Ketahanan panas isolat lokal staphylococcus aureus

(1)

17

KETAHANAN PANAS ISOLAT LOKAL

Staphylococcus aureus

SKRIPSI

Juli Hadiyanto

F240601952

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

THERMAL RESISTANCE OF LOCAL ISOLATES OF

Staphylococcus aureus

Juli Hadiyanto, Ratih Dewanti-Hariyadi, and Eko Hari Purnomo

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agricultural University, Bogor 16002, Indonesia

ABSTRACT

Food poisoning is an important indicator for food safety status in any country. Report from The National Agency for Drugs and Food Control of Republic of Indonesia (BPOM-RI) showed that 40,87% of food poisoning occurred in Indonesia was associated with homemade food. Staphylococcus aureus probably is an important pathogen contributing to the food poisoning cases in Indonesia, because this pathogen is a natural flora that lives in human body and could contaminate food due to poor sanitation and hygienic practices. Generally, growth of Staphylococcus aureus can be prevented by temperature modification such us refrigeration and heating. Since most of Indonesian food are heavily heated, it is interesting to know whether most processing could actually inactivate a large number of Staphylococcus aureus and whether the pathogens isolated from local source are tolerant to heat. This is important because the risk of having Staphylococcus aureus survive in cooked food is even worse since they could eventually produce enterotoxins.

The goal of this research is to evaluate the heat resistance of several Staphylococcus aureus isolated from Indonesian traditional ready to eat (RTE) foods. The study was conducted by inoculating 1 ml of a late log phased Staphylococcus aureus culture into 9 ml of heating menstruum (Trypticase Soy Broth) at 52, 53, 54, and 56 for 5,7, 10, and 15 minutes. Staphylococcus aureus surviving from the heating process was enumerated on Baird Parker Agar (BPA) media containing egg yolk tellurite after incubation for 48 hours at 350C. Thermotolerance parameters, ie. D and Z values were estimated using standard regression analysis based on log linier models. The result was used to estimate the adequacy of certain cooking methods for several Indonesian RTE traditional foods.

The D53, D54, D55, and D56 values of Staphylococcus aureus were 19,47- 64,59 min, 13,42 -

23,8 min, 6,59 - 14,3 min and 5,17-8,78 min respectively. The thermal inactivation of Staphylococcus aureus in this study followed first order kinetics with r2 values of 0,92-0,99. The Z value calculated in this study ranged from 3,37 to 6.060C. This value was within the range reported for most non-sporeforming bacteria (4 – 6 0C). This study provides much needed data on the thermal resistance of Staphylococcus aureus and validates that heating commonly apllied in cooking of Indonesian RTE activity could reduce Staphylococcus aureus up to 8,2x1016D and therefore adequate for safety measure of this organisms.


(3)

Juli Hadiyanto. F24061952. 2010. Ketahanan Panas Isolat Lokal Staphylococcus aureus Di bawah bimbingan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M. Sc dan Dr. Eko Hari Purnomo, S. Tp, M. Sc.

RINGKASAN

Keracunan pangan menjadi masalah serius bagi masyarakat Indonesia. Gejala keracunan pangan antara lain mual-mual, muntah, diare, berkeringat, menggigil, lesu, kram otot, pusing kepala dan demam. Selain itu, keracunan pangan ini juga menimbulkan kerugian seperti biaya rawat inap, hilangnya produktifitas kerja dan terbuangnya makanan secara sia-sia. Laporan tahunan BPOM tahun 2009 menunjukkan bahwa pada tahun tersebut di Indonesia telah terjadi 115 kejadian luar biasa (KLB) karena keracunan pangan. Salah satu penyebab keracunan terbesar berasal dari industri jasa boga yang mencapai 15,65%. Berdasarkan data BPOM kemungkinan Staphylococcus aureus adalah salah satu agen penyebab keracunan di Indonesia mengingat bakteri ini secara alami terdapat pada tubuh manusia dan dapat mengkontaminasi makanan yang diolah dengan kondisi sanitasi tidak cukup baik.

Proses pemanasan seperti perebusan, penanakan, penumisan, maupun penggorengan merupakan salah satu upaya untuk mengolah bahan pangan dalam industri jasa boga. Proses ini tidak hanya mengubah karakteristik bahan pangan tetapi juga berperan dalam mereduksi jumlah mikroba. Keefektifan proses pemanasan ini tentunya membutuhkan informasi mengenai ketahanan panas bakteri target. Penelitian ketahanan panas Staphylococcus aureus ini sangat bermanfaat terutama untuk menentukan nilai D dan nilai Z yang selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi keefektifan pemanasan yang biasa dilakukan oleh masyarakat di Desa Babakan Raya.

Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pemilahan cepat isolat Staphylococcus aureus, studi ketahanan panas isolat Staphylococcus aureus hasil pemilahan cepat isolat, dan tahap evaluasi kecukupan termal proses pemasakan pada warung siap santap di Desa Babakan Raya.

Pemilahan galur cepat isolat Staphylococcus aureus dilakukan dengan cara memanaskan isolat Staphylococcus aureus asal ayam suwir (AS2, AS3, dan AS4), nasi uduk (NU1, NU2, dan NU3) dan jari tangan pekerja (J1 dan J2). Kedelapan isolat dipanaskan dalam waterbath shaker pada suhu 540C selama 35 menit. Untuk uji ketahanan panas, sebanyak 1 ml suspensi Staphylococcus aureus dipanaskan di dalam erlenmeyer 50 ml yang berisi 9 ml TSB pada suhu 53, 54, 55, dan 56°C. Pemanasan dilakukan selama selang waktu 5, 7, 10, dan 15 menit. Setelah pemanasan, dilakukan pengenceran dengan pengencer Butterfield’sPhosphate Buffered (BPB) dari 10-2-10-6 kemudian dilakukan pemupukan dengan menggunakan media BPA yang telah ditambahkan dengan egg yolk tellurite. Evaluasi kecukupan termal proses pemasakan pada warung siap santap di Desa Babakan Raya dilakukan dengan mensurvei praktik pemanasan untuk mengetahui suhu dan waktu pemanasan yang lazim digunkan masyarakat. Survei dilakukan dengan mengukur suhu pemasakan selama kurang lebih 8 menit dengan menggunakan termometer. Keefektifan proses pemanasan diperoleh dengan cara mengekstrapolasi persamaan nilai Z yang didapatkan dari uji ketahanan panas isolat Staphylococcus aureus untuk mendapatkan nilai D pada suhu pemasakan yang diperoleh dari hasil survei.

Penghitungan nilai D dilakukan dengan memplotkan grafik pertumbuhan bakteri dimana kurva Y menyatakan jumlah koloni yang hidup (log CFU) dan kurva X menyatakan selang waktu


(4)

setelah pemansan. Dari kedua data ini dibuat kurva kecepatan kematian Staphylococcus aureus pada empat suhu berbeda (53, 54, 55, dan 56°C) lalu dilakukan perhitungan nilai D atau waktu reduksi desimal, yaitu waktu pemanasan pada suhu tertentu yang menyebabkan kematian sel sebanyak 90 persen. Nilai D untuk masing-masing suhu diperoleh dari persamaan D= -1/slope. Berdasarkan nilai D pada suhu percobaan dibuat kurva thermal death time (TDT) yang menunjukkan hubungan antara nilai D (dalam menit) pada skala logaritmik dengan suhu (dalam °C). Penentuan nilai Z diperoleh dari kurva ini, yaitu interval suhu (°C) yang dibutuhkan oleh kurva TDT untuk melewati satu siklus log atau sebesar sepersepuluh kalinya.

Penghitungan kecukupan termal proses pemasakan yang diperoleh dari hasil survei dilakukan dengan mengasumsikan bahwa jumlah awal Staphylococcus aureus pada bahan pangan sebesar 105 CFU/bungkus. Jumlah Staphylococcus aureus setelah pemasakan dihitung dengan menggunakan rumus (log N0/Nt)= tT/ DT. Simbol tT menunjukkan lama pemasakan dan DT menunjukkan nilai D mikroba pada suhu pemasakan. Peluang keberadaan Staphylococcus aureus pada bahan pangan olahan diketahui dari jumlah Staphylococcus aureus setelah pemasakan (Nt).

Pada tahap pemilahan cepat isolat, penurunan jumlah mikroba setelah pemanasan pada suhu 540C berkisar antara 2-4 siklus log. Isolat hasil pemilihan galur cepat yang terpilih pada uji ketahanan panas utama adalah isolat AS2 dan NU3. Kedua isolat tersebut mengalami penurunan log jumlah mikroba lebih kecil (2 siklus log) dibandingkan dengan isolat lainnya. Isolat Staphylococcus aureus asal jari tangan tidak lolos uji lanjut karena mengalami penurunan log yang cukup besar (4 siklus log). Pada uji utama ketahanan panas, isolat Staphylococcus aureus ATCC 25923 disertakan sebagai pembanding. Hasil uji ketahanan panas menunjukkan bahwa, isolat AS2 memiliki D53, D54, D55, dan D56 berturut-turut sebesar 19,47±1,33, 13,42±0,13, 6,59±0,85, dan 5,17±0,26 menit. Nilai D53, D54, D55, dan D56 untuk isolat NU3 masing-masing adalah 64,59± 2,95, 23,83± 0,80, 14,3±0,78, dan 8,78±0,92 menit. Isolat ATCC 25923 mempunyai nilai D53, D54, D55, dan D56 bertutut-turut sebesar 22,00± 1,02, 15,31± 1,16, 11,12±0,52, dan 7,53±1,76 menit. Berdasarkan nilai D pada beberapa waktu pemanasan berbeda, diketahui bahwa nilai Z isolat AS2, NU3, dan ATCC 25923 masing-masing berkisar antara 4,74-5,10˚C; 3,37-3,7˚C; dan 5,59-6,06˚C. Dilihat dari sensitifitas terhadap perubahan suhu, isolat NU3 lebih sensitif daripada isolat lainnya. Dari perpotongan kurva persamaan nilai Z untuk masing-masing isolat dapat disimpulkan bahwa isolat NU3 dan AS2 mempunyai ketahanan panas yang sama pada 57,62°C. Pada suhu pemanasan <57,62°C isolat NU3 lebih tahan terhadap

pemanasan daripada isolat AS2. Namun, ketahanan panas isolat NU3 lebih kecil dibandingkan dengan isolat AS2 pada pemanasan suhu > 57,62°C. Hal yang sama juga berlaku untuk isolat lainnya.

Untuk mengevaluasi keefektifan pemasakan dalam mereduksi jumlah mikroba, dilakukan survei penentuan suhu dan lama pemasakan dilanjutkan dengan melakukan ekstrapolasi nilai Z hasil uji utama ketahanan panas Staphylococcus aureus.Dari hasil survei diketahui bahwa rata-rata penjual pangan siap santap memanaskan makanan pada suhu diatas 70°C. Perebusan dan penanakan biasa dilakukan masyarakat pada suhu > 920C. Proses penggorengan dilakukan pada suhu 1620C sedangkan penumisan dilakukan pada suhu sekitar 730C. Oleh karena itu, ekstrapolasi nilai Z ditujukan untuk menentukan nilai D73, D92, dan D162. Ekstrapolasi persamaan nilai Z menghasilkan nilai D73, D92 dan D162 berturut-turut sebesar 0,00006-0,011 menit, 1,5x10-10-8,70 x10-6 dan 2,43x10-31-2,45x10-17. Penghitungan dengan rumus (log N0/Nt)= tT/DT, menunjukkan bahwa jumlah Staphylococcus aureus setelah pemanasan pada suhu perebusan dan penanakan (920C selama 60 menit), penggorengan (1620C selama 2 menit), dan penumisan (730C selama 5 menit) mampu direduksi hingga mencapai level yang sangat rendah (<1:10449,5) CFU/bungkus. Menurut BPOM (2004) standar cemaran maksimum Staphylococcus aureus dalam bahan pangan adalah sebesar 0-5x103 CFU/gr. Karena satu bungkus nasi uduk diasumsikan memiliki berat 100 gr, batas cemaran maksimum Staphylococcus


(5)

aureus pada nasi uduk berarti sebesar 5x103x100 gr (5x105 CFU/bungkus). Berdasarkan standar ini dapat disimpulkan bahwa proses pemasakan makanan di warung siap santap Desa Babakan Raya

efektif untuk mereduksi jumlah mikroba sampai level yang tidak membahayakan yaitu < 5x105 CFU/bungkus.


(6)

KETAHANAN PANAS ISOLAT LOKAL

Staphylococcus aureus

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

Juli Hadiyanto

F240601952

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

Judul Skripsi : Ketahanan Panas Isolat Lokal

Staphylococcus aureus

Nama

: Juli Hadiyanto

NRP

: F24061952

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Dr. Eko Hari Purnomo, S. Tp, M.Sc.

NIP.19620920.198603.2.002 NIP.19760412.199903.1.004

Mengetahui:

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah)

NIP: 19650814.199002.1.001


(8)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Ketahanan Panas Isolat Lokal Staphylococcus aureus adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011 Yang membuat pernyataan

Juli Hadiyanto F24062659


(9)

© Hak milik cipta Juli Hadiyanto, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,

foto copy, mikrofilm, dan sebagainya


(10)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Kota Pekalongan pada tanggal 19 Juli 1988 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, pasangan Ariyanto dan Cukufah. Penulis mulai menempuh pendidikan formal di TK Al-Amanah Pekalongan, lalu berlanjut di SD Negeri Sapuro 2 Pekalongan, SMP Negeri 13 Pekalongan, dan SMA Negeri 1 Pekalongan. Selapas SMA, penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan di Institut Pertanian Bogor.

Selama menjadi mahasiswa penulis terlibat di Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa KM. penulis pernah menjadi ketua panitia dalam acara Café Cappucino (Café Kajian Publik Cinta Pertanian Indonesia). Penulis pernah berpartisipasi dalam kepanitian di tingkat Departemen, Fakultas, maupun tingkat IPB antara lain HACCP, BAUR, dan Masa Perkenalan Fakultas. Selain itu, penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum Kimia TPB pada tahun 2009-2010.

Untuk menyelesaikan pendidikan di departemen ITP, penulis melakukan penelitian pada bidang Mikrobiologi Pangan yang didanai oleh SEAFAST CENTRE. Penelitian tersebut berjudul “Ketahanan Panas Isolat Lokal Staphylococcus aureus” di bawah Bimbingan Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M. Sc dan Dr. Eko Hari Purnomo, S. Tp, M. Sc


(11)

iii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan petunjuk, kemudahan, dan rahmat-Nya kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, panutan dan rahmat bagi seluruh alam.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini diselesaikan atas bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak, Ibu, Mas Rizal, Agus, Nenek, Bule’, Om Ied, dan segenap keluarga tercinta atas doa dan dukungannya selama ini.

2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M. Sc. dan Dr. Eko Hari Purnomo, S. Tp, M. Sc. selaku dosen pembimbing akademik yang selalu sabar memberikan bimbingan, saran, dan koreksi kepada penulis.

3. Prof. Dr. Winiati P. Rahayu, yang telah bersedia menjadi dosen penguji skripsi dan memberikan kritik dan saran yang membangun.

4. Ivani Ardelino, Fitriyah, dan Ipan Permadi atas segala bantuan dan semangatnya selama penelitian

5. Temen-teman seperjuangan di Seafas Center, Siti Winarti, Mba Fidy, Victor Trisna, dan Yogi Karsono.

6. Teman-teman satu kosan Karno dan Imam.

7. Sahabatku I Gede, Taufik, dan teman-teman di kosan Reza.Net Oji, Abrar, dan Jimmy. Terima kasih untuk persahabatan yang begitu indah

8. Seafast Center atas dukungan dana penelitian dan fasilitas yang disediakan.

9. Seluruh staf dan teknisi Seafast Center, Mba Ari, Mba sofah, Mas Yeris Bu Ntin, Abah, Pak Udin dan Bu Ruhana.

10. Teman-teman ITP angkatan 43 yang tidak bisa disebutkan satu persatu

11. Para pedagang di warung seputar Bara yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini

Bogor, Januari 2011


(12)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………... iii

DAFTAR ISI……….. iv

DAFTAR GAMBAR……….. vi

DAFTAR TABEL………... vii

DAFTAR LAMPIRAN………... viii

I. PENDAHULUAN……….. 1

A. LATAR BELAKANG………... 1

B. TUJUAN PENELITIAN………... 2

C. MANFAANT PENELITIAN... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA………... 3

A. Staphylococcus aureus……… 3

B. KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN Staphylococcus aureus……….. 4

C. KERACUNAN Staphylococcus aureus……… 6

D. KETAHANAN PANAS MIKROBA………... 9

E. MEKANISME ADAPTASI MIKROBA TERHADAP STRESS……….. 10

F. PARAMETER INAKTIVASI MIKROBA………. 11

G. KETAHANAN PANAS Staphylococcus aureus………... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN………. 17

A. BAHAN DAN ALAT………. 17

B. TAHAPAN PENELITIAN………... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………... 23

A. PEMILAHAN CEPAT ISOLAT LOKAL Staphylococcus aureus……... 23

B. STUDI KETAHANAN PANAS ISOLAT Staphylococcus aureus HASIL PEMILAHAN CEPAT GALUR………... 27

C. SURVEY PEMANASAN MAKANAN PADA PANGAN SIAP SANTAP... 32

V. KESIMPULAN DAN SARAN………... 36

A. KESIMPULAN………... 36


(13)

v

DAFTAR PUSTAKA………... 38 LAMPIRAN………... 42


(14)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Penampakan Staphylococcus aureus di bawah mikroskop dengan

perbesaran 1000x………... 3

Gambar 2. Mekanisme pembentukan heat shock protein………... 11

Gambar 3. Kurva penurunan logaritma jumlah mikroba terhadap pemanasan... 12

Gambar 4. Kurva Nilai Z... 13

Gambar 5. Skema Penelitian Resistensi Termal Staphylococcus aureus... .... 20

Gambar 6. Koloni Staphylococcus aureus pada media BPA... 20

Gambar 7. Penurunan jumlah Staphylococcus aureus (log CFU/ml) setelah pemanasan 54°C selama 35 menit………... 24

Gambar 8. Jumlah Staphylococcus aureus asal ayam suwir (log CFU/ml) sebelum dan setelah pemanasan pada suhu 54°C selama 35 menit………... 25

Gambar 9. Jumlah Staphylococcs aureus asal nasi uduk (log CFU/ml) sebelum dan setelah pemanasan pada suhu.54°C selama 35 menit………... .. 26

Gambar 10. Jumlah Staphylococcus aureus asal jari tangan (log CFU/ml) sebelum dan setelah pemanasan pada suhu 54°C selama 35 menit…………... 26

Gambar 11. Penurunan logaritma jumlah mikroba isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC 25923 (log CFU/ml) yang dipanaskan pada suhu 53, 54, 55, dan 56 °C selama waktu tertentu………... 27

Gambar 12. Kurva nilai Z isolat AS2, NU3, dan ATCC 25923………... 30


(15)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Parameter fisik faktor pembatas pertumbuhan Staphylococcus aureus………. 4

Tabel 2. Pengaruh suhu terhadap waktu lag Staphylococcus aureus………... 5

Tabel 3. Ketahanan Staphylococcus aureus terhadap pembekuan, pengeringan

dan pemanasan……… 5

Tabel 4. Faktor –faktor yang berkontribusi pada kasus keracunan pangan………... 7

Tabel 5. Data Cemaran Staphylococcus aureus pada beberapa bahan pangan………... 9

Tabel 6. Ketahanan panas beberapa bakteri pada suhu 62,8°C dan nilai Z beberapa bakteri

pada heating menstruum berbeda ………... 14

Tabel 7. Nilai D beberapa isolat Staphylococcus aureus pada beberapa heating

menstruum berbeda………... 16

Tabel 8. Isolat Staphylococcus aureus yang digunakan dalam pemilahan cepat galur... 17

Tabel 9. Penurunan logaritma beberapa isolat Staphylococcus aureus pada heating

menstruum yang berbeda………... 24

Tabel 10. Perbandingan nilai Z untuk isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3,dan ATCC

25923 dengan bakteri lain pada heating menstruum kaya protein... 31

Tabel 11. Perbandingan nilai D dan nilai Z untuk isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3,

dan ATCC 25923 dibanding komponen-komponen kimia………... 32

Tabel 12. Kombinasi suhu dan waktu pemanasan di warung pangan siap santap di

lingkungan kampus IPB………... .33

Tabel 13. Nilai D73, D92 , dan D162 isolat Staphylococcus aureus AS2, NU3, dan ATCC 25923 yang diperoleh dari persamaan nilai Z………... 34

Tabel 14. Nilai D73 dan D92 beberapa komponen kimia dan reaksi kimia... 34

Tabel 15. Penurunan log Staphylococcus aureus dan jumlah Staphylococcus aureus setelah

proses pemasakan pada suhu dan waktu tertentu... 35


(16)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pemilahan cepat galur isolat Staphylococcus aureus pada suhu 54 °C selama 35 menit………... 43

Lampiran 2. Enumerasi koloni terduga isolat Staphylococcus aureus hasil uji

ketahanan panas………... 46

Lampiran 3. Nilai D isolat AS2, NU3, dan ATCC 25923………... 58

Lampiran 4. Persiapan Media dan Larutan Pengencer………... 59


(17)

1

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Staphylococcus aureus merupakan salah satu agen penyebab keracunan pangan di dunia. Pada bulan September 1997, terjadi kasus keracunan pangan di Florida (USA) karena ham yang terkontaminasi toksin Staphylococcus aureus (www.fooddoctors.com). Sebanyak 31 orang dari 125 orang yang mengikuti pesta di Florida mengalami keracunan. Gejala keracunan yang terlihat meliputi mual (94%), muntah (89%), diare (72%), berkeringat (61%), menggigil (44%), lesu (39 %), kram otot (28 %), pusing kepala (11%) dan demam (11%). Gejala keracunan berlangsung selama 3-6 jam setelah mengkonsumsi ham dan berakhir setelah 24 jam. Akhir Juni tahun 2000, konsumen minuman susu di Jepang mengalami keracunan karena Staphylococcus aureus. Sebanyak 1152 pasien dilaporkan mengalami muntah-muntah, mual, dan diare. Enam hari kemudian, jumlah pasien meningkat sampai 10.780 dan 159 diantaranya dilarikan ke rumah sakit. Sehari kemudian, laporan jumlah pasien mengalami peningkatan kembali menjadi 12.929 dan tanggal 11 Juli pasien mencapai 14.000 pasien (www.fooddoctors.com). Tahun 2007 terjadi kasus keracunan pangan pada camilan yang terbuat dari beras ketan di sebuah hotel di kota Padang. Hasil uji laboratorium menunjukkan makanan tersebut positif Staphylococcus aureus (Gentina et al., 2008). Pada tahun 2009 terjadi kasus keracunan pangan di Tasikmalaya pada nasi bungkus. Sebannyak 148 orang menjadi korban dalam keracunan ini (Kusumaningrum, 2009).

Data BPOM (2010) menunjukkan bahwa pada tahun 2009 di Indonesia telah terjadi 115 kejadian luar biasa (KLB) karena keracunan pangan. Sebanyak 46 kasus (40%) keracunan pangan tersebut diakibatkan oleh cemaran mikroba, dan 22 kasus (19,13%) sebagai akibat keracunan cemaran kimia. Sebanyak 23 kasus (20%) tidak dapat ditentukan penyebabnya, 15 kasus (13,04%) belum diketahui penyebabnya, 6 kasus (5,22%) tidak ada sampel, dan sisanya sebanyak 3 kasus (2,61%) kadarluwarsa.Laporan tersebut juga menyatakan bahwa industri jasa boga/katering merupakan salah satu sumber penyebab keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2009. Presentase keracunan pangan yang disebabkan industri jasa boga/katering mencapai 15,65%. Selain itu, diketahui pula bahwa keracunan pangan di Indonesia disebabkan oleh produk pangan olahan rumah tangga sebesar 40,87%, produk pangan olahan sebanyak 24,35 % , dan jajanan sebesar 19,13 %.

Berdasarkan data BPOM kemungkinan Staphylococcus aureus adalah salah satu agen penyebab keracunan di Indonesia. Bakteri ini secara alami terdapat pada tubuh manusia dan dapat mengkontaminasi makanan yang diolah dengan kondisi sanitasi tidak cukup baik. Selain itu, desain alat memasak tradisional Indonesia yang rumit, banyak lubang dan sulit dibersihkan seperti talenan, parut, uleg-uleg, penyerut es dan lain-lain memungkinkan bakteri Staphylococcus aureus untuk tumbuh di dalamnya.

Hartini (2001) dan Ruslan (2003) menyebutkan beberapa produk jasa boga seperti bakso, gado gado, mie ayam, nasi rames, soto ayam, taoge goreng, tauge rebus, kol rebus dan siomay mengandung Staphylococcus aureus berkisar antara 1,65-5,81 log CFU/gr. Sebenarnya Staphylococcus aureus telah mati selama pemasakan makanan sampai matang sempurna. Namun, rendahnya praktik hygiene pasca pemasakan dan sanitasi yang buruk menyebabkan pangan mengalami kontak dengan tangan, rambut, ataupun saluran pernafasan. Hal ini tentu saja membuka peluang bagi Staphylococcus aureus untuk mengkontaminasi makanan. Kebiasaan


(18)

2

masyarakat Indonesia yang menyimpan pangan pada suhu ruang lebih dari 6 jam juga dapat mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus. Menurut USDA (2001), jika Staphylococcus aureus tumbuh dan berkembang biak sampai level 105-106 CFU/ml atau 105-106 CFU/gr, bakteri ini akan memproduksi toksin tahan panas.

Indonesia memiliki berbagai macam makanan tradisional seperti bakso, soto, siomay, tahu, tempe dan lain-lain. Namun, data mengenai ketahanan panas isolat Staphylococcus aureus lokal yang diisolasi dari pangan belum banyak diselidiki. Menurut Stewart (2003) beberapa isolat bakteri ini mempunyai ketahanan panas yang tinggi sehingga diperlukan penelitian lebih mendalam tentang ketahanan panas bakteri ini. Penelitian ketahanan panas Staphylococcus aureus ini sangat bermanfaat terutama untuk mengevaluasi keefektifan proses pemanasan makanan yang biasa dilakukan oleh masyarakat.

B.

TUJUAN

Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama antara lain:

1. Pemilahan cepat galur 3 isolat Staphylococcus aureus yang paling tahan terhadap panas dari 8 isolat yang ada (tiga isolat ayam suwir, tiga dari nasi uduk, dan dua dari jari tangan pekerja)

2. Mengetahui ketahanan panas Staphylococcus aureus dengan cara menentukan nilai D dan nilai Z sehingga dapat dijadikan bahan acuan dalam penetapan kecukupan proses termal selama pemanasan bahan pangan.

3. Menguji kecukupan proses pemanasan yang biasa dilakukan pedagang di sekitar kampus IPB dalam mereduksi bakteri Staphylococcus aureus.

C.

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan referensi profil ketahanan panas (thermal

resistance) isolat lokal Staphylococcus aureus asal ayam suwir, nasi uduk dan jari tangan yang dapat dijadikan bahan acuan dalam menguji keefektifan proses pemasakan yang lazim dilakukan oleh masyarakat.


(19)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri non motil, gram positif, berbentuk bulat, dan biasanya bergerombol seperti anggur dalam bentuk tidak teratur, berpasangan, maupun tunggal.

Bakteri ini berdiameter 0.5 to 1.0 µm pada perbesaran mikroskop 1000x (Breemer et al., 2004).

Staphylococcus aureus bersifat katalase positif, anaerob fakultatif, dan membentuk koloni yang licin, bulat dan cembung pada media agar. Bakteri ini biasanya memproduksi enzim koagulase, memfermentasi manitol, termonuklease positif dan memfermentasi bermacam jenis gula dan membentuk asam tetapi tidak membentuk gas (Jay, 2000). Gambar Staphylococcus aureus di bawah mikroskop pada perbesaran 1000x disajikan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Penampakan Staphylococcus aureus di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000x (Ray dan Bhunia, 2008)

Karekteristik penting dari Staphylococcus aureus adalah pembentukan pigmen koloni yang umumnya berwarna kuning keemasan, dan betahemolisis positif pada blood agar. Namun, kedua karekter tersebut juga diasosiasikan dengan strain dari Staphylococcus epidermidis (Parker, 1963). Karakter yang membedakan Staphylococcus aureus dengan Staphylococcus epidermidis adalah kemampuannya memproduksi nuklease tahan panas. Enzim ini sangat unik sehingga dapat membedakan nuklease yang diproduksi oleh Staphylococcus epidermidis. Pada media BHI agar Staphylococcus aureus berkilauan dengan warna bervariasi dari krem hingga orange sebagai hasil dari pigmentasi karotenoid pada membran sel. Koloni akan menjadi gelap setelah inkubasi selama beberapa hari pada suhu 30°C atau pada suhu ruang (Ash, 2000). Koloni Staphylococcus aureus pada media Baird Parker Agar (BPA) berbentuk bulat, licin, halus, cembung, lembab, berdiameter 2-3 mm, berwarna abu-abu hingga hitam pekat, dikelilingi batas berwarna terang, serta dikelilingi zona keruh dengan batas luar berupa zona jernih (Tatini et al., 1984) dan Bennett (1984b).

Ciri lain Staphylococcus aureus adalah kemampuan tidak hanya menghasilkan enzim ekstraselular koagulase, tetapi juga bermacam enzim ekstraselular lain dan enterotoxin.


(20)

4

Enterotoksin adalah protein globuler dengan berat molekul 28.000-35.000 dalton. Enterotoksin ini bersifat toksik bagi manusia dan hewan (Minor et al., 1976). Toksin yang dihasilkan sangat tahan terhadap pemanasan. Oleh karenanya, meskipun bakterinya telah mati karena pemanasan (pemanasan pada suhu 66°C selama 10 menit), toksinnya masih dapat bertahan pada suhu 100°C selama 30 menit (Gaman dan Sherington, 1992).

B.

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN

Staphylococcus aureus

Pada umumnya, Staphylococcus aureus tumbuh pada kisaran suhu 7-47°C dengan suhu optimum untuk pertumbuhan 30-37 °C. Enterotoksin dihasilkan pada suhu 10 dan 46°C, dengan suhu optimum 35-45°C. Produksi enterotoksin dapat berkurang pada suhu 20-25°C. Produksi enterotoksin tidak akan terjadi pada suhu di bawah 10°C . Staphylococcus aureus tumbuh pada kisaran pH yang luas dari 4,2-9,3 dengan pertumbuhan optimal dan produksi enterotoksin terjadi pada pH 6-7 dan dipengaruhi oleh kondisi atmosfer, sumber karbon, sumber nitrogen dan kadar garam. Pengurangan aw lebih menghambat sintesis enterotoksin daripada pertumbuhannya. Pertumbuhan optimum Staphylococcus aureus dan pembentukan enterotoksin terjadi pada aw > 0,99. Produksi toksin dilaporkan terjadi pada aw terendah yaitu sebesar 0,86

(Breemer et al., 2004). Bakteri ini memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap konsentrasi garam. Bakteri ini dapat tumbuh pada media yang mengandung NaCl 5-7%. Beberapa strain Staphylococcus aureus lainnya mampu bertahan pada media dengan konsentrasi garam hingga 20% (Adams dan Moss, 2005). Tabel 1. menyajikan data parameter faktor pembatas pertumbuhan Staphylococcus aureus.

Tabel 1. Parameter fisik faktor pembatas pertumbuhan Staphylococcus aureus

Faktor Pembatas Pertumbuhan Produksi Enterotoksin

Optimum Kisaran Optimum Kisaran

Suhu (°C) 35-37 7 -48 35-40 10-45

pH

6.0-7.0 4.0-9.8

Enterotoksin A. 5.3-6.8 Enterotoksin lain

6-7

4.8-9.0

Konsentrasi NaCl 0.5-4.0% 0-20% 0.5% 0-20%

Aktivitas air (aw) 0.98-0.99 0.83-0.99 > 0.99 0.86-0.99 Kondisi Atmosfer Aerob Aerob-

Anaerob

5-20% DO2 Aerob- Anaerob (Adams dan Moss, 2005)

Staphylococcus aureus mengalami penurunan viabilitas pada suhu rendah antara -10°C-0°C. Bakteri ini sangat resisten terhadap pembekuan dan thawing dan masih hidup pada makanan yang disimpan pada suhu ≤ -20°C (ICMF, 1996). Perlakuan pemanasan dapat memperpanjang fasa lag Staphylococcus aureus (Tabel 2.). Pemanasan pada suhu 50°C selama 30 menit tidak mengubah panjang fasa lag. Namun, pemanasan pada suhu 55°C-62,5°C selama 30 menit memperpanjang fase lag 2-4 jam (Batish et al., 1990). Pada suhu 100°C terjadi waktu lag yang panjang yaitu lebih dari 20 jam dan saat pertumbuhan dimulai, kecepatannya sangat lamban.


(21)

5

Tabel 2. Pengaruh suhu terhadap waktu lag Staphylococcus aureus

Suhu (°C) Waktu lag (jam)

11 140

15 47

20 18

25 6

30 4

27 3

42 3

44 3

46 7

(Adair et al., 1989)

Staphylococcus aureus mempunyai ketahanan yang cukup tinggi pada kondisi pembekuan, pengeringan dan pemanasan (www.fooddoctors.com). Bakteri ini tahan pada lingkungan beku sampai beberapa tahun dan tahan pengeringan selama beberapa minggu. Sel vegetatif Staphylococcus aureus dapat diinaktivasi pada suhu > 46°C namum sporanya masih mampu bertahan pada pemanasan 100-120°C (Tabel 3.).

Tabel 3. Ketahanan Staphylococcus aureus terhadap pembekuan, pengeringan dan pemanasan

Ketahanan Lama daya tahan

Produk beku Bertahun-tahun

Produk kering Seminggu sampai sebulan

Ketahanan terhadap pemanasan

D50.0 (buffer fosfat 0.1 M) 9.5 – 42.2 menit

D55.0 (buffer fosfat 0.1 M) 3 menit

D62,8 (buffer fosfat 0.1 M) 0.4 – 1.1 menit

Ketahanan toxin selama pemanasan

D100 70 menit

D110 26 menit

D120 9,4 menit

(www.fooddoctors.com)

Staphylococcus aureus memerlukan komponen organik sebagai sumber nutrisinya. Nutrisi yang dibutuhkan antara lain asam amino sebagai sumber nitrogen, tiamin dan asam nikotinat sebagai sumber vitamin B. Monosodium Glutamat (MSG) berperan sebagai sumber C, N, dan sumber energi dalam kondisi pertumbuhan aerob pembentukan enterotoksin (Jay, 2000).

Staphylococcus aureus mempunyai toleransi yang tinggi terhadap telurit, merkuri klorida, neomisin, polimiksin, dan sodium azid. Staphylococcus aureus dapat dibedakan dari stapphylococci lainnya dengan melihat ketahanannya terhadap akrilflavin. Staphylococcus aureus sensitif terhadap borat dan tidak tahan terhadap novobiosin (Jay, 1996).


(22)

6

Secara umum, Staphylococcus aureus tidak kuat bersaing dengan mikroorganisme lainnya sehingga bakteri ini tidak mempunyai peran yang berarti pada bahan pangan yang tidak dimasak. Akan tetapi, dalam bahan pangan yang telah dimasak atau diasinkan, dimana mikroorganisme yang lain telah rusak selama pemanasan atau pertumbuhannya terhambat oleh konsentrasi garam, sel Staphylococcus aureus dapat terus berkembang mencapai tingkat yang membahayakan. Keracunan bahan pangan yang tercemar Staphylococcus aureus umumnya berhubungan dengan produk pangan yang telah dimasak terutama daging dan ayam (Jay, 1996).

Sumber utama kontaminasi makanan oleh Staphylococcus aureus adalah dari manusia. Kebanyakan Staphylococcus aureus terdapat pada tangan pekerja sebagai komponen mikroflora endogen, dan juga terdapat pada saluran hidung dan tenggorokan (Eley, 1992). Staphylococcus aureus juga mungkin ada di udara, debu, air, susu, pangan, peralatan pangan, dan permukaan lingkungan (USDA, 2001). Menurut Deshpande (2002), Staphylococcus aureus dapat berpindah lewat bersin, batuk, kontak jari, kontak bibir, gigitan, dan sapu tangan. Selain itu beberapa strain Staphylococcus aureus juga dapat membentuk koloni pada peralatan dan lingkungan tempat pengolahan makanan (Blackburn dan Mc Clure, 2002).

C.

KERACUNAN

Staphylococcus aureus

Istilah keracunan pangan merujuk pada tiga istilah yaitu infeksi, intoksikasi, dan toksikoinfeksi. Keracunan pangan melalui infeksi terjadi karena konsumsi pangan atau minuman yang mengandung bakteri enteropatogenik atau virus. Sel bakteri patogen masuk kedalam saluran pencernaan lalu tumbuh dan menggandakan diri kemudian mengakibatkan keracunan. Contoh mikroorganisme yang menyebabkan keracunan melalui infeksi adalah Salmonella dan virus Hepatitis A. Intoksikasikasi adalah tertelannya toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen pada pangan ke dalam saluran pencernaan. Dalam hal ini tidak diperlukan sel vegetatif selama konsumsi untuk terjadinya keracunan. Contoh mikroorganisme penyebab intoksikasi adalah Staphylococcus aureus. Toksikoinfeksi disebabkan tertelannya sel vegetatif bakteri patogen yang mengontaminasi pangan dan minuman ke dalam saluran pencernaan. Umumnya, sel bakteri bersporulasi atau mati kemudian menghasilkan toksin penyebab keracunan. Clostridium perfringens adalah salah satu contoh bakteri penyebab keracunan melalui toksikoinfeksi (Ray dan Bhunia, 2008)

Ada berbagai macam penyebab kasus keracunan pangan (Tabel 4.). Pertama, keracunan pangan disebabkan karena penggunaan suhu yang kurang cukup baik selama pemanasan, pendinginan, ataupun penyimpanan. Pemanasan dan pendinginan yang tepat bertujuan mereduksi jumlah mikroba sampai 6 siklus log, dan tidak memberikan kondisi yang mendukung untuk germinasi spora dan produksi toksin. Kedua, keracunan makanan disebabkan rendahnya praktik hygiene. Terakhir, keracunan pangan karena kontaminasi silang dari bahan mentah, pangan olahan, ataupun peralatan pengolahan pangan (Forsythe, 2000).

Keracunan pangan karena Staphylococcus aureus terjadi melalui intoksikasi. Keracunan pada manusia disebabkan oleh konsumsi enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa strain Staphylococcus aureus di dalam makanan, biasanya karena makanan tersebut tidak disimpan pada suhu yang cukup tinggi (>60°C) atau cukup dingin (<7.2°C) (Ray dan Bhunia, 2008). Kemampuan strain Staphylococcus aureus untuk tumbuh dan memproduksi enterotoksin pada kisaran kondisi lingkungan yang luas, ketahanan panas toksin, dan penanganan yang salah menjadi penyebab utama kasus keracunan pangan di berbagai dunia (Ray dan Bhunia, 2008).


(23)

7

Tabel 4. Faktor yang berkontribusi pada kasus keracunan pangan

Faktor Persentase

Faktor yang berhubungan dengan pertumbuhan mikroba

Penyimpanan makanan pada suhu ruang 43

Suhu pembekuan yang tidak tepat 32

Penyiapan makanan yang terlalu lama saat penyajian 41

Holding pada suhu panas yang tidak cukup 12

Thawing yang tidak tepat 4

Penyajian makanan dalam jumlah yang terlalu banyak 22 Faktor yang berhubungan dengan ketahanan mikroba

Pemanasan ulang yang tidak tepat 17

Pemanasan yang tidak cukup 13

Faktor yang berhubungan dengan kontaminasi

Pekerja/ karyawan 12

Kontaminasi pangan olahan nonkaleng 19

Kontaminasi bahan pangan mentah 7

Kontaminasi silang 11

Pembersihan Peralatan pengolahan yang tidak tepat 7

Sumber yang tidak aman 5

Kontaminasi makanan kaleng 2

(Forsythe, 2000)

Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan gastroenteritis. Jumlah sel yang diperlukan oleh Staphylococcus aureus untuk menghasilkan racun yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 106 CFU/g (Buckle et al., 1987; Jay, 2000). Shapton dan Shapton (1993) menyatakan bahwa populasi Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menghasilkan toksin beracun adalah 5x106 CFU/g dimana toksin yang dihasilkan bersifat tahan panas. Oleh karena itu, walaupun bakterinya sudah mati karena pemanasan kemungkinan toksinnya masih tetap dapat bertahan. Menurut Ray dan Bhunia (2008) keracunan Staphylococcus aureus disebakan karena terkonsumsinya toksin dalam jumlah 100-200 ng yang dihasilkan oleh 106-107 CFU/ml atau CFU/gr dalam 30 gr/ml makanan. USDA (2001) menyatakan bahwa jumlah toksin Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menyebabkan keracunan pangan sebesar 1,0 µg. Pada level ini dicapai jumlah bakteri sebanyak 1,0x105 CFU/gr atau CFU/ml.

Staphylococcus aureus bisa mengkontaminasi makanan yang mengandung protein tinggi. Makanan yang berhubungan dengan kontaminasi Staphylococcus aureus antara lain; produk unggas dan produk telur olahan; produk salad seperti salad tuna, salad ayam, salad kentang, dan salad makaroni; produk bakery seperti cream-filled pastries, cream pies, and chocolate eclairs; sandwich filling; susu serta produk olahan susu (USDA, 2001).

Pada tahun 1989 di Starkville, Mississippi, terjadi kasus keracunan pangan Staphylococcus aureus yang disebabkan karena konsumsi jamur kaleng (CDC, 1989). Sebanyak 22 orang mengalami gastroenteris selama beberapa jam setelah memakan makanan di cafetaria kampus. Gejala keracunan pangan meliputi mual-mual, muntah, diare, dan kejang perut.


(24)

8

Sebanyak sembilan orang korbannya dilarikan ke rumah sakit. Setelah diidentifikasi, ditemukan adanya enterotoksin A pada sampel jamur dalam omlet bar.

Ham juga terlibat pada kasus keracunan di sebuah rumah sakit di Puerto Rico. Sebanyak 25 % dokter, perawat, dan pegawai sakit setelah makan siang di rumah sakit tersebut. Ham disiapkan oleh sebuah jasa katering pada hari yang sama. Pada ham yang tersisa, muntahan pasien, serta hidung dan tenggorokan pasien ditemukan Staphylococcus aureus (Bergdoll, 1992)

Pada bulan September 1997, terjadi kasus keracunan pangan di Florida (USA) karena konsumsi ham yang terkontaminasi toksin Staphylococcus aureus (www.fooddoctors.com). Sebanyak 31 orang dari 125 orang yang mengikuti pesta mengalami keracunan. Gejala keracunan yang terlihat meliputi mual (94%), muntah (89%), diare (72%), berkeringat (61 %), menggigil (44 %), lesu (39 %), kram otot (28 %), pusing kepala (11%) dan demam (11 %). Gejala keracunan berlangsung selama 3-6 jam setelah mengkonsumsi ham dan berakhir setelah 24 jam. Ternyata, sehari sebelum pesta, sebanyak 8 kg ham mentah dan packed ham dipanggang selama 1,5 jam pada suhu 204 °C. Setelah dipanggang, ham diiris dengan slicer yang tidak bersih. Ham yang telah dipotong ditempatkan di wadah plastik yang dilapisi alumunium foil, dan disimpan selama 6 jam dalam lemari pendingin. Di hari selanjutnya ham disajikan dalam keadaan dingin. Kemungkinan ham terkontaminasi Staphylococcus aureus selama pemotongan dengan slicer.

Pada tahun 1996, di Institut Robert Koch, Wernigerode, Jerman dilaporkan terjadi kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh konsumsi Schwarzwalder Schinken (www.fooddoctors.com). Produk ham (sekurang-kurangnya pada 6 batch berbeda) diketahui terkontaminasi oleh enterotoksin Staphylococcus aureus. Investigasi lebih lanjut memberikan beberapa kesimpulan:

1. Kontaminasi terjadi karena rendahnya praktik hygiene pada area produksi;

2. Produk ham terkontaminasi Staphylococcus aureus dalam jumlah yang cukup tinggi; 3. Hampir semua isolat yang diuji menghasilkan enterotoksin;

Akhir Juni tahun 2000, konsumen minuman susu di Jepang mengalami keracunan akibat Staphylococcus aureus . Pada 30 juni 2000, sebanyak 1.152 pasien dilaporkan mengalami muntah-muntah, mual, dan diare. Pada tanggal 6 Juli jumlah pasien meningkat sampai 10.780 dan 159 diantaranya dilarikan ke rumah sakit. Setelah 7 Juli, laporan jumlah pasien mengalami peningkatan kembali menjadi 12.929 dan tanggal 11 Juli pasien mencapai 14.000 pasien. Total, sebanyak 14.555 orang dilaporkan sakit. Badan Penelitian Epidemiologi Jepang menyatakan bahwa susu dari Snow Brand Food Co Ltd, perusahaan olahan susu terbesar di Jepang, terkontaminasi enterotoksin Staphylococcus aureus. Kontaminasi terjadi karena perusahaan tersebut tidak menggunakan sistem pembersih dan disinfeksi otomatis. Staphylococcus aureus dalam jumlah besar terdeteksi di bagian pipa pengolahan. Hal ini terjadi karena pipa pengolahan tidak dibersihkan selama 3 minggu (www.fooddoctors.com).

Bulan Maret dan April tahun 2002, kasus keracunan pangan akibat Staphylococcus aureus terjadi di Australia. Kasus ini mengakibatkan sebanyak 250 orang menjadi korban. Sekitar 600 orang berpartisipasi dalam kegiatan di Imam Ali Islamic Centre, Victoria. Pada tempat tersebut disajikan makanan yang terdiri atas nasi, kentang, dan daging. Beberapa orang langsung mengkonsumsi makanan tersebut dan sebagian lainnya membawa makanannya ke rumah. Beberapa orang yang memakan makanannya di rumah mengalami keracunan. Lebih dari 100 pasien dilarikan ke rumah sakit (www.fooddoctors.com).

Beberapa penelitian tentang keberadaan Staphylococcus aureus telah dipelajari sebelumnya (Tabel 5). Harmayani et al. (1996) menyebutkan bahwa karkas ayam yang digunakan


(25)

9

untuk membuat bakso maupun sup telah tercemar Staphylococcus aureus sebesar 5,15 log CFU/gr. Hartini (2001) dan Ruslan (2003) menyelidiki keberadaan Staphylococcus aureus dalam pangan olahan industri jasa boga. Pangan yang diuji mengandung cemaran Staphylococcus aureus berkisar antara 1,74-5,81 log CFU/gr. Sari (2010) menunjukkan bahwa sampel ayam goreng, ayam kecap, ayam balado, dan ayam opor mengandung cemaran Staphylococcus aureus sebanyak 2,36-3,66 log CFU/gr.

Tabel 5. Data cemaran Staphylococcus aureus pada beberapa bahan pangan Jenis Pangan Jumlah Staphylococcus aureus (log CFU/gr)

Baksoa 1,74

Gado-gadoa 3,72

Mie Ayama 1,78

Nasi Ramesa 3,21

Siomaya 2,43

Soto Ayama 1,65

Taoge Gorenga 5,10

Gado-gadoa 5,81

Kacang panjang rebusb 5,61

Kol Rebusb 5,15

Wortel rebusb 5,23

Tauge Rebusb 4,74

Karkas Ayamc 5,15

Ayam Gorengd 2,64

Ayam Kecapd 3,22

Ayam Opord 3,66

Ayam Baladod 2,36

a

(Hartini, 2001), b (Ruslan, 2003), c (Harmayani et al., 1996), d(Sari, 2010).

D.

KETAHANAN PANAS MIKROBA

Ketahanan panas mikroba berbeda-beda satu sama lain. Faktor-faktor yang

mempengaruhi ketahanan panas mikroba meliputi, karakteristik pertumbuhan mikroba, kandungan nutrisi medium pemanas, dan jenis makanan dimana mikroba yang telah dipanaskan dibiarkan tumbuh (Fardiaz, 1992). Menurut Jay (2006) efektifitas pemanasan dalam membunuh mikroba dan spora tergantung dari banyak faktor. Beberapa faktor berkaitan dengan karakteristik bahan pangan, sedangkan yang lainnya berkaitan dengan karakteristik mikroorganisme dan proses pengolahan.

Faktor karakteristik bahan pangan berhubungan dengan nutrisi, aw (kelembaban), pH, dan zat antimikroba (alami atau ditambahkan) dalam bahan pangan. Adanya nutrisi berupa karbohidrat, protein, lemak, dan total padatan terlarut memberikan efek perlindungan terhadap mikroba. Semakin tinggi konsentrasi nutrisi berarti semakin tinggi pula ketahanan panas bakteri. Mikroba dalam makanan yang mengandung partikel berukuran kecil tersuspensi dalam cairan lebih mudah mengalami kerusakan karena panas daripada dalam makanan berbentuk padat atau


(26)

10

gumpalan. Selain itu, mikroorganisme mudah rusak jika bahan pangan memiliki pH dan aw rendah. Dalam makanan yang memiliki pH rendah, pemanasan mengakibatkan kematian mikroorganisme. Kehadiran antimikroba juga berperan sama yaitu mempercepat kematian mikroba (Jay, 2006).

Sifat mikroorganisme yang mempengaruhi ketahanan panas antara lain, jenis spesies atau strain, fase pertumbuhan, paparan panas pendahuluan, dan jumlah awal mikroba. Secara umum, sel vegetatif, yeast, kapang dan bakteri lebih sensitif panas daripada spora. Sel kapang, yeast, kebanyakan bakteri (kecuali bakteri termofilik dan termodurik), dan virus dapat dihancurkan pada suhu 65°C selama 10 menit. Hampir semua bakteri termofilik dan termodurik hancur melalui pemanasan pada suhu 75-80°C selama 5-10 menit. Spora yeast dan kapang hancur pada 65-70°C dalam beberapa menit, tetapi beberapa spora kapang dapat bertahan pada suhu setinggi 90°C selama 4-5 jam. Spora bakteri bervariasi dalam hal ketahanan panas. Umumnya pemanasan 80-85°C selama 30 menit tidak menghancurkan spora tersebut. Kebanyakan spora rusak dengan pemanasan 100°C selama 30 menit. Akan tetapi ada juga spora bakteri yang tidak rusak selama pemanasan pada suhu 100°C selama 24 jam. Semua spora mati pada pemanasan 121°C selama 15 menit (Jay, 2006).

Strain atau spesies dari mikroba yang berbeda juga memiliki sensitifitas panas berbeda. Strain A dari spesies yang sama dengan strain B tidak selalu memiliki ketahanan panas yang sama. Dalam hal fase pertumbuhan, mikroba dalam fase eksponensial lebih mudah direduksi dengan pamanasan daripada mikroba pada fase stasioner. Jumlah awal mikroba yang lebih tinggi membutuhkan waktu pemanasan yang lebih lama untuk menghancurkannya (Jay, 2006).

Paparan panas pendahuluan mempengaruhi sensitifitas panas mikroba. Sel yang mendapat paparan panas pendahuluan pada suhu rendah menjadi lebih tahan panas pada pemanasan pada suhu yang lebih tinggi. Sebagai contoh, pemanasan 45-50°C selama waktu yang singkat dimana volume makanan sangat banyak dapat menginduksi sintesis heat shock protein. Keberadaan protein ini mengakibatkan sel mikroba dapat berkembang menjadi lebih resisten pada pemanasan selanjutnya pada suhu yang lebih tinggi (Jay, 2006).

E.

MEKANISME ADAPTASI MIKROBA TERHADAP STRESS

Lingkungan yang kurang mendukung pertumbuhan bakteri, menyebabkan bakteri memproduksi shock protein atau stress protein. Beberapa shock protein bersifat spesifik dan yang lainnya bersifat nonspesifik. Shock protein yang bersifat spesifik diekspresikan ketika mendapatkan satu faktor tekanan dari luar sedangkan shock protein nonspesifik dilepaskan ketika melawan lebih dari satu faktor gangguan. Shock protein ini memberikan perlindungan pada struktur bakteri seperti DNA, dan beberapa enzim penting. Sintesis shock protein dalam jumlah besar diinduksi oleh kondisi lingkungan yang kurang mendukung untuk pertumbuhan. Namun, bila bakteri berada pada lingkungan yang mendukung untuk tumbuh, protein tersebut dihasilkan dalam jumlah sedikit (Ray dan Bhunia, 2008).

Ekspresi gen yang berhubungan dengan stress dari luar diinisiasi oleh polipeptida

spesifik atau faktor sigma (σ) yang disintesin oleh genspesifik. Gen tersebut antara lain σB

atau

σ37

(dikode oleh gen B) yang membantu ketika bakteri gram positif mengalami tekanan yang

bersifat general (nonspesifik), σ32(disandi oleh gen rpoH) dan σ24

(disandi oleh gen rpoE) yang berperan ketika bakteri gram positif mendapatkan gangguan pemanasan. Gen σ38 (disandi oleh gen rpoS) berperan ketika bakteri negatif mengalami tekanan yang bersifat general (nonspesifik). Mekanisme adaptasinya dimulai ketika bakteri mendapatkan tekanan dari luar. Di bawah kondisi stress rpoH menjadi aktif untuk mensintesis RpoH atau protein σ32 dalam jumlah


(27)

11

banyak. Sigma faktor ini (regulon) kemudian bergabung dengan core RNA polimerase (terdiri

atas 4 subunit αα1

ßß1) membentuk enzim RNA polimerase atau holoenzim. Holoenzim ini kemudian mengikat promoter dari gen heat-shock dan terjadilah sintesis protein heat-shock. Heat shock protein inilah yang melindungi unit fungsinal dan struktural bakteri dari tekanan sel akibat panas (Ray dan Bhunia, 2008). Holoenzim juga dapat melawan stress karena faktor lain seperti pendinginan, pH rendah, etanol, dan UV (Moat dan Foster, 1988). Mekanisme pembentukan heat shock protein disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme pembentukan heat shock protein (Ray dan Bhunia, 2008)

F.

PARAMETER INAKTIVASI MIKROBA

1. Nilai D

Apabila suspensi mikroba dipanaskan pada suhu konstan, maka penurunan jumlah mikroba akan mengikuti reaksi ordo pertama. Penurunan jumlah mikroba megikuti pola logaritmik sebagai fungsi dari waktu (Toledo, 1991). Pada suhu tertentu, laju inaktivasi mikroba selama waktu pemanasan pada suhu tertentu dapat dinyatakan sebagai berikut:

dN/dT = - kN (1) Apabila persamaan (1) diintegrasikan, maka diperoleh persamaan (2) berikut:

Ln (N/ N0) = -kt (2)

dimana N adalah jumlah mikroba sisa yang masih hidup setelah waktu pemanasan t, N0 adalah jumlah awal mikroba, t adalah waktu pemanasan (menit), D adalah waktu penurunan desimal (menit), dan nilai k adalah laju reaksi.

Persamaan (2) menunjukkan plot kurva semilogaritma dari N terhadap t. Persamaan tersebut dapat diubah menjadi lebih sederhana (persamaan 3):

2,303 log (N/ N0) = -kt atau log (N/ N0) = -kt/2,303 (3)

Heat shock protein

Heat shock gene family Regulon

Gen σ38

RNA Poly (Core)

RNA Poly (Holo)

Promoter


(28)

12

Nilai slope 2,303/k sering dinyatakan dengan nilai D, sehingga:

log (N/ N0) = -t/D (4)

Nilai D adalah waktu dalam menit dimana populasi mikroba tertentu (spora/sel) pada pemanasan dengan suhu tertentu direduksi 90% atau sebesar satu siklus log (Jay, 1996). Oleh karena itu, waktu atau dosis yang dibutuhkan untuk mereduksi 1000 sel mikroba menjadi 100 sel adalah nilai D. Semakin besar nilai D pada suhu tertentu maka semakin tinggi pula ketahanan panas mikroba tersebut pada suhu tertentu. Nilai D dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu maka nilai D semakin kecil. Artinya, semakin tinggi suhu pemanasan, maka waktu yang diperlukan untuk menginaktivasi mikroba akan semakin pendek. Gambar 3. memperlihatkan kurva hubungan antara jumlah mikroba (sumbu Y) dan waktu pada suhu pemanasan tertentu (sumbu X). Kurva ini sering disebut dengan kurva semi-logaritma ketahanan panas mikroba. Kurva ini berbentuk linier dengan nilai slopenya adalah -1/D.

Gambar 3. Kurva penurunan logaritma jumlah mikroba terhadap pemanasan (Cowan dan Talaro, 2009)

2. NILAI Z

Nilai D dari setiap mikroba memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap perubahan suhu. Sensitivitas nilai D terhadap suhu sering dinyatakan dengan nilai Z, yaitu perubahan suhu yang diperlukan untuk merubah nilai D sebesar 90% atau 1 siklus (Toledo, 1991).Gambar 4. menunjukkan kurva semilogaritma hubungan nilai D dengan suhu. Nilai Z diperoleh dari kebalikan nilai slope kurva.

Kurva semilogaritma yang menghubugkan suhu (sumbu X) dan nilai D (sumbu Y) akan menghasilkan slope berupa -1/Z. Nilai Z secara matematis dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:

Log (D/DT) = -(T-Tref)/ Z (5)

atau DT = D0. 10T-Tref/ Z

Log jumlah mikroba awal N0


(29)

13

dimana DT adalah nilai D pada suhu tertentu, Do adalah nilai D pada suhu standar, T adalah suhu pemanasan (0C atau 0F) dan Tref adalah suhu standar yang digunakan untuk D0.

Gambar 4. Kurva nilai Z (Toledo, 1991)

G.

KETAHANAN PANAS

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri mesofilik nonspora dan beberapa galurnya bersifat tahan panas. Ketahanan panas lebih tinggi terutama pada pangan dengan aktivitas air tinggi (Stewart, 2003). Jika dibandingkan dengan bakteri lainnya Staphylococcus aureus memiliki ketahanan panas yang cukup tinggi pada suhu 62,8 °C. Staphylococcus aureus lebih tahan terhadap pemanasan pada heating menstruum susu dengan suhu 62,8 °C jika dibandingkan dengan bakteri nonspora lainnya seperti, E. coli, Campylobacter jejuni, S. faecalis, dan Lactobacillus lactis. Akan tetapi, Staphylococcus aureus tidak lebih tahan panas dibandingkan dengan spora bakteri seperti spora Bacillus cereus, dan Clostridium. botulinum (Tabel 6.)

Thomas et al. (1966) meneliti ketahanan panas dua isolat Staphylococcus aureus yaitu isolat MS 149 dan isolat 196E dengan heating menstruum susu skim yang telah dipasteurisasi. Perlakuan panas yang diberikan berkisar antara 60-68,3°C dengan jumlah mikroba awal 1,0x107-1,0x108 CFU/ml. Dari penelitian ini diketahui bahwa Staphylococcus aureus MS 149 memiliki D60 sebesar 3,28 menit dan D65,6 sebesar 0,39 menit. Nilai Z yang dihasilkan sebesar 6,04°C. Sedangkan Staphylococcus aureus 196E mempunyai D60 sebesar 3,44 menit dan D65,6 sebesar 0,28 menit. Nilai Z yang diperoleh sebesar 5,10°C. Dari percobaan ini, diketahhui bahwa bakteri ini bisa direduksi dengan pasteurisasi pada suhu 63°C selama 15 menit.

Walker dan Harmon (1966) juga menyelidiki ketahanan panas strain Staphylococcus aureus pada susu murni, susu skim, whey keju ceddar, dan fosfat buffer. Strain yang diujikan dalam penelitian ini meliputi isolat 161-C, S-1, B-120, dan S-18. Isolat B-120, dan S-18 hanya diujikan pada heating menstruum fosfat dan susu murni. Suhu perlakuan dalam percobaan berkisar antara 52-62°C. Nilai D hasil percobaan Walker dan Harmon berkisar antara 0,20-3,50 menit untuk isolat 161-C. Kisaran D-value untuk isolat S-1, B-120, dan S-18 berturut-turut sebesar 0,15-3,0 menit, 0,40-1,50 menit, dan 0,50-2,55 menit. Dari Tabel 8. terlihat bahwa ketahanan panas isolat yang diuji lebih tinggi pada heating menstruum whey keju cedar dan susu skim dibandingkan dengan menstruum buffer fosfat dan susu murni.


(30)

14

Tabel 6. Ketahanan panas beberapa bakteri pada suhu 62,8°C dan nilai Z beberapa bakteri

pada heating menstruum berbeda

Mikroorganisme Heating Menstruum D62,8

(menit) Nilai Z (°C) Psycotroph

Listeria monocynogenes Susu 0,215 6,6

Listeria monocynogenes Susu skim 1,82 6,5

Yersinia enterocolitica Susu 0,01-0,3 -

Pseudomonas fragi Susu 0,45 10-12

Pseudomonas fragi Susu skim 0,50 10-12

Bakteri nonspora

Salmonella (6 spp.) Susu 1,5-4,5 4,0-5,2

Salmonella (2 spp.) Susu cokelat 1100-1950 18-19

Staphylococcus aureus Susu 7-30 5,0-5,2

Campylobacter jejuni Susu 0,05-0,08 6-8

Eschericia coli Susu skim 0,13 4,6

Streptococcus faecalis Susu skim 2,6 -

Lactobacillus lactis Whey, pH 4,6 0,32 7,3

Bakteri pembentuk spora

Spora Bacillus cereus Susu 49694 9,4-9,7

Spora tipe A C. botulinum Buffer fosfat pH 7,0 60441 7-12 Spora tipe B C. botulinum Buffer fosfat pH 7,0

785947-2161355 7-8 (Walstra et al., 1999)

Eden et al. (1977) mempelajari ketahanan panas strain Staphylococcus aureus yang diisolasi dari susu mentah dengan metode tabung kapiler. Heating menstruum yang digunakan adalah susu skim dengan jumlah mikroba awal 1,0x109 CFU/ml. Pemanasan dilakukan pada kisaran suhu 50-75oC. Nilai Z Staphylococcus aureus sebesar 9.4oC. Nilai D yang dihasilkan dari percobaan Eden et al. (1977) berkisar antara 0,02-9,96 menit.

Ketahanan Staphylococcus aureus dalam susu kambing dipelajari oleh Parente dan Mazzatura (1991). Dalam percobaan ini digunakan isolat BP3 dan isolat 237. Metode percobaan menggunakan metode tabung kapiler dengan jumlah mikroba awal >1,0x109 CFU/ml. Suhu yang digunakan berkisar antara 55-68 oC. Nilai D isolat BP3 berkisar antara 0,03-3,30 menit sedangkan isolat 237 memiliki D-value sekitar 0,01-10,60 menit. Nilai Z sebesar 4,83±0,06 untuk isolat BP3 dan 4,50±0,05 untuk isolat 237.

El-Banna et al. (1983) menunjukkan bahwa strain Staphylococcus aureus yang tumbuh di bawah kondisi stress memilki ketahanan panas lebih tinggi dibandingkan dengan yang tumbuh pada lingkungan yang mendukung pertumbuhannya. Nilai D kultur Staphylococcus aureus yang tumbuh pada suhu 37oC memiliki D60 sebesar 2.73 menit, sebaliknya yang tumbuh pada suhu 45 oC memiliki D60 sebesar 12,6 menit.

Kennedy et al. (2005) selanjutnya menyelidi tentang ketahanan panas Staphylococcus aureus yang diisolasi dari refrigerator. Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui


(31)

15

pengaruh pembekuan terhadap ketahanan panas Staphylococcus aureus. Isolat Staphylococcus aureus positif koagulase diujikan pada media pemanas TSB kemudian dicawankan pada media Baird Parker Agar (BPA), dan media campuran antara Tryptose Soy Agar (TSA) dengan media BPA. Dua perlakuan diujikan pada isolat. Perlakuan pertama, isolat diuji ketahanan panasnya secara langsung. Perlakuan kedua, isolat terlebih dahulu diberi perlakuan pendinginan kemudian dipanaskan. Hasil dari dua perlakuan kemudian dibandingkan untuk mengetahuai pengaruh perlakuan pendinginan awal terhadap ketahanan panas. Berdasarkan percobaan Kennedy diperoleh ksimpulan bahwa perlakuan pembekuan pendahuluan tidak menghasilkan nilai yang berbeda secara signifikan. Tabel 7. menyajikan Nilai D beberapa isolat Staphylococcus aureus pada berbagai heating menstruum yang berbeda.


(32)

16

Tabel 7. Nilai D beberapa isolat Staphylococcus aureus pada berbagai heating menstruum yang berbeda

a

(Thomas et al., 1966), b (Walker dan Harmon, 1966), c(Eden et al., 1977), d(Parente dan Mazzatura, 1991), e (Kennedy et al., 2005)

Isolat Medium

pemanas

Nilai D (menit) Nilai Z

(°C)

50 52 53 54 55 56 57 58 59 60 62 63 65 65,6 68 70 75

MS 149a susu skim - - - 3,28 - - - 0,39 - - - 6,04

196Ea susu skim - - - - - - - - - 3,44 - - - 0,28 - - - 5,10

161-Cb

Fosfat bufer - - - 1,80 1,20 0,6 - - - 4,19

Susu murni - - - 1,85 - 0,75 0,35 - - - 5.53

Susu Skim - - - 3,50 - 1,30 0,20 - - - 5,99

Whey keju

cheddar - - - 2,70 - 1,33 0,75 - - - 7,19

S-1b

Fosfat bufer - 2,70 2,10 1,55 1,12 0,6 0,15 - - - 4,35

Susu murni - - 1,40 - 1,25 - 0,55 - - - 9,9

Susu Skim - - 2,90 - 1,55 - 0,70 - - - 6,49

Whey keju

cheddar - - 3,00 - 1,75 - 0,75 - - - 6,64

B-120b Fosfat bufer - - 1,50 - 1,00 - 0,40 - - - 6,97

Susu murni - - 1,00 - 0,70 - 0,40 - - - 10,10

S-18b Fosfat bufer - - - 2,55 - 1,75 1,00 0,43 - - - 5,41

Susu murni - - - 1,60 1,25 0,50 - - - 3,95

Firstenbeg-Edenc Susu skim 9,96 - - - 3,11 - - - - 0,87 - - - - 0,17 0,10 0,02 9.4

BP3d Susu

kambing - - - - 3,30 - - - - 0,36 - 0,07 0,03 - - - - 4,83

237d Susu

kambing - - - - 10,6 - - - - 0,67 - 0,15 0,05 - 0,01 - - 4,50

Campurane1 TSB 94,3 - - - 13,0 - - - - 4,8 - - - - - - - 7,7


(33)

17

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain media penyegaran mikroba, media pertumbuhan, media pemupukan mikroba, pengencer, medium pemanas, dan bahan pewarnaan gram. Media penyegaran dan medium pemanas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Trypticase Soya Broth (TSB). Agar miring Tryptose Soya Agar (TSA (Oxoid)) sebagai media pertumbuhan, pemupukan bakteri Staphylococcus aureus menggunakan media Baird Parker Agar (BPA (Difco)) dan egg yolk tellurite. Untuk media pengeceran, digunakan Butterfield’sPhosphate Buffered (BPB). Pembuatan pengencer Butterfield’sPhosphate Buffered (BPB) dapat dilihat pada Lampiran 4. Pewarnaan gram menggunakan kristal violet, lugol, alkohol 96 % dan safranin. Isolat yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat asal ayam suwir, nasi uduk dan isolat klinis ATCC 25923 yang diisolasi dari orang sakit. Kesemua isolat merupakan koleksi Laboratorium SEAFAST CENTER IPB. Digunakan tiga isolat Staphylococcus aureus asal ayam suwir hasil isolasi (Dwintasari, 2010), tiga isolat Staphylococcus aureus asal nasi uduk dan dua isolat Staphylococcus aureus jari tangan yang diiolasi oleh (Apriyadi, 2010) (Tabel 8.). Bahan lain yang digunakan adalah air destilata, dan alkohol 70%.

Tabel 8. Isolat Staphylococcus aureus yang digunakan dalam pemilahan galur cepat

No. Kode Isolat Sumber

1. AS2 Ayam Suwir

2. AS3 Ayam Suwir

3. AS4 Ayam Suwir

4. NU1 Nasi Uduk

5. NU2 Nasi Uduk

6. NU3 Nasi Uduk

7. J1 Jari Tangan

8. J2 Jari Tangan

2. Alat

Peralatan yang digunakan meliputi waterbath shaker (penangas air), erlenmeyer (pyrex), termometer, inkubator 35°C, refrigerator, vorteks, neraca analitik, keranjang alat, tabung reaksi bertutup, rak tabung, mikropipet, magnetik stirer, botol semprot, bunsen, gelas piala, labu takar, cawan, jarum ose, sendok, sudip, pengaduk gelas, aluminium foil, dan sarung tangan.


(34)

18

B.

TAHAPAN PENELITIAN

Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap yaitu tahap pemilahan cepat isolat Staphylococcus aureus, studi ketahanan panas isolat Staphylococcus aureus hasil pemilahan cepat isolat, dan tahap evaluasi kecukupan termal proses pemasakan pada warung siap santap di Desa Babakan Raya. Tahapan pemilahan cepat bertujuan menyeleksi isolat lokal Staphylococcus aureus yang mengalami penurunan jumlah koloni mendekati 2 siklus log setelah pemanasan pada suhu 540C selama 35 menit. Pada tahap ini akan dipilih maksimal satu isolat untuk masing-masing isolat dari sumber yang sama. Studi ketahanan panas isolat Staphylococcus aureus hasil pemilahan cepat dilakukan untuk menentukan parameter ketahanan panas yaitu nilai D dan nilai Z. Tahap evaluasi kecukupan proses termal bertujuan untuk menilai keefektifan proses pemasakan dalam mereduksi jumlah mikroba. Secara garis besar, skema penelitian ketahanan panas Staphylococcus aureus disajikan dalam (Gambar 5).

Gambar 5. Skema penelitian ketahanan panas isolat lokal Staphylococcus aureus

1. Pemilahan Cepat Isolat Lokal Staphylococcus aureus

Pemilahan cepat isolat lokal Staphylococcus aureus bertujuan menyeleksi isolat Staphylococcus aureus yang paling tahan panas yang selanjutnya digunakan dalam uji ketahanan panas. Pemilahan galur cepat dilakukan berdasarkan prisnsip pengujian ketahanan panas Stumbo Murphy, yaitu pencawanan bakteri sebelum dan setelah pemanasan pada interval waktu tertentu. Suhu pemanasan 54 °C selama 35 menit dipilih dalam tahapan ini. Pemilihan suhu ini berdasarkan percobaan ketahanan panas isolat S-18 (Walker dan Harmon,1966). Penelitian tersebut menghasilkan persamaan kurva nilai Z, Y= 14,90-0,253X dengan nilai Z sebesar 3,95. Staphylococcus aureus pada medium TSB memiliki nilai D sebesar 17,5 menit pada suhu 54 °C, sehingga jika dilakukan pemanasan

Pemilahan Cepat Isolat Staphylococcus aureus 1. Persiapan inokulum

2. Persiapan heating menstruum

3. Uji Ketahanan Panas untuk Pemilahan Cepat Isolat Staphylococcus aureus

Studi Ketahanan Panas Isolat Staphylococcus aureus Hasil Pemilahan Cepat Isolat

1. Persiapan inokulum

2. Persiapan heating menstruum

3. Uji Ketahanan Panas Hasil Pemilahan Cepat Isolat Staphylococcus aureus pada 53, 54, 55, dan 56°C

Evaluasi Kecukupan Termal Proses Pemasakan pada Warung Siap Santap di Desa Babakan Raya

1. Survei suhu dan waktu pemasakan pada warung siap santap

2. Penentuan kecukupan termal proses pemasakan pada warung siap santap di Desa Babakan Raya


(35)

19

selama 35 menit diharapkan telah terjadi penurunan jumlah koloni sebesar dua siklus log, penurunan ini terjadi pada waktu yang tidak terlalu singkat jika dibandingkan dengan suhu percobaan lainnya dan telah mampu menurunkan jumlah mikroba secara signifikan, sehingga suhu inilah yang dipilih untuk tahapan pemilahan cepat isolat.

a. Persiapan Inokulum

Bakteri uji yang akan diinokulasikan ke dalam sampel harus dalam kondisi fase log akhir. Inokulasi dilakukan pada kultur yang telah mencapai fase log akhir (stasioner) sebab menurut Jay (2006); Fardiaz (1992); dan Ray dan Bhunia (2008) sel yang berada pada fase log akhir (stasioner) lebih resisten terhadap berbagai jenis stress. Berdasarkan kurva pertumbuhan Dwintasari (2010) fase log akhir Staphylococcus aureus diperoleh dengan cara memindahkan kultur dari agar miring TSA dengan ose ke dalam 9 ml TSB kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35°C. Pada fase log akhir ini jumlah bakteri Staphylococcus aureus diperkirakan (ca) 1,0x108 -1,0x109 CFU/ml (Dwintasari, 2010). Jika akan digunakan kembali, kultur awetan pada TSA dipindahkan dengan ose ke dalam 9 ml TSB lalu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35°C. Suspensi kultur ini juga digoreskan pada agar miring TSA sebagai stok. Setelah diinkubasi, suspensi yang dihasilkan diencerkan dengan mengambil 1 ml susupensi kultur kemudian dimasukkan ke dalam 9 ml Trypticase Soya Broth (TSB) yang telah dipanaskan dalam waterbath sesuai dengan perlakuan.

b. Persiapan Heating Menstruum (Tryptose Soy Broth)

Pembuatan heating menstruum (Tryptose Soy Broth) sesuai dengan petunjuk yang tertera pada wadah bahan. Sebanyak 9 ml media TSB selanjutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer 50 ml. TSB yang telah dibuat kemudian disterilisasi pada suhu 121°C selama 15 menit.

c. Uji Ketahanan Panas untuk Pemilahan Cepat Galur Isolat Staphylococcus aureus

Waterbath shaker diatur sampai suhu dalam heating menstruum TSB mencapai 54°C. Untuk mengetahui suhu heating menstruum digunakan termometer yang ditempatkan pada medium pemanas kontrol. Suspensi kultur yang telah mencapai fase log akhir kemudian dimasukkan ke dalam 9 ml heating menstruum TSB. Pada fase log akhir ini jumlah bakteri Staphylococcus aureus diperkirakan (ca) 1,0x108-1,0x109 CFU/ml. Mikroba awal yang digunakan untuk pemanasan adalah diperkirakan (ca) 1,0x107-1,0x108 CFU/ml. Suhu ini dipertahankan sampai 35 menit. Setelah pemanasan selesai dilakukan pendinginan pada air mengalir untuk mencegah terjadinya pemanasan lanjutan. Selanjutnya dilakukan pengenceran dari 10-2-10-4 kemudian dilakukan pencawanan pada media agar TSA (Tryptose Soy Agar). Inkubasi dilakukan selama 48 jam pada suhu 35 °C. Pengenceran dan pencawanan juga dilakukan untuk suspensi pada fase log akhir untuk menentukan jumlah awal mikroba.Perhitungan jumlah koloni dilakukan untuk melihat beberapa isolat yang dapat bertahan dalam jumlah paling signifikan setelah perlakuan pemanasan. Isolat Staphylococcus aureus terpilih akan digunakan dalam uji utama ketahanan panas.


(36)

20

2. Studi ketahanan Panas Isolat Staphylococcus aureus Hasil Pemilahan Cepat Isolat a. Uji Ketahanan Panas

Erlenmeyer yang digunakan berjumlah enam buah untuk uji ketahanan panas. Satu erlenmeyer digunakan sebagai kontrol yang didalamnya ditempatkan sebuah termometer 1000C, dan lima erlenmeyer lainnya untuk uji ketahanan panas. Suhu 53, 54, 55, dan 56°C akan diujikan pada ketiga isolat Staphylococcus aureus yang telah lolos tahap pemilahan cepat isolat. Masing-masing erlenmeyer berisi 9 ml Trypticase Soya Broth (TSB) dipanaskan dalam waterbath shaker sesuai dengan suhu perlakuan. Setelah suhu perlakuan tercapai diinokulasikan 1 ml suspensi Staphylococcus aureus, kecuali satu erlenmeyer yang dijadikan sebagai kontrol suhu waterbath shaker. Tercapainya suhu perlakuan dapat dilihat dari erlenmeyer kontrol. Suspensi awal dalam heating menstruum diperkirakan (ca) 1,0x107 -1,0x108 CFU/ml. Selanjutnya keenam erlenmeyer dipanaskan kembali dalam waterbath shaker kemudian dilakukan holding pada suhu tersebut hingga interval waktu pencawanan 5, 7, 10, dan 15 menit. Setelah pemanasan mencapai waktu tersebut dilakukan pengenceran dari 10-2-10-6 kemudian dilakukan pencawanan pada media agar BPA (Baird-Parker Agar) + egg yolk tellurit. Inkubasi dilakukan selama 48 jam pada suhu 35°C. Pengenceran dan pencawanan juga dilakukan untuk suspensi kultur pada fase log akhir untuk menentukan jumlah awal mikroba

b. Pengamatan dan Hitungan Cawan

Menurut (Tatini et al., 1984) dan Bennett (1984b), koloni Staphylococcus aureus pada media Baird Parker Agar (BPA) yang ditambahkan dengan egg yolk tellurite berbentuk bulat, licin dan halus, cembung, lembab, berdiameter 2-3 mm, berwarna abu-abu hingga hitam pekat, dikelilingi batas berwarna terang, serta dikelilingi zona keruh dengan batas luar berupa zona jernih (Gambar 6.). Konsistensi koloni seperti mentega jika disentuh dengan ose. Cawan yang mengandung 25-250 koloni dipilih untuk perhitungan.

Gambar 6. Koloni Staphylococcus aureus pada media BPA (Atlas, 2010) Koloni Staphylococcus aureus yang tumbuh pada BPA+ egg yolk tellurite dihitung dan dikalkulasikan dengan rumus Standard Plate Count:


(37)

21

N = E C

[(1*n1) + (0,1* n1) + ...] * (d)

Dimana N = Jumlah koloni per ml atau per gr produk E C = Jumlah semua koloni yang dihitung n1 = Jumlah cawan pada pengenceran pertama n2 = Jumlah cawan pada pengenceran kedua d = Pengenceran pertama yang dihitung

c. Penghitungan

Penghitungan jumlah bakteri dilakukan setelah inkubasi bakteri selama 48 jam pada suhu 350 C. Jumlah bakteri dinyatakan dalam CFU/ml. Penghitungan Nilai D dilakukan dengan memplotkan grafik pertumbuhan bakteri dimana kurva Y menyatakan jumlah koloni yang hidup (log CFU) dan kurva X menyatakan selang waktu setelah pemanasan. Dari kedua data ini dibuat kurva kecepatan kematian Staphylococcus aureus pada empat suhu berbeda (53, 54, 55, dan 56°C) lalu dilakukan perhitungan nilai D atau waktu reduksi desimal, yaitu waktu pemanasan pada suhu tertentu yang menyebabkan kematian sel sebanyak 90 persen (Fardiaz , 1992). Nilai D untuk masing-masing suhu diperoleh dari persamaan D = -1/slope. Berdasarkan nilai D pada suhu percobaan dibuat kurva thermal death time (TDT) yang menunjukkan hubungan antara nilai D (dalam menit) pada skala logaritmik dengan suhu (°C). Penentuan nilai Z diperoleh dari kurva ini, yaitu interval suhu dalam °C yang dibutuhkan oleh kurva TDT untuk melewati satu siklus log atau sebesar sepersepuluh kalinya (Fardiaz , 1992).

3. Evaluasi Kecukupan Termal Proses Pemasakan pada Warung Siap Santap di Desa Babakan Raya

a. Survei Suhu dan Waktu Pemasakan pada Warung Siap Santap

Survei dilakukan di Desa Babakan Raya, Darmaga, Bogor. Survei ini mencakup responden sebanyak 16. Responden merupakan penjual makanan siap santap pada warung pangan siap saji. Jenis makanan yang diukur suhunya ditentukan berdasarkan makanan yang dimasak pada saat dilakukan suvei. Survei dilakukan dengan cara mengukur suhu pemasakan selama kurang lebih 8 menit dengan menggunkan termometer 1100C dan termometer 2100C. Termometer dimasukkan ke dalam bahan pangan yang dimasak sampai kedalaman 0,5-1 cm. Survei juga dilakukan pada penjual/pemilik warung untuk mengkonfirmasi lama pemasakan. Data kombinasi waktu dan lama pemasakan ini akan digunakan untuk mengevaluasi kecukupan termal proses pemasakan

b. Penentuan kecukupan termal proses pemasakan pada warung siap santap di Desa Babakan Raya

Keefektifan proses pemanasan diperoleh dengan cara mengekstrapolasi persamaan nilai Z yang didapatkan dari uji ketahanan panas isolat Staphylococcus aureus untuk mendapatkan nilai DT (nilai D pada suhu pemasakan) yang diperoleh


(38)

22

dari hasil survei. Persamaan nilai Z, Y = aX + b, dimana sumbu Y menyatakan log nilai D dan sumbu X menyatakan suhu pemanasan. Penurunan jumlah log Staphylococcus aureus setelah pemasakan dihitung dengan menggunakan rumus (log N0/Nt)= tT/DT. Simbol tT menunjukkan lama pemasakan dan DT menunjukkan nilai D mikroba pada suhu pemasakan. Penghitungan kecukupan termal proses pemasakan yang diperoleh dari hasil survei dilakukan dengan mengasumsikan bahwa jumlah awal Staphylococcus aureus pada bahan pangan sebesar 103 CFU/gr. Peluang kontaminasi Staphylococcus aureus pada bahan pangan diketahui dari jumlah Staphylococcus aureus setelah pemasakan (Nt). Menurut BPOM (2004) batas maksimum cemaran mikroba dalam produk pangan adalah sebesar 0-5x103 CFU/gr. Proses pemasakan dianggap cukup efektif jika setelah pemasakan jumlah Staphylococcus aureus (Nt) mampu direduksi sampai level 0-5x103 CFU/gr.


(39)

23

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PEMILAHAN CEPAT ISOLAT LOKAL

Staphylococcus aureus

Pemilahan cepat isolat ditujukan untuk menyeleksi isolat Staphylococcus aureus yang mengalami penurunan mendekati dua siklus log pada pemanasan suhu 540C selama 35 menit. Penurunan jumlah mikroba > 2 sikus log mengindikasikan bahwa isolat yang diujikan tidak cukup tahan panas. Berdasarkan hasil percobaan, terlihat bahwa jumlah mikroba pada fase log akhir berkisar antara 1,2x108- 1,5x109 CFU/ml. Jadi, jumlah mikroba awal pada menstruum pemanas berkisar antara 1,2x107- 1,5x108 CFU/ml karena telah mengalami pengenceran 10-1. Kedelapan isolat Staphylococcus aureus yang diuji dengan pemanasan pada suhu 54°C selama 35 menit mengalami penurunan log jumlah mikroba (Gambar 7.)

Gambar 7. Penurunan jumlah Staphylococcus aureus (log CFU/ml) setelah pemanasan 54°C selama 35 menit

Penurunan logaritma jumlah bakteri berbanding terbalik dengan ketahanan panasnya. Semakin kecil penurunan logaritma jumlah bakteri berarti semakin tinggi ketahanan panas bakteri. Terlihat bahwa penurunan log mikroba masing-masing kelompok isolat Staphylococcus aureus hampir seragam kecuali pada isolat asal nasi uduk. Isolat Staphylococcus aureus asal ayam suwir dan jari tangan mengalami penurunan log berturut-turut sekitar dua siklus log dan empat siklus log setelah pemanasan. Penurunan siklus log untuk isolat asal nasi uduk lebih bervariasi berkisar antara 2-4 siklus log. Isolat ayam suwir AS2 relatif lebih tahan panas dibandingkan dengan isolat lainnya. Isolat NU3 lebih tahan terhadap pemanasan dibandingkan dengan isolat NU1 dan NU2. Penurunan log NU3 sebesar 2,61 siklus log. Isolat dari jari tangan pekerja menunjukkan penurunan siklus log yang cukup besar yaitu 3,88 siklus log untuk J1 dan 4,22 siklus log untuk J2. Jadi, isolat dari jari tangan lebih rentan terhadap pemanasan.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus akan mengalami penurunan log jika dipanaskan pada suhu 540C selama 35 menit (Tabel 9).


(40)

24

Namun, penelitian tersebut menggunkan heating menstruum yang berbeda seperti susu skim, susu murni, buffer fosfat, whey keju cheddar dan susu kambing. Beberapa isolat mengalami penurunan jumlah mikroba yang cukup ekstrim > 6 siklus log seperti pada isolat S-1, B-120, BP3, dan isolat hasil penelitian Eden et al. (1973). Namun beberapa isolat lainnya mengalami penurunan jumlah mikroba < 3 siklus misalnya pada isolat MS 149, 196E, 161-C, S-18, 237, dan isolat Staphylococcus aureus campuran.

Tabel 9. Penurunan logaritma beberapa isolat Staphylococcus aureus pada heating menstruum berbeda

a

(Thomas et al., 1966), b(Walker dan Harmon, 1966), c(Eden et al., 1977), d(Parented dan Mazzatura, 1991), e(Kennedy et al., 2005)

Penurunan logaritma untuk kedelapan isolat hasil penelitian berkisar antara 2-4 siklus log. Menurut Jay (2006) selama pemanasan sel mikroba dan spora bakteri dapat mengalami heat shock, injured subletal, atau kematian. Heat shock adalah penurunan daya Isolat Staphylococcus

aureus

Heating Menstruum

D54 (menit)

Penurunan log pada pemanasan 54°C

selama 35 menit

AS2 TSB 19,52 1,84

NU3 TSB 13,40 2,61

MS 149a susu skim 32,3 1,08

196Ea susu skim 51,65 0,68

161-Cb

Fosfat bufer 16,22 2,16

Susu murni 9,78 3,58

Susu Skim 16,28 2,15

Whey keju

cheddar 9,72 3,60

S-1b

Fosfat bufer 1,55 22,58

Susu murni -

Susu Skim 2,03 17,24

Whey keju

cheddar 2,12 16,51

B-120b Fosfat bufer 1,08 32,4

Susu murni 0,80 43,75

S-18b Fosfat bufer 5,97 5,86

Susu murni 16,47 2,12

Firstenbeg-Edenc Susu skim 3,73 9,38

BP3d Susu

kambing 5,3 6,6

237d Susu

kambing 17,68 2,03

Campurane1 TSB 28,51 1,26


(1)

54

Enumerasi koloni terduga Staphylococcus aureus ATCC 25923 (Ulangan 1)

Suhu (0C) Waktu (menit) Pengenceran ∑ mikroba

(CFU/ml)

53

0 10

-5

10-6 10-7

1,2x108

TBUD/TBUD 110/120 12/15

15 10

-4

10-5 10-6

9,2x106

TBUD/TBUD 90/93 3/12

30 10

-4

10-5 10-6

3,8x106

TBUD/TBUD 38/10 2/3

45 10

-3

10-4 10-5

4,0x105

TBUD/TBUD 54/26 9/9

60 10

-3

10-4 10-5

2,7x105

TBUD/TBUD 20/27 0/3

75 10

-2

10-3 10-4

3,2x104

TBUD/TBUD 25/39 3/9

54

0 10

-5

10-6 10-7

1,3x108

TBUD/TBUD 129/125 13/14

10 10

-4

10-5 10-6

1,4x107

TBUD/TBUD 143/142 10/13

20 10

-4

10-5 10-6

5,4x106

TBUD/TBUD 58/50 5/6

30 10

-3

10-4 10-5

1,5x106

TBUD/TBUD 138/171 12/13

40 10

-3

10-4 10-5

3,2x105

TBUD/TBUD 25/38 1/2

50 10

-2

10-3 10-4

6,4x104

TBUD/TBUD 64/64 2/6

55

0 10

-5

10-6 10-7

1,2x108

TBUD/TBUD 110/127 14/11

7 10

-4

10-5 10-6

9,6x106

TBUD/TBUD 94/98 7/9

14 10

-4

10-5 10-6

2,1x106

198/270 18/36 0/4

21 10

-3

10-4 10-5

5,6x105

TBUD/TBUD 28/83 3/10

28 10

-3

10-4 10-5

3,4x105

TBUD/TBUD 25/43 2/11


(2)

55

TBUD/TBUD 54/66 4/3 6,0x10-4

56

0 10

-5

10-6 10-7

1,4x108

TBUD/TBUD 120/153 15/12

5 10

-4

10-5 10-6

3,3x106

TBUD/TBUD 33/20 5/6

10 10

-4

10-5 10-6

2,5x106

TBUD/TBUD 25/20 3/4

15 10

-3

10-4 10-5

1,2x105

114/128 12/18 0/2

20 10

-3

10-4 10-5

7,5x104


(3)

56

Enumerasi koloni terduga Staphylococcus aureus ATCC 25923 (Ulangan 2)

Suhu (0C) Waktu

(menit)

Pengenceran ∑ mikroba

(CFU/ml)

53

0

10-5 10-6 10-7

1,2x108

TBUD/TBUD 116/116 11/12

15

10-4 10-5 10-6

1,0x107

TBUD/TBUD 105/104 12/12

30

10-4 10-5 10-6

2,5x106

242/250 19/16 2/4

45

10-3 10-4 10-5

3,2x105

TBUD/TBUD 29/35 2/4

60

10-3 10-4 10-5

2,0x105

164/241 20/22 0/0

75

10-2 10-3 10-4

5,3x104

TBUD/TBUD 19/53 2/10

54

0

10-5 10-6 10-7

1,5x108

TBUD/TBUD 152/148 14/15

10

10-4 10-5 10-6

1,5x107

TBUD/TBUD 153/156 11/97/17

20

10-4 10-5 10-6

5,1x106

TBUD/TBUD 48/53 6/9

30

10-3 10-4 10-5

2,0x106

TBUD/TBUD 200/191 22/24

40

10-3 10-4 10-5

1,9x105

182/188 14/20 2/2

50 10

-2

10-3 10-4

3,5x104

TBUD/TBUD 30/40 3/5

55

0 10

-5

10-6 10-7

1,3x108

TBUD/TBUD 123/142 13/19

7 10-4 10-5 10-6 5,2x106

TBUD/TBUD 40/63 5/7

14 10-4 10-5 10-6 1,6x106

140/172 23/23 1/3

21 10-3 10-4 10-5 6,4x105

TBUD/TBUD 67/61 6/9

28 10-3 10-4 10-5 2,0x105

184/202 13/25 1/6


(4)

57

TBUD/TBUD 18/30 1/5

56

0 10

-5

10-6 10-7

1,0x108

TBUD/TBUD 111/97 9/12

5 10

-2

10-3 10-4

2,5x106

TBUD/TBUD TBUD/TBUD 249/251

10 10

-2

10-3 10-4

9,5x105

TBUD/TBUD TBUD/TBUD 95/94

15 10

-1

10-2 10-3

1,3x105

TBUD/TBUD TBUD/TBUD 140/125

20 10

-1

10-2 10-3

6,7x104


(5)

58

Lampiran 3. Nilai D isolat AS2, NU3, dan ATCC 25923

Suhu (°C)

Isolat

AS2 NU3 ATCC 25923

Dvalue(-1/slope) Dvalue(-1/slope) Dvalue(-1/slope)

53 19,47±1,33 64,59± 2,95 22,00± 1,02

54 13,42±0,13 23,83± 0,80 15,31± 1,16

55 6,59±0,85 14,3±0,78 11,12±0,52


(6)

59

Lampiran 4. Persiapan Media dan Larutan Pengencer

1. Persiapan Media

a. Media TSB

Ditimbang media TSB sesuai dengan petunjuk pada kemasan. Tambahkan air destilata hingga dicapai konsentrasi yang diinginkan, lalu larutkan dengan memanaskannya di atas hot plate sambil diaduk, kemudian atur pH. Masukkan larutan media ke dalam tabung reaksi bertutup. Lakukan sterilisasi media ini dengan autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 103,4 kPa selama 15-30 menit. Setelah sterilisasi, simpan medium untuk digunakan saat analisis.

b. Agar miring TSA

Ditimbang media TSA sesuai dengan petunjuk pada kemasan. Tambahkan air destilata hingga dicapai konsentrasi yang diinginkan, lalu larutkan dengan memanaskannya di atas hot plate sambil diaduk, kemudian atur pH. Masukkan larutan media ke dalam tabung reaksi bertutup. Lakukan sterilisasi media ini dengan autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 103,4 kPa selama 15-30 menit. Setelah sterilisasi, letakkan tabung pada posisi miring dan biarkan membeku, kemudian simpan medium ini untuk digunakan saat analisis.

c. Media BPA dan Egg Yolk Tellurite

Ditimbang media BPA dalam erlenmeyer 500 ml sesuai dengan petunjuk pada kemasan. Tambahkan air destilata hingga dicapai konsentrasi yang diinginkan, lalu larutkan dengan memanaskannya di atas hot plate sambil diaduk, kemudian atur pH. Lakukan sterilisasi media ini dengan autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 103,4 kPa selama 15-30 menit. Selanjutnya, campurkan 50 ml egg yolk tellurite untuk setiap 1 liter medium jadi (950 ml BPA), kemudian campurkan secara merata. Egg yolk tellurite dibuat dengan mencampurkan 20 ml kuning telur, 20 ml NaCl 0,85%, dan 10 ml potasium telurit 1%.

2. Persiapan Pengencer

Pengencer dibuat dengan melarutkan 3,4 gr KH2PO4 ke dalam 50 ml air destilata,

atur pada PH 7, kemudian tepatkan hingga 100 ml. Ini adalah larutan stok. Jika akan digunakan, sebanyak 1,25 ml larutan stok dipipet lalu ditepatkan sampai 1 liter dengan air destilata. Pengencer ini dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutuk kemudian dilakukan sterilisasi pada suhu 121°C dan tekanan 103,4 kPa selama 15-30 menit.