Kajian Teknologi Proses Pengolahan Beras Pratanak (Parboiling Rice) pada Gabah Varietas Situ Bagendit

(1)

2

STUDY OF PROCESSING TECHNOLOGY OF

PARBOILING RICE

ON SITU BAGENDIT VARIETY GRAIN

Spetriani and Rokhani Hasbullah

Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO Box 16680, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone 62 857 17229038, e-mail : spetriani_sl@yahoo.com

ABSTRACT

The processing of parboiling rice is the process of provision of water and steam heat of grain before the dried and milled grain. The purpose of proceedings parboiling rice is to avoid the loss of nutrient and damage of rice. Several factors can affect the quality of the parboiling rice is the process of grain, old varieties, long soaking, temperature and long steaming, and drying. The purpose of this research is (1) examine the uniformity of grain temperature distribution during the steaming process. (2) examine the influence of long steaming for physical quality of parboiled rice. (3) examine the influence of the nutritional value of old rice steaming process of parboiling rice, and (4) determine the Standard Operational Procedur (SOP) parboiling rice processing process. Processing begins with the cleaning of grain ripening and then soaking the grain in water-60 oC 5 for 4 hours. Once soaked, grain steamed with a temperature of 80 °C for 20 minutes and 30 minutes. Grain and then dried to moisture content 14%. Grains which have been dried and then milled and conducted observation of parboiled rice quality. The treatment of steaming duration has no significantly to the yield milling but significant effect for milling of parboiled rice milling quality. Proximate test results show no effect against old steaming ash content, fat, protein and carbohydrates from parboiled rice. Organoleptik-test that is performed on rice cooking process before it shows that the results of the study process parboiling rice is acceptable to the panelists .Treatment process of parboiling rice on this research led to an increase in yield, ash content, fat, protein, and carbohydrates. The quality of milled parboiling rice based on the standard process of SNI is the quality of the process before the Process V. Parboiling rice processing suggested is by soaking grains at a temperature of 60 °C 5 for 4 hours followed by the steaming at temperature of 80 °C for 20 minutes.


(2)

I.

PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Beras merupakan makanan pokok hampir di seluruh wilayah Indonesia bahkan termasuk makanan pokok terpenting warga dunia. Hasil olahan beras berupa nasi dimakan oleh sebagian besar penduduk Asia sebagai sumber karbohidrat utama dalam menu sehari-hari. Kebiasaan umum yang melekat pada masyarakat Indonesia bahwa aktivitas makan itu adalah “makan nasi” menjadikan beras ini mempunyai peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Sebutan beras sendiri dikhususkan untuk padi yang telah melewati beberapa proses dalam penanganan pascapanen.

Makin pesatnya pertambahan penduduk Indonesia, tuntutan pemenuhan jumlah (kuantitas) produksi beras juga terus meningkat. Disisi lain, dengan makin tingginya tingkat pendidikan masyarakat serta dengan mudahnya penyebaran informasi seiring kemajuan teknologi, juga secara bertahap mengubah pola konsumsi dan cara pandang masyarakat terhadap mutu (kualitas) pangan yang dikonsumsi. Perbaikan daya beli masyarakat yang diharapkan meningkat setelah Indonesia keluar dari krisis ekonomi akan menggeser peta permintaan ke arah beras bermutu tinggi (Hasbullah dan Bantacut 2006).

Menurut data dari Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian yang ditunjukkan pada Tabel 1, jumlah produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) setiap tahunnya meningkat. Peningkatan jumlah produksi ini sudah semestinya diikuti dengan peningkatan hasil pengolahan gabah berupa beras.

Tabel 1.Produksi padi Indonesia tahun 2003-2009 (dalam ton)

Tahun Pulau Jawa Luar Jawa Indonesia

2003 28.167.484 23.970.604 52.137.604

2004 29.635.840 24.452.628 54.088.468

2005 29.764.392 24.386.705 54.151.097

2006 29.960.638 24.494.299 54.454.937

2007 30.466.339 26.691.096 57.157.435

2008 32.346.997 27.978.928 60.325.925

2009 33.469.237 29.091.909 62.561.146

Sumber: Ditjen Tanaman Pangan (2011)

Peningkatan produksi beras tidak hanya terbatas pada peningkatan produksi prapanen, tetapi dilakukan pula peningkatan produksi beras melalui perbaikan pada perlakuan pascapanen. Secara umum penanganan pascapanen padi yang dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut: pengangkutan, perontokan, pengeringan, penggilingan dan penyimpanan. Setiap tahap penanganan pascapanen mempunyai pengaruh penting terhadap rendemen dan mutu beras yang dihasilkan terutama terhadap kandungan nutrisi beras.

Menurut Patiwiri (2006) meskipun penggilingan adalah proses fisik, penggilingan juga berpengaruh terhadap kandungan nutrisi beras. Hal ini disebabkan oleh adanya pengelepasan dan


(3)

2 pengikisan bagian-bagian butiran gabah/beras selama proses penggilingan yang menyebabkan sebagian nutrisi akan terbuang. Karbohidrat terakumulasi di dalam endosperm yang merupakan bagian terbesar dari butiran beras. Protein paling banyak terdapat dalam lembaga, pericarp, dan lapisan aleuron. Pada lapisan endosperm juga terdapat protein, namun makin jauh masuk ke dalam pusat endosperm kandungannya semakin menurun. Vitamin dan lemak juga terakumulasi terutama pada lapisan pericarp dan lapisan aleuron.

Berdasarkan penyebaran tersebut maka dapat dipahami bahwa protein, lemak dan vitamin akan banyak terbuang pada saat penggilingan, terutama pada saat penyosohan yang mengikis lapisan bekatul. Dengan kata lain kandungan ketiganya akan menurun pada beras sosoh jika dibandingkan dengan beras pecah kulit. Beras yang memiliki cita rasa yang disukai, seperti beras sosoh belum tentu bermutu gizi lebih baik dibandingkan dengan beras yang bercita rasa kurang enak. Sebaliknya karbohidrat terkikis paling sedikit selama penyosohan karena berada pada endosperm yang letaknya paling dalam. Dengan demikian, porsinya terhadap massa keseluruhan beras akan meningkat jika dibandingkan dengan porsinya pada beras pecah kulit (Patiwiri 2006). Agar kandungan nutrisi pada beras tidak terbuang maka perlu perbaikan cara pengolahan gabah diantaranya menggunakan teknologi beras pratanak (parboiling rice). Tahapan proses pengolahan beras pratanak meliputi pembersihan, perendaman, pengukusan, pengeringan dan penggilingan.

Menurut Sumardi (1977) dalam Burhanudin (1981), pengolahan gabah dengan cara pratanak dapat meningkatkan rendemen beras giling maupun rendemen beras kepala. Selain itu, mutu beras pratanak memiliki beberapa kelebihan antara lain memiliki kandungan indeks glikemik (IG) dan lemak yang rendah serta vitamin B yang tinggi. Beras pratanak dapat dijadikan makanan diet bagi penderita diabetes melitus. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu beras pratanak adalah varietas gabah, lama perendaman, suhu dan lama pengukusan, dan pengeringan. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih mendalam untuk mendapatkan kondisi proses pengolahan beras pratanak yang dapat meningkatkan rendemen dan mutu beras pratanak.

B.

TUJUAN

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengkaji keseragaman distribusi suhu gabah selama proses pengukusan. (2) Mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap mutu fisik beras pratanak. (3) Mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap nilai gizi beras pratanak.


(4)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

GABAH

1.

Struktur Gabah

Padi merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Klasifikasi ilmiah tanaman padi yang menjadi bahan baku beras adalah sebagai berikut.

Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Ordo : Poales

Famili : Poaceae atau Graminae Genus : Oryza

Spesies : O. Sativa

Ciri-ciri umum tanaman padi ini adalah termasuk dalam terna semusim yang berakar serabut, batang sangat pendek, struktur serupa batang terbentuk dari rangkaian pelepah daun yang saling menopang. Padi saat ini tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara cukup hangat (Anonim 2011). Tanaman padi dapat tumbuh pada daerah bersuhu tinggi dan mendapatkan sinar matahari yang yang lama. Temperatur rata-rata yang dibutuhkan yaitu sekitar 20-37.8 oC (Grist 1975).

Gabah adalah bulir padi. Biasanya mengacu pada bulir padi yang telah dipisahkan dari tangkainya (jerami). Asal kata "gabah" dari bahasa Jawa gabah. Dalam perdagangan komoditas, gabah merupakan tahap yang penting dalam pengolahan padi sebelum dikonsumsi karena perdagangan padi dalam partai besar dilakukan dalam bentuk gabah. Terdapat definisi teknis perdagangan untuk gabah, yaitu hasil tanaman padi yang telah dipisahkan dari tangkainya dengan cara perontokan (Anonim 2011). Pada Gambar 1 berikut ditunjukkan bagian- bagian penyusun pada struktur gabah.


(5)

4 Butir padi atau gabah terdiri atas satu bagian yang dapat dimakan, disebut caryopsis, dan satu bagian lagi yang merupakan suatu struktur kulitnya yang disebut sekam. Bagian kulitnya merupakan 18-28 % dari berat butir gabah pada tingkat kadar air 13% berat basah. Buah padi adalah caryopsis yang di dalamnya terdapat biji tunggal yang bersatu dengan dinding evary (pericarp) matang, membentuk butiran biji. Caryopsis disebut “brown rice” sebab warna pericarpnya kecoklatan (Tjiptadi

dan Nasution 1985).

Secara umum, struktur gabah terbagi dalam beberapa bagian yaitu hull atau daun sekam, pericarp, tegmen atau testa, aleuron, embrio atau germ, dan endosperm (Anonim 2011). Lapisan pembungkus endosperm dinamakan kulit ari. Testa dan lapisan aleuron disebut lapisan dalam, sedangkan pericarp disebut lapisan luar. Lapisan-lapisan kulit ari ini hanya dapat dilihat secara mikroskopis. Warna kulit ari ini dari putih sampai kehitam-hitaman. Penghilangan sebagian atau keseluruhan lapisan ini akan menentukan derajat sosoh. Endosperm hampir seluruhnya terdiri dari sel-sel pati, membentuk biji yang dapat dimakan (Grist 1975).

2.

Varietas Gabah

Tanaman padi adalah tanaman yang mempunyai varietas sampai ribuan jumlahnya, lebih dari 90% tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Asia Timur, tersebar di negara-negara beriklim subtropis. Dari kelompok spesies padi yang telah dibudidayakan terdapat kelompok utama yaitu Oryza sativa

yang berasal dari Asia dan Oryza globerima yang berasal dari Afrika Barat (Winarno 1984).

Subspesies padi yang ditanam di dunia secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga subspesies, yaitu japonica (tipe A), javanica (tipe B), dan indica (tipe C). Pengelompokkan ini didasarkan pada bentuk gabah baik dari panjang maupun lebarnya (Patiwiri 2006). Kini di dunia lebih banyak dikenal dua varietas padi Oryza sativa yaitu japonica dan indica (Winarno 1984). Selain bentuknya, varietas padi atau gabah biasa juga diklasifikasikan berdasarkan panjang butiran serta rasio antara panjang/lebar butiran. Klasifikasi butiran gabah ini dilakukan oleh Brandon (1981) di Amerika Serikat, seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengelompokan butiran gabah menurut USDA

Tipe Butiran Panjang Butiran Rasio Panjang/ Lebar

Butir Pendek <5.5 mm <2.1

Butir Sedang 5.5-6.6 mm 2.1-3.0

Butir Panjang >6.6 mm >3.1

Sumber: Patiwiri (2006)

Varietas-varietas padi yang ditanam di Indonesia termasuk dalam subspesies indica. Rasio panjang-lebar paling rendah 2.0 ditunjukkan oleh PB 36 dengan panjang butiran sekitar 6.4 mm, sedangkan rasio panjang-lebar yang tinggi ditunjukkan oleh varietas rojolele dan semeru sebesar 2.9 dengan panjang butiran 6.5-7.5 mm (Patiwiri 2006). Terdapat berbagai macam varietas padi yang dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah varietas Situ Bagendit atau Bagendit. Deskripsi varietas tersebut seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3 di bawah ini.


(6)

5 Tabel 3. Deskripsi varietas padi Situ Bagendit

Nomor seleksi : S4325D-1-2-3-1

Asal persilangan : Batur/2*S2823-7D-8-1-A

Golongan : Cere

Umur tanaman : 110-120 hari Bentuk tanaman : Tegak Tinggi tanaman : 99-105 cm Anakan produktif : 12-13 batang

Warna kaki : Hijau

Warna batang : Hijau

Warna telinga daun : Tidak berwarna Warna lidah daun : Tidak berwarna

Warna daun : Hijau

Muka daun : Kasar

Posisi daun : Tegak

Daun bendera : Tegak

Bentuk gabah : Panjang ramping Warna gabah : Kuning bersih

Kerontokan : Sedang

Kerebahan : Sedang

Tekstur nasi : Pulen

Kadar amilosa : 22%

Bobot 1000 butir : 27.5 g

Rata-rata hasil : 4.0 t/ha pada lahan kering 5.0 t/ha pada lahan sawah Potensi hasil : 6.0 t/ha

Ketahanan terhadap hama penyakit :

 Tahan terhadap blas

 Agak tahan hawar daun bakteri strain III dan IV Anjuran tanam : Cocok ditanam di lahan kering maupun di lahan sawah Pemulia : Z.A. Simanulang, Aan A. Daradjat, Ismail BP, dan N. Yunani Dilepas tahun : 2003


(7)

6

B.

SIFAT FISIK DAN KIMIA BERAS

Sifat-sifat fisik beras antara lain suhu gelatinisasi, konsistensi gel, penyerapan air, kepulenan, kelengketan, kelunakan, dan kilap nasi (Damardjati dan Purwani 1991 diacu dalam Argasasmita 2008). Menurut winarno (1992) suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut suhu gelatinisasinya, yaitu suhu rendah (55-69 oC) sedang (70-74 oC) dan tinggi (>74 oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap lama pemasakan. Beras yang mempunyai suhu gelatinisasi tinggi membutuhkan waktu pemasakan lebih lama daripada beras yang mempunyai suhu gelatinisasi rendah.

Beras sebagai bahan pangan disusun oleh pati, protein, dan unsur lain seperti lemak, serat kasar, mineral, vitamin, dan air. Analisis komponen kimia beras dan fraksi gilingnya menunjukkan bahwa distribusi penyusunannya tidak merata. Lapisan terluar beras kaya akan komponen non pati seperti protein, lemak, serat, abu, pentosa, dan lignin, sedangkan bagian endosperm kaya akan pati (Juliano 1972). Komposisi kimia beras berbeda-beda dan hal ini tergantung kepada varietas padi dan cara pengolahan yang dilakukan seperti pada Tabel 4 dibawah ini.

Tabel 4. Kandungan gizi dan kalori beras pecah kulit dan beras putih serta kehilangan selama penggilingan

Komposisi Beras pecah kulit Beras putih Kehilangan selama penggilingan (%)

Kadar air (%) 14.0 14.0 10.0

Kalori (Kcal/100g) 352.0 354.0 10.0

Kadar protein (%) 8.3 7.1 23

Kadar lemak (%) 1.9 0.5 76

Kadar serat (%) 0.7 0.4 49

Kadar abu (%) 1.1 0.6 51

Total karbohidrat (%) 74.9 77.8 6

Thiamin (mg/100g) 0.29 0.10 69

Riboflavin (mg/100g) 0.07 0.05 36

Niacin (mg/100g) 3.9 2.9 47

Ca (mg/100g) 9 8 20

P (mg/100g) 183 104 49

Zat besi (mg/100g) 1.6 1.2 32

Sumber: Juliano (1976)

Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi 3 golongan yaitu kandungan amilosa rendah (<20 %), menengah (20-25%) dan tinggi (>26 %). Beras di Indonesia pada umumnya termasuk ke dalam golongan menengah (Juliano 1976 ). Antara tekstur nasi dan kadar amilosa terdapat hubungan yang nyata. Beras dengan kadar amilosa rendah akan menghasilkan nasi yang pulen, lekat, empuk, enak dan mengkilat. Beras beramilosa sedang akan menghasilkan nasi yang msih bersifat empuk walaupun dibiarkan beberapa jam. Sedangkan beras yang beramilosa tinggi , nasinya keras (pera) dan berderai (Juliano 1976; Tjiptadi dan Nasution 1985).

Komponen yang terutama pada beras adalah pati. Hampir 90 % beras terdiri dari zat pati. Zat pati yang tertinggi terdapat pada bagian endosperm, makin ke tengah kandungan patinya makin besar


(8)

7 sedangkan makin keluar kandungan patinya makin menipis, tetapi kandungan bukan pati makin meninggi (Juliano 1972) dalam Tabel 4 terlihat bahwa kandungan pati pada beras pecah kulit lebih sedikit daripada beras putih, tetapi komponen bukan patinya lebih tinggi. Sifat fisik dan kimia dari beras ini menjadi indikator terhadap berbagai macam mutu beras.

C.

MUTU BERAS

Standar merupakan unsur penunjang pembangunan pertanian yang memiliki peranan penting dalam upaya untuk meningkatkan optimalisasi pendayagunaan sumberdaya dan keseluruhan kegiatan pembangunan pertanian. Penetapan kelayakan suatu bahan atau produk untuk digunakan terutama dalam bidang pangan biasa disebut dengan standar mutu. Biasanya dalam penentuan standar mutu ini terdapat berbagai syarat dan ketentuan spesifikasi teknis yang harus dipenuhi oleh bahan atau produk tersebut. Standar mutu yang digunakan di Indonesia mengacu kepada SNI (Standar Nasional Indonesia). Dalam bidang pertanian pemutuan bahan dan produk pertanian seperti mutu gabah dan mutu beras sangat penting.

Secara umum , mutu beras dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok, yaitu (i) mutu giling (ii) mutu rasa dan mutu tanak (iii) mutu gizi dan (iv) standar spesifik untuk penampakan dan kemurnian biji (misalnya besar dan bentuk beras, kebeningan (transluency), dan beras chalky). Sedangkan dalam program pemuliaan padi, komponen mutu beras dapat dikelompokkan atas (i) rendemen giling (ii) penampakan (iii) bentuk dan ukuran biji dan (iv) sifat-sifat tanak dan rasa nasi (Damardjati dan Purwani, 1991).

Pemutuan beras yang didasarkan pada aturan SNI 01-6128 : 2008 membagi beras dalam 5 kelas mutu yaitu mutu I, II, III, IV dan V. Syarat umum beras adalah (a) bebas hama dan penyakit (b) bebas bau apek, asam, atau bau asing lainnya (c) bebas dari campuran dedak dan bekatul (d) bebas dari bahan kimia yang membahayakan konsumen. Sedangkan untuk persyaratan khusus didasarkan pada komponen mutu seperti yang tercantum dalam Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Spesifikasi persyaratan mutu beras menurut SNI 01-6128 : 2008

No Komponen mutu Satuan Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V

1 Derajat sosoh (min) (%) 100 100 95 95 85

2 Kadar air (maks) (%) 14 14 14 14 15

3 Butir kepala (min) (%) 95 89 78 73 60

4 Butir patah (maks) (%) 5 10 20 25 35

5 Butir menir (maks) (%) 0 1 2 2 5

6 Butir merah (maks) (%) 0 1 2 3 3

7 Butir kuning/rusak (maks)


(9)

8 Tabel 5. Spesifikasi persyaratan mutu beras menurut SNI 01-6128 : 2008 (lanjutan)

No Komponen mutu Satuan Mutu I Mutu II Mutu III Mutu IV Mutu V 8 Butir mengapur

(maks)

(%) 0 1 2 3 5

9 Benda asing (maks) (%) 0 0.02 0.02 0.05 0.20

10 Butir gabah (maks) (butir/ 100g) 0 1 1 2 3

Sumber: BSN (2011)

Berbagai macam perlakuan telah dilakukan terhadap gabah agar dapat menghasilkan beras yang bermutu tinggi. Penanganan pascapanen yang tepat mengenai cara pemanenan, perontokan, pengeringan dan penggilingan pada akhirnya bertujuan yang sama yaitu untuk memperoleh beras bermutu. Penggunaan teknologi juga sangat membantu, khususnya dalam peningkatan rendemen beras. Salah satu teknologi yang dapat diaplikasikan pada penggilingan padi ialah pengolahan beras secara pratanak.

D.

BERAS PRATANAK

Beras pratanak atau yang biasa disebut parboiling rice adalah proses perendaman padi dalam air dingin dan kemudian ke dalam air panas (atau dalam uap pada tekanan rendah) yang mungkin berasal dari India sekitar 2000 tahun yang lalu (Grist 1975) atau proses pemberian air dan uap panas terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan (Haryadi 2006) dan digiling (Tjiptadi dan Nasution 1985). Tujuan dari pratanak adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai gizi maupun rendemen yang dihasilkan. Kelebihan lain dari proses pratanak menurut Hasbullah (2011) berarti juga melakukan proses sterilisasi gabah setelah dipanen, yang mungkin mengandung kotoran dan telur serangga yang terinvestasi di dalamnya.

Pada zaman dahulu proses ini dilakukan guna mendapatkan kondisi gabah yang lebih mudah dikupas sekamnya. Sedangkan perubahan sifat lainnya pada hasil akhir dianggap merupakan suatu penyimpangan yang tidak berarti. Setelah penggilingan secara mekanis dikembangkan, maka proses

parboiling ini bukannya tetap statis, tetapi berkembang di dalam aspek ekonomi, nutrisi dan praktisnya dalam rangka memodifikasi hasil berasnya (Tjiptadi dan Nasution 1985).

Kandungan gizi beras pratanak mencapai 80% mirip dengan beras tanpa sosoh (brown rice). Menurut Nurhaeni (1980), peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang mengakibatkan sedikitnya bekatul dan nutrien yang hilang. Nutrisi yang terkandung dalam beras pratanak, utamanya seperti tiamin meningkat sehingga menyebabkan beras pratanak ini memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi dibandingkan beras biasa.

Studi pratanak dimulai dengan adanya isu-isu dari dunia kesehatan, bahwa orang yang makan nasi dari beras pratanak terhindar dari penyakit beri-beri. Penyakit tersebut disebabkan oleh kekurangan vitamin B1 atau thiamine (Tjiptadi dan Nasution 1985). Selain itu, para penderita diabetes melitus (DM) sering kali menahan diri untuk mengkonsumsi nasi karena beras dianggap mempunyai kandungan IG yang tinggi. Namun dengan adanya beras pratanak ini penderita DM dapat dengan


(10)

9 nyaman mengkonsumsi nasi sebab beras pratanak juga disinyalir memiliki nilai indeks glikemik (IG) yang rendah.

Konsep IG pertama kali dikembangkan tahun 1981 oleh David Jenkins, seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu menentukan pangan yang tepat untuk penderita DM. Pada masa itu, diet bagi penderita DM didasarkan pada porsi karbohidrat, pada kuantitas yang sama, menghasilkan pengaruh yang sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan 2006). Karbohidrat dalam pangan yang dicerna dan diserap dengan cepat selama pencernaan akan memiliki IG yang tinggi. Dengan kata lain, glukosa dalam aliran darah akan meningkat dengan cepat setelah mengkonsumsi pangan tersebut. Sebaliknya karbohidrat yang dicerna dan diserap dengan lambat akan melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat pula sehingga memiliki IG yang rendah ( slow-release carbohydrate). Indeks glikemik yang rendah dapat mengendalikan kadar glukosa dalam darah, sedangkan serat pangan yang tinggi akan memperlambat laju pengosongan lambung. Oleh karena itu, orang yang mengonsumsi nasi dari beras pratanak akan merasa kenyang lebih lama atau tidak cepat lapar (Widowati 2008).

Sebenarnya anjuran untuk mengkonsumsi makanan dengan IG yang rendah ini juga ditujukan kepada masyarakat umum, jadi tidak hanya untuk penderita diabetes. Badan Kesehatan Dunia WHO bersama dengan FAO menganjurkan konsumsi makanan dengan IG rendah untuk mencegah penyakit-penyakit degeneratif yang terkait dengan pola makan seperti penyakit-penyakit jantung, diabetes, dan obesitas. Perlu diketahui jenis-jenis makanan yang memiliki IG lebih dari 55 dikategorikan IG tinggi sementara yang kurang dari itu dikategorikan IG rendah. Pada Tabel 6 di bawah ini ditunjukkan kandungan zat gizi dan juga nilai IG beberapa jenis pangan yang menjadi sumber karbohidrat.

Tabel 6. Kandungan zat gizi dan indeks glikemik sumber karbohidrat (per 300 kkal)

Sumber Karbohidrat Berat (gram) Protein (%) KH (%) IG

Nasi Pera 182 3.6 71 79

Nasi Pulen 182 3.6 71 95

Sagu Ambon 309 0.6 74 102

Nasi Ketan 156 5.8 68 85

Nasi Gaplek 205 1.3 73 94

Singkong Kukus 205 2.5 71 94

Sumber : Soetrisno dan Apriyantono (2005)

Nasi seperti juga kentang dan roti tawar secara umum dikenal sebagai pangan dengan IG tinggi. Meskipun demikian banyak penelitian yang menunjukkan bahwa varietas dan jenis pengolahan yang berbeda ternyata dapat memberikan IG yang berbeda. Nilai IG beras dan produk olahannya dibandingkan dengan glukosa bervariasi antara 38-92. Ada juga yang melaporkan antara 36-128. Beberapa hasil penelitian menunjukkan nasi parboiled dan basmati cenderung mempunyai IG yang lebih rendah (intermediate), khususnya apabila tidak dimasak secara berlebihan (overcooked) (Rimbawan 2006). Nilai IG beras pratanak sendiri berkisar antara 44.22-76.32, nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai IG beras giling biasa yang berkisar antara 54.43-97.29 (Widowati et al. 2009).

Walaupun beras pratanak lebih disukai oleh beberapa konsumen karena kelebihannya, beras pratanak juga memiliki kelemahan diantaranya dedak yang melekat sangat sulit dihilangkan, membutuhkan biaya pengolahan yang lebih banyak, lebih mudah menjadi tengik, membutuhkan


(11)

10 waktu yang cukup lama dalam memasak nasi pratanak (Wimberly 1983). Namun demikian, mengingat semakin tingginya kesadaran masyarakat akan kesehatan, pencegahan gizi buruk serta mahalnya harga obat-obatan, maka mengkonsumsi beras pratanak merupakan salah satu pilihan yang tepat. Dengan semakin meningkatnya permintaan terhadap beras sehat maka peluang memproduksi beras pratanak akan terbuka lebar, khususnya untuk para petani dan industri penggilingan padi di Indonesia. Oleh karena itu, pengembangan teknologi proses pengolahan beras pratanak ini sangat dibutuhkan, terutama untuk menghasilkan beras yang bermutu tinggi.

E.

TEKNOLOGI PENGOLAHAN BERAS PRATANAK

Dalam suatu sistem klasik terdapat tiga tahap proses beras pratanak yaitu: perendaman (steeping in water), pengukusan (steaming), dan pengeringan (drying). Pemakaian air dan panas mengakibatkan terjadinya modifikasi sifat fisik, kimia, fisiko-kimia, biokimia, estetika dam organoleptik (Tjiptadi dan Nasution 1985). Sedangkan menurut Ali dan Ojha (1976) prinsip dasar dari proses pratanak padi adalah pembersihan (cleaning), perendaman (soaking), pengukusan (steaming) dan pengeringan (drying). Selain keempat tahap tersebut, penggilingan (milling) juga tahap yang sangat penting dalam menghasilkan beras pratanak.

1.

Pembersihan (

cleaning

)

Gabah yang akan diproses pratanak terlebih dahulu dibersihkan dari kotoran-kotoran dan benda asing seperti batu dan gabah hampa. Cara lama pembersihan gabah dilakukan dengan pengapungan. Hal ini dimaksudkan untuk memisahkan gabah hampa, daun, dan benda lain yang ringan dari tumpukan gabah. Jika teknologi grading gabah memadai dapat digunakan alat pemisah kotoran kecil, ringan dan berat berupa aspirator ataupun sieving.

2.

Perendaman (

soaking

)

Proses perendaman atau soaking bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang inter cellular dari sel-sel pati endosperm dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati sendiri sampai pada tingkat tertentu, sehingga cukup untuk proses gelatinisasi. Selama perendaman, gabah harus benar-benar terendam air. Perendaman umumnya dilakukan dengan dua cara, yaitu perendaman dengan air bersuhu ruang dan perendaman dengan air panas. Periode perendaman tergantung kepada suhu air yang digunakan. Semakin tinggi suhu air tersebut maka waktu perendaman semakin singkat. Padi atau gabah yang direndam pada suhu lingkungan (20-30 oC) membutuhkan waktu selama 36 hingga 48 jam agar gabah dapat mencapai kadar air 30%. Pada perendaman yang dilakukan dengan air panas bersuhu sekitar 60-65 oC hanya membutuhkan waktu selama 2 hingga 4 jam perendaman (Wimberly 1983).

3.

Pengukusan (

steaming

)

Setelah mengalami perendaman dalam jangka waktu tertentu, gabah tersebut diberi uap panas atau steaming. Steaming ini ditujukan untuk melunakkan struktur sel pati endosperm sehingga tekstur granula pati dari endosperm menjadi seperti pasta akibat proses gelatinisasi. Gelatinisasi total merupakan tujuan utama dari proses pratanak sehingga memberikan hasil yang jernih. Alat pengukusan yang digunakan dapat berupa ketel, tangki metal tanpa ataupun yang dilengkapi dengan


(12)

11 Bahan bakar untuk tungku steam ini menggunakan biomassa berupa serbuk gergaji atau sekam hasil samping penggilingan padi.

Menurut Wimberly (1983), pemberian uap panas ini juga mempunyai beberapa kelebihan diantaranya panas yang tinggi dapat diaplikasikan pada suhu yang konstan, relatif mudah ditangani, pengendalian suhu gabah yang mudah, dapat dihentikan secara cepat, dan mempunyai tingkat pindah panas yang tinggi dibanding media lain (seperti halnya air panas). Pada umumnya steam jenuh yang digunakan untuk pengukusan mempunyai tekanan antara 1-5 kg/cm2 atau pada suhu sekitar 100-150

o

C. Pengukusan pada tangki yang kecil membutuhkan waktu 2- 3 menit dan pada tangki yang besar dapat memakan waktu selama 20-30 menit.

4.

Pengeringan (

drying

)

Pengeringan dalam proses pratanak sedikit berbeda dengan pengeringan untuk padi biasa atau tanpa proses pratanak. Hal ini disebabkan karena padi pratanak mempunyai suhu yang lebih tinggi (bisa mencapai 100 oC), mengandung kadar air yang tinggi (dapat mencapai 45 %), tekstur butir yang berbeda akibat pemanasan yang intensif dan steril akibat pemanasan yang dilakukan terutama pada saat steaming (Ruiten 1979 diacu dalam Burhanudin 1981). Pengeringan gabah hasil pratanak dilakukan hingga mencapai kadar air GKG (Gabah Kering Giling) yaitu 14%. Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan energi matahari secara langsung (sun drying) ataupun menggunakan alat pengering yang telah ada.

Pengeringan terhadap padi yang telah direndam dan dikukus harus dilakukan dengan segera untuk menghindari pertumbuhan jamur dan terjadinya fermentasi. Pengeringan ini merupakan tahap akhir dalam pengolahan padi secara pratanak (parboiling rice). Penundaan pengeringan yang dilakukan terhadap padi pratanak akan mengakibatkan proses gelatinisasi terus berlangsung serta akan mengakibatkan butir padi menjadi berwarna gelap akibat terlalu lama dibiarkan di udara terbuka. Penundaan pengeringan juga akan mengakibatkan pertumbuhan jamur dan kapang. Walaupun gabah tersebut telah steril akan tetapi kadar air gabah yang tinggi tersebut sangat sesuai bagi perkembangan mikroorganisme tersebut.

5.

Penggilingan (

milling

)

Tahap akhir untuk menghasilkan beras pratanak adalah penggilingan (milling). Patiwiri (2006) menerangkan bahwa proses penggilingan padi diawali dengan pembersihan awal untuk membersihkan gabah dari kotoran-kotoran hingga gabah menjadi bersih. Selanjutnya gabah bersih mengalami proses pemecahan kulit sehingga sekam yang berbobot sekitar 20% dari bobot awal gabah akan terlepas dari butiran gabah dan menghasilkan beras pecah kulit. Jika butir gabah tidak ditemukan pada beras pecah kulit, maka proses pemecahan kulit dikatakan sempurna. Beras pecah kulit hasil penggilingan masih berwarna coklat kusam sehingga perlu proses penyosohan guna memisahkan bekatul dan untuk mendapatkan warna beras yang mengkilap. Setelah penyosohan selesai maka hasil akhir penggilingan yang berupa beras telah siap untuk menjadi bahan pangan dan dikonsumsi.


(13)

12

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A.

WAKTU DAN TEMPAT

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2011. Penelitian dilaksanakan di laboratorium LBP (Lingkungan dan Bangunan Pertanian) dan di laboratorium Leuwikopo, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

B.

BAHAN DAN ALAT

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah gabah dengan varietas Situ Bagendit serta air bersih untuk perendaman gabah. Gabah diperoleh dari petani di wilayah Dramaga, Bogor. Peralatan yang digunakan adalah unit pengolahan beras pratanak (drum perendaman gabah, tangki pengukusan gabah, dan steam boiler) hybrid recorder, termokopel, grain moisture tester, timbangan analitik, rice grader/cylinder separator, baki penampung, dan beberapa peralatan bantu lainnya. Peralatan utama yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.

(a) (b)

Gambar 2. Unit pengolahan beras pratanak : drum perendaman (a) tangki pengukusan dan steam boiler (b)

C.

METODE PENELITIAN

1.

Prosedur Penelitian

Sejumlah gabah yang telah dibersihkan direndam dalam air bersuhu 60oC ± 5 selama 4 jam. Perendaman ini bertujuan untuk mencapai kadar air gabah hingga 30%. Kemudian gabah tersebut dibagi ke dalam 2 bagian dan diberikan perlakuan pemanasan dengan suhu yang sama yaitu 80oC, namun dalam lama waktu pemanasan yang berbeda, masing-masing selama t1= 20 menit, t2= 30 menit, serta terdapat t0 (tanpa proses pratanak) yang dijadikan kontrol. Terdapat 2 kali pengulangan


(14)

13 untuk masing-masing perlakuan ini. Pada saat pengukusan berlangsung, penyebaran suhu gabah diukur untuk masing-masing perlakuan. Letak titik pengukuran suhu saat pengukusan dapat dilihat pada gambar 3. Setelah proses pemanasan atau pemberian uap panas selesai, selanjutnya dilakukan pengeringan terhadap gabah hingga mencapai kadar air Gabah Kering Giling (GKP) yakni 14%. Gabah yang telah kering kemudian digiling dan dilakukan pengamatan mutu. Pengamatan mutu beras meliputi mutu fisik yaitu rendemen giling dan mutu giling, mutu gizi yaitu analisa proksimat terhadap beras pratanak hasil dari penggilingan gabah tersebut, serta organoleptik terhadap beras pratanak. Diagram alir prosedur penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4.

1 2 3 4

5 6 7 8

9 10 11 12

Gambar 3. Layout letak titik pengukuran suhu saat pengukusan Pembagian titik pengukuran untuk keduabelas titik tersebut adalah sebagai berikut : a. Suhu gabah bagian atas (Tha) terdiri dari nomor 1, 2, 3, dan 4

b. Suhu gabah bagian tengah (Tht) terdiri dari nomor 5, 6, 7, dan 8 c. Suhu gabah bagian bawah (Thb) terdiri dari nomor 9, 10, 11, dan 12 d. Suhu gabah bagian dalam (Tvi) terdiri dari nomor 2, 3, 6, 7, 10, dan 11 e. Suhu gabah bagian luar (Tvo) terdiri dari nomor 1, 4, 5, 8, 9, dan 12

2.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga buah perlakuan dan setiap perlakuan diberi ulangan sebanyak 2 kali. Rumus rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij= μ+τi+εij

Keterangan :

i = t0, t1 dan t2 (perlakuan) j = 1,2 (ulangan)

Yij = hasil pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = rataan umum

τi = pengaruh perlakuan ke-i = μi− μ


(15)

14 Gambar 4. Diagram alir prosedur penelitian

Gabah (varietas Bagendit)

Pembersihan (precleaning)

Perendaman (steeping in water) Suhu 60 oC ± 5 selama 4 jam

Pemberian uap panas (steaming) Suhu 80 oC

Pengeringan (drying) hingga mencapai kadar air ±14%

Penggilingan (milling) Gabah Kering Giling t = 20 menit

kontrol

t = 30 menit

Pengamatan mutu beras : Rendemen kadar air, mutu giling, kadar abu, lemak, protein, dan karbohidrat

Organoleptik : warna, aroma dan penerimaan umum Beras pratanak


(16)

15

3.

Analisis Parameter Mutu

a.

Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono 1992)

Pengukuran rendemen beras pratanak dihitung berdasarkan perbandingan berat beras pratanak yang dihasilkan (b kg) terhadap berat awal gabah yang digunakan (a kg) rendemen dihitung dengan rumus:

Rendemen = (b/a) x 100 %

b.

Mutu giling (SNI 01-6128 : 2008)

Penentuan derajat sosoh dilakukan pada beras contoh analisis sebanyak 100 gram secara visual dengan indra penglihatan menggunakan pertolongan kaca pembesar yang dibandingkan dengan contoh beras standar yang mempunyai derajat sosoh 100%, 90%, dan 80%.

Sampel beras giling dan beras pratanak ditimbang sebanyak 100 gram (berat awal) dengan 3 kali ulangan. Sampel dipisahkan menjadi beras kepala (>2/3), beras patah (1/3-2/3) dan beras menir (<1/3) dengan menggunakan alat rice grader. Bobot dari masing-masing beras kepala, beras patah dan beras menir tersebut selanjutnya ditimbang. Mutu giling beras pratanak ditentukan dengan rumus sebagai berikut.

Beras kepala (%) = (>2/3) 100 % Beras patah (%) = ℎ (

1 3−2/3)

100 % Beras menir (%) = � (<1/3) 100 %

Penentuan butir merah dilakukan dengan menimbang 100 gram beras (B) sampel analisis, kemudian dipisahkan secara visual menggunakan pinset dan kaca pembesar. Bobot butir merah ditimbang dan ditentukan dengan rumus:

Butir merah (%) = � ℎ

( ) 100 %

Penentuan butir kuning/rusak dilakukan dengan menimbang 100 gram beras (B) sampel analisis, kemudian dipisahkan secara visual menggunakan pinset dan kaca pembesar. Bobot butir kuning/rusak ditimbang dan ditentukan dengan rumus:

Butir kuning/rusak (%) = � � �/

( ) 100 %

Penentuan butir kapur dilakukan dengan menimbang 100 gram beras (B) sampel analisis, kemudian dipisahkan secara visual menggunakan pinset dan kaca pembesar. Bobot butir mengapur ditimbang dan ditentukan dengan rumus:

Butir kapur (%) = � �

( ) 100 %

Penentuan adanya benda asing dilakukan dengan menimbang 100 gram beras (B) sampel analisis, kemudian dipisahkan secara visual menggunakan pinset dan kaca pembesar. Bobot benda asing ditimbang dan ditentukan dengan rumus:

Kadar benda asing (%) = � �

( ) 100 %

Penentuan adanya butir gabah dilakukan dengan menimbang 100 gram beras (B) sampel analisis, kemudian dipisahkan secara visual menggunakan pinset dan kaca pembesar. Bobot butir gabah ditimbang dan ditentukan dengan rumus:

Kadar butir gabah (%) = � � ℎ


(17)

16

c.

Kadar Air, Metode Oven (AOAC 1995)

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (a gram). Sampel ditimbang sebanyak 2 gram lalu dimasukkan dalam cawan (b gram) dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110 oC selama 3 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dipanaskan lagi di dalam oven sampai tercapai berat konstan (c gram). Kadar air dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut.

Kadar air (%) = − ( − )

( − ) 100 %

d.

Kadar Abu, Metode Pengabuan Kering (AOAC 1995)

Ditimbang sampel sebanyak 2 gram (a gram), dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya (b gram), kemudian diabukan dalam tanur pengabuan pada suhu 450-550 oC selama 2 jam atau sampai semua sampel telah menjadi abu, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (c gram).

Kadar abu (%bb) = −

( − ) 100 %

Kadar abu (%bk) = (% )

100− � 100 %

e.

Kadar Lemak , Metode Soxhlet (AOAC 1995)

Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100-110 oC, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang berisi pelarut heksana.

Reflux dilakukan selama 5 jam, kemudian pelarut yang ada didalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100 oC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang. Kadar lemak ditentukan dengan rumus sebagai berikut.

Kadar lemak (%bb) = ℎ� − 100 %

Kadar lemak (%bk) = (% )

100− � 100 %

f.

Kadar Protein, Metode Mikro Kjeldahl (AOAC 1995)

Sampel ditimbang sebanyak 0.2 gram, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 ml lalu ditambahkan 2 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.5 ml H2SO4 pekat, setelah itu didestruksi selama

30 menit sampai warna cairan berwarna hijau jernih, dibiarkan sampai dingin, lalu ditambahkan 35 ml air suling dan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman, kemudian didistilasi. Hasil destruksi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi H3BO3 dan indikator, lalu dititrasi dengan

HCl 0.02 N, larutan blangko dianalisis seperti sampel. Kadar nitrogen dihitung berdasarkan rumus: Kadar nitrogren (%) = � −� � �� 14.0007

� ℎ 100 %


(18)

17 Kadar lemak (% bk) = � � (% )

100− � 100 %

g.

Kadar Karbohidrat

by difference

(Winarno 1992)

Kadar karbohidrat dihitung menggunakan metode by difference yaitu dengan menggunakan rumus:

Kadar karbohidrat (%bk) = 100-%bk (abu+ lemak + protein)

h.

Organoleptik

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik. Uji hedonik dilakukan dengan menggunakan panelis tidak terlatih dari mahasiswa dan pegawai dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap beras pratanak yang diuji. Uji organoleptik dilakukan terhadap warna, aroma dan penampakan secara umum. Pengujian menggunakan skala 1-7, skala 1 untuk sangat tidak suka dan skala 7 untuk sangat suka.


(19)

18

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PROSES PENGOLAHAN BERAS PRATANAK

Gabah yang diperoleh dari petani masih bercampur dengan jerami kering, gabah hampa dan kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan. Oleh karena itu pengolahan beras pratanak dimulai dengan pembersihan gabah menggunakan precleaner. Alat ini berfungsi untuk memisahkan gabah dari kotoran serta gabah hampa. Setelah dibersihkan, berat keseluruhan gabah mengalami penyusutan hingga 5%.

Gabah yang telah bersih disiapkan untuk proses perendaman. Gabah ditimbang dan dimasukkan ke dalam karung dengan tujuan untuk mempermudah saat gabah dimasukkan dan dikeluarkan dari drum perendaman. Kadar air awal gabah sebelum direndam berkisar antara 13-15%. Suhu air dalam drum dipertahankan berkisar antara 60-70 oC dengan cara menambahkan air panas jika suhu terukur mengalami penurunan. Perendaman gabah dengan suhu berkisar antara 60-70 oC dimaksudkan untuk meningkatkan kadar air gabah hingga mencapai sekitar 30% basis basah. Menurut Ali dan Ojha (1976) pada kadar air tersebut proses gelatinisasi pati dalam gabah dapat berlangsung. Namun demikian, pada saat perendaman dihentikan kadar air yang terukur hanya berkisar antara 24-26%. Hal ini kemungkinan terjadi karena penggunaan karung yang dapat memperlambat peresapan air ke dalam gabah sehingga dalam waktu 4 jam perendaman belum cukup untuk meningkatkan kadar air 30%.

Selama pengukusan, suhu steam yang digunakan mengalami perkembangan. Setelah gabah dipindahkan ke dalam tangki pengukusan, suhu steam dalam tangki pengukusan yang pada awalnya telah disiapkan berkisar antara 80 oC hingga 90 oC mengalami penurunan kemudian dengan perlahan meningkat hingga mencapai hampir 100 oC. Pada Gambar 5 dan Gambar 6 ditunjukkan profil suhu gabah saat pengukusan 20 menit. Gambar 5 menjelaskan penyebaran suhu yang diambil secara horizontal. Suhu gabah bagian atas (Tha) terlihat lebih rendah dibanding suhu bagian tengah (Tht) dan suhu bagian bawah (Thb). Kemungkinan besar hal ini dapat terjadi karena pada saat pengukusan, tangki pengukusan tidak ditutup. Sedangkan suhu pada Tht dan Thb menunjukkan penyebaran suhu yang merata dan sesuai dengan target yaitu mencapai 80 oC.

Gambar 5. Distribusi suhu gabah secara horizontal pada pengukusan 20 menit 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 5 10 15 20 25

S

uh

u

(

oC)

Waktu (menit)

Suhu bagian atas Suhu bagian tengah Suhu bagian bawah


(20)

19 Pada Gambar 6 ditunjukkan penyebaran suhu gabah yang diukur secara vertikal. Suhu yang terukur pada bagian dalam (Tvi) lebih tinggi dibanding dengan suhu bagian luar (Tvo). Hal ini dapat disebabkan Tvi berada lebih dekat dengan pipa pengeluaran uap yang memungkinkan suhu gabah masih sama seperti suhu uap yang dihasilkan. Tidak meratanya distribusi suhu ini dapat menyebabkan ketidakseragaman kualitas beras hasil pratanak.

Gambar 6. Distribusi suhu gabah secara vertikal pada pengukusan 20 menit

Pada Gambar 7 ditunjukkan grafik penyebaran suhu dalam tangki untuk lama pengukusan 30 menit. Sama seperti pada pengukusan 20 menit, karena adanya penghentian suplai steam, suhu steam

pada menit ke-0 masih berkisar antara 40 oC hingga 50 oC dan mengalami peningkatan pada menit selanjutnya. Pada grafik terlihat suhu gabah di bagian tengah (Tht) dapat mencapai suhu pengukusan yang diinginkan yaitu 80 oC. Sedangkan suhu gabah bagian atas (Tha) dan suhu bagian bawah (Thb) masih dibawah 80 oC. Pada bagian atas kemungkinan karena tangki pengukusan tetap terbuka saat pengukusan dan bagian bawah karena telah berada jauh dari sumber steam.

Gambar 7. Distribusi suhu gabah secara horizontal pada pengukusan 30 menit 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 5 10 15 20 25

S uh u ( oC) Waktu (menit) Suhu bagian luar Suhu bagian dalam

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 5 10 15 20 25 30 35

S uh u ( oC) Waktu (menit)

Suhu bagian atas Suhu bagian tengah Suhu bagian bawah


(21)

20 Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 8 menjelaskan profil suhu pada pengukusan 30 menit. Pada grafik terlihat suhu yang terukur pada bagian luar (Tvo) lebih rendah dibanding suhu bagian dalam (Tvi). Sama seperti pada pengukusan 20 menit, hal ini dapat terjadi karena Tvi terletak dekat di pipa pengeluaran uap. Karena alasan ini suhu gabah pada bagian dalam masih relatif sama dengan suhu uap yang dihasilkan dari boiler dan sesuai dengan suhu pengukusan yang diharapkan. Agar penyebaran suhu gabah merata saat pengukusan berlangsung, tangki pengukusan diupayakan tertutup dan dilakukan penambahan pipa saluran steam ke dalam tangki.

Gambar 8. Distribusi suhu gabah secara vertikal pada pengukusan 30 menit

Setelah pengukusan berlangsung dengan lama 20 menit atau 30 menit, proses selanjutnya adalah pengeringan. Pengeringan ditujukan untuk menurunkan kadar air gabah hingga mencapai kadar air GKG yaitu antara 13- 14%. Pada kadar air ini gabah siap untuk digiling atau aman untuk disimpan dalam waktu yang lama. Metode pengeringan yang digunakan pada penelitian ini adalah penjemuran dengan memanfaatkan panas sinar matahari. Penjemuran dilakukan dengan menggunakan alas berupa lantai jemur. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah bercampurnya kotoran, kehilangan butiran gabah, memudahkan pengumpulan gabah dan menghasilkan penyebaran panas yang merata.

Gabah hasil pengeringan yang telah mencapai kadar air GKG tersebut selanjutnya digiling. Penggilingan gabah dilakukan di penggilingan padi milik petani di daerah Situ Gede. Penggilingan merupakan proses untuk mengubah gabah menjadi beras. Penggilingan gabah dimulai dengan pemecahan kulit yang bertujuan untuk melepaskan kulit gabah dengan kerusakan yang sekecil mungkin pada butiran beras. Setelah pemecahan kulit, beras pecah kulit masih berwarna gelap kecoklatan dan tidak bercahaya sehingga dilakukan tahap selanjutnya yaitu penyosohan. Menurut Patiwiri (2006) disamping penampakannya yang kurang menarik, adanya bekatul pada beras juga membuat rasa nasi kurang enak meskipun bekatul memiliki nilai gizi yang tinggi. Proses penggilingan gabah ini mengalami 2 kali pecah kulit dan 2 kali penyosohan. Hal penting yang harus diperhatikan sebelum proses penggilingan adalah kondisi fisik gabah antara ketiga perlakuan harus sama, seperti umur simpan setelah proses pengeringan dan kadar air gabah. Hal ini dimaksudkan agar tidak terdapat perbedaan lain antara gabah yang digiling kecuali beda perlakuan lama pengukusan.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0 5 10 15 20 25 30 35

S

uh

u

(

oC)

Waktu (menit) Suhu bagian luar Suhu bagian dalam


(22)

21

B.

PENGARUH LAMA PENGUKUSAN TERHADAP MUTU FISIK BERAS

PRATANAK

1.

Rendemen Giling

Rendemen giling beras pratanak dihitung berdasarkan perbandingan antara berat beras hasil giling dengan berat awal gabah yang digiling. Hasil perhitungan untuk rendemen giling beras pratanak menunjukkan adanya peningkatan jika dibandingkan dengan kontrol meskipun secara statistik tidak berbeda nyata. Hasil perhitungan rendemen penggilingan dapat dilihat pada Lampiran 4. Besarnya peningkatan rendemen giling berkisar antara 2.76% - 2.94%. Melalui Gambar 9 dapat dilihat bahwa rendemen giling terbesar berdasarkan lama pengukusan adalah beras pratanak dengan pengukusan selama 30 menit. Pada histogram terlihat rendemen giling beras biasa sebesar 66.61%, sedangkan rendemen giling beras pratanak berturut-turut meningkat menjadi 69.37% dan 69.55%. Peningkatan rendemen giling ini disebabkan ikatan sel-sel beras lebih kompak dan kuat akibatnya pada proses penggilingan lebih tahan terhadap gesekan saat pengupasan dan penyosohan (Burhanuddin 1981).

Gambar 9. Rendemen giling beras pratanak

Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen giling beras pratanak. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa lama pengukusan 20 menit tidak berbeda nyata dengan pengukusan selama 30 menit dan kontrol. Analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 13.

2.

Mutu Giling

Menurut aturan SNI 01-6128 : 2008, beras adalah hasil utama yang diperoleh dari proses penggilingan gabah hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) yang seluruh lapisan sekamnya terkelupas dan seluruh atau sebagian lembaga dan lapisan bekatulnya telah dipisahkan. Beras pratanak hasil penelitian ini telah memenuhi persyaratan umum sesuai dengan standar SNI 01-6128 : 2008. Pengamatan yang dilakukan secara visual dan penciuman menerangkan bahwa beras pratanak ini a) bebas hama dan penyakit. b) bebas bau apek, asam, atau bau asing lainnya. c) bebas dari campuran dedak dan bekatul. d) bebas dari bahan kimia yang membahayakan konsumen. Sedangkan pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui tingkat mutu pada persyaratan khusus atau syarat kualitatif beras pratanak dapat dilihat pada Tabel 7.

69.37 69.55

66.61

60 65 70 75 80

R

en

de

m

en

G

il

in

g

(%)

Lama pengukusan 20 menit 30 menit kontrol


(23)

22 Beras pratanak memiliki tingkat derajat sosoh yang rendah. Pemanasan yang lama menyebabkan pigmen sekam yang larut dalam air perendaman menembus endosperm sebagai akibat panas yang diberikan sehingga warna beras berubah menjadi berwarna kekuning-kuningan. Perubahan warna yang terjadi pada beras pratanak disebabkan oleh adanya reaksi beberapa asam amino bebas dengan monosakarida pada proses pratanak, sehingga berpengaruh pada derajat sosoh beras pratanak (Gariboldi 1974). Berdasarkan hasil analisa sidik ragam menyatakan bahwa lama pengukusan berpengaruh terhadap tingkat derajat sosoh beras pratanak. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa beras pratanak dengan pengukusan 20 menit dan 30 menit berbeda nyata dengan beras yang dijadikan kontrol.

Menurut Widowati et al. (2009) kandungan air dalam bahan pangan juga ikut menentukan daya terima, kesegaran dan daya tahan produk. Kadar air yang rendah dapat memperpanjang umur simpan beras. Hal tersebut dikarenakan mikroba sulit tumbuh pada kondisi kering. Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan lama pengukusan tidak mempengaruhi kadar air akhir beras setelah penggilingan. Kadar air dari beras hasil penggilingan dipengaruhi oleh proses pengeringan. Pada pengolahan beras pratanak ini gabah hasil pengukusan dikeringkan dengan metode penjemuran di bawah sinar matahari langsung, begitu juga dengan gabah yang dijadikan kontrol.

Tabel 7. Mutu giling beras pratanak dengan perlakuan lama pengukusan yang berbeda Komponen mutu

Perlakuan (lama pengukusan) 20 menit 30 menit kontrol

Derajat sosoh (%) 85±0 b 85±0 b 95±0 a

Kadar air (%) 13.20±0.49 a 13.53±0.18 a 13.63±1.45 a

Butir kepala (%) 61.67±3.28 b 67.94±1.79 a 71.35±0.82 a Butir patah (%) 34.34±0.56 a 27.94±1.66 b 26.19±0.09 b

Butir menir (%) 3.99±0.05 a 4.12±0.13 a 2.45±0.73 b

Butir merah (%) 0 0 0

Butir kuning/rusak (%) 0.41±0.30 a 0.42±0.02 a 0.44±0.24 a Butir mengapur (%) 0.14±0.03 a 0.26±0.18 a 0.28±0.01 a

Benda asing (%) 0 0 0.02±0.01

Butir gabah (butir/100 g) 0 0 0

Rendemen (%) 69.37±1.03 a 69.55±0.64 a 66.61±2.05 a

Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 16 menunjukkan bahwa perlakuan lama pengukusan memiliki pengaruh terhadap persentase butir kepala beras pratanak. Dengan uji lanjut dapat dilihat bahwa beras pratanak dengan pengukusan 30 menit dan kontrol berbeda nyata dengan beras pratanak pengukusan 20 menit. Pada Tabel 7 terlihat bahwa persentase terbesar butir kepala adalah pada kontrol dengan besar 71.35%, diikuti dengan perlakuan lama pengukusan 30 menit sebesar 67.94% dan terakhir sebesar 61.67% untuk lama pengukusan 20 menit. Namun demikian, berdasarkan mutu SNI 01-6128 : 2008 dengan hasil persentase butir kepala seperti yang telah disebutkan, ketiga perlakuan ini termasuk ke dalam mutu V.


(24)

23 Persentase butir patah paling besar terdapat pada perlakuan lama pengukusan 20 menit yaitu sebesar 34.34%, kemudian diikuti oleh perlakuan lama pengukusan 30 menit sebesar 27.94% dan terakhir perlakuan kontrol sebesar 26.19%. Banyaknya butir patah hasil giling ini disebabkan oleh tidak sempurnanya gelatinisasi pati yang terjadi saat perendaman. Berdasarkan analisis sidik ragam seperti pada Lampiran 17, perlakuan lama pengukusan berpengaruh terhadap persentase butir patah. Dengan uji lanjut dapat dilihat bahwa persentase butir patah pada perlakuan lama pengukusan 20 menit berbeda nyata dengan perlakuan pengukusan 30 menit dan kontrol.

Berdasarkan analisis sidik ragam seperti pada Lampiran 18, perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap persentase butir menir (P>0.05). Dengan uji lanjut dapat dilihat bahwa persentase butir menir pada perlakuan lama pengukusan 20 menit dan 30 menit berbeda nyata dengan persentase butir menir pada perlakuan kontrol. Butir menir tertinggi seperti yang terlihat pada Tabel 7 dimiliki oleh beras pratanak dengan lama pengukusan 30 menit yaitu sebesar 4.12%, kemudian beras pratanak dengan lama pengukusan 20 menit yaitu sebesar 3.99% dan terakhir beras biasa atau kontrol sebanyak 2.45%. Namun, jika dilihat dari butir menir yang dihasilkan maka ketiga perlakuan ini termasuk ke dalam mutu V berdasarkan SNI 01-6128 : 2008.

Pada Tabel 7 terlihat bahwa persentase butir kuning/rusak terbesar berturut-turut adalah pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 0.44%, pengukusan 30 menit sebesar 0.42%. dan pengukusan 20 menit sebesar 0.41%. Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap banyaknya butir kuning/rusak pada beras. Hasil analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 19. Namun, jika dilihat dari butir kuning/rusak yang dihasilkan maka ketiga perlakuan ini termasuk ke dalam mutu II berdasarkan SNI 01-6128 : 2008. Penyebab utama butir kuning/rusak pada beras adalah adanya peragian, pembusukan, atau pertumbuhan jamur karena kurang sempurnanya proses pengeringan gabah setelah panen. Gabah dari hasil panen musim hujan yang tidak sempat segera dikeringkan akan banyak menghasilkan butir kuning (Damardjati dan Purwani 1991).

Persentase butir mengapur untuk ketiga perlakuan berturut-turut adalah 0.28% untuk perlakuan kontrol, 0.26% untuk lama pengukusan 30 menit dan 0.14% untuk lama pengukusan 20 menit. Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 20, ketiga perlakuan yang diujikan tidak berpengaruh nyata terhadap banyaknya butir mengapur pada beras. Menurut Damardjati dan Purwani (1991), butir mengapur dapat berasal dari biji yang masih muda atau karena pertumbuhan yang kurang sempurna. Butir mengapur ini juga dapat disebabkan karena adanya faktor genetik. Adanya butir hijau dan butir mengapur merupakan sifat varietas disamping pengaruh lingkungan dan pengelolaan.

Benda asing yang tidak tergolong beras dan gabah hanya ditemukan pada beras biasa atau perlakuan kontrol, yakni sebesar 0.02%. Sedangkan pada beras pratanak dengan perlakuan pengukusan 20 menit dan 30 menit tidak ditemukan adanya benda asing. Komponen mutu lain seperti butir merah dan butir gabah tidak ditemukan dari beras pratanak hasil percobaan ini.

C.

PENGARUH LAMA PENGUKUSAN TERHADAP KANDUNGAN GIZI

BERAS PRATANAK

Menurut Juliano (1972), lapisan aleuron pada beras banyak mengandung protein, lemak, vitamin dan mineral. Pada pengolahan gabah cara biasa, lapiran aleuron sebagai pembungkus endosperm yang disebut juga kulit ari banyak yang terkelupas akibat penyosohan dan gesekan antara butir-butir beras. Pada pengolahan cara pratanak, kandungan pada lapisan aleuron ini terserap ke dalam endosperm akibat proses gelatinisasi pati. Oleh karena itu, nilai gizi beras pratanak meningkat. Kandungan gizi beras pratanak dapat dilihat pada Tabel 8.


(25)

24 Tabel 8. Pengaruh lama pengukusan terhadap kandungan gizi beras pratanak

Komponen gizi

Perlakuan (lama pengukusan) 20 menit 30 menit Kontrol Kadar abu (% bk) 0.95±0.14 a 0.94±0.00 a 0.62±0.02 b Kadar lemak (% bk) 1.00±0.12 ab 1.44±0.17 a 0.67±0.23 b Kadar protein (% bk) 9.49±0.41 a 10.08±0.56 a 9.35±0.86 a Kadar karbohidrat (% bk) 88.35±0.43 a 89.11±0.95 a 87.97±1.35 a

Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

Pada penelitian ini diperoleh kadar abu dan kadar lemak beras pratanak lebih tinggi dibandingkan dengan beras kontrol, namun lama pengukusan 20 menit dan 30 menit tidak berbeda nyata. Penerapan teknologi pengolahan beras pratanak dapat meningkatkan kadar abu sebesar 0.32%-0.33%. Peningkatan ini terjadi karena selama proses pengolahan beras pratanak mineral-mineral yang terkandung dalam sekam dan bekatul terserap ke dalam beras pratanak. Berdasarkan analisis sidik ragam seperti terlihat pada Lampiran 21, perlakuan lama pengukusan berpengaruh nyata terhadap kandungan abu dalam beras pratanak. Dengan uji lanjut diperoleh adanya perbedaan nyata antara lama pengukusan 20 menit dan 30 menit dengan beras yang dijadikan sebagai kontrol seperti yang tertera pada Tabel 8 di atas.

Menurut Kunze dan Calderwood (2004) dalam Dewi (2009), beras dengan derajat sosoh yang tinggi lebih tahan dalam hal penyimpanan dibandingkan dengan beras derajat sosoh rendah, karena beras dengan derajat sosoh rendah mudah mengalami ketengikan karena masih memiliki lapisan dedak aleuron yang memiliki kandungan lemak tinggi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pengukusan selama 30 menit mampu meningkatkan kadar lemak beras pratanak. Dari uji lanjut diperoleh bahwa pengukusan 30 menit berbeda nyata dengan kontrol namun tidak berbeda nyata dengan pengukusan selama 20 menit.

Pada beras, protein merupakan penyusun kedua setelah pati. Kadar protein pada beras umumnya ditentukan oleh faktor lingkungan tempat tumbuhnya padi seperti unsur nitrogen dalam tanah. Protein pada beras biasa atau beras giling yang dijadikan kontrol memiliki kadar protein sebesar 9.35%. Setelah dilakukan proses pratanak, kadar protein dalam beras secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (Lampiran 23). Proses pratanak yang diharapkan dapat meningkatkan kandungan gizi beras belum bisa meningkatkan kadar protein beras. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tidak meratanya panas yang dterima gabah saat pengukusan sehingga gelatinisasi total tidak terjadi. Namun demikian, proses pratanak yang telah dicobakan tidak merusak atau menurunkan kadar protein beras pratanak.

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Karbohidrat juga mempunyai peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna dan tekstur. Sedangkan dalam tubuh. karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein (Winarno 1992). Berdasarkan analisis sidik ragam pada Lampiran 24, perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat beras pratanak. Namun demikian, jika dilihat dari hasil pengukuran terhadap kadar karbohidrat, persentase karbohidrat terbesar yaitu 89.11% terdapat pada perlakuan lama pengukusan 30 menit.


(26)

25 Selain peningkatan kandungan gizi berupa komposisi proksimat, kelebihan lain yang dimiliki oleh proses pratanak ditinjau dari sifat fungsionalnya adalah dapat menurunkan indeks glikemik. Dengan penurunan nilai indeks glikemik ini, dapat dikatakan bahwa beras pratanak sangat cocok untuk penderita diabetes. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Widowati et al. (2009), proses pratanak mampu menurunkan indeks glikemik beras dari 54.43-97.29 menjadi 44.22-76.32 karena terjadi peningkatan kadar amilosa dan serat pangan. Difusi dan peleketan komponen penyusun bekatul dan sebagian sekam berpengaruh nyata meningkatkan kandungan serat pangan, terutama serat pangan tidak larut.

D.

UJI ORGANOLEPTIK

1.

Aroma

Proses pratanak yang dilakukan pada gabah dapat memberikan pengaruh terhadap penampakan secara fisik beras pratanak tersebut. Sebagai contoh, melekatnya lapisan aleuron pada beras membuat warna beras menjadi kecoklatan. Oleh karena itu diperlukan pengujian organoleptik yang ditujukan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap beras pratanak. Uji organoleptik terhadap suatu bahan pangan atau makanan merupakan penilaian dengan menggunakan alat indra yaitu indra penglihatan, pencicip, pembau dan pendengar.

Menurut Soekarto (1985) pembauan juga disebut pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya dari jarak jauh. Indra pembau berfungsi untuk menilai bau-bauan dari suatu produk atau komoditi baik berupa makanan atau nonpangan. Bau-bauan lebih kompleks daripada cicip. Kepekaan pembauan lebih tinggi daripada pencicipan. Berikut ini ditampilkan histogram penilaian terhadap aroma beras pratanak (Gambar 10).

Gambar 10. Nilai aroma beras pratanak

Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 25 menunjukkan bahwa perlakuan lama pengukusan berpengaruh nyata terhadap nilai aroma beras pratanak. Dengan uji lanjut seperti pada Tabel 9, diperoleh bahwa aroma beras pratanak dengan lama pengukusan 20 menit tidak jauh berbeda dengan aroma beras giling yang dijadikan kontrol. Akan tetapi beras pratanak pengukusan 30 menit memiliki aroma yang berbeda dengan kedua perlakuan sebelumnya.

4.01

3.47

4.31

0 1 2 3 4 5 6 7

N

il

ai

A

ro

m

a

Lama pengukusan 20 menit 30 menit kontrol


(27)

26 Tabel 9. Pengaruh lama pengukusan terhadap aroma beras pratanak

Perlakuan Nilai aroma beras

Pengukusan 20 menit 4.01 a

Pengukusan 30 menit 3.47 b

Kontrol 4.31 a

Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

2.

Warna

Menurut De Man (1997) dalam Akhyar (2009) warna penting bagi banyak makanan. baik bagi makanan yang tidak diproses maupun bagi yang dimanufaktur. Bersama-sama dengan bau, rasa, dan tesktur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan. Selain itu, warna dapat memberikan petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan seperti pencoklatan dan pengkaramelan.

Warna merupakan sifat sensoris pertama yang bisa dinilai langsung oleh panelis. Suatu bahan makanan dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dikonsumsi apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya. Pada penelitian ini, sebagian besar panelis lebih memilih beras tanpa perlakuan pratanak karena memiliki warna yang lebih putih dan lebih menarik. Seperti yang terlihat pada Gambar 11, warna beras pratanak yang kecoklatan membuat nilai organoleptiknya menjadi rendah. Nilai rata-rata uji organoleptik beras pratanak untuk lama pengukusan 20 menit dan 30 menit berturut-turut adalah 3.47 dan 4.01. Nilai ini mengindikasikan bahwa warna beras pratanak dapat diterima karena berada pada area netral. Namun, nilai warna beras pratanak pada pengukusan 20 menit lebih baik dibandingkan dengan pengukusan 30 menit.

Gambar 11. Nilai warna beras pratanak

Analisis sidik ragam pada Lampiran 26 menunjukkan bahwa perlakuan lama pengukusan mempunyai pengaruh nyata terhadap penilaian warna beras pratanak oleh panelis. Dari uji lanjut seperti pada Tabel 10, diperoleh nilai warna beras pratanak dengan perlakuan pengukusan 20 menit berbeda nyata dengan pengukusan 30 menit dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol.

4.01

3.47

5.03

0 1 2 3 4 5 6 7

N

il

ai

W

ar

n

a

Lama pengukusan 20 menit 30 menit kontrol


(28)

27 Tabel 10. Pengaruh lama pengukusan terhadap warna beras pratanak

Perlakuan Nilai warna beras

Pengukusan 20 menit 4.01 b

Pengukusan 30 menit 3.47 c

Kontrol 5.03 a

Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

3.

Penerimaan Secara Umum

Penampakan merupakan parameter organoleptik yang penting karena sifat sensoris yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Pada umumnya konsumen memilih makanan yang memiliki penampakan yang menarik (Soekarto 1985). Perlakuan pengukusan selama 20 menit memiliki nilai diantara netral dan agak suka seperti pada Gambar 12. Namun tidak demikian dengan yang terjadi pada pengukusan 30 menit, rata-rata panelis memilih agak tidak suka terhadap penampakan umum beras pratanak tersebut. Jika dilihat dari uji organoleptik sebelumnya terhadap aroma dan warna, pengukusan 30 menit juga menunjukkan nilai yang rendah.

Gambar 12. Nilai penerimaan secara umum terhadap beras pratanak

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa proses pratanak dengan perlakuan lama pengukusan signifikan terhadap nilai penerimaan secara umum beras pratanak. Pilihan pertama panelis jatuh pada kontrol (Tabel 11) karena penampakan secara keseluruhan lebih menarik dibanding dengan beras yang diberi perlakuan pratanak atau beras pratanak. Sedangkan untuk beras hasil pratanak, penerimaan secara umum beras pratanak dengan lama pengukusan 20 menit lebih disukai dibandingkan dengan pengukusan 30 menit.

Menurut Damardjati (1988) dalam Prabowo (2006) walaupun beras pratanak mempunyai keunggulan dibandingkan dengan beras giling biasa, antara lain mutu giling, mutu tanak dan nilai gizinya, tetapi penduduk Indonesia kurang menyukai rasa nasi pera dan warna yang kurang putih. Sebaliknya penduduk India dan Pakistan sangat menyukai beras tersebut.

4.31 3.07 5.73 0 1 2 3 4 5 6 7 N il ai P en er im aa n U m um Lama pengukusan 20 menit 30 menit kontrol


(29)

28 Tabel 11. Pengaruh lama pengukusan terhadap penerimaan secara umum beras pratanak

Perlakuan Nilai penerimaan umum beras

Pengukusan 20 menit 4.31 b

Pengukusan 30 menit 3.07 c

Kontrol 5.73 a

Huruf yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf 0.05

E.

STANDARD OPERATING PROCEDURES

(SOP)

SOP merupakan langkah-langkah kerja yang tertib yang dilakukan agar pekerjaan dapat terlaksana dengan baik, tepat waktu dan dapat dipertanggung jawabkan. Dalam pengolahan beras pratanak diperlukan adanya SOP yang baik agar semua elemen yang terlibat dalam proses pengolahan dapat menjalankan tugas dengan baik dan benar. Sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disusun SOP proses pengolahan beras pratanak.

Bahan yang diperlukan dalam pengolahan beras pratanak adalah gabah dan air bersih sedangkan peralatan yang akan digunakan adalah unit pengolahan beras pratanak (drum perendaman,

burner, tangki pengukusan dan steam boiler). Setelah semua bahan dan peralatan yang dibutuhkan telah disiapkan langkah kerja pertama yang dilakukan adalah pembersihan gabah. Gabah hasil panen petani biasanya masih bercampur dengan jerami, gabah hampa dan kotoran lainnya sehingga perlu dilakukan pembersihan. Pembersihan gabah dapat menggunakan mesin precleaner. Setelah gabah tersebut bersih, gabah ditimbang dan disiapkan sebanyak 45 kg. Sementara itu drum untuk perendaman disiapkan dengan diisi air sesuai perbandingan antara gabah dan air yaitu 1:3. Air di dalam drum kemudian dipanaskan selama kurang lebih 4 jam menggunakan burner hingga suhu air mencapai 70 oC. Setelah air tersebut panas, burner dimatikan dan gabah dimasukkan ke dalam drum perendaman. Gabah kemudian direndam selama 4 jam dengan suhu 60±5 oC.

Setelah proses perendaman selesai, gabah selanjutnya dikukus menggunakan tangki pengukusan yang telah disiapkan sebelumnya. Proses penyiapan tangki pengukusan adalah dengan memanaskan steam boiler selama perendaman berlangsung. Pemanasan ini memakan waktu sekitar 3 jam hingga diperoleh steam dengan suhu 80-90 oC. Sebelum pengisian gabah ke dalam tangki pengukusan, aliran steam dari boiler dihentikan untuk sementara waktu. Gabah yang telah direndam air panas dikeluarkan dari drum perendaman untuk kemudian dimasukkan ke dalam tangki pengukusan. Setelah tangki terisi penuh oleh gabah, aliran steam kembali dibuka dengan terlebih dahulu menutup bagian atas tangki. Proses pengukusan ini berlangsung selama 20 menit.

Gabah yang telah mengalami pengukusan kemudian dikeringkan. Pengeringan gabah dapat menggunakan alat pengering atau dengan metode penjemuran. Pengeringan gabah dengan metode penjemuran dilakukan di atas lantai jemur. Sebelum dilakukan penjemuran, lantai jemur dibersihkan terlebih dahulu. Pengeringan gabah dilakukan hingga kadar air gabah mencapai kadar air giling yaitu 13-14%. Gabah yang telah mencapai GKG tersebut kemudian digiling untuk bisa menghasilkan beras pratanak. Proses pengolahan beras pratanak diatas dapat disederhanakan ke dalam diagram alir prosedur kerja seperti pada Gambar 13 berikut.


(30)

29 Gambar 13. Diagram alir prosedur pengolahan beras pratanak

Gabah

Gabah Kering Giling

Beras pratanak Gabah bersih

Pembersihan menggunakan precleaner

Perendaman dengan suhu 60±5 oC selama 4 jam

Pengeringan hingga kadar air 13-14%

Pengukusan dengan suhu 80 oC selama 20 menit


(31)

30

V.

SIMPULAN DAN SARAN

A.

SIMPULAN

1. Suhu gabah yang terukur saat pengukusan menunjukkan suhu gabah bagian dalam dan suhu bagian tengah lebih tinggi dibanding suhu di bagian lainnya, untuk lama pengukusan 20 menit maupun 30 menit. Hal ini terjadi karena suhu steam belum menyebar secara merata di dalam tangki pengukusan. Namun demikian suhu gabah dapat mencapai dan sesuai dengan yang diharapkan yaitu 80oC.

2. Pengolahan beras pratanak mampu meningkatkan mutu fisik beras terutama pada rendemen giling. Lama pengukusan 20 menit ditinjau dari mutu fisik, mempunyai rendemen giling sebesar 69.37%, kadar air 13.20 %bb, butir kepala 61.67%, butir patah 34.34%, butir menir 3.99%, butir kuning/rusak 0.41%, dan butir mengapur 0.14%. Sedangkan pengukusan 30 menit mempunyai rendemen giling 69.55%, kadar air 13.53%bb, butir kepala 67.94%, butir patah 27.94%, butir menir 4.22%, butir kuning/rusak 0.42%, dan butir mengapur 0.26%. Perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen giling namun berpengaruh nyata terhadap mutu giling beras pratanak.

3. Pengukusan 20 menit memiliki kadar abu sebesar 0.95%bk, kadar lemak 1.00%bk, kadar protein 9.49% dan kadar karbohidrat 88.35%bk. Pengukusan 30 menit mengandung 0.94%bk abu, 1.44%bk lemak, 10.08%bk protein dan 89.11%bk karbohidrat. Hasil pengujian proksimat menunjukkan tidak adanya pengaruh nyata perlakuan lama pengukusan terhadap kandungan abu, lemak, protein dan karbohidrat dari beras pratanak. Namun demikian pengolahan beras pratanak mampu mempertahankan bahkan meningkatkan nilai gizi beras karena gizi beras pratanak lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.

4. Dari 2 perlakuan yang dicobakan yaitu pengukusan 20 menit dan 30 menit, perbedaan yang ditemukan pada mutu fisik hanya pada persentase butir kepala, sedangkan komponen mutu lainnya tidak berbeda nyata termasuk rendemen giling diantara keduanya. Pada mutu gizi tidak ada perbedaan yang nyata antara kedua perlakuan baik kadar abu, lemak, protein dan karbohidrat. Pada uji organoleptik beras pratanak lama pengukusan 20 menit lebih disukai dibandingkan dengan 30 menit. Melalui perbandingan ini maka lama pengukusan yang dipilih adalah 20 menit dengan mempertimbangkan efisiensi waktu pengukusan karena energi yang digunakan pada pengukusan 20 menit lebih kecil dibandingkan dengan pengukusan selama 30 menit.

5. SOP pengolahan beras pratanak adalah dengan dilakukan pembersihan gabah, perendaman gabah pada suhu 60 oC ± 5 selama4 jam dan dilanjutkan dengan pengukusan pada suhu 80 oC selama 20 menit serta pengeringan hingga kadar air ±14% dan penggilingan.

B.

SARAN

1. Pengaturan suhu air selama perendaman dan pengendalian suhu steam selama proses pratanak perlu dilakukan untuk memperoleh penyebaran suhu yang merata.

2. Terkait dengan kandungan lemak yang tinggi perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai umur simpan beras pratanak.

3. Pengukuran kadar air sebelum penggilingan perlu dilakukan untuk memastikan gabah memiliki kondisi fisik yang sama saat penggilingan


(32)

KAJIAN TEKNOLOGI PROSES PENGOLAHAN BERAS

PRATANAK (

PARBOILING RICE

) PADA GABAH VARIETAS SITU

BAGENDIT

SKRIPSI

SPETRIANI

F14070125

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(33)

31

DAFTAR PUSTAKA

Akhyar. 2009. Pengaruh Proses Pratanak Terhadap Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Berbagai Varietas Beras Indonesia [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ali, N dan Ojha, T.P. 1976. Parboiling technology of paddy. In: Araullo, E.V, de Padua, D.B dan Graham, M (ed). Rice Post Harvest Technology. IDRC. Ottawa. Hal 163-204.

Anonim. 2011. Structure of a rice grain. http://www.teksengricemill.com/knowled/structure.htm [16 Februari 2011].

Anonim. 2011. Padi. http://id.wikipedia.org/wiki/Padi [30 Januari 2011].

Argasasmita T.U. 2008. Karakterisasi Sifat Fisikokimia dan Indeks Glikemik Varietas Beras Beramilosa Rendah dan Tinggi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

AOAC. 1995. Official Method of Analysis. AOAC. Inc. Washington DC.

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Balitbang Deptan. 2009. Deskripsi Varietas Padi. Jakarta. Departemen Pertanian RI.

Burhanudin, A. 1981. Mempelajari Pengaruh Proses Pratanak (parboiling) Padi Terhadap Rendemen dan Sifat-Sifat Fisik Beras yang Dihasilkan dari Dua Varietas Padi [skripsi]. Bogor : Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Hasil Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional Indonesia. 2011. Persyaratan Mutu Beras Giling. SNI 01-6128-2008. www.sisni.bsn.go.id [16 Februari 2011].

Damardjati, DS. 1988. Struktur Kandungan Gizi Beras. Dalam Padi-Buku 1. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Damardjati, D.S dan Purwani, E.Y. 1991. Mutu Beras. Dalam Padi-Buku 3. Balai Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. De Man, JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi kedua. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata.

Bandung : Penerbit ITB.

Dewi, AR. 2009. Kajian Konfigurasi Mesin Penggilingan untuk Meningkatkan Rendemen dan Menekan Susut Penggilingan pada Beberapa Varietas Padi [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian. 2011. Data produksi biji-bijian di Indonesia. http://www.deptan.go.id/ditjentan/dpi/produksi.pdf [16 Februari 2011].

Gariboldi. 1974. Parboiled rice. In: Houston D.F (ed). Rice Chemistry and Technology. American Assosiation of Chemists. Inc. St. Paul. Minnesota.

Grist, D.H. 1975. Rice . 5th ed. London: Longmans.

Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hasbullah, R. 2011. Beras Pratanak adalah VHT pada Gabah. http://rokhani.staff.ipb.ac.id/ [16 Februari 2011].

Hasbullah, R dan Bantacut, T. 2006. Teknologi pengolahan beras ke beras (rice to rice processing technology). Dalam: Prosiding Lokakarya Nasional: Peningkatan Daya Saing Beras Nasional Melalui Perbaikan Kualitas. Perum bulog. Jakarta. Hal. 79-97.

Juliano, B.O. 1972. The rice caryopsis and its composition. In: Houston D.F (ed). Rice Chemistry and Technology. American Assosiation of Chemists, Inc. St. Paul. Minnesota.

Juliano, B.O. 1976. Rice biology. In: Araullo, E.V, de Padua, D.B dan Graham, M (ed). Rice Post Harvest Technology. IDRC. Ottawa. Hal. 13-18.


(1)

49 Lampiran 26. Analisis sidik ragam dan uji lanjut organoleptik warna beras pratanak

a. Analisis sidik ragam Sumber

Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Peluang

Lama Pengukusan 2 87.45714286 43.728571 27.071136 .0000

Galat 207 334.3714286 1.6153209

Total 209 421.8285714

b. Uji beda nyata Duncan

Taraf nyata: 0.05 Keragaman : 1.61532091097 Derajat bebas: 207

Nomor Perlakuan Rataan n Beda nyata

1 Kontrol 5.02857 70 a

2 20 menit 4.01428 70 b

3 30 menit 3.47142 70 c

Lampiran 27. Analisis sidik ragam dan uji lanjut organoleptik penerimaan secara umum beras pratanak

a. Analisis sidik ragam Sumber

Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F Hitung Peluang

Lama Pengukusan 2 255.1238095 127.5619 106.70046 .0000

Galat 207 247.4714286 1.1955141

Total 209 502.5952381

b. Uji beda nyata Duncan

Taraf nyata: 0.05 Keragaman : 1.19551414769 Derajat bebas: 207

Nomor Perlakuan Rataan n Beda nyata

1 Kontrol 5.72857 70 a

2 20 menit 3.98571 70 b


(2)

50 Lampiran 28. Form isian organoleptik terhadap beras pratanak

Nama :... Tanggal :... Petunjuk : Di hadapan Anda terdapat 6 contoh beras pratanak (PARBOILED RICE),

Anda diminta untuk menilai masing-masing contoh dengan cara memberi tanda centang (√) pada kolom sesuai dengan tingkat penilaian

1. Aroma

Penilaian Kode contoh

Sangat suka Suka Agak suka Netral

Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka

2. Warna

Penilaian Kode contoh

Sangat coklat Coklat Agak coklat Netral Agak putih Putih Sangat putih

3. Penerimaan secara keseluruhan

Penilaian Kode contoh

Sangat suka Suka Agak suka Netral

Agak tidak suka Tidak suka Sangat tidak suka


(3)

51 Lampiran 29. Gambar proses pengolahan beras pratanak

Perendaman Pengukusan


(4)

52 Lampiran 30. Gambar beras pratanak hasil giling

Beras pratanak hasil giling ulangan pertama (dari kiri ke kanan : 20 menit, 30 menit, kontrol)


(5)

3 SPETRIANI. F14070125. Kajian Teknologi Proses Pengolahan Beras Pratanak (Parboiling Rice) pada Gabah Varietas Situ Bagendit. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, MSi. 2011

RINGKASAN

Beras merupakan makanan pokok hampir di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data dari Ditjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, jumlah produksi padi dalam bentuk gabah kering giling (GKG) setiap tahunnya meningkat. Peningkatan jumlah produksi ini sudah semestinya diikuti dengan peningkatan hasil pengolahan gabah berupa beras. Peningkatan produksi beras dilakukan tidak hanya terbatas pada peningkatan produksi padi di lahan, tetapi juga melalui perbaikan proses tahapan pascapanen. Salah satu tahapan pascapanen yang dapat diterapkan adalah proses pratanak. Beras pratanak atau yang biasa disebut parboiling rice adalah proses perendaman gabah dalam air dan pengukusan dengan uap panas kemudian dikeringkan sebelum digiling (Grist 1975, Haryadi 2006, Tjiptadi dan Nasution 1985). Tahapan proses pengolahan beras pratanak meliputi pembersihan, perendaman, pengukusan, pengeringan dan penggilingan. Tujuan dari pratanak adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai gizi maupun rendemen yang dihasilkan, dan sterilisasi gabah setelah dipanen, yang mungkin mengandung kotoran dan telur serangga yang terinvestasi di dalamnya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu beras pratanak adalah varietas gabah, lama perendaman, suhu dan lama pengukusan, dan pengeringan. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengkaji keseragaman distribusi suhu gabah selama proses pengukusan. (2) mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap mutu fisik beras pratanak. (3) mengkaji pengaruh lama pengukusan terhadap nilai gizi beras pratanak, dan (4) menentukan Standard Operational Procedure (SOP) pengolahan beras pratanak.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2011 di laboratorium LBP (Lingkungan dan Bangunan Pertanian) dan laboratorium Leuwikopo, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem IPB. Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah gabah varietas Situ Bagendit dan air bersih untuk perendaman gabah. Peralatan yang digunakan drum perendaman gabah, tangki pengukusan gabah, hybrid recorder, termokopel, timbangan analitik, rice grader/cylinder separator,

baki penampung, dan beberapa peralatan bantu lainnya.

Proses pratanak yang dilakukan pada penelitian ini didahului dengan pembersihan gabah agar gabah terpisah dari gabah hampa dan kotoran lain. Selanjutnya dilakukan perendaman gabah dalam air bersuhu 60 oC ± 5 selama 4 jam. Perendaman ini bertujuan untuk mencapai kadar air gabah hingga 30%. Kemudian gabah tersebut dibagi ke dalam 2 bagian dan diberikan perlakuan pemanasan dengan suhu yang sama yaitu 80 oC, namun dalam lama waktu pemanasan yang berbeda, masing-masing selama t1= 20 menit, t2= 30 menit, serta terdapat t0 (tanpa proses pratanak) yang dijadikan kontrol. Setelah proses pemanasan atau pemberian uap panas selesai, selanjutnya dilakukan pengeringan terhadap gabah hingga mencapai kadar air 14 %. Gabah yang telah kering kemudian digiling dan dilakukan pengamatan mutu giling sekaligus mutu gizi beras pratanak tersebut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras pratanak pada pengukusan selama 20 menit ditinjau dari mutu fisik, mempunyai rendemen giling sebesar 69.37%, kadar air 13.20 %bb, butir kepala 61.67%, butir patah 34.34%, butir menir 3.99%, butir kuning/rusak 0.41%, dan butir mengapur 0.14%. Sedangkan pengukusan 30 menit mempunyai rendemen giling 69.55%, kadar air 13.53%bb, butir kepala 67.94%, butir patah 27.94%, butir menir 4.22%, butir kuning/rusak 0.42%, dan butir mengapur 0.26%. Perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen giling namun berpengaruh nyata terhadap mutu giling beras pratanak.


(6)

4 Hasil pengujian proksimat menunjukkan perlakuan lama pengukusan tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan abu, lemak, protein dan karbohidrat dari beras pratanak. Hal ini dapat disebabkan karena tidak meratanya penyebaran steam selama pengukusan. Pengukusan 20 menit memiliki kadar abu sebesar 0.95%bk, kadar lemak 1.00%bk, kadar protein 9.49% dan kadar karbohidrat 88.35%bk. Pengukusan 30 menit mengandung 0.94%bk abu, 1.44%bk lemak, 10.08%bk protein dan 89.11%bk karbohidrat. Perlakuan pratanak pada penelitian ini menyebabkan peningkatan rendemen, kadar abu, kadar lemak, protein, dan karbohidrat. Mutu giling beras pratanak berdasarkan standar dari SNI berada pada mutu V.

Uji organoleptik yang dilakukan pada beras pratanak hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beras pratanak sudah dapat diterima oleh panelis. Parameter yang diujikan adalah aroma dengan nilai rata-rata untuk pengukusan 20 menit dan 30 menit adalah 4.01 dan 3.47 (netral), warna dengan nilai rata-rata 4.01 dan 3.47 (netral) dan penerimaan secara umum dengan nilai rata-rata 4.31 dan 3.07 (agak tidak suka sampai netral). Secara keseluruhan yang paling disukai diantara keduanya adalah beras pratanak dengan lama pengukusan 20 menit.

Proses pratanak yang terpilih adalah dengan melakukan pembersihan gabah terlebih dahulu menggunakan precleaner. Setelah gabah tersebut bersih kemudian dilakukan perendaman dengan suhu 60 oC ± 5 selama 4 jam dilanjutkan dengan pengukusan pada suhu 80 oC selama 20 menit. Gabah yang telah dikukus selanjutnya dikeringkan hingga kadar air 14% dan siap untuk digiling.