan daun pisang atau kelopak daun pinang untuk selanjutnya dimasukkan ke bara api. Bara api tidak boleh terlalu besar dan proses pemasakan di bara api kurang lebih 1 jam. Ayam betutu kemudian disajikan dengan cara dibelah pada bagian perut hingga daerah tempat tembolok, kemudian kedua belah dada ditarik ke samping. Satu paket ayam betutu biasanya dihidangkan bersama dengan sambal matah, kacang dan sayur (Litbang Kompas, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Yusa & Suter (2014) diperoleh hasil analisis kandungan zat gizi ayam betutu yaitu kadar air sebesar 60,87%, kadar abu sebesar 1,84%, kadar protein sebesar 14,69%, kadar lemak 1,27% dan kadar karbohidrat sebesar 21,33%.

2.2 Staphylococcus sciuri

2.2.1 Taksonomi Staphylococcus sciuri

Baketri Staphylococcus pertama kali di kenal oleh Pasteur pada tahun 1880 dan Ogstron pada tahun 1881 dari pus seorang penderita. Selanjutnya, Becker pada tahun 1883 berhasil melakukan biakan murni, pada tahun 1884 Resonbach untuk pertama


(25)

9

kalinya mengetahui adanya kausal antara timbulnya suatu penyakit osteomeilitis dengan bakteri Staphylococcus

.

Kingdom : Bacteria Phyllum : Firmicutes Classis : Bacilli Ordo : Bacillales

Familia : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus Species : S. sciuri

(Kloos et al., 1976) 2.2.2 Morfologi

Staphylococcus adalah sel yang berbentuk bola dengan diameter 1 µm yang tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur. Kokus tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai juga tampak dalam biakan cair. Staphylococcus bersifat nonmotil dan tidak membentuk spora. Dibawah pengaruh obat seperti penisilin,

Staphylococcus mengalami lisis (Brooks, et al., 2005).

Staphylococcus adalah bakteri coccus Gram positif, yang cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur. Nama Staphylococcus berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata staphyle dan kokkos, yang masing-masing berarti ’seikat anggur’ dan ’buah berry’. Kurang lebih terdapat 30 spesies Staphylococcus

secara komensal terdapat di kulit dan membran mukosa; beberapa diantaranya dapat bersifat patogen oportunis menyebabkan infeksi pyogenik (Quinn,et al.,2002).


(26)

10

Gambar 2.1 Morfologi Staphylococcus sciuri Sumber : ASM MicrobeLibarary.org 2.2.3 Karakteristik Umum

Bakteri Staphylococcus sp. adalah bakteri Gram positif berbentuk bulat, susunannya bergerombol seperti buah anggur dan dapat menjadi salah satu bakteri perusak makanan. Beberapa spesies dari genus Staphylococcus tergolong flora normal pada kulit dan selaput mukosa manusia (Anisah, 2014).

Staphylococcus sciuri dapat menyebabkan beragam penyakit disebabkan karena kemampuan bakteri ini untuk memproduksi faktor virulen seperti deoksiribonuklease (DNase), biofilm, faktor penggumpalan, proteinase, lipase, delta toksin, merangsang produksi nitrat oksida dan kemampuan untuk gen toksin eksfoliatif ( Stepanovic et al., 2001).

Berdasarkan hasil penelitian, dari 107 (88,43%) strain Staphylococcus sciuri

yang terbukti mampu menghasilkan biofilm, 26 (24,30%) termasuk kategori kuat, 31 (28,97%) termasuk kategori sedang dan 50 (46,73%) yang termasuk kategori lemah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor virulensi Staphylococcus sciuri


(27)

11

2.2.4 Epidemiologi

Staphylococcus sp. merupakan salah satu bakteri yang cukup kebal diantara mikroorganisme yang tidak berspora, tahan panas pada suhu 600C selama 30 menit, tahan terhadap fenol selama 15 menit.

Staphylococcus sp. dapat menimbulkan infeksi bernanah dan abses. Infeksinya akan lebih berat bila menyerang anak-anak, usia lanjut dan orang yang daya tahan tubuhnya menurun, seperti penderita diabetes melitus, luka bakar dan AIDS.

Staphylococcus sp. khususnya S. epidermis adalah anggota flora normal pada kulit manusia, saluran respirasi dan gastrointestinal. Pengidap (carrier) S. auereus

pada nasal adalah sebanyak 40-50 % dari populasi. Staphylococcus juga ditemukan pada pakaian, sprei, dan benda lain di lingkungan manusia (Brooks et al., 2005). 2.2.5 Patogenesis

Bakteri kelompok Staphylococcus sp. merupakan bakteri Gram positif yang dapat menyebabkan berbagai penyakit. Pada saat sistem imun menurun maka bakteri ini akan masuk ke dalam tubuh baik melalui mulut, inhalasi,maupun penetrasi kulit. Jika bakteri ini masuk ke dalam peredaran darah dan menyebar ke organ tubuh lainnya maka akan merusak organ-organ tubuh tersebut dan menyebabkan berbagai penyakit. Misalnya S. sciuri telah dikaitkan dengan infeksi serius pada manusia, seperti endokarditis, peritonitis, syok septik, dan infeksi luka (Ahoyo et al., 2013). 2.2.6 Sumber Cemaran Staphylococcus sciuri pada Pangan

Pangan yang mempunyai resiko tinggi terhadap bahaya keracunan akibat

Staphylococcus adalah pangan yang telah tereduksi mikroba awalnya akibat proses pengolahan (misalnya daging yang telah dimasak) atau dihambat pertumbuhannya (misalnya ikan asin dengan konsentrasi garam yang tinggi). Masyarakat Indonesia


(28)

12

terbiasa mengolah makanan dengan waktu pemanasan yang lama, menyajikannnya dalam suhu ruang selama berjam-jam, dan mengonsumsi makanan sisa yang dipanaskan kembali (re-heating). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan

Staphylococcus dalam bahan pangan sangat erat kaitannya dengan kebiasaan pengolahan dan konsumsi pangan di negara setempat (Pakaya, 2014).

2.3 Tanaman Jahe (Zingiber officinale) 2.3.1 Klasifikasi

Berdasarkan taksonomi tanaman, jahe (Zingiber officinale) termasuk dalam (Widiyanti, 2009):

Divisi : Pteridophyta Subdivisi : Angiospermae Class : monocotyledoneae Ordo : scitamineae Famili : Zingiberaceae Genus : Zingiber

Species : Zingiber officinale

2.3.2 Deskripsi Tanaman

Tanaman jahe (Zingiber officinale) termasuk dalam keluarga tumbuhan berbunga (temu-temuan). Jahe merupakan tanaman berbatang semu,tinggi 30 cm sampai dengan 1 m, tegak, tidak bercabang, tersusun atas lembaran pelepah daun, berbentuk bulat, berwarna hijau pucat dan warna pangkal batang kemerahan. Akar jahe berbentuk bulat, ramping, berserat,berwarna putih sampai coklat terang. Tanaman ini berbunga majemuk berupa malai muncul di permukaan tanah, berbentuk tongkat atau bulat telur yang sempit, dan sangat tajam (Wardana et al.,2002)


(29)

13

Syarat tumbuh tanaman jahe untuk mendapatkan hasil yang diharapkan dari budidaya tanaman tersebut, diantaranya adalah pertama, ketinggian tempat; tanaman jahe umumnya ditanam pada ketinggian tempat antara 200 m sampai 600 m di atas permukaan laut. Kedua, Curah hujan dan kelembapan; tanaman jahe membutuhkan curah hujan yang tinggi, yaitu 2.500 – 4.000 mm per tahun. Berkaitan dengan curah hujan yang relatif tinggi tersebut tanaman jahe membutuhkan kelembapan yang tinggi untuk pertumbuhan yang optimal sekitar 80%. Ketiga, Jenis tanah; ditanam dijenis tanah apapun jahe bisa tumbuh. Namun, untuk mendapatkan hasil yang optimal, tanaman ini menghendaki tanah yang subur, gembur dan berdranaise yang baik. Keempat; agar pertumbuhan optimal, jahe memerlukan tempat terbuka yang mendapat sinar matahari sepanjang hari, dari pagi sampai sore hari. Kelima; jarak tanam antara 30 sampai 40 cm dalam barisan dan antara 50-60 cm di antara barisan (Panitia Materia Medika Indonesia, 1977).

Gambar 2.2 Tanaman Jahe dan Rimpang Jahe


(30)

14

2.3.3 Deskripsi Rimpang

Rimpang jahe merupakan modifikasi bentuk dari batang tidak teratur. Bagian luar rimpang ditutupi dengan daun yang berbentuk sisik tipis, tersusun melingkar. Rimpang adalah bagian tanaman jahe yang memiliki nilai ekonomi dan dimanfatkan untuk berbagai keperluan antara lain sebagai rempah, bumbu masak, bahan baku obat tradisional, makanan dan minuman dan parfum. Berdasarkan bentuk, ukuran dan warna rimpang, jahe dibedakan atas tiga kultivar, yaitu jahe badak atau jahe gajah, jahe merah dan jahe emprit (Dominika, 2011) :

a. Jahe Gajah

Varietas yang banyak ditanam masyarakat adalah jahe putih besar atau umum dikenal dengan jahe gajah/badak. Sesuai dengan namanya, jenis ini memiliki penampilan ukuran rimpang yang memang lebih besar dibanding jenis jahe yang lainnya, bobotnya berkisar antara 1-2 kg per rumpun. Struktur rimpangnya besar dan berbuku- buku. Bagian dalam rimpang apabila diiris/dipotong/dipatahkan akan terlihat berwarna putih kekuningan. Tinggi rimpang dapat mencapai 6 – 12 cm dengan panjang antara 15 – 35 cm, dan diameter berkisar 8,47 – 8,50 cm. Dari rimpang jahe besar ini terkandung minyak atsiri antara 0,82 – 1,66%, kadar pati 55,10%, kadar serat 6,89%, dan kadar abu 6,6 – 7,5%.

b. Jahe Emprit

Jahe putih kecil atau lebih dikenal dengan jahe emprit memiliki rimpang dengan bobot berkisar 0,5 – 0,7 kg per rumpun. Struktur rimpang jahe emprit, kecil-kecil dan berlapis. Daging rimpang berwarna putih kekuningan. Tinggi rimpangnya dapat mencapai 11 cm dengan panjang antara 6 – 30 cm, dan diameter antara 3,27 – 4,05 cm. Kandungan dalam rimpang jahe emprit antara


(31)

15

lain minyak atsiri 1,5 – 3,5%, kadar pati 54,70%, kadar serat 6,59%, dan kadar abu 7,39 – 8,90%.

c. Jahe Merah

Jahe merah atau jahe suntil memiliki rimpang dengan bobot antara 0,5 – 0,7 kg per rumpun. Struktur rimpang jahe merah, kecil berlapis-lapis dan daging rimpangnya berwarna jingga muda sampai merah. Diameter rimpang dapat mencapai 4 cm dan tingginya antara 5,26 – 10,40 cm. Panjang rimpang mencapai 12,50 cm. Kandungan dalam rimpang jahe merah antara lain minyak atsiri 2,58 – 3,90%, kadar pati 44,99%, dan kadar abu 7,46.

2.3.4 Komponen Kimia

Jahe-jahean (Famili; Zingiberaceae) sudah dikenal dan dipergunakan oleh masyarakat sebagai tanaman obat sejakberabad-abad yang lalu. Zingiber officinale

(jahe) adalah salah satu yang digunakan sebagai bahan mentah dalam pembuatan obat modern maupun obat-obatan tradisional (Widya, 2008). Kandungan rimpang jahe terdiri dari 2 komponen, yakni :

a. Komponen volatile, sebagian besar terdiri dari derivate seskuiterpen (>50%) dan monoterpen. Komponen inilah yang ada dalam aroma jahe, dengan konsentrasi yang cenderung konstan yakni (1-3%). Derivate sekuiterpen yang terkandung diantaranya zingiberene (20-30%), ar-curcumene (6-19%), β -sesquiphelandrene (7-12%) dan β-bisabolene (5-12%). Sedangkan derivate monoterpen yang terkandung diantaranya α-pinene, bornyl asetat, borneol, camphene, ρ-cymene, cineol, citral, cumene, β-elemene, farnesene, β -phelandrene, ρ-cymene, limonene, linalool, myrcene, β-pinene dan sabinene. b. Komponen nonvolatile terdiri dari oleorosin (4,0-7,5%). Ketika rimpang jahe


(32)

16

gingerol, elemen non pedas, serta minyak essensial lainnya. Senyawa lain yang lebih pedas namun memiliki konsentrasi yang lebih kecil ialah shogaol. Gingerol dan shogaol telah diidentifikasi sebagai komponen antioksidan fenolik jahe. Elemen lainnya yang juga ditemukan ialah gingediol, gingediasetat, gingerdion, dan gingerenon (Widiyanti, 2009).

Minyak atsiri lazim juga dikenal dengan nama minyak mudah menguap atau minyak terbang. Pengertian atau defenisi minyak atsiri yang ditulis dalam

Encyclopedia of Chemical Technology menyebutkan bahwa minyak atsiri merupakan senyawa yang pada umumnya berwujud cairan, yang diperoleh dari bagian tanaman,akar, kulit, batang, daun, buah,biji maupun bunga dengan cara penyulingan dengan uap. Minyak atsiri jahe terdiri dari zingiberol, zingiberen, n-nonyl aldehida,

d-camphen, dbphellandren, methyl heptanon, sineol, stral, borneol, linalool, asetat,

kaprilat, phenol, dan chavicol (Koswara, 1995 dalam Widiyanti,2009). 2.3.5 Senyawa Antimikrobial

Kandungan senyawa fenol pada jahe memiliki kemampuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri E. coli. Terjadinya penghambatan disebabkan karena kerusakan yang terjadi pada komponen struktural membran sel bakteri. Fenol pada jahe juga memiliki kemampuan untuk mendenaturasi protein dan merusak membran sel dengan cara melarutkan lemak yang terdapat pada dinding sel, karena senyawa ini mampu melakukan migrasi dari fase cair ke fase lemak (Winiati, 2000 dalam Ernawati, 2010).

Mulyani (2010) menyatakan bahwa ekstrak segar rimpang jahe-jahean mengandung beberapa komponen minyak atsiri yang tersusun dari α-pinena, kamfena, kariofilena, β-pinena, α-farnesena, sineol, dl-kamfor, isokariofilena,


(33)

17

kariofilena-oksida, dan germakron yang dapat menghasilkan antimikroba untuk menghambat pertumbuhan mikroba.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan bahwa pada konsentrasi 10% ekstrak segar jahe dengan pelarut etanol terkandung senyawa antimikrobial untuk melawan bakteri S. mutans dan E. faecalis dengan kadar hambat minimum (MIC) pada konsentrasi 1,25% dan 2,5% (Giriraju & Yunus, 2013).

2.4 Tanaman Kunyit (Curcuma domestica Val.) 2.4.1 Klasifikasi

Berdasarkan taksonomi tanaman, kunyit (Curcuma domestica Val.), termasuk dalam (Chattopadhyayet al., 2004) :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub-divisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma

Species : Curcuma domestica Val.

2.4.2 Deskripsi Tanaman

Tanaman kunyit memiliki ciri khas tumbuh berkelompok membentuk rumpun. Tanaman kunyit memiliki batang semu yang tersusun dari kelopak atau pelepah daun yang saling menutupi. Tinggi tanaman berkisar antara 40-100 cm. Batang kunyit berbentuk bulat, berwarna hijau keunguan, tinggi batang mencapai 0,75 m- 1 m, serta batangnya bersifat basah karena mampu menyimpan air dengan baik (Kusuma, 2014).


(34)

18

Gambar 2.3 Tanaman dan Rimpang Kunyit

Sumber : Yuni, 2013 2.4.3 Deskripsi Rimpang

Rimpang kunyit merupakan akar kunyit yang berbentuk bulat memanjang dan membentuk cabang akar berupa batang yang terdapat di dalam tanah. Rimpang kunyit terdiri dari rimpang, induk dan bercabang rimpang (Winarto, 2003).

Menurut Tjitrosoepomo (2005), rimpang (rhizoma) sesungguhnya adalah batang beserta daunnya yang terdapat di dalam tanah, bercabang-cabang dan tumbuh mendatar dan dari ujungnya dapat tumbuh tunas yang muncul di atas tanah dan dapat merupakan suatu tumbuhan baru. Rimpang disamping digunakan sebagai alat perkembangbiakan juga merupakan tempat penimbunan zat-zat makanan cadangan. Akar tunggal pada kunyit memiliki ciri-ciri yaiu berbentuk bulat atau jorong, bergaris tengah kurang lebih 5 cm, panjang sekitar 2 cm sampai 6 cm, lebar sekitar 1 cm sampai 3 cm. Bagian tepi akar tersebut berkeriput, bagian luar berwarna coklat muda kemerah-merahan.


(35)

19

2.4.4 Komponen Kimia

Beberapa kandungan kimia dari rimpang kunyit yang telah diketahui yaitu minyak atsiri sebanyak 6% yang terdiri dari golongan senyawa monoterpen dan sesquiterpen (meliputi zingiberen, alfa dan beta-turmerone), zat warna kuning yang disebut kurkuminoid sebanyak 5% (meliputi kurkumin 50-60%, monodesmetoksikurkumin dan bidesmetoksikurkumin), protein, fosfor, kalium, besi dan vitamin C. Dari ketiga senyawa kurkuminoid tersebut, kurkumin merupakan komponen terbesar (Sumiati & Adnyana, 2007)

Beberapa data literatur yang didapatkan, menyatakan bahwa rimpang kunyit memiliki aktivitas farmakologi yaitu sebagai anti imunodefisiensi , antiinflamasi, antibakteri, antivirus, antioksidan, anti karsinogenik, antijamur dan antiinfeksi (Kusuma, 2014).

2.4.5 Senyawa Antimikrobial

Senyawa sesquiterpen dalam minyak atsiri kunyit merupakan turunan dari senyawa terpen seperti alkohol yang bersifat bakterisida dengan merusak struktur tersier protein bakteri atau denaturasi protein (Tarwiyah, 2001). Sedangkan kurkumin adalah suatu senyawa fenolik. Turunan fenol ini akan berinteraksi dengan dinding sel bakteri, selanjutnya terabsorbsi dan penetrasi ke dalam sel bakteri, sehingga menyebabkan presipitasi dan denaturasi protein, akibatnya akan melisiskan membran sel bakteri. Sedangkan aktivitas antibakteri curcumin dengan cara menghambat proliferasi sel bakteri.

Hasil penelitian terhadap anak ayam yang terinfeksi parasit sekum Eimera maxima menunjukkan bahwa pemberian 1% eksrak kunyit menghasilkan pengurangan dalam skor lesi usus kecil dan peningkatan berat badan (Kwon & Magnuson, 2009). Kandungan kurkumin pada kunyit juga telah terbukti memiliki


(36)

20

aktivitas yang menghambat pertumbuhan Plasmodium faciparum dan organisme utama Leishmania.

2.5 Tanaman Kencur (Kaempferia galanga L.) 2.5.1 Klasifikasi

Klasifikasi Kaempferia galanga L. di dalam dunia botani adalah sebagai berikut (Barus,2009) :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermathophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Subfamilia : Zingiberoideae

Marga : Kaempferia

Jenis : Kaempferia galanga L.

2.5.2 Deskripsi Tanaman

Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan tanaman tropis yang banyak tumbuh di berbagai daerah di Indonesia sebagai tanaman yang dipelihara. Tanaman ini banyak digunakan sebagai ramuan obat tradisional dan sebagai bumbu dalam masakan sehingga para petani banyak yang membudidayakan tanaman kencur sebagai hasil pertanian yang diperdagangkan. Bagian dari kencur yang diperdagangkan adalah buah akar yang ada di dalam tanah yang disebut rimpang kencur atau rhizoma (Barus, 2009).

Kemampuan penyesuaian tanaman kencur terhadap lingkungan cukup tinggi. Tanaman ini mempunyai daya poduksi tinggi di daerah yang punya curah hujan


(37)

21

1.500 hingga 4.000 mm per tahun, suhu udara 190C sampai 300C dan ketinggian 100 sampai 700 meter dari pemukaan air laut (dpl). Tanaman ini tumbuh baik di tempat terbuka yang mendapat sinar matahari penuh, tapi memerlukan naungan ringan untuk pertumbuhan yang optimum. Hal ini dapat diamati pada tanaman kencur yang ditanam secara monokultur daunnya melipat. Sekalipun demikian, kencur yang ditanam di tempat yang terlindung justru hanya akan menghasilkan daun-daunya saja. Tanah yang paling baik untuk tanaman kencur adalah berstruktur lempung berpasir, strukturnya lemah, tata air dan udara tanahnya baik serta seimbang. Di samping itu kesuburan tanahnya harus diperkaya dengan bahan organik, antara lain dengan pemberian pupuk kandang dan kompos pada tanah yang kurang subur dan becek (Rukmana, 1994 dalam Nurhayati, 2008).

2.5.3 Deskripsi Rimpang

Rimpang atau rhizoma terdapat di dalam tanah, tumbuh bergerombol dan bercabang-cabang dengan induk rimpang di tengah. Kulit ari berwarna coklat dan bagian di dalam putih berair dengan aroma yang tajam. Rimpang yang masih muda berwarna putih kekuningan dengan kandungan air yan lebih banyak dan rimpang yang lebih tua ditumbuhi akar pada ruas-ruas rimpang berwarna putih kekuningan (TPC, 2012).


(38)

22

Gambar 2.4 Rimpang Kencur

Sumber : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, 2007 2.5.4 Komponen Kimia

Minyak atsiri yang terkandung dalam kencur antara lain borneol, metil-p-cumaric acid, cinnamicacid etil ester, pentadeane, cinamic aldehide, dan kampen. Selain itu mengandung alkaloid, mineral, flavonoid, pati dan gum (Muhlisah, 2011)

Ekstrak kental rimpang kencur mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 37,9% dan etil-p-metoksisinamat tidak kurang dari 4,3%. Bentuk ekstrak kental, berwarna coklat tua, bau yang khas, dan mempunyai rasa yang pedas menimbulkan rasa tebal di lidah. Kandungan kimia ekstrak kencur yaitu minyak atsiri dengan komponen utama etil-p metoksisinamat dan etil sinamat (Chikita, 2012).

2.5.5 Senyawa Antimikrobial

Menurut Gholib, D (2009) ekstrak kencur dalam etanol mempunyai daya antimikroba terhadap salah satu jamur kulit. Senyawa yang tekandung dalam rimpang kencur antara lain etil sinamat, etil p-metoksi sinamat, p-metoksi stiren,


(39)

23

kamfen, dan borneol. Etil p-metoksi sinamat merupakan komponen utama yang mudah untuk diisolasi dan dimurnikan.

Herbert (2009) mengemukakan komponen minyak atsiri dari simplisia kencur yang dianalasis secara GC-MS antara lain etil sinamat 43,47%, etil p-metoksi sinamat 31,36%, penta dekana 3,35%, borneol 3,35%, delta 3-karen 2,86%, b-pinen 2,47%, kamfen 2,22%.

2.6 Tanaman Lengkuas (Alpinia galanga) 2.6.1 Klasifikasi

Klasifikasi tanaman lengkuas (Alpinia galanga) di dalam dunia botani tanaman adalah sebagai berikut (Steenis, 2008)

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Bangsa : Zingiberales

Suku : Zingiberaceae

Genus : Alpinia

Spesies : Alpinia galanga (L.)

2.6.2 Deskripsi Tanaman

Merupakan terna berumur panjang, tinggi sekitar 1 sampai 2 meter, bahkan dapat mencapai 3,5 meter. Biasanya tumbuh dalam rumpun yang rapat. Batangnya tegak, tersusun oleh pelepah-pelepah daun yang bersatu membentuk batang semu, berwarna hijau agak keputih- putihan. Batang muda keluar sebagai tunas dari pangkal batang tua.

Lengkuas tumbuh di tempat terbuka, yang mendapat sinar matahari penuh atau yang sedikit terlindung. Lengkuas menyukai tanah yang lembab dan gembur, tetapi


(40)

24

tidak suka tanah yang becek. Tumbuh subur di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut. Di Indonesia banyak ditemukan tumbuh liar di hutan jati atau di dalam semak belukar.

Sebenarnya lengkuas ada dua macam, yaitu lengkuas merah dan putih. Lengkuas putih banyak digunakan sebagai rempah atau bumbu dapur, sedangkan yang banyak digunakan sebagai obat adalah lengkuas merah. Pohon lengkuas putih umumnya lebih tinggi dari pada lengkuas merah. Pohon lengkuas putih dapat mencapai tinggi 3 meter, sedangkan pohon lengkuas merah umumnya hanya sampai 1-1,5 meter. Berdasarkan ukuran rimpangnya, lengkuas juga dibedakan menjadi dua varitas, yaitu yang berimpang besar dan kecil. Oleh karena itu, paling tidak ada tiga kultivar lengkuas yang sudah dikenal, yang dibedakan berdasarkan ukuran dan warna rimpang, yaitu lengkuas merah, lengkuas putih besar, dan lengkuas putih kecil (Apriani, 2010).

2.6.3 Deskripsi Rimpang

Rimpang besar dan tebal, berdaging, berbentuk silindris, diameter sekitar 2-4 cm, dan bercabang-cabang. Bagian luar berwarna coklat agak kemerahan atau kuning kehijauan pucat,
mempunyai sisik-sisik berwarna
putih atau kemerahan, keras


mengkilap, sedangkan bagian
dalamnya berwarna putih. Daging
rimpang yang

sudah tua berserat
kasar. Apabila dikeringkan,
rimpang berubah menjadi agak


kehijauan, dan seratnya menjadi
keras dan liat. Untuk
mendapatkan rimpang yang

masih
berserat halus, panen harus
dilakukan sebelum tanaman
berumur lebih

kurang 3 bulan. Rasanya tajam pedas, menggigit, dan berbau harum karena kandungan minyak atsirinya (Sinaga, E., 2009).


(41)

25

Gambar 2.5 Rimpang Lengkuas

Sumber : Sutrisno, 2012 2.6.4 Komponen Kimia

Lengkuas selain mengandung minyak atsiri juga mengandung golongan senyawa flvonoid, fenol, dan terpenoid. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan minyak atsiri pada rimpang lengkuas mengandung senyawa eugenol, sineol, dan metil sinamat. Penelitian yang lebih intensif menemukan bahwa rimpang lengkuas mengandung zat-zat yang dapat menghambat enzim xanthin oksidase sehingga bersifat sebagai antitumor. Lengkuas mengandung asetoksi kavikol asetat dan asetoksi eugenol asetat yang bersifat antiradang dan antitumor (Buchbaufr, 2003).

2.6.5 Senyawa Antimikrobial

Peran lengkuas sebagai pengawet makanan tidak terlepas dari kemampuan lengkuas yang memiliki aktivitas antimikroba. Antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan dan aktivitas mikroba, khususnya mikroba perusak dan pembusuk makanan. Zat antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal


(42)

26

(membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang), ataupun germisidal (menghambat germinasi spora bakteri).

Lengkuas mengandung minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya mengandung gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Parwata, 2008).

Penelitian Chaweepack et al. (2015) menunjukkan bahwa ekstrak lengkuas dengan pelarut etanol memiiki daya hambat terhadap Vibrio harveyi dengan diameter zona hambat sebesar 21,3 mm.

2.7 Senyawa Antibakteri

Tanaman merpakan sumber utama dari senyawa obat dan lebih dari 1000 spesies tumbuhan dimanfaatkan sebagai bahan baku obat (Gholib, 2009). Tumbuhan tersebut menghasilkan metabolit sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas biologi yang beraneka ragam. Senyawa antimikrobia yang diproduksi oleh tanaman dapat secara alami terkandung di dalam tanaman dan dapat pula diproduksi sebagai respon gangguan dari luar. Gangguan dari luar dapat berupa luka secara fisik sehingga memberikan kesempatan enzim bertemu dengan substratnya dan senyawa antimikrobia (fitoaleksin) yang diproduksi akibt invasi mikrobiologis.

2.7.1 Efek Senyawa Antibakteri Terhadap Mikrobia

Menurut Madigan dkk. (2000), berdasarkan sifat toksisitas selektifnya senyawa antibakteri mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan mikrobia, yaitu:


(43)

27

a. Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh. Senyawa bakteriostatik seringkali menghambat sintesis protein atau mengikat ribosom. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antibakteri pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan antibakteri pada fase logaritmik didapatkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup adalah tetap.

Gambar 2.6 Efek antibakteri yang bersifat bakteriostatik setelah penambahan senyawa antibakteri pada kultur yang berada pada fase logaritmik.

Sumber : Madigan dkk, 2000.

b. Bakteriosidal memberikan efek dengn cara membunuh sel tetapi tidak terjadi lisis (pecah) sel. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antibakteri pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan antibakteri pada fase logaritmik didapatkan jumlah sel total tetap, sedangkan

jumlah sel hidup adalah menurun. x

Jumlah Sel

Keterangan :

Jumlah Sel Total Jumlah Sel Hidup


(44)

28

Gambar 2.7 Efek antibakteri yang bersifat bakteriosidal setelah penambahan senyawa antibakteri pada kultur yang berada pada fase logaritmik.

Sumber : Madigan dkk, 2000.

c. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis (pecah) sehingga jumlah sel berkurang atau terjadi kekeruhan dalam medium pertumbuhan setelah penambahan antibakteri. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antibakteri pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan antibakteri pada fase logaritmik didapatkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup adalah menurun.

Gambar 2.8 Efek antibakteri yang bersifat bakteriolitik setelah penambahan senyawa antibakteri pada kultur yang berada pada fase logaritmik.

Sumber : Madigan dkk, 2000. 2.7.2 Mekanisme Penghambatan Antibakteri

Mekanisme penghambatan antibakteri dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu (Jawetz et al., 1982 dalam Widiati, 2011) :

a. Penghambatan Sintesis Dinding Sel Bakteri x

Jumlah Sel

Keterangan :

Jumlah Sel Total Jumlah Sel Hidup

Waktu x

x

Jumlah Sel

Keterangan :

Jumlah Sel Total Jumlah Sel Hidup


(45)

29

Langkah pertama kerjanya berupa pengikatan pada reseptor sel. Kemudian dilanjutkan dengan reaksi transpeptidase dan sintesis peptidoglikan terhambat. Mekanisme diakhiri dengan pembuangan atau penghentian aktivitas penghambat enzim autolisis pada dinding sel.

b. Merusak Membran Sel Bakteri

Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh membran sel yang bekerja sebagai penghalang dengan permeabilitas selektif, melakukan fungsi pengangkutan aktif sehingga dapat mengendalikan susunan sel. Bila integritas fungsi selaput sitoplasma terganggu misalnya oleh zat bersifat surfaktan, permeabilitas dinding sel akan berubah atau bahkan menjadi rusak sehingga komponen pening seperti protein, asam nukleat, nukleotida, dan lain-lain keluar dari sel dan sel berangsur-angsur mati.

c. Penghambatan Sintesis Protein Bakteri

Umumnya senyawa penghambat akan berikatan dengan enzim atau salah satu kompoen yang berperan dalam tahapan sintesis, sehingga akhirnya reaksi akan terhenti karena tidak ada substrat yang direaksikan dan protein tidak dapat terbentuk.

d. Penghambatan Sintesis Asam Nukleat

Antibakteri dapat mengganggu proses replikasi dan transkripsi sehingga pertumbuhan dan pembelahan sel bakteri terhambat. Pada umumnya antibakteri dapat menghambat sintesis asam nukleat dengan dua cara yaitu melalui interaksi dengan benang heliks ganda DNA sehingga replikasi dan tanskripsi terganggu, serta melalui kombinasi dengan polimerase yang terlibat dalam biosintesis DNA atau RNA.


(46)

30

2.8 Ekstraksi

Kandungan kimia dari suatu tanaman atau simplisia nabati yang berkasiat obat umumnya mempunyai sifat kepolaran yang berbeda-beda, sehingga perlu dipisahkan secara selektif menjadi kelompok-kelompok tertentu. Salah satu contohnya adalah alkaloid yang banyak terdapat pada tanaman berbunga. Secara kimia alkaloid merupakan basa organik yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen di dalam satu cincin. Alkaloid di dalam tanaman berada dalam bentuk garam dari asam-asam organik lemah. Alkaloid bebas dapat larut dalam pelarut organik seperti kloroform, sedangkan garam-garam organik larut dalam larutan air (Goeswin, 2007).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

2.8.1 Metode Ekstraksi A. Ekstraksi Cara Dingin

Ekstraksi cara dingin memiliki keuntungan dalam proses ekstraksi total, yaitu memperkecil kemungkinan terjadinya kerusakan pada senyawa termolabil yang terdapat pada sampel. Sebagian besar senyawa dapat terekstraksi dengan ekstraksi cara dingin , walaupun ada beberapa senyawa yang memiliki keterbatasan kelarutan terhadap pelarut pada suhu ruangan.

Terdapat sejumlah metode ekstraksi, yang paling sederhana adalah ekstraksi dingin (dalam labu besar berisi biomassa yang diagitasi menggunakan stirer), dengan cara ini bahan kering hasil gilingan diekstraksi pada suhu kamar secara berturut-turut


(47)

31

dengan pelarut yang kepolarannya makin tinggi. Keuntungan cara ini adalah mudahnya metode ekstraksi karena ekstrak tidak dipanaskan sehinggan kemungkinan kecil bahan alam menjadi terurai.

Penggunaan pelarut dengan peningkatan kepolaran bahan alam secara berurutan memungkinkan pemisahan bahan-bahan alam berdasarkan kelarutannya (dan polaritasnya) dalam pelarut ekstraksi. Hal ini sangat mempermudah proses isolasi. Ekstraksi dingin memungkinkan banyak senyawa terekstraksi, meskipun beberapa senyawa memiliki pelarut ekstraksi pada suhu kamar (Heinrich et al., 2004).

 Maserasi

Maserasi berasal dari bahasa latin Macerace berari mengairi dan melunakkan. Maserasi merupakan cara ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh. Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan masuk ke dalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berakhir. Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat di dalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voigh, 1994 dalam Istiqomah 2013).


(48)

32

Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang akan digunakan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam pelarut tersebut.

 Perkolasi

Istilah perkolasi berasal dari bahasa latin per yang artinya melalui dan

colare yang artinya merembes. Jadi, perkolasi adalah penyarian dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Alat yang digunakan untuk mengekstraksi disebut perkolator, dengan ekstrak yang telah dikumpulkan disebut perkolat (Ansel, 1989 dalam Ibtisam 2008). Efektivitas dari proses ini hanya akan lebih besar untuk senyawa organik yang sangat mudah larut dalam pelarut yang digunakan. Keuntungan dari metode ini adalah tidak diperlukannya proses pemisahan ekstrak sampel, sedangkan kerugiannya adalah selama proses tersebut, pelarut menjadi dingin sehingga tidak melarutkan senyawa dari sampel secara efisien (Darwis, 2000).

B. Ekstraksi Cara Panas (Ditjen POM, 2000)  Reflux

Reflux merupakan metode ektraksi cara panas (membutuhkan pemanasan pada prosesnya), secara umum pengertian refluks sendiri adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Ekstraksi


(49)

33

dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan. Metode ini umumnya digunakan untuk mensintesis senyawa-senyawa yang mudah menguap atau volatile. Pada kondisi ini jika dilakukan pemanasan biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai selesai. Prinsip dari metode refluks adalah pelarut volatil yang digunakan akan menguap pada suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung.  Sokletasi

Sokletasi merupakan proses ekstraksi yang menggunakan penyarian berulang dan pemanasan. Penggunaan metode sokletasi adalah dengan cara memanaskan pelarut hingga membentuk uap dan membasahi sampel. Pelarut yang sudah membasahi sampel kemudian akan turun menuju labu pemanasan dan kembali menjadi uap untuk membasahi sampel, seingga penggunaan pelarut dapat dihemat karena terjadi sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel. Proses ini sangat baik untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh panas.

 Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C.

 Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air. Benjana infus tercelup dalam penangas air mendidih dengan temperatur terukur 96-980C selama waktu tertentu sekitar 15-20 menit.


(50)

34

 Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (suhu lebih dari 300C) dan temperatur sampai titik didih air.

C. Destilasi Uap

Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan untuk mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap). Selama pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2 bagian yang tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung dengan kondensor. Kerugian dari kedua metode ini adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi (Seidel V, 2006).

Destilasi adalah proses pemisahan yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Destilasi sangat baik untuk memisahkan bahan-bahan alam yang berupa zat cair atau untuk memurnikan cairan yang mengandung pengotor (Wonorahardjo, 2013). Pemisahan secara destilasi pada prinsipnya adalah metode pemisahan yang didasarkan karena adanya perbedaan titik didih antara komponen-komponen yang akan di pisahkan secara teoritis Bila perbedaan titik didih antar komponen makin besar maka pemisahan dengan cara destilasi akan berlangsung makin baik yaitu hasil yang diperoleh makin murni. Destilasi digunakan untuk menarik senyawa organik yang titik didihnya di bawah 2500 C. Pendestilasian senyawa dengan titik didih terlalu tinggi dikhawatirkan akan merusak senyawa yang akan didestilasi diakibatkan terjadinya oksidasi dan dekomposisi ( Ibrahim et al.,2013).

Destilasi uap dapat dilakukan untuk memisahkan campuran pada temperatur lebih rendah dari titik didih normal komponen – komponennya. Dengan cara ini pemisahan dapat berlangsung tanpa merusak komponen – komponennya yang


(51)

35

hendak dipisahkan. Ada dua cara melakukan destilasi uap. Yang pertama adalah dengan menghembuskan uap secara kontinu diatas campuran yang sedang di uapkan. Cara kedua dengan mendidihkan senyawa yang dipisah bersama dengan pelarut yang di uapkan. Komponen dipisahkan dididihkan bersama dengan pelarutnya. Tekanan parsial dari komponen ini secara bertahap akan mencapai kesetimbangan tekanan total system. (Wonoraharjo, 2013)

D. Cara Ekstraksi Lainnya (Ditjen POM, 2000) :  Ekstraksi Berkesinambungan

Proses ekstraksi yang dilakukan berulangkali dengan pelarut yang berbeda atau resirkulasi cairan pelarut dan prosesnya tersusun berurutan beberapa kali. Proses ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi (jumlah pelarut) dan dirancang untuk bahan dalam jumlah besar yang terbagi dalam beberapa bejana ekstraksi.

 Superkritikal Karbondioksida

Penggunaan prinsip superkritik untuk ekstraksi serbuk simplisia dan umumnya digunakan gas karbondioksida. Dengan variabel tekanan dan temperatur akan diperoleh spesifikasi kondisi polaritas tertentu yang sesuai untuk melarutkan golongan senyawa kandungan tertentu. Penghilangan caira pelarut dengan mudah dilaukan karena karbondioksida menguap dengan mudah, sehingga hampir langsung diperoleh ekstrak.

 Ekstraksi Ultrasonik

Getaran ultrasonik (>20.000 Hz) memberikan efek pada proses ekstrak dengan prinsip meningkatkan permiabilitas dinding sel, menimbulkan gelembung sontan (Cavitation) sebagai stres dinamis serta menimbulkan fraksi


(52)

36

interfase. Hasil ekstrasi tergantung pada frekuensi getaran, kapasitas alat dan lama proses ultrasonikasi.

 Ektraksi Energi Listrik

Energi listrik digunakan dalam bentuk medan listrik, medan magnet serta “Electric-discharges” yang dapat mempercepat proses dan meningkatkan hasil dengan prinsip menimbulkan gelembung spontan dan menyebarkan gelombang tekanan berkecepatan ultrasonik.

2.8.2 Penggunaan Etanol Sebagai Pelarut

Etanol disebut juga etil alkohol atau alkohol saja, adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat ditemukan pada minuman beralkohol dan termometer modern. Etanol adalah salah satu obat rekreasi yang paling tua. Etanol termasuk ke dalam alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O. Senyawa ini merupakan isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering disingkat menjadi EtOH, dengan “Et” merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5) (Lei dkk., 2002).

2.9 Uji Aktivitas Antimikroba 2.9.1 Metode Dilusi

Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration atau kadar hambat minimum, KHM) dan MBC (Minimum Bacterisidal Concentration atau kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran antibiotik menggunakan medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji antibiotik kadar terkecil yang terlihat jernih ditetapkan


(53)

37

sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya diukur ulang pada media padat tanpa penambahan mikroba uji ataupun antibiotik, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).

2.9.2 Metode Difusi

Metode ini menggunakan piringan (paper disk) yang berisi cairan antibiotik atau ekstrak dan diletakkan pada media Agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media Agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh antibiotik atau ekstrak pada permukaan media Agar (Pratiwi, 2008).

2.9.3 Metode Turbudimetri

Jumlah sel bakteri dapat dihitung dengan cara mengetahui kekeruhan (turbiditas) kultur. Semakin keruh suatu kultur, semakin banyak jumlah selnya. Prinsip dasar metode turbudimetri adalah jika cahaya mengenai sel maka sebagian cahaya diserap dan sebagian cahaya diteruskan. Jumlah cahaya yang diserap proporsional atau berbanding lurus dengan jumlah bakteri (Irianto.K, 2002).


(1)

Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan terjadi pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama perendaman yang akan digunakan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam pelarut tersebut.

 Perkolasi

Istilah perkolasi berasal dari bahasa latin per yang artinya melalui dan colare yang artinya merembes. Jadi, perkolasi adalah penyarian dengan mengalirkan cairan penyari melalui serbuk simplisia yang telah dibasahi. Alat yang digunakan untuk mengekstraksi disebut perkolator, dengan ekstrak yang telah dikumpulkan disebut perkolat (Ansel, 1989 dalam Ibtisam 2008). Efektivitas dari proses ini hanya akan lebih besar untuk senyawa organik yang sangat mudah larut dalam pelarut yang digunakan. Keuntungan dari metode ini adalah tidak diperlukannya proses pemisahan ekstrak sampel, sedangkan kerugiannya adalah selama proses tersebut, pelarut menjadi dingin sehingga tidak melarutkan senyawa dari sampel secara efisien (Darwis, 2000).

B. Ekstraksi Cara Panas (Ditjen POM, 2000)  Reflux

Reflux merupakan metode ektraksi cara panas (membutuhkan pemanasan pada prosesnya), secara umum pengertian refluks sendiri adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Ekstraksi


(2)

dengan cara ini pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan. Metode ini umumnya digunakan untuk mensintesis senyawa-senyawa yang mudah menguap atau volatile. Pada kondisi ini jika dilakukan pemanasan biasa maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai selesai. Prinsip dari metode refluks adalah pelarut volatil yang digunakan akan menguap pada suhu tinggi, namun akan didinginkan dengan kondensor sehingga pelarut yang tadinya dalam bentuk uap akan mengembun pada kondensor dan turun lagi ke dalam wadah reaksi sehingga pelarut akan tetap ada selama reaksi berlangsung.  Sokletasi

Sokletasi merupakan proses ekstraksi yang menggunakan penyarian berulang dan pemanasan. Penggunaan metode sokletasi adalah dengan cara memanaskan pelarut hingga membentuk uap dan membasahi sampel. Pelarut yang sudah membasahi sampel kemudian akan turun menuju labu pemanasan dan kembali menjadi uap untuk membasahi sampel, seingga penggunaan pelarut dapat dihemat karena terjadi sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel. Proses ini sangat baik untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh panas.

 Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-500C.

 Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air. Benjana infus tercelup dalam penangas air mendidih dengan temperatur terukur 96-980C selama waktu tertentu sekitar 15-20 menit.


(3)

 Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (suhu lebih dari 300C) dan temperatur sampai titik didih air.

C. Destilasi Uap

Destilasi uap memiliki proses yang sama dan biasanya digunakan untuk mengekstraksi minyak esensial (campuran berbagai senyawa menguap). Selama pemanasan, uap terkondensasi dan destilat (terpisah sebagai 2 bagian yang tidak saling bercampur) ditampung dalam wadah yang terhubung dengan kondensor. Kerugian dari kedua metode ini adalah senyawa yang bersifat termolabil dapat terdegradasi (Seidel V, 2006).

Destilasi adalah proses pemisahan yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Destilasi sangat baik untuk memisahkan bahan-bahan alam yang berupa zat cair atau untuk memurnikan cairan yang mengandung pengotor (Wonorahardjo, 2013). Pemisahan secara destilasi pada prinsipnya adalah metode pemisahan yang didasarkan karena adanya perbedaan titik didih antara komponen-komponen yang akan di pisahkan secara teoritis Bila perbedaan titik didih antar komponen makin besar maka pemisahan dengan cara destilasi akan berlangsung makin baik yaitu hasil yang diperoleh makin murni. Destilasi digunakan untuk menarik senyawa organik yang titik didihnya di bawah 2500 C. Pendestilasian senyawa dengan titik didih terlalu tinggi dikhawatirkan akan merusak senyawa yang akan didestilasi diakibatkan terjadinya oksidasi dan dekomposisi ( Ibrahim et al.,2013).

Destilasi uap dapat dilakukan untuk memisahkan campuran pada temperatur lebih rendah dari titik didih normal komponen – komponennya. Dengan cara ini pemisahan dapat berlangsung tanpa merusak komponen – komponennya yang


(4)

hendak dipisahkan. Ada dua cara melakukan destilasi uap. Yang pertama adalah dengan menghembuskan uap secara kontinu diatas campuran yang sedang di uapkan. Cara kedua dengan mendidihkan senyawa yang dipisah bersama dengan pelarut yang di uapkan. Komponen dipisahkan dididihkan bersama dengan pelarutnya. Tekanan parsial dari komponen ini secara bertahap akan mencapai kesetimbangan tekanan total system. (Wonoraharjo, 2013)

D. Cara Ekstraksi Lainnya (Ditjen POM, 2000) :  Ekstraksi Berkesinambungan

Proses ekstraksi yang dilakukan berulangkali dengan pelarut yang berbeda atau resirkulasi cairan pelarut dan prosesnya tersusun berurutan beberapa kali. Proses ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi (jumlah pelarut) dan dirancang untuk bahan dalam jumlah besar yang terbagi dalam beberapa bejana ekstraksi.

 Superkritikal Karbondioksida

Penggunaan prinsip superkritik untuk ekstraksi serbuk simplisia dan umumnya digunakan gas karbondioksida. Dengan variabel tekanan dan temperatur akan diperoleh spesifikasi kondisi polaritas tertentu yang sesuai untuk melarutkan golongan senyawa kandungan tertentu. Penghilangan caira pelarut dengan mudah dilaukan karena karbondioksida menguap dengan mudah, sehingga hampir langsung diperoleh ekstrak.

 Ekstraksi Ultrasonik

Getaran ultrasonik (>20.000 Hz) memberikan efek pada proses ekstrak dengan prinsip meningkatkan permiabilitas dinding sel, menimbulkan gelembung sontan (Cavitation) sebagai stres dinamis serta menimbulkan fraksi


(5)

interfase. Hasil ekstrasi tergantung pada frekuensi getaran, kapasitas alat dan lama proses ultrasonikasi.

 Ektraksi Energi Listrik

Energi listrik digunakan dalam bentuk medan listrik, medan magnet serta “Electric-discharges” yang dapat mempercepat proses dan meningkatkan hasil dengan prinsip menimbulkan gelembung spontan dan menyebarkan gelombang tekanan berkecepatan ultrasonik.

2.8.2 Penggunaan Etanol Sebagai Pelarut

Etanol disebut juga etil alkohol atau alkohol saja, adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Senyawa ini merupakan obat psikoaktif dan dapat ditemukan pada minuman beralkohol dan termometer modern. Etanol adalah salah satu obat rekreasi yang paling tua. Etanol termasuk ke dalam alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris C2H6O. Senyawa ini merupakan isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol sering disingkat menjadi EtOH, dengan “Et” merupakan singkatan dari gugus etil (C2H5) (Lei dkk., 2002).

2.9 Uji Aktivitas Antimikroba 2.9.1 Metode Dilusi

Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory Concentration atau kadar hambat minimum, KHM) dan MBC (Minimum Bacterisidal Concentration atau kadar bunuh minimum, KBM). Cara yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran antibiotik menggunakan medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji antibiotik kadar terkecil yang terlihat jernih ditetapkan


(6)

sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya diukur ulang pada media padat tanpa penambahan mikroba uji ataupun antibiotik, dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).

2.9.2 Metode Difusi

Metode ini menggunakan piringan (paper disk) yang berisi cairan antibiotik atau ekstrak dan diletakkan pada media Agar yang telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media Agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh antibiotik atau ekstrak pada permukaan media Agar (Pratiwi, 2008).

2.9.3 Metode Turbudimetri

Jumlah sel bakteri dapat dihitung dengan cara mengetahui kekeruhan (turbiditas) kultur. Semakin keruh suatu kultur, semakin banyak jumlah selnya. Prinsip dasar metode turbudimetri adalah jika cahaya mengenai sel maka sebagian cahaya diserap dan sebagian cahaya diteruskan. Jumlah cahaya yang diserap proporsional atau berbanding lurus dengan jumlah bakteri (Irianto.K, 2002).