Pengaruh jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) terhadap kadar gula darah tikus jantan galur wistar yang terbebani glukosa.

(1)

i

INTISARI

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit insufisiensi insulin

karena menurunnya produksi insulin atau resistensi insulin. Penggunaan obat

antidiabetik oral memiliki efek samping serta efek jangka panjang yang kurang

menguntungkan. Oleh karena itu, penggunaan obat tradisional sebagai terapi DM

sangat dianjurkan. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman yang secara

empiris banyak digunakan di Indonesia sebagai terapi pendamping diabetes.

Kandungan buncis yang berperan sebagai agen antidiabetes adalah

-sitosterol dan

sigmasterol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus

buncis terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani

glukosa.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan

acak lengkap pola searah menggunakan 30 ekor tikus putih jantan galur Wistar

terbagi dalam enam kelompok. Kelompok I diberi CMC 1% b/v, kelompok II diberi

glibenklamid 0,45mg/kgBB dan pembebanan glukosa, kelompok III diberi CMC

1% b/v dan pembebanan glukosa, kelompok IV, V, dan VI diberi jus buncis dengan

peringkat dosis 22,5, 50,85, dan 115,05g/kgBB, serta pembebanan glukosa. Semua

perlakuan diberikan per oral. Efek hipoglikemik jus buncis diuji dengan metode Uji

Toleransi Glukosa Oral (UTGO). Kadar glukosa darah diukur pada menit ke-0, 15,

30, 45, 60, 90, 120, 180, dan 240 menggunakan metode enzimatik GOD-PAP. Data

LDDK

0-240

tiap kelompok dianalisis secara statistik menggunakan metode

Kolmogorov Smirnov dilanjutkan dengan One Way ANOVA dan uji Post-Hoc

Scheffe bertaraf kepercayaan 95%.

Hasil analisis menunjukkan bahwa jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat

menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.

Dosis jus buncis yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur

Wistar yang terbebani glukosa adalah 22,5g/kgBB, 50,85g/kgBB, 115,05g/kgBB.

Kata Kunci: jus buncis (Phaseolus vulgaris L.), glibenklamid, penurunan

kadar glukosa darah, UTGO, GOD-PAP


(2)

ii

ABSTRACT

Diabetes Mellitus (DM) is an insulin insufficiency disease due to decreased

production of insulin or insulin resistance. The use of oral antidiabetics has few side

effects and harmful long term effects. Therefore, the use of traditional medicine as

a treatment for DM patients is highly recommended. Beans (Phaseolus vulgaris L.)

have been widely used in Indonesia as a complementary therapy for diabetes

patients. Beans contain some chemical compounds which have the antidiabetic

effect, such as flavonoids,

-sitosterol and sigmasterol. This study aimed to

determine the effect of bean juice to decrease blood glucose levels of Wistar male

rats burdened by glucose.

This research was experimental study with randomized controlled design

using 30 Wistar male rats which are divided into six groups. Group I was treated

with CMC 1% w/v, group II was treated with glibenclamide 0,45mg/kgBW and

glucose loading, group III was treated with CMC 1% w/v and glucose loading,

group IV, V, and VI were given 22.5, 50.85, and 115.05g/kgBW doses of bean

juice, and glucose loading. All treatments are administered orally. The

hypoglycemic effect of bean juice was tested by the Oral Glucose Tolerance Test

(OGTT) method. Blood glucose levels were determined at minute 0, 15, 30, 45, 60,

90, 120, 180, and 240 using GOD-PAP enzymatic method. AUC

0-240

for each group

was statistically analyzed using the Kolmogorov-Smirnov method followed by One

Way ANOVA and Post-Hoc Scheffe 95% confidence level.

The analysis showed that bean juice has the ability to decrease blood glucose

levels. Bean juice at 22.5g/kgBW, 50.85g/kgBW, 115.05g/kgBW dose can reduce

blood glucose levels.

Keywords: bean juice (Phaseolus vulgaris L.), glibenclamide, lowering blood

glucose levels, OGTT, GOD-PAP


(3)

PENGARUH PEMBERIAN JUS BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS JANTAN GALUR

WISTAR YANG TERBEBANI GLUKOSA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mmperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Ludwina Dearesthea Onevita NIM: 128114041

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

i

PENGARUH PEMBERIAN JUS BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH TIKUS JANTAN GALUR

WISTAR YANG TERBEBANI GLUKOSA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mmperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Ludwina Dearesthea Onevita NIM: 128114041

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(5)

(6)

(7)

iv

PERSEMBAHAN

Hakuna Matatau it means no worry

for the rest of your days.

It’s all-problem-free-philosophy.

//The Lion King

Skripsi ini kupersembahkan untuk: Tuhan Yesus yang senantiasa memberkati dan memberikan kelancaran dalam setiap detik hidupku. Papa Nicolaus Bambang Wijanarko, Mama Eurelia Maria Dewi Perwani Rakyattiningtyas, Adik Wilfrid Nicholasiva Farrel Dhanesvara, Yullieus Novian Paramarthantio, S.Kg., keluarga besar R.B.P.A. Kinanto J.M., sahabat dan teman-teman yang selalu mendampingi, memberikan semangat, motivasi, dan menyertai dengan doa.


(8)

(9)

(10)

vii PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat yang dilimpahkan terutama dalam proses penyusunan skripsi berjudul “Pengaruh Pemberian Jus Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Jantan Galur Wistar yang Terbebani Glukosa”, sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi ini juga tak lepas dari doa dan dukungan berbagai pihak dari awal, pertengahan, hingga akhir. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Yunita Linawati, M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing skripsi atas kemurahan hati dan kesabarannya dalam membimbing, memberi masukan, dan arahan kepada penulis.

2. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., yang telah bersedia menjadi dosen penguji skripsi serta memberikan kritik dan saran demi kemajuan skripsi ini. 3. Bapak Christianus Heru Setiawan, M.Sc., Apt., yang telah bersedia menjadi

dosen penguji skripsi serta memberikan kritik dan saran demi kemajuan skripsi ini.

4. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt., selaku kepala laboratorium farmasi yang telah memberikan pengarahan dan izin penggunaan fasilitas laboratorium selama penelitian skripsi berlangsung.

5. Bapak Djoko Santoso, M.Si., selaku dosen Departemen Biologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada yang telah bersedia membantu penulis dalam melakukan determinasi tanaman uji.


(11)

viii

6. Pak Heru, Pak Kayat, Pak Parjiman, dan semua laboran farmasi yang telah bersedia membantu jalannya penelitian skripsi ini.

7. Papa Nicolaus Bambang Wijanarko, Mama Eurelia Maria Dewi Perwani Rakyattiningtyas, Nuriani, Abel Sava, Wilfrid Nicholasiva Farrel Dhanesvara, Yullieus Novian Paramarthantio S.Kg., yang selalu memberikan dorongan, semangat, motivasi, dan doa selama proses penyusunan skripsi.

8. Niall James Horan, Cintya Aurora Diah Nastiti, Pasthika Dirda Mayantya, Dian Putri Gupitasari, S.K.H., Wulan Dari Sirait, Johanes Sirait, Inggarestu Pradiptaningtyas, Prisca Nadya Verina Djala, S.Farm., Eunike Lystia Florentien Kelana Jeversoon, S.Farm., Sina Susanti, S.Farm., Januaritha Dara Nastiandari, S.Farm., Mila Karmila Sri Setiomulyo, S.Farm., Martinus Fuji Haryoko, S.Pd., Nicolaus Deka Alvian Putra Pradana, sebagai sahabat dan keluarga kedua yang terus memotivasi untuk menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut membantu selama penyusunan skripsi ini berlangsung

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk menjadi pengembangan ilmu pengetahuan dan acuan bagi penelitian selanjutnya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini memberikan manfaat di kehidupan mendatang.

Yogyakarta, Penulis


(12)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 3

2. Keaslian Penelitian... 3

3. Manfaat Penelitian ... 4

B. Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan Umum ... 5


(13)

x

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 6

A. Diabetes Mellitus ... 6

1. Definisi ... 6

2. Gejala ... 6

3. Klasifikasi ... 7

4. Diagnosis ... 9

B. Metabolisme Karbohidrat... 9

C. Buah Buncis ... 12

1. Uraian Tanaman ... 12

2. Taksonomi ... 13

3. Kandungan Tanaman ... 13

D. Glibenklamid ... 14

E. Metode Uji Efek Antidiabetes ... 15

1. Metode Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO) ... 15

2. Metode Uji Perusakan Pankreas ... 16

3. Metode Resistensi Insulin ... 16

F. Metode Penetapan Kadar Glukosa Darah ... 16

1. Metode Kondensasi dengan Gugus Amina ... 16

2. Metode Enzimatik ... 17

3. Metode Oksidasi-Reduksi ... 17

G. Landasan Teori ... 17


(14)

xi

BAB III. METODE PENELITIAN ... 19

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 19

B. Variabel dan Definisi Operasional... 19

1. Variabel Utama ... 19

2. Variabel Pengacau ... 19

3. Definisi Operasional ... 20

C. Bahan dan Alat Penelitian ... 20

1. Bahan Penelitian ... 20

2. Alat Penelitian ... 21

D. Tata Cara Penelitian ... 22

1. Determinasi Tanaman ... 22

2. Pengumpulan Bahan Uji... 22

3. Pembuatan Jus Buncis ... 22

4. Perhitungan Dosis Pemberian Jus Buncis ... 22

5. Preparasi Bahan ... 23

6. Orientasi Waktu Pemberian Glibenklamid ... 24

7. Orientasi Waktu Pemberian Jus Buncis ... 25

8. Pengelompokkan dan Perlakuan Hewan Uji ... 25

9. Penetapan Kadar Glukosa Darah dengan Metode GOD-PAP .. 28

E. Analisis Hasil ... 28

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Hasil Determinasi Tanaman ... 29


(15)

xii

1. Penetapan Waktu Pemberian Glibenklamid ... 29

2. Penetapan Dosis Sediaan Jus Buncis ... 31

3. Penetapan Waktu Pemberian Jus Buncis ... 32

C. Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Jus Buncis ... 32

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 39

A. Kesimpulan ... 39

B. Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

LAMPIRAN ... 42


(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Kriteria Penegakan DM ... 9

Tabel II. Kandungan Gizi per 100 gram Buncis ... 14

Tabel III. Isi Reagen GOD-PAP ... 21

Tabel IV. Keseragaman Bobot Tablet ... 24

Tabel V. Volume Pengukuran Kadar Glukosa Darah ... 28

Tabel VI. Hasil UTGO dan Perhitungan Selisih Nilai LDDK0-240 Suspensi Glibenklamid Dosis 0,45mg/kgBB ... 30

Tabel VII. Data Kadar Glukosa Darah Rata-Rata dan LDDK0-240 Tiap Kelompok Perlakuan ... 34

Tabel VIII. Hasil Uji Post Hoc-Scheffe LDDK0-240 Glukosa Darah Tikus yang Terbebani Glukosa ... 36


(17)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sekresi Insulin Akibat Peningkatan Kadar Glukosa Dalam

Darah ... 11

Gambar 2. Tanaman Buncis ... 12

Gambar 3. Struktur Glibenklamid ... 15

Gambar 4. Flowchart Pengelompokkan dan Perlakuan Hewan Uji ... 27

Gambar 5. Reaksi Enzimatik Glukosa dengan Reagen GOD-PAP ... 33

Gambar 6. Kurva Hubungan Antara Waktu dan Rerata Kadar Glukosa Darah ... 35


(18)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance) ... 43

Lampiran 2. Surat Keterangan Determinasi Tanaman ... 44

Lampiran 3. Bahan dan Alat Penelitian ... 45

Lampiran 4. Preparasi Bahan ... 46

Lampiran 5. Hasil Rangkaian Uji Statistik LDDK0-240: Penetapan Waktu Pemberian Glibenklamid ... 50

Lampiran 6. Hasil Rangkaian Uji Statistik LDDK0-240: Orientasi Dosis Pemberian Jus Buncis ... 52

Lampiran 7. Hasil Rangkaian Uji Statistik LDDK0-240: Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Jus Buncis ... 55

Lampiran 8. Leaflet Reagen GOD-PAP ... 58


(19)

xvi INTISARI

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit insufisiensi insulin karena menurunnya produksi insulin atau resistensi insulin. Penggunaan obat antidiabetik oral memiliki efek samping serta efek jangka panjang yang kurang menguntungkan. Oleh karena itu, penggunaan obat tradisional sebagai terapi DM sangat dianjurkan. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman yang secara empiris banyak digunakan di Indonesia sebagai terapi pendamping diabetes. Kandungan buncis yang berperan sebagai agen antidiabetes adalah β-sitosterol dan sigmasterol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus buncis terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah menggunakan 30 ekor tikus putih jantan galur Wistar terbagi dalam enam kelompok. Kelompok I diberi CMC 1% b/v, kelompok II diberi glibenklamid 0,45mg/kgBB dan pembebanan glukosa, kelompok III diberi CMC 1% b/v dan pembebanan glukosa, kelompok IV, V, dan VI diberi jus buncis dengan peringkat dosis 22,5, 50,85, dan 115,05g/kgBB, serta pembebanan glukosa. Semua perlakuan diberikan per oral. Efek hipoglikemik jus buncis diuji dengan metode Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO). Kadar glukosa darah diukur pada menit ke-0, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, dan 240 menggunakan metode enzimatik GOD-PAP. Data LDDK0-240 tiap kelompok dianalisis secara statistik menggunakan metode Kolmogorov Smirnov dilanjutkan dengan One Way ANOVA dan uji Post-Hoc Scheffe bertaraf kepercayaan 95%.

Hasil analisis menunjukkan bahwa jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa. Dosis jus buncis yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa adalah 22,5g/kgBB, 50,85g/kgBB, 115,05g/kgBB.

Kata Kunci: jus buncis (Phaseolus vulgaris L.), glibenklamid, penurunan kadar glukosa darah, UTGO, GOD-PAP


(20)

xvii ABSTRACT

Diabetes Mellitus (DM) is an insulin insufficiency disease due to decreased production of insulin or insulin resistance. The use of oral antidiabetics has few side effects and harmful long term effects. Therefore, the use of traditional medicine as a treatment for DM patients is highly recommended. Beans (Phaseolus vulgaris L.) have been widely used in Indonesia as a complementary therapy for diabetes patients. Beans contain some chemical compounds which have the antidiabetic effect, such as flavonoids, β-sitosterol and sigmasterol. This study aimed to determine the effect of bean juice to decrease blood glucose levels of Wistar male rats burdened by glucose.

This research was experimental study with randomized controlled design using 30 Wistar male rats which are divided into six groups. Group I was treated with CMC 1% w/v, group II was treated with glibenclamide 0,45mg/kgBW and glucose loading, group III was treated with CMC 1% w/v and glucose loading, group IV, V, and VI were given 22.5, 50.85, and 115.05g/kgBW doses of bean juice, and glucose loading. All treatments are administered orally. The hypoglycemic effect of bean juice was tested by the Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) method. Blood glucose levels were determined at minute 0, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, and 240 using GOD-PAP enzymatic method. AUC0-240 for each group was statistically analyzed using the Kolmogorov-Smirnov method followed by One Way ANOVA and Post-Hoc Scheffe 95% confidence level.

The analysis showed that bean juice has the ability to decrease blood glucose levels. Bean juice at 22.5g/kgBW, 50.85g/kgBW, 115.05g/kgBW dose can reduce blood glucose levels.

Keywords: bean juice (Phaseolus vulgaris L.), glibenclamide, lowering blood glucose levels, OGTT, GOD-PAP


(21)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Diabetes Melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes RI, 2006). Menurut World Health Organization (WHO), prevalensi DM secara global akan meningkat kurang lebih dua kali lipat dari 171 juta orang pada tahun 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030 dengan jumlah kematian sekitar 3,2 juta setiap tahunnya. Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai negara dengan jumlah penderita DM terbanyak di dunia, dengan perkiraan prevalensi DM mencapai 21,3 juta orang pada tahun 2030 (Wild, Roglic, Green, Sicree, dan King, 2004). Setengah dari jumlah penderita DM tidak menyadari bahwa dirinya mengidap DM karena pada umumnya gejala DM tidak terlalu tampak sampai terjadinya komplikasi. Komplikasi yang umum terjadi pada penderita DM antara lain jantung koroner dan penyumbatan pembuluh darah (Soegondo, 2005). Tingginya prevalensi DM di Indonesia dan kasus komplikasi yang parah mendorong adanya usaha-usaha penelitian untuk mengembangkan terapi yang sudah ada ataupun menemukan agen terapi baru yang lebih unggul baik dari segi keamanan, efektivitas, maupun ekonomi.


(22)

Terapi pengobatan DM yang paling sering dilakukan adalah penggunaan obat antidiabetik oral, seperti glibenklamid. Glibenklamid merupakan obat golongan sulfonilurea yang memiliki cara kerja merangsang sekresi insulin dari sel-sel β Langerhans di pankreas (Syarif, Ascobat, Setiabudy, Estuningtyas, Setiawati, dan Sunaryo, 2009). Glibenklamid memiliki efek samping seperti timbulnya alergi, mual, muntah, diare, gangguan susunan saraf pusat dan mata. Selain itu, konsumsi glibenklamid dalam jangka panjang berpotensi menyebabkan hipoglikemik, yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah berada pada keadaan di bawah normal. Dengan adanya efek samping serta efek jangka panjang penggunaan obat antidiabetik oral, WHO merekomendasikan penggunaan obat tradisional dalam pencegahan dan pengobatan penyakit di negara-negara berkembang (Gunawan, 2007).

Penggunaan obat tradisional untuk mengatasi masalah kesehatan bukanlah hal yang baru di Indonesia. Salah satu aplikasinya adalah pemanfaatan tanaman sebagai agen antidiabetes. Berbagai tanaman telah ditemukan memiliki aktivitas antidiabetes, termasuk diantaranya adalah buncis (Phaseolus vulgaris L.). Dalam buku berjudul “Miracle of Vegetables” yang disusun oleh Rizki (2013), dikatakan bahwa penambahan buncis sebanyak 600 gram/hari dalam diet selama 7 hari menunjukkan terjadinya penurunan kadar glukosa darah hingga 14% pada penderita diabetes, sedangkan buncis dalam bentuk ekstrak juga dapat menurunkan kadar glukosa darah pada kelinci diabetes terinduksi aloksan sampai 30%. Kandungan aktif buncis yang berperan dalam proses menekan tingkat kadar gula dalam darah adalah zat β-sitosterol dan stigmasterol. Kedua zat tersebut


(23)

berperan dalam merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin tanpa menyebabkan terjadinya hipoglikemik. Menurut Rizki (2013), secara empiris, masyarakat Indonesia mengonsumsi 250 gram buncis dalam bentuk jus dengan volume 150 mL. Konsumsi buncis diharapkan dapat menjadi terapi pendamping bagi penderita DM yang menjalani terapi obat-obatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus buncis terhadap penurunan glukosa darah tikus jantan galur Wistar dengan metode Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO).

1. Permasalahan

a. Apakah jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa?

b. Berapakah dosis jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian yang menggunakan tanaman buncis yang sudah dilakukan, diantaranya:

a. Pari dan Venkateswaran (2003) melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak air buncis (Phaseolus vulgaris L.) terhadap kadar glukosa darah ekor tikus terinduksi streptozotocin. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu pemberian 200mg/kgBB ekstrak air buncis dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus.

b. Kurniawati, Sutrisna, dan Wahyuni (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian ektrak etanol 70% buncis (Phaseolus vulgaris L.)


(24)

terhadap kadar glukosa darah kelinci jantan yang dibebani glukosa. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu pemberian 200, 300, dan 450 mg/kgBB ekstrak etanol 70% buncis dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus. c. Luka, Ollatunde, Tijjani, dan Olisa-Enewe (2013) melakukan penelitian

mengenai pengaruh pemberian ekstrak buncis (Phaseolus vulgaris L.) terhadap kadar glukosa darah tikus terinduksi aloksan. Hasil penelitian yang diperoleh yaitu pemberian 400mg/kgBB ekstrak buncis dapat memberikan efek antidiabetik pada tikus.

Perbedaan dengan penelitian yang telah dilakukan terletak pada hewan uji, yaitu tikus jantan galur Wistar, jenis sediaan yang digunakan, yaitu jus buncis, dan metode induksi yang digunakan, yaitu pembebanan glukosa. Sejauh penelusuran pustaka oleh penulis, penelitian mengenai efek pemberian jus buncis terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa belum pernah dilakukan.

3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai jus buncis sebagai obat tradisional yang mampu menurunkan kadar glukosa darah. b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan kepada masyarakat pada umumnya dan penderita DM pada khususnya tentang pemanfaatan buncis untuk menurunkan kadar glukosa darah.


(25)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian jus buncis terhadap kadar glukosa darah. 2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengaruh jus buncis terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.

b. Mengetahui dosis jus buncis yang dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.


(26)

6 BAB II

Penelaahan Pustaka

A. Diabetes Mellitus

1. Definisi

Diabetes Mellitus (DM) yang umumnya dikenal sebagai kencing manis didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes RI, 2006).

2. Gejala

Penyakit DM ditandai dengan adanya gejala klasik ‘trio-P’, yaitu: a. Poliuria (banyak berkemih)

Kadar glukosa darah pada pasien dengan defisiensi insulin umumnya melampaui 120mg/dL. Setelah kadar glukosa darah >180mg/dL, taraf maksimal reabsorbsi glukosa pada tubulus renalis akan dilampaui, dan glukosa akan diekskresikan ke dalam urin (glukosuria). Glukosa bersifat diuresis osmotik, sehingga diuresis sangat meningkat disertai dengan hilangnya elektrolit (Syahputra, 2003).

b. Polidipsi (banyak minum)

Banyaknya elektrolit yang hilang bersamaan dengan urin menyebabkan terjadinya dehidrasi dan kekurangan elektrolit pada penderita DM. Terjadinya


(27)

dehidrasi menimbulkan rasa haus pada penderita DM dan badan berusaha untuk mengatasinya dengan banyak minum air (Handoko dan Suharto, 1995).

c. Polifagi (banyak makan)

Penderita DM mengalami kekurangan pasokan glukosa dalam sel-sel tubuh, meskipun kadar glukosa dalam darah tinggi. Pemenuhan kebutuhan glukosa dalam sel dilakukan dengan ekskresi cadangan glukosa, yang diiringi dengan hilangnya empat kalori untuk tiap gram glukosa yang diekskresi. Tubuh menerima sinyal terkait rasa lapar akibat berkurangnya cadangan glukosa dan kalori dalam tubuh. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya rasa lapar pada penderita DM (Lanywati, 2001).

3. Klasifikasi

Menurut American Diabetes Association (2010), DM diklasifikasikan menjadi 4 tipe, antara lain:

a. Diabetes Mellitus Tipe 1 (DMT1)

DMT1 umumnya terjadi karena kerusakan sel-sel β Langerhans yang disebabkan oleh reaksi autoimun yang menyebabkan defisiensi sekresi insulin, dan ada juga yang bersifat idiopatik (tidak diketahui dengan jelas penyebabnya). Sekresi glukagon yang berlebihan juga ditemukan pada penderita DMT1, dimana pada kondisi normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon. Pada kasus DMT1 sekresi glukagon tetap tinggi seiring terjadinya hiperglikemia, sehingga memperparah kondisi hiperglikemia. Walaupun bentuk diabetes ini kebanyakan terjadi pada anak-anak dan remaja, namun tipe ini dapat terjadi juga pada semua umur. Biasanya penderita DMT1 diberi insulin eksogen untuk


(28)

memperbaiki katabolisme, mencegah ketoasidosis, dan menurunkan hiperglukagonemia, serta menurunkan kadar glukosa darah.

b. Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2)

DMT2 merupakan suatu penyakit akibat ketidakmampuan tubuh untuk merespon dengan wajar terhadap aktivitas insulin yang dihasilkan oleh pankreas (resistensi insulin). Penderita DMT2 mengalami kerusakan sel beta pankreas yang disebabkan oleh adanya oksidasi radikal bebas, yang menyebabkan penurunan sekresi hormon insulin, baik dari segi jumlah maupun kualitas. DMT2 merupakan jenis diabetes yang paling sering ditemukan, diperkirakan 90% dari seluruh penderita DM di Indonesia. Sebagian besar DMT2 disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat seperti konsumsi junk food, minuman beralkohol, dan jarang berolahraga. Penderita DMT2 tidak membutuhkan insulin untuk pengobatan. c. Diabetes Mellitus Gestasional (DMG)

DMG merupakan nama lain dari DM dalam masa kehamilan. DMG merupakan suatu kondisi kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan resistensi insulin, yang umumnya dijumpai pada trimester kedua atau ketiga. Faktor risiko GDM yang utama yaitu faktor genetik dan obesitas. Wanita yang memiliki sejarah keluarga positif DM, dianjurkan untuk menjalani skrining pada minggu 24-48 usia kehamilannya. Deteksi awal ini sangat penting karena dapat mengurangi angka kelahiran bayi abnormal dan kematian bayi.

d. Diabetes Mellitus Bentuk Lain

DM bentuk lain merupakan diabetes yang berkaitan dengan penyakit-penyakit lain seperti penyakit-penyakit eksokrin pankreas, defek genetik fungsi sel beta,


(29)

defek genetik fungsi insulin, endokrinopati, penyakit akibat obat atau zat kimia, infeksi, imunologi, dan sindrom genetik.

4. Diagnosis

Diagnosis DM dapat ditegakkan berdasarkan penemuan gejala-gejala klasik diabetes (poliuria, polidipsia, dan polifagia) dan hiperglikemia yang ditunjukkan dengan pengukuran kadar glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL atau glukosa darah puasa ≥126 mg/dL. Selain pengukuran kadar glukosa darah, International Diabetes Federation (IDF) merekomendasikan tes HbA1c sebagai penegak diagnosis DM pada tahun 2012. Hasil tes positif DM ditunjukkan dengan ketetapan nilai HbA1c ≥ 6,5%. Diagnosis DM juga dapat dilakukan berdasarkan kadar glukosa darah pada UTGO seperti pada Tabel I berikut ini.

Tabel I. Kriteria Penegakan Diagnosis DM Kadar glukosa darah

puasa (mg/dL)

Kadar glukosa darah 2 jam setelah makan (mg/dL)

Normal <110 <140

Pra-diabetes: IFG atau IGT

110-125 -

- 140-199

Diabetes ≥126 ≥200

Keterangan:

Pra-diabetes : kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi daripada normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan ke dalam DM. Ada dua kondisi pra-diabetes, yaitu:

IFG : Impaired Fasting Glucose, keadaan dimana kadar glukosa darah puasa seseorang 110-125 mg/dL;

IGT : Impaired Glucose Tolerance, keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada UTGO berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikategorikan ke dalam kondisi diabetes. Diagnosa IGT ditetapkan apabila kadar glukosa darah seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral berada antara 140-199 mg/dL.

(Merentek, 2006) B. Metabolisme Karbohidrat

Pencernaan karbohidrat sudah dimulai sejak makanan masuk ke dalam mulut; makanan dikunyah agar dipecah menjadi bagian-bagian kecil, sehingga


(30)

luas permukaan kontak dengan enzim pencernaan juga lebih besar. Karbohidrat akan diuraikan menjadi molekul yang lebih sederhana dengan bantuan enzim amilase. Penguraian ini berkaitan dengan penyerapan karbohidrat dalam bentuk disakarida pada usus halus. Disakarida kemudian diubah ke dalam bentuk glukosa untuk selanjutnya memasuki fase metabolisme. Setelah melalui dinding usus halus, glukosa akan diangkut menuju ke hepar. Apabila jumlah karbohidrat yang dimakan melebihi kebutuhan tubuh, sebagian karbohidrat akan diikat di dalam hati dan disimpan dalam bentuk glikogen untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal. Kapasitas pembentukan glikogen memiliki batas maksimum 350 gram, selebihnya karbohidrat akan diubah menjadi lemak dan disimpan di jaringan lemak (Merentek, 2006).

Glukosa di dalam tubuh berperan sebagai bahan bakar proses metabolisme dan sumber energi utama bagi kerja otak. Glukosa digunakan untuk mensintesis molekul ATP (adenosine triphosphate). Tubuh yang memerlukan energi akan melakukan pembakaran glukosa yang diambil dari dalam aliran darah. Kadar gula darah akan diisi kembali oleh glikogen dalam hati dan dalam kebutuhan besar disusul dengan mobilisasi lemak (Merentek,2006).

Regulasi glukosa darah selain tergantung pada glukagon dan lemak, juga dipengaruhi oleh adanya hormon insulin (Gambar 1). Kadar glukosa darah akan segera meningkat setelah makan dan akan menurun saat tidak ada asupan makanan. Hormon insulin berperan dalam mencegah terjadinya fluktuasi glukosa yang signifikan. Hormon insulin disekresikan oleh sel β pankreas ketika kadar glukosa darah meningkat (setelah makan). Sekresi insulin berlangsung dalam dua


(31)

fase, yaitu early peak makan, memanfaatkan lanjut (fase 2) yang terja

Sekresi insulin te ditangkap oleh sel β pa kemudian dibawa ke da fosfat (G6P) dengan ban menjadi asam piruvat. jumlah besar akan me mengakibatkan depolaris Kalsium akan masuk k (Merentek, 2006).

Gambar 1. Sekresi Insu (Mahendra

k (fase 1) yang terjadi pada 3-10 menit pertam n insulin yang disimpan dalam sel β pankreas rjadi 20 menit setelah stimulasi glukosa (Merentek

terjadi saat kadar glukosa darah meningkat dan pankreas melalui glucose transporter 2 (GLUT2 dalam sel dan mengalami fosforilase menjadi antuan enzim glukokinase. G6P akan mengalam t. Proses glikolisis juga menghasilkan ATP, ya menutup kanal kalium. Penumpukan kalium

risasi sel sehingga menyebabkan terbukanya kana ke dalam sel dan insulin akan dilepaskan ke

sulin Akibat Peningkatan Kadar Glukosa Dala ra, Tobing, Krisnatuti, Alting, 2008)

tama setelah as, dan fase tek, 2006).

an sinyalnya 2). Glukosa i glukosa-6-mi glikolisis

yang dalam dalam sel nal kalsium. e dalam sel


(32)

C. Buncis 1. Uraian Tanaman

Buncis (Gambar 2) dikenal dengan nama latin Phaseolus vulgaris L. Buncis merupakan tanaman berhari pendek (pada fase pembungaan tanaman ini memerlukan penyinaran matahari dengan jumlah kurang dari dua belas jam setiap harinya), oleh karena itu tanaman buncis mudah dikembangkan di Indonesia. Tanaman buncis merupakan tumbuhan yang memiliki dua tipe pertumbuhan, yakni tegak dan merambat. Tanaman buncis tipe tegak memiliki tinggi 35-40 cm dari permukaan tanah, sedangkan tipe merambat batangnya dapat mencapai 2,5-3,5 m. Tanaman buncis terdiri atas akar, batang, bunga, daun, buah serta biji. Akar tanaman buncis merupakan akar tunggang, akar cabang, dan akar serabut. Batangnya tidak berkayu, tidak keras, dan umumnya berbuku-buku. Buncis memiliki bunga yang berukuran besar dan mudah terlihat. Bunga tersebut berwarna putih, merah jambu, atau ungu. Daun buncis beranak daun-tiga dan menyirip, berbentuk jorong segitiga dan bersifat majemuk tiga. Bakal buah buncis berbentuk panjang bulat atau panjang pipih. Polong buncis muda berwarna putih hijau muda segar kekuningan sedangkan yang tua berwarna kecoklatan (Amin, 2014).

Gambar 2. Tanaman Buncis (Amin, 2014)


(33)

2. Taksonomi

Kingdom : Plantae Sub Kingdom : Tracheobionta

Divisi : Spermathophyta

Super Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Sub Kelas : Calyciflorae

Ordo : Leguminales

Famili : Papilionaceae

Sub Famili : Papilionoideae

Genus : Phaseolus

Spesies : Phaseolus vulgaris L. (Amin, 2014). 3. Kandungan Tanaman

Buah buncis memiliki kandungan kimia pada biji dan kulitnya. Biji buncis mengandung glukoprotein, tripsin inhibitor, hemaglutinin, β-sitosterol, stigmasterol, kampesterol, alantonin, dan inositol. Kulit buncis mengandung leukopelargonidin, leukosianidin, leukodelpinidin, kuersetin, pelargonidin, sianidin, kaempferol, petunidin, delfinidin, malvidin, dan mirsetin (Dalimartha, 2003). Adanya kandungan senyawa flavonoid, seperti misalnya kuersetin, memiliki dua peranan penting dalam pencegahan DM. Senyawa flavonoid dapat berperan sebagai antioksidan berfungsi untuk melindungi sel β pankreas dari kerusakan akibat radikal bebas sekaligus sebagai α-amylase inhibitor (Judge dan Sevensson, 2006). Senyawa fitosterol berupa β-sitosterol dan stigmasterol


(34)

berfungsi sebagai agen antidiabetes yang dapat merangsang sekresi insulin dari pankreas (Setyadhini, 2006).

Selain kandungan kimia, buncis juga memiliki kandungan gizi yang baik. Buncis merupakan sayuran yang cocok bagi orang yang ingin menjaga asupan kalorinya, dimana setiap 100 gram buncis hanya mengandung 35 kalori dengan kandungan protein dan serat yang cukup tinggi. Kandungan gizi per 100 gram buncis dapat dilihat pada Tabel II berikut ini.

Tabel II. Kandungan Gizi per 100 Gram Buncis

Kandungan Gizi Jumlah

Energi 35 kal

Protein 2,4 g

Lemak 0,2 g

Karbohidrat 7,7 g

Kalsium 6,5 g

Serat 1,2 g

Fosfor 4,4 g

Zat besi 1,1 g

Vitamin A 630 µg

Vitamin B1 0,08 mg

Vitamin B2 0,1 mg

Vitamin B3 0,7 mg

Vitamin C 19 mg

Air 89 g

(Waluyo dan Djuariah, 2013) D. Glibenklamid

Glibenklamid (Gambar 3) merupakan obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea generasi II yang sering disebut sebagai insulin secretagogue. Mekanisme kerja glibenklamid adalah merangsang sekresi insulin dari sel ß-pankreas pulau Langerhans dengan menutup kanal ion K+. Penutupan kanal ini menyebabkan terjadinya depolarisasi membran serta membukanya kanal ion Ca2+.


(35)

Dengan terbukanya kana pankreas dan mendorong

Gambar 3.

Dosis awal pem makan dan maksimum Penggunaan glibenklam berlangsung selama 12 sehari. Efek samping ya gangguan susunan saraf

E

Uji efek antidiab 1. Metode Uji Tolerans Toleransi glukos dalam tubuh. Kadar gluk secara oral. Puncak kad kembali normal setelah 2

Prinsip UTGO a dipuasakan selama 10-16

nal ion Ca2+ maka terjadi pasokan ion Ca2+ ke da ng insulin keluar menuju sel (Syarif, 2009).

. Struktur Glibenklamid (Depkes RI, 1995)

emberian glibenklamid adalah sebesar 5 mg/ha um 15 mg/hari (Royal Pharmaceutical Socie

lamid dapat menimbulkan efek hipoglikem 12-24 jam, sehingga penggunaannya cukup 1 k

yang dapat terjadi adalah alergi, mual, muntah, af pusat dan mata (Sustraini, Alam, Hadibroto, 200

E. Metode Uji Efek Antidiabetes

abetes dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu: nsi Glukosa Oral (UTGO)

osa adalah kemampuan tubuh untuk menggunaka lukosa darah akan naik dengan pemberian glukosa adar glukosa terjadi dalam setengah atau 1 jam h 2-3 jam (Depkes RI, 2006).

adalah pemberian glukosa terhadap hewan uji 16 jam, kemudian diambil darahnya sebanyak 0,5

dalam sel

β-/hari setelah iety, 2011). emia yang kali dalam h, diare, dan

005).

u:

kan glukosa sa 1 g/kgBB m dan akan

ji yang telah 0,5 ml untuk


(36)

mengukur kadar glukosa awal. Hewan uji kemudian dibebani larutan glukosa monohidrat secara peroral. Pengambilan darah diulangi sesuai dengan interval waktu yang ditentukan (Adam, 2000).

2. Metode Uji Perusakan Pankreas

Metode ini dilakukan dengan memberikan diabetogen yang dapat menyebabkan kerusakan pada pankreas hewan uji sehingga terkondisi seperti penderita DM. Diabetogen yang banyak digunakan antara lain aloksan dan streptozotosin. Prinsip dari metode ini adalah induksi diabetes yang diberikan pada hewan uji dengan injeksi diabetogen secara intravena (Permatasari, 2008). 3. Metode Resistensi Insulin

Metode ini biasanya dilakukan dengan menggunakan spontaneous diabetic rats (tikus biobreeding, WBN/KOB, dan Goto-Kakizaki) yang merupakan tikus non-obesitas yang mengalami resistensi insulin. Akan tetapi, metode ini belum dapat diterapkan di Indonesia karena ketersediaan hewan uji ini masih jarang. Penggunaan hewan uji yang lebih umum digunakan di Indonesia yaitu Wistar Fatty Rat (WFR), yang dikembangkan dengan pemberian asupan glukosa/sukrosa dan pakan tinggi kalori dalam waktu jangka panjang (Ghani, DeFronzo, 2010).

F. Metode Penetapan Kadar Glukosa Darah

Menurut Widowati, Dzulkarnain, dan Sa’roni (1997) penetapan kadar glukosa darah dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu:

1. Metode Kondensasi dengan Gugus Amina

Prinsip dari metode ini adalah pengondensasian aldosa dengan orto-toluidin dalam suasana asam dengan pemanasan. Adanya glukosa ditunjukkan


(37)

dengan perubahan warna larutan menjadi hijau. Intensitas warna yang dihasilkan berbanding lurus dengan kadar glukosa darah terukur.

2. Metode Enzimatik

Kadar glukosa darah dapat diukur secara enzimatik, menggunakan enzim glukosa oksidase (GOD). Glukosa akan dioksidasi menjadi asam glukoronat disertai dengan pembentukan hidrogen peroksida (H2O2). Adanya enzim

peroksidase (POD) akan mendorong H2O2 untuk membebaskan oksigen yang akan

mengoksidasi akseptor kromogen (aminoantipirin dan fenol) menghasilkan warna merah. Kadar glukosa darah ditentukan berdasarkan intensitas warna yang terbentuk.

3. Metode Oksidasi-Reduksi

Pada metode ini, terjadi proses oksidasi dengan menggunakan oksidan ferrisiamida. Oksida akan direduksi menjadi ferrosiamida oleh glukosa dalam suasana basa dengan pemanasan. Kelebihan ferri pada larutan dititrasi secara iodometri.

G. Landasan Teori

DM merupakan suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Terapi DM menggunakan obat antidiabetik oral dapat menimbulkan efek samping dan efek jangka panjang yang kurang menguntungkan. Pada tahun 2003, WHO merekomendasikan penggunaan obat tradisional untuk menyembuhkan atau mencegah penyakit kronis, dengan tujuan meminimalisir efek samping dan efek


(38)

jangka panjang. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan salah satu tanaman yang memiliki daya hipoglikemik. Mekanisme utama penurunan kadar glukosa darah oleh buncis adalah β-sitosterol serta sigmasterol sebagai stimulan sel β pankreas dalam sekresi insulin.

H. Hipotesis

Jus buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.


(39)

19

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian eksperimental

murni, yaitu penelitian dengan melakukan percobaan terhadap kelompok

perlakuan dan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak dikenai

perlakuan. Penelitian ini dikerjakan dengan rancangan acak lengkap pola searah,

yaitu cara menetapkan sampel dalam kelompok perlakuan dan kelompok kontrol

dengan pengacakan agar setiap sampel punya peluang yang sama untuk dapat

dikategorikan dalam kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol. Penelitian dilakukan secara lengkap yaitu dalam penelitian terdapat kelompok kontrol

normal, kelompok kontrol positif, kelompok kontrol negatif, dan kelompok

perlakuan. Pola searah ditunjukkan dengan adanya perlakuan yang sama pada

kelompok perlakuan, yaitu pemberian jus buncis (Phaseolus vulgaris L.)

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel utama

a. Variabel bebas. Dosis jus buncis (Phaseolus vulgaris L.)

b. Variabel tergantung. Kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar.

2. Variabel pengacau

a. Variabel pengacau terkendali

1) Subjek uji : tikus putih

2) Jenis kelamin : jantan 3) Galur spesies subjek uji : Wistar


(40)

4) Berat badan subjek uji : 150-200 gram

5) Umur subjek uji : 2-3 bulan

6) Jalur pemberian : peroral

b. Variabel pengacau tak terkendali.

1) Variabel biologis hewan uji yaitu proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan

eliminasi hewan uji terhadap pemberian jus buncis.

2) Kondisi patofisiologis hewan uji.

3. Definisi operasional

a. Jus buncis adalah potongan buah buncis yang dijus dalam air putih

menggunakan blender kemudian disaring sehingga dihasilkan jus buncis. b. Uji Toleransi Glukosa Oral (UTGO) merupakan suatu metode penetapan

kadar glukosa dengan cara memberikan beban glukosa terhadap tikus dengan

larutan glukosa monohidrat secara oral dengan dosis 1,75 g/kgBB.

c. LDDK0-240 kadar glukosa dalam darah adalah besaran yang menggambarkan

jumlah kadar glukosa dalam darah pada rentang waktu menit ke-0 sampai

menit ke-240 yang dihitung menggunakan metode trapezoid.

C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan Penelitian

a. Hewan uji. Tikus putih jantan galur Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan

150-200 gram diperoleh dari Bantul, Yogyakarta.

b. Bahan uji. Buncis, diperoleh dari Condong Catur, Yogyakarta.


(41)

d. Pereaksi untuk pengukuran kadar glukosa. Reagen GOD-PAP (Glucose GOD

FS* oleh DiaSys®, Jerman).

Tabel III. Isi reagen GOD-PAP

Isi Jumlah

Phosphat buffer (pH 7,5) 250 mmol/L

Phenol 5 mmol/L

4-aminoantipyrine 0,5 mmol/L Glucose oxidase (GOD) ≥10 kU/L Peroxidase (POD) ≤1 kU/L Standard 100 mg/dL (5,5 mmol/L)

(DiaSys, 2014)

e. Lain-lain

1) EDTA sebagai antikoagulan

2) Glukosa monohidrat p.a. dengan dosis 1,75 g/kgBB sebagai bahan untuk

UTGO

3) Aquadest

4) Aquabidest sebagai blanko pada pengukuran kadar glukosa darah

5) CMC 1% sebagai kontrol normal dan pelarut glibenklamid

2. Alat Penelitian

a. Seperangkat alat gelas (Beaker glass, labu ukur, gelas ukur, pengaduk)

b. Jarum suntik (injeksi peroral)

c. Pipa kapiler hematokrit

d. Tabung effendorf e. Tabung reaksi

f. Mikropipet 100µL, 1000µL

g. Glassfin dan pipet volum


(42)

i. Sentrifuge

j. MicroVitalab-200

k. Alat timbang elektrik

l. Vortex

m. Blender

n. Penyaring

o. Stopwatch

D. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tanaman

Determinasi dilakukan dengan mencocokkan kesamaan buah buncis yang dibeli dengan ciri-ciri yang terdapat dalam buku taksonomi dan determinasi oleh

ahli determinan sehingga diperoleh surat keterangan determinasi. Determinasi

dilakukan di Bagian Biologi Farmasi, Unit II Fakultas Farmasi Universitas Gadjah

Mada Yogyakarta oleh Bapak Djoko Santoso, M.Si.

2. Pengumpulan bahan uji

Buncis yang digunakan diperoleh dari Condong Catur Yogyakarta.

3. Pembuatan jus buncis

Jus buncis dibuat dengan mencampurkan 250 gram potongan buah buncis

dan 100 mL air yang diblender dan disaring, sehingga didapatkan jus buncis

(volume 150 mL).

4. Perhitungan dosis pemberian jus buncis

Konsentrasi konsumsi jus buncis untuk manusia dewasa (70 kg) adalah 250 gram buncis dalam 100 mL air diblender dan disaring untuk satu kali minum


(43)

(150 mL). Dosis untuk tikus didapat dari konversi empiris manusia ke tikus,

sehingga diperoleh dosis sebesar 22,5g/kgBB. Dosis ini ditetapkan sebagai dosis

terendah. Selanjutnya dilakukan penentuan peringkat dosis untuk dosis tengah dan

dosis tertinggi. Dosis tertinggi ditentukan dengan melihat konsentrasi maksimum

jus buncis yang masih dapat masuk ke dalam spuit injeksi oral tanpa memberikan

penyumbatan dan konsentrasi maksimum jus buncis yang tidak menyebabkan

kematian pada hewan uji, diperoleh hasil 115,05g/kgBB. Dosis tengah didapatkan

dengan mencari faktor peringkat terlebih dahulu, dengan rumus ≥ = , dimana n adalah jumlah kelompok peringkat dosis jus buncis, D3 adalah dosis

tertinggi jus buncis dan D1 adalah dosis terendah jus buncis. Diperoleh nilai f

sebesar 2,26. Dosis tengah dihitung dengan cara mengalikan dosis terendah jus buncis dengan faktor peringkat, sehingga diperoleh dosis sebesar 50,85g/kgBB

(Lampiran 4d).

5. Preparasi bahan

a. Pembuatan larutan stok glukosa p.a 15,0% b/v. Glukosa monohidrat p.a

ditimbang sebanyak 3,75 gram dilarutkan dalam aquadest panas dalam labu

takar 25,0 mL sampai tanda batas.

b. Pembuatan larutan CMC 1% b/v. CMC ditimbang sebanyak 1 gram dan

dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 100 mL hingga batas tanda.

c. Penentuan keseragaman bobot tablet glibenklamid. Timbang 20 tablet

glibenklamid secara acak, hitung dan catat masing-masing bobotnya. Saat

penimbangan, tidak boleh ada lebih dari dua tablet yang masing-masing


(44)

lebih besar daripada harga yang ditetapkan pada kolom A, dan tidak satu

tabletpun menyimpang dari bobot rata-ratanya, dengan persentase

penyimpangan lebih besar dari harga yang ditetapkan pada kolom B (Tabel

IV)

Tabel IV. Keseragaman Bobot Tablet

Bobot rata-rata Penyimpangan bobot rata-rata (%)

A B

25 mg 15 30

26-150 mg 10 20

151-300 mg 7,5 15

> 300 mg 5 20

(Depkes RI, 1979)

d. Pembuatan suspensi glibenklamid 0,1125 mg/mL. Timbang sebanyak 20

tablet glibenklamid dan gerus hingga homogen. Timbang 25 mg serbuk

glibenklamid, larutkan dengan CMC 1% dalam labu takar 10 mL sampai batas

tanda sebagai larutan stok glibenklamid. Supensi glibenklamid dengan konsentrasi 0,1125 mg/mL dibuat dengan mengambil 0,45 mL larutan stok,

larutkan dengan aquadest dalam labu ukur 10 mL hingga batas tanda.

e. Penentuan dosis glibenklamid. Dosis glibenklamid untuk manusia 70 kgBB

yaitu 5 mg, sehingga dosis untuk tikus yaitu:

faktor konversi manusia ke tikus = 0,018

5 mg × 0,018 = 0,09mg/200gBB

= 0,45mg/kgBB

6. Orientasi waktu pemberian glibenklamid

Orientasi dilakukan dengan menggunakan dua belas ekor tikus yang

terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok 15, 30, dan 45 menit sebelum


(45)

tikus mendapat perlakuan kontrol positif (suspensi glibenklamid 0,45mg/kgBB

dan pembebanan glukosa 0,45mg/kgBB) dan dua ekor tikus mendapat perlakuan

kontrol negatif (CMC 1% b/v dan pembebanan glukosa 0,45mg/kgBB).

Semua pemberian dilakukan dilakukan secara peroral kemudian dilakukan

UTGO dengan memberikan larutan glukosa monohidrat 15% b/v dosis 1,75

mg/kgBB. Pengambilan darah dilakukan sesaat sebelum UTGO sebagai menit

ke-0 dan pada menit ke-15, 3ke-0, 45, 6ke-0, 9ke-0, 12ke-0, 18ke-0, dan 24ke-0 setelah UTGO.

Selanjutnya dilakukan pengukuran kadar glukosa darah dengan metode

GOD-PAP dan dibuat kurva UTGO serta perhitungan harga LDDK0-240. Penentuan

waktu pemberian glibenklamid berdasarkan pada nilai LDDK0-240 kontrol positif terkecil.

7. Orientasi waktu pemberian jus buncis

Penetapan waktu pemberian jus buncis mengikuti waktu yang diperoleh

dari hasil orientasi penetapan waktu pemberian glibenklamid.

8. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji

Penelitian ini mengikuti rancangan acak lengkap pola searah, yaitu tiga

puluh ekor tikus dibagi secara acak menjadi 6 kelompok, masing-masing terdiri

dari lima ekor. Tiap hewan uji diadaptasikan dalam laboratorium dengan kondisi

yang sama, jauh dari kebisingan dan dihindarkan dari stress selama 7 hari.

Sebelum diberi perlakuan, masing-masing kelompok dipuasakan selama 10-16

jam dengan tetap diberi minum ad libitum, lalu diberi perlakuan sebagai berikut:


(46)

b. Kelompok II yaitu pemberian glibenklamid 0,45 mg/kgBB dan pembebanan

glukosa monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB (kontrol positif).

c. Kelompok III yaitu pemberian CMC 1% b/v dan pembebanan glukosa

monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB (kontrol negatif).

d. Kelompok IV yaitu pemberian jus buncis dosis 22,5g/kgBB dan pembebanan

glukosa monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB.

e. Kelompok V yaitu pemberian jus buncis dosis 50,85g/kgBB dan pembebanan

glukosa monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB.

f. Kelompok VI yaitu pemberian jus buncis dosis 115,05g/kgBB dan

pembebanan glukosa monohidrat p.a 15% b/v dosis 1,75 mg/kgBB.

Masing-masing kelompok kemudian diambil darahnya sebagai menit ke-0.

UTGO dilakukan dengan memberikan larutan glukosa monohidrat p.a 15% b/v

dosis 1,75mL/kgBB. Waktu pemberian jus buncis disesuaikan dengan hasil

orientasi pemberian glibenklamid. Semua perlakuan dilakukan secara per oral.

Pengambilan cuplikan darah dilanjutkan untuk menit ke-15, 30, 45, 60, 90, 120,

180, dan 240 setelah UTGO. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dengan

metode GOD-PAP, dibuat kurva UTGO dan perhitungan harga LDDK0-240


(47)

Keterangan:

Kelompok dengan kotak perlakuan berwarna biru aqua (kelompok II, III, IV, V, dan VI) diberikan pembebanan glukosa monohidrat 15% b/v dosis 1,75mg/kgBB, sedangkan kelompok dengan kotak perlakuan berwarna putih (kelompok I) tidak diberikan pembebanan glukosa.

Gambar 4. Flowchart Pengelompokkan dan Perlakuan Hewan Uji

30 ekor tikus

Pengambilan cuplikan darah menit ke-0

Injeksi per oral glukosa monohidrat 15% b/v dosis 1,75mg/kgBB Pengambilan cuplikan darah menit ke-15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240

(setelah UTGO)

selang waktu antara pengambilan cuplikan darah dengan UTGO (pembebanan glukosa) menyesuaikan hasil penetapan waktu pemberian glibenklamid

Sentrifugasi selama 30 menit, 3000 rpm Peracikan blanko dan sampel

Operating time 20 menit

Vortex

Pengukuran kadar glukosa darah pada microVitalab 200 Kelompok I (n=5) Kelompok V (n=5) Kelompok II (n=5) Kelompok VI (n=5) Kelompok IV (n=5) Kelompok III (n=5)

injeksi per oral CMC 1% b/v

injeksi per oral suspensi glibenklamid 0,45mg/kgBB

injeksi per oral CMC 1% b/v

injeksi per oral jus buncis 22,5g/kgBB

injeksi per oral jus buncis 50,85g/kgBB

injeksi per oral jus buncis 115,05g/kgBB


(48)

9. Penetapan kadar glukosa darah dengan metode GOD-PAP

Darah tikus diambil pada waktu-waktu yang telah ditentukan melalui

carvenous sinus (belakang mata) sebanyak 0,5 mL ditampung dalam effendorf

yang telah diberi EDTA dan disentrifuge selama 30 menit dengan kecepatan 3000

rpm. Plasma diambil, dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan reagen,

divortex dan diukur kadar gula darahnya menggunakan microVitalab pada λ 500

nm. Kadar glukosa dinyatakan dalam mg/dL. Pengukuran kadar glukosa

dilakukan di laboratorium Fisiologi-Biokimia Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma, Yogyakarta.

Tabel V. Volume Pengukuran Kadar Glukosa Darah

Bahan Sampel (mL) Standar (mL) Blanko (mL)

Supernatan 0,01 - -

Larutan baku glukosa - 0,01 -

Pereaksi GOD-PAP 1 1 1

(DiaSys, 2014)

E. Analisis Hasil

Data LDDK0-240 glukosa darah setiap kelompok dianalisis secara statistik,

diawali dengan uji distribusi dan uji homogenitas menggunakan uji Kolmogorov

Smirnov. Apabila distribusi termasuk normal dan variansinya homogen (p > 0,05)

maka dilanjutkan dengan analisis One Way ANOVA dan uji Post Hoc Test

Scheffe dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila distribusi tidak normal dan nilai LDDK0-240 memiliki variansi yang berbeda (p < 0,05) maka dilakukan uji Kruskal

Wallis dan dilanjutkan uji Mann Whitney dengan tingkat kepercayaan 95% untuk

mengetahui perbedaan tiap kelompok apakah bermakna (p<0,05) atau tidak


(49)

29

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Determinasi Tanaman

Pada penelitian ini dilakukan determinasi tanaman uji berupa tanaman buncis (Phaseolus vulgaris L,) dengan tujuan untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan adalah benar tanaman buncis. Buncis yang diperoleh dari Condong Catur, Yogyakarta, kemudian dideterminasi di Bagian Biologi Farmasi, Unit II Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta oleh Bapak Djoko Santoso, M.Si. Bagian tanaman yang digunakan untuk determinasi meliputi akar, batang, daun, buah, dan bunga.

Determinasi dilakukan hingga tingkat spesies dan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa bahwa tanaman yang dideterminasi adalah benar tanaman buncis (Phaseolus vulgaris L.) (Lampiran 2).

B. Hasil Percobaan Pendahuluan 1. Penetapan waktu pemberian glibenklamid

Tujuan dilakukannya penetapan waktu pemberian glibenklamid adalah untuk melihat pengaruh selang waktu pemberian glibenklamid terhadap daya penurunan glukosa darah, agar pada saat uji toleransi glukosa oral (UTGO) dengan pembebanan larutan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v, glibenklamid dapat memberikan efek penurunan kadar glukosa darah yang optimal.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah UTGO yaitu uji yang memberikan gambaran mengenai kenaikan kadar glukosa darah secara cepat


(50)

setelah pembebanan glukosa. Metode ini juga memberikan gambaran mengenai efek penurunan kadar glukosa darah secara cepat oleh obat atau zat yang memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah karena glukosa cepat dimetabolisme. Kelemahan dari UTGO adalah metode ini hanya dapat menggambarkan kenaikan kadar glukosa darah yang bersifat sementara. Untuk itu perlu dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan metode uji efek antidiabetes yang lain seperti uji perusakan pankreas atau metode resistensi insulin, dimana hewan uji dapat terindikasi DM secara permanen.

Waktu pemberian glibenklamid pada hewan uji didasarkan pada penurunan harga luas daerah dibawah kurva dari menit ke-0 sampai menit ke-240 (LDDK0-240), dimana waktu pemberian yang dipilih merupakan waktu pemberian yang memiliki nilai LDDK0-240 kontrol positif paling kecil.

Tabel VI. Hasil UTGO dan Perhitungan Selisih Nilai LDDK0-240 Rata-Rata Suspensi Glibenklamid Dosis 0,45mg/kgBB

Selang waktu pemberian

suspensi glibenklamid sebelum UTGO

LDDK0-240 Rata-Rata(mg.menit/dL) Selisih LDDK0-240 (mg.menit/dL) Kontrol negatif

(CMC 1% b/v)

Kontrol positif (glibenklamid

dosis 0,45mg/kgBB)

15 33000,0 21701,5 11298,5

30 32951,5 17783,0 15168,5

45 33907,5 20483,0 13424,5

Tabel VI menunjukkan bahwa glibenklamid pada menit ke-30 sebelum UTGO memiliki nilai LDDK0-240 kontrol positif paling kecil (17783,0 mg.menit/dL) bila dibandingkan dengan menit ke-15 (21701,5 mg.menit/dL) dan menit ke-45 (20483,0 mg.menit/dL), sehingga waktu pemberian glibenklamid yang digunakan adalah 30 menit sebelum UTGO.


(51)

2. Penetapan dosis sediaan jus buncis

Penetapan dosis sediaan jus buncis bertujuan untuk menentukan dosis yang optimal dalam memberikan penurunan kadar glukosa darah namun tidak memberikan efek letal pada hewan uji. Penggunaan jus buncis secara empiris adalah 250 gram buncis dijus dalam 100 mL air dan disaring, sehingga didapatkan konsentrasi 250g/150mL.

Orientasi dosis dilakukan menggunakan peringkat dosis yang diperoleh dari konversi empiris manusia 70 kg ke tikus 200 gram. Dosis yang diperoleh digunakan sebagai peringkat dosis tertinggi, kemudian diturunkan masing-masing 1,5x untuk peringkat dosis kedua dan ketiga. Diperoleh peringkat dosis 10 g/kgBB, 15 g/kgBB, dan 22,5 g/kgBB. Hasil orientasi menunjukkan bahwa dosis I (10 g/kgBB) dan dosis II (15 g/kgBB) belum memberikan efek penurunan kadar glukosa darah yang signifikan terhadap kontrol positif (Lampiran 6), sehingga dilakukan penyesuaian dosis lanjutan.

Dosis empiris manusia (22,5g/kgBB) kemudian dijadikan dosis terendah (dosis I). Peringkat dosis tertinggi (dosis III) ditentukan dengan mencari konsentrasi maksimum jus yang masih bisa masuk ke dalam spuit injeksi oral tanpa memberikan penyumbatan terhadap spuit dan tidak memberikan efek letal pada hewan uji. Diperoleh konsentrasi maksimum sebesar 1150g/150mL dan dilakukan perhitungan dosis dengan rumus D × BB = C × V, maka didapatkan dosis tertinggi sebesar 115,05g/kgBB. Dosis tengah didapatkan dengan

menghitung faktor peringkat berdasarkan rumus f = , dimana f adalah faktor peringkat, n adalah jumlah kelompok dosis, D3 adalah dosis tertinggi, dan


(52)

D1 adalah dosis terendah. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai f sebesar 2,26. Dosis tengah kemudian dihitung dengan mengalikan dosis terendah (dosis I) dengan faktor peringkat. Diperoleh dosis tengah sebesar 50,85g/kgBB.

3. Penetapan waktu pemberian jus buncis

Pemberian jus buncis mengikuti waktu yang ditetapkan pada penetapan waktu pemberian glibenklamid, yaitu 30 menit sebelum UTGO (Lampiran 5).

C. Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Jus Buncis

Hewan uji dikelompokkan dan diberi perlakuan seperti pada Gambar 4. Semua perlakuan diberikan secara per oral. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan menggunkan instrument microVitalab-200 dengan metode enzimatis yaitu menggunakan reagen GOD-PAP pada λ 500 nm. Reagen GOD-PAP berisi dapar fosfat 250 mmol/L, fenol 5 mmol/L, 4-amino antipirin 0,5 mmol/L, glukosa oksidase (GOD) ≥10ku/L, dan peroksidase (POD) ≥10ku/L. Prinsip reaksinya adalah adanya GOD akan mengkatalisis oksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida. Glukosa akan bereaksi dengan reagen GOD-PAP dan akan membentuk kompleks kuinonimin yang berwarna merah muda.

Pembentukan kompleks kuinonimin memerlukan waktu inkubasi (operating time) selama 20 menit pada suhu ruang agar terjadi reaksi yang optimum antara glukosa dengan enzim yang terdapat dalam reagen GOD-PAP. Selama waktu inkubasi, terjadi perubahan warna dari bening menjadi merah muda yang kemudian dilakukan pembacaan kadar pada microVitalab. Hasil pembacaan kadar dapat dilihat pada Tabel VII dan Gambar 6.


(53)

Gambar 5. Reakzi Enzimatik Antara Glukosa dengan Reagen GOD-PAP (Barham dan Trinder, 1972).

Tabel VII menunjukkan nilai rata-rata kadar glukosa darah dan nilai LDDK

0-240

masing-masing kelompok perlakuan. Nilai LDDK0-240 dari tiap kelompok dihitung menggunakan metode trapezoid.

LDDK = t − t2 × C + C + t − t2 × C + C

+ t − t2 × C + C + … !

Keterangan:

t = waktu (menit)

C = konsentrasi zat dalam darah (mg/mL)

LDDKto-tn = luas daerah di bawah kurva dari waktu ke-0 sampai ke-n Kelompok I memiliki nilai LDDK0-240 (19503,0) paling kecil dibandingkan kelompok lainnya. Hal ini dikarenakan kelompok I hanya diberi CMC 1% b/v, dimana CMC 1% b/v tidak memiliki efek terapeutik yang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar glukosa darah.

Kelompok II (20862,0) memiliki nilai LDDK0-240 yang lebih tinggi daripada kelompok I (19503,0) namun lebih rendah daripada kelompok III (28206,0). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok II dapat menurunkan kadar


(54)

glukosa darah. Hewan uji pada kelompok II diberikan suspensi glibenklamid, dimana glibenklamid merupakan obat hipoglikemik oral golongan sulfonilurea yang memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah dengan menstimulasi sekresi insulin pada sel ß pankreas, sehingga kadar glukosa yang diperoleh mendekati kadar normal.

Tabel VII. Data Kadar Glukosa Darah Rata-Rata dan LDDK0-240± SD Tiap Kelompok Perlakuan (n=5)

Waktu

(menit) I II III IV V VI

0 79,8 79,6 87,6 79,4 78,6 79,0

15 81,4 110,4 127,8 109,4 108,8 107,2

30 81,4 115,4 138,2 129,4 128,2 127,4

45 80,6 104,6 132,2 119,0 118,0 117,2

60 81,0 101,2 126,8 109,8 108,4 107,4

90 81,4 92,0 122,6 99,8 98,0 96,6

120 81,4 84,0 118,0 89,6 87,4 85,8

180 81,6 76,0 112,0 80,0 77,6 70,4

240 81,0 64,4 102,4 71,8 72,2 48,6

LDDK0-240 19503,0 ± 177,292 20862,0 ± 337,775 28206,0 ± 507,329 22413,0 ± 675,304 22048,5 ± 1107,913 20727,0 ± 851,285 Keterangan:

I : Kontrol normal (CMC 1% b/v)

II : Kontrol positif (suspensi glibenklamid dosis 0,45mg/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)

III : Kontrol negatif (CMC 1% b/v + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v) IV : Sediaan uji dosis I (jus buncis dosis 22,5g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a

dosis 15,0% b/v)

V : Sediaan uji dosis II (jus buncis 50,85g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)

VI : Sediaan uji dosis III (jus buncis 115,05g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)

Kelompok III (28206,0) memiliki nilai LDDK0-240 yang paling tinggi dari semua kelompok. Hal ini dikarenakan hewan uji pada kelompok III diberi CMC 1% serta pembebanan glukosa monohidrat, dimana CMC 1% tidak memiliki efek untuk menaikkan atau menurunkan kadar glukosa darah.


(55)

Kelompok II (2 daripada kelompok IV (

240

yang sama dengan kelompok IV dan V me sebaik glibenklamid. Efe V dapat dilihat dari nil yang lebih rendah dari kesamaan nilai LDDK 0-memiliki efek penurunan

Gambar 6. Kurva Hu Darah Keterangan:

I : Kontrol normal (CM II : Kontrol positif (su

monohidrat p.a dosis III : Kontrol negatif (CM IV : Sediaan uji dosis I (

dosis 15,0% b/v) V : Sediaan uji dosis II (

15,0% b/v) VI : Sediaan uji dosis II

dosis 15,0% b/v)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 K a d a r g lu k o sa d a ra h ( m g /d L)

(20862,0) memiliki nilai LDDK0-240 yang leb (22413,0) dan V (22048,0), namun memiliki nila n kelompok VI (20727,0). Hal ini menunjukk

emiliki efek penurunan kadar glukosa darah, na fek penurunan kadar glukosa darah pada kelomp nilai LDDK0-240 kelompok IV (22413,0) dan V aripada nilai LDDK0-240 kelompok III (28206,0

-240

kelompok II dan VI menandakan bahwa kel an kadar glukosa darah yang sama dengan gliben

ubungan Antara Waktu dan Rerata Kadar

MC 1% b/v)

suspensi glibenklamid dosis 0,45mg/kgBB + pembeba sis 15,0% b/v)

MC 1% b/v + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 1 I (jus buncis dosis 22,5g/kgBB + pembebanan glukosa mo II (jus buncis 50,85g/kgBB + pembebanan glukosa monohid III (jus buncis 115,05g/kgBB + pembebanan glukosa mo

15 30 45 60 90 120 180 240

Waktu (menit) Kelompo Kelompo Kelompo Kelompo Kelompo Kelompo

ebih rendah ilai LDDK 0-kkan bahwa namun tidak pok IV dan V (22048,5) ,0). Adanya elompok VI enklamid.

ar Glukosa

banan glukosa 15,0% b/v) monohidrat p.a hidrat p.a dosis monohidrat p.a

pok I pok II pok III pok IV pok V pok VI


(56)

Data LDDK0-240 kemudian dianalisis menggunakan uji statistik (Lampiran 7). Untuk mengetahui normal atau tidaknya distribusi data, dilakukan uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas data menunjukkan bahwa data memiliki distribusi yang normal dengan nilai p=0,125 (p>0,05). Uji kemudian dilanjutkan dengan Test of Homogeneity of Variances untuk mengetahui homogenitas data, apakah ada perbedaan nilai LDDK0-240 yang bermakna dari masing-masing kelompok perlakuan. Hasil pengujian homogenitas data menunjukkan nilai p=0,199 (p>0,05) yang berarti bahwa variansi data LDDK0-240 homogen. Dari kedua hasil uji tersebut diatas, uji dapat dilanjutkan menggunakan One Way ANOVA. Hasil uji One Way ANOVA menunjukkan nilai p=0,000 (p<0,05) yang kemudian dilanjutkan dengan Post Hoc Scheffe untuk mengetahui pasangan kelompok yang berbeda secara signifikan.

Tabel VIII. Hasil Uji Post Hoc Scheffe LDDK0-240 Glukosa Darah Tikus yang Terbebani Glukosa

1 2 3 4 5 6

1 - BTB BB BB BB BTB

2 BTB - BB BTB BTB BTB

3 BB BB - BB BB BB

4 BB BTB BB - BTB BTB

5 BB BTB BB BTB - BTB

6 BTB BTB BB BTB BTB -

Keterangan:

1 : Kontrol normal (CMC 1% b/v)

2 : Kontrol positif (suspensi glibenklamid dosis 0,45mg/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)

3 : Kontrol negatif (CMC 1% b/v + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v) 4 : Sediaan uji dosis I (jus buncis dosis 22,5g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a

dosis 15,0% b/v)

5 : Sediaan uji dosis II (jus buncis 50,85g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)

6 : Sediaan uji dosis III (jus buncis 115,05g/kgBB + pembebanan glukosa monohidrat p.a dosis 15,0% b/v)

TBB : Berbeda tidak bermakna (p>0,05) BB : Berbeda Bermakna (p<0,05)


(57)

Hasil uji Post Hoc Scheffe pada Tabel VIII menunjukkan bahwa sediaan uji dosis I, II, dan III berbeda bermakna terhadap kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan uji memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar glukosa darah.

Sediaan uji dosis I dan sediaan uji dosis II berbeda tidak bermakna dengan kontrol positif namun berbeda bermakna dengan kontrol normal. Hal ini menunjukkan bahwa jus buncis dosis I (22,5g/kgBB) dan dosis II (50,85g/kgBB) mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus sebaik glibenklamid namun belum dapat menurunkan kadar glukosa darah hingga mencapai normal.

Sediaan uji dosis III berbeda tidak bermakna dengan kontrol normal dan kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa jus buncis dosis III (115,05g/kgBB) mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus sebaik glibenklamid hingga mencapai kadar normal.

Sediaan uji dosis I, II, dan III menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna. Hal ini berarti bahwa ketiga peringkat dosis tersebut sama-sama dapat menurunkan kadar glukosa darah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa buncis (Phaseolus vulgaris L.) dapat digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa. Namun demikian, perlu dilakukan perhitungan ED50 Menurut

Jannah, Sudarma, dan Andayani (2013), senyawa yang bertanggung jawab dalam menurunkan kadar glukosa darah adalah β-sitosterol dan stigmasterol yang termasuk dalam golongan fitosterol. β-sitosterol dan stigmasterol dapat merangsang pelepasan insulin dengan menghambat kerja glukosa-6-fosfatase,


(58)

yang di dalam hati merupakan enzim utama untuk konversi karbohidrat menjadi gula darah. Wahyuntari (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Penghambat α-Amilase: Jenis, Sumber, dan Potensi Pemanfaatannya Dalam Kesehatan” menyebutkan bahwa buncis memiliki kandungan flavonoid yang berfungsi sebagai penghambat enzim α-amilase. Enzim ini memegang peranan penting dalam pemecahan karbohidrat kompleks, seperti pati. Beberapa menit setelah asupan pati, akan terjadi hiperglikemia, karena pemecahan pati yang begitu cepat. Penghambatan α-amilase berpengaruh terhadap metabolisme di dalam saluran pencernaan, antara lain memperlambat penyerapan dan pemecahan karbohidrat yang dapat mengurangi konsentrasi glukosa plasma.


(59)

39 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

1. Jus buncis dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.

2. Jus buncis dosis 22,5g/kgBB, 50,85g/kgBB, dan 115,05g/kgBB dapat

menurunkan kadar glukosa darah tikus jantan galur Wistar yang terbebani glukosa.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat dilakukan pengembangan mengenai:

1. Penelitian efek jus buncis dalam menurunkan kadar glukosa darah dengan metode uji efek antidiabetes yang lain, misalnya uji perusakan pankreas atau metode resistensi insulin.


(60)

40

DAFTAR PUSTAKA

Adam, M.F., 2000, Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Mellitus yang Baru, Majalah Cermin Dunia Kedokteran No. 127, Jakarta, hal. 37-39. American Diabetes Association, 2010, Diagnosis and Classification of Diabetes

Mellitus, Diabetes Care, Vol. 33, 562-569.

Amin, M. N., 2014, Sukses Bertani Buncis: Sayuran Obat Kaya Manfaat, Garudhawaca, Jakarta, hal. 25-30.

Barham, D., Trinder, D., 1972, An Improved Color Reagen for Determination of Blood Glucose by the Oxydase System. Analist 97, pp. 142-145.

Dalimartha, S., 2004, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Trubus Agriwidya, Bogor. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus, Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Jakarta, hal. 4-12.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi III, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, hal. 1086. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi

IV, Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, hal. 411. DiaSys Diagnostic System GmbH, 2014, Glucose GOD FS Diagnostic Reagent

for Quantitive In Vitro Determination of Glucose in Serum or Plasma on Photometric Systems, DiaSys Diagnostic System GmbH, Germany, pp. 1-2.

Ghani, A., DeFronzo, R., 2010, Pathogenesis of Insulin Resistance In Skeletal Muscle, J Biomed and Biotech, pp. 1-19.

Gunawan, S. G., 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Departemen

Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Handoko, T., Suharto, B., 1995, Insulin, Glukagon, dan Antidiabetik Oral, dalam Ganiswara, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 469, 471.

International Diabetes Federation, 2012, Global Guideline for Type 2 Diabetes, International Diabetes Federation, Belgium, ppl. 9-10.

Jannah, H., Sudarma, I. M., Andayani, Y., 2013, Analisis Senyawa Fitosterol Dalam Ekstrak Buah Buncis (Phaseolus vulgaris L.), Journal of Chemistry Progress, 6(2), 70-75.

Judge, N., Svensson, B., 2006, Review Proteinaceous Inhibitor of Carbohydrate Active Enzymes in Cereals: Implication in Agriculture, Cereal Processing, and Nutrition, Journal of Science Food Agricultural, 0022-5142.

Kurniawati, D., Sutrisna, E. M., Wahyuni, A. S., 2012, Uji Penurunan Kadar Glukosa Darah Oleh Ekstrak Etanol 70% Daun Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Pada Kelinci Jantan yang Dibebani Glukosa, Biomedika, 4(1), 1-8. Lanywati, E., 2001, Diabetes Mellitus: Penyakit Kencing Manis, Kanisius,

Yogyakarta, hal.7-8.

Luka, C. D., Olatunde, A., Tijjani, H., Ollisa-Enewe, I. A., 2013, Effect of Aqueous Extract of Phaseolus vulgaris L. (Red Kidney Beans) On Alloxan-Induced Diabetic Wistar Rats, International Journal of Science Inventions Today, 2(4), 292-301.


(61)

41

Mahendra, B., Tobing, A., Krisnatuti, D., Alting, B. Z. A., 2008, Care Yourself Diabetes Mellitus, Penebar Plus, Jakarta, hal. 8-9.

Merentek, E., 2006, Resistensi Insulin Pada Diabetes Mellitus Tipe 2, Majalah Cermin Dunia Kedokteran No. 150, Jakarta, hal. 38-39.

Pari, L., Venkateswaran, S., 2003, Effect of An Aqueous Extraact of Phaseolus vulgaris On The Properties of Tail Tendon Collagen of Rats with Streptozotocin-Induced Diabetes, Brazillian Journal of Medical and Biological Research, 36: 861-870.

Permatasari, A. A., 2008, Uji Efek Penurunan Kadar Glukosa Darah Ekstrak Ethanol 70% Buah Jambu Biji (Psidium guajava L.) pada Kelinci Jantan Lokal, Skripsi, Universitas Muhammadiyah, Surakarta.

Royal Pharmaceutical Society, 2011, British National Formulary 61,

Pharmaceutical press, London, p. 428.

Setyadhini, T. E., 2006, Diabetes: Penemuan Baru Memerangi Diabetes Melalui Diet Golongan Darah, B First Bentang Pustaka, Yogyakarta, hal. 45-46. Soegondo, S., 2005, Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu: Diagnosis dan

Klasifikasi Diabetes Mellitus Terkini, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 18.

Suryo, J., 2004, Rahasia Herbal Penyembuh Diabetes, B First Bentang Pustaka, Yogyakarta, hal. 4.

Sustraini, L., Alam, S., Hadibroto, I., 2006, Diabetes, Gramedia, Jakarta, hal. 8-9.

Syahputra, M. H. D., 2003, Diabetik Ketoasidosis,

http://library.usu.ac.id/download/fk/biokimia-syahputra2.pdf, diakses tanggal 15 Desember 2015.

Syarif, A., Ascobat, P., Setiabudy, R., Estuningtyas, A., Setiawati, A., Sunaryo, R., 2009, Farmakologi dan Terapi, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal. 490. Rizki, F., S.Gz., 2013, The Miracle of Vegetables, Cetakan Pertama, PT

Agromedia Pustaka, Jakarta, hal. 45, 46, 49.

Wahyuntari, B., 2011, Penghambat α-Amilase: Jenis, Sumber, dan Potensi

Pemanfaatannya Dalam Kesehatan, Jurnal Teknologi dan Industri

Pangan, 22(2), 197-201.

Waluyo, N., Djuariah, D., 2013, Varietas-Varietas Buncis (Phaseolus vulgaris L.) yang Telah Dilepas oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran, IPTEK Tanaman Sayuran, no. 2.

Widowati, L., Zulkarnaen, B., Sa’roni, 1997, Tanaman Obat untuk Diabetes Mellitus, Majalah Cermin Dunia Kedokteran, No.116, Jakarta, hal. 53-60.. Wild, S., Roglic, G., Green, A., Sicree, R., dan King, H., 2004, Global Prevalence

of Diabetes: Estimates for the Year 2000 and Proections for 2030,

Diabetes Care, 27(5):1047-53.

Winarsi, H., 2010, Protein Kedelai dan Kecambah: Manfaatnya Bagi Kesehatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 170-171.

World Health Organization, 2003, Fifty-Sixth World Health Assembly: Traditional Medicine, Report by the Secretariat, pp. 1-4.


(62)

42


(63)

43

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance)


(64)

44


(65)

45 Lampiran 3. Bahan dan Alat Penelitian

Tikus jantan galur Wistar Buncis

Blender Timbangan analitik


(66)

46 Lampiran 4. Preparasi Bahan

a. Pembuatan larutan stok glukosa monohidrat p.a 15%b/v Penimbangan

Bobot kertas = 0,4008 gram

Bobot kertas + glukosa monohidrat = 4,1511 gram

Bobot kertas + sisa = 0,4010 gram

Bobot glukosa monohidrat = 3,7501 gram

Pembuatan larutan stok

3,7501 gram glukosa monohidrat dilarutkan dalam aquadest panas pada labu takar 25 mL sampai batas tanda. Diperoleh konsentrasi larutan glukosa monohidrat sebesar 15,0004%.

b. Keseragaman bobot tablet glibenklamid 5 mg

Berdasarkan ketentuan pada Tabel IV (halaman 26), tablet dengan bobot rata-rata 151-300 mg memiliki penyimpangan rata-rata-rata-rata tablet sebesar 7,5% pada kolom A dan 15% pada kolom B.

Tablet ke- Bobot (mg) Tablet ke- Bobot (mg)

1 202 11 203

2 201 12 193

3 203 13 200

4 200 14 202

5 206 15 205

6 201 16 198

7 202 17 198

8 201 18 198

9 200 19 196

10 204 20 200


(67)

47 Bobot maksimal penyimpangan kolom A 7,5% × 200,65 mg = 15,04875 mg

200,65 mg ± 15,04875 mg = 185,60 - 215,69 mg Bobot maksimal penyimpangan kolom B

15% × 200,65 mg = 30,0975 mg

200,65 mg ± 30,0975 mg = 170,55 - 230,74 mg

Dari hasil perhitungan penyimpangan bobot, tidak ada satupun tablet yang keluar dari range kolom A maupun kolom B. Hal ini menunjukkan bahwa tablet glibenklamid memiliki bobot yang seragam.

c. Pembuatan suspensi glibenklamid 0,1125 mg/mL D × BB = C × V 0,45mg/kgBB × 200 g = C × 0,8 mL

C = 0,1125mg/mL Bobot rata-rata tablet glibenklamid = 200,65 mg

Tiap tablet mengandung 5 mg zat aktif glibenklamid sehingga serbuk yang harus ditimbang untuk mendapatkan 25 mg zat aktif adalah:

25 mg

5 mg × 200,65 mg = 1003,25 mg

Sejumlah 1003,25 mg serbuk glibenklamid dilarutkan dalam CMC 1% b/v pada labu ukur 10 mL sebagai larutan induk dengan konsentrasi 0,25%. Suspensi glibenklamid konsentrasi 0,1125 mg/mL diperoleh dengan cara:

C1 × V1 = C2 × V2

2,5mg/mL × V1 = 0,1125 mg/mL × 10 mL V1 = 0,45 mL


(68)

48

0,45 mL suspensi induk dilarutkan dalam aquadest pada labu ukur 10 mL hingga batas tanda.

d. Penentuan dosis pemberian jus buncis 1. Orientasi dosis pemberian jus buncis

Konsentrasi konsumsi jus buncis untuk manusia dewasa (70 kg) adalah 250 gram buncis dalam 100 mL air diblender dan disaring untuk satu kali minum (150 mL). Faktor konversi dosis manusia (70 kg) ke tikus (200g) yaitu 0,018, sehingga dosis untuk tikus 200 gram sebagai berikut:

0,018 × 250 g = 4,5g/200gBB

Dosis untuk tikus 1 kg:

× 4,5 g = 22,5g/kgBB

Dosis 22,5g/kgBB ditetapkan sebagai dosis tertinggi, selanjutnya dilakukan penentuan peringkat dosis untuh dosis tengah dan dosis terendah dengan cara menurunkan dosis tertinggi 1,5x untuk mendapatkan dosis tengah dan menurunkan 1,5x lagi untuk mendapatkan dosis terendah.

Dosis tengah = 22,5g/kgBB1,5 = 15g/kgBB Dosis terendah =15g/kgBB1,5 = 10g/kgBB

2. Penetapan dosis pemberian jus buncis

Dari perolehan dosis untuk tikus 1 kg (22,5g/kgBB) dilakukan penentuan peringkat dosis untuk dosis tengah dan dosis tertinggi. Dosis tertinggi ditentukan dengan melihat konsentrasi maksimum jus buncis yang


(69)

49

penyumbatan dan konsentrasi maksimum jus buncis yang tidak menyebabkan kematian pada hewan uji.

Perhitungan peringkat dosis tertinggi:

C3 =150 mL = 7,67 g/mL1150 g D3 × BB = C3 × V

D3 × 200 g = 7,67g/mL × 3 mL

D3 = 23,01g/200gBB = 115,05g/kgBB Perhitungan faktor peringkat untuk penentuan dosis tengah:

f = ()*+ D3D1

Keterangan:

f = faktor peringkat n = jumlah kelompok dosis D1 = dosis terendah

D3 = dosis tertinggi

f = (,*+ 115,05g/kgBB22,5g/kgBB

= -5,1. = 2,26

D2 = D1 × f

= 22,5g/kgBB × 2,26 = 50,85g/kgBB


(70)

50

Lampiran 5. Hasil Rangkaian Uji Analisis Statistik LDDK0-240: Penetapan Waktu Pemberian Glibenklamid


(71)

(1)

56


(2)

57

HOMOGENEOUS SUBSETS

LDDK Scheffea

5 19503,00

5 20727,00 20727,00

5 20862,00 20862,00 20862,00 5 22048,50 22048,50

5 22413,00

5 28206,00

,120 ,138 ,054 1,000 Perlakuan Kontrol Normal Dosis III Kontrol Positif Dosis II Dosis I Kontrol Negatif Sig.

N 1 2 3 4

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000. a.


(3)

58

Lampiran 8. Leaflet Reagen GOD-PAP


(4)

(5)

60


(6)

61

BIOGRAFI PENULIS

Skripsi berjudul “Pengaruh Pemberian Jus Buncis

(Phaseolus vulgaris L.) Terhadap Kadar Glukosa Darah

Tikus Jantan Galur Wistar yang Terbebani Glukosa” ini ditulis oleh Ludwina Dearesthea Onevita. Penulis lahir di Semarang, 4 Mei 1994 dan merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Nicolaus Bambang Wijanarko dan Eurelia Maria Dewi Perwani Rakyattiningtyas. Penulis mulai menginjakkan kaki di bangku sekolah Play Group Putra Persada Klaten (1997-1998) dan melanjutkan pendidikan di TK Maria Assumpta Klaten (1998-2000). Pada tahun 2000 penulis menempuh pendidikan di SD St. Th. Marsudirini 77 Salatiga hingga tahun 2006 dan melanjutkan tingkat menengah pertama di SMPN 1 Salatiga (2006-2009). Selepas dari pendidikan menengah pertama, penulis meneruskan pendidikan di SMA Stella Duce 1 Yogyakarta pada tahun 2009-2012. Penulis kemudian menempuh pendidikan sarjana strata satu di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta pada tahun 2012. Selama masa kuliah, penulis aktif dalam beberapa kegiatan antara lain organis Paduan Suara Dosen dan Karyawan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta “Driyarkara”, anggota Divisi Bandzen Tiga Hari Temu Akrab Farmasi (TITRASI) 2014, serta perwakilan Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta dalam acara The 13th IPSF Asia-Pacific Pharmaceutical Symposium


Dokumen yang terkait

UJI PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PERASAN BUAH BUNCIS (Phaseolus vulgaris L.) TERHADAP KELINCI JANTAN YANG DIBEBANI GLUKOSA.

0 0 20

Efek Ekstrak Etanol Buncis (Phaseolus Vulgaris L) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Mencit Jantan Galur Swiss Webster Yang Di Induksi Aloksan.

0 0 15

Pengaruh air rebusan daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur wistar yang terbebani glukosa.

0 5 91

Efek pemberian jus buah pisang ambon (Musa paradisiace var. sapientum (L.) Kunt.) terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur wistar yang terbebani glukosa.

0 0 8

Efek pemberian jus buah pisang kepok (Musa paradisiaca forma typica) terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur wistar yang terbebani glukosa.

0 5 10

Interaksi jus buah pare (Momordica charantia L.) dan jus buah naga merah (Hylocereus purpusii L.) terhadap tikus jantan galur wistar yang terbebani glukosa.

3 19 100

Efek pemberian jus buah pisang kepok (Musa paradisiaca forma typica) terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur wistar yang terbebani glukosa.

0 0 11

Efek pemberian jus buah pisang ambon (Musa paradisiace var. sapientum (L.) Kunt.) terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur wistar yang terbebani glukosa

0 0 6

Efek pemberian jus buah pisang kepok (Musa paradisiaca forma typica) terhadap kadar glukosa darah tikus jantan galur wistar yang terbebani glukosa

0 4 8

PENGARUH EKSTRAK BUNCIS (Phaseolus vulgaris l.) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) WISTAR JANTAN YANG MENGALAMI DIABETES MELLITUS

1 0 21