Model-model Evaluasi Program Evaluasi Program

27

2.1.6. Model-model Evaluasi Program

Model-model evaluasi yang satu dengan yang lainnya memang tampak bervariasi, akan tetapi maksud dan tujuannya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenaan dengan objek yang dievaluasi. Selanjutnya informasi yang tealah terkumpul dapat diberikan kepada pengambil keputusan supaya dapat dengan tepat menentukan tindak lanjut mengenai program yang telah dievaluasi. Menurut Kaufman dan Thomas yang dikutib oleh Suharsimi Arikunto dan Cepi Safruddin Abdul Jabar 2009: 40, membedakan model evaluasi menjadi delapan, yaitu: a. Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler. Dalam model ini, seorang evaluator secara terus menerus melakukan pantauan terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Penilaian yang berkelanjutan ini menilai tentang kemajuan-kemajuan yang dicapai peserta program serta efektifitas dari temuan yang telah dicapai oleh sebuah program. Salah satu model yang bisa mewakili model ini adalah model kesenjangan atau discrepancy yang dikembangkan oleh Provus. Model ini melihat lebih jauh tentang adanya kesenjangan Discrepancy yang ada dalam setiap komponen 28 yakni apa yang seharusnya dan apa yang secara riil telah dicapai; b. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven. Goal Free Evaluation Model adalah model evaluasi yang dikembangkan oleh Scriven. Dalam Goal Free Evaluation, Scriven mengemukakan bahwa dalam melakukan evaluasi program evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program. Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya kinerja suatu program, dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi pengaruh baik hal-hal yang positif yaitu hal yang diharapkan maupun hal-hal yang negatif yang tidak diharapkan; c. Formatif Sumatif Evaluation Model, dikembangkan oleh Michael Scriven. Model ini menunjuk adanya tahapan dan lingkup obyek, yang dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada program masih berjalan disebut evaluasi formatif dan ketika program selesai atau berakhir disebut evaluasi sumatif. Pada proses belajar mengajar evaluasi sumatif dilakukan oleh evaluator untuk mendapatkan informasi untuk menentukan keputusan para siswa selama mengikuti proses belajar mengajar.a Evaluasi sumatif, evaluasi ini dilakukan oleh guru setelah siswa mengikuti 29 proses pembelajaran dengan waktu tertentu, misalnya pada akghir proses belajar mengajar, termasuk akhir semester. Secara umum evaluasi sumatif bertujuan untuk menentukan posisi siswa dalam kelompoknya terkait dengan penguasaan materi pembelajaran yang telah diikuti. selama satu proses pembelajaran. Fungsi evaluasi sumatif adalah sebagai laporan pertanggungjawaban pelaksanaan proses pembelajaran, disamping juga menentukan pencapaian hasil belajar yang telah diikuti oleh siswa, selain itu juga untuk mengukur ketercapaian program.b Evaluasi formatif, pada prinsipnya dilaksanakan ketika program masih berlangsung atau ketika program masih dekat dengan permulaan kegiatan. Tujuan evaluasi ini adalah untuk mengetahui seberapa jauh program yang telah dirancang dapat berlangsung, sekaligus untuk mengidentifikasi hambatan. Dengan diketahui hambatan ini diharapkan dapat mengambil keputusan secara dini dapat mengadakan perbaikan yang mendukung kelancaran pencapaian tujuan program Arikunto: 2009. Evaluasi ini dilaksanakan secara kontinyu, atau periodik tertentu dalam proses belajar mengajar; 30 d. Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake. Model yang dikembangkan oleh Stake dan Fernades ini menekankan atau memiliki dua kelengkapan utama pada a Diskripsi description dan b pertimbangan judgement, serta terbagi menjadi 3 tahapan dalam evaluasi program yaitu anteseden yang diartkan sebagai konteks, transaksi yang diartikan sebagai proses dan keluaran yang mengacu pada output dan outcome yang diartikan sebagai hasil Suharsimi Arikunto: 2009; e. Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake. Model responsive evaluation yang dikembangkan oleh Robert Stake, merupakan model yang cocok digunakan untuk mengevaluasiprogram yang banyak menimbulkan konflik di masyarakat. Keputusan evaluasiberorientasi kepada klien atau pengguna program; f. CSE-UCLA Evaluation Model. CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu CSE dan UCLA. CSE merupakan singkatandari Center for the Study of Evaluation, sedangkan UCLA merupakan singkatan dariUniversity of California in Los Angeles. Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya limatahapan evaluasi, yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil dandampak. 31 Sementara itu, menurut Fernandes 1984 dalam model CSE-UCLA ini jugadapat dibagi ke dalam empat tahapan evaluasi, yaitu: a needs assessment; b program planning; c formative evaluation; dan d sumatife evaluation.Pada dasarnya, pentahapan yang dikemukakan oleh Fernandes 1984 adalah samadengan tahapan yang ada pada CSE-UCLA model. Tahapan perencanaan danpengembangan program memerlukan tahapan evaluasi yang disebut needsassessment. Pada tahap implementasi, diperlukan evaluasi formatif, sedangkanuntuk mengetahui hasil dan dampak program, diperlukan evaluasi sumatif. g. Alkin mendefinisikan evaluasi sebagai suatu proses meyakinkan keputusan, memilih informasi yang tepat mengumpulkan, dan menganalisis informasi sehingga dapat melaporkan ringkasan data yang berguna bagi pembuatan keputusan dalam memilih berbagai alternatif. Ia mengemukakan lima macam evaluasi, yakni: a System assessment, memberikan informasi tentang keadaan atau posisi sistem. b Program planning, membantu pemulihan program tertentu yang mungkin akanberhasil memenuhi kebutuhan program. c Program implementation, yang menyiapkan 32 informasi mengenai apakah program telah diperkenalkan pada kelompok tertentu yang tepat seperti yang telaah direncanakan. d Program improvement, memberikan informasi mengenai bagaimana program berfungsi, bagaimana program berjalan, atau bekerja? Apakah menuju pencapaian tujuan, adakah hal-hal atau masalah-masalah baru yang muncul tak terduga? e Program certification, yang memberikan informasi tentang nilai atau guna program; h. CIPP Evaluation Model, dikembangkan oleh Stufflebeam. Isi dari model evaluasi ini terdiri dari : a Contex evaluation: Evaluasi terhadap konteks, evaluasi ini menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan proyek. b Input evaluation: Evaluasi terhadap masukan, yaitu evaluasi tentang kemampuan awal siswa dan sekolah. c Process evaluation: Evaluasi terhadap proses, evaluasi ini diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang dilaksanakan di dalam program sudah terlaksana sesuai dengan rencana. d Product evaluation: Evaluasi terhadap hasil, evaluasi ini diarahkan kepada hal-hal yang menunjukkan adanya perubahan yang terjadi pada masukan mentah. Model ini lebih memandang bahwa pada 33 hakikatnya evaluasi adalah sebuah sistem sehingga model ini akan digunakan untuk mengevaluasi program yang ditugaskan maka mau tidak mau mereka harus menganalisis program tersebut berdasarkan komponen- komponennya; 8 Discrepancy Model, dikembangkan oleh Provus. Model ini dikembangkan oleh Malcolm Provus, yang merupakan model yang menekankan pada pandangan adanya kesenjangan di dalam pelaksanaan program untuk mengukur besarnya kesenjangan yang ada dalam setiap komponen. Dalam hal ini, evaluatormengukur adanya perbedaan kesenjangan antara yang seharusnya dicapai berdasarkan tujuan program dengan realitas hasil yang dapat dicapai. Objek sasaran evaluasi program lembaga pendidikan, misalnya dengan menggunakan model dicrepancy Provus itu ada lima aspek kadang ada yang menyebutnya cuma empat, yaitu sebagai berikut: a Design rancangan; program design. Yang dimaksud adalah rancangan kegiatan atau program kerja. Oleh karena itu ada yang menyebutnya dengan program definition penetapan program. Yang dievaluasi mengenainya adalah ada tidaknya unsur input, proses, dan output; b Installation program 34 installation; penyediaan perangkat-perlengkapan yang dibutuhkan program. Agar program bisa dilaksanakan, lembaga pembuat program itu tentu harus menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk mendukungnya. Jadi, yang dievaluasi adalah ketepatan berbagai sumber daya, perangkat dan perlengkapan yang tersedia untuk pelaksanaan program; c Process program process. Yang dimaksud adalah proses pelaksanaan program. Di dalamnya termasuk kepemimpinan dan penugasan-penugasan instruction. Yang dievaluasi adalah keterkaitan kegayutan antara sesuatu yang akan diubah, dibangun, dikembangkan dsb; d Product program product, hasil program. Yang dievaluasi adalah efektivitas desain atau rancangan program; tegasnya apakah tujuan atau target program bisa tercapai; e Cost biaya, pengeluaran. Yang dimaksud adalah implikasi kemanfaatan sosial politik ekonomi apa yang diharapkan bisa tergapai dari pelaksanaan program tersebut. Beberapa model evaluasi yang telah dipaparkan di atas memiliki banyak kesamaan. Pada umumnya perancang model evaluasi menyusun model evaluasi sesuai dengan alur sistem yaitu terdiri dari input – 35 proses – output. Pada elemen input digunakan beberapa istilah yang memiliki makna serupa yaitu antecedent dan entry capability. Pada elemen proses digunakan istilah operation, transaction, process. Sedangkan pada elemen output digunakan istilah result, product, dan outcome. Tiap-tiap model evaluasi mempunyai keunggulan yang cocok untuk diterapkan pada situasi tertentu, namun tidak ada satu modelpun yang dapat menjawab semua permasalahan evaluasi yang ingin ditelusuri. Selain model-model evaluasi yang telah dipaparkan oleh para ahli tersebut, pada dasarnya peneliti juga dapat mengembangkan model evaluasi yang berbeda dengan yang sudah ada, sesuai dengan kebutuhan akan informasi yang harus dikumpulkan. Model evaluasi yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah model goal free evaluation GFE, fokus pada adanya perubahan perilaku yang terjadi sebagai dampak dari program yang diimplementasikan, melihat dampak sampingan baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan, dan membandingkan dengan sebelum program dilakukan. Model GFE maksudnya adalah para evaluator mengambil dari berbagai laporan atau catatan pengaruh-pengaruh nyata atau kongkrit dan pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan dalam program pendidikan dan pelatihan. Perhatian khusus diberikan secara tepat terhadap 36 usulan-usuan tujuan dalam evaluasi, tetapi tidak dalam proses atau produk. Keuntungan dari GFE adalah dengan GFE para evaluator mengetahui antisipasi pengaruh-pengaruh penting terhadap tujuan dasar dari penilai yang menyimpang. Pemilihan evaluasi goal free juga didasari oleh empat alasan yang dikemukan oleh Patton, yaitu: a menghindari resiko penyataan tujuan program yang terlalu sempit dan hilangnya outcomes penting yang tidak diantisipasi. b menghilangkan kesan relatif adanya unanticipated effect pada temuan evaluasi. c mengurangi adanya persepsi yang bias dalam evaluasi, dan d menjaga obyektifitas dan kemandirian evaluator dalam kondisi bebas tujuan. Tujuan program tidak perlu diperhatikan karena kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati tiap- tiap tujuan khusus.Jika masing-masing tujuan khusus tercapai, artinya terpenuhi dalam penampilan tetapi evaluator lupa memperhatikan sejauh mana masing- masing penampilan tersebut mendukung penampilan terakhir yang diharapkan oleh tujuan umum maka akibatnya jumlah penampilan khusus ini tidak banyak bermanfaat.Dapat disimpulkan bahwa, dalam model ini bukan berarti lepas dari tujuan tetapi hanya lepas dari tujuan khusus. Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum yang akan dicapai oleh program, bukan secara rinci perkomponen yang ada. 37 Scriven menekankan bahwa evaluasi itu adalah interpretasi Judgement ataupun explanation dan evaluator yang merupakan pengambil keputusan dan sekaligus penyedia informasi. Ciri – Ciri Evaluasi Bebas Tujuan yaitu: 1 Evaluator sengaja menghindar untuk mengetahui tujuan program. 2 Tujuan yang telah dirumuskan terlebih dahulu tidak dibenarkan menyempitkanfokus evaluasi. 3 Evaluasi bebas tujuan berfokus pada hasil yang sebenarnya, bukan pada hasil yang direncanakan. 4 Hubungan evaluator dan manajer atau dengan karyawan proyek dibuat seminimal mungkin. 5 Evaluasi menambah kemungkinan ditemukannya dampak yang tidak diramalkan. Evaluator internal biasanya melakukan evaluasi yang berorientasi pada tujuan,karena ia sulit menghindar atau mau tidak mau ia akan mengetahui tujuan program. Menejer progam jelas ingin mengetahui sampai seberapa jauh progam telah dicapai, dan evaluator internal akan dan harus menyediakan informasi untuk menejernya. Di samping itu, perlu diketahui bagaimana orang luar menilai program bukan hanya untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, apa yang dilakukan di semua bagian, pada semua yang telah dihasilkan, secara sengaja atau tidak sengaja. Yang belakangan ini 38 merupakan tugas evaluator bebas tujuan yang tidak mengetahui tujuan program. Model Goal Free berfokus pada hasil yang sebenarnya dari suatu program atau kegiatan, bukan hanya tujuan-tujuan yang teridentifikasi. Jenis model memungkinkan teknologi untuk mengidentifikasi dan mencatat hasil yang tidak mungkin telah diidentifikasi oleh perancang program. Melalui proses teknik baik terang-terangan dan terselubung, metode ini berusaha untuk mengumpulkan data dalam rangka untuk membentuk deskripsi program, mengidentifikasi proses akurat, dan menentukan pentingnya mereka ke program. Fungsi Goal Free Evaluation adalah untuk mengurangi bias dan menambah objektifitas. Dalam evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang evaluator secara subjektif persepsinya akan membatasi sesuai dengan tujuan. Padahal tujuan pada umumnya hanya formalitas dan jarang menunjukkan tujuan yang sebenarnya dari suatu proyek. Lagipula, banyak hasil program penting yang tidak sesuai dengan tujuan program. Goal Free Evaluation berfokus pada hasil yang sebenarnya bukan pada hasil yang direncanakan. Dalam Goal Free Evaluationini, memungkinkan evaluator untuk menambah temuan hasil atau dampak yang tidak direncanakan. 39 Model evaluasi Goal Free Evaluation ini mempunyai kekurangan dan kelebihannya. Kelebihan dari model bebas tujuan di antaranya adalah: a Evaluator tidak perlu memperhatikan secara rinci setiap komponen, tetapi hanya menekankan pada bagaimana mengurangi prasangka bias. b Model ini menganggap pengguna sebagai audiens utama. Melalui model ini, Scriven ingin evaluator mengukur kesan yang didapat dari sesuatu program dibandingkan dengan kebutuhan pengguna dan tidak membandingkannya dengan pihak penganjur. c Pengaruh konsep pada masyarakat, bahwa tanpa mengetahui tujuan dari kegiatan yang telah dilakukan, seorang penilai bisa melakukan evaluasi. d Kelebihan lain, dengan munculnya model bebas tujuan yang diajukan oleh scrieven, adalah mendorong pertimbangan setiap kemungkinan pengaruh tidak saja yang direncanakan, tetapi juga dapat diperhatikan sampingan lain yang muncul dari produk. Walaupun demikian, yang diajukan scrieven ternyata juga memiliki kelemahan seperti berikut: a Model bebas tujuan ini pada umumnya bebas menjawab pertanyaan penting, seperti apa pengaruh yang telah diperhitungkan dalam suatu peristiwa dan bagimana mengidentifikasi pengaruh tersebut. b Walaupun ide scrieven bebas tujuan bagus untuk membantu kegiatan yang paralel dengan evaluasi atas 40 dasar kejujuran, pada tingkatan praktis scrieven tidak terlalu berhasil dalam menggambarkan bagaimana evaluasi sebaiknya benar-benar dilaksanakan. c Tidak merekomendasikan bagaimana menghasilkan penilaian kebutuhan walau pada akhirnya mengarah pada penilaian kebutuhan. d Diperlukan evaluator yang benar-benar kompeten untuk dapat melaksanakan evaluasi model ini. e Langkah-langkah sistematis yang harus dilakukan dalam evaluasi hanya menekankan pada objek sasaran saja. Goal Free Evaluation merupakan titik evaluasi program, dimana objek yang dievaluasi tidak perlu terkait dengan tujuan dari objek atau subjek tersebut, tetapi langsung kepada implikasi keberadaan program apakah bermanfaat atau tidak objek tersebut atas dasar penilaian kebutuhan yang ada.

2.2. Implementasi

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pelaksanaan Program Inklusi SD Negeri Klero 02 Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang T2 942013001 BAB I

0 0 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Pelaksanaan Program Inklusi SD Negeri Klero 02 Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang T2 942013001 BAB II

8 54 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perencanaan Sekolah Ramah Anak (SRA) di SD Negeri Gebugan 01 Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang T2 942012068 BAB II

7 109 35

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Regrouping SD Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang O2 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Regrouping SD Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang O2 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang T2 942015029 BAB V

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Regrouping SD Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang O2 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang T2 942015029 BAB IV

3 14 46

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Regrouping SD Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang O2 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang

3 5 95

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Regrouping SD Negeri Tukang 01 dan SD Negeri Tukang O2 Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang T2 942015029 BAB I

0 0 15

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Manajemen Berbasis Sekolah Di SD Negeri Genuk 01 Ungaran Baratabupaten Semarang T2 BAB II

0 1 20

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dampak Regrouping Sekolah Dalam Peningkatkan Mutu Pendidikan Di SD Negeri Kuncir ecamatan Wonosalam Kabupaten Demak T2 BAB II

0 1 45