Perbedaan Dampak Maloklusi Anterior Terhadap Status Psikososial Menggunakan Indeks PIDAQ pada Siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari
PERBEDAAN DAMPAK MALOKLUSI ANTERIOR TERHADAP
STATUS PSIKOSOSIAL MENGGUNAKAN INDEKS PIDAQ
PADA SISWA SMA GLOBAL PRIMA NASIONAL PLUS
DAN SMA PANGERAN ANTASARI
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
NATALIA
NIM: 110600055
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/ Kesehatan Gigi Masyarakat
Tahun 2015
Natalia
Perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial menggunakan indeks PIDAQ pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari
xi+47 halaman
Gigi berjejal (crowded), gigi tonggos (protrusi), gigi jarang (diastema) dan
protrusi bimaksiler merupakan jenis maloklusi anterior yang dapat menimbulkan
dampak terhadap aspek psikososial seseorang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari menggunakan indeks
Psychosocial Impact of Dental Aesthetics Quistionnaire (PIDAQ). Rancangan
penelitian ini adalah cross-sectional dengan jumlah sampel 91 orang yang dipilih
secara purposif dan memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan maloklusi dan wawancara menggunakan kuisioner PIDAQ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis maloklusi yang paling banyak dijumpai adalah
crowded 44%, diikuti diastema 27,5%, protrusi 16,5% dan protrusi bimaksiler 12%. Persentase responden yang mengalami dampak maloklusi terhadap aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi lebih banyak di SMA Global Prima Nasional Plus (71,7%) daripada SMA Pangeran Antasari (46,7), sedangkan untuk aspek lainnya lebih banyak tidak menimbulkan dampak pada kedua sekolah. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior yang signifikan berdasarkan jenis kelamin pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA
Pangeran Antasari (ρ = 0,289) maupun berdasarkan sekolah (ρ = 0,898). Hal ini
(3)
yang mengalami maloklusi tanpa membedakan jenis kelamin maupun status sosial sekolah.
(4)
PERBEDAAN DAMPAK MALOKLUSI ANTERIOR TERHADAP
STATUS PSIKOSOSIAL MENGGUNAKAN INDEKS PIDAQ
PADA SISWA SMA GLOBAL PRIMA NASIONAL PLUS
DAN SMA PANGERAN ANTASARI
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
NATALIA
NIM: 110600055
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(5)
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 25 Mei 2015
Pembimbing : Tanda tangan
Prof. Sondang Pintauli, drg., Ph.D ………...
(6)
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 25 Mei 2015
TIM PENGUJI
KETUA : Simson Damanik, drg., M.Kes
ANGGOTA : 1. Prof. Sondang Pintauli, drg., Ph.D 2. Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes
(7)
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, skripsi ini selesai disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan dan pengarahan serta bantuan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Prof. H Nazruddin, drg., C.Ort, Ph.D., Sp.Ort., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Sumatera Utara Medan.
2. Prof. Sondang Pintauli, drg., Ph.D., selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan perhatian dan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, serta dorongan semangat kepada penulis selama penulisan skripsi ini hingga selesai.
3. Simson Damanik, drg., M.Kes dan Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes selaku dosen penguji skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh staf pengajar FKG USU, terutama staf pengajar di Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat FKG-USU atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis.
4. Cut Nurliza, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing akademik penulis yang telah banyak memberikan motivasi, nasihat dan bimbingan selama penulis menjalani masa studi perkuliahan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
5. Amalia S.Si, M.Si yang telah membantu penulis mengolah data statistik. 6. Fransiskus HR selaku kepala sekolah SMA Global Prima Nasional Plus Medan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian dan siswa-siswi
(8)
SMA Global Prima Nasional Plus yang telah meluangkan waktu dan bersedia menjadi subjek penelitian.
7. Suryani S.Pd selaku kepala sekolah SMA Pangeran Antasari Medan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian dan siswa-siswi SMA Pangeran Antasari yang telah meluangkan waktu dan bersedia menjadi subjek penelitian.
Rasa hormat dan terima kasih tak terhingga kepada kedua orang tua penulis, Hendry S.E, M.M dan Melya atas segala doa, kasih sayang, bimbingan, nasihat dan dukungan moril maupun materiil yang selama ini diberikan kepada penulis. Terima kasih juga kepada adik penulis, Novelina atas segala kasih sayang, doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada sahabat-sahabat tersayang, terutama Angelia Stefani, Fellicia Lestari, Jessica, Melissa, Herbert Oeinata, Bang Willy Tanjaya, Bang Ricky Winardo serta teman-teman seperjuangan di Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/ Kesehatan Gigi Masyarakat FKG-USU yang telah membantu saya dan memberi motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan skripsi ini dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi di kemudian hari.
Akhir kata, penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.
Medan, 25 Mei 2015 Penulis,
(Natalia) NIM. 110600055
(9)
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1.4 Hipotesis Penelitian ... 6
1.5 Manfaat Penelitian ... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Maloklusi ... 8
2.1.1 Maloklusi Gigi Anterior... 10
2.1.2 Protrusi Bimaksiler... 13
2.2 Psikososial Remaja ... 14
2.3 Pengukuran Status Psikososial dengan Indeks PIDAQ ... 16
2.4 Deskripsi Sekolah ... 17
2.4.1 Global Prima Nasional Plus ... 17
2.4.2 Pangeran Antasari ... 18
2.5 Kerangka Konsep... 20
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 21
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21
(10)
3.2.2 Waktu Penelitian ... 21
3.3 Populasi dan Sampel ... 21
3.3.1 Populasi ... 21
3.3.2 Sampel... 21
3.4 Variabel dan Definisi Operasional ... 22
3.5 Metode Pengumpulan Data... 26
3.6 Pengolahan Data dan Analisa Data ... 26
3.7 Etika Penelitian ... 26
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden ... 28
4.2 Jenis Maloklusi Anterior ... 28
4.3 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Kepercayaan Diri terhadap Gigi Geligi ... 29
4.4 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Aspek Sosial ... 31
4.5 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Aspek Psikososial ... 32
4.6 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Aspek Pertimbangan Estetis ... 34
4.7 Perbedaan Dampak Maloklusi Anterior Berdasarkan Jenis Kelamin ... 35
4.8 Perbedaan Dampak Maloklusi Anterior Berdasarkan Sekolah pada Siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari ... 37
BAB 5 PEMBAHASAN ... 39
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 43
6.2 Saran ... 44
DAFTAR PUSTAKA ... 45 LAMPIRAN
(11)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Karakteristik responden SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA
Pangeran Antasari ... 28
2. Persentase jenis maloklusi anterior yang dijumpai pada siswa SMA
Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91) ... 29
3. Status psikososial ditinjau dari aspek kepercayaan diri terhadap gigi
geligi pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91) ... 30
4. Dampak maloklusi anterior terhadap kepercayaan diri terhadap gigi
geligi pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari ... 30
5. Status psikososial ditinjau dari aspek sosial pada siswa SMA Global
Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91) ... 31
6. Dampak maloklusi anterior terhadap aspek sosial pada siswa SMA
Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari ... 32
7. Status psikososial ditinjau dari aspek psikososial pada siswa SMA
Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91) ... 33
8. Dampak maloklusi anterior terhadap aspek psikososial pada siswa
SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari ... 34
9. Status psikososial ditinjau dari aspek pertimbangan estetis pada siswa
SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91) 35
10. Dampak maloklusi anterior terhadap aspek pertimbangan estetis pada
siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari .. 35
11. Analisis dampak maloklusi anterior berdasarkan jenis kelamin
antarsiswa SMA Global Prima Nasional Plus (n=19) ... 36
12. Analisis dampak maloklusi anterior berdasarkan jenis kelamin
(12)
13. Analisis dampak maloklusi anterior berdasarkan jenis kelamin antara siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=37) ... 37
14. Analisis dampak maloklusi anterior antara siswa laki-laki di sekolah
SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA Pangeran Antasari (n=12) ... 37
15. Analisis dampak maloklusi anterior antara siswa perempuan di
sekolah SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA Pangeran Antasari (n=21) ... 38
16. Analisis dampak maloklusi anterior antara siswa sekolah SMA Global
(13)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Derajat keparahan gigi berjejal ... 11
2. Kasus-kasus diastema anterior ... 12
3. Protrusi anterior maksila akibat menghisap jempol dan bibir ... 13
(14)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Kuisioner dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial menggunakan
indeks PIDAQ pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari
2. Surat Persetujuan Komisi Etik tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan
3. Surat Penyataan Persetujuan Izin Penelitian dari SMA Global Prima Nasional Plus
4. Surat Penyataan Persetujuan Izin Penelitian dari SMA Pangeran Antasari
(15)
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/ Kesehatan Gigi Masyarakat
Tahun 2015
Natalia
Perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial menggunakan indeks PIDAQ pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari
xi+47 halaman
Gigi berjejal (crowded), gigi tonggos (protrusi), gigi jarang (diastema) dan
protrusi bimaksiler merupakan jenis maloklusi anterior yang dapat menimbulkan
dampak terhadap aspek psikososial seseorang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari menggunakan indeks
Psychosocial Impact of Dental Aesthetics Quistionnaire (PIDAQ). Rancangan
penelitian ini adalah cross-sectional dengan jumlah sampel 91 orang yang dipilih
secara purposif dan memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan pemeriksaan maloklusi dan wawancara menggunakan kuisioner PIDAQ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis maloklusi yang paling banyak dijumpai adalah
crowded 44%, diikuti diastema 27,5%, protrusi 16,5% dan protrusi bimaksiler 12%. Persentase responden yang mengalami dampak maloklusi terhadap aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi lebih banyak di SMA Global Prima Nasional Plus (71,7%) daripada SMA Pangeran Antasari (46,7), sedangkan untuk aspek lainnya lebih banyak tidak menimbulkan dampak pada kedua sekolah. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior yang signifikan berdasarkan jenis kelamin pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA
Pangeran Antasari (ρ = 0,289) maupun berdasarkan sekolah (ρ = 0,898). Hal ini
(16)
yang mengalami maloklusi tanpa membedakan jenis kelamin maupun status sosial sekolah.
(17)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gigi berperan penting dalam pada proses pengunyahan, berbicara dan estetis. Berbagai penyakit maupun kelainan gigi dan mulut dapat mempengaruhi berbagai fungsi rongga mulut. Salah satunya adalah kelainan susunan gigi atau disebut
maloklusi.1 Maloklusi adalah penyimpangan susunan gigi dan atau malrelasi
lengkung gigi (rahang) yang tidak sesuai, baik secara estetis maupun fungsional dari
oklusi normal.1,2,3 Oklusi dikategorikan normal bila susunan gigi teratur dalam
lengkung rahang atau hubungan gigi atas dan gigi bawah harmonis dan seimbang, tulang rahang, tulang tengkorak dan otot sekitarnya dapat membentuk keseimbangan
fungsional sehingga menghasilkan estetis yang baik. Gigi berjejal (crowded), gingsul
(caninus ectopic), gigi tonggos (disto oklusi), gigi cakil (mesio oklusi), gigitan silang (crossbite), gigi jarang (diastema) merupakan jenis maloklusi.4 Selain itu, terdapat
juga jenis maloklusi protrusi bimaksiller dento-alveolar.5 Protrusi bimaksiler adalah
suatu maloklusi yang memperlihatkan inklinasi anterior yang berlebihan dari insisivus rahang atas dan rahang bawah. Orang dengan protrusi bimaksiler biasanya mengalami kesulitan menutup bibir dan mengalami gigi berjejal, serta profil wajah tidak estetis.5,6
Maloklusi disebabkan oleh beberapa faktor berbeda, yaitu genetik dan lingkungan. Menurut Proffit, secara umum maloklusi disebabkan karena 1) faktor luar/ekstrinsik, yaitu herediter, kelainan kongenital, perkembangan dan pertumbuhan yang salah saat pre dan postnatal, penyakit sistemik, kebiasaan jelek, dan 2) faktor dalam/intrinsik, yaitu anomali jumlah gigi, anomali ukuran gigi, anomali bentuk gigi, frenulum labii tidak normal, kehilangan dini gigi desidui, terlambat erupsi gigi
permanen, erupsi abnormal, ankilosis, karies gigi dan restorasi tidak baik.4
Hasil penelitian Marpaung tahun 2006 menunjukkan prevalensi maloklusi pada 4 Sekolah Menengah Umum di Kota Medan mencapai 83%, sedangkan
(18)
penelitian Dewi tahun 2007 menunjukkan prevalensi maloklusi remaja SMU di kota Medan dengan menggunakan indeks HMA sebanyak 60,5% dengan jenis maloklusi yang terbanyak adalah gigi berjejal, baik pada segmen anterior rahang bawah
(41,89%) maupun rahang atas (30,75%).4
Maloklusi tidak membahayakan hidup seseorang, namun sangat berdampak
terhadap ketidaknyamanan, keadaan sosial dan keterbatasan fungsi.7 Dampak
maloklusi berupa terganggunya faktor estetis, fungsi dan bicara, serta tidak hanya berdampak terhadap susunan gigi geligi, namun juga mempengaruhi penampilan
wajah.8 Banyak faktor yang berpengaruh terhadap persepsi estetis wajah, yaitu
susunan gigi anterior, warna, bentuk dan posisi gigi, ketebalan bibir, kesimetrisan
gingiva atau kontur gingiva, profil bibir, overjet dan lain-lain.9
Penampilan wajah yang tidak menarik dapat mempengaruhi perkembangan psikologi seseorang, terutama pada usia remaja. Remaja lebih mengutamakan daya tarik fisik dalam bersosialisasi. Penampilan wajah yang kurang baik dapat menyebabkan rasa tertekan sehingga menurunkan fungsinya dalam kehidupan sosial, keluarga, pekerjaan dan aktivitas sekolah karena malu bertemu dengan orang lain
atau merasa diejek.Hal ini dapat mengganggu psikososialnya. Mereka akan merasa
rendah diri, menganggap dirinya tidak berharga, terganggu prestasi akademisnya atau
sengaja tidak masuk sekolah.4,10 Hal ini didukung oleh hasil penelitian Bull dan
Rumsey di New York pada tahun 1988 menunjukkan bahwa penampilan dentofasial merupakan kunci penentu menarik atau tidaknya seseorang, dimana kelompok yang mengalami maloklusi cenderung merasa sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan
sekolahnya.11
Penampilan wajah dan susunan gigi merupakan bagian terpenting dari penampilan fisik remaja, karena masa remaja merupakan tahap perkembangan psikososial yang pesat. Penampilan fisik, terutama dentofasial muncul sebagai pusat pencarian jati diri mereka. Kemudian, mulai muncul kepedulian akan tanggapan orang lain tentang penampilan dan identitas dirinya. Pandangan dari orang lain ini
(19)
Dampak maloklusi terhadap kualitas hidup remaja berbeda antara remaja yang satu dengan yang lain, hal ini dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi seperti
umur, jenis kelamin dan kelas sosial.4 Orang dengan usia yang semakin bertambah
akan semakin memperhatikan kondisi gigi dan mulutnya. Perempuan lebih
memperhatikan gigi-geligi mereka dibandingkan laki-laki.14 Pada kelas sosial yang
semakin tinggi, maka kualitas hidupnya akan semakin baik, karena pengetahuan,
sikap dan perilaku mencari perawatan kesehatan gigi juga lebih baik.4
Hasil penelitian Dewi mengenai hubungan jenis kelamin dengan kualitas hidup menunjukkan adanya hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan ketidaknyamanan psikis, ketidakmampuan psikis dan ketidakmampuan sosial. Remaja perempuan lebih banyak mengeluh dibandingkan laki-laki (p<0,05). Ini disebabkan karena perempuan lebih sensitif terhadap perubahan dalam hidupnya,
terutama masalah estetis.4 Penelitian Anosike dkk juga menunjukkan perbedaan yang
signifikan berdasarkan jenis kelamin antara maloklusi dengan kualitas hidup, namun penelitiannya menunjukkan laki-laki lebih perhatian terhadap dirinya (22,3%), lebih canggung dengan kondisi maloklusi yang terjadi (17%) dan lebih malu terhadap
keadaan rongga mulutnya (18,7%).7
Beberapa alat ukur telah dikembangkan beberapa tahun terakhir ini untuk pengukuran kualitas hidup yang dihubungkan dengan kesehatan rongga mulut,
meliputi Oral Health-Related Quality of Life (OHRQoL), Condition-Specific Oral
Impacts on Daily Performances (CS-OIDP), Oral Health Impacts Profile (OHIP) dan
14-items short form Oral Health Impact (OHIP-14).15 Indeks tersebut digunakan untuk mengukur kualitas hidup secara keseluruhan, namun ada indeks yang lebih spesifik untuk mengukur dampak psikososial dalam bidang ortodonti, yaitu indeks
Psychosocial Impact of Dental Aesthetics Quistionnaire (PIDAQ). Indeks PIDAQ merupakan suatu alat ukur yang tepat untuk mengetahui dampak psikososial dari estetika gigi dan mulut pada anak-anak, remaja dan dewasa muda yang mengalami
maloklusi.15,16
Beberapa penelitian telah menggunakan Indeks PIDAQ dengan skala Likert sebagai alat ukur. Penelitian Paula et al menunjukkan bahwa pada 98,3% subyek
(20)
penelitian terdapat perbedaan dampak psikososial dari estetis gigi, dimana remaja
dengan skor Dental Aesthetic Indeks (DAI) yang lebih tinggi mempunyai skor
dampak yang lebih besar pula. Pada skor DAI 4, skor rerata PIDAQ adalah 24,9 ± 12, sedangkan pada skor DAI 1, reratanya hanya 14,1 ± 10,2. Sebaliknya, remaja dengan pertumbuhan gigi yang kurang menarik mempunyai dampak psikososial dan masalah
estetis yang kurang baik.15,17 Penelitian Bellot-Arcis dengan menggunakan Index of
Orthodontic Treatment Need (IOTN) dan PIDAQ menunjukkan bahwa maloklusi berdampak terhadap status psikososial remaja, dampaknya terus meningkat seiring
keparahan maloklusinya. Pada IOTN –DHC grade 4-5, skor rerata PIDAQ 38,5 (35,6
– 41,3), sedangkan pada grade 1-2, skornya hanya 30,09 (28,6 – 31,6) dan dampak
terhadap status psikososial lebih besar pada perempuan.18 Penelitian Khan dan Fida
dengan menggunakan Aesthetic Component of the Index of Orthodontic Treatment
Need (IOTN-AC) dan PIDAQ menunjukkan bahwa terdapat dampak psikososial yang sangat besar terhadap perubahan estetis dari gigi. Aspek yang terlihat berdampak sangat signifikan adalah aspek kepercayaan terhadap diri sendiri dan dampak
psikologis.19
Mengingat dampak maloklusi yang dapat mempengaruhi penampilan estetis dan perkembangan mencari identitas diri remaja, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui akibat maloklusi dan pengaruhnya terhadap psikososial remaja dalam kehidupannya sehari-hari. Penelitian ini penting dilakukan karena masih
tingginya prevalensi dan keparahan maloklusi, serta dampaknya dalam
mengakibatkan hambatan dalam perkembangan psikologi dan kehidupan sosial.8
Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang dampak maloklusi anterior terhadap psikososial siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari dengan menggunakan indeks PIDAQ. Alasan dipilihnya siswa SMA untuk mewakili remaja karena termasuk dalam batasan usia remaja pertengahan, dimana terjadi perubahan fisik, mental dan psikososial yang cepat berdampak pada berbagai aspek kehidupannya. Mereka lebih mementingkan daya tarik fisik, terutama wajah dalam proses sosialisasi, dan mulai mengembangkan pemikiran bagaimana pandangan orang terhadap penampilan dan bersosialisasi
(21)
dengan teman sebaya. Peneliti menggunakan dua sekolah sebagai parameter, yaitu SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.
SMA Global Prima Nasional Plus merupakan sekolah bergengsi dengan reputasi tinggi dan berkualitas dengan taraf nasional plus. Kurikulum yang diterapkan adalah gabungan kurikulum nasional dan internasional. Sekolah ini menggunakan bahasa Inggris (70%), Indonesia (20%) dan Mandarin (10%) sebagai bahasa pengantar dengan guru yang berkualifikasi S1/S2 dari dalam maupun luar negeri. Jumlah murid tiap kelas tidak terlalu banyak sehingga proses belajar lebih efektif dan
ditunjang oleh fasilitas yang unggul, seperti ruang full AC, kolam renang, tempat
bermain, laboratorium sains, laboratorium komputer, klinik, perpustakaan, wi-fi,
ruang tari, lapangan olahraga dan auditorium. Kebanyakan murid di sekolah ini berasal dari golongan status sosial-ekonomi yang relatif menengah ke atas karena uang sekolah 2 kali lipat lebih tinggi dari sekolah nasional biasa, seperti SMA Pangeran Antasari yang mempraktikkan 100% kurikulum nasional dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Jumlah murid tiap kelas lebih banyak sehingga proses belajar-mengajar kurang efektif. Fasilitasnya juga terbatas, hanya seperti lapangan olahraga, ruang komputer, perpustakaan dan ruang kelas tanpa pendingin udara.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui persentase maloklusi anterior pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.
2. Untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial dari aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.
(22)
3. Untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial dari aspek sosial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.
4. Untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial dari aspek psikososial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.
5. Untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial dari aspek estetis pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.
6. Untuk mengetahui perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial berdasarkan jenis kelamin pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.
7. Untuk mengetahui perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial berdasarkan sekolah pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA Pangeran Antasari.
1.4 Hipotesis Penelitian
1. Tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial berdasarkan jenis kelamin pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari.
2. Tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial berdasarkan sekolah pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA Pangeran Antasari.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti mengenai dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial pada siswa SMA di Medan sehingga nantinya dapat memberikan wawasan kepada masyarakat dalam praktek
(23)
sehari-hari bahwa penampilan gigi geligi berpengaruh terhadap perkembangan psikososial remaja.
2. Bagi institusi pendidikan
Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial remaja SMA dan sebagai kontribusi untuk perkembangan ilmu kedokteran gigi.
3. Bagi peneliti lain
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan bacaan dan acuan bagi peneliti lain untuk dikembangkan lebih lanjut.
4. Bagi remaja dan masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran kepada remaja dan masyarakat mengenai dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial dan memberikan pengetahuan pengetahuan kepada remaja dan masyarakat bahwa pentingnya perawatan ortodonti untuk meningkatkan status psikososial remaja sehingga dapat dilakukan pencegahan maloklusi yang lebih parah agar tidak terjadi penyimpangan dan gangguan perkembangan psikososial remaja.
(24)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Maloklusi
Istilah maloklusi pertama kali diperkenalkan oleh Guilford, dimana pengertian maloklusi adalah penyimpangan letak gigi atau malrelasi lengkung geligi (rahang) di luar batas kewajaran yang dapat diterima, yang ditandai dengan tidak tepatnya
hubungan antar lengkung atau anomali abnormal di setiap regio.3,20,21 Oklusi
dikategorikan normal bila susunan gigi teratur dalam lengkung rahang atau hubungan gigi atas dan gigi bawah harmonis dan seimbang, tulang rahang, tulang tengkorak dan otot sekitarnya dapat membentuk keseimbangan fungsional sehingga menghasilkan
estetis yang baik.4 Maloklusi juga dapat merupakan variasi biologi, namun letak gigi
yang mudah diamati dan menganggu estetis dapat menarik perhatian dan
menimbulkan keinginan melakukan perawatan.3
Sebagaimana diketahui, prevalensi maloklusi semakin meningkat. Hal ini diyakini merupakan suatu proses evolusi akibat meningkatnya variabilitas gen dalam populasi yang bercampur dalam kelompok ras. Maloklusi dapat disebabkan oleh
adanya kelainan gigi dan malrelasi rahang.3
Kelainan gigi berupa kelainan letak, ukuran, bentuk, dan jumlah gigi. Kelainan letak gigi yaitu mesioversi (letak gigi lebih ke mesial daripada letak normalnya), palatoversi (letak gigi lebih palatal daripada letak normalnya), infraversi/infraoklusi/infraposisi (gigi tidak bisa mencapai bidang oklusal),
protrusi/proklinasi, retrusi/retroklinasi, mesioklinasi, distoklinasi, transversi/
transposisi (dua gigi yang bertukaran tempatnya), torsiversi/rotasi dan gigi yang
ektopik, yaitu gigi yang tidak pada tempatnya.3
Ukuran gigi yang normal, secara umum mempunyai ukuran tertentu, yaitu insisivus sentralis permanen atas 8-10 mm, insisivus lateralis atas 6-8 mm, premolar pertama dan kedua masing-masing ± 7 mm dan molar ± 10 mm. Untuk rahang bawah, insisivus permanen sentralis dan lateralis ukurannya ± 5 mm, kaninus dan
(25)
premolar ± 6 mm dan molar ± 10 mm. Ukuran gigi yang di atas rerata disebut makrodonti, sedangkan di bawah rerata disebut mikrodonti. Insisivus lateralis maksila mempunyai ukuran yang paling bervariasi, yaitu cenderung lebih kecil dari ukuran
normal.3
Kelainan bentuk gigi dapat berupa geminasi, fusi dan dilaserasi. Geminasi adalah satu benih gigi bertumbuh menjadi dua benih gigi secara utuh atau sebagian tetapi akarnya satu. Fusi adalah dua benih gigi bertumbuh menjadi satu gigi dengan mahkota besar tapi akarnya tetap dua. Bila terjadi geminasi atau fusi, berarti jumlah gigi tidak normal. Dilaserasi adalah akar gigi yang tidak normal bentuknya dan
biasanya bengkok.3
Kelainan jumlah gigi dapat berupa kelebihan gigi (hiperdontia) atau kekurangan gigi (hipodontia). Kelebihan gigi mesiodens paling sering ditemukan di maksila, yaitu di antara insisivus sentralis. Selain mesiodens, laterodens juga dapat terjadi, yaitu di sebelah insisivus lateralis. Ada juga premolar tambahan terutama di
rahang bawah.3
Malrelasi rahang dapat terjadi pada tiga bidang orientasi, yaitu sagital, transversal dan horizontal. Klasifikasi yang paling sering digunakan hingga saat ini ialah klasifikasi menurut Angle. Klasifikasi menurut Angle didasarkan atas relasi lengkung gigi atas dan bawah pada bidang sagital. Dasar klasifikasi ini adalah relasi molar pertama permanen yang pada keadaan normal tonjol mesiobukal molar pertama
permanen atas terletak pada lekukan (groove) bukal.3
Berikut ini etiologi maloklusi menurut Moyers, yaitu:22
1. Herediter, seperti: sistem neuromuskular, tulang, gigi dan bagian lain di luar otot dan saraf
2. Gangguan pertumbuhan
3. Trauma, yaitu trauma sebelum lahir, trauma saat dilahirkan dan trauma setelah dilahirkan
4. Keadaan fisik, seperti prematur ekstraksi gigi permanen
5. Kebiasan buruk, seperti menghisap jari, menjulurkan lidah, menggigit kuku, mengisap dan menggigit bibir, sikap badan, dan kebiasan lain
(26)
6. Penyakit, yaitu penyakit sistemik, kelainan endokrin, penyakit lokal (gangguan saluran pernafasan, penyakit gusi, dan jaringan penyangga gigi, tumor, dan gigi berlubang)
7. Malnutrisi
Kelainan maloklusi dapat disebabkan oleh faktor herediter atau lingkungan atau dapat disebabkan oleh keduanya. Salah satu dari beberapa penyebab umum maloklusi adalah tidak proporsionalnya ukuran antara rahang dan gigi atau rahang
atas dan rahang bawah. Seorang anak yang mewarisi ukuran rahang yang kecil dari
ibunya dan ukuran gigi yang besar dari ayahnya dapat memiliki ukuran gigi yang terlalu besar untuk rahangnya, sehingga menyebabkan gigi berjejal. Kebiasaan buruk seperti menghisap jari, menggigit bibir dan bernafas dari mulut juga dapat
menyebabkan maloklusi dengan memperburuk pertumbuhan oklusi normal.20
Maloklusi yang terjadi dapat berupa banyak jenis. Beberapa ciri umum pada maloklusi, seperti gigi berjejal, celah (diastema) antargigi, gigitan yang tidak tepat antara rahang atas dan rahang bawah dan tidak proposionalnya ukuran dan kesejajaran antara rahang atas dan rahang bawah. Namun tidak semua maloklusi memerlukan perawatan, seperti kasus maloklusi yang tidak begitu menggangu estetis,
kesehatan gigi dan jaringan periodontal.20
2.1.1 Maloklusi Gigi Anterior
1. Gigi anterior berjejal (Crowded Teeth)
Sejauh ini, gigi berjejal merupakan kasus yang paling umum dikeluhkan oleh para pasien yang mencari perawatan ortodonti, apalagi bila terletak di bagian anterior
yang mempengaruhi penampilan wajah.20 Gigi berjejal adalah keadaan berjejalnya
gigi di luar susunan yang normal karena lengkung basal yang terlalu kecil daripada lengkung koronal. Lengkung basal merupakan lengkung prosesus alveolaris dari apeks gigi yang tertanam, sedangkan lengkung koronal merupakan lengkung yang paling lebar dari mahkota gigi atau jumlah mesiodistal yang paling besar dari mahkota gigi.
(27)
Gigi berjejal dapat terlihat di bagian anterior maupun posterior pada satu atau
kedua lengkung rahang. Crowded yang terjadi dapat ringan atau parah, unilateral atau
bilateral, lokal atau umum. Menurut beberapa teori dari para ortodontis, banyak penyebab gigi berjejal, di antaranya: evolusi, keturunan, maupun faktor lingkungan.12,20,23,24
Kasus gigi berjejal dibedakan berdasarkan derajat keparahannya, yaitu
(gambar 1):12,23,24
a) Gigi berjejal ringan, yaitu hanya sedikit gigi yang berjejal, sering terjadi pada anterior mandibula, dianggap suatu variasi normal dan tidak memerlukan perawatan. Kebutuhan ruang yang diperlukan berada dalam kisaran 2 sampai 3 mm.
b) Gigi berjejal sedang. Kebutuhan ruang yang diperlukan berada dalam kisaran 4 sampai 6 mm.
c) Gigi berjejal berat, yaitu gigi-gigi sangat berjejal sehingga menimbulkan kebersihan mulut yang buruk. Kebutuhan ruang yang diperlukan berada dalam kisaran <6 mm.
Gambar 1. Derajat keparahan gigi berjejal.20 (A) Gigi berjejal
ringan (B) Gigi berjejal sedang (C) Gigi berjejal berat
2. Gigi anterior bercelah (diastema)
Diastema anterior merupakan suatu keadaan dimana terdapat ruang di antara
gigi geligi anterior yang seharusnya berkontak. Diastema dapat terlihat pada satu atau
(28)
kedua lengkung rahang. Dapat terjadi secara lokal maupun umum dan unilateral atau
bilateral dalam lengkung gigi. Diastema di antara dua gigi insisivus maksila di
midline disebut sebagai diastema midline. Diastema dapat terjadi karena kebiasaan
buruk seperti menghisap jempol atau menggigit lidah. Penyebab lainnya adalah lidah
yang besar, mikrodonsia dan makrognathia.20,23,24
Diastema ada dua jenis (gambar 2):23,24
a. Lokal, jika terdapat diantara 2 atau 3 gigi. Penyebabnya adalah frenulum labialis yang abnormal, kehilangan gigi, kebiasaan jelek dan persistensi.
b. Umum, jika terdapat pada sebagian besar gigi dan dapat disebabkan oleh faktor keturunan, makroglosia dan oklusi yang traumatis.
Gambar 2. Kasus-kasus diastema anterior.25 (A) Diastema midline
akibat tingginya perlekatan frenulum (B) Diastema
anterior akibat hilangnya gigi insisivus lateralis dengan kebiasaan mendorong lidah
3. Protrusi anterior
Protrusi adalah gigi anterior yang posisinya lebih maju ke depan lebih dari 4 mm. Overjet normal adalah 2-4 mm. Overjet berlebihan terutama gigi insisivus maksila yang terlalu ke anterior menyebabkan insisivus maksila tidak mengenai insisivus mandibula dan terjadi kontak prematur antara insisivus atas dan bawah. Protrusi dapat disebabkan oleh faktor keturunan, kebiasaan jelek seperti menghisap jari dan menghisap bibir bawah, mendorong lidah ke depan, kebiasaan menelan yang
salah, serta bernafas melalui mulut (gambar 3).23,24,26
(29)
Gambar 3. Protrusi anterior maksila akibat menghisap jempol dan bibir20
2.1.2 Protrusi Bimaksiler
Protrusi bimaksiler dento-alveolar adalah suatu kelainan dimana rahang atas dan rahang bawah terlalu maju ke depan disertai majunya seluruh gigi pada kedua rahang, tetapi hubungan oklusi giginya kelas I. Pada protrusi bimaksiler dento-alveolar ditemui kelainan dento-dento-alveolar pada sistim neuromuskular dimana terdapat
relasi bibir yang terbuka (lip incompetence) karena ketidakseimbangan hubungan
antara otot lidah dan bibir. Akibat otot-otot lidah yang relatif hiperaktif, maka terjadi inklinasi gigi anterior ke labial sehingga membuat penampilan keseluruhan wajah
menjadi tidak menarik.5,20
Protrusi bimaksiler sering terlihat pada populasi orang Asia. Ciri klinis protrusi bimaksiler adalah menurunnya sudut nasolabial akibat proklinasi anterior dari maksila, semakin dangkalnya sulkus mentolabial akibat proklinasi anterior
mandibula, bibir menjadi inkompeten dan profil wajah konveks (gambar 4).20
b
Gambar 4. Gambaran ekstra oral protusi bimaksiler.20 (A) Berkurangnya
sudut nasolabial akibat majunya anterior maksila (B) Dangkalnya sulkus mentolabial akibat majunya anterior mandibula
(30)
2.2 Psikososial Remaja
Remaja berasal dari bahasa Latin “adolescere” yang berarti “tumbuh untuk
mencapai kematangan”. Remaja sudah tidak tergolong anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima sebagai orang dewasa. Oleh karena itu, remaja sering kali dikenal
dengan fase “mencari jati diri” karena belum mampu menguasai dan mengfungsikan
perannya secara maksimal. Fase remaja juga merupakan fase perkembangan yang sedang berada dalam masa sangat potensial, baik dilihat dari aspek kognitif, emosi
maupun fisik. Secara psikologis, remaja adalah suatu masa di mana individu
terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, anak merasa tidak berada di bawah tingkat
orang yang lebih tua, melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.27
Periode remaja menurut para ilmuwan sosial dapat dikelompokkan menjadi tiga, berdasarkan jenjang pendidikan, yaitu periode remaja awal (usia 11-14 tahun), periode remaja pertengahan (usia 15-18 tahun) dan periode remaja akhir (usia 18-21 tahun). Menurut analisis perkembangan remaja di Indonesia, masa perkembangan remaja berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun, yang dibagi menjadi masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun) dan masa remaja akhir
(18-21 tahun).12 Sedangkan menurut World Health Organization (WHO), batasan
usia remaja yaitu 10-14 tahun adalah remaja awal dan 15-24 tahun adalah remaja akhir.
Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang bersifat psikologis maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik. Masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, akibat terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat
menimbulkan gangguan jiwa.28
Psikososial merupakan keterkaitan antara 2 aspek yaitu aspek psikologis dan sosial. Aspek psikologis berkaitan dengan perkembangan emosi dan kognitif yang berhubungan dengan kemampuan belajar, merasakan dan mengingat. Sedangkan, aspek sosial berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan
(31)
Salah satu ahli psiko-analisis, Erickson pada tahun 1950 memperkenalkan teori perkembangan psikososial manusia. Perkembangan psikososial manusia menurut beliau terjadi sepanjang hidup seiring dengan peningkatan usia, yang
dikelompokkan menjadi delapan tahap perkembangan karakter, yaitu:12
1. Tahap percaya lawan tidak percaya (trust vs mistrust)
2. Tahap otonomi lawan perasaan malu dan ragu-ragu (autonomy vs shame,
doubt)
3. Tahap inisiatif lawan rasa bersalah (initiative vs guilt)
4. Tahap industri lawan perasaan rendah diri (industry vs inferiority)
5. Tahap identitas lawan kebingungan identitas (identity vs identity
confusion)
6. Tahap kedekatan lawan kesendirian (intimacy vs isolation)
7. Tahap generatifitas lawan stagnasi (generativity vs stagnation)
8. Tahap identitas ego lawan keputusasaan (ego identity vs despair)
Tahap identitas lawan kebingungan identitas (identity vs identity confusion)
terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun. Pada tahap inilah remaja mengekplorasi kemandirian dan membangun kepekaan dirinya. Remaja dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya dan menuju kemana mereka dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan). Mereka dihadap-kan memiliki banyak peran baru dan status sebagai orang dewasa, misalnya pekerjaan
dan romantisme.12,13
Disamping itu, mulai muncul kepedulian akan tanggapan orang lain tentang penampilan dan identitas diri. Pandangan dari orang lain ini akan berpengaruh dalam pembentukan konsep diri. Konsep diri yaitu suatu pandangan individu tentang seluruh keadaan dirinya, yang mencakup dimensi fisik, karakter, motivasi, kelemahan, kegagalan, kepandaian, dan lain sebagainya. Konsep diri terdiri dari berbagai
komponen, yaitu subject self (kita melihat diri sendiri seperti apa), body image
(kesadaran tentang penampilan diri), ideal self (gambaran diri yang ideal), real self
(32)
kita). Jika remaja menjajaki peran-peran yang ada dengan cara yang sehat dan positif untuk diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai. Bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan kontrol dirinya akan muncul dalam tahap ini. Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa tidak aman dan
bingung terhadap diri dan masa depannya.12,13
2.3 Pengukuran Status Psikososial dengan Indeks PIDAQ
Psychosocial Impact of Dental Aesthetics Quistionnaire (PIDAQ) merupakan suatu instrumen atau alat untuk mengukur dampak psikososial dari estetika gigi dan
kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan mulut pada dewasa muda.18,29 Butir
pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner PIDAQ ini telah teruji validitas dan
reliabilitasnya oleh Ulrich, dkk.13,24,29 Kuesioner PIDAQ ini terdiri atas 6 butir
pertanyaan tentang aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi, 8 butir pertanyaan mengenai aspek sosial, 6 butir pertanyaan mengenai dampak psikologis dari estetika
gigi-geligi, dan 3 butir pertanyaan mengenai estetika wajah.29
Faktor pertama dari kuesioner PIDAQ ini yaitu rasa percaya diri terhadap
gigi-geligi (dental self-confidence) yang menunjukkan dampak dari estetika gigi geligi
terhadap keadaan emosional seseorang. Rasa percaya diri (self-confidence)
merupakan suatu keyakinan akan diri sendiri yang ditandai dengan sikap menerima dan menghargai diri, optimis akan kemampuan yang dimiliki, menerima kekurangan yang dimiliki dan merasa tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Individu yang memiliki penerimaan diri yang positif akan memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan positif dalam menjalani hidup. Hal-hal yang dapat mengakibatkan kurangnya rasa percaya diri salah satunya karena faktor internal, yang berasal dari dalam individu sendiri, seperti harga diri dan minat yang kurang. Kemudian faktor lain yaitu faktor eksternal, yang berasal dari lingkungan di sekitar anak, misalnya lingkungan keluarga yang protektif, maka anak akan memiliki rasa
(33)
Faktor kedua yaitu dampak sosial, yang menunjukkan masalah potensial dalam lingkungan sosial seseorang yang dapat timbul karena persepsi subjektif tentang penampilan gigi-geligi yang kurang baik baik dari diri sendiri maupun orang lain. Maloklusi sering dihubungkan dengan kepribadian yang kurang menyenangkan oleh orang lain. Hal ini yang kemudian akan mempengaruhi pembentukan konsep diri
dalam diri individu.29
Persepsi akan penampilan gigi geligi dan wajah dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya jenis kelamin, latar belakang sosial ekonomi dan usia. Perempuan lebih memperhatikan gigi-geligi mereka dibandingkan laki-laki. Orang dengan sosial ekonomi tinggi akan lebih memperhatikan kondisi gigi-geliginya dan lebih kritis dalam menilai penampilan dentofasial mereka. Anak-anak dengan usia lebih muda (±13 tahun) lebih kurang memperhatikan penampilan gigi-geligi mereka
dibandingkan usia remaja pertengahan (±17 tahun).14
Faktor ketiga yaitu dampak psikologis. Butir-butir pernyataan ini berkaitan dengan perasaan rendah diri dan tidak bahagia pada saat individu membandingkan
diri sendiri dengan orang lain yang lebih baik estetika giginya.29
Faktor keempat yaitu dampak estetika, yang berisi pernyataan yang menunjukkan perasaan tidak puas dengan keadaan gigi-geligi saat melihat gigi geligi
sendiri dengan cermin, foto ataupun video.29
Setiap butir pertanyaan pada keempat faktor di atas diukur dengan skala
Guttman yang diberi skor “1” atau “0”. Pemilihan skala Guttman karena bentuk
jawaban yang diberikan tegas, berupa jawaban “ya” atau “tidak”.30 2.4 Deskripsi Sekolah
2.4.1 Global Prima Nasional Plus
Global Prima Nasional Plus merupakan sekolah bergengsi dengan reputasi tinggi dan berkualitas dengan taraf nasional plus. Sekolah ini telah berdiri sejak tahun 2009 dan telah berkembang pesat menjadi salah satu sekolah terbaik di kota Medan yang telah melahirkan banyak siswa-siswi berprestasi. Global Prima Nasional Plus mengutamakan pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman baik
(34)
dalam hal gender, etnik, ras dan budaya sehingga semua memiliki kesempatan yang sama untuk menerima pembelajaran terbaik.
Kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum nasional dipadu dengan kurikulum internasional. Sekolah ini menggunakan bahasa Indonesia, Inggris dan Mandarin sebagai bahasa pengantar. Untuk itu maka staff pendidik, pembimbing dan pelatih yang ada di sekolah ini dipilih yang berpengalaman, professional dan penuh dedikasi dengan kualifikasi S1/S2, baik dari dalam maupun luar negeri.
Jumlah murid tiap kelas tidak terlalu banyak sehingga proses belajar lebih
efektif dan ditunjang oleh fasilitas yang unggul, seperti ruang full AC, kolam renang,
tempat bermain, laboratorium sains, laboratorium komputer, klinik, perpustakaan,
wi-fi, ruang tari, lapangan olahraga dan auditorium. Sekolah ini mempersiapkan siswanya menjadi pribadi yang kompetitif dan dapat mengembangkan keahliannya sehingga mereka dapat mempersiapkan diri untuk melanjutkan pendidikan di universitas dalam maupun luar negeri. Maka tidak heran bahwa murid di sekolah ini kebanyakan dari golongan status sosial-ekonomi yang relatif menengah ke atas dan berasal daerah kota Medan dan sekitarnya. Total biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi siswa di sekolah ini adalah sebesar ± 4 juta rupiah, termasuk uang sekolah 350.000 perbulan.
2.4.2 SMA Pangeran Antasari
Pangeran Antasari merupakan sekolah bertaraf nasional biasa yang ini telah berdiri sejak tahun 1987. Kurikulum yang dipraktikkan 100% kurikulum nasional yang berlaku. Bahasa yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia. Untuk staff pendidik yang ada di sekolah ini dipilih yang berpengalaman dan professional dengan kualifikasi S1 dan sederajat.
Jumlah murid tiap kelas lebih banyak sehingga proses belajar-mengajar kurang efektif. Sekolah ini didukung oleh beberapa fasilitas penunjang, seperti lapangan olahraga, ruang komputer, perpustakaan dan tempat bermain. Uang sekolahnya relatif lebih murah sehingga kebanyakan murid sekolah ini berasal dari golongan status sosial-ekonomi menengah ke bawah dan berasal dari kabupaten Deli
(35)
Serdang dan sekitarnya. Total biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi siswa di sekolah ini adalah sebesar ± Rp.500.000, termasuk uang sekolah 155.000 perbulan.
(36)
(37)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analitik dengan rancangan penelitian
cross-sectional. Pada rancangan penelitian ini, informasi mengenai maloklusi diperoleh secara bersamaan dengan data tentang status psikososial para siswa SMA.
3.2 Lokasi& Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA kota Medan, yaitu SMA Global Prima Nasional Plus (Jl. Brigjend Katamso Sp. Ir. Juanda No.282-283, Kota Medan) dan SMA Pangeran Antasari (Jl. Veteran No.1060/19, Helvetia, Kabupaten Deli Serdang).
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian dimulai dari Juli 2014 hingga bulan Mei 2015.
3.3 Populasi & Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Atas kelas X sampai XII (usia 15-18 tahun) di Yayasan Perguruan Global Prima Nasional Plus Medan yang berjumlah 120 orang dan Yayasan Perguruan Pangeran Antasari yang berjumlah 132 orang.
3.3.2 Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposif dan yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 91 orang, dimana 46 orang dari SMA Global Prima Nasional Plus dan 45 orang dari SMA Pangeran Antasari.
(38)
A. Kriteria Inklusi
1. Bersedia sebagai responden
2. Mempunyai maloklusi anterior, yaitu protrusi, berjejal (crowded),
bercelah (diastema) dan protrusi bimaksiler
B. Kriteria Eksklusi
1. Sedang atau pernah mengalami perawatan ortodonti
2. Mempunyai kelainan gigi yang bukan maloklusi anterior, seperti karies
pada gigi depan dan hilangnya gigi depan
3.4 Variabel dan Definisi Operasional
1. Usia, yaitu yang menjadi subjek penelitian adalah siswa SMA berusia15-18 tahun.
2. Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan yang dapat mempengaruhi persepsi terhadap kelainan maloklusi yang berdampak pada perbedaan tingkatan psikososialnya.
3. Status sosial adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, yang dapat diukur melalui kekayaan, jabatan, pendidikan atau keturunan. SMA Global Prima Nasional Plus merupakan salah satu sekolah yang berstatus sosial menengah ke atas, sedangkan SMA Pangeran Antasari merupakan salah satu sekolah dengan status sosial menengah ke bawah.
4. Jenis maloklusi anterior adalah ketidakteraturan susunan gigi depan yang dapat dilihat secara kasat mata, meliputi :
a) Protrusi anterior: posisi gigi atau rahang lebih ke depan lebih dari 4 mm. b) Crowded anterior: gigi berjejal pada bagian depan. Gigi berjejal karena kurang tempat sehingga untuk mengaturnya perlu digeser gigi-gigi lain yang ada dalam rahang. Kebutuhan ruang yang diperlukan minimal berkisar -2 sampai -3 mm.
Pengukuran terhadap protrusi dan crowded anterior dilakukan dengan
menggunakan penggaris transparan dengan satuan millimeter, kemudian diukur jarak
gigitnya (protrusi) atau jarak antargigi (crowded), apabila lebih dari normal
(39)
c) Diastema anterior: adanya celah antara gigi-geligi anterior yang seharusnya
berkontak. Pengukuran terhadap diastema anterior dilakukan dengan meletakkan
kedua ujung kaliper penggaris pada celah yang akan diukur antargigi kemudian kaliper dipindahan diatas penggaris, lalu diukur dalam satuan millimeter. Bila celah
yang terjadi >2 mm, itu termasuk diastema anterior.
d) Protrusi bimaksiler: rahang atas dan rahang bawah terlalu maju ke depan disertai majunya seluruh gigi pada kedua rahang. Maloklusi ini dilihat dari gambaran fisik bibir dan wajah yang cembung, saat istirahat tidak bisa menutup bibir.
Pengukuran terhadap protrusi bimaksiler dilakukan dengan menggunakan penggaris transparan dengan satuan millimeter, kemudian diukur jarak gigitnya, apabila lebih dari normal dan sesuai dengan ciri fisik maka dimasukkan dalam kategori protrusi bimaksiler.
Apabila terdapat lebih dari satu maloklusi anterior pada seseorang yang menjadi sampel penelitian, maka peneliti mencantumkan jenis maloklusi anterior yang paling dominan menurut peneliti untuk dimasukkan ke dalam kategori jenis maloklusi anterior yang terjadi.
5. Status psikososial adalah penilaian persepsi diri tentang dampak kelainan gigi anterior dengan menggunakan indeks PIDAQ yang dilihat dari 4 aspek:
a) Kepercayaan diri terhadap gigi geligi adalah sikap menerima dan menghargai diri, optimis akan kemampuan yang dimiliki, menerima kekurangan yang dimiliki, serta merasa tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain.
Pernyataan-pernyataan yang termasuk dalam aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi ada 6 butir pernyataan, yaitu:
1. Saya bangga dengan gigi saya
2. Saya tidak malu memperlihatkan gigi saya pada waktu saya tersenyum
3. Saya senang melihat gigi-gigi saya pada waktu bercermin
4. Orang-orang mengatakan gigi saya menarik
5. Saya puas dengan penampilan gigi saya
(40)
Pemberian skor pada aspek ini dilakukan dengan cara membalik penilaian,
yaitu skor 0 untuk jawaban “ya” dan skor 1 untuk jawaban “tidak”. Kemudian
dilakukan penjumlahan skor dari butir pernyataan nomor 1-6. Nilai maksimum adalah
6 dan nilai minimum dalah 0. Pengkategorian dampak menggunakan skala Guttman,
dimana bila jumlah skor ≥50% (atau ≥3) termasuk dalam kategori “berdampak”, sedangkan bila jumlah skor <50% (atau <3) termasuk dalam kategori “tidak berdampak”.
b) Aspek sosial: masalah dalam lingkungan sosial timbul karena persepsi subyektif tentang penampilan gigi-geligi yang kurang baik baik dari diri sendiri maupun orang lain.
Pernyataan-pernyataan yang termasuk dalam aspek sosial ada 8 butir pernyataan, yaitu:
1. Saya menahan diri ketika saya tersenyum agar gigi-gigi saya tidak terlalu terlihat Saya tidak malu memperlihatkan gigi saya pada waktu saya tersenyum
2. Pada beberapa orang yang tidak terlalu saya kenal dengan baik, kadang-kadang saya khawatir tentang apa yang mereka pikirkan terhadap gigi saya
3. Saya takut orang lain membuat julukan yang menghina gigi saya 4. Saya agak malu bergaul karena gigi saya
5. Kadang-kadang saya menutup mulut dengan tangan untuk menyembunyikan gigi-gigi saya
6. Kadang-kadang saya berpikir orang-orang melihat gigi saya
7. Saya merasa jengkel bila orang-orang mengejek gigi saya walaupun maksud mereka hanya bercanda
8. Kadang-kadang saya merasa khawatir terhadap apa yang dipikirkan lawan jenis tentang gigi saya
Pemberian skor pada aspek sosial dilakukan dengan memberi skor 0 untuk
jawaban “tidak” dan skor 1 untuk jawaban “ya”. Kemudian dilakukan penjumlahan
skor dari butir pernyataan nomor 7-14. Nilai maksimum adalah 8 dan nilai minimum
(41)
skor ≥50% (atau ≥4) termasuk dalam kategori “berdampak”, sedangkan bila jumlah skor <50% (atau <4) termasuk dalam kategori “tidak berdampak”.
c) Aspek psikososial: perasaan rendah diri dan tidak bahagia pada saat individu membandingkan diri sendiri dengan orang lain yang lebih baik estetika giginya.
Pernyataan-pernyataan yang termasuk dalam aspek psikososial ada 6 butir pernyataan, yaitu:
1. Saya iri dengan orang lain yang memiliki penampilan gigi yang baik 2. Saya tertekan ketika melihat gigi orang lain
3. Kadang-kadang saya merasa tidak senang dengan penampilan gigi saya
4. Kebanyakan orang yang saya kenal mempunyai gigi yang lebih baik daripada gigi saya
5. Saya merasa jelek ketika saya berpikir tentang penampilan gigi saya 6. Saya berharap gigi saya terlihat lebih baik
Pemberian skor pada aspek psikososial dilakukan dengan memberi skor 0
untuk jawaban “tidak” dan skor 1 untuk jawaban “ya”. Kemudian dilakukan
penjumlahan skor dari butir pernyataan nomor 15-20. Nilai maksimum adalah 6 dan
nilai minimum dalah 0. Pengkategorian dampak menggunakan skala Guttman,
dimana bila jumlah skor ≥50% (atau ≥3) termasuk dalam kategori “berdampak”, sedangkan bila jumlah skor <50% (atau <3) termasuk dalam kategori “tidak berdampak”.
d) Pertimbangan estetis: perasaan tidak puas dengan keadaan gigi-geligi saat melihat gigi geligi sendiri dengan cermin, foto ataupun video.
Pernyataan-pernyataan yang termasuk dalam aspek pertimbangan estetis ada 3 butir pernyataan, yaitu:
1. Saya tidak suka melihat gigi saya di depan cermin 2. Saya tidak suka melihat gigi saya di foto
3. Saya tidak suka melihat gigi saya pada waktu melihat video saya sendiri Pemberian skor pada aspek pertimbangan estetis dilakukan dengan memberi
(42)
penjumlahan skor dari butir pernyataan nomor 21-23. Nilai maksimum adalah 3 dan
nilai minimum dalah 0. Pengkategorian dampak menggunakan skala Guttman,
dimana bila jumlah skor ≥50% (atau ≥2) termasuk dalam kategori “berdampak”,
sedangkan bila jumlah skor <50% (atau <2) termasuk dalam kategori “tidak
berdampak”.
Untuk pengkategorian dampak psikososial secara keseluruhan juga digunakan
skala Guttman, dimana penjumlahan skor seluruh pernyataan (23 butir penyataan)
apabila ≥50% (atau ≥12) termasuk kedalam kategori “berdampak” dan apabila <50%
(atau <12) dimasukkan dalam kategori “tidak berdampak”.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pemeriksaan terhadap maloklusi dan wawancara dengan alat bantu kuisioner PIDAQ untuk mengetahui dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial.
3.6 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data penelitian ini dilakukan secara komputerisasi dan analisis
data yang digunakan adalah uji T tidak berpasangan (Independent T-Test) untuk
melihat perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial (indeks PIDAQ) berdasarkan sekolah dan jenis kelamin.
3.7 Etika Penelitian
1. Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Peneliti melakukan pendekatan dan memberikan lembar persetujuan kepada responden kemudian menjelaskan terlebih dulu tujuan penelitian, pemeriksaan yang akan dilakukan, dan manfaat yang diperoleh dari hal-hal yang berkaitan dengan penelitian.
(43)
2. Ethical Clearance
Peneliti mengajukan lembar persetujuan pelaksanaan penelitian kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun nasional.
(44)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Karakteristik Responden
Hasil penelitian pada kedua sekolah (SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari) menunjukkan bahwa dari 91 orang responden yang memenuhi kriteria inklusi, secara keseluruhan responden perempuan lebih banyak (57,1%) daripada responden laki-laki (42,9%), yaitu 63% di SMA Global Prima Nasional Plus dan 51,1% di SMA Pangeran Antasari (Tabel 1).
Tabel 1. Karakteristik responden SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari
Nama Sekolah
Jenis Kelamin
n
Laki-laki Perempuan
n % n %
SMA Global Prima Nasional Plus 17 37 29 63 46
SMA Pangeran Antasari 22 48,9 23 51,1 45
Total 39 42,9 52 57,1 91
4.2 Jenis Maloklusi Anterior
Jenis maloklusi yang paling banyak dijumpai adalah crowded 44%, diikuti
diastema 27,5%, protrusi 16,5% dan protrusi bimaksiler 12%. Ditinjau dari kedua sekolah, jenis maloklusi anterior yang paling banyak dialami siswa SMA Global
Prima Nasional Plus adalah crowded sebesar 34,8%, begitu pula dengan siswa SMA
(45)
Tabel 2. Persentase jenis maloklusi anterior yang dijumpai pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91)
Nama Sekolah
Jenis Maloklusi Anterior
n
Protrusi Crowded Diastema Protrusi
Bimaksiler
n % n % n % n %
SMA Global Prima Nasional
Plus
10 21,7 16 34,8 13 28,3 7 15,2 46
SMA Pangeran
Antasari 5 11,1 24 53,3 12 26,7 4 8,9 45
Total 15 16,5 40 44 25 27,5 11 12 91
4.3 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Kepercayaan Diri terhadap Gigi Geligi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernyataan paling banyak dijawab oleh responden dari aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi di SMA Global Prima
Nasional Plus adalah pernyataan “orang-orang mengatakan gigi saya menarik”, di
mana sebanyak 76,1% responden menjawab tidak. Begitu pula di SMA Pangeran Antasari sebanyak 71,1% responden menjawab tidak untuk pernyataan tersebut (Tabel 3).
Dampak maloklusi terhadap aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi antara kedua sekolah terlihat lebih berdampak di SMA Global Prima Nasional Plus (71,7%) daripada di SMA Pangeran Antasari (46,7%) (Tabel 4). Jenis maloklusi anterior yang paling berdampak dari aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi di SMA Global Prima Nasional Plus adalah protrusi bimaksiler, yaitu sebesar 100%, diikuti dengan crowded sebesar 81,3%, protrusi 70% dan diastema sebesar 46,2%. Sedangkan pada SMA Pangeran Antasari, yang paling berdampak adalah protrusi yaitu sebesar 80%, diikuti crowded sebesar 50%, diastema 33,3% dan protrusi bimaksiler sebesar 25%.
(46)
Tabel 3. Status psikososial ditinjau dari aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91)
Pernyataan
Aspek kepercayaan diri terhadap gigi geligi
SMA Global Prima Nasional Plus
SMA Pangeran Antasari
Ya Tidak Ya Tidak
n % n % n % n %
Saya bangga dengan gigi saya 20 43,5 26 56,5 37 82,2 8 17,8
Saya tidak malu memperlihatkan gigi saya pada waktu saya tersenyum
28 60,9 18 39,1 34 75,6 11 24,4 Saya senang melihat gigi-gigi saya
pada waktu bercermin 14 30,4 32 69,6 32 71,1 13 28,9
Orang-orang mengatakan gigi saya
menarik 11 23,9 35 76,1 13 28,9 32 71,1
Saya puas dengan penampilan gigi
saya 17 37 29 63 25 55,6 20 44,4
Saya merasa posisi gigi saya baik 16 34,8 30 65,2 19 42,2 26 57,8
Tabel 4. Dampak maloklusi anterior terhadap kepercayaan diri terhadap gigi geligi pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari
Jenis Maloklusi
Anterior
Aspek Kepercayaan diri terhadap gigi geligi SMA Global Prima Nasional
Plus SMA Pangeran Antasari
Berdampak Tidak
berdampak n Berdampak
Tidak
berdampak n
n % n % n % n %
Protrusi 7 70 3 30 10 4 80 1 20 5
Crowded 13 81,3 3 18,8 16 12 50 12 50 24
Diastema 6 46,2 7 53,8 13 4 33,3 8 66,7 12
Protrusi
bimaksiler 7 100 0 0 7 1 25 3 75 4
(47)
4.4 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Aspek Sosial
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernyataan yang paling banyak dijawab
oleh responden dari aspek sosial adalah “Kadang-kadang saya berpikir orang-orang
melihat gigi saya”, di mana sebanyak 50% responden di SMA Global Prima Nasional
Plus dan 55,6% responden di SMA Pangeran Antasari menjawab ya (Tabel 5).
Tabel 5. Status psikososial ditinjau dari aspek sosial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91)
Pernyataan
Aspek sosial SMA Global Prima
Nasional Plus
SMA Pangeran Antasari
Ya Tidak Ya Tidak
n % n % n % n %
Saya menahan diri ketika saya tersenyum agar gigi-gigi saya tidak terlalu terlihat
20 43,5 26 56,5 13 28,9 32 71,1
Pada beberapa orang yang tidak terlalu saya kenal dengan baik, kadang-kadang saya khawatir tentang apa yang mereka pikirkan terhadap gigi saya
17 37 29 63 21 46,7 24 53,3
Saya takut orang lain membuat
julukan yang menghina gigi saya 17 37 29 63 13 28,9 32 71,1
Saya agak malu bergaul karena gigi
saya 3 6,5 43 93,5 4 8,9 41 91,1
Kadang-kadang saya menutup mulut dengan tangan untuk menyembunyikan gigi-gigi saya
17 37 29 63 15 33,3 30 66,7
Kadang-kadang saya berpikir
orang-orang melihat gigi saya 23 50 23 50 25 55,6 20 44,4
Saya merasa jengkel bila orang-orang mengejek gigi saya walaupun maksud mereka hanya bercanda
19 41,3 27 58,7 18 40 27 60
Kadang-kadang saya merasa khawatir terhadap apa yang
dipikirkan lawan jenis tentang gigi saya
(48)
Dampak maloklusi terhadap aspek sosial ditinjau dari kedua sekolah menunjukkan bahwa di SMA Global Prima Nasional Plus sedikit lebih berdampak (41,3%) daripada di SMA Pangeran Antasari (40%) (Tabel 6). Jenis maloklusi anterior yang paling berdampak dari aspek sosial di SMA Global Prima Nasional Plus adalah protrusi bimaksiler sebesar 71,4%, diikuti dengan diastema sebesar 46,2%, protrusi 40% dan crowded sebesar 25%. Sedangkan pada SMA Pangeran Antasari, yang paling berdampak adalah protrusi yaitu sebesar 60%, diikuti protrusi bimaksiler sebesar 50%, lalu diastema 41,7% dan crowded sebesar 33,3%.
Tabel 6. Dampak maloklusi anterior terhadap aspek sosial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari
Jenis Maloklusi
Anterior
Aspek Sosial SMA Global Prima Nasional
Plus SMA Pangeran Antasari
Berdampak Tidak
berdampak n Berdampak
Tidak
berdampak n
n % n % n % n %
Protrusi 4 40 6 60 10 3 60 2 40 5
Crowded 4 25 12 75 16 8 33,3 16 66,7 24
Diastema 6 46,2 7 53,8 13 5 41,7 7 58,3 12
Protrusi
bimaksiler 5 71,4 2 28,6 7 2 50 2 50 4
Total 19 41,3 27 58,7 46 18 40 27 60 45
4.5 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Aspek Psikososial
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernyataan yang paling banyak dijawab
oleh responden dari aspek psikososial adalah “Saya berharap gigi saya terlihat lebih
baik”, dimana sebanyak 87% responden dari SMA Global Prima Nasional Plus dan 86,7% responden dari SMA Pangeran Antasari menjawab ya atas pernyataan ini (Tabel 7).
(49)
Tabel 7. Status psikososial ditinjau dari aspek psikososial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91)
Pernyataan
Aspek psikososial SMA Global Prima
Nasional Plus
SMA Pangeran Antasari
Ya Tidak Ya Tidak
n % n % n % n %
Saya iri dengan orang lain yang memiliki penampilan gigi yang baik
27 58,7 19 41,3 26 57,8 19 42,2
Saya tertekan ketika melihat gigi
orang lain 10 21,7 36 78,3 5 11,1 40 88,9
Kadang-kadang saya merasa tidak senang dengan penampilan gigi saya
25 54,3 21 45,7 15 33,3 30 66,7
Kebanyakan orang yang saya kenal mempunyai gigi yang lebih baik daripada gigi saya
27 58,7 19 41,3 31 68,9 14 31,1
Saya merasa jelek ketika saya berpikir tentang penampilan gigi saya
15 32,6 31 67,4 16 35,6 29 64,4
Saya berharap gigi saya terlihat
lebih baik 40 87 6 13 39 86,7 6 13,3
Dampak maloklusi terhadap aspek psikososial SMA Global Prima Nasional Plus (56,5%) sedikit lebih berdampak dibandingkan SMA Pangeran Antasari (55,6%) (Tabel 8), dimana jenis maloklusi anterior yang paling berdampak dari aspek psikososial di SMA Global Prima Nasional Plus adalah protrusi bimaksiler sebesar
85,7%, diikuti dengan protrusi sebesar 60%, diastema 53,8% dan crowded sebesar
43,8%. Sedangkan pada SMA Pangeran Antasari, yang paling berdampak adalah protrusi yaitu sebesar 80%, diikuti protrusi bimaksiler sebesar 75%, lalu diastema
(50)
Tabel 8. Dampak maloklusi anterior terhadap aspek psikososial pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari
Jenis Maloklusi
Anterior
Aspek Psikososial SMA Global Prima Nasional
Plus SMA Pangeran Antasari
Berdampak Tidak
berdampak n Berdampak
Tidak
berdampak n
n % n % n % n %
Protrusi 6 60 4 40 10 4 80 1 20 5
Crowded 7 43,8 9 56,3 16 11 45,8 13 54,2 24
Diastema 7 53,8 6 46,2 13 7 58,3 5 41,7 12
Protrusi
bimaksiler 6 85,7 1 14,3 7 3 75 1 25 4
Total 26 56,5 20 43,5 46 25 55,6 20 44,4 45
4.6 Dampak Maloklusi Anterior terhadap Aspek Pertimbangan Estetis Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernyataan yang paling banyak dijawab oleh responden dari aspek pertimbangan estetis di SMA Global Prima Nasional Plus
adalah pernyataan “Saya tidak suka melihat gigi saya pada waktu melihat video saya
sendiri” dengan responden yang menjawab “ya” sebanyak 47,8%, sedangkan
pernyataan yang paling berdampak di SMA PAngeran Antasari adalah pernyataan
“Saya tidak suka melihat gigi saya di depan cermin” dan “Saya tidak suka melihat
gigi saya di foto” yang keduanya dijawab ya oleh 40% responden (Tabel 9).
Dampak maloklusi terhadap status psikososial dari aspek pertimbangan estetis menunjukkan di SMA Global Prima Nasional Plus (43,5%) sedikit lebih berdampak daripada di SMA Pangeran Antasari (37,8%) (Tabel 10). Jenis maloklusi anterior
yang paling berdampak dari aspek ini adalah crowded 50%, diikuti diastema 46,2%,
protrusi 40% dan protrusi bimaksiler 28,6% di SMA Global Prima Nasional Plus, sedangkan pada SMA Pangeran Antasari, yang paling berdampak adalah protrusi
(51)
Tabel 9. Status psikososial ditinjau dari aspek pertimbangan estetis pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=91)
Pernyataan
Aspek Pertimbangan Estetis SMA Global Prima
Nasional Plus
SMA Pangeran Antasari
Ya Tidak Ya Tidak
n % n % n % n %
Saya tidak suka melihat gigi
saya di depan cermin 19 41,3 27 58,7 18 40 27 60
Saya tidak suka melihat gigi
saya di foto 19 41,3 27 58,7 18 40 27 60
Saya tidak suka melihat gigi saya pada waktu melihat video saya sendiri
22 47,8 24 52,2 15 33,3 30 66,7
Tabel 10. Dampak maloklusi anterior terhadap aspek pertimbangan estetis pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari
Jenis Maloklusi
Anterior
Aspek Pertimbangan Estetis SMA Global Prima Nasional
Plus SMA Pangeran Antasari
Berdampak Tidak
berdampak n Berdampak
Tidak
berdampak n
n % n % n % n %
Protrusi 4 40 6 60 10 4 80 1 20 5
Crowded 8 50 8 50 16 7 29,2 17 70,8 24
Diastema 6 46,2 7 53,8 13 7 58,3 5 41,7 12
Protrusi
bimaksiler 2 28,6 5 71,4 7 1 25 3 75 4
Total 20 43,5 26 56,5 46 17 37,8 28 62,2 45
4.7 Perbedaan Dampak Maloklusi Anterior Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 11 menunjukkan tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial yang signifikan antara siswa laki-laki dan perempuan di
(52)
Tabel 11. Analisis dampak maloklusi anterior berdasarkan jenis kelamin antarsiswa SMA Global Prima Nasional Plus (n=19)
Jenis kelamin
Jumlah siswa yang mengalami dampak
maloklusi anterior
Skor rerata dampak maloklusi anterior ± SD
Hasil analisis
n %
Laki-laki 5 26,32 17,20 ± 3,271 ρ
= 0,308
Perempuan 14 73,68 17,14 ± 2,381
Tabel 12 menunjukkan tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial yang signifikan antara siswa laki-laki dan perempuan di
SMA Pangeran Antasari dengan nilai ρ=0,401.
Tabel 12. Analisis dampak maloklusi anterior berdasarkan jenis kelamin antarsiswa SMA Pangeran Antasari (n=18)
Jenis kelamin
Jumlah siswa yang mengalami dampak
maloklusi anterior
Skor rerata dampak maloklusi anterior ± SD
Hasil analisis
n %
Laki-laki 7 38,89 14,14 ± 3,078
ρ = 0,401
Perempuan 11 61,1 14,55 ± 2,464
Tabel 13 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dampak yang signifikan
(53)
Tabel 13. Analisis dampak maloklusi anterior berdasarkan jenis kelamin antara siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari (n=37)
Jenis kelamin
Jumlah siswa yang mengalami dampak
maloklusi anterior
Skor rerata dampak maloklusi anterior ± SD
Hasil analisis
n %
Laki-laki 12 32,4 15,42 ± 3,39 ρ
= 0,289
Perempuan 25 67,6 16 ± 2,70
4.8 Perbedaan Dampak Maloklusi Anterior Berdasarkan Sekolah pada siswa SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari
Hasil analisis dampak maloklusi anterior antara siswa laki-laki SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari, tidak ditemukan adanya perbedaan
dampak yang signifikan, dengan nilai ρ = 0,833 (Tabel 14).
Tabel 14. Analisis dampak maloklusi anterior antara siswa laki-laki di sekolah SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA Pangeran Antasari (n=12)
Nama sekolah
Jumlah siswa yang mengalami dampak
maloklusi
Skor Rerata dampak maloklusi
anterior ± SD
Hasil analisis
n %
SMA Global Prima
Nasional Plus 5 41,67 17,20 ± 3,271 ρ
= 0,833 SMA Pangeran
Antasari 7 58,33 14,14 ± 3,078
Hasil analisis dampak maloklusi anterior antara siswa perempuan SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari, tidak ditemukan adanya
(54)
Tabel 15. Analisis dampak maloklusi anterior antara siswa perempuan di sekolah SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA Pangeran Antasari (n=25)
Nama sekolah
Jumlah siswa yang mengalami dampak
maloklusi
Skor Rerata dampak maloklusi
anterior ± SD
Hasil analisis
n %
SMA Global Prima
Nasional Plus 14 56 17,14 ± 2,381 ρ
= 0,849 SMA Pangeran
Antasari 11 44 14,55 ± 2,464
Pada Tabel 16 terlihat tidak ada perbedaan dampak maloklusi anterior terhadap status psikososial yang signifikan antara siswa SMA Global Prima Nasional
Plus dengan SMA Pangeran Antasari, dengan nilai ρ=0,898.
Tabel 16. Analisis dampak maloklusi anterior antara siswa sekolah SMA Global Prima Nasional Plus dengan SMA Pangeran Antasari (n=37)
Nama sekolah
Jumlah siswa yang mengalami dampak
maloklusi
Skor Rerata dampak maloklusi
anterior ± SD
Hasil analisis
n %
SMA Global Prima
Nasional Plus 19 51,4 17,16 ± 2,54 ρ
= 0,898 SMA Pangeran
(55)
BAB 5 PEMBAHASAN
Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa maloklusi yang paling banyak
dialami oleh siswa adalah crowded, yaitu sebesar 44%, dimana pada kedua sekolah,
crowded merupakan jenis maloklusi anterior yang paling banyak dialami oleh siswa. (Tabel 2). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Dewi pada tahun 2007 yang memperoleh hasil bahwa jenis maloklusi terbanyak
adalah gigi berjejal pada segmen anterior bawah (41,89%) dan rahang atas (30,75%).4
Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya faktor penyebab terjadinya maloklusi, yaitu evolusi, keturunan, maupun faktor lingkungan. Menurut Hooten, gigi berjejal merupakan akibat dari evolusi ukuran tengkorak wajah yang semakin mengecil, tanpa disertai oleh penyusutan ukuran gigi. Menurut Brash, gigi berjejal merupakan hasil dari perkawinan antar ras yang terus terjadi. Selain itu, menurut Brash, faktor lingkungan seperti diet makanan lunak mengakibatkan berkurangnya stimulasi otot, yang kemudian mempengaruhi pertumbuhan tulang wajah. Kemudian, menurut Barber, gigi berjejal diakibatkan oleh aktivitas otot yang abnormal, erupsi gigi yang tidak normal, migrasi ke mesial dari gigi-geligi serta berkurangnya panjang lengkung
gigi karena karies.12
Hasil penelitian dampak maloklusi terhadap kepercayaan diri terhadap gigi geligi (Tabel 3 dan 4) menunjukkan bahwa terdapat dampak antara maloklusi anterior terhadap kepercayaan diri terhadap gigi geligi siswa SMA Global Prima Nasional Plus (71,7%), dimana dari seluruh maloklusi anterior yang diperiksa, 100% responden yang mengalami maloklusi protrusi bimaksiler merasakan dampak dari aspek kepercayaan diri ini, sedangkan maloklusi anterior tidak berdampak terhadap siswa SMA Pangeran Antasari (46,7%). Hal ini dikarenakan estetika wajah menjadi
perhatian utama penderita maloklusi ini. Protrusi bimaksiler sering terlihat pada
populasi orang asia. Ciri klinis protrusi bimaksiler adalah menurunnya sudut nasolabial akibat proklinasi anterior dari maksila, semakin dangkalnya sulkus
(56)
mentolabial akibat proklinasi anterior mandibula, bibir menjadi inkompeten dan
profil wajah konveks.20 Hal ini mirip dengan hasil penelitian Arsie yang menyatakan
bahwa dampak maloklusi gigi anterior terhadap aspek rasa percaya diri berpengaruh pada remaja dengan karakteristik gigi anterior atas berjejal, diikuti dengan gigi
anterior atas protrusi, kemudian gigi anterior atas bercelah.12 Penelitian Khan dan
Fida juga menunjukkan bahwa aspek yang paling berdampak signifikan adalah aspek
kepercayaan terhadap diri sendiri.19
Penelitian mengenai dampak maloklusi anterior terhadap aspek sosial ternyata tidak berdampak, karena hanya sekitar 41,3% responden SMA Global Prima Nasional Plus dan 40% responden SMA Pangeran Antasari yang merasa terganggu aspek sosialnya (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Arsie, dimana ia juga tidak menemukan adanya dampak maloklusi anterior terhadap
aspek sosial.12 Hal ini mungkin disebabkan karena dalam sosialisasi di lingkungan
siswa-siswi SMA Global Prima Nasional Plus dan SMA Pangeran Antasari tidak terlalu memperhatikan kondisi gigi-geligi dalam bersosialisasi. Selain itu juga disebabkan karena sebagian besar dari mereka merasa kondisi gigi-geligi yang bukan menjadi penghalang dalam sosialisasi. Meskipun demikian, ada dari antara siswa-siswi tersebut yang sering diolok-olok karena gigi yang protrusi. Selain itu, pada beberapa subjek dengan gigi bercelah juga pernah dikomentari oleh teman karena gigi
berjarak. Ejekan yang dialami oleh remaja dalam penelitian ini serupa dengan yang
dilaporkan dalam penelitian Kilpelainen, yang menemukan hampir setengah dari
remaja dengan jarak gigit yang besar mengalami ejekan karena kondisi ini. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan dengan melihat adanya kenyataan bahwa maloklusi
dengan karakteristik gigi anterior atas protrusi ataupun bercelah berdampak negatif
terhadap kehidupan sosial sehingga penatalaksanaan pasien remaja dengan kondisi
gigi anterior protrusi perlumendapatkan prioritas serta perhatian yang khusus. Hal ini
disebabkan karenamaloklusi yang berdampak negatif terhadap kehidupan sosial dari
remaja, akan membentuk persepsi diri negatif, yang nantinya dapat mempengaruhi
(1)
2. Pengukuran Status Psikososial dengan Indeks PIDAQ A. Petunjuk
Bacalah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan teliti. Jawablah setiap pertanyaan dengan memberi tanda centang (V) pada satu kolom jawaban yang tepat menurut adik-adik. Jawablah dengan jujur sesuai dengan keadaan adik-adik sehari-hari dan tidak boleh ada yang dikosongkan.
B. Kuisioner PIDAQ
a. Kepercayaan Diri terhadap Gigi Geligi
No Pernyataan Ya Tidak
1 Saya bangga dengan gigi saya 7
2 Saya tidak malu memperlihatkan gigi pada waktu saya
tersenyum 8
3 Saya senang melihat gigi-gigi saya pada waktu bercermin 9
4 Orang-orang mengatakan gigi saya menarik 10
5 Saya puas dengan penampilan gigi saya 11
6 Saya merasa posisi gigi saya baik 12
* Definisi Operasional untuk Kepercayaan Diri terhadap Gigi Geligi
Jawaban Skor Keterangan
Ya 0 Sesuai dengan keadaan diri saya Tidak 1 Tidak sesuai dengan keadaan diri saya
KETERANGAN
a. Berdampak Bila jawaban “Tidak” ≥ 3 b. Tidak Berdampak Bila jawaban “Tidak” < 3
13
b. Dampak Sosial
No Pernyataan Ya Tidak
7 Saya menahan diri ketika saya tersenyum agar gigi-gigi saya
tidak terlalu terlihat. 14
8 Pada beberapa orang yang tidak terlalu saya kenal dengan
(2)
pikirkan terhadap gigi saya.
9 Saya takut orang lain membuat julukan yang menghina gigi
saya. 16
10 Saya agak malu untuk bergaul karena gigi saya. 17 11 Kadang-kadang saya menutup mulut dengan tangan untuk
menyembunyikan gigi-gigi saya 18
12 Kadang-kadang saya berpikir orang-orang melihat gigi saya. 19 13 Saya merasa jengkel bila orang-orang menghina gigi saya
walaupun maksud mereka hanya bercanda. 20
14 Kadang-kadang saya merasa khawatir terhadap apa yang
dipikirkan lawan jenis tentang gigi saya. 21
* Definisi Operasional untuk Dampak Sosial, Dampak Psikososial dan Pertimbangan Estetis
Jawaban Skor Keterangan
Ya 1 Sesuai dengan keadaan diri saya Tidak 0 Tidak sesuai dengan keadaan diri saya
KETERANGAN
a. Berdampak Bila jawaban “Ya” ≥ 4 b. Tidak Berdampak Bila jawaban “Ya” < 4
22
c. Dampak Psikososial
No Pernyataan Ya Tidak
15 Saya iri dengan orang lain yang memiliki penampilan gigi
yang baik. 23
16 Saya agak tertekan ketika melihat gigi orang lain. 24 17 Kadang-kadang saya merasa tidak senang dengan
penampilan gigi saya. 25
18 Saya pikir, kebanyakan orang yang saya kenal mempunyai
gigi yang lebih baik daripada gigi saya. 26
19 Saya merasa jelek ketika saya berpikir tentang penampilan
gigi saya. 27
20 Saya berharap gigi saya terlihat lebih baik. 28 29
(3)
KETERANGAN
a. Berdampak Bila jawaban “Ya” ≥ 3 b. Tidak Berdampak Bila jawaban “Ya” < 3 d. Pertimbangan Estetis
No Pernyataan Ya Tidak
21 Saya tidak suka melihat gigi saya di depan cermin. 30
22 Saya tidak suka melihat gigi saya di foto. 31
23 Saya tidak suka melihat gigi saya pada waktu melihat video
saya sendiri. 32
KETERANGAN
a. Berdampak Bila jawaban “Ya” ≥2 b. Tidak Berdampak Bila jawaban “Ya” ˂2
33
KATEGORI DAMPAK PSIKOSOSIAL
Berdampak Bila jumlah skor “1” seluruh jawaban ≥ 12
34 Tidak Berdampak Bila jumlah skor “1” seluruh jawaban ˂ 12
(4)
Lampiran 2
Surat Persetujuan Komisi Etik tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan
(5)
Lampiran 3
(6)
Lampiran 4