Pemodelan matematika pada sistem pembangkit listrik tenaga air.

(1)

vii

ABSTRAK

Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air pada bendungan digerakkan oleh suatu

generator. Agar generator dapat digerakkan maka diperlukan tinggi yang sesuai pada

bendungan tersebut.

Dengan mengasumsikan dua bendungan seperti dua sistem bejana, maka

model matematika pada dua sistem bejana tersebut adalah

) ( ) ( 2

) (

2 2 2 2

2 2

t h dt

t dh dt

t h d

n

n ω

ω

ξ +

+ ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =

2 1

1 A A

K λ

D

h

, dengan

h2(t)

adalah tinggi air pada sistem bejana

yang terletak dibawahnya,

ξ

adalah rasio peredam yang baru,

hD

adalah tinggi air

yang sesuai pada sistem bejana,

ωn

adalah frekwensi alami yang baru, dan

2 1,A

A

adalah luas penampang sistem bejana.

Penyelesaian pada dua bejana ini memiliki tiga kemungkinan nilai rasio

peredam baru yang terjadi, yaitu

ξ =1,ξ <1,

dan

0<ξ <1

. Untuk menjamin waktu

yang dibutuhkan untuk meredamkan gejolak air seperti kelebihan air tidak terlalu

lama, maka nilai rasio peredam baru yang sesuai adalah

0<ξ <1

.


(2)

viii

ABSTRACT

Hydroelectric Power Generation System of dam is generated by a generator.

In order to generate a generator, it’s needed a desired demand of the water level of the

dams.

By assuming two dams like two-vessel system, the mathematical model of

two-vessel system is

() 2 2() 2 2()

2 2 2

t h dt

t dh dt

t h d

n

n ω

ω

ξ +

+ ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =

2 1

1 A A

K λ

D

h

, where

h2(t)

denotes the

water level of the lower vessel system,

ξ

denotes the new damping ratio,

hD

denotes

the desired demand of the water level,

ωn

denotes the new natural frequency, and

2 1,A

A

denotes the uniform cross-sectional of the two-vessel system.

There are three cases of the solution of this two-vessel system, depending of

the new damping ratio such as

ξ =1,ξ<1,

and

0<ξ <1

. In order to ensure the

settling-down time such as overshoot is not too large, then the appropriate value of the new

damping ratio is

0<ξ <1

.


(3)

i

PEMODELAN MATEMATIKA PADA SISTEM

PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA AIR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Program Studi Matematika

Oleh

Julius Sigit Wicaksono

NIM : 993114015

PROGRAM STUDI MATEMATIKA JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

ii

MATHEMATICAL MODELLING OF

HYDROELECTRIC POWER GENERATION SYSTEM

Thesis

Presented as Partial Fulfillment of the Requirements

to Obtain the Sarjana Sains Degree

in Mathemathics Study Program

By

Julius Sigit Wicaksono

Student Number : 993114015

STUDY PROGRAM OF MATHEMATHICS

DEPARTMENT OF MATHEMATHICS

FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY

SANATA DHARMA UNIVERSITY

YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

v

Di Balik Setiap Batu Penghalang

Pasti Ada Hikmat Yang Tersembunyi

Dan Selalu Ada Pelajaran Yang Mematangkan Mental.

Hadapi Dengan Berani Setiap Batu Penghalang

(Wisdom to Success )


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Agustus 2007

Penulis


(9)

vii

ABSTRAK

Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air pada bendungan digerakkan oleh suatu

generator. Agar generator dapat digerakkan maka diperlukan tinggi yang sesuai pada

bendungan tersebut.

Dengan mengasumsikan dua bendungan seperti dua sistem bejana, maka

model matematika pada dua sistem bejana tersebut adalah

) ( ) ( 2

) (

2 2 2 2

2 2

t h dt

t dh dt

t h d

n

n ω

ω

ξ +

+ ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =

2 1

1 A A

K

λ

D

h

, dengan

h2(t)

adalah tinggi air pada sistem bejana

yang terletak dibawahnya,

ξ

adalah rasio peredam yang baru,

hD

adalah tinggi air

yang sesuai pada sistem bejana,

ωn

adalah frekwensi alami yang baru, dan

2 1,A

A

adalah luas penampang sistem bejana.

Penyelesaian pada dua bejana ini memiliki tiga kemungkinan nilai rasio

peredam baru yang terjadi, yaitu

ξ =1,ξ <1,

dan

0<ξ <1

. Untuk menjamin waktu

yang dibutuhkan untuk meredamkan gejolak air seperti kelebihan air tidak terlalu

lama, maka nilai rasio peredam baru yang sesuai adalah

0<ξ <1

.


(10)

viii

ABSTRACT

Hydroelectric Power Generation System of dam is generated by a generator.

In order to generate a generator, it’s needed a desired demand of the water level of the

dams.

By assuming two dams like two-vessel system, the mathematical model of

two-vessel system is

() 2 2() 2 2()

2 2 2

t h dt

t dh dt

t h d

n

n ω

ω

ξ +

+ ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =

2 1

1 A A

K

λ

D

h

, where

h2(t)

denotes the

water level of the lower vessel system,

ξ

denotes the new damping ratio,

hD

denotes

the desired demand of the water level,

ωn

denotes the new natural frequency, and

2 1,A

A

denotes the uniform cross-sectional of the two-vessel system.

There are three cases of the solution of this two-vessel system, depending of

the new damping ratio such as

ξ =1,ξ<1,

and

0<ξ <1

. In order to ensure the

settling-down time such as overshoot is not too large, then the appropriate value of the new

damping ratio is

0<ξ <1

.


(11)

ix

KATA PENGANTAR

Dengan telah selesainya penulisan skripsi yang berjudul

Pemodelan

Matematika Pada Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air

, saya mengucapkapkan

puji dan syukur atas berkat dan rahmat yang Tuhan Yang Maha Esa.

Terutama juga saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing

saya, Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si, M.Si, yang dengan sabar dan penuh perhatian

membantu saya dalam penulisan ini.

Selain itu saya juga mengucapkan seluruh dosen dan staf sekretariat Fakultas

Sains Dan Teknologi dalam pelayanan membantu saya selama kuliah di Sanata

Dharma.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan

memperoleh gelar sarjana sains program studi matematika Fakultas Sains Dan

Teknologi Universitas Sanata Dharma.

Saya selaku penulis skripsi ini, menyadari masih jauh dari sempurna, oleh

sebab itu saya mengharapkan masukan dari semua pihak untuk lebih sempurnanya

tulisan skripsi ini.

Yogyakarta, Juli 2007


(12)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...

i

HALAMAN JUDUL... ii

HALAMAN PERSETUJUAN...

iii

HALAMAN PENGESAHAN...

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...

vi

ABSTRAK ...

vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR ...

ix

DAFTAR ISI...

x

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.

Latar Belakang ... 1

B.

Rumusan Masalah ... 2

C.

Pembatasan Masalah ... 2

D.

Manfaat Penulisan... 3

E.

Metode Penulisan ... 3


(13)

xi

G.

Sistematika Penulisan ... 4

BAB II PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN DIFERE

NTIAL DAN DERET BINOMIAL ... 6

A.

Pemodelan Matematika... 6

B.

Persamaan Diferensial... 7

1.

Persamaan Diferensial Orde Satu Terpisahkan... 11

2.

Persamaan Diferensial Linear Orde Satu ... 12

3.

Persamaan Diferensial Linear Orde Dua... 13

4.

Penerapan Persamaan Diferensial Orde Dua ... 21

C.

Deret Binomial Dan Penerapannya... 29

1. Usaha Dan Energi ... 30

2. Fluida ... 31

3. Persamaan Kontinuitas... 33

4. Persamaan Bernoulli ... 34

5.

Teorema Torricelli ... 35

BAB III PEMODELAN MATEMATIKA PADA SISTEM SATU BEJANA .. 39

A.

Sistem Satu Bejana tanpa Aliran Air ... 44

1.

Pengaruh Luas Penampang Pada Ketinggian Air Bejana ... ... 49

2.

Pengaruh Konstanta Torriceli Pada Ketinggian Air Bejana ... 50

B.

Sistem Satu Bejana dengan Aliran Air ... 51

1. Pengaruh Aliran Air Masuk Pada Ketinggian Air Bejana ... 58


(14)

xii

3.

Pengaruh Konstanta Torriceli Pada Ketinggian Air Bejana ... 60

BAB IV PEMODELAN MATEMATIKA PADA SISTEM DUA BEJANA .... 67

A.

Sistem Dua Bejana tanpa Aliran Air Masuk Pada Sistem Bejana di

Atasnya... 68

B.

Sistem Dua Bejana dengan Aliran Air Masuk Pada Sistem Bejana di

Atasnya... 79

C.

Sistem Dua Bejana dengan Aliran Air Disesuaikan ... 99

BAB V PENUTUP... 109

A.

Kesimpulan ... 109

B.

Saran... 110


(15)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.3.1 Tabel Diferensial Metode Tak Tentu ... 20

Tabel 3.1.1 Berkurangnya Tinggi Air Untuk Aliran Air yang Masuk Sema

kin Besar ...

46

Tabel 3.1.2 Berkurangnya Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin

Besar...

47

Tabel 3.1.3 Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin Besar ... 49

Tabel 3.1.4 Tinggi Air Untuk Luas

( )

λ

Semakin Besar... 50

Tabel 3.2.1 Berkurangnya Tinggi Air Untuk

(q1q0)

Semakin Besar...

53

Tabel 3.2.2 Berkurangnya Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin

Besar...

54

Tabel 3.2.3 Bertambahnya Tinggi Air Untuk

(q1q0)

Semakin Besar....

55

Tabel 3.2.4 Bertambahnya Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin

Besar...

55

Tabel 3.2.5 Tinggi Air Bejana dengan Aliran Air ... 57

Tabel 3.2.6 Tinggi Air Untuk

( )

q1

Semakin Besar... 59

Tabel 3.2.7 Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin Besar Semakin

Besar...

60

Tabel 3.2.8 Bertambahnya Tinggi Air Untuk Kontanta Toricelli Semakin

Besar... 61

Tabel 4.1.1 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana tanpa Aliran Air


(16)

xiv

Untuk Kasus Diredam Berlebihan ... 73

Tabel 4.1.2 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana tanpa Aliran Air

Untuk Kasus Diredam Kritis...

75

Tabel 4.1.3 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana tanpa Aliran Air

Untuk Kasus Diredam Berkurang ... 78

Tabel 4.2.1 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana dengan Aliran Air

Untuk Kasus Diredam Berlebihan ... 82

Tabel 4.2.2 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana dengan Aliran Air

Untuk Kasus Diredam Kritis...

85

Tabel 4.2.3 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana dengan Aliran Air

Untuk Kasus Diredam Berkurang ... 87


(17)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.3.4.1 Jarak Pegas Untuk Kasus Getaran Teredam ... 27

Gambar 2.3.4.2 Jarak Pegas Untuk Kasus Getaran Tak Teredam ...

29

Gambar 2.3.2.1 Tekanan Hidrostatis di Titik A, B adalah sama ...

33

Gambar 2.3.3.1 Fluida yang Mengalir Pada Luas Penampang ...

33

Gambar 2.3.5.1 Fluida yang Mengalir Pada Luas Penampang ...

35

Gambar 3.1 Fungsi Konstan...

40

Gambar 3.2 Fungsi Kecepatan ...

41

Gambar 3.3 Fungsi Percepatan ...

41

Gambar 3.4 Sistem Bendungan... 42

Gambar 3.5 Bejana tanpa Aliran Air yang Masuk...

43

Gambar 3.6 Bejana dengan Aliran Air yang Masuk ...

44

Gambar 3.1.1 Tinggi Air Bejana tanpa Aliran Air...

48

Gambar 3.1.2 Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin Besar... 50

Gambar 3.1.3 Tinggi Air Bejana Untuk Kontanta Torricelli Semakin

Besar...

51

Gambar 3.2.1 Tinggi Air Bejana dengan Aliran Air...

57

Gambar 3.2.2 Tinggi Air Bejana Untuk Aliran Air yang Keluar Sema

kin Besar ...

59

Gambar 3.2.3 Tinggi Air Untuk Luas Penampang Semakin Besar ...

60

Gambar 3.2.4 Tinggi Air Bejana Untuk Kontanta Torricelli Semakin

Besar...

61


(18)

xvi

Gambar 3.2.5 Aliran Air yang Disesuaikan Pada Sistem Bejana ...

62

Gambar 4.1 Dua Bejana tanpa Aliran Air yang Masuk ...

67

Gambar 4.2 Dua Bejana dengan Aliran air yang Masuk ...

67

Gambar 4.1.1 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana tanpa Aliran Air

Untuk Kasus Diredam Berlebihan ...

74

Gambar 4.1.2 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana tanpa Aliran Air

Untuk Kasus Diredam Kritis...

76

Gambar 4.1.3 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana tanpa Aliran Air

Untuk Kasus Diredam Berkurang ...

78

Gambar 4.2.1 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana dengan Aliran Air

Untuk Kasus Diredam Berlebihan ...

83

Gambar 4.2.2 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana dengan Aliran Air

Untuk Kasus Diredam Kritis ...

85

Gambar 4.2.3 Tinggi Air Pada Dua Sistem Bejana dengan Aliran Air

Untuk Kasus Diredam Kritis...

88

Gambar 4.2.4 Rasio Peredam

0<ξ<1

...

89

Gambar 4.2.5 Rasio Peredam

0,1<ξ<0,5

...

89

Gambar 4.2.6 Rasio Peredam

0,6<ξ<0,9

...

89

Gambar 4.2.7 Rasio Peredam

ξ>1

...

90

Gambar 4.2.8 Rasio Peredam

ξ=1

...

90


(19)

xvii

Gambar 4.2.10 Tinggi Air Untuk Kelebihan Dan Kekurangan Air Pada

Dua Sistem Bejana ...

93

Gambar 4.2.11 Tinggi Air Maksimum Dan Minimum... 96

Gambar 4.2.12 Daerah Tinggi Air Maksimum Dan Stabil ...

98

Gambar 4.2.12 Perbandingan Persentase Tinggi Air Maksimum dengan

Rasio Peredam...

98

Gambar 4.3.1 Dua Bejana dengan Aliran Air yang Disesuaikan... 100

Gambar 4.3.2 Cara Kerja Sensor Pada Dua Sistem Bejana ... 101


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Bendungan mempunyai manfaat yang sangat berguna dalam kehidupan ini,

salah satu manfaat dari bendungan adalah untuk pembangkit tenaga listrik.

Faktor yang mempengaruhi besar atau kecilnya aliran air pada bendungan

adalah curah hujan dan besarnya aliran air sungai. Jika curah hujan tinggi dan aliran

air sungai besar, maka air pada bendungan akan besar, dan jika curah hujan rendah

dan aliran air sungai kecil, maka air pada bendungan akan kecil.

Pada umumnya bendungan yang digunakan untuk pembangkit listrik itu

terdiri dari satu bendungan, atau dua bendungan, dimana bendungan yang satu

terletak di atas bendungan yang lain.

Agar dapat menggerakkan generator pada satu bendungan, diperlukan tinggi

yang sesuai pada bendungan, sedangkan pada dua bendungan diperlukan tinggi yang

sesuai pada bendungan yang terletak di atasnya.

Dari sini muncul permasalahannya yakni bagaimana memperoleh ketinggian

yang sesuai pada satu bendungan dan dua bendungan tersebut.

Dalam penulisan ini akan dipaparkan model matematika pada Pembangkit

Listrik Tenaga Air pada satu bendungan dan dua bendungan. Untuk itu diperlukan

penyederhanaan masalah yaitu dianggap bahwa evaporasi dan faktor curah hujan

diabaikan, sehingga air yang ada pada bendungan berasal dari air sungai.


(21)

B. Rumusan

Masalah

1.

Bagaimana model matematika untuk tinggi dan volume air pada

sistem satu bejana ?

2.

Bagaimana model matematika untuk tinggi dan volume air pada

sistem dua bejana ?

3.

Bagaimana model matematika agar diperoleh tinggi air yang sesuai

pada sistem satu dan dua bejana ?

C. Pembatasan

Masalah

Pembatasan masalah pada skripsi ini adalah:

1.

Bendungan yang dibahas hanya bendungan yang digunakan untuk

Pembangkit Listrik Tenaga Air.

2.

Analisa lebih dalam mengenai ketinggian air pada sistem bejana hanya

terbatas pada sistem dua bejana.

3.

Sistem yang menyerupai sistem dua bejana seperti pegas hanya

dibahas seperlunya yaitu sistem satu pegas dengan input dianggap

konstan.

4.

Penggunaan tentang teorema Torricelli hanya digunakan pada satu

bejana.


(22)

5.

Sensor yang digunakan hanya terbatas untuk ketinggian air pada

bejana.

D. Manfaat

Penulisan

Manfaat yang diharapkan pada skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimana

tinggi air yang sesuai pada sistem bejana yang terletak di bawahnya agar dapat

membangkitkan tenaga listrik.

E.

Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah metode studi

pustaka yaitu mempelajari buku-buku yang berkaitan Pemodelan Matematika Pada

Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air.

F.

Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk memahami dan mempelajari bagaimana

sistem dua bendungan.


(23)

G.

Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

B.

Rumusan Masalah

C.

Pembatasan Masalah

D.

Manfaat Penulisan

E.

Metode Penulisan

F.

Tujuan Penulisan

G.

Sistematika Penulisan

BAB II PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN PERSAMAAN

DIFERENTIAL DAN DERET BINOMIAL

A.

Pemodelan Matematika

B.

Persamaan Diferensial

2.

Persamaan Diferensial Orde Satu Terpisahkan

3.

Persamaan Diferensial Linear Orde Satu

4.

Persamaan Diferensial Linear Orde Dua

5.

Penerapan Persamaan Diferensial Orde Dua

C.

Deret Binomial Dan Penerapannya

1.

Usaha Dan Energi

2.

Fluida


(24)

4.

Persamaan Bernoulli

5.

Teorema Torricelli

BAB III PEMODELAN MATEMATIKA PADA SISTEM SATU BEJA

NA

A.

Sistem Satu Bejana tanpa Aliran Air

1.

Pengaruh Luas Penampang Pada Ketinggian Air Bejana

2.

Pengaruh Konstanta Torriceli Pada Ketinggian Air Bejana

B.

Sistem Satu Bejana dengan Aliran Air

1.

Pengaruh Aliran Air Masuk Pada Ketinggian Air Bejana

2.

Pengaruh Luas Penampang Pada Ketinggian Air Bejana

3.

Pengaruh Konstanta Torriceli Pada Ketinggian Air Bejana

BAB IV PEMODELAN MATEMATIKA PADA SISTEM DUA BEJA

NA

A.

Sistem Dua Bejana tanpa Aliran Air Masuk Pada Sistem Bejana di

Atasnya

B.

Sistem Dua Bejana dengan Aliran Air Masuk Pada Sistem Bejana

di Atasnya

C.

Sistem Dua Bejana dengan Aliran Air Disesuaikan

BAB V PENUTUP

A.

Kesimpulan

B.

Saran


(25)

BAB II

PEMODELAN MATEMATIKA DENGAN

PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN DERET BINOMIAL

A. Pemodelan Matematika

Model adalah gambaran suatu objek yang disusun berdasarkan tujuan

tertentu, dan objeknya dapat berupa suatu sistem, suatu perilaku sistem, ataupun suatu proses tertentu.

Sistem adalah suatu himpunan beserta relasi antara unsur-unsurnya yang

disusun berdasarkan tujuan tertentu. Misalnya rumah sakit, yang merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk merawat orang sakit, den bagian dari rumah sakit tersebut harus mendukung tujuan merawat orang sakit.

Tujuan penyusunan model dibedakan tiga kategori yaitu :

a) Guna mengenali keadaan, sifat, atau perilaku sistem dengan cara mencari keterkaitan antara unsur-unsurnya. Model seperti ini adalah

model keterkaitan.

b) Guna mengadakan pendugaan (prediksi) untuk memperbaiki keadaan objek, yang disebut model pendugaan.

c) Guna mengadakan optimisasi bagi objek. Modelnya disebut model optimisasi.

Manfaat model adalah untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas

mengenai suatu objek tanpa merusak ataupun mengganggu objek yang aslinya, yang dapat dilakukan dengan cara eksperimen pada model tersebut. Hal ini dapat


(26)

dilihat jika dilakukan eksperimen langsung ke objeknya , maka mempunyai resiko yang sangat merugikan.

Langkah–langkah Penyusunan Model Matematika a) Identifikasi Masalah.

Sebelum menyusun model matematika adalah mengidentifikasi masalahnya terlebih dahulu, yang mempunyai batasan-batasan tertentu yang dikenal dengan penyederhanaan masalah..

b) Perumusan Masalah.

Model tersebut dirumuskan dengan simbol atau lambang yang dapat dalam matematika baik peubahnya maupun relasi-relasinya.

c) Selesaikan Masalah.

Menyelesaikan perumusan masalah secara matematika. d) Menafsirkan Masalah.

Model harus ditafsir lagi yakni apakah model tersebut sudah sesuai dengan yang diharapkan atau tidak ? apakah model tersebut sudah baik atau tidak? Jikalau tidak, kembali ke langkah semula, sehingga diperoleh model yang sesuai atau baik seperti yang diinginkan.

e) Pelaksanaan Model.

Model dapat digunakan untuk memperoleh atau mencapai tujuan semula.

B. Persamaan Diferensial


(27)

nya ditulis dalam bentuk

F(x,y,y',y'',...,y(n))=0 dimana (n)

y , menyatakan turunan y terhadap x yang sebanyak n kali, dan F

adalah suatu fungsi dengan peubah–peubah , , ', '',..., (n) y y y y

x .

Orde Persamaan Diferensial adalah orde derivatif tertinggi yang muncul

dalam persamaan.

Contoh 2.2.1

Bentuk persamaan diferensial orde satu adalah F(x,y,y')=0.

Persamaan Diferensial Biasa Orde n disebut linear dalam y jika

persamaan diferensial tersebut dapat ditulis dalam bentuk

an(x)y(n) +an1(x)y(n−1) +...+a1(x)y1+a0(x)y= f(x)

Dengana0,a1,...,andan f adalah fungsi yang kontinu pada suatu interval

x dan an(x)≠0 pada interval tersebut. .

Contoh 2.2.2

Persamaan y''+y'+y=x2 adalah persamaan diferensial orde dua yang linear.

Untuk membuktikan suatu fungsi merupakan suatu penyelesaian diferensial tersebut, harus dibuktikan apakah fungsi tersebut bila diturunkan


(28)

sebanyak n kali merupakan persamaan diferensial itu sendiri atau ruas kanan dan ruas kiri dari persamaan diferensial tersebut adalah sama.

Contoh 2.2.3

Buktikan bahwa x2 +y2 =9 adalah penyelesaian persamaan diferensial 0

' =

+yy

x ?

Penyelesaian

Jika 9x2 +y2 = diturunkan terhadap x, maka diperoleh2x+2yy' =0. 0

2

2x+ yy' = dapat ditulis menjadi x+ yy' =0. Sehingga terbukti bahwa 9

2

2+ =

y

x adalah penyelesaian dari persamaan diferensial x+ yy' =0.

Definisi 2.2.1

a) Suatu keluarga berparameter n dari penyelesaian persamaan diferensial orde n disebut penyelesaian umum dari persamaan diferensial jika semua penyelesaian persamaan diferensial dapat diperoleh dari keluarga berparameter n.

b) Suatu penyelesaian persamaan diferensial orde n yang diperoleh dari penyelesaian umum dengan menentukan nilai parameter n disebut dengan

penyelesaian khusus.

Contoh 2.2.4


(29)

sial y''+3y'+2y=2x−3. Untuk mendapatkan penyelesaian khusus dari persamaan dferensial tersebut dapat dicari dengan cara memilih nilai konstanta

1

C dan C2, yaitu dengan mengambil C1 =10 dan C2 =3, maka

x e e

y=10 x +3 2x +

Masalah nilai awal terdiri dari pencarian penyelesaian y dari persamaan

diferensial yang juga memenuhi persyaratan

y

( )

x0 = y0 y'

( )

x0 = y0'

Masalah nilai batas terdiri dari pencarian penyelesaian y dari persamaan

diferensial yang juga memenuhi persyaratan

y

( )

x0 = y0 y'

( )

x1 = y0'

Contoh 2.2.5

Jika persamaan diferensial y''+3y'+2y=2x−3 dengan menggunakan masalah nilai awal di atas dan masalah nilai batas dari persamaan y''+3y'+2y=2x−3 mempunyai penyelesaian khusus yaitu y(0)=0 dan y(1)=0. Untuk

0 ,

0 =

= y

x , maka C1+C2 =0, dan untuk x=1,y=0 maka C1e+C2e2 =−1. Sehingga diperoleh

e e C C

− = −

= 2 2

1

1 .

Maka penyelesaian khususnya adalah

e e x y

− +


(30)

1. Persamaan Diferensial Orde Satu Terpisahkan

Persamaan diferensial terpisahkan dari persamaan diferensial orde

satu adalah suatu persamaan diferensial orde satu dimana bentuk

dx

dy dapat difaktorkan sebagai fungsi x kali fungsi y. Dengan

perkataan lain bahwa persamaan diferensial orde satu tersebut dapat ditulis dalam bentuk

g(x)h(y)

dx

dy =

(2.2.1.1)

Untuk mencari penyelesaian persamaan diferensial orde tersebut, haruslah dipisahkan sebagai antara fungsi x dan fungsi y secara terpisah, sehingga persamaan (2.2.1.1) dapat ditulis sebagai

g x dx y

h dy

) ( )

( = (2.2.1.2) Dengan mengintegralkan kedua ruas diperoleh

g x dx C y

h

dy = +

( )

)

( (2.2.1.3)

Persamaan (2.2.1.3) adalah penyelesaian persamaan diferensial

orde satu yang dapat dipisahkan. Dengan menggunakan teknik

pengintergralan maka persamaan (2.2.1.3) ini dapat diselesaikan asalkan fungsi dari g(x),h(y) diketahui.

Contoh 2.2.1

Selesaikan

y x dx

dy =


(31)

Penyelesaian

Persamaan di atas dapat ditulis dalam bentuk persamaan diferensial dan mengintegralkan kedua ruas , maka diperoleh

y dy= x dx y2 = x2 +C

2 1 2 1

yx2 +C1 , C 21C

1 =

2. Persamaan Diferensial Linear Orde Satu

Persamaan diferensial linear orde satu adalah persamaan yang

dapat ditulis dalam bentuk

P(x)y Q(x)

dx

dy+ =

(2.2.2.1)

Dengan P dan Q adalah fungsi yang kontinu pada selang yang diberikan. Untuk mencari penyelesaian persamaan diferensial linear orde satu tersebut kedua ruas dikalikan I(x) yang sering

disebut sebagai faktor pengintergralan.

I(x)=eP(x)dx (2.2.2.2) Bentuk umum penyelesaian dari persamaan diferensial linear orde satu yang linear, yaitu

⎠ ⎞ ⎜

⎛ ∫ +

=eQ x e C

y P(x)dx ( ) P(x)dx (2.2.2.3)

Persamaan (2.2.2.3) adalah bentuk umum penyelesaian persamaan


(32)

diselesaikan dengan teknik pengintergralan asalkan fungsi dari )

( ), (x Q x

P diketahui.

Contoh 2.2.2.1

Selesaikan 1 y 3x?

x dx

dy+ =

Penyelesaian

Faktor pengintegralan

x x

I( )= 1, sehingga

I x =exdx =elnx = x 1

) (

Dikalikan kedua ruas dengan x, maka

y 3x2 dx

dy

x + =

( )

3 2

x xy dx

d =

Dengan mengintegralkan kedua ruas diperoleh y=x2+x−1C

Sehingga penyelesaian y x

x dx dy

3

1 =

+ adalah

y= x2 +x−1C.

3. Persamaan Diferensial Linear Orde Dua

Persamaan Diferensial Linear Orde Dua adalah persamaan yang dapat ditulis dalam bentuk


(33)

( ) ( ) ( )

2

x R y x Q dx dy x P dx

y d

= +

+ (2.2.3.1)

atau

y''+P(x)y'+Q(x)y=R(x) (2.2.3.2) dimana P(x),Q(x),R(x) adalah suatu fungsi

) (x

R terbagi atas dua yaitu R(x)=0 dan R(x)≠0, seperti yang diuraikan berikut ini.

Persamaan diferensial linear orde dua yang homogen adalah persamaan yang dapat ditulis dalam bentuk

( ) ( ) ( ) 0

2

= = +

+ Q x y R x

dx dy x P dx

y d

(2.2.3.3)

Persamaan diferensial linear orde dua yang nonhomogen adalah persamaan yang dapat ditulis dalam bentuk

( ) ( ) ( ) 0

2

≠ = +

+ Q x y R x

dx dy x P dx

y d

(2.2.3.4)

Di dalam penerapan fungsi R(x) sering disebut sebagai input

(masukan). Jika R(x)=0berarti tidak ada input dan R(x)≠0 berarti ada input.

Contoh 2.2.3.1

x y x y x

xy''+ 2 '+2 3 =4 adalah persamaan diferensial linear orde dua, karena dapat ditulis y''+xy'+2x2y=4, dan diketahui bahwa


(34)

4 ) (x =

R , maka persamaan tersebut adalah persamaan diferensial

yang nonhomogen.

Teorema 2.2.3.1

Jika diketahui persamaan nonhomogen y''+P(x)y'+Q(x)y= R(x) dengan P(x),Q(x),R(x)adalah fungsi yang kontinu pada interval

] ,

[a b . Jika x0adalah sembarang titik pada interval [a,b] , dan jika

0 0,y'

y adalah sembarang bilangan , maka persamaan homogen

mempunyai penyelesaian tunggal y(x)pada interval [a,b] sedemikian hingga y(x0)= y0 dan y'(x0)= y'0.

Untuk membuktikan teorema ini sangatlah sukar, akan tetapi pembuktian ini banyak dijumpai dalam buku yang lebih lanjut, salah satunya diferential equation karangannya Shepley Ross dibab 10, yang dibuktikan dengan teorema lipschit. Didalam teorema ini menjamin keberadaan dan keunikan suatu solusi masalah nilai awal.

Contoh 2.2.3.2

Carilah solusi dari y''+y=0 y(0)=0 dan y'(0)=1? Penyelesaian

Solusi dari y''+y=0 adalah y=sinx , y=cosx dan

1 c


(35)

Dari ketiga penyelesaian tersebut hanya y=sinx yang memenuhi 0

) 0

( =

y dan y'(0)=1. Sehingga menurut teorema 1 ,

penyelesaian dari y''+y=0, jika diketahui y(0)=0 dan 1

) 0 (

' =

y adalah y=sinx

Teorema 2.2.3.2

Jika yg adalah penyelesaian umum yang diperoleh dari persamaan

homogen, dan yp penyelesaian khusus yang diperoleh dari

persamaan nonhomogen, maka yg + yp adalah penyelesaian

umum persamaan nonhomogen yang diperoleh dari persamaan yang homogen.

Bukti

Misalkan y adalah penyelesaian umum persamaan diferensial orde dua yang homogen, maka y''+P(x)y'+Q(x)y=R(x) . Diketahui

bahwa yg adalah penyelesaian umum yang diperoleh dari

persamaan diferensial orde dua yang homogen, sehingga

0 ) ( ' ) (

''+ g + g =

g P x y Q x y

y dan yp penyelesaian khusus yang

diperoleh dari persamaan diferensial orde dua yang nonhomogen,

sehingga )yp ''+P(x)yp'+Q(x)yp =R(x .

Akan dibuktikan y = yg + yp, yaitu akan dibuktikan bahwa ruas kanan


(36)

y =(yg +yp)''+P(x)(yg + yp)'+Q(x)(yg + yp)

=(yg ''+P(x)yg'+Q(x)yg)+(yp ''+P(x)yp'+Q(x)yp) =0+R(x)=R(x).

Teorema 2.2.3.3

Jika y1(x) dan y2(x)adalah penyelesaian dari persamaan yang

homogen, maka c1 y1(x)+c2 y2(x) juga merupakan penyelesaian persamaan yang homogen untuk sembarang konstanta c1dan c2.

Bukti

) (

1 x

y dan y2(x)adalah penyelesaian dari persamaan yang

homogen , maka y1 ''+P(x)y1'+Q(x)y1 =0 dan 0

) ( ' ) (

'' 2 2

2 +P x y +Q x y =

y .

Akan dibuktikan bahwa c1 y1(x)+c2 y2(x) juga merupakan penyelesaian persamaan yang homogen , maka

(c1y1+c2y2)''+P(x)(c1y1+c2y2)'+Q(x)(c1y1+c2y2)=0 c1y1 ''+c2y2 ''+P(x)c1y1'+P(x)c2y2'+Q(x)c1y1+Q(x)c2y2 =0 c1(y1 ''+P(x)y1'+Q(x)y1)+ c2(y2 ''+P(x)y2'+Q(x)y2)=0 c1(0)+ c2(0)=0.


(37)

Persamaan c1 y1(x)+c2 y2(x) pada teorema 2.2.3.3 disebut

sebagai kombinasi linear dari persamaan y1(x) dan y2(x).

Sehingga teorema 2.2.3.3 menyatakan setiap kombinasi linear dari

penyelesaian y1(x) dan y2(x) pada persamaan yang homogen

juga merupakan penyelesaian.

Persamaan diferensial linear orde dua yang homogen yaitu

y''+P(x)y'+Q(x)y=0 misalkan )P(x),Q(x adalah p,q

maka y''+py'+qy=0

Persamaan karakteristiknya adalah y=emx maka y'=memx, dan mx

e m

y'' = 2 , sehingga

(m2+ pm+q)emx =0

Karena emx ≠0, maka (m2+ pm+q)=0. Dengan rumus kuadrat diperoleh

2 4 ,

2 2

1

q p p m

m = − ± −

dimana

2 4

2 1

q p p

m = − + − dan

2 4

2 2

q p p

m = − − −


(38)

a) Akar-akar persamaan karakteristiknya m1,m2 real dan

berbeda

(

p2−4q>0

)

. Penyelesaian umum dari persamaan diferensial yang homogen adalah y=c1em1x m x

e

c 2

2

+ .

b) Akar-akar persamaan karakteristiknya m1,m2 real yang

berulang

(

p2−4q=0

)

. Penyelesaian umum dari persamaan diferensial yang homogen ini adalah y=c1em1x m x

xe

c 2

2

+ .

c) Akar–akar persamaan karakteristiknya m1,m2 bilangan

komplek

(

p2−4q<0

)

.. Sehingga = − ± − − = 2 ) 4 ( , 2 2 1 q p p m m 2 ) 1 )( 4 ( 2− −

±

p p q

1 2 ) 4 ( 2 − − ± −

= p p q

= − p± pq i=

2 ) 4 ( 2 β α i i q p P ± = − ± − = 2 ) 4 ( 2 2 maka

m1 =α+iβ dan m2 =α−iβ dimana

2

P

− =

α dan

2 4

2 q p

p− −

− =

β .

Sehingga penyelesaian umumnya adalah

y=c1em1xcosβ x

x e

c m2xsinβ

2


(39)

Untuk dapat menyelesaikan persamaan diferensial linear orde dua yang non homogen, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mencari penyelesaian persamaan diferensial linear orde dua yang homogen yaitu y''+P(x)y'+Q(x)y=0.

Setelah mendapatkan penyelesaian umum tersebut, karena menurut teorema diatas bahwa penyelesaian persamaan diferensial linear orde dua yang nonhomogen terdiri dar I penjumlahan penyelesaian

umum dan penyelesaian khusus (y = yg + yp) , sehingga harus dicari penyelesaian khusus yang sesuai.

Perhatikan ruas kanan dari persamaan y''+P(x)y'+Q(x)y= R(x), dimana )R(x dapat berupa beberapa fungsi yaitu eksponensial,

logaritma, trigonometri, dan lain-lain, yang kadang juga

mengalami pegolahan secara aljabar, baik perkalian, penambahan, pengurangan, pembagian dari beberapa fungsi tersebut.

Berikut ini adalah tabel yang dapat digunakan untuk penyelesaian

khusus (yp) berdasarkan bentuk R(x).

Tabel 2.3.1 Tabel Diferensial Metode Koefisien Tak Tentu.

R(x) yp

1 n

n t ct

P ()=

(

n=0,1,2,...

)

0 1

1 ...

)

(t C t C t Ct C

Pn = n n+ n + n− + + +

2 c1sinα x x c2cosα

x C

x


(40)

3 x

ceα Ceαx

4 Pn(t)

x

ceα Pn(t)

x

Ceα

=

5 Pn(t)= x

c1sin

α

) (t Qn

x c2cosα

= ) (t

Pn C1sinα x+C2cosα x

) (t Qn

Contoh 2.3.3

Selesaikan y''−2y'=exsinx?

Penyelesaian.

Penyelesaian umumnya adalah

x

g x c c e

y 2

2 1

)

( = + .

Penyelesaian khusus (yp) .

y ex x

p 2 sin

1

= .

Jadi penyelesaian dari y''−2y'=exsinxadalah yg(x)+yp(x)= c c e2x 21exsinx

2

1+ −

4. Penerapan Persamaan Diferensial Orde Dua

Setiap gerak yang berulang dalam waktu yang sama disebut dengan

gerak periodik. Dan setiap partikel yang bergerak secara periodik


(41)

Jika suatu partikel dalam gerak periodik bergerak bolak-balik melalui lintasan yang sama, maka geraknya disebut dengan gerak

osilasi atau getaran.

Karena suatu partikel yang bergerak osilasi mengalami gesekan, maka gerakan suatu partikel tersebut akan berhenti berosilasi, dimana gerakannya disebut dengan gerakan teredam.

Salah satu partikel yang mengalami gerak osilasi dan teredam antara lain adalah pegas, seperti yang akan dijelaskan berikut ini.

1) Getaran Tak Teredam Dan Teredam

Pada pegas terdapat dua getaran yang terjadi yakni getaran teredam dan getaran tak teredam, seperti yang akan diuraikan di bawah ini

Pegas menggunakan hukum hooke yakni jika pegas demikian ditarik (diperpanjang) sejauh x, gaya pemulih yang dilakukan pegas (juga disebut gaya pegas) adalah F =−kx (2.2.4.1)

dimana

k: konstanta pegas (tetapan pegas) yang diukur dalam

satuan Newton meter

( )

Nm yang harganya bernilai positif bila ditarik dan negatif bila ditekan.

Frekuensi alami pada pegas bila tidak terjadi gesekan dapat


(42)

m k

v=

=2π.

ω (2 2.4.2)

Frekuensi alami yang mengalami gesekan pada pegas

dapat dirumuskan sebagai berikut

2 2 . 2 ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = = m b m k v π

ω bila

m b m

k

2

> (2.2.4.3) atau i m b m k v 2 2 . 2 ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + − = = π

ω bila

m b m k

2

< (2.2.4.4) dengan

k: konstanta pegas (Newton meter).

m: massa pegas (kilogram). b: gaya gesek pegas (Newton ).

Percepatan yang dialami massa pada pegas yang bergetar

diperoleh dari hukum Newton II, yaitu

m F

a= (2.2.4.5) dengan m: massa pegas (kilogram)

F: gaya pegas (Newton ).

Diandaikan bahwa gaya gesekan yang terjadi pada pegas

(gaya peredam) sebanding dengan kecepatan massa dan

bekerja dalam arah berlawanan dengan arah gerak dengan gaya gesekan lainnya diabaikan seperti yang diilustrasikan pada gambar berikut ini


(43)

Gambar 2.2.4.1 Pegas

Sehingga gaya peredamnya adalah

F =−cv (2.2.4.6) dimana

c: konstanta positif, yang disebut dengan konstanta

peredam

Dari persamaan (2.2.4.5) dan (2.2.4.6), diperoleh

m F

a =

dt dx c kx dt

x d

m 2 =− −

2

.

2 0

2

= +

+ kx

dt dx c dt

x d

m (2.2.4.7)

Persamaan (2.2.4.7) merupakan persamaan diferensial linear orde dua linear yang homogen, hal ini disebabkan gaya gesekan yang lain diabaikan yang mempunyai penyelesaian akar-akar penyelesaian sebagai berikut

m mk c

m c x

2 4

2 2

, 1

− ± −

=

c

k


(44)

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ± − =

m k m

c m

c 2

2 (2.2.4.8)

Penyelesaian dari akar-akar pada persamaan (2.2.4.8) tergantung dari besarnya konstanta peredam pada frekuensi

alami yang mengalami gesekan, dimana nilainya dapat

positif, negatif, dan nol. Untuk jelasnya perhatikan berikut ini.

m k m

c =

2 2

4

c=2 mk misalkan

c1 =c

maka

c1 =2 mk (2.2.4.9) sehingga

mk c c

c

2

1

= =

ξ

dimana

ξ

sering disebut sebagai rasio peredam.

Dengan menggunakan istilah rasio peredam dan frekuensi alami tanpa adanya gesekan, persamaan (2.2.4.7) dapat ditulis

2 0

2

= +

+ kx

dt dx c dt

x d m


(45)

2 0

2

= +

+ x

m k dt dx m

c dt

x d

2 2 2 0

2

= +

+ x

dt dx dt

x d

ω ω

ξ

Sehingga

m mk c

m c x

2 4

2 2

, 1

− ± −

= dapat ditulis sebagai

berikut

x1,2 =−ξ ω ±ω ξ 2−1 (2.2.4.10) Persamaan di atas hanya berlaku untuk ξ ≥1, akan tetapi jika 0<

ξ

<1, persamaan di atas menjadi

x1,2 =−ξ ω ±ω 1−ξ 2 i (2.2.4.11) Penyelesaian persamaan (2.2.1.4.7) terdiri dari tiga kasus seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya.

Contoh 2.2.4.1

Misalkan diketahui bahwa konstanta pegas sebesar 625, konstanta redaman sebesar 40 ,massa sebesar 1, diketahui pegas pada keadaan setimbang dan kecepatan awal yang terjadi pada pegas sebesar 100, maka

sin15) 3

20 ( )

(t e 20 t

x = − t

Waktu yang dibutuhkan agar pegas tersebut pada keadaan setimbang apabila x(t)=0, yaitu


(46)

sin15t =0

diperoleh 2t=0, detik dan t=0,4detik

Jarak maksimumnya pegas terjadi apabila x'(t)=0, yaitu = − − sin15)+

3 400 ( )

( 20

'

t e

t

x t e−20t(100cos15t)=0

diperoleh t=0,42detik

Sehingga jarak maksimum yang ditempuh oleh pegas sejauh 1,69 meter.

Gambar 2.2.4.1 Jarak Pegas

Pada gambar 2.2.4.1 di atas, terlihat bahwa pegas mengalami dua kali dalam keadaan stabil yaitu saat 0,2 dan 0,4 detik, dan jarak maksimum yang dilakukan oleh pegas tersebut sejauh 1,69 meter.


(47)

Contoh 2.2.4.2

Misalkan diketahui bahwa konstanta pegas sebesar 625, tidak ada konstanta redaman ,massa sebesar 1, diketahui pegas pada keadaan setimbang dan kecepatan awal yang terjadi pada pegas sebesar 100, maka

x(t)=4sin25t

Waktu yang dibutuhkan agar pegas tersebut pada keadaan setimbang apabila x(t)=0, yaitu

sin25t =0

diperoleh t=0,125 detik dan

Jarak maksimumnya pegas terjadi apabila x'(t)=0, yaitu x'(t)=100cos25t

diperoleh t=0,0628detik

Sehingga jarak maksimum yang ditempuh oleh pegas sejauh 3,99 meter. Pada kasus tanpa adanya rasio peredam pada pegas adalah hal yang unik, sebab pegas tidak akan pernah berhenti bergetar, dan akan selalu bergetar sehingga mencapai jarak maksimum sejauh 3,99 meter dan jarak minimum sejauh 3,99 m dari keadaan setimbang, seperti yang diilustrasikan pada gambar di berikut ini.


(48)

Gambar 2.2.4.2 Jarak Pegas

C. Deret Binomial Dan Penerapannya

Teorema 2.3.1 ( Deret Binomial ) Untuk bilangan real p, fungsi 2 1 ) 1 ( ) (x p

f = +

dapat dinyatakan sebagai deret Mac Laurin pada selang (-1,1) yang berbentuk

(

)

... 2 1 1 1 2 0 + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = +

∞ = x p x p x n p x n n p

, x<1

dengan ! ) 1 )...( 2 )( 1 ( n n p p p p n

p − − − +

= ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛

n=0,1,2...

dimana simbol ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ n p

berlaku untuk bilangan real p , dan n bilangan bulat positif.

Dalam penulisan skripsi ini tidak diberikan bukti tentang teorema 2.3.1, akan tetapi bukti untuk teorema 2.3.1 dapat di temukan dalam buku kalkulus lebih lanjut.

Contoh 2.3.1

Hitung 1+x dengan menggunakan deret binomial


(49)

Dengan

2 1 =

p dan n bilangan bulat positif., maka

(

)

.... ! 2 2 2 1 1 2 1 0 2 1 ! 1 1 2 1 0 2 1 ! 0 0 2 1 1 1 2 1 + ⎟⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − + ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − + ⎟⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − + ⎟⎟ ⎟ ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎜ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − + = +p

( )( )

( )( )

( )

2 3 3 2 1 2 1 2 2 1 2 1 ! 3 ! 2 2 1

1+ x+ − x + − − x

= +.... ... 16 1 8 1 2 1

1+ − 2+ 3+

= x x x

Berikut ini akan dibahas bagaimana penerapan dengan deret binomial pada bidang fisika, yaitu pada teorema Torricelli, seperti yang akan dijelaskan berikut ini

1. Usaha Dan Energi

Usaha adalah hasil gaya dan dengan perpindahan benda, yang

biasa dirumuskan sebagai berikut

W = F.s dimana

W : Usaha (Joule) F :Gaya. (Newton)

s : Perpindahan Benda (meter ) .

Energi Potensial dapat dirumuskan sebagai berikut

EP =mgh dimana


(50)

EP : Energi Potensial (Joule)

g : Gravitasi (ms−2)

m : Massa Benda (kg)

Energi Kinetik dapat dirumuskan sebagai berikut

E 21mv2

k =

dimana

Ek : Energi Kinetik (Joule),

v : Kecepatan Benda (ms−1) m : Massa Benda (kg)

Energi Mekanik dapat dirumuskan sebagai berikut

EM = EP +Ek

2. Fluida

Fluida adalah zat yang dapat mengalir. Tekanan adalah besarnya

gaya yang bekerja pada permukaan benda setiap satuan, yang dirumuskan sebagai berikut

A F

P=

dimana

P : Tekanan

(

Nm−2 = pascal = pa

)


(51)

A: Luas Permukaan

( )

m2

Tekanan Hidrostatis adalah tekanan di dalam zat cair yang

disebabkan oleh zat cair itu sendiri, yang dirumuskan sebagai berikut

PH = ρ.g.h dimana

PH : Tekanan Hidostatis

(

Nm−2 = pascal = pa

)

ρ: Massa Jenis Zat Cair

(

kgm−3

)

h: Kedalaman Zat Cair

( )

m

g: Gravitasi (ms−2)

Massa zat cair dapat dirumuskan sebagai berikut. m= ρ.V = ρ.A.h

dimana

ρ: Massa Jenis Zat Cair

(

kgm−3

)

h: Kedalaman Zat Cair

( )

m

A: Luas Permukaan

( )

m2 V : Volume

Hukum Hidrostatis adalah tekanan hidrostatis semua titik pada

suatu bidang datar memiliki kedalaman yang sama adalah sama, untuk jelasnya perhatikan gambar berikut ini.


(52)

Gambar 2.3.2.1 Tekanan Hidrostatis di titik A, B adalah sama

Pada gambar 2.3.2.1 di atas, titik A dan B terletak pada satu bidang datar yang memiliki kedalaman yang sama, maka tekanan hidrostatis di A dan B adalah sama, yang dapat dirumuskan sebagai berikut

HB

HA P

P =

3. Persamaan Kontinuitas

Jika kecepatan fluida di penampang A1 dan di penampang A2

sebesar v1 dan v2, maka volume fluida yang mengalir melalui

penampang A1 sama dengan yang mengalir melalui penampang A2

pada saat t., seperti diilustrasikan gambar berikut ini.

Gambar 2.3.3.1 Fluida Yang Mengalir Pada Luas Penampang

A B

b h

1 h

2 h

1 v

2 v


(53)

A1 Dan A2 Yang Memiliki Ketinggian h1 Dan h2

Banyaknya fluida yang mengalir melalui penampang tertentu tiap

satuan waktu disebut dengan debit

( )

Q .

Karena diketahui volume fluida yang mengalir melalui penampang

1

A = yang mengalir melalui penampang A2, maka

V1=V2

A1.∆s1 =.A2.∆s2

A1.∆v1.∆t =.A2.∆v2.∆t

Q1 =Q2

Sehingga dapat dikatakan bahwa debit fluida di penampang A1

adalah

Q = A.V Persamaan di atas merupakan Persamaan Kontinuitas.

4. Persamaan Bernoulli

Perhatikan gambar 2.3.3.1 di atas, maka usaha total yang dilakukan untuk mengalirkan fluida dari titik 1 ke titik 2 sama dengan perubahan energi mekanik fluida. Sehingga dapat dirumuskan

Wtotal =Em

W1W2 =∆EP +∆Ek

P1.A1.∆sP2.A2.∆s =( 2 21 12)

2 2

1mvmv + ( )

1

2 mgh


(54)

P1.A1.∆s+ 21mv12+ 1

mgh = P2.A2.∆s+ 21mv22

2 mgh

+

P1.V + 21mv12+ 1

mgh = P2.V.+21mv22

2 mgh

+

⎟⎟+

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛

ρ

m

P1. 21mv12+

1

mgh ⎟⎟

⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ =

ρ

m

P2. 21mv22

2 mgh

+

P1.+ 2.v12+ 1

.gh

ρ =P2.+ 21.ρ.v22

2

. .gh

ρ

+ Persamaan di atas dikenal dengan Persamaan Bernoulli

Berikut ini adalah salah satu kasus khusus dari Bernoulli, dimana kecepatan awal pada pipa diabaikan dan pipa diletakkan pada posisi mendatar seperti yang akan diuraikan berikut ini.

5. Teorema Torricelli

Teorema Torricelli adalah hubungan antara laju fluida dengan tinggi fluida yang terdapat pada sistem bejana, seperti yang diilustrasikan pada gambar berikut ini.

Gambar 2.3.5.1 Fluida Yang Mengalir Pada Luas Penampang Bejana

dimana

↓ ↑

H

↓ ↑

h

1 P

3 P 2

P

1


(55)

h: Tinggi Air

( )

m P1: Tekanan Udara H : Tinggi Air Ke Pipa. P2: Tekanan Air Di Bawah

P3: Tekanan Udara.

A1: Luas Penampang Air yang Masuk Pada Pipa

A2: Luas Penampang Air Yang Keluar Dari Pipa.

Dengan menggunakan persamaan Bernoulli

1+ 12+ 1= 2

1

h v

P ρ ρ 2 22 2

2 1

h v

P + ρ +ρ

Karena pipa bejana dalam keadaan mendatar maka h1 =h2, dan kecepatan awal pada pipa diabaikan diperoleh

P ( ) 2

1 2

2 v

ρ

= (2.3.5.1) dimana

P : Selisih Tekanan Pada Bejana..

Karena P1= P3 dan P2 =P1+ρ.g.h maka ∆P =ρ.g.h, sehingga diperoleh

ρ

.g.h ( ) 2

1 2

2 v

ρ

=

v2 = 2gh (2.3.5.2) Persamaan (2.3.5.2) menyatakan kecepatan air pada saat h. Dengan cara yang analog, kecepatan air pada saat H yakni


(56)

Misalkan A adalah luas penampang dari pipa bejana, maka laju rata-rata air saat h adalah

q0

( )

h =c h (2.3.5.4) dimana c adalah konstan 2 1

5

− −

s m

Dengan cara yang analog diperoleh laju rata-rata air saat H yaitu:

q0

( )

H =c H (2.3.5.5) dimana c adalah konstan 2 1

5

− −

s m

Dari persamaan (2.3.5.4), yaitu

q0

( )

h =c h

[

(

)

]

2 1 H h H

c + −

= 2 1 1 ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = H H h H c 2 1 2 1 1 ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = H H h H

c (2.3.5.6)

Dengan memisalkan ⎟

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = H H h x

2 diperoleh

q0

( )

h

[

(

)

]

2 1 2 1 1 x H c

= (2.3.5.7) Maka dengan menggunakan contoh 2.3.1, persamaan (2.3.5.7) menjadi

q0

( )

h 2 1 2 1 2 1 1 ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ +


(57)

Karena ⎟

⎠ ⎞ ⎜

⎝ ⎛ − =

H H h x

2 , maka dari persamaan (2.3.5.8) diperoleh

q0

( )

h

⎦ ⎤ ⎢

⎣ ⎡

⎟ ⎠ ⎞ ⎜

=

H H h H

c

2 1

2 1

(

hH

)

<H

( )

(

h H

)

H

c H

q + −

=

2

0

=q0

( )

H

(

hH

)

(2.3.5.9) dimana

H c

2

=

λ .

Jadi untuk h semakin membesar, maka

q0

( )

h =q0

( )

H

(

hH

)

=c h

( )

h −λ

( )

H

=c H

(

1−

( )

12 c

)

( )

h

≈λ

( )

h (2.3.5.10) Persamaan (2.3.5.10) dikenal dengan konstanta Torricelli.


(58)

39

BAB III

PEMODELAN MATEMATIKA PADA SISTEM SATU BEJANA

Pada bab dua telah dipaparkan definisi tentang sistem. Kesalahan (error) pada sistem adalah perbedaan antara output dan input yaitu

E =

[

outputinput

]

(3.1) Pada sistem sering sekali menggunakan sebuah alat yang disebut dengan

sensor. Sensor adalah adalah alat untuk mendeteksi sesuatu, yang bertujuan

sebagai alat perbandingan kesalahan. Berikut ini akan dibahas mengenai sensor yang terdapat pada sistem

a) Sensor Jarak (Perpindahan).

Sensor posisi ini biasanya digunakan untuk mendeteksi posisi suatu sistem, yang bertujuan sebagai alat perbandingan kesalahan pada sistem tersebut.

b) Sensor Kecepatan (Laju).

Sensor posisi ini biasanya digunakan untuk mendeteksi kecepatan atau laju suatu sistem, yang bertujuan sebagai alat perbandingan kesalahan pada sistem tersebut.

c) Sensor Percepatan.

Sensor posisi ini biasanya digunakan untuk mendeteksi kecepatan suatu sistem, yang bertujuan sebagai alat perbandingan kesalahan pada sistem tersebut.


(59)

Persamaan diferensial orde satu dan dua yaitu

P(x)y Q(x)

dx

dy+ =

(3.2)

( ) ( ) ( )

2 2

x Q y x B dx dy x P dx

y

d + + =

(3.3)

Pada persamaan (3.2) dan (3.3) di atas inputnya adalah Q

( )

x , dimana input tersebut dapat berupa fungsi konstan, fungsi periodik, fungsi ekponensial, dan lain-lain. Berikut ini akan dijelaskan input yang terdapat pada ketiga sensor di atas, yakni

a) Fungsi Konstan.

Misalkan K adalah konstanta, maka

Q

( )

x =K

Gambar 3.1 Fungsi Konstan

b) Fungsi Kecepatan (Laju).

Misalkan K adalah konstanta, maka

K dx

x

dQ( ) =

atau Q(x)= Kx

) (x Q

K

x

⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧

< > =

0 0

0 )

(

x x K x Q


(60)

Gambar 3.2 Fungsi Kecepatan

c) Fungsi Percepatan.

Misalkan K adalah konstanta, maka

K dx

x Q

d =

2 2

) (

atau Q(x)= 21Kx2

Gambar 3.3 Fungsi Percepatan

Kesalahan pada saat stabil adalah perbedaan antara input dan output dikalikan dengan sebuah input yang baru atau dengan kata lain

E =

[

outputinput

]

r(t) (3.4) dimana )r(t adalah sebuah input yang baru adalah input

Sebelum membahas tentang Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air, yang terjadi pada sistem bendungan khususnya sistem bendungan yang terdiri dari dua bendungan, dimana bendungan yang satu terletak di bawah bendungan yang lain.

) (x Q

x

⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧

< > =

0 0

0 )

(

x x Kx x

Q

⎪⎩ ⎪ ⎨ ⎧

< > =

0 0

0 )

(

2 2 1

x x Kx x

Q

) (x Q


(61)

Akan dibahas terlebih dahulu bagaimana memodelkan secara matematis untuk Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air

Sistem bendungan dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 3.4 Sistem Bendungan

Aliran sungai dengan debit yang sangat besar ditampung dalam waduk (1) yang ditunjang dengan sebuah bendungan (3). Air tersebut dialirkan melalui

Power Intake (2) kemudian masuk ke Pipa Pesat (Penstock) (4) untuk merubah

energi potensial menjadi energi kinetik. Pada ujung pipa pesat dipasang Katup Utama (Main Inlet Valve) (5) untuk mengalirkan air ke turbin. Katup utama akan ditutup otomatis apabila terjadi gangguan atau di stop atau dilakukan perbaikan / pemeliharaan turbin.

Air yang telah mempunyai tekanan dan kecepatan tinggi (energi kinetik) dirubah menjadi energi mekanik dengan dialirkan melalui sirip-sirip pengarah akan mendorong sudu jalan (runner) yang terpasang pada turbin (6). Energi putar yang diterima oleh turbin selanjutnya digunakan untuk menggerakkan generator


(62)

(7) yang kemudian menghasilkan tenaga listrik yang keluar dari turbin melalui

Tail Race (8) selanjutnya kembali ke sungai (9).

Untuk memperoleh model ini, diasumsikan bahwa bendungan sebagai bejana. Hal ini dikarenakan, tidak mudah untuk mendapatkan model matematika untuk ketinggianair pada bendungan, jika dilakukan percobaan langsung terhadap bendungan tersebut, karena mengandung resiko yang terlalu berbahaya, dan disamping itu pula mungkin dapat mengganggu objek aslinya. Bentuk bejana dipilih karena mempunyai kesamaan dalam bentuk fisisnya dengan bendungan, walaupun pada kenyataannya bentuk bendungan tidak teratur.

Berikut merupakan ilustrasi sistem bejana, yakni bejana tanpa adanya aliran yang masuk (gambar 3.5) dan bejana dengan aliran air yang masuk (gambar 3.6) Sehingga gambar 3.4 dapat dikembangkan lagi menjadi dua gambar, seperti gambar berikut ini

Gambar 3.5 Bejana tanpa Aliran Air yang Masuk

h

A

1 q


(63)

Gambar 3.6 Bejana dengan Aliran Air yang Masuk

dengan

h : Tinggi air pada sistem bejana

( )

m

q0: Aliran air yang keluar dari sistem bejana

(

m3s−1

)

A : Luas penampang pada sistem bejana

( )

m

q1: Aliran air yang masuk ke dalam sistem bejana

(

m3s−1

)

Pada kedua gambar tersebut, terlihat bahwa pada bagian bawah masing-masing sistem bejana tersebut diberi saluran air yang berupa pipa, yang berfungsi sebagai jalan air untuk keluar.

A. Sistem Satu Bejana tanpa Aliran Air

Masalah yang muncul pada sistem bejana pada gambar 3.5 adalah bagaimana menentukan ketinggian dan volume air yang sesuai pada sistem bejana. Untuk itu perlu diberikan beberapa penyederhanaan atau asumsi-asumsi sebagai berikut

a) Tidak adanya aliran air yang masuk ke dalam sistem bejana.

b) Tinggi dan volume air pada keadaan awal adalah tertentu, h0 dan V0.

0 q

1 q h


(64)

c) Tidak ada pengaturan untuk aliran air yang keluar dari pipa bejana. d) Tidak ada kebocoran pada pipa bejana. Misalkan )V(t adalah volume air pada sistem bejana pada saat t, maka

dt t dV( )

adalah laju pertambahan volume air pada sistem bejana pada saat t, yakni

aliran air yang masuk kedalam sistem bejana pada saat t dikurangi dengan aliran air yang keluar dari sistem pada saat t, dengan kata lain

dt t

dV() =

1

q (t) −q0(t) (3.1.1) Karena diasumsikan tidak ada aliran yang masuk pada sistem bejana, maka

1

q (t) =0, sehingga diperoleh

dt t dV()

=−q0(t) (3.1.2) Diketahui

V(t)= Ah(t) (3.1.3) maka

dt t dV()

=

[

]

dt t dh A t Ah dt

d ()

)

( = (3.1.4) Sehingga dari persamaan (3.1.2) dan (3.1.4) diperoleh

dt t dh

A ()=−q0(t) (3.1.5) Untuk mencari aliran air yang keluar (q0) pada pipa bejana saat t,

digunakan teorema Torricelli yaitu

q0(t)=λ h(t) (3.1.6) dengan λ adalah sebuah konstanta positif.


(65)

Sehingga dari persamaan (3.1.5) dan (3.1.6) diperoleh

dt t dh

A ()=−

λ

h(t) (3.1.7) Persamaan (3.1.7) dapat ditulis dalam bentuk

=−

dt t dh( )

A t q t h A

) ( )

( =− 0

λ

(3.1.8)

Persamaan (3.1.8) menyatakan laju berkurangnya tinggi air pada bejana, yakni aliran air yang keluar bejana saat t dibagi dengan luas penampang pada sistem bejana. Jika luas penampang bejana pada bejana semakin besar dari aliran air yang keluar pada bejana saat t.

Contoh 3.1.1

Misalkan diketahui bahwa luas penampang bejana adalah 3 meter, dengan aliran

air yang keluar dari bejana membesar dari 4 m3s−1 sampai 6 m3s−1, maka laju berkurangya tinggi air pada bejana dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3.1.1 Berkurangnya Tinggi Air Untuk Aliran Air yang Masuk Semakin Besar

A q0

dt t dh()

3 meter 4 m3s−1 -1,3333 m2s−1

3 meter 5 3 −1 s

m -1,6667 m2s−1

3 meter 6 3 −1 s


(1)

Misalkan

h2(t) =e−(ξ.ωn)t

(

c1+tc2

)

+h W

D , h2(0)= A, B dt dh = ) 0 ( 2 maka diperoleh c1 dan c2 adalah sebagai berikut

c2 = B+

(

AhDW

)

ωn dan c1 = AhDW Untuk t→∞ maka danh2(t)= hDW dan V2(t)= hDW

c) Kasus Diredam Berkurang bila 0<ξ <1, mempunyai penyelesaian yaitu

h2(t)=Ce−(ξ.ωn)t

(

cos

(

(S) t−γ

)

)

+h W

D (4.3.11)

dengan =ω 1−ξ2

n

S , C = c12+c22,

C c2 sinγ = ,

C c1 cosγ = ,

1 2 tan c c = γ dimana

Ce−(ξ.ωn)t

(

cos

(

(S) t−γ

)

)

: Tinggi Air 2

B Sementara hDW : Tinggi Air B2 Stabil.

Persamaan (4.3.11) menyatakan tinggi air pada bejana B2 saat t. Karena V2(t)=A2h2(t), maka

V2(t)= A2Ce−ξωn t

(

(

S t−γ

)

)

) ( cos ) . (

+A2 hDW (4.3.12) Persamaan (4.3.12) menyatakan volume air B2 saat t


(2)

Dengan c1 dan c2 adalah konstanta, yang nilainya kedua konstanta tersebut bergantung dari h2(0) dan

dt dh2(0)

, seperti yang diuraikan dibawah ini.

Misalkan

h2(t) e n t

(

c

(

n

)

t c

(

n 2

)

t

)

2 2 1 ) . ( 1 sin 1

cosω ξ ω ξ

ω

ξ +

= − +hDW,

h2(0)= A, B dt dh = ) 0 ( 2 maka diperoleh c1 dan c2 adalah sebagai berikut

(

)( )

2 2 1 ξ ω ξω − − + = n n DW h A B

c dan c1 = AhDW

Sehingga untuk t→∞ maka h2(t)=hDW dan V2(t)= hDW

Untuk contoh pada ketiga kasus di atas analog dengan contoh yang sudah dipaparkan sebelumnya, akan tetapi untuk kasus pada bagian ini tidak ada laju ketinggian pada bejana B2 .

Pada contoh sebelumnya untuk jangka lama tinggi stabil akan mendekati ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ 2 n R

ω , sedangkan pada kasus yang terdapat pada bagian ini, untuk jangka lama

tinggi stabil akan mendekati (hDW).

Untuk nilai K →∞ maka 2 →0 K

λ

, sehingga

[

1

(

1+λ2 K

)

]

→1, dan

untuk nilai K →0 maka →∞ K

2

λ


(3)

untuk nilai λ 2 →∞ maka →∞ K

2

λ

, sehingga

[

1

(

1+λ 2 K

)

]

→0, dan untuk nilai λ 2 →0maka 2 →0

K

λ

, sehingga

[

1

(

1+λ2 K

)

]

→1.

Jadi agar diperoleh h2(t)sama dengan hD, dipilih nilai K sebesar mungkin dan nilai λ 2 sekecil mungkin. Akibatnya rasio peredam yang baru akan menjadi kecil dan frekuensi alami yang baru akan menjadi besar seperti yang dijelaskan berikut ini.

Untuk K →∞ dan λ 2 →0 maka

(

λ 2+K

)

→∞, sehingga ωn2 →∞ yang mengakibatkan ωn →∞. Sedangkan untuk K →∞ dan λ2 →0 maka

∞ →

+ 1

2

1λ λ

λ K dan 0

1 2 2

1AA


(4)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk dapat memodelkan dua bendungan secara metematika, diasumsikan bahwa sistem dua bendungan berbentuk seperti sistem dua bejana, dimana sistem bejana yang satu terletak di atas sistem bejana yang lain. Akan tetapi pada kenyataannya bentuk bendungan tersebut tidak teratur.

Pemodelan matematika pada satu dan dua sistem bejana merupakan salah satu penerapan dari persamaan diferensial orde. Dimana untuk sistem dua bejana mempunyai tiga penyelesaian berdasarkan rasio peredamnya, yakni ξ =1, 1ξ > , dan 0<

ξ

<1

Untukξ =1 tinggi air akan lebih cepat stabil dibandingkan ξ >1, 1

0<ξ < . Sedangkan untuk ξ >1, dan 0<ξ <1 membutuhkan waktu yang lebih lama, akan tetapi untuk rasio peredam 0<ξ <1 terjadi beberapa gejolak pada air, di mana gejolak air tersebut menunjukkan kelebihan dan kekurangan air pada bejana.

Kelebihan dan kekurangan air yang terjadi pada bejana, akan semakin besar jika rasio peredamnya mendekati nol. Sehingga perlu dilakukan pemilihan rasio peredam yang sesuai agar dapat meredamkan gejolak pada air tersebut tidak terlalu lama.

Ada beberapa cara untuk pemilihan rasio peredam akan tetapi yang dibahas pada penulisan skripsi ini yakni dengan mencari besarnya sudut


(5)

maksmum pada ketinggian air bejana saat t, membandingkan tinggi air bejana saat maksimum dengan saat settling time, menggunakan fungsi sinyal kesalahan.

B. Saran

Pemodelan matematika mengenai Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air yang dibahas pada skripsi ini hanya terbatas pada bagaimana menganalisa input yang dianggap konstan pada sistem dua bendungan.

Sering sekali dijumpai pada bahwa bendungan terjadi kekurangan air, dan juga input yang terjadi pada dua bendungan tidak selalu konstan

Oleh sebab itu saya sebagai penulis skripsi tentang Pemodelan Matematika Pada Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Air perlu saran untuk melengkapi lebih jauh bagaimana menganalisa input yang tidak konstan, dan juga menggunakan sensor kecepatan dan percepatan pada sistem satu dan dua bendungan.


(6)

ii

Daftar Pustaka

Borroli, R.L and Coleman, C.S. 2004.

Differential A Modeling Perspective Equation

. 2

nd

edition. New York.

D’azzo J.J and Houpis, C.H.. 1964.

Feedback Control And Synthesis

. 2

nd

edition. New

York.

Ellis, R. and Gullick, D. 1982.

Calculus With Analytic Geometry

. 2

nd

edition. San Diego

Giordano, Weir, and Fox. 1997.

A First Course in Mathematical Modeling

. 2

nd

edition

New York .

Halliday, D dan Resnick, Robert.. 1995. Fisika. Erlangga. Jakarta,

Ogata, K, 1997,

Modern Control Engineering

. 2

nd

edition. New Jersey Prentice Hall

Rice and Strange. 1994.

Ordinary Differential Equation With Application

. 3

rd

edition

California.