Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Regrouping SD Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang O2 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang T2 942015029 BAB II
17
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1.
Evaluasi Program
2.1.1. Pengertian Evaluasi Program
Evaluasi adalah bagian dari suatu penelitian. Evaluasi merupakan proses pengumpulan data untuk menentukan sejauhmana, dalam hal apa, dan bagaimana tujuan program dapat tercapai. Evaluasi merupakan alat untuk menganalisis dan menilai fenomena dan aplikasi ilmu pengetahuan. Sebagai cabang ilmu pengetahuan yang mandiri, ilmu evaluasi didukung oleh sejumlah teori. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektivan kebijakan guna dipertanggungjawabkan kepada yang berwenang. Evaluasi dapat melihat sejauh mana tujuan tercapai serta untuk melihat sejauh mana kesenjangan antara ekspektasi dengan kenyataan.
Menurut Anderson dalam Winarno (2008: 166), ”secara umum evaluasi dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak pelaksanaan kebijakan tersebut”.
Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 1) “evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi mengenai bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya
(2)
18
informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan”.
Suchman dalam Arikunto dan Jabar (2010:1) memandang bahwa, “evaluasi sebagai proses penentuan hasil yang dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung pencapaian tujuan”.
Stutflebeam dalam Arikunto dan Jabar (2010:2)
mengatakan bahwa, “evaluasi merupakan
penggambaran proses, mencari dan memberikan informasi yang berguna untuk para pengambil keputusan dalam menentukan alternatif keputusan”.
Dari pengertian evaluasi diatas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah proses kegiatan pengukuran, menilai, menganalisis terhadap program atau kebijakan untuk menentukan hasil dari tujuan yang telah ditetapkan, sebagai pedoman pengambilan langkah dimasa yang akan datang.
Ada beberapa pengertian tentang program. Program merupakan suatu rencana yang melibatkan berbagai unit yang berisikan kebijakan serta rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Dalam kamus (a) program adalah rencana, (b) program adalah kegiatan yang dilakukan dengan seksama. Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 2) program dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu secara umum dan khusus. Pengertian program secara umum, dapat diartikan sebagai rencana atau
(3)
19
rancangan kegiatan yang akan dilakukan oleh seseorang di kemudian hari. Sedangkan pengertian program secara khusus biasanya dikaitkan dengan evaluasi yang berarti suatu kesatuan atau unit kegiatan yang merupakan implementasi atau realisasi suatu kebijakan, berlangsung dalam proses berkesinambungan dan terjadi dalam satu organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Dari pengertian secara khusus ini, maka sebuah program adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan waktu pelaksanaan yang panjang. Selain itu, sebuah program tidak hanya terdiri dari suatu kegiatan namun, merupakan suatu rangkaian kegiatan yang membentuk satu sistem yang saling terkait satu sama lain dengan melibatkan lebih dari satu orang untuk melaksanakannya.
Menurut Isaac dan Michael (1984: 6) sebuah program harus diakhiri dengan evaluasi. Hal ini dikarenakan apakah program tersebut berhasil menjalankan fungsi sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut mereka, ada tiga tahap rangkaian evaluasi program yaitu: (1) menyatakan pertanyaan serta menspesifikasikan informasi yang hendak diperoleh, (2) mencari data yang relevan dengan penelitian dan (3) menyediakan informasi yang dibutuhkan pihak pengambil keputusan untuk
(4)
20
melanjutkan, memperbaiki atau menghentikan program tersebut.
Evaluasi program merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan suatu program. Melakukan evaluasi program ialah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang telah direncanakan (Suharsimi Arikunto, 2009: 297).
Menurut Tyler dalam Arikunto dan Jabar (2009: 5), evaluasi program merupakan proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan telah terealisasikan. Selanjutnya menurut Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Arikunto dan Jabar (2009: 5), evaluasi program merupakan upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi program merupakan rangkaian kegiatan pengumpulan data atau informasi ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif kebijakan program dimasa akan datang. Karenanya, dalam keberhasilan suatu evaluasi program ada dua konsep yang terdapat didalamnya yaitu efektifitas dan efisiensi. Efektifitas adalah perbandingan antara output dan input sedangkan
(5)
21
efisiensi merupakan taraf pendayagunaan input untuk menghasilkan output melalui suatu proses.
Evaluasi program adalah segala sesuatu yang dilakukan dengan harapan akan mendatangkan hasil atau manfaat. Evaluasi program dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh unsur-unsur implementasi program. Hal ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana program tersebut berhasil mencapai maksud pelaksanaan dari program yang telah ditetapkan sebelumnya. Tanpa adanya evaluasi, program-program yang berjalan tersebut tidak dapat dilihat tingkat pencapaian tujuannya. Keterlaksanaan (implementasi) program dalam pencapaian tujuannya sangat ditentukan oleh banyak faktor yang saling berkaitan. Hal ini menunjukan bahwa seluruh proses program adalah sebuah sistem, oleh karenanya dalam melaksanakan evaluasi perlu adanya pendekatan sistem dan berpikir secara sistemik.
2.1.2. Tujuan Evaluasi Program
Menurut Mulyatiningsih (2011: 114-115), evaluasi program dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:
(a) Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan suatu organisasi. Hasil evaluasi ini penting untuk pengembangan program yang sama ditempat lain.
(b) Mengambil keputusan mengenai keberlanjutan sebuah program, apakah program perlu diteruskan, diperbaiki atau dihentikan.
(6)
22
Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui sesuatu kondisi, maka evaluasi program dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk penelitian evaluatif. Oleh karena itu, dalam suatu evaluasi program, pelaksana berfikir serta menentukan langkah bagaimana melaksanakan penelitian. Menurut Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009:7), terdapat perbedaan yang mencolok antara penelitian dan evaluasi program adalah sebagai berikut: (a) Dalam penelitian, peneliti ingin mengetahui gambaran mengenai sesuatu yang kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program pelaksanaan ingin mengetahui seberapa tinggi kondisi atau mutu sesuatu dari hasil pelaksanaan program, setelah data yang terkumpul dibandingkan dengan standar atau kriteria tertentu. (b) Dalam kegiatan penelitian, peneliti dituntut oleh rumusan masalah karena ingin mengetahui jawaban dari penelitiannya, sedangkan dalam evaluasi program pelaksanaan ingin mengetahui tingkat ketercapaian tujuan program, dan jika tujuan belum tercapai sebagaimana ditentukan, pelaksanaan ingin mengetahui letak kekurangannya serta penyebabnya. Setiap kegiatan yang dilaksanakan mempunyai tujuan tertentu, demikian juga dengan evaluasi.
Menurut Arikunto (2004:13) terdapat dua tujuan evaluasi yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
(7)
23
Tujuan umum diarahkan pada program secara keseluruhan sedangkan tujuan khusus difokuskan pada tiap-tiap komponen.
Dengan adanya uraian diatas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program merupakan penelitian evaluatif. Pada dasarnya penelitian evaluatif dimaksudkan untuk mengetahui akhir dari suatu kebijakan, dalam rangka menentukan rekomendasi atas kebijakan yang lalu, yang pada tujuan akhirnya adalah untuk menentukan kebijakan selanjutnya.
Suatu program harus senantiasa dievaluasi untuk melihat sejauh mana implementasi program tersebut telah berhasil mencapai tujuan pelaksanaan program yang telah ditetapkan sebelumnya. Keefektifitasan program yang berjalan tidak dapat dilihat jika tidak dilakukan evaluasi program. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan baru sehubungan dengan program tersebut akan didukung oleh suatu data. Karenanya, evaluasi program bertujuan untuk menyediakan informasi dan data, serta rekomendasi bagi pengambil kebijakan (decision maker) untuk memutuskan apakah akan melanjutkan, memperbaiki atau menghentikan sebuah program. Jadi evaluasi program adalah upaya untuk mengukur ketercapaian program, yaitu mengukur sejauh mana sebuah kebijakan dapat terimplementasikan.
(8)
24
Evaluasi program dilakukan dengan cara yang sama dengan penelitian. Jadi, evaluasi program merupakan penelitian dengan ciri khusus, yaitu melihat keterlaksanaan program sebagai realisasi kebijakan, untuk menentukan tindak lanjut dari program yang dimaksud. Keduanya dimulai dari menentukan sasaran (variabel), kemudian membuat kisi-kisi, menyusun instrumen, mengumpulkan data, analisis data, serta mengambil kesimpulan. Yang membedakan adalah langkah akhirnya. Jika kesimpulan penelitian diikuti dengan saran maka evaluasi program selalu harus mengarah pada pengambilan keputusan, sehingga harus diakhiri dengan rekomendasi kepada pengambil keputusan.
Untuk mempermudah mengidentifikasi tujuan evaluasi program, perlu memperhatikan unsur-unsur dalam kegiatan atau penggarapannya. Ada tiga unsur penting di dalam kegiatan atau penggarapan suatu kegiatan, yaitu: what (apa yang digarap), who (siapa yang menggarap), dan (how) bagaimana menggarapnya. 2.1.3. Manfaat Evaluasi Program
Kegiatan evaluasi sangat berguna bagi pengambilan keputusan dan kebijakan lanjutan dari program, karena dari masukan hasil evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tidak lanjut dari program yang sedang atau telah
(9)
25
dilaksanakan. Wujud dari basil evaluasi adalah sebuah rekomendasi dari peneliti untuk pengambil keputusan (decision maker). Suharsimi Arikunto (2012: 22) mengatakan bahwa ada empat kemungkinan kebijakan yang dapat dilakukan berdasarkan hasil dalam pelaksanaan sebuah program keputusan, yaitu: (a) Menghentikan program, karena dipandang bahwa program tersebut tidak ada manfaatnya, atau tidak dapat terlaksana sebagaimana diharapkan. (b) Merevisi program, karena ada bagian-bagian yang kurang sesuai dengan harapan (terdapat kesalahan tetapi hanya sedikit). (c) Melanjutkan program; pelaksanaan program menunjukkan bahwa segala sesuatu telah berjalan sesuai dengan harapan dan memberikan hasil yang bermanfaat. (d) Desimilasi atau menyebarluaskan program (melaksanakan program di tempat-tempat lain atau mengulangi lagi program di waktu lain), karena program tersebut berhasil dengan baik maka sangat baik jika dilaksanakan lagi di tempat dan waktu yang lain.
2.1.4. Sasaran Evaluasi Program
Untuk menentukan sasaran evaluasi program, peneliti perlu mengenali program dengan baik, terutama komponen-komponennya, karena yang menjadi sasaran evaluasi bukan program secara keseluruhan tetapi komponen atau bagian program.
(10)
26
Tujuan umum harus dijabarkan menjadi tujuan khusus, maka sasaran peneliti diarahkan pada komponen agar pengamatannya dapat lebih cermat dan data yang dikumpulkan lebih lengkap. Untuk itulah maka penelitihendaknya memiliki kemampuan mengidentifikasi komponen program yang akan dievaluasi.
2.1.5. Langkah-langkah Evaluasi Program
Langkah-langkah evaluasi program menurut Oemar Hamalik (2008.13) adalah sebagai berikut: a) Menyusun suatu rencana evaluasi dalam bentuk kisi-kisi apa yang akan dinilai berkaitan dengan tujuan program. b) Menyusun instrumen evaluasi, misalnya. skala, daftar rentang, pedoman observasi/ kuesioner, pedoman wawancara, pedoman dokumentasi. c)
Melaksanakan pengamatan lapangan, yaitu
mengumpulkan data dari responden atau sampel evaluasi. d) Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, selanjutnya dapat ditentukan tingkat keberhasilan program, kelemahan -kelemahan atau kendala-kendala untuk diperbaiki. e) Mengajukan sejumlah rekomendasi terhadap program yang telah dievaluasi tersebut. f) Menyusun laporan evaluasi dan menyebarluaskan hasil evaluasi kepada pihak yang berkepentingan.
(11)
27
2.1.6. Model-model Evaluasi Program
Model-model evaluasi yang satu dengan yang lainnya memang tampak bervariasi, akan tetapi maksud dan tujuannya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenaan dengan objek yang dievaluasi. Selanjutnya informasi yang tealah terkumpul dapat diberikan kepada pengambil keputusan supaya dapat dengan tepat menentukan tindak lanjut mengenai program yang telah dievaluasi.
Menurut Kaufman dan Thomas yang dikutib oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar (2009: 40), membedakan model evaluasi menjadi delapan, yaitu:
a. Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler. Dalam model ini, seorang evaluator secara terus menerus melakukan pantauan terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian yang berkelanjutan ini menilai tentang kemajuan-kemajuan yang dicapai peserta program serta efektifitas dari temuan yang telah dicapai oleh sebuah program. Salah satu model yang bisa mewakili model ini adalah model
kesenjangan atau discrepancy yang
dikembangkan oleh Provus. Model ini melihat lebih jauh tentang adanya kesenjangan (Discrepancy) yang ada dalam setiap komponen
(12)
28
yakni apa yang seharusnya dan apa yang secara riil telah dicapai;
b. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven. Goal Free Evaluation Model adalah model evaluasi yang dikembangkan oleh Scriven. Dalam
Goal Free Evaluation, Scriven mengemukakan bahwa dalam melakukan evaluasi program evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program. Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya (kinerja) suatu program, dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi (pengaruh) baik hal-hal yang positif (yaitu hal yang diharapkan) maupun hal-hal yang negatif (yang tidak diharapkan);
c. Formatif Sumatif Evaluation Model, dikembangkan oleh Michael Scriven. Model ini menunjuk adanya tahapan dan lingkup obyek, yang dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada program masih berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika program selesai atau berakhir (disebut evaluasi sumatif). Pada proses belajar mengajar evaluasi sumatif dilakukan oleh evaluator untuk mendapatkan informasi untuk menentukan keputusan para siswa selama mengikuti proses belajar mengajar.(a) Evaluasi sumatif, evaluasi ini dilakukan oleh guru setelah siswa mengikuti
(13)
29
proses pembelajaran dengan waktu tertentu, misalnya pada akghir proses belajar mengajar, termasuk akhir semester. Secara umum evaluasi sumatif bertujuan untuk menentukan posisi siswa dalam kelompoknya terkait dengan penguasaan materi pembelajaran yang telah diikuti. selama satu proses pembelajaran. Fungsi evaluasi sumatif adalah sebagai laporan pertanggungjawaban pelaksanaan proses pembelajaran, disamping juga menentukan pencapaian hasil belajar yang telah diikuti oleh siswa, selain itu juga untuk mengukur ketercapaian program.(b) Evaluasi formatif, pada prinsipnya dilaksanakan ketika program masih berlangsung atau ketika program masih dekat dengan permulaan kegiatan. Tujuan evaluasi ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh program yang telah dirancang dapat berlangsung, sekaligus untuk mengidentifikasi hambatan. Dengan diketahui hambatan ini diharapkan dapat mengambil keputusan secara dini dapat
mengadakan perbaikan yang mendukung
kelancaran pencapaian tujuan program (Arikunto: 2009). Evaluasi ini dilaksanakan secara kontinyu, atau periodik tertentu dalam proses belajar mengajar;
(14)
30
d. Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake. Model yang dikembangkan oleh Stake dan Fernades ini menekankan atau memiliki dua kelengkapan utama pada (a) Diskripsi (description) dan (b) pertimbangan (judgement), serta terbagi menjadi 3 tahapan dalam evaluasi program yaitu anteseden yang diartkan sebagai konteks, transaksi yang diartikan sebagai proses dan keluaran yang mengacu pada output dan outcome yang diartikan sebagai hasil (Suharsimi Arikunto: 2009);
e. Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake. Model responsive evaluation yang dikembangkan oleh Robert Stake, merupakan
model yang cocok digunakan untuk
mengevaluasiprogram yang banyak menimbulkan
konflik di masyarakat. Keputusan
evaluasiberorientasi kepada klien atau pengguna program;
f. CSE-UCLA Evaluation Model. CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu CSE dan UCLA. CSE merupakan singkatandari Center for the Study of Evaluation, sedangkan UCLA merupakan singkatan dariUniversity of California in Los Angeles. Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya limatahapan evaluasi, yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil dandampak.
(15)
31
Sementara itu, menurut Fernandes (1984) dalam model CSE-UCLA ini jugadapat dibagi ke dalam empat tahapan evaluasi, yaitu: (a) needs assessment; (b) program planning; (c) formative evaluation; dan (d) sumatife evaluation.Pada dasarnya, pentahapan yang dikemukakan oleh Fernandes (1984) adalah samadengan tahapan yang ada pada CSE-UCLA model. Tahapan
perencanaan danpengembangan program
memerlukan tahapan evaluasi yang disebut needsassessment. Pada tahap implementasi, diperlukan evaluasi formatif, sedangkanuntuk mengetahui hasil dan dampak program, diperlukan evaluasi sumatif.
g. Alkin mendefinisikan evaluasi sebagai suatu proses meyakinkan keputusan, memilih informasi yang tepat mengumpulkan, dan menganalisis informasi sehingga dapat melaporkan ringkasan data yang berguna bagi pembuatan keputusan dalam memilih berbagai alternatif. Ia mengemukakan lima macam evaluasi, yakni: a) System assessment, memberikan informasi tentang keadaan atau posisi sistem. b) Program planning, membantu pemulihan program tertentu yang mungkin akanberhasil memenuhi kebutuhan program. c)
(16)
32
informasi mengenai apakah program telah diperkenalkan pada kelompok tertentu yang tepat seperti yang telaah direncanakan. d) Program improvement, memberikan informasi mengenai bagaimana program berfungsi, bagaimana program berjalan, atau bekerja? Apakah menuju pencapaian tujuan, adakah hal-hal atau masalah-masalah baru yang muncul tak terduga? e) Program certification, yang memberikan informasi tentang nilai atau guna program;
h. CIPP Evaluation Model, dikembangkan oleh Stufflebeam. Isi dari model evaluasi ini terdiri dari : (a) Contex evaluation: Evaluasi terhadap konteks, evaluasi ini menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek. (b) Input evaluation: Evaluasi terhadap masukan, yaitu evaluasi tentang kemampuan awal siswa dan sekolah. (c) Process evaluation: Evaluasi terhadap proses, evaluasi ini diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. (d) Product evaluation: Evaluasi terhadap hasil, evaluasi ini diarahkan kepada hal-hal yang menunjukkan adanya perubahan yang terjadi pada masukan mentah. Model ini lebih memandang bahwa pada
(17)
33
hakikatnya evaluasi adalah sebuah sistem sehingga model ini akan digunakan untuk mengevaluasi program yang ditugaskan maka mau tidak mau mereka harus menganalisis program tersebut berdasarkan
komponen-komponennya; 8) Discrepancy Model,
dikembangkan oleh Provus. Model ini dikembangkan oleh Malcolm Provus, yang merupakan model yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di dalam pelaksanaan program untuk mengukur besarnya kesenjangan yang ada dalam setiap komponen. Dalam hal ini, evaluatormengukur adanya perbedaan (kesenjangan) antara yang seharusnya dicapai (berdasarkan tujuan program) dengan realitas hasil yang dapat dicapai. Objek sasaran evaluasi program (lembaga pendidikan, misalnya) dengan menggunakan model dicrepancy Provus itu ada lima aspek (kadang ada yang menyebutnya cuma empat), yaitu sebagai berikut: (a) Design (rancangan; program design). Yang dimaksud adalah rancangan kegiatan atau program kerja. Oleh karena itu ada yang menyebutnya dengan program definition
(penetapan program). Yang dievaluasi mengenainya adalah ada tidaknya unsur input, proses, dan output; (b) Installation (program
(18)
34
installation; penyediaan perangkat-perlengkapan yang dibutuhkan program). Agar program bisa dilaksanakan, lembaga pembuat program itu tentu harus menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mendukungnya. Jadi, yang dievaluasi adalah ketepatan berbagai sumber daya, perangkat dan perlengkapan yang tersedia untuk pelaksanaan program; (c) Process (program process). Yang dimaksud adalah proses pelaksanaan program. Di dalamnya termasuk
kepemimpinan dan penugasan-penugasan
(instruction). Yang dievaluasi adalah keterkaitan (kegayutan) antara sesuatu yang akan diubah, dibangun, dikembangkan dsb; (d) Product (program product, hasil program). Yang dievaluasi adalah efektivitas desain atau rancangan program; tegasnya apakah tujuan atau target program bisa tercapai; (e) Cost (biaya, pengeluaran). Yang dimaksud adalah implikasi (kemanfaatan) sosial politik ekonomi apa yang diharapkan bisa tergapai dari pelaksanaan program tersebut.
Beberapa model evaluasi yang telah dipaparkan di atas memiliki banyak kesamaan. Pada umumnya perancang model evaluasi menyusun model evaluasi sesuai dengan alur sistem yaitu terdiri dari input –
(19)
35
proses – output. Pada elemen input digunakan beberapa istilah yang memiliki makna serupa yaitu
antecedent dan entry capability. Pada elemen proses digunakan istilah operation, transaction, process. Sedangkan pada elemen output digunakan istilah
result, product, dan outcome. Tiap-tiap model evaluasi mempunyai keunggulan yang cocok untuk diterapkan pada situasi tertentu, namun tidak ada satu modelpun yang dapat menjawab semua permasalahan evaluasi yang ingin ditelusuri. Selain model-model evaluasi yang telah dipaparkan oleh para ahli tersebut, pada dasarnya peneliti juga dapat mengembangkan model evaluasi yang berbeda dengan yang sudah ada, sesuai dengan kebutuhan akan informasi yang harus dikumpulkan.
Model evaluasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model goal free evaluation (GFE), fokus pada adanya perubahan perilaku yang terjadi sebagai dampak dari program yang diimplementasikan, melihat dampak sampingan baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan, dan membandingkan dengan sebelum program dilakukan. Model GFE maksudnya adalah para evaluator mengambil dari berbagai laporan atau catatan pengaruh-pengaruh nyata atau kongkrit dan pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan dalam program pendidikan dan pelatihan. Perhatian khusus diberikan secara tepat terhadap
(20)
36
usulan-usuan tujuan dalam evaluasi, tetapi tidak dalam proses atau produk. Keuntungan dari GFE adalah dengan GFE para evaluator mengetahui antisipasi pengaruh-pengaruh penting terhadap tujuan dasar dari penilai yang menyimpang. Pemilihan evaluasi goal free juga didasari oleh empat alasan yang dikemukan oleh Patton, yaitu: (a) menghindari resiko penyataan tujuan program yang terlalu sempit dan hilangnya outcomes penting yang tidak diantisipasi. (b) menghilangkan kesan relatif adanya unanticipated effect
pada temuan evaluasi. (c) mengurangi adanya persepsi yang bias dalam evaluasi, dan (d) menjaga obyektifitas dan kemandirian evaluator dalam kondisi bebas tujuan. Tujuan program tidak perlu diperhatikan karena kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus.Jika masing-masing tujuan khusus tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan tetapi evaluator lupa memperhatikan sejauh mana masing-masing penampilan tersebut mendukung penampilan terakhir yang diharapkan oleh tujuan umum maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak banyak bermanfaat.Dapat disimpulkan bahwa, dalam model ini bukan berarti lepas dari tujuan tetapi hanya lepas dari tujuan khusus. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan secara rinci perkomponen yang ada.
(21)
37
Scriven menekankan bahwa evaluasi itu adalah interpretasi Judgement ataupun explanation dan evaluator yang merupakan pengambil keputusan dan sekaligus penyedia informasi. Ciri – Ciri Evaluasi Bebas Tujuan yaitu: (1) Evaluator sengaja menghindar untuk mengetahui tujuan program. (2) Tujuan yang telah dirumuskan terlebih dahulu tidak dibenarkan menyempitkanfokus evaluasi. (3) Evaluasi bebas tujuan berfokus pada hasil yang sebenarnya, bukan pada hasil yang direncanakan. (4) Hubungan evaluator dan manajer atau dengan karyawan proyek dibuat seminimal mungkin. (5) Evaluasi menambah kemungkinan ditemukannya dampak yang tidak diramalkan.
Evaluator internal biasanya melakukan evaluasi yang berorientasi pada tujuan,karena ia sulit menghindar atau mau tidak mau ia akan mengetahui tujuan program. Menejer progam jelas ingin mengetahui sampai seberapa jauh progam telah dicapai, dan evaluator internal akan dan harus menyediakan informasi untuk menejernya.
Di samping itu, perlu diketahui bagaimana orang luar menilai program bukan hanya untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilakukan di semua bagian, pada semua yang telah dihasilkan, secara sengaja atau tidak sengaja. Yang belakangan ini
(22)
38
merupakan tugas evaluator bebas tujuan yang tidak mengetahui tujuan program.
Model Goal Free berfokus pada hasil yang sebenarnya dari suatu program atau kegiatan, bukan hanya tujuan-tujuan yang teridentifikasi. Jenis model memungkinkan teknologi untuk mengidentifikasi dan mencatat hasil yang tidak mungkin telah diidentifikasi oleh perancang program. Melalui proses teknik baik terang-terangan dan terselubung, metode ini berusaha untuk mengumpulkan data dalam rangka untuk membentuk deskripsi program, mengidentifikasi proses akurat, dan menentukan pentingnya mereka ke program.
Fungsi Goal Free Evaluation adalah untuk mengurangi bias dan menambah objektifitas. Dalam evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang evaluator secara subjektif persepsinya akan membatasi sesuai dengan tujuan. Padahal tujuan pada umumnya hanya formalitas dan jarang menunjukkan tujuan yang sebenarnya dari suatu proyek. Lagipula, banyak hasil program penting yang tidak sesuai dengan tujuan program. Goal Free Evaluation berfokus pada hasil yang sebenarnya bukan pada hasil yang direncanakan. Dalam Goal Free Evaluationini, memungkinkan evaluator untuk menambah temuan hasil atau dampak yang tidak direncanakan.
(23)
39
Model evaluasi Goal Free Evaluation ini mempunyai kekurangan dan kelebihannya. Kelebihan dari model bebas tujuan di antaranya adalah: (a) Evaluator tidak perlu memperhatikan secara rinci setiap komponen, tetapi hanya menekankan pada bagaimana mengurangi prasangka (bias). (b) Model ini menganggap pengguna sebagai audiens utama. Melalui model ini, Scriven ingin evaluator mengukur kesan yang didapat dari sesuatu program dibandingkan
dengan kebutuhan pengguna dan tidak
membandingkannya dengan pihak penganjur. (c) Pengaruh konsep pada masyarakat, bahwa tanpa mengetahui tujuan dari kegiatan yang telah dilakukan, seorang penilai bisa melakukan evaluasi. (d) Kelebihan lain, dengan munculnya model bebas tujuan yang diajukan oleh scrieven, adalah mendorong pertimbangan setiap kemungkinan pengaruh tidak saja yang direncanakan, tetapi juga dapat diperhatikan sampingan lain yang muncul dari produk.
Walaupun demikian, yang diajukan scrieven ternyata juga memiliki kelemahan seperti berikut: (a) Model bebas tujuan ini pada umumnya bebas menjawab pertanyaan penting, seperti apa pengaruh yang telah diperhitungkan dalam suatu peristiwa dan bagimana mengidentifikasi pengaruh tersebut. (b) Walaupun ide scrieven bebas tujuan bagus untuk membantu kegiatan yang paralel dengan evaluasi atas
(24)
40
dasar kejujuran, pada tingkatan praktis scrieven tidak terlalu berhasil dalam menggambarkan bagaimana evaluasi sebaiknya benar-benar dilaksanakan. (c) Tidak merekomendasikan bagaimana menghasilkan penilaian kebutuhan walau pada akhirnya mengarah pada penilaian kebutuhan. (d) Diperlukan evaluator yang benar-benar kompeten untuk dapat melaksanakan evaluasi model ini. (e) Langkah-langkah sistematis yang harus dilakukan dalam evaluasi hanya menekankan pada objek sasaran saja.
Goal Free Evaluation merupakan titik evaluasi program, dimana objek yang dievaluasi tidak perlu terkait dengan tujuan dari objek atau subjek tersebut, tetapi langsung kepada implikasi keberadaan program apakah bermanfaat atau tidak objek tersebut atas dasar penilaian kebutuhan yang ada.
2.2.
Implementasi
2.2.1. Pengertian Implementasi
Secara etimologis pengertian implementasi menurut Webster dalam dalam Widodo (2010: 86) adalah “to provide the means for carrying out; and to give
practical effect to (menyediakan sarana untuk
melaksanakan sesuatu untuk menimbulkan
dampak/akibat terhadap sesuatu)”. Sementara Donald S. Van Metter dan Carl E. Va dalam Widodo (2010: 86)
(25)
41
memberikan pengertian implementasi dengan mengatakan:
“Policy implementation encompasesses those action by public and private individual (or group) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decision. This include both one time efforts to transfrom decisions into operational terms, as well as continuing efforts to achieve the large and small changes mandated by policyyy decision”.
Implementasi Riant Nugroho pada prinsipnya adalah cara yang dilakukan agar dapat mencapai tujuan yang dinginkan (Nugroho, 2003: 158). Implementasi merupakan prinsip dalam sebuah tindakan atau cara yang dilakukan oleh individu atau kelompok orang untuk pencapaian tujuan yang telah dirumuskan. Dan Mazmanian dan Sabatier dalam
Widodo (2010: 87) menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan:
“To understand what actually happens after a program is enacted or formulated is the subject of policy implementation. Those event and activities that occur after the isuing of outhoritative public policy directives, wich included both the effort to administer and the subtantives, which impacts on the people and event”.
Sehingga dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulan bahwa pengertian bahwa: Implementasi merupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah sumber yaitu manusia, dana, dan kemampuan organisasional yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta (individu atau kelompok). Dimana
(26)
42
proses tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan.
Sebuah implementasi berhubungan dengan suatu kebijakan yang melibatkan banyak organisasi dan tingkatan birokrasi dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Menurut Wahab (2005: 63) “implementasi kebijakan dapat dilihat dari sudut pandang (1) pembuat kebijakan, (2) pejabat-pejabat pelaksana di lapangan, dan (3) sasaran kebijakan (target group)”. Perhatian utama pembuat kebijakan
menurut Wahab (2005: 63) memfokuskan diri pada sejauh mana kebijakan tersebut telah tercapai dan apa alasan yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan kebijakan tersebut. Dari sudut pandang implementor, implementasi akan terfokus pada tidakan pejabat dan instansi di lapangan untuk mencapai keberhasilan program. Sementara dari sudut pandang target groups
implementasi akan lebih dipusatkan pada apakah implementasi kebijakan tersebut benar-benar mengubah pola hidupnya dan berdampak positif panjang bagi peningkatan mutu hidup termasuk pendapatan mereka.
(27)
43
2.3.
Peningkatan Mutu Pendidikan
2.3.1. Pengertian Mutu
Pengertian mutu menurut Peffer & Coote (Sallis, 2010: 49) adalah suatu konsep yang licin karena mutu mengimplikasikan hal-hal yang berbeda pada masing-masing orang. Sedikit berbeda dengan pengertian mutu menurut Sallis (2010: 33) yang mengatakan bahwa, “mutu merupakan sebuah filosofi dan metodologi yang membantu institusi untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal yang berlebihan.” Arcaro (2005: 75) mengatakan, “mutu sebagai sebuah proses terstruktur untuk memperbaiki keluran yang dihasilkan.”
Berdasarkan pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa mutu merupakan sebuah
metodologi untuk menghadapi tekanan-tekanan untuk memperbaiki keluaran yang di dasarkan pada standar organisasi yang bersangkutan. Mutu merupakan hal yang abstrak tetapi menjadi tuntutan dan keharusan bagi suatu organisasi.
Jaminan mutu dan mutu terpadu pertama kali digagas dan dikembangkan di Negara Barat oleh W. Edward Deming pada tahun 1930-an dan 1940-an (Sallis, 2010: 36). Saat itu, mutu dalam industri tidak mendapatkan prioritas yang disebabkan masih dianutnya teori manajemen klasik yang menekankan
(28)
44
pada memaksimalkan produksi dan keuntungan dengan prioritas mutu yang rendah.
2.3.2. Hakikat Mutu dalam Pendidikan
Gerakan mutu di dalam pendidikan merupakan konsep pergerakan yang baru dimulai pada tahun 1980-an yang dilaksanakan oleh beberapa universitas di Amerika dan beberapa pendidikan tinggi di Inggris. Namun baru di awal 1990-an gerakan mutu dalam pendidikan benar-benar melanda. Mulai saat itulah sekolah/ lembaga pendidikan mulai mengerti pentingnya meningkatkan mutu pendidikan.
2.3.3. Peningkatan Mutu dalam Pendidikan
Kemendikbud (2010: 51) mengemukakan tujuan strategis pendidikan, salah satunya yaitu terjaminnya kepastian memperoleh layanan pendidikan dasar bermutu dan berkesetaraan. Rencana strategis tersebut sebagai upaya penjamin kepastian memperoleh layanan pendidikan dasar bermutu dan dapat dilakukan dengan penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan sistem pembelajaran SD/SDLB/Paket A dan SMP/SMPLB/Paket B bermutu yang merata di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota. Mutu harus menjadi bagian penting dari strategi institusi dan harus didekati secara sistematis dengan menggunakan perencanaan strategis. Tanpa strategi, sebuah institusi
(29)
45
tidak akan bisa yakin bagaimana mereka bisa memanfaatkan peluang-peluang baru. Selanjutnya, setelah rencana strategis tersusun kemudian melakukan pengembangan kebijakan-kebijakan serta rencana-rencana yang dapat mengantarkan instansi pada pencapaian visi dan misi.
Kegiatan pokok dalam upaya penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana untuk penerapan sistem pembelajaran dapat dilakukan dengan revitalisasi serta penggabungan (regrouping) sekolah-sekolah terutama sekolah-sekolah dasar, agar tercapai efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung dengan fasilitas yang memadai.
2.4.
Efisiensi dan Efektivitas
Sektor manajemen sangat diperlukan saat ini yaitu untuk melakukan kegiatan secara sistematis dan prinsipil berdasarkan teori manajemen. Suatu organisasi akan dapat berkembang dan mencapai hasil secara efektif dan dengan cara yang paling cepat dengan proses manajemen. Salah satu sekenario yang menentukan corak perubahan masa depan suatu
bangsa adalah keunggulan atau kemampuan
manajemennya. Bahkan Deming (Sallis, 2010: 97) melihat bahwa masalah mutu terletak pada masalah manajemennya. Melihat hal tersebut, sistem pendidikan nasional harus dilaksanakan dengan manajemen
(30)
46
moderen dan ditangani oleh tenaga profesional yang bertumpu pada mutu yang diharapkan oleh pelanggan pendidikan.
Didalam manajemen sekolah, semua kegiatan sekolah harus dikelola dengan memanfaatkan semua sumber daya (resources) baik sumber daya manusia, material, dan dana dalam rangka mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Menurut Syafaruddin (2002: 2), “pada dasarnya, manajemen pendidikan adalah aplikasi prinsip, konsep, dan teori manajemen dalam aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.”
2.4.1. Efisiensi
Setiap usaha pendidikan membutuhkan berbagai macam inputs sebagai sumber daya (resource), baik yang berupa uang, tenaga manusia, waktu, maupun kesempatan. Berbagai input tersebut sangat mempengaruhi jalannya proses pendidikan, namun
input yang paling terlihat dan dianggap krusial adalah biaya pendidikan. Biaya memegang peranan penting dalam sistem pendidikan, terutama dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan. Lembaga persekolahan yang merupakan lembaga non-profit menggunakan sistem anggaran dengan menyeimbangkan antara kebutuhan biaya dengan sumber dana yang ada. Biaya pendidikan menurut Mulyani A. Nurhadi (2011: 29), “merupakan
(31)
47
sebagai nilai rupiah dari seluruh sumber daya (inputs) atau seluruh pengeluaran dalam bentuk natura atau berupa uang yang digunakan untuk kegiatan pendidikan.” Dana yang digunakan untuk biaya pendidikan berasal dari tiga sumber utama, yaitu pemerintah baik pusat maupun daerah, orang tua wali siswa, dan masyarakat. Tetapi pada dasarnya sumber utama pendanaan pendidikan berasal dari pemerintah.
Sumber daya pendidikan (resource) terbatas jumlahnya, untuk itu diperlukan pengelolaan yang tepat agar tidak terjadi pemborosan anggaran. Ketepatan pengelolaan sumber daya pendidikan berkaitan dengan tingkat efisiensi pengelolaan pendidikan. Efisiensi pengelolaan pendidikan
dimaksudkan sebagai hubungan antara
pendayagunaan sumber-sumber pendidikan yang terbatas untuk mencapai optimalisasi. UNESCO (Aan Komariah & Cepi Triatna, 2006: 18) mendefinisikan efisiensi sebagai, “... is defined as the optimal relation
between inputs and output. An activity is being performed efficiently if a given quantity of output is obtained with a minnimum of inputs or alternatively, if a given quantity of input yields maximum output.” Bila didefinisikan, efisiensi sebagai hubungan yang optimal antara input dan output. Suatu kegiatan yang dilakukan secara efisien jika output dengan jumlah tertentu diperoleh dengan input minimum atau
(32)
48
sebaliknya, jika jumlah input yang diberikan menghasilkan output maksimum. Pengelolaan pendidikan yang efisien dimaksudkan bahwa pemanfaatan uang, tenaga manusia, waktu, maupun kesempatan yang terbatas dapat memberikan hasil yang bermutu, relevan dan bernilai ekonomi tinggi.
Penggabungan sekolah dapat menigkatkan efisien dana yang dimiliki sekolah baik yang diperoleh dari dana BOS, orang tua atau sponsor, maupun dana-dana lain yang diperoleh sekolah. Efisiensi dana-dana tersebut tidak saja untuk pembiayaan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar tetapi juga untuk pembiayaan-pembiayaan lainnya seperti pemeliharaan dan gaji. Kebijakan penggabungan sekolah paling tidak dapat mengurangi jumlah dana yang harus dialokasikan untuk pemeliharaan/ penyediaan sarana dan prasarana dan untuk pengeluaran gaji guru sekolah dasar.
2.4.2. Efektivitas
Implementasi manajemen mutu pendidikan di sekolah memiliki harapan untuk perbaikan mutu sekolah agar semakin meningkat. Selain itu, pengimplementasian manajemen mutu diarahkan untuk mencapai status sekolah efektif. Sekolah efektif adalah sekolah yang dikelola dengan manajemen yang fungsional oleh kepala sekolah dengan memfungsikan
(33)
49
secara bersama staf dan guru-guru dalam bekerja untuk mencapai tujuan sekolah.
Manajemen mutu dalam pendidikan merupakan bentuk pengendalian mutu (quality assurance) yang disempurnakan. Filosofi dari manajemen mutu ini adalah terciptanya budaya kerja dari seluruh personel (pimpinan dan pegawai) yang terlibat dalam pengadaan dan penyajian jasa pendidikan yang dijiwai oleh motivasi dan sikap untuk memenuhi dan memuaskan harapan pelanggan. Dalam rangka memenuhi harapan pelanggan pendidikan ini, pengelola sekolah secara bertahap dan terus-menerus memperbaiki kualitas (mutu) lulusannya dengan didukung oleh kepemimpinan yang kuat dari pihak pimpinan (manajer, administrator, supervisor) serta pembagian tanggung jawab untuk mencapai mutu.
Ada pun karakteristik sekolah efektif menurut Rutter dkk (Law dan Glover, 1994) dalam Syafruddin (2002: 91) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
i. Memiliki etos kerja yang baik, j. Manajemen kelas yang baik, k. Harapan guru yang tinggi,
l. Guru sebagai contoh teladan yang positif,
m. Umpan balik yang positif dan memberikan perlakuan terhadap siswa,
n. Koordinasi kerja yang baik antara guru dan pelajar, o. Tanggung jawab murid, dan
(34)
50
Selanjutnya terdapat tiga perspektif yang menentukan keefektifan sekolah menurut Syafruddin (2002: 91-92), yaitu:
a. Organisasi keberadaan sekolah yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang ada di sekolah adalah efektivitas kepemimpinan kepala sekolah, profesionalisme guru, dukungan staf yang baik, pembiayaan yang cukup, sarana dan fasilitas pengajaran yang baik, dan iklim sekolah yang kondusif. Sedangkan faktor eksternal adalah dukungan dewan sekolah (board of school), dukungan industri, pemerintah, ekonomi masyarakat, dan lingkungan sosial.
b. Proses seluruh aktivitas atau interaksi mengajar (guru) dan belajar (murid) yang bermuara pada pencapaian tujuan pendidikan.
c. Hasil, yaitu prestasi yang dapat diukur.
Sekolah efektif diidentifikasikan sebagai sekolah yang dapat menyelenggarakan proses belajar yang efektif karena ciri khas dari lembaga sekolah adalah terjadinya proses belajar mengajar. Dengan demikian, dalam sekolah yang efektif menurut Mortimore (Aan Komariah & Cepi Triatna, 2006:37) terdapat proses belajar yang efektif, dengan ciri:
a. Aktif, bukan pasif, b. Tidak kasat mata,
c. Rumit, bukan sederhana,
d. Dipengaruhi oleh adanya perbedaan individual di antara peserta didik,
e. Dipengaruhi oleh berbagai konteks
Pada dasarnya efektivitas menunjukkan adanya proses perekayasaan berbagai sumber dan metode
(35)
51
yang diarahkan pada terjadinya pembelajaran di sekolah secara optimal. Efektivitas ini merujuk pada pemberdayaan semua komponen sekolah sebagai organisasi tempat belajar berdasarkan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam struktur program dengan tujuan agar siswa belajar dan mencapai hasil yang telah ditetapkan, yaitu memiliki kompetensi. Sebagai upaya peningkatan efektivitas,
diperlukan adanya eksperimen, perubahan
kesepakatan, perumusan kebijakan baru, serta pengembangan norma tertulis dan lisan. Dengan upaya perbaikan efektivitas yang dilakukan, menuntut adanya diskusi dan komitmen yang berkelanjutan dari kalangan guru, keluarga, siswa, unit-unit bisnis, lembaga pendidikan di atasnya, organisasi bisnis, dan pelaku politik untuk memperluas dan memperkaya kapasitas siswa.
2.5.
Regrouping (Penggabungan) Sekolah
2.5.1. Pengertian Regrouping Sekolah
Kata regrouping merupakan kata lain dari
merger/penggabungan. Merger pada awalnya merupakan salah satu usaha pengembangan dan pertumbuhan perusahaan. Merger dilakukan dengan menggabungkan dan membagi sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan bersama. Adrian Sutedi (2007: 85) mengemukakan, ”merger
(36)
52
sebagai suatu bentuk penggabungan dua badan usaha, badan usaha yang satu tetap ada, dan yang satunya lagi bubar secara hokum, dan nama perusahaan digunakan adalah perusahaan yang eksis/ada.” Wibisono (2006: 2) mendefinisikan merger sebagai penggabungan dua badan usaha yang relative berimbang kekuatannya, sehingga terjadi kombinasi yang saling membantu. Istilah merger dan akuisisi merupakan istilah penggabungan, peleburan dan pengambilalihan. Merger merupakan penggabungan atau peleburan dua perusahaan atau lebih menjadi satu perusahaan (Soemardi, 2009: 175).
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa merger merupakan penggabungan dua badan usaha atau lebih menjadi satu badan usaha ke dalam badan usaha yang eksis dengan nama badan usaha yang tetap eksis. Penggabungan badan usaha ini mengharuskan adanya peleburan aset secara menyeluruh ke dalam badan usaha yang tetap eksis. Hal ini secara kuantitas akan memberikan tambahan modal bagi badan usaha yang eksis tersebut.
Merger/penggabungan dapat juga diterapkan di dalam dunia pendidikan. Merger/penggabungan dalam dunia pendidikan lebih berkaitan dengan perampingan jumlah sekolah. Jumlah sekolah yang cukup banyak dengan jumlah siswa yang kurang memadai berdasarkan standart nasional mengakibatkan
(37)
53
pemborosan pembiayaan pendidikan. Untuk itu, pemerintah mengupayakan alternatif perampingan sekolah dengan nama regrouping.
Penggabungan sekolah dasar menurut Wibawa (2009: 47), ”penggabungan sekolah dasar merupakan
satu cara pengembangan sekolah dengan
memberdayakan dan mengembangkan berbagai sumber daya pendidikan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan dan efektifitas sekolah.” Dasar dari penggabungan sekolah adalah Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 yang menjelaskan bahwa salah satu kegiatan pokok dalam mengupayakan pemerataan pendidikan dasar adalah melaksanakan revitalisasi serta penggabungan (regrouping) sekolah-sekolah terutama SD, agar tercapai efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung dengan fasilitas yang memadai. Penggabungan juga dimaksudkan dalam rangka efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di sekolah dasar sehingga perlu diambil kebijakan untuk menggabung, menghapus, dan atau mengganti nama sekolah dasar.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa penggabungan (regrouping) sekolah adalah proses penyatuan dua atau lebih sekolah untuk mencapai penggelolaan yang lebih efektif dan efisien guna meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan
(38)
54
sesuai standar pelayanan minimal sekolah yang bersangkutan.
2.5.2. Tujuan Regrouping Sekolah
Pelaksanaan penggabungan (regrouping) sekolah dasar, menjadi acuan bagi instansi yang berwenang melakukan penggabungan SD, bertujuan agar kegiatan penggabungan SD dan proses berlangsungnya penggabungan berjalan secara efektif, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam surat yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 421.2/2501/Bangda/1998 tentang pelaksanaan penggabungan (regrouping) dalam petikan suratnya yang berbunyi kegiatan penggabungan (regrouping) ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan guru, peningkatan mutu, efisiensi biaya bagi perawatan gedung sekolah, dan sekolah yang ditinggalkan
dimungkinkan penggunaannya untuk rencana
pembukuan SMP kecil/SMP kelas jauh atau setara dengan sekolah lanjutan sesuai dengan kebutuhan setempat untuk menampung lulusan SD.
Berdasarkan dasar hukum yang digunakan tersebut, tujuan regrouping sudah jelas. Landasan hukum sebagai pijakan pelaksanaan regrouping harus dilaksanakan sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Kriteria keberhasilan regrouping yang berdasarkan pada landasan hukum yaitu: a) pemenuhan jumlah tenaga
(39)
55
pendidik, b) peningkatan mutu pendidikan, c) peningkatan efisiensi biaya pendidikan, d) efektivitas penyelenggaraan pendidikan, dan e) pembukaan/ pendirian SMP kecil/SMP kelas jauh untuk memanfaatkan sekolah yang ditinggalkan.
Dalam artikel yang ditulis oleh Suparlan yang berjudul “merger sekolah dasar, begitu perlukah” yang dipublikasikan pada 21 November 2006 antara lain; (1) Ingin meningkatkan mutu layanan pendidikan untuk masyarakat. Dalam arti layanan pendidikan yang bermutu. Bukan hanya layanan pendidikan dengan gedung sekolah yang seadanya. Pada era millennium ketiga, mutu layanan pendidikan menjadi satu keharusan, mengharapkan adanya hasil pendidikan (outcomes) yang bermutu. Quality was at the heart of education. Mutu pendidikan memiliki lima dimensi yang saling kait mengait, yakni: learners, environments, content, processes, dan outcomes. Pembangunan gedung sekolah yang tidak bermutu pada masa lalu telah mendapatkan perhatian dari pemerintah dengan
diturunkannya dana alokasi khusus untuk
pembangunan gedung sekolah. (2) Untuk
meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan. Dengan beberapa sekolah yang terdapat dalam satu kompleks gedung sekolah yang sempit menimbulkan indikasi terjadinya proses persaingan yang tidak sehat
(40)
56
antara sekolah yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu perlu dilakukan regrouping (penggabungan). 2.5.3. Langkah- Langkah Regrouping
Langkah-langkah regrouping atau merger Sekolah yang dikemukakan oleh Suparlan dalam artikel yang berjudul “merger sekolah dasar, begitu perlukah?” yang
ditayangkan pada 21 November 2006 antara lain sebagai berikut;
a. Mengadakan sosialisasi kebijakan merger sekolah kepada semua pemangku kepentingan (stakeholders). Langkah pertama ini dilakukan agar para pemangku kepentingan memiliki pemahaman mendalam tentang manfaat merger bagi semua pihak, terutama bagi peserta didik. Sosialisasi bukanlah instruksi, bukan pula pemaksaan terselubung. Benar-benar untuk meningkatkan pemahaman secara kritis tentang manfaat kebijakan merger sekolah sebagai strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan;
b. Membentuk tim atau kepanitiaan, dengan melibatkan komponen yang terkait. Pembentukan tim atau kepanitiaan ini pun harus dilakukan secara demokratis agar semua stakeholders dapat terakomodasi aspirasinya, dan yang lebih penting adalah agar dapat memberikan peran sertanya secara maksimal dalam penyelenggaraan pendidikan;
c. Mengajukan atau memasukkan program merger sekolah ke dalam program dan kegiatan dinas pendidikan, untuk disetujui oleh pemerintah dan legislatif. Langkah ini penting, karena program merger akan memerlukan konsekuensi anggaran yang mungkin tidak sedikit;
d. Pelaksanaan program dan monitoring pelaksanaan program melibatkan semua stakeholder yang sejak awal dilibatkan dalam program ini. Program ini dilaksanakan menurut prinsip manajemen modern, yakni demokratis, transparan, dan akuntabel. Jika tidak, maka justru akan terjadi distrust dari masyarakat;
(41)
57 e. Pelaporan dan pertanggungjawaban jika program itu
telah dapat diselesaikan.
Di samping itu, kegiatan pasca pelaksanaan program perlu dilakukan, misalnya monitoring dampak pelaksanaan program tersebut terhadap peningkatan mutu pendidikan, sebagaimana telah disebutkan dalam tulisan ini, yakni lima dimensi mutu pendidikan: yakni 'learners, environments, content, processes, dan outcomes' atau peserta didik, lingkungan, kurikulum atau bahan ajar, proses pendidikan atau proses pembelajaran, dan hasil pendidikan atau hasil belajar peserta didik.
2.5.4. Konsep Pelaksanaan Regrouping Sekolah
Dasar
Penggabungan sekolah (regrouping) yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan Sekolah (regrouping) Sekolah Dasar pada tanggal 16 November 1998 kepada Gubernur seluruh Indonesia, yaitu : 1) Penggabungan
(regrouping) SD adalah usaha penyatuan dua unit SD atau lebih menjadi satu kelembagaan (institusi) SD dan diselenggarakan dalam satu pengelolaan; 2) Lingkup penggabungan SD meliputi SD yang terdapat antar desa/kelurahan yang sama dan atau di desa/kelurahan yang berbatasan dan atau antar kecamatan yang berbatasan; 3) Sekolah Dasar kemudian disingkat SD adalah bentuk satuan pendidikan dasar milik
(42)
58
pemerintah yang menyelenggarakan program
pendidikan enam tahun; 4) SD inti adalah SD yang terpilih antara beberapa SD dalam satu gugus sekolah yang berfungsi sebagai pusat pengembangan di dalam gugus SD tersebut; 5) SD imbas adalah anggota satu gugus sekolah yang menjadi binaan SD inti; 6) SD kecil adalah SD di daerah terpencil yang belum memenuhi syarat pembakuan.
Program regrouping sekolah pada awalnya dilakukan pada sekolah yang mengalami kekurangan siswa. Namun saat ini regrouping juga dilakukan pada sekolah yang lokasinya berada dalam satu kawasan, untuk melakukan efisiensi tunjangan jabatan kinerja kepala sekolah (Bataviase, 2010: 1). Walle (2004: 1) mengatakan bahwa dengan regrouping dapat mengefektifkan pembelajaran seperti dikemukaan berikut: ”Project in order to seek out more effective instructional strategies, activities, and curriculum in the hope of helping students more easily and more deeply, understand the skills involved in solving mathematical problems which require regrouping.”
Penggabungan sekolah dasar (regrouping) merupakan satu cara pengembangan sekolah dengan memperdayakan dan mengembangkan berbagai sumber daya pendidikan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan dan efektivitas sekolah.
(43)
59
2.5.5. Kriteria Indikasi Regrouping Sekolah Dasar Peningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar pendidikan
dasar dengan cara mengadakan program
penggabungan sekolah, yaitu dengan menggabungkan dua SD atau lebih dapat digabung menjadi satu pengelolaan/institusi sekolah dengan kriteria sebagai berikut: Pertama Kriteria Teknis Pendidikan. Penetapan perlu tidaknya suatu penggabungan (regrouping) SD ditentukan oleh kriteria teknis pendidikan dengan indikator sebagai berikut:
a. Daya Tampung (DT) SD/ sederajat yang pada tingkat desa/kelurahan merupakan indikator makro yang memperkirakan adanya kelebihan atau kekurangan gedung sekolah/ruang kelas.
b. Rasio jumlah murid (JM) per kelas (rata-rata pada satu SD) merupakan indikator mikro perlu tidaknya suatu SD mengikuti proses penggabungan (regrouping). c. Jumlah murid (JM) dalam pendataan 3 tahun terakhir
tidak memenuhi jumlah minimal murid yaitu JM kurang dari tiga ratus enam puluh (360) untuk tipe A (75% x 480), JM kurang dari seratus delapan puluh (180) untuk tipe B (75% x 240), atau JM kurang dari enam puluh (60) untuk tipe C (67% x 90).
d. Dalam satu kompleks SD terdapat lebih dari satu lembaga/institusi SD.
e. SD yang tidak termasuk dalam pertimbangan proses penggabungan adalah SD swasta dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan SD kecil di kawasan terpencil yang merupakan fasilitas pendidikan dasar satu-satunya di kawasan tersebut.
Kedua, Kriteria Bangunan Gedung Sekolah Dasar. Kriteria teknis bangunan gedung SD digunakan
(44)
60
untuk menentukan lokasi penggabungan bagi SD yang telah diputuskan untuk digabung berdasar kriteria teknis pendidikan, serta pertimbangan untuk penataan fisik gedung SD dan lingkungannya. Kriteria Tata Bangunan dan Lingkungan:
a. Lokasi SD sudah tidak sesuai dengan pola tata ruang kota dan peruntukannya, terkena rencana penataan kota, penataan bangunan dan lingkungan, atau sudah tidak layak lagi menjadi tempat belajar-mengajar. b. Lokasi SD saling bergabung letaknya berada pada satu
kompleks, bersebelahan/berdekatan, atau masing-masing SD tersebut berada pada radius tidak lebih dari 1000 m.
c. Luas Lahan (LL) lokasi penggabungan harus memenuhi syarat sesuai pembakuan, yaitu gedung SD tidak bertingkat ( LL ≥ 2000 m2 untuk SD Tipe A, LL ≥ 2000 -
3000 m2 untuk SD Tipe B dan LL ≥ 1000 – 2000 m2
untuk SD Tipe C) dan gedung SD bertingkat (LL ≥ 2000 m2 untuk SD tipe A, atau LL ≥ 1000 – 2000 m2 untuk Tipe SD B);
Ketiga, Kriteria Keandalan Bangunan. Keandalan bangunan dinilai dari tingkat kerusakan bangunan sebagai berikut:
a. Lokasi SD berada pada daerah yang sulit air bersihnya. b. Lokasi SD berada pada daerah rawan bencana alam (banjir, longsor, jalur gempa, petir, angin ribut, letusan gunung berapi, dan sebagainya).
c. Bangunan SD belum memenuhi standar spesifikasi teknis bangunan gedung SD kelas C sesuai karakteristik lokal.
(45)
61
2.5.6. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya
Penggabungan (Regrouping)
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya penggabungan (Regrouping) beberapa Sekolah Dasar di daerah: 1) Himbauan dari pemerintah. Regrouping/ penggabungan beberapa SD dilakukan karena himbauan pemerintah melalui Mendagri dalam surat No: 421.2/2501/Bangda/1998
tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan
(Regrouping) Sekolah Dasar, yang mana tujuan penggabungan tersebut untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga guru, peningkatan mutu, efisiensi biaya bagi perawatan gedung sekolah. Sedangkan
sekolah yang ditinggalkan dimungkinkan
penggunaannya untuk rencana pembukaan SMP kecil/SMP kelas jauh atau setara sekolah lanjutan sesuai ketentuan setempat untuk menampung lulusan Sekolah Dasar; 2) Sebagai implementasi keputusan Mendiknas. Regrouping/ penggabungan beberapa SD merupakan Implementasi Kepmendiknas Nomor 060/U/2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah, dalam ayat 1 pasal 23 dinyatakan bahwa pengintegrasian sekolah merupakan peleburan atau penggabungan dua atau lebih sekolah sejenis menjadi satu sekolah; 3) Kekurangan guru. Adanya berbagai keluhah kekurangan guru dibeberapa daerah, sedangkan di beberapa daerah yang lain rasio siswa
(46)
62
dibanding guru di SD cukup rendah. Dasar perhitungan guru perlu diadakan perubahan. Saat ini jumlah guru kelas dihitung menurut jumlah rombongan belajar. Meskipun hanya ada beberapa murid di satu kelas (kadang-kadang kurang dari 5 orang) tetap dianggap perlu ada satu guru kelas. Akibatnya, ada beberapa guru memiliki sedikit murid (di bawah 15 orang), sedangkan guru lain harus mengajar lebih dari 60 orang; 4) Kekurangan murid.
Beberapa SD hanya memiliki jumlah siswa kurang dari 50 orang, dan dengan demikian tiap-tiap kelas hanya mempunyai siswa relatif sedikit; 5) Sarana/ prasarana untuk pembelajaran kurang memadai. Beberapa fasilitas/ sarana/ prasarana di Sekolah Dasar terutama gedung sekolah kurang memadai, dikarenakan jumlah siswa yang relatif sedikit, sehingga demi efisiensi biaya, dan alas an lain perlu diadakan penggabungan dengan sekolah lain; 6) Dua sekolah satu halaman. Jika ada dua Sekolah Dasar yang gedungnya satu halaman, sedangkan keadaan/ kondisi ke duanya sangat
bertolak belakang, maka perlu dilakukan
(47)
63
2.6.
Kajian Penelitian Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Rani Widiowati (2014) yang berjudul “School Resiliency and Capital of Regrouping Policy after Merapi Eruption in the Special District of Yogyakarta Of Indonesia”. Hasil penelitian tersebut menujukkan tentang: 1. Kendala pelaksanaan regrouping 2. Faktor pendukung regrouping. Penelitian ini menggunakan model analisis deskriptif kualitatif secara interaktif dan berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Banyak hal yang terjadi baik dari proses sampai sekolah diregrouping. Terdapat kendala ataupun hambatan pada awal proses negosiasi, manfaat dan kerugian yang dirasakan oleh warga sekolah. Namun sekolah menanggapi secara positif dengan adanya kebijakan regrouping ini. Dengan berbagai pertimbangan antara lain, keamanan, keselamatan, tempat tinggal siswa dan efektivitas kerja pasca erupsi Merapi. Kebijakan regrouping pasca erupsi Merapi ini bertujuan untuk membangun resiliensi
sekolah pasca
erupsi Merapi dan agar proses kegiatan belajar mengajar pasca erupsi Merapi menjadi efektif dan efisien. 2) faktor pendukung adalah pemerintah daerah, sponsor-sponsor penyandang dana dalam pembuatan gedung baru untuk SD Negeri Umbulharjo 2, kemauan
dari guru masing-masing sekolah untuk
(48)
64
proses kegiatan belajar mengajar pasca erupsi Merapi, guru bersedia melakukan pendampingan terhadap siswa dan senantiasa memberikan nasihat dan
dukungan kepada siswa dan siswa
mau berusaha adaptasi terhadap lingkungan sekolah yang baru. Faktor penghambat adalah kurang luas pengetahuan guru dalam pemulihan psikologis anak pasca erupsi Merapi, beban kerja guru sudah tinggi, problem internal dari guru itu sendiri, kurangnya kreatifitas dan inovasi guru mengajar pasca erupsi Merapi sehingga dalam proses membangun resiliensi tidak optimal.
Penelitian Jihan Amalia Syahidah (2013) Evaluasi Kebijakan Penggabungan Sekolah Dasar Negeri Kota Pekalongan, merupakan jenis penelitian evaluasi kebijakan dengan metode penelitian kualitatif. Hasil penelitian membahas tentang Kebijakan penggabungan Sekolah Dasar Kota Pekalongan yang terbagi menjadi dua yaitu kebijakan berdasarkan murni satu kawasan dalam pencapaian efektifitas dan efesiensi kebijakan sudah dapat dikatakan berhasil karena baik input, aktor maupun faktor pendukungnya telah terpenuhi sehingga dalam implementasi kebijakan tidak mengalami kesulitan yang berarti.
Pada kebijakan penggabungan berdasarkan
manajemen yang memiliki banyak kendala dalam menuju efektifitas dan efesiensinya. Dari delapan
(49)
65
sekolah yang diteliti, manajemen efektifitasnya belum bisa tercapai karena adanya beban ganda yang diberikan kepada kepala sekolah menjadikan kepala sekolah justru memiliki kendala dalam membagi waktu untuk dua sekolah.
Penelitian Sudiyono (2014) Pelaksanaan Program
Regrouping Sekolah Dasar 1 Undaan tengah Kecamatan Undaan Kudus. Sugiyono menggunakan jenis penelitian kualitatif. Hasil penelitian tersebut adalah (1) menggambarkan tentang karakteristik managemen sekolah program regrouping di SD 1 Undaan Tengah Kec.Undaan Kudus. (2) Pelaksanaan program regrouping di SD 1 Undaan tengah kecamatan Undaan Kudus berjalan dengan sangat baik sesuai dengan yang diharapkan. Pengelolaan sekolah menjadi lebih efisien dan efektif serta pembelajaran mampu mencapai standar yang ditetapkan. Sarana dan prasarana mengalami peningkatan, meskipun masih perlu perbaikan dan pengadaan. (3) Kendala pelaksanaan regrouping tidak signifikan dan dapat dipecahkan dengan baik.
Penelitian keempat oleh Ika Purwaningsih (2014) Implementasi Kebijakan Regrouping Sekolah Dasar di Kabupaten Purworejo. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan dari
regrouping sekolah dasar beserta monitoring, evaluasi terhadap implementasi program regrouping sekolah
(50)
66
dasar di kabupaten Purworejo. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian etnografi dengan teknik pengambilan sampel. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) implementasi kebijakan
regrouping di sekolah dasar diawali dengan pendataan terhadap sekolah-sekolah dasar yang nantinya dipetakan berdasarkan skala prioritas oleh tim penghapusan dan penggabungan sekolah (2) monitoring dilaksanakan secara non formal insidental dalam upaya menjaga agar pelaksanaan regrouping
sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan, strategi yang dipergunakan dengan memberikan motivasi negatif bagi sekolah yang akan di
regrouping, (3) evaluasi program regrouping
menujukkan ketercapaian tujuan, yaitu pemenuhan standar pelayanan minimal pendidikan, efisiensi anggaran, efektvitas penyelenggaraan pendidikan, dan adanya peningkatan mutu pendidikan bagi sekolah
regrouping, baik dari segi akademis maupun non akademis.
Penelitian kelima oleh Claire Hills (2013) dengan judul Close OrBe Closed: To What Extent Can School
Clorsures And mergers Be Contested And Negotiated?, sebuah penelitian yang dilakukan di New Zealand. Penelitian ini akan menunjukkan bahwa proses penutupan/penggabungan sekolah terkadang dapat dengan sukses diperebutkan oleh masyarakat
(51)
67
berpendidikan politik. Dalam ulasan di daerah Masterton 2003 beberapa sekolah lebih berhasil dari yang lain dalam menentang penggabungan dan penutupan. Alasannya akan dieksplorasi. Resistensi masyarakat sangat penting dalam menjungkirbalikkan keputusan penutupan sekolah tinggi Makoura pada 2008. Masyarakat Diprakarsai kebijakan Rencana Pendidikan diujicobakan di Kabupaten Bush pada tahun 2009 menghasilkan kemenangan bagi pemangku kepentingan di seluruh wilayah yang aktif.Literatur penelitian di Selandia Baru, dan luar negeri,
menunjukkan bahwa penutupan sekolah dan
penggabungan dapat menyebabkan perbedaan budaya masyarakat yang signifikan. Pemangku kepentingan menemukan bahwa mereka memiliki ikatan emosional yang mendalam untuk sekolah mereka. Dalam proses ini pola yang berbeda dari respon muncul. Kemarahan dan kesedihan disajikan dalam ledakan bahasa emotif yang sedang berjalan. Orang tua menegaskan "hak" mereka untuk memilih sekolah yang paling cocok untuk anak mereka diliput oleh Tommorow’s School dan menuntut komunikasi yang jelas dan tranparan dari Kementerian Pendidikan dan sepenuhnya berkonsultasi selama proses berjalan. Ada patern/pola yang jelas merupakan gangguan komunikasi antara Kementerian dan pemangku kepentingan lokal. Hal ini dapat dilihat dalam pertemuan komunitas, protes,
(52)
68
petisi, perdebatan kontroversial tentang masalah transportasi, rasisme, demografi, ekonomi, kebajikan sekolah yang lebih kecil dibandingkan sekolah yang lebih besar dan kerusakan masyarakat inti.Sebagai buntut dari penutupan bangunan sekolah, terjebak dalam proses pembuangan berkepanjangan yang ditinggalkan, menjadi perusak pemandangan di komunitas mereka karena mereka perlahan-lahan menyerah pada perusakan dan pembakaran.
Dari lima penelitian tentang regrouping diatas, hanya satu yang membahas tentang evaluasi kebijakan
regrouping sekolah, yang memberikan suatu rekomendasi kepada pemangku kepentingan untuk mengkaji ulang tentang efektifitas regrouping dibidang managemen sekolah. Sementara tiga penelitian membahas tentang implementasi/ pelaksanaan kebijakan regrouping yang mengalami berbagai macam permasahan, khususnya dilingkungan sekolah yang diregrouping. Dan satu penelitian membahas tentang dampak yang ditimbulkan oleh program regrouping. Kesamaan dari lima penelitian diatas sama-sama menggunakan penelitian diskriptif, yang memberi gambaran yang jelas tentang program kebijakan
regrouping sekolah. Berbeda dengan penelitian yang sedang penulis lakukan saat ini. Penulis lebih menekankan pada evaluasi program kebijakan
(53)
69
mengevaluasi pelaksanaan regrouping sekolah, faktor-faktor yang mempengaruhi, dampak yang timbul, serta tuujan (efektifitas dan efisiensi) dari program regrouping
sekolah tersebut.
2.7.
Kerangka Pikir
Berdasarkan pengamatan di SD Negeri Tukang 01 dan 02 Kec.Pabelan, peneliti menggunakan model penelitian Goal Free Evaluation yang dikembangkan oleh Michael Scriven, yang penulis anggap relevan dengan masalah-masalah awal yang peneliti temukan dilapangan. Dalam melaksanakan evaluasi program, peneliti tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan khusus program. Dengan metode ini yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya program, yaitu dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi, baik hal-hal positif maupun hal-hal negatif. Alasan mengapa tujuan program tidak perlu diperhatikan karena ada kemungkinan peneliti terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus. Apabila tujuan khusus tercapai artinya terpenuhi dalam penampilan, tetapi peneliti perlu memperhatikan seberapa jauh masing-masing penampilan tersebut mendukung penampilan akhir yang diharapkan oleh tujuan umum, maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak banyak manfaatnya. Goal free evaluation merupakan
(54)
70
model yang tidak lepas sama sekali dari tujuan, melainkan hanya lepas dari tujuan khususnya. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai, bukan secara rinci.
Dengan berpedoman pada metode evaluasi goal free jika dikaitkan dengan evaluasi program regrouping
di SDN Tukang 01 dan SDN Tukang 02 Kec. Pabelan Kab. Semarang, maka terbentuklah alur berfikir sebagai berikut: (a) peneliti memperhatikan tujuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah secara umum terhadap kebijakan regrouping sekolah, yaitu tercapainya efektifitas dan efisiensi manajemen pendidikan; (b) peneliti berfokus pada proses pelaksanaan/ implementasi dari regrouping yang dilakukan oleh penyelenggara dengan menghubungkan dampak terhadap program tersebut; (c) peneliti memperhatikan dampak dari penyelenggraan program kebijakan regrouping dalam konteks secara umum; (d) peneliti memperhatikan tingkat efektifitas dan efisiensi dari pelaksanaan regrouping sekolah. Jika digambarkan melalui diagram, alur berfikir yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
(55)
71
Gambar 2.1. Evaluasi Program Regrouping Sekolah
Program Regrouping Sekolah (Keputusan Mendagri)
Implementasi Program Regrouping Sekolah
Faktor-faktor yang mempengaruhi Program
Regrouping Sekolah
Dampak Program Regrouping Sekolah
Capaian efektifitas & efisiensi (tujuan) Regrouping
(1)
66
dasar di kabupaten Purworejo. Peneliti menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian etnografi dengan teknik pengambilan sampel. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) implementasi kebijakan
regrouping di sekolah dasar diawali dengan pendataan terhadap sekolah-sekolah dasar yang nantinya dipetakan berdasarkan skala prioritas oleh tim penghapusan dan penggabungan sekolah (2) monitoring dilaksanakan secara non formal insidental dalam upaya menjaga agar pelaksanaan regrouping
sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan, strategi yang dipergunakan dengan memberikan motivasi negatif bagi sekolah yang akan di
regrouping, (3) evaluasi program regrouping
menujukkan ketercapaian tujuan, yaitu pemenuhan standar pelayanan minimal pendidikan, efisiensi anggaran, efektvitas penyelenggaraan pendidikan, dan adanya peningkatan mutu pendidikan bagi sekolah
regrouping, baik dari segi akademis maupun non akademis.
Penelitian kelima oleh Claire Hills (2013) dengan judul Close OrBe Closed: To What Extent Can School
Clorsures And mergers Be Contested And Negotiated?, sebuah penelitian yang dilakukan di New Zealand. Penelitian ini akan menunjukkan bahwa proses penutupan/penggabungan sekolah terkadang dapat dengan sukses diperebutkan oleh masyarakat
(2)
67 berpendidikan politik. Dalam ulasan di daerah Masterton 2003 beberapa sekolah lebih berhasil dari yang lain dalam menentang penggabungan dan penutupan. Alasannya akan dieksplorasi. Resistensi masyarakat sangat penting dalam menjungkirbalikkan keputusan penutupan sekolah tinggi Makoura pada 2008. Masyarakat Diprakarsai kebijakan Rencana Pendidikan diujicobakan di Kabupaten Bush pada tahun 2009 menghasilkan kemenangan bagi pemangku kepentingan di seluruh wilayah yang aktif.Literatur penelitian di Selandia Baru, dan luar negeri, menunjukkan bahwa penutupan sekolah dan penggabungan dapat menyebabkan perbedaan budaya masyarakat yang signifikan. Pemangku kepentingan menemukan bahwa mereka memiliki ikatan emosional yang mendalam untuk sekolah mereka. Dalam proses ini pola yang berbeda dari respon muncul. Kemarahan dan kesedihan disajikan dalam ledakan bahasa emotif yang sedang berjalan. Orang tua menegaskan "hak" mereka untuk memilih sekolah yang paling cocok
untuk anak mereka diliput oleh Tommorow’s School
dan menuntut komunikasi yang jelas dan tranparan dari Kementerian Pendidikan dan sepenuhnya berkonsultasi selama proses berjalan. Ada patern/pola yang jelas merupakan gangguan komunikasi antara Kementerian dan pemangku kepentingan lokal. Hal ini dapat dilihat dalam pertemuan komunitas, protes,
(3)
68
petisi, perdebatan kontroversial tentang masalah transportasi, rasisme, demografi, ekonomi, kebajikan sekolah yang lebih kecil dibandingkan sekolah yang lebih besar dan kerusakan masyarakat inti.Sebagai buntut dari penutupan bangunan sekolah, terjebak dalam proses pembuangan berkepanjangan yang ditinggalkan, menjadi perusak pemandangan di komunitas mereka karena mereka perlahan-lahan menyerah pada perusakan dan pembakaran.
Dari lima penelitian tentang regrouping diatas, hanya satu yang membahas tentang evaluasi kebijakan
regrouping sekolah, yang memberikan suatu rekomendasi kepada pemangku kepentingan untuk mengkaji ulang tentang efektifitas regrouping dibidang managemen sekolah. Sementara tiga penelitian membahas tentang implementasi/ pelaksanaan kebijakan regrouping yang mengalami berbagai macam permasahan, khususnya dilingkungan sekolah yang diregrouping. Dan satu penelitian membahas tentang dampak yang ditimbulkan oleh program regrouping. Kesamaan dari lima penelitian diatas sama-sama menggunakan penelitian diskriptif, yang memberi gambaran yang jelas tentang program kebijakan
regrouping sekolah. Berbeda dengan penelitian yang sedang penulis lakukan saat ini. Penulis lebih menekankan pada evaluasi program kebijakan
(4)
69 mengevaluasi pelaksanaan regrouping sekolah, faktor-faktor yang mempengaruhi, dampak yang timbul, serta tuujan (efektifitas dan efisiensi) dari program regrouping
sekolah tersebut.
2.7.
Kerangka Pikir
Berdasarkan pengamatan di SD Negeri Tukang 01 dan 02 Kec.Pabelan, peneliti menggunakan model penelitian Goal Free Evaluation yang dikembangkan oleh Michael Scriven, yang penulis anggap relevan dengan masalah-masalah awal yang peneliti temukan dilapangan. Dalam melaksanakan evaluasi program, peneliti tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan khusus program. Dengan metode ini yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya program, yaitu dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi, baik hal-hal positif maupun hal-hal negatif. Alasan mengapa tujuan program tidak perlu diperhatikan karena ada kemungkinan peneliti terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus. Apabila tujuan khusus tercapai artinya terpenuhi dalam penampilan, tetapi peneliti perlu memperhatikan seberapa jauh masing-masing penampilan tersebut mendukung penampilan akhir yang diharapkan oleh tujuan umum, maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak banyak manfaatnya. Goal free evaluation merupakan
(5)
70
model yang tidak lepas sama sekali dari tujuan, melainkan hanya lepas dari tujuan khususnya. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai, bukan secara rinci.
Dengan berpedoman pada metode evaluasi goal free jika dikaitkan dengan evaluasi program regrouping
di SDN Tukang 01 dan SDN Tukang 02 Kec. Pabelan Kab. Semarang, maka terbentuklah alur berfikir sebagai berikut: (a) peneliti memperhatikan tujuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah secara umum terhadap kebijakan regrouping sekolah, yaitu tercapainya efektifitas dan efisiensi manajemen pendidikan; (b) peneliti berfokus pada proses pelaksanaan/ implementasi dari regrouping yang dilakukan oleh penyelenggara dengan menghubungkan dampak terhadap program tersebut; (c) peneliti memperhatikan dampak dari penyelenggraan program kebijakan regrouping dalam konteks secara umum; (d) peneliti memperhatikan tingkat efektifitas dan efisiensi dari pelaksanaan regrouping sekolah. Jika digambarkan melalui diagram, alur berfikir yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
(6)
71
Gambar 2.1. Evaluasi Program Regrouping Sekolah
Program Regrouping Sekolah (Keputusan Mendagri)
Implementasi Program Regrouping Sekolah
Faktor-faktor yang mempengaruhi Program
Regrouping Sekolah
Dampak Program Regrouping Sekolah
Capaian efektifitas & efisiensi (tujuan) Regrouping