Perunut hidrokimia sebagai indikator kinerja pengelolaan DAS studi kasus DAS Ciliwung Hulu
PERUNUT HIDROKIMIA SEBAGAI INDIKATOR
KINERJA PENGELOLAAN DAS:
Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu
NANI HERYANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Perunut Hidrokimia sebagai Indikator Kinerja Pengelolaan DAS: Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu”
merupakan hasil penelitian saya dengan arahan komisi pembimbing. Disertasi ini disusun dari sebagian hasil penelitian Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian
dan Perguruan Tinggi (KKP3T) TA. 2009 yang berjudul “Analisis Hubungan
Proses Aliran Permukaan dengan Ketersediaan Air Secara Spasial dan Temporal
untuk Keberlanjutan Pengelolaan Air di dalam DAS” dan TA. 2010 yang berjudul
”Analisis Proses Pembentukan Aliran Permukaan dan Keterkaitannya dengan
Ketersediaan Air Secara Spasial dan Temporal Mendukung Pemenuhan Kebutuhan
Air Untuk Pertanian” yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan MSc.
Disertasi ini belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Nani Heryani NIM. A 362060041
(4)
(5)
ABSTRACT
NANI HERYANI. Hydrochemical Tracer as Performance Indicator of Watershed Management: Case Study at Upper Ciliwung Watershed. Under the advisory commision of HIDAYAT PAWITAN, M. YANUAR JARWADI
PURWANTO, DAN KASDI SUBAGYONO.
Understanding the linkage between runoff process and the hydrochemical behavior of the catchment should not be directed merely for the short-term process during the rainfall event, but treating the seasonal variations may also provide valuable insights into the pattern of hydrochemistry changes as a function of the dynamic of hydrologic process. Runoff generation mechanisms are difficult to be generalized from one basin to another and even from storm to storm within
the same basin. The aims of the research are (1) To learn the effectiveness of
hydrochemistry tracers to quantify the flow dynamics during runoff generation, (2) To define source area of the watershed through quantification of solutes transport during the runoff process and to study the spatial and temporal variation of water chemistry, (3) To formulate a conceptual model linking runoff process and spatial and temporal variation of hydrochemistry to support the watershed management. The research was conducted by: characterization of research area, installation of equipment for hydrochemical and hydrometric observation, and hydrochemical sampling. Result showed that diversity of water chemistry by spatial and temporal highly influenced by the dynamics of subsurface flow behavior. Magnitude and direction of subsurface flow on the hillslope because of
changes in solute concentration by spatial and temporal. Ca and SO4 as a
conservative tracer at Cakardipa micro watershed. Three components of hydrograf separation were predicted by end member mixing analysis (EMMA) using Ca and
SO4 showed that the groundwater, soil water, and rain water were the source area
at Cakardipa micro watershed, 47.3%, 28%, and 24.7% respectively. The solutes
of Mg, SO4, NO3 assumed to come from groundwater produced convex curvature,
clockwise hysteresis loops, and positive trend, indicating a concentration
component ranking of CG > CR > CSO (C2 model). At the rising of hydrograf, the
vertical flow reaches greater depths on the hillslopes and the role of groundwater was increased at peak discharge. Groundwater contribution lesser at the recessive than at peak discharge
(6)
(7)
RINGKASAN
NANI HERYANI. Perunut Hidrokimia Sebagai Indikator Kinerja Pengelolaan DAS: Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN, M. YANUAR JARWADI PURWANTO, DAN KASDI
SUBAGYONO.
Memahami hubungan antara proses limpasan dengan perilaku hidrokimia dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) tidak hanya dalam suatu kejadian hujan saja tetapi harus dipelajari keragamannya secara spasial dan temporal. Dinamika keragaman ini dapat menggambarkan pola perubahan hidrokimia dalam kaitannya dengan proses limpasan. Mekanisme proses limpasan tidak dapat disamakan antara satu DAS dengan DAS lain atau antara satu kejadian hujan dengan kejadian lain dalam DAS yang sama.
Penelitian dilakukan di DAS mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu, pada bulan Mei 2008-April 2010. Tujuan penelitian yaitu: 1)
mempelajari efektifitas perunut hidrokimia untuk mengkuantifikasi dinamika
aliran selama proses limpasan (runoff generation), 2) menentukan potensi sumber
limpasan (source area) air sungai di dalam DAS melalui kuantifikasi proses
transpor larutan (solute transport) selama proses limpasan, dan mempelajari
keragaman ketersediaan air secara spasial dan temporal, 3) menyusun model konseptual hubungan antara proses limpasan dengan keragaman ketersediaan air secara spasial dan temporal untuk mendukung pengelolaan sumber daya air di dalam DAS secara berkelanjutan.
Penelitian dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu: 1) penelitian lapang terdiri dari: karakterisasi wilayah penelitian (aspek tanah dan batuan, debit, dan iklim); pengukuran debit secara hidrometrik; dan pengambilan contoh air; 2) analisis laboratorium terdiri dari: analisis tanah (fisika, kimia, dan mineral); dan analisis air 3) analisis hidrokimia untuk menyusun model konseptual hubungan antara proses aliran permukaan dengan keragaman ketersediaan air secara spasial dan temporal.
DAS mikro Cakardipa merupakan bagian dari Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu, meliputi areal seluas 60.78 ha terdiri dari 3 kampung yaitu kampung Bojong Keji, Lemah Neundeut, dan Lemah Neundeut Peuntas. Secara administratif termasuk ke dalam Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. DAS mikro Cakardipa memiliki 10 satuan lahan yang terdiri dari 2 satuan lahan alluvium dan 8 satuan lahan dari bahan volkan. DAS mikro Cakardipa memiliki 6 jenis penggunaan lahan yaitu: hutan, kebun campuran, kebun sayuran, kebun intensifikasi, pemukiman, dan sawah. Penggunaan lahan utama yaitu sawah dan kebun campuran. Curah hujan maksimum yang terekam di DAS Mikro Cakardipa sebesar 61.5 mm dengan intensitas maksimum sebesar 10.2 mm/5 menit atau setara dengan intensitas hujan 122 mm/jam. Curah hujan dengan intensitas tersebut selama 1 jam telah membangkitkan debit puncak sebesar 58.2 lt/det. Koefisien aliran permukaan yang dihitung berdasarkan analisis pemisahan hidrograf menunjukkan variasi nilai antara 0.03 % hingga 0.59%. Berdasarkan analisis grafis terhadap pasangan data hujan-debit, diketahui selama
periode Oktober 2009 – Februari 2010, waktu konsentrasi DAS Mikro Cakardipa
(8)
Hasil analisis dengan menggunakan metode end member mixing analysis
(EMMA) menunjukkan bahwa Ca2+ dan SO42- dapat dipertimbangkan sebagai
perunut konservatif pada DAS mikro Cakardipa. Tiga komponen separasi
hidrograf dengan menggunakan perunut Ca2+ dan SO42- menunjukkan bahwa
airbumi, air tanah, dan air hujan merupakan sumber utama aliran di DAS mikro Cakardipa, berturut-turut berkontribusi sebesar 47,3%, 28%, 24,7%.
Dalam penelitian ini diketahui bahea keragaman hidrokimia secara spasial sangat dipengaruhi oleh dinamika perilaku aliran bawah permukaan yang melalui lereng atas, lereng bawah dengan sungai. Konsentrasi unsur hidrokimia pada air
tanah (soil water) lebih besar daripada airbumi (groundwater). Aliran air vertikal
di lereng bagian bawah menyebabkan terjadinya akumulasi unsur hara. Besaran dan arah aliran bawah permukaan dapat mengakibatkan perubahan konsentrasi hidrokimia secara spasial dan temporal. Informasi perilaku hidrologi dan hidrokimia dalam suatu DAS bermanfaat dalam menyusun perencanaan pengelolaan pertanian di daerah berlereng.
Selanjutnya berdasarkan metode Evans dan Davies diketahui bahwa Mg,
SO42-, dan NO3- merupakan unsur hidrokimia yang memiliki tingkat flushing
(pencucian) yang paling tinggi di DAS Mikro Cakardipa, memiliki bentuk kurva
cekung dengan arah rotasi searah jarum jam dan trend positif dalam hal ini Cair bumi
> Cair hujan > Cair tanah termasuk model C2.
Hasil analisis berdasarkan integrasi antara pengamatan hidrometrik dan hidrokimia diketahui terdapat hubungan yang erat antara aliran air di lereng bagian atas dengan perilaku unsur hara di lereng bagian bawah dimana pencucian unsur hara terjadi dengan intensif. Pada awal kejadian hujan peran air hujan sangat besar. Selanjutnya pada saat hidrograf meningkat sampai mencapai puncaknya, aliran vertikal mencapai kedalaman yang lebih besar di lereng agak atas, dan peran air bumi meningkat. Pada saat kurva hidrograf menurun kontribusi air bumi menurun dibandingkan pada awal dan puncak hujan.
(9)
©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin tertulis IPB.
(10)
(11)
PERUNUT HIDROKIMIA SEBAGAI INDIKATOR KINERJA
PENGELOLAAN DAS:
Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu
NANI HERYANI
A.362060041
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
(12)
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, M.Sc.
(13)
Judul Disertasi : “Perunut Hidrokimia sebagai Indikator Kinerja
Pengelolaan DAS: Studi Kasus DAS Ciliwung Hulu”
Nama Mahasiswa : Nani Heryani
NIM : A362060041
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S. Dr. Ir. Kasdi Subagyono, M.Sc.
Anggota Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengelolaan DAS
Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
(14)
(15)
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penelitian dan penulisan disertasi berjudul
“Perunut Hidrokimia sebagai Indikator Kinerja Pengelolaan DAS: Studi Kasus
DAS Ciliwung Hulu” dapat diselesaikan. Disertasi ini menyajikan hasil penelitian
tentang sumber aliran (source area) di DAS mikro Cakardipa dengan menggunakan
perunut hidrokimia. Informasi yang diperoleh sangat penting dalam pengembangan model aliran bawah permukaan dan prediksi dampak perubahan penggunaan lahan dan perubahan iklim terhadap kualitas air permukaan, serta mendukung pengelolaan sumberdaya air yang berkelanjutan.
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr.Ir. Hidayat Pawitan M.Sc, Dr. Ir. Yanuar J. Purwanto M.S., Dr. Ir. Kasdi Subagyono M.Sc. selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, memotivasi dan senantiasa memberikan semangat kepada saya selama menyelesaikan studi ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Badan Litbang Kementan, Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Kementerian Pertanian, Kepala Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan, Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) yang telah memberikan ijin belajar selama melaksanakan pendidikan di IPB. Terima kasih juga disampaikan kepada Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dan Perguruan Tinggi (KKP3T) TA. 2009-2010 dan DIPA Balitklimat TA 2008, atas dukungan dana selama penulis melaksanakan penelitian.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Suria Darma Tarigan M.Sc. dan Prof. Dr. Ir Asep Sapei, MS sebagai penguji luar komisi pada saat ujian tertutup, yang telah memberikan masukan-masukan yang berharga sehingga memberi warna tersendiri untuk perbaikan disertasi saya. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Muhrizal Sarwani M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan M.Agr sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka atas masukan, saran, dan kritik yang baik untuk penyempurnaan disertasi ini. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Irsal Las M.S. yang telah mendorong dan merekomendasikan penulis untuk menempuh pendidikan S3 ini.
(16)
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Budi Kartiwa CESA yang telah memberikan bantuan dan masukan selama penulis melaksanakan penelitian sampai penyusunan disertasi, dan Ir. Sawiyo yang telah mencurahkan waktu dan tenaganya dalam membantu pelaksanaan kegiatan penelitian lapang. Kepada Dr. Ir. Aris Pramudia M.Si, Ir. M. Wahyu Tri Nugroho, Budi Rahayu, Gina Maulana ST, Aris Dwi Saputra SH penulis sampaikan terima kasih atas bantuannya dalam pengumpulan data, analisis data, dan pemetaan selama penelitian, serta teman-teman di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala dukungannya selama ini. Terima kasih kepada Pak Iim, Ade, Dayat, dan Umar yang dengan tulus ikhlas telah
membantu dalam kegiatan penelitian di lapangan. Sahabat-sahabat mahasiswa S3
Ir. Zuherna Mizwar MS, Ir. Supriyanto MS, Ir. Labima MS, Dr. Ir. Popi Rejekiningrum MS, dan semua teman-teman di Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu atas diskusi, saran-saran, dan dorongan moril yang diberikan. Yang tidak terlupakan sahabat-sahabat G-8 yang telah memberikan semangat, dorongan, dan dukungan kepada penulis untuk
segera menyelesaikan pendidikan S3 ini, terima kasih atas segalanya.
Ayahanda (alm.) H.Sukar SH, Ibu Hj Komariah, ayahanda (alm.) H. Samid, ibunda (alm.) Hj. Helly Halimah, Ma Inung, Ma Eni, dan adik-adik
tercinta atas kasih sayang dan do’anya yang tulus dan tiada henti-hentinya. Suami
tercinta Didy Sopandie, anak-anak terkasih Dicky, Yuline, Puji dan Dini, serta
cucu tersayang Revan, terimakasih atas do’a, dukungan, pengorbanan dan kasih sayang yang telah diberikan selama menempuh studi doktor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2012 Penulis
(17)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kuningan Jawa Barat pada tanggal 16 Mei 1958, sebagai anak pertama dari delapan bersaudara dari pasangan alm H. Sukar SH dan Hj. Komariah. Menikah dengan Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr dan dikaruniai 3 orang anak Muhamad Sidiq, STp (28 tahun) yang menikah dengan Yuline Rena Chrisanti, S.Si (28 tahun), Puji Rahmawati (20 tahun), dan Dini Rizkianiputri (18 tahun), serta seorang cucu Revan Aditya Rafif (9 bulan).
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian IPB lulus pada tahun 1981. Pada tahun 2001 menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB program studi Agroklimatologi. Sejak tahun 2006 melanjutkan pendidikan program Doktor di Institut Pertanian Bogor, program studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Penulis mulai bekerja pada tahun 1981 di Direktorat Jenderal Perkebunan, kemudian di Balai Penelitian Tanaman Pangan sejak akhir tahun 1982 sampai akhir tahun 1985. Sejak awal tahun 1992 sampai akhir tahun 1993 bekerja kembali di Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor dan sekarang menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi Tanaman Pangan. Sejak tahun 1993 sampai sekarang bekerja di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor.
Selama mengikuti program S3, penulis menulis karya ilmiah yaitu: 1)
Analisis Model Campuran (mixing model) untuk Menentukan Sumber Limpasan
di Dalam Daerah Aliran Sungai yang akan diterbitkan pada Jurnal Hidrolitan, 2) Instalasi Jaringan Peralatan untuk Pengamatan Hidrokimia: Studi Kasus di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat yang
akan diterbitkan pada Forum Pascasarjana, dan 3) Relationship between
Concentration and Discharge on Storm Events: Case Study at Cakardipa Catchment, Cisukabirus Subwatershed, Upper Ciliwung Watershed, Bogor, West Java, yang akan diterbitkan pada Jurnal Tanah Tropika.
(18)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang ... 1
1.2Tujuan Penelitian ... 3
1.3Manfaat Penelitian ... 4
1.4Hipotesis ... 4
1.5Kebaruan Penelitian ... 4
1.6Kerangka dan Ruang Lingkup Penelitian ... 4
II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Sumber Daya Air di DAS Ciliwung: Permasalahan dan Upaya Penanganannya ... 7
2.2 Perkembangan Penelitian Tentang Subsurface Stormflow ... 9
2.3 Separasi Hidrograf Secara Geokimia untuk Mennetukan Sumber (source) Runoff dalam DAS ... 14
2.4 Model Konseptual Aliran Permukaan dalam Skala DAS ... 20
III BAHAN DAN METODE ... 23
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23
3.2 Bahan dan Alat ... 23
3.3 Metode Penelitian... 23
3.3.1 Karakterisasi Biofisik Wilayah Penelitian ... 23
3.3.2 Instalasi Bendung Penduga Debit di DAS Mikro Cakardipa ... 24
3.3.3 Pengamatan Kedalaman Tanah dan Batuan ... 26
3.3.4 Pemasangan Peralatan Pengamatan Hidrokimia ... 26
3.3.5 Penentuan Arah Aliran secara Vertikal dan Lateral ... 29
3.3.6 Pengambilan Conto Air ... 33
3.3.7 End–member Mixing Analysis (EMMA) dan Separasi ... Hidrograf ... 34
3.3.8 Keragaman Unsur Hidrokimia secara Spasial dan Temporal ... 37
3.3.9 Analisis Konsentrasi dengan Debit ... 38
3.3.10 Menyusun Model Konseptual Hubungan Proses Aliran Permukaan dengan Ketersediaan Air... 39
IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 41
4.1 Karakteristik Sumber Daya Tanah DAS Mikro Cakardipa... 41
4.2 Penggunaan Lahan DAS Mikro Cakardipa ... 45
4.3 Karakteristik Fisika Tanah ... 45
(19)
4.5 Karakteristik Iklim ... 50
4.6 Karakteristik Hidrologi ... 51
V DINAMIKA ALIRAN BAWAH PERMUKAAN BERDASARKAN KERAGAMAN HIDROKIMIA SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL PADA SAAT HUJAN ... 55
5.1 Pendahuluan ... 55
5.2 Karakteristik Curah Hujan ... 56
5.3 Dinamika Aliran Bawah Permukaan Pada Saat hujan... 56
5.4 Keragaman Hidrokimia secara Spasial ... 60
5.5 Keragaman Hidrokimia secara Temporal ... 65
VI ANALISIS CAMPURAN (MIXING ANALYSIS) DALAM HIDROLOGI UNTUK PENENTUAN SOURCE AREA ... 71
6.1 Pendahuluan ... 71
6.2 Analisis Multivariate ... 73
6.3 Analisis Campuran secara Hidrokimia ... 75
6.4 Analisis Komponen Runoff Berdasarkan Separasi Hidrograf Secara Hidrokimia ... 81
VII HUBUNGAN KONSENTRASI DEBIT(C-Q) PADA SAAT HUJAN DENGAN PENCUCIAN UNSUR HARA ... 85
7.1 Pendahuluan ... 85
7.2 Keragaman Debit secara Temporal dan Konsentrasi Unsur Hara ... 86
7.3 Hubungan Konsentrasi dan Debit di DAS Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu ... 90
VIII MODEL KONSEPTUAL HUBUNGAN ANTARA PROSES RUNOFF DENGAN KERAGAMAN KETERSEDIAAN AIR SECARA SPASIAL DAN TEMPORAL ... 93
8.1 Pendahuluan ... 93
8.2 Model Konseptual Hubungan antara Proses Runoff dengan Keragaman Ketersediaan Air secara Spasial dan Temporal di DAS Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu ... 94
8.3 Aplikasi Model Konseptual untuk Pengelolaan DAS ... 97
IX. SIMPULAN DAN SARAN ... 101
9.1 Simpulan ... 101
9.2 Saran ... 102
DAFTAR PUSTAKA ... 103
(20)
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Distribusi Peralalatan Pengamatan Hidrokimia ... 33
2 Jumlah sampel air dan metode pengambilannya ... 34
3 Diagnosa Penetapan Ranking Model Tiga Komponen Runoff ... 39
4 Hasil Analisis Mineral Liat di Lereng Sebelah Timur, DAS Mikro
Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu ... 49
5 Hasil Analisis Mineral Liat di Lereng Sebelah Barat, DAS Mikro
Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu ... 50
6 Karakteristik Hujan dan Debit DAS Mikro Cakardipa untuk setiap
episode yang tercatat selama bulan Oktober 2009-Pebruari 2010 ... 54
7 Keragaman Konsentrasi Hidrokimia secara Spasial pada Musim
Kemarau dan Hujan di DAS Mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu ... 64
8 Hasil Eigenvalue Sembilan Variabel K, Na, Ca, Mg, SiO2, SO4, NO3, Cl,
dan HCO3 ... 74
9 Korelasi Pearson’s ... 75
10 Hasil separasi hidrograf secara hidrometrik pada kejadian hujan 14
Pebruari 2010 di DAS mikro Cakardipa ... 83
(21)
(22)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram Alir Penelitian Mekanisme Proses Aliran Permukaan di
DAS ikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu,
Jawa Barat ... 5
2 Model Perseptual Aliran Bawah Permukaan menurut Engler
(1919) (Sumber: Weiler et al 2005) ... 11
3 ARR tipe HOBO, Bangunan Bendung (weir) Penduga Debit, dan
AWLR tipe Pelampung pada Titik Keluaran DAS Mikro Cakardipa ... 26
4 Bor Manual Terbuat dari Pipa Besi Baja yang Dipergunakan untuk
Mengetahui Kedalaman Tanah dan Batuan ... 27
5 Pengeboran Tanah untuk Menentukan Kedalaman Batuan (bedrock) ...
di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu ... 28
6 Lokasi Pengamatan Batuan dan Pemasangan Jaringan Pengamatan ...
Hidrokimia secara Spasial di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS ... Cisukabirus ... 29
7 Skema Pemasangan Jaringan Pengamatan Hidrokimia di Lereng sebelah
Barat dan Timur DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus... 31
8 Tensiometer (A), Suction Sampler (B), dan Piezometer (C) yang
Dipergunakan pada Penelitian ini ... 32
9 Peta Satuan Lahan DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukbirus, DAS
Ciliwung Hulu ... 44
10 Penggunaan Lahan di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus,
DAS Ciliwung Hulu ... 46
11 Kadar Air Tanah Lereng Sebelah Timur dan Barat DAS Mikro Cakardipa ... 47
12 Porositas Tanah Lereng Sebelah Timur dan Barat DAS Mikro Cakardipa .... 47
13 Distribusi Curah Hujan dan Evapotransiprasi Dasarian Rata-rata di
Stasiun Pengamat Curah Hujan Citeko, Megamendung, Bogor ... 51
14 Intensitas Hujan dan Debit Sesaat DAS Mikro Cakardipa episode
Oktober-Desember 2009 ... 52
15 Intensitas Hujan dan Debit Sesaat DAS Mikro Cakardipa episode
(23)
16 Intensitas Hujan dan Debit Sesaat episode 14 Pebruari 2010 di DAS
Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu ... 56
17 Fluktuasi tinggi hidrolik bulanan airbumi secara lateral dan vertikal di
DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS CiliwungHulu...57
18 Dinamika Aliran Bawah Permukaan pada Kejadian Hujan
14 Pebruari 2010 di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus,
DAS Ciliwung Hulu ... 60
19 Kandungan Kation dan Anion Utama di dalam Air Bumi di Beberapa Titik
Pengamatan (Musim Kemarau 2009) ... 62
20 Kandungan Kation dan Anion Utama di dalam Air Bumi di Beberapa
Titik Pengamatan (Musim Hujan 2009/2010) ... 63
21 Distribusi Kation dan Anion Air Tanah pada Beberapa Kedalaman
Secara Spasial di DAS Mikro Cakardipa ... 66
22 Korrelogram Beberapa Unsur Hidrokimia pada Air Bumi di DAS Mikro
Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu pada Juni
2009-April 2010 ... 67
23 Korrelogram Beberapa Unsur Hidrokimia pada Air Tanah di DAS Mikro
Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu pada Juni
2009-April 2010 ... 68
24 Korrelogram Beberapa Unsur Hidrokimia pada Air Hujan di DAS Mikro
Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu pada Juni
2009-April 2010 ... 69
25 Grafik hubungan antara faktor 1 dan faktor 2 untuk melukiskan
keeratan antar unsur hidrokimia ... 75
26 Plot residual konsentrasi masing-masing unsur terhadap konsentrasi
air sungai ... 77
27 Konsentrasi hidrokimia hasil pengamatan dan pendugaan
berdasarkan EMMA ... 79
28 Hasil analisis statistik (RB) terhadap tiga sumber area yang
diproyeksikan terhadap 3 dimensi subruang air sungai ... 80
29 Hasil analisis statistik (RRMSE) terhadap tiga sumber area
yang diproyeksikan terhadap 3 dimensi subruang air sungai ... 80
30 Hasil mixing analisis antara Kalsium (Ca) dengan SO4 pada
(24)
31 Separasi hidrograf pada kejadian hujan 14 Pebruari 2010 ... 84
32 Keragaman debit secara temporal (kiri) dan konsentrasi unsur K, Na,
Ca, Mg, Si, NO3, SO4, dan Cl dalam diagram C-Q (kanan) pada
kejadian hujan 14 Pebruari 2010 ... 89
33 Hubungan Konsentrasi Unsur Hara dan Debit DAS Mikro Cakardipa ... 91
34 Model konseptual hubungan antara proses limpasan dengan
(25)
(26)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Hasil Pengamatan Kedalaman Tanah dan Batuan (bedrock) untuk
Pemasangan Peralatan Pengamatan Hidrokimia di DAS Mikro
Cakardipa ... 113
2 Uraian Profil Tanah Lereng Sebelah Timur ... 118
3 Uraian Profil Tanah Lereng Sebelah Barat ... 123
4 Kandungan Mineral Liat pada Lereng (Atas, Tengah dan Bawah)
Sebelah Timur pada Berbagai Kedalaman di DAS Mikro Cakardipa,
Sub DAS Cisukabirus ... 127
5 Kandungan Mineral Liat pada Lereng (Atas, Tengah dan Bawah)
Sebelah Barat pada Berbagai Kedalaman di DAS Mikro Cakardipa,
(27)
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Air sungai merupakan salah satu sumber air permukaan relatif lebih rentan terhadap pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan manusia dibandingkan air tanah.
Penelitian tentang polusi air tanah dan mekanisme recharge aquifer merupakan
beberapa aplikasi penting dari analisis kimia air (hydrochemical), namun masih
jarang dilakukan. Di sisi lain analisis kimia air merupakan integrator yang berguna dalam beberapa proses biologi, kimia, dan fisik dalam daerah aliran sungai (DAS), seperti dekomposisi tanaman, pertukaran kation tanah, penurunan kualitas air secara kimiawi, dan mineralisasi.
Penilaian tentang pengaruh lingkungan terhadap suatu areal akan sulit diperoleh apabila tidak ada informasi yang lengkap tentang proses-proses hidrologi, kimia, dan
biologi yang komplek dan saling berkaitan (Christophersen et al 1994). Dengan
demikian hal mendasar yang diperlukan antara lain penelitian yang mempelajari
karakteristik dan proses terjadinya limpasan dan aliran bawah permukaan (subsurface
stormflow) melalui pengamatan karakteristik biologi, geologi, dan kimianya.
Di dalam sumber aliran (source area) terdapat kandungan unsur-unsur kimia
yang secara alami dapat menjadi perunut dalam proses pergerakan aliran air (limpasan) di dalam DAS. Pemisahan aliran permukaan dengan menggunakan perunut alami merupakan metode yang dapat dipergunakan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai proses limpasan. Manfaat dari pengambilan contoh air secara kimiawi dan data-data perunut yang dihasilkan dapat membantu kalibrasi model hidrologi. Selain itu data hidrokimia dapat dipergunakan untuk menduga proporsi limpasan yang berasal dari sumber limpasan yang berbeda pada
waktu yang berbeda, dalam hal ini dengan Simple Mixing Analysis (Dunn et al 2005).
Metode pemisahan aliran permukaan yang digunakan dalam memisahkan beberapa elemen dalam hidrograf pada beberapa kejadian hujan ada yang bersifat subjektif. Perbaikan metode pemisahan aliran yang lebih tepat dapat membantu para ahli hidrologi untuk mengevaluasi alternatif rencana pengelolaan DAS berkelanjutan.
(28)
2
Dengan demikian masih diperlukan studi untuk menentukan metode separasi aliran yang akurat melalui teknik perunut hidrokimia didukung dengan aplikasi media
Geographical Information Systems (GIS). Perunut adalah zat kimia yang digunakan sebagai tanda untuk mengikuti berlangsungnya reaksi kimia atau proses fisika, atau untuk menunjukkan posisi atau lokasi suatu zat kimia.
Selanjutnya Dunn et al (2005) mengemukakan bahwa satu hal umum yang
diperlukan dalam pemodelan adalah separasi hidrograf menjadi beberapa bagian aliran untuk mengidentifikasi sumber aliran dan menduga laju transpor beberapa polutan. Dalam hal ini data hidrokimia dapat dipergunakan untuk menduga proporsi aliran yang berasal dari aliran air di dalam DAS.
Mekanisme proses aliran bawah permukaan wilayah hutan di DAS bagian hulu
telah menjadi perdebatan sejak tahun 1930-an (Bonell 1998, McGlynn et al 2002).
Penelitian dengan menggunakan metode atau pendekatan tunggal melalui pendekatan hidrometrik dianggap memerlukan waktu lama, sehingga saat ini kombinasi pengamatan melalui pendekatan hidrometrik dan perunut merupakan metode standar untuk mengatasi perbedaan persepsi antara model dengan konsep-konsep formal tentang proses limpasan di wilayah hulu suatu DAS (McDonnell 2003). Meskipun beberapa penelitian hidrologi yang mempelajari aliran bawah permukaan di lereng (hillslope) sudah banyak dilakukan pada berbagai kondisi iklim, topografi, dan kondisi geologi, namun masih sedikit yang mengkarakterisasi proses limpasan (aliran air). Di Indonesia penelitian tentang proses limpasan nampaknya belum dilakukan, padahal manfaat yang dapat diperoleh cukup banyak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa data yang diperoleh dari hasil penelitian di bagian lereng di dalam DAS dapat digunakan oleh komunitas ilmuwan untuk pengembangan dan validasi model atau konseptualisasi aliran bawah permukaan (Tromp-van Meerveld 2008). Teknik
pemisahan aliran permukaan yang dapat mengkuantifikasi sumber aliran (source
area) sangat penting dalam mendesain stuktur hidraulik, evaluasi model hujan-aliran
permukaan, mempelajari proses pengendalian banjir, serta pendugaan dan pengurangan kontaminasi air.
(29)
3
Penelitian ini menjadi penting karena masih terbatasnya informasi tentang
mekanisme proses aliran (runoff generation) di Indonesia. Selain itu identifikasi
mekanisme pencucian hara dalam skala DAS yang merupakan bagian dari penelitian ini penting dalam mengembangkan model prediksi dampak perubahan iklim dan penggunaan lahan terhadap kualitas air permukaan.
1.2 Tujuan Penelitian
1. Mempelajari efektifitas perunut hidrokimia untuk mengkuantifikasi dinamika
aliran selama proses limpasan/aliran air (runoff generation)
2. Menentukan potensi sumber aliran (source area) air sungai di dalam DAS melalui
kuantifikasi proses transpor pelarut (solute transport) selama proses
limpasan/aliran air, dan mempelajari keragaman ketersediaannya secara spasial dan temporal,
3. Menyusun model konseptual hubungan antara proses limpasan dengan pencucian
hara dan keragaman ketersediaan air secara spasial dan temporal untuk mendukung pengelolaan sumber daya air di dalam DAS secara berkelanjutan.
1.3 Manfaat Penelitian
1. Tersedianya informasi efektifitas perunut hidrokimia untuk mengkuantifikasi
proses limpasan/aliran air (runoff generation),
2. Tersedianya informasi potensi sumber daya air yang lebih objektif dan akurat
secara spasial dan temporal di suatu DAS,
3. Tersedianya model konseptual hubungan proses limpasan dengan pencucian hara
dan ketersediaan air secara spasial dan temporal sebagai acuan dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air,
4. Dalam jangka panjang, tersedia alternatif teknologi pengelolaan sumber daya air
dalam mengantisipasi perubahan iklim, sebagai masukan bagi para pengambil kebijakan dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air.
(30)
4
1.4 Hipotesis
Hipotesis yang dirumuskan pada penelitian ini yaitu:
1. Kandungan kimia air bervariasi secara spasial dan temporal tergantung pada
karakteristik biofisik DAS dan kondisi hidrogeologinya.
2. Komponen hidrokimia konservatif dapat digunakan sebagai perunut (tracer)
hidrologi daerah aliran sungai
3. Informasi yang diperoleh dari separasi hidrograf dalam jangka panjang dapat
digunakan sebagai sistem peringatan dini (early warning systems) banjir dan
kekeringan, serta penurunan kualitas air.
1.5 Kebaruan Penelitian
1. Diperoleh informasi perunut konservatif di DAS Mikro Cakardipa, DAS
Ciliwung Hulu.
2. Diperoleh informasi sumber limpasan (aliran air) dan tingkat pencucian hara di
DAS mikro Cakardipa, DAS Ciliwung Hulu
3. Diperoleh model konseptual tentang hubungan limpasan dengan ketersediaan air
dan pencucian unsur hara.
1.6 Kerangka dan Ruang Lingkup Penelitian
Untuk mencapai tujuan dan menjawab hipotesis dilakukan serangkaian kegiatan penelitian yang mencakup beberapa tahapan sebagai berikut: (a) Persiapan meliputi: studi pustaka, penyusunan proposal, pengumpulan dan inventarisasi data iklim dan hidrologi, dan pengumpulan peta rupa bumi skala 1:25.000, peta geologi 1:100.000, dan hidrogeologi skala 1:250.000, (b) Kegiatan lapang mencakup: pengambilan conto tanah untuk analisis fisika, kimia, dan mineral; pengamatan kedalaman batuan; pemasangan/instalasi peralatan pengamatan hidrokimia; pemasangan alat pengukur debit dan curah hujan; pengambilan conto air, (c) entri dan analisis data hasil penelitian lapang meliputi: analisis karakteristik biofisik DAS, analisis hidrograf
debit berdasarkan pengukuran hidrometrik dan hidrokimia dengan metode end
(31)
5
(d) penyusunan model konseptual hubungan limpasan dengan ketersediaan air dan pencucian unsur hara, dan (d) penyusunan desertasi.
Diagram alir ruang lingkup penelitian disajikan pada Gambar 1. Selanjutnya metode yang digunakan untuk memahami beberapa proses hidrologi tersebut dilakukan pada DAS berukuran kecil. Variabilitas di dalam DAS berukuran kecil rendah sehingga beberapa proses hidrologi yang terjadi dalam DAS dapat dipelajari lebih efektif.
Gambar 1 Diagram Alir Penelitian Mekanisme Proses Aliran Air di DAS
Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu.
Pengambilan sampel air: untuk analisis
hidrokimia
Karakterisasi wilayah:
Inventarisasi peta geologi dan hidrogeologi
Pengumpulan data iklim dan hidrologi Pengamatan topografi
Pembuatan profil tanah
Pengambilan conto tanah untuk analisis fisika, kimia, dan mineral tanah Pengukuran kedalaman batuan
Pengamatan Lapang
Analisis Laboratorium
Tanah:
Fisika: tekstur, BD, pF, permeabilitas Kimia: pH, bahan organik, nilai tukar kation Mineral tanah
Konsep hubungan antara proses aliran permukaan dengan pencucian hara dan keragaman ketersediaan
air secara spasial dantemporal
Pengukuran hidrometrik untuk pemisahan aliran
permukaan
Air:
Kation dan anion : K, Na, Ca, Mg, SO4 , NO3, SiO2, Cl, HCO3
(32)
(33)
7
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1Sumber Daya Air di DAS Ciliwung:Permasalahan dan Upaya
Penanganannya
Pengelolaan sumber daya air (water resources management) saat ini menjadi
isu yang banyak diperbincangkan di berbagai sektor. Pencemaran lingkungan yang makin meningkat mengakibatkan penurunan kualitas air permukaan, sehingga diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara air permukaan
dengan aliran dasar (baseflow) yang berasal dari air tanah. Pemahaman terhadap
karakteristik baseflow sangat bermanfaat untuk: 1) pihak-pihak yang terkait dengan
pengelola dan pengguna air tanah, 2) mengkuantifikasi polusi air tanah yang masuk kedalam aliran sungai, 3) mempelajari perilaku air tanah dalam berkontribusi terhadap aliran sungai, serta 4) merancang dan mengimplementasikan upaya perlindungan terhadap habitat sungai.
DAS Ciliwung Hulu memiliki luas 14.876 ha dimulai dari hulu sampai Stasiun Pengamatan Air Sungai (SPAS) Katulampa Bogor. Curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1989-2001 adalah 3.636 mm dengan rata-rata hujan bulanan mencapai 303 mm (Kusmana 2003). Berdasarkan data pengamatan selama 1990-2006,
debit maksimum absolut harian sungai Ciliwung mencapai 80,1 m3/s terjadi pada
tanggal 12 Februari 2001, debit minimum absolut harian sebesar 0 m3/s terjadi pada
tanggal 11-13 Oktober 1997, sedangkan debit rata-rata selama periode tersebut
sebesar 9,7 m3/s.
Debit maksimum Sungai Ciliwung yang terjadi selama musim hujan cenderung meningkat dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2006 sebesar 5,6 %, sedangkan debit minimum cenderung menurun sebesar 91,4 %. Rasio debit maksimum dan minimum dapat dipergunakan sebagai indikator dalam menilai tingkat kerusakan sumber daya air di dalam DAS. Meskipun batasan nilai rasio debit maksimum dan minimum berbeda untuk setiap sungai, namun data tersebut memberikan gambaran telah terjadi kerusakan sumber daya air DAS khususnya di DAS Ciliwung dan pada umumnya di Indonesia.
(34)
8
Beberapa permasalahan yang dijumpai dalam pengelolaan sumber daya air di DAS Ciliwung antara lain: 1) secara umum, ketersediaan air telah sangat kritis, 2) pemanfaatan ruang baik di sepanjang sempadan sungai maupun pengelolaan di badan sungainya tidak terkendali, 3) Ketersediaan air yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan semakin mahal dan langka baik kuantitas maupun kualitasnya, sehingga menimbulkan berbagai konflik antar sektor maupun antar wilayah, 4) fluktuasi ketersediaan air permukaan sangat tinggi, sehingga sering terjadi banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, 5) belum adanya kesinergian antar
wilayah dalam bentuk role sharing antara Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah hulu
dengan Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah hilir dalam rangka penanganan hulu DAS. Kondisi tersebut memberikan gambaran tentang telah terjadinya kerusakan DAS yang berdampak terhadap permasalahan surplus/defisit neraca air sepanjang tahun
(Anonim 2004).
Untuk menanggulangi bencana alam seperti banjir yang kerap terjadi setiap tahun, perlu dibentuk kelembagaan pengelolaan DAS yang berfungsi untuk menyelesaikan berbagai isu menyangkut segala permasalahan bencana banjir
(Santoso 2006). Masalah pengelolaan DAS juga berhubungan erat dengan lintas
sektor/instansi/lembaga, lintas wilayah adminsitrasi (Negara/ Propinsi/ Kabupaten/ Kota), serta lintas disiplin ilmu (lingkungan, ekonomi, sosial, politik, hukum). Selain rekomendasi teknis, diperlukan rekomendasi kebijakan karena DAS Ciliwung berada di dua propinsi yaitu Jawa Barat dan DKI Ibukota, yaitu pengelolaan DAS terpadu
untuk mewujudkan kebijakan one river, one plan, one management dan untuk itu
perlu dipastikan bentuk campur tangan pemerintah pusat. Dalam kaitan ini diperlukan
studi peran multipihak dalam penetapan cost and benefit sharing serta imbal jasa
lingkungan antara pemerintahan dan masyarakat di wilayah hulu dan hilir.
Kejadian banjir dan kekeringan dapat menimbulkan dampak nyata terhadap sosial ekonomi masyarakat. Pada umumnya hal ini terjadi karena distribusi air yang tidak merata dan kelembagaan yang tidak berfungsi dengan baik, serta ketidaktahuan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya air. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka mengantisipasi banjir dan kekeringan. Dalam jangka
(35)
9
pendek responnya dapat segera terlihat, seperti perubahan praktek-praktek penggunaan lahan, pemanfaatan irigasi dari reservoir, kampanye mitigasi banjir dan kekeringan melalui konservasi air, dan penyediaan tangki air minum. Sedangkan untuk jangka panjang, meliputi perubahan jenis tanaman dan pembangunan reservoir penyimpan. Pengelolaan sumberdaya air baik kualitas maupun kuantitas semakin penting baik di pulau Jawa maupun luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dll. Dengan karakteristik permasalahan yang berbeda, pendekatan yang dilakukan tentu saja berbeda. Di pulau Jawa terutama wilayah Jabodetabek,
permasalahannya terjadi karena kepadatan penduduk (over population) serta
terjadinya degradasi dan deplesi sumberdaya air. Di pulau Jawa, permasalahan kuantitas dan kualitas air telah menimbulkan konflik kepentingan antara pertanian, industri, dan munisipal, serta antara penggunaan air permukaan dan air tanah seiring dengan pertumbuhan areal perkotaan yang makin cepat. Dengan demikian perbaikan pengelolaan sumberdaya air merupakan hal penting dalam meningkatkan pengelolaan air berkelanjutan (Anonim 2006), yang antara lain dapat dilakukan melalui: (1) peningkatan produktivitas air melalui: a) praktek budidaya tanaman yang lebih baik yang mencakup perbaikan varietas dan substitusi tanaman, b) praktek pengelolaan air yang lebih baik, mencakup pemberian irigasi suplemen yang lebih tepat, re-alokasi air untuk penggunaan dari komoditas yang memiliki nilai ekonomi rendah ke yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan, (2) meningkatkan penyimpanan air melalui pengembangan potensi sumberdaya air, dalam hal ini mencakup pembangunan dam,
recharge groundwarer, dan panen air hujan. Dengan demikian kuantifikasi potensi sumberdaya air sangat diperlukan untuk mendukung perbaikan pengelolaan sumberdaya air.
2.2 Perkembangan Penelitian Tentang Aliran Bawah Permukaan (Subsurface
Stormflow)
Beberapa penelitian tentang aliran bawah permukaan menyatakan bahwa aliran
bawah permukaan merupakan aliran tidak jenuh (unsaturated flow) di dalam zone
(36)
10
bahwa aliran bawah permukaan merupakan fenomena aliran air jenuh (atau mendekati jenuh) (Weiler McDonnell, Meerveld, dan Uchida 2005). Aliran bawah
permukaan juga termasuk air tanah dan airbumi (soil water dan groundwater). Air
tanah (soil water) atau zone tidak jenuh adalah area di dalam profil tanah yang
memiliki matrik potensial < 0 kPa, sedangkan groundwater atau zone jenuh
didefinisikan sebagai area di dalam profil tanah yang memiliki matrik potensial ≥ 0
kPa.
Aliran bawah permukaan menggambarkan semua proses limpasan (aliran air)
yang terjadidi lereng/hillslope (dekat permukaan tanah) yang menghasilkan hidrograf
aliran selama kejadian hujan. Aliran ini bergabung langsung ke dalam aliran pada jalur preferensial seperti pori makro dan lapisan dengan permeabilitas tinggi. Aliran bawah permukaan yang cepat erat kaitannya dengan kondisi hidraulik dari area jenuh di lereng karena adanya infiltrasi air hujan.
Aliran pada skala lereng terdiri dari aliran yang homogen (homogeneous matrix
flow) dan aliran preferensial (preferential flow). Aliran homogen terjadi karena area
yang jenuh di dalam tanah akan mengalami peningkatan gradient hidraulik yang cepat jika terdapat infiltrasi air. Proses ini terjadi di lereng dimana lapisan tanah dengan permeabilitas tinggi dan kapasitas infiltrasi tinggi terletak di atas lapisan tanah
dengan permeabilitas rendah (seperti batuan dan horizon argillic). Karena air yang
disimpan di lereng relatif besar tergantung jumlah hujan, area lereng sering berkontribusi besar terhadap air tanah di sungai, karena hanya sebagian kecil aliran permukaan yang diperlukan untuk meningkatkan gradient hidraulik di lereng. Proses
aliran ini sering digambarkan sebagai translatory flow (Burt 1989), transmissivity
feedback (Rodhe 1987) atau aliran lateral pada lapisan antara tanah dan batuan ( soil-bedrock interface) (Tani 1997). Aliran preferential secara lateral terjadi di dalam tanah dimana aliran air dipengaruhi oleh pori makro, atau di area yang memiliki permeabilitas lebih tinggi dibandingkan matriks tanah sekitarnya. Pori makro dalam tanah atau rekahan batuan mengalirkan air lebih efisien dan cepat dari lereng menuju sungai (Beven dan Germann 1982). Pori makro yang membesar karena adanya erosi
(37)
11
Aliran preferensial sering disebut sebagai aliran preferential secara lateral
(Tsuboyama et al 1994, McDonnell 1990) dan pipeflow (Uchida et al 1999).
Pergerakan air secara lateral dalam tanah merupakan proses penting dalam pendistribusian air, hara, dan larutan di dalam suatu lingkungan dataran tinggi.
Selain sebagai kontributor penting terhadap volume aliran sungai, aliran bawah permukaan juga berperan dalam transpor hara kedalam air permukaan (McGlynn dan McDonell 2003). Karena jalur aliran air di bawah permukaan sering menentukan kimia air dan kualitas air, maka karakterisasi jalur aliran bawah permukaan dan asal
muasal air penting untuk dipelajari (Burns et al 2003). Selain itu aliran bawah
permukaan dapat meningkatkan tekanan pori tanah di lahan yang curam (Uchida et al
1999) dan dapat memicu terjadinya longsor (Montgomery et al 1997, Sidle dan
Tsuboyama 1992). Oleh karena itu proses aliran bawah permukaan mendapat perhatian utama dan penting dalam hidrologi.
Weiler et al (2005) mengemukakan bahwa aliran permukaan tidak selalu terjadi
sekalipun pada hujan dengan intensitas tinggi. Air terinfiltrasi kedalam zone perakaran dan mengalir secara lateral di dalam tanah atau pada lapisan antara tanah dan batuan. Gambar 2 memperlihatkan konsep tentang proses tersebut, yaitu infiltrasi yang terjadi dalam humus dan tanah. Pada profil yang lebih dalam air mengalir secara lateral.
Gambar 2 Model Perseptual Aliran Bawah Permukaan menurut Engler (1919)
(38)
12
Pemahaman tentang aliran bawah permukaan terus meningkat dengan adanya
International Hydrological Decade (IHD). IHD: yakni suatu periode dimana
penelitian tentang hidrologi proses mulai berkembang. MenurutWeiler et al (2005),
Hewlett dan Hibbert (1963) melakukan penelitian tentang kondisi kelembaban dan
energi di daerah lereng dan berbatu (sloping concrete-walled hillslope), Whipkey
(1965) tentang aliran preferensial secara lateral, Dunne dan Black (1970) tentang
aliran bawah permukaan di areal hillslope dan interaksinya dengan area jenuh di
dekat sungai. Hasil penelitian terpenting selama IHD yaitu pembingkaian aliran
bawah permukaan dalam konteks ‘konsep beberapa source area’ (source area
concept) yang dilakukan oleh Hewlett dan Hibbert (1967) di Amerika, Cappus (1960) di Perancis, Tsukamoto (1961) di Jepang. Selanjutnya Anderson dan Burt (1978) menjelaskan tentang peranan cekungan-cekungan dalam menghubungkan aliran bawah permukaan dengan sungai.
Hasil penelitian Mosley (1979, 1982) tentang aliran bawah permukaan di DAS Maimai di New Zealand menunjukkan terdapat persamaan waktu antara debit puncak aliran di sungai dengan puncak aliran bawah permukaan karena adanya pergerakan air yang cepat secara vertikal dan kemudian mengalir secara lateral ke lereng bagian
bawah. Mosley (1979) mengemukakan bahwa air yang keluar melalui dua pipa (pipes
flow) selama kejadian hujan biasanya terjadi pada dasar horizon B, dimana terdapat
laju outflow yang tinggi. Aliran melalui pori makro merupakan proses pergerakan air dalam tanah organik dan memiliki konduktivitas hidraulik 300 kali lebih besar
daripada yang terukur pada tanah mineral. Hasil penelitian Pearce et al (1986) dan
Sklash et al (1986) tentang aliran bawah permukaan dengan menggunakan teknik
isotop di DAS Maimai menunjukkan bahwa: 1) pada umumnya campuran old
(pre-event) dan new (event) water terjadi di lereng, dan 2) air bawah permukaan dalam aliran sungai merupakan air yang bercampur sempurna secara isotop. Model
perseptual Sklash et al (1986) meniadakan pentingnya transmisi air hujan yang cepat
di lereng bawah melalui pori makro, karena air disimpan sebagai komponen utama
(39)
13
Menurut McDonnell (1990) air yang terinfiltrasi bergerak sesuai kedalaman
tanah, air berada pada soil-bedrock interface dan disimpan dalam volume yang lebih
besar menjadi aliran dasar (baseflow). Woods dan Rowe (1996) dan Brammer et al
(1995) (dalam McGlynn et al 2002) menunjukkan bahwa kondisi topografi
permukaan batuan (bedrock) merupakan kunci penentu dimana aliran bawah
permukaan terkonsentrasi secara spasial di lereng.
Weiler dan McDonnell (2004a) menyertakan keragaman kedalaman tanah kedalam model aliran bawah permukaan dan simulasinya di lereng DAS Panola, Amerika. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keragaman kedalaman tanah tidak hanya berpengaruh besar terhadap keragaman aliran bawah permukaan secara spasial tetapi juga sangat mempengaruhi volumenya. Pada beberapa kondisi lingkungan, aliran bawah permukaan didominasi oleh aliran pori makro secara lateral yaitu dari
wilayah lahan basah dan hutan-hutan di daerah kutub sampai hutan hujan tropis dan
lahan kering (McGlynn et al 2002).
Pori makro pada umumnya disebut soils pipes, dan aliran bawah permukaan
yang berada pada pori makro secara alami disebut pipeflow. Pipeflow secara lateral
berperan pada penelitian di lereng (Uchida et al 1999), pencucian hara/nutrient
flushing (Buttle et al 2001), serta pendistribusian aliran ke sungai (Freer et al 2002, McDonnell 1990) dan ke zone riparian (McGlynn dan McDonnell 2003a).
Karaktersitik pipeflow sudah diuji pada skala lereng di Jepang, Inggeris, Amerika
Utara dan Peru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa debit maksimum pipeflow
ditentukan terutama oleh diameter pori makro. Beberapa model telah mempelajari
perilaku pipeflow pada proses limpasan (Faeh et al 1997, Jones and Conelly 2002,
Kosugi et al 2004, Weiler et al 2003). Hubungan antara jumlah presipitasi dengan
volume aliran bawah permukaan terdapat kecenderungan hubungan tidak linier antara
keduanya (Buttle et al 2004, McDonnell 2003)
Hasil penelitian hidrologi di hillslope (Mosley 1979 dan Whipkey 1965, dalam
Weiler at al 2005) menunjukkan bahwa ambang batas presipitasi untuk dimulainya aliran bawah permukaan dan pada umumnya berkisar antara 15 dan 35 mm. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa ambang batas presipitasi tergantung
(40)
14
pada kondisi kelembaban sebelumnya (Guebert dan Gardner 2001, Noguchi et al
2001, Uchida et al 1999). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aliran pori makro
dan aliran matrik memiliki ambang batas yang sangat mirip (sekitar 55 mm). Nilai ambang batas presipitasi berhubungan dengan kondisi kelembaban tanah sebelumnya (Meerveld dan McDonnell 2004).
2.3 Separasi Hidrograf Secara Geokimia untuk Menentukan Sumber Limpasan (SourceArea) dalam DAS
Air disimpan pada berbagai tempat di dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) dan memiliki karakteristik kimia berbeda. Kimia air sungai sangat tergantung kepada jalur aliran dimana air itu mengalir pada saat menuju sungai. Mengetahui jalur aliran yang dominan dan bagaimana air mengalami perubahan secara kimiawi selama kejadian hujan merupakan hal penting dalam memahami proses limpasan terutama yang menyangkut aliran bawah permukaan. Pemahaman teknik kuantitatif yang digunakan untuk mengkarakterisasi proses hidrologi dalam DAS merupakan hal mendasar yang diperlukan dalam penelitian hidrokimia. Pengukuran debit aliran yang tidak akurat atau ketidaksesuaian metode pengambilan conto dan bahan kimia terlarut
akan mengakibatkan kesalahan (error) dalam menetapkan hubungan antara debit dan
kandungan bahan kimia atau dalam penghitungan neraca masa (Semkin et al 1994).
Di Indonesia, penelitian hidrokimia dalam kerangka pengelolaan kualitas air dan program evaluasi hidrokimia telah dilakukan di Krueng Aceh, dan merupakan penelitian tentang muatan bahan kimia di dalam DAS. Evaluasi kualitas air dilaksanakan dari mulai sumber air di daerah hulu sampai daerah hilir DAS sebagai
akibat dampak perubahan penggunaan lahan (Environmental Services Program 2007).
Penelitian lain dilakukan untuk mengetahui tipe aquifer dan hidrokimia air bumi (groundwater) serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi variasi karakteristik air tanah. Hasil penelitian dipergunakan sebagai dasar penentuan lokasi dan kedalaman sumur sebagai suplai air bersih (Santosa 2001). Namun penelitian yang mempelajari proses limpasan belum dilakukan.
(41)
15
Mekanisme proses aliran bawah permukaan (subsurface runoff generation) di
wilayah hulu DAS telah menjadi perdebatan sejak tahun 1930-an (Dunn 1998, Bonell
1998, McGlynn et al 2002). Penelitian tentang sumberdaya air di DAS berukuran
kecil difokuskan dalam kaitannya dengan siklus hidrologi dan transformasi curah hujan yang melewati kanopi vegetasi yang terinfiltrasi kedalam tanah dan batuan
sebagai air bumi (groundwater), dan yang masuk kedalam sungai atau danau. Secara
ekologi DAS mikro yang berada di daerah hulu suatu DAS sangat sensitif terhadap perubahan ekosistem karena aktivitas manusia, sehingga dapat dipergunakan sebagai
sistem peringatan dini (early warning systems) perubahan ekologi. Namun penilaian
tentang pengaruh lingkungan terhadap suatu areal yang sensitif sulit diperoleh apabila tidak ada informasi yang lengkap tentang proses-proses hidrologi, kimia, dan biologi
yang komplek dan saling berkaitan (Christophersen et al 1994).
Pada umumnya model hujan dan aliran permukaan mensintesis perilaku hidrologi dalam DAS, meskipun demikian ketepatan output sangat tergantung kepada teknik dan algoritma yang digunakan dalam memisahkan aliran kedalam komponen-komponennya. Selain sebagai kontributor penting terhadap volume aliran sungai, aliran bawah permukaan juga berperan dalam transpor hara kedalam badan air permukaan (McGlynn dan McDonell 2003b). Karena jalur aliran air bawah permukaan sering menentukan kualitas air (kimia, fisik, dan mikrobiologi), maka karakterisasi jalur aliran bawah permukaan dan asal muasal air penting dipelajari
(Burns et al 2003). Identifikasi sumber limpasan dalam unit DAS dan memahami
jalur aliran penting dalam: a) membantu mengembangkan model pengelolaan DAS, b) membantu mengidentifikasi sumber kunci beberapa polutan, c) membantu evaluasi tentang pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kualitas air (Ockenden dan Chappell 2011).
Data hidrokimia dapat dipergunakan untuk menduga proporsi limpasan (aliran
air) yang berasal dari jalur aliran yang berbeda pada waktu yang berbeda (Dunn et al
2005). Perbaikan teknik yang tersedia atau pengembangan pendekatan yang lebih tepat dapat membantu para ahli hidrologi untuk mengevaluasi alternatif rencana pengelolaan air yang berkelanjutan. Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa
(42)
16
peneliti memfokuskan penelitiannya untuk menganalisis sumber limpasan (source
area) secara spasial di dalam DAS melalui penggunaan tool End Member Mixing
Analysis (EMMA), pemisahan hidrograf berdasarkan perunut dan analisis hidrometrik
(Inamdar dan Mitchell 2007, Bernal et al 2005, Subagyono et al 2005, Wenninger et
al 2004, McGlynn dan McDonnell 2003a, Burns et al 2001, dan Hangen et al 2001).
Beberapa penelitian mengkuantifikasi limpasan dari sumber (source) yang
berbeda dan menunjukkan kontribusi yang berbeda tergantung kondisi kelembaban
yang ada di dalam DAS (Burns et al 2001, McGlynn dan McDonnell 2003a).
McGlynn dan McDonnell (2003a) mengidentifikasi unit riparian dan hillslope
sebagai kontributor utama terhadap aliran DAS di DAS Maimai New Zealand. Kontribusi riparian cukup besar pada saat kejadian hujan kecil dan pada kondisi awal pada hujan besar, sementara kontribusi lereng terbesar terjadi selama debit puncak
pada kejadian hujan yang besar. Hasil penelitian Hangen et al (2001) di DAS kecil di
Black Forest di wilayah Jerman menunjukkan bahwa reservoir di riparian dan lereng merupakan regulator dari aliran. Penelitian ini menyajikan 3 langkah model proses
limpasan yaitu: aliran permukaan, air tanah, dan airbumi (groundwater) di riparian,
dan interflow di lereng yang semuanya merupakan kontribusi utama aliran di dalam
DAS. Bernal et al (2006) mengemukakan bahwa kimia aliran tidak dapat dijelaskan
oleh end member selama musim kemarau. End member menggambarkan karakteristik
air yang teridentifikasi dari unit hidrologi atau geologi yang berbeda.
Inamdar dan Mitchell (2007) menggunakan beberapa prosedur analisis seperti
hydrometric, geochemical, dan landscape untuk mengkarakterisasi sumber limpasan
dan pengaruh topografi terhadap respon hidrologi. Identifikasi terhadap throughfall,
debit airbumi di lereng, dan air di riparian dilakukan dengan menggunakan End
Member Mixing Analysis (EMMA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi dari rembesan airbumi tertinggi terdapat selama terjadinya baseflow, sedangkan
kontribusi dari throughfall meningkat pada saat terjadi peningkatan hidrograf,
sementara jumlah air riparian paling besar terjadi pada saat atau setelah mencapai
debit puncak. Mulholland dan Hill (1997) menggunakan pendekatan end member
(43)
17
untuk mengontrol konsentrasi hara di DAS Walker Branch. Hasil penelitian lain
menunjukkan bahwa Ca2+ dan SO42- dapat digunakan sebagai perunut konservatif
dalam analisis end member mixing untuk mencirikan jalur aliran air dominan di
dalam DAS (Mulholland 1993). Ca2+ dan SO42- tergolong kedalam perunut
lingkungan (alami) yang dapat dipergunakan untuk menentukan input airbumi terhadap aliran selama terjadi periode aliran tinggi maupun rendah.
Perunut lingkungan dapat terjadi secara alami atau dilepas kedalam suatu lingkungan karena adanya aktivitas manusia. Yang termasuk kedalam perunut
lingkungan yaitu: 1) parameter lapang seperti electrical conductivity atau pH, 2) ion
utama seperti kalsium, magnesium, natrium, chlor, dan bikarbonat, 3) isotop stabil
seperti oxygen-18 (18O) and deuterium (2H), 4) isotop radioaktif seperti tritium (3H)
and radon (222Rn), 5) unsur kimia dalam industri seperti chlorofluorocarbons (CFC) and sulphur hexafluoride (SF6). Beberapa penelitian telah menggunakan beberapa perunut seperti ion utama, isotop stabil dan istotop radioaktif untuk mempelajari
interaksi antara airbumi dan air permukaan (Crandall et al 1999, McCarthy et al 1992,
Herczeg et al 2001, Cook et al 2003, Baskaran et al 2004).
Kelebihan perunut lingkungan (alami) yaitu: 1) berguna untuk mengembangkan pemahaman tentang aliran airbumi di dekat sungai dan memberikan informasi tentang
evolusi airbumi, residence time, atau analisis campuran yang sulit untuk ditentukan,
2) pengukuran perunut lingkungan secara seri waktu sepanjang aliran merupakan tool
berharga untuk mempelajari distribusi aliran airbumi secara spasial. Metode ini lebih
cepat dan murah daripada metode fisik seperti: seepage meters atau pengamatan
hidrometrik, terutama jika menggunakan parameter kimia seperti EC atau pH, 3) monitoring secara seri waktu terhadap perunut lingkungan dapat memberikan informasi perubahan flux seepage di alur air. Pengamatan hidrokimia pada umumnya dilakukan untuk melengkapi data dan analisis hidrometrik, 4) isotop stabil dan radioaktif dapat digunakan sebagai alat untuk pengamatan pendahuluan atau untuk konfirmasi hasil yang diperoleh dengan metode lain. Deuterium, oxygen-18 dan radon-222 merupakan isotop yang digunakan untuk mempelajari interaksi airbumi-air tanah.
(44)
18
Kelemahan metode perunut lingkungan yaitu: 1) mahal karena memerlukan biaya transportasi dan biaya analisis laboratorium, 2) memerlukan keahlian khusus untuk pengambilan sampel dan interpretasinya, 3) perunut seperti deuterium, oxygen-18 atau tritium memerlukan waktu lama antara pengambilan sampel sampai mendapatkan hasil analisis, 4) model yang digunakan untuk mengkuantifikasi fluks
seepage dari data hidrokimia memerlukan perkiraan parameter yang sulit diukur di lapangan.
Separasi hidrograf secara geokimia dengan EMMA menggunakan Ca2- dan
SiO2 telah dilakukan di bagian hulu DAS Kawakami, Jepang, untuk menentukan
sumber aliran yang berkontribusi pada saat hujan (Subagyono 2002). Separasi hidrograf secara geokimia pada kejadian hujan 143.5 mm menunjukkan bahwa air riparian di dekat permukaan, air tanah di lereng, dan air bumi di riparian dalam, merupakan sumber utama pada saat hujan berturut-turut sebesar 45%, 35%, dan 20%
dari total limpasan.‘Daerah riparian dekat permukaan’ mendominasi baseflow (87%),
pada awal hujan sebesar 58%, akhir hujan sebesar 66%, dan setelah hujan sebesar
76%. ‘Daerah riparian dekat permukaan’ kurang berkontribusi antara periode puncak
dan akhir hujan, dimana saat itu yang terutama berkontribusi adalah air tanah di lereng. Airbumi di riparian dalam merupakan penyusun utama zone jenuh, dan tidak pernah mendominasi pada saat kejadian hujan meskipun kontribusi meningkat selama puncak hujan 41%, dan pada akhir hujan 32%.
Hasil penelitian menggunakan analisis end member mixing menunjukkan
bahwa kontributor utama terhadap debit di DAS mikro Huewelerbach adalah
komponen airbumi, yang kedua adalah aliran permukaan (overlandflow), dan yang
terakhir adalah air tanah dangkal. Sedangkan di DAS mikro Weierbach, aliran permukaan tidak berkontribusi nyata. Airbumi hanya berkontribusi kurang dari 2%,
dan lebih dari 90% total debit merupakan kontribusi dari throughfall (Krein et al
2007).
Inamdar dan Mitchell (2006a) menyatakan bahwa kontribusi end member bervariasi tergantung kepada ukuran DAS dan besarnya hujan. Kontribusi riparian lebih besar pada DAS yang berukuran besar, sementara rembesan airbumi sangat
(45)
19
penting untuk DAS kecil bagian hulu. Lereng yang curam dan kelembaban di daerah lembah menunjukkan adanya air rembesan dari lereng selama kondisi terdapat aliran dasar. Kontribusi air riparian terhadap aliran sungai lebih tinggi pada kejadian hujan
yang lebih besar, sementara kejadian hujan yang kecil dan antecedent moisture
content (AMC) yang tinggi mengekspresikan adanya rembesan airbumi.
Van Verseveld et al (2008) melakukan analisis EMMA berdasarkan
Christopherson and Hooper (1992), Burns et al 2001, McHale et al (2002), James dan
Roulet (2006), serta Inamdar dan Mitchell (2006b) untuk mengidentifikasi end member aliran dan air bawah permukaan secara lateral. EMMA memiliki asumsi
bahwa proses pencampuran end member harus linier, dan pelarut (solute) yang
digunakan harus konservatif. Untuk mengevaluasi model EMMA, konsentrasi pelarut hasil prediksi EMMA dibandingkan dengan hasil pengukuran, dan membandingkan
kontribusi end member hasil perhitungan dengan data hidrometrik.
Sumber aliran secara spasial juga telah diidentifikasi oleh Inamdar dan Mitchell (2006a) menggunakan silica (Si), magnesium (Mg), dan dissolved organic carbon (DOC) sebagai perunut. Silika dan magnesium dipilih sebagai perunut pada beberapa penelitian karena secara tipikal unsur ini ada bersama airbumi dalam dan air tanah
dengan residence time tertentu dalam suatu DAS (McGlynn dan McDonnell 2003,
Shanley et al 2002). Meskipun DOC bukan perunut konservatif, DOC telah berhasil
diadopsi dalam berbagai penelitian untuk mengidentifikasi jalur aliran dan sumber
limpasan (Bernal et al 2006, Brown et al 1999, McGlynn dan McDonnell 2003a). Di
DAS Point Peter Brook, Inamdar dan Mitchell (2006a) menemukan konsentrasi Si paling tinggi pada airbumi riparian diikuti oleh debit airbumi dari rembesan lereng.
Hasil analisis EMMA menunjukkan bahwa tiga end member yang berperan dalam
sebagian besar kejadian hujan yaitu throughfall, rembesan lereng, dan airbumi dari riparian.
Proporsi aliran yang berasal dari tiga end member dihitung dengan
menggunakan neraca massa yang dikemukakan oleh Burns et al (2001). Sedangkan
model EMMA dievaluasi dengan membandingkan konsentrasi Mg2+, Si, DOC, NO3- ,
(46)
20
diasumsikan bercampur secara konservatif (Inamdar and Mitchell 2006b). Nilai R2
antara konsentrasi prediksi EMMA dengan hasil pengukuran berkisar antara 0.79 dan 0.99, menunjukkan bahwa tiga komponen terpilih berdasarkan EMMA merupakan prediktor konsentrasi pelarut yang kuat. Model EMMA juga menunjukkan bahwa kontribusi airbumi riparian paling tinggi terjadi setelah puncak debit dan selama
kurva resesi.
2.4 Model Konseptual Aliran Permukaan dalam Skala DAS
Penelitian di DAS Maimai dan penelitian lain sampai awal tahun 1990-an
menghasilkan kesepakatan umum yaitu: 1) pre-event water (soil water) yang
disimpan di dalam DAS sebelum kejadian hujan merupakan kontributor dominan terhadap aliran di sungai, rata-rata mencapai 75% (Buttle 1994), 2) aliran preferensial secara vertikal (sering juga secara lateral) merupakan fenomena yang ada di dalam tanah secara alami, terutama di DAS yang curam, 3) perlu menggabungkan pengamatan hidrometrik, kimia, dan isotop dalam satu penelitian untuk mengatasi
perbedaan persepsi tentang model perseptual subsurface stormflow ataupun
mekanisme aliran/limpasan yang lain.
Berdasarkan pengamatan perunut hidrokimia, beberapa penelitian telah berhasil
menyusun model konseptual proses limpasan untuk menjelaskan pola kontribusi
ketiga end member secara temporal (Wheater et al 1990, Jenkins et al 1994, dan
Soulsby et al 1998, Inamdar dan Mitchell 2007). Inamdar dan Mitchell (2007)
menyusun model konseptual proses aliran air untuk menjelaskan pola kontribusi
ketiga end member secara temporal melalui tiga langkah (stage). Pada tahap pertama
yaitu kondisi baseflow ternyata area jenuh pada riparian di lembah mendapat
recharge dari rembesan (seepage) air bumi (deep groundwater). Gradient hidraulik rembesan air bumi lebih besar daripada gradient rembesan di riparian/area lahan basah, terutama untuk DAS wilayah hulu. Meskipun demikian beberapa resapan air
bumi seperti recharge area riparian di daerah lembah sebagian besar dialirkan ke
sungai. Kontribusi air riparian terhadap aliran sungai ternyata cukup tinggi pada DAS yang lebih luas yang memiliki reservoir riparian lebih besar. Selanjutnya pada tahap
(47)
21
kedua merupakan peningkatan kurva hidrograf. Pada tahap ini terjadi peningkatan
hidrograf yang tajam dengan adanya peningkatan kontribusi throughfall. Throughfall
masuk melalui area jenuh di permukaan dan dialirkan ke jaringan drainase (drainage
network) sebagai saturation excess runoff. Kontribusi airbumi riparian juga
meningkat karena adanya: a) penggantian air riparian dengan throughfall dan
presipitasi, b) Percampuran dan pengangkutan air throughfall kedalam aliran
permukaan jenuh (saturation overland flow), c) Penggantian airbumi riparian oleh
input dari interflow di lereng. Pada tahap terakhir adalah puncak debit dan kurva penurunan. Pada tahap ini kontribusi air riparian terhadap aliran sungai mencapai puncak karena adanya gradient hidraulik dan flux air di lereng, dan pada akhir kurva resesi kontribusi riparian dan dan throughfall menyusut.
Van Verseveld et al (2008), Frey et al (2007), Joerin et al (2002), dan Burns et
al (2001) menunjukkan bahwa secara eksplisit terdapat kaitan antara faktor internal
dalam DAS (tanah dan larutan unsur kimia) dengan pengamatan kimia aliran/stream
chemistry. Pada umumnya terdapat keragaman konsentrasi larutan di outlet berdasarkan pengukuran dibandingkan perhitungan berdasarkan model. Model konseptual hubungan proses aliran air dengan ketersediaan air dalam DAS hanya mencakup proses di dalam DAS yang mempengaruhi kimia aliran atau yang memberi pertanda kimia dalam aliran.
(48)
(49)
23
III BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian lapang dilakukan pada bulan Mei 2008 sampai April 2010 di DAS mikro Cakardipa, sub DAS Cisukabirus, mencakup areal seluas 60 ha yang merupakan bagian dari DAS Ciliwung Hulu dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di wilayah DAS Ciliwung Hulu terdapat 7 Sub DAS, yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Analisis tanah dan air dilakukan di Balai Penelitian Tanah, sedangkan analisis data dan pemetaan dilakukan di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan dan peralatan yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu:
o Peta rupabumi skala 1:25.000, peta geologi skala 1:100.000, peta geohidrologi
skala 1:250.000
o Data iklim harian mencakup: curah hujan, dan evapotranspirasi 10 tahun terakhir;
o Data hidrologi mencakup data tinggi muka air (debit)
o Data tanah: sifat fisik, kimia, dan mineral tanah
o Alat pengukur penetapan kedalaman air tanah, piezometer, tensiometer, suction
sampler (pompa pengambil air tanah dan air bumi)
o Botol untuk pengambilan conto air tanah, airbumi, air hujan, air sungai, aliran
permukaan, dan air dari saluran/sistem drainase
o Ring sampel, GPS (Global Positioning System); AWLR(Automatic Water Level
Recorder); AWS (Automatic Weather Station) dan Current meter, bor tanah.
o Seperangkat komputer, plotter, dan digitizer; software Arc-GIS versi 8.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Karakterisasi Biofisik Wilayah Penelitian
(50)
24
1. Penyusunan peta satuan lahan. Peta satuan lahan disusun dengan meIakukan
tumpang tindih (overlay) beberapa peta tematik yaitu: peta topografi, peta jenis
tanah, peta penggunaan lahan, dan peta geologi,
2. Identifikasi sumberdaya tanah. Identifikasi sumberdaya tanah dilakukan untuk mengamati karakteristik tanah melalui pembuatan profil tanah antara lain: bahan induk tanah, bentuk wilayah, lereng, drainase, solum tanah, horison dan ketebalan horison, warna, tekstur, keadaan batuan, dan pH tanah. Pengambilan contoh tanah dilakukan di lereng dan diambil pada setiap lapisan untuk analisis laboratorium. Analisis laboratorium dilakukan untuk mengetahui karakteristik tanah yang tidak dapat diamati di lapangan dan mengkuantifikasi data lapang antara lain: mineral
tanah, tekstur (pasir,debu dan liat), pH , bahan organik (C total dan N total), P2O5
dan K2O dalam bentuk total dan tersedia, kapasitas tukar kation, nilai tukar kation
(Ca2+, Mg 2+, K+ dan Na+). Pengambilan conto tanah dengan ring sample untuk
analisis fisika meliputi: pF, porositas tanah dan distribusi pori, bobot isi (bulk
density), dan konduktivitas hidraulik,
3. Pengumpulan data curah hujan. Data curah hujan diambil dari stasiun hujan Citeko untuk mengetahui karakteristik hujan jangka panjang, sedangkan untuk melihat fluktuasi curah hujan di DAS mikro Cakardipa telah dipasang alat
pengukur hujan otomatis (ARR: Automatic Rainfall Recorder) tipe HOBO.
4. Pengamatan karakteristik hidrologi. Untuk mempelajari karakteristik aliran DAS Mikro Cakardipa telah dilakukan pemasangan alat pengukur tinggi muka air
otomatis (Automatic Water Level Recorder, AWLR).
3.3.2 Instalasi Bendung Penduga Debit (Pengamatan Hidrometrik) di DAS Mikro Cakardipa
Untuk mempelajari karakteristik aliran DAS Mikro Cakardipa telah dilakukan
instalasi alat pengukur tinggi muka air otomatis (Automatic Water Level Recorder,
AWLR) tipe pelampung. AWLR tipe pelampung (Gambar 3) merekam data tinggi muka air berdasarkan perubahan ketinggian pelampung yang mengapung pada permukaan air dan terhubung dengan sensor AWLR berdasarkan prinsip kerja katrol.
(51)
25
Pelampung tersimpan dalam sumur yang berhubungan dengan dasar sungai melalui prinsip bejana berhubungan.
Data tinggi muka air yang terekam oleh AWLR belum memberikan informasi berguna dalam mempelajari karakteristik hidrologis aliran. Data tinggi muka air tersebut perlu ditransformasi menjadi data debit menggunakan persamaan kurva
lengkung debit (rating curve). Kurva lengkung debit ditetapkan berdasarkan rumus
bangunan bendung penduga debit (weir) yang berbentuk persegi panjang. Persamaan
lengkung debit pada bangunan weir berbentuk persegi panjang dapat disusun
berdasarkan persamaan sebagai berikut :
g H
L C
Q * * 1,5* 2. ... (1)
dengan:
Q : debit (m3 s-1)
C : koefisien weir (0,35)
L : lebar mulut weir (m)
H : tinggi muka air pada weir (m)
g : percepatan gravitasi bumi 9,8 m s-2
Untuk weir DAS Mikro Cakardipa, persamaan kurva lengkung debitnya adalah sebagai berikut:
Ketinggian muka air < 29 cm, maka
Q = 0,35x0,9xH1,5 x(2x9,8)0,5...(2)
Ketinggian muka air > 29 cm, maka
Q = 0,35x0,39x(0,29)1,5 x(2x9,8)0,5+ 0,35x1,98x(H-0,29)1,5 x(2x9,8)0,5....(3)
Untuk mempelajari karakteristik hujan sesaat telah dilakukan instalasi
pengamat hujan otomatis (ARR: Automatic Rainwater Recorder) tipe HOBO. Alat ini
terdiri dari sensor hujan tipe typing bucket (timbangan), serta sistem perekaman data
menggunakan data logger. Alat ini dapat mencatat intensitas hujan dengan interval pengamatan hingga beberapa detik. Dalam penelitian ini, data diolah dalam interval waktu 5 menit.
(52)
26
Gambar 3 ARR tipe HOBO, Bangunan Bendung Penduga Debit (weir), dan AWLR
Tipe Pelampung pada Titik Keluaran DAS Mikro Cakardipa.
3.3.3 Pengamatan Kedalaman Tanah dan Batuan
Pengamatan kedalaman tanah dan batuan (bedrock) diperlukan sebagai dasar
dalam menentukan kedalaman pemasangan jaringan peralatan pengamat hidrometrik
dan hidrokimia (piezometer, tensiometer, dan suction sampler). Untuk menentukan
kedalaman batuan dilakukan pengeboran tanah pada setiap kedalaman 50 cm sampai 1 meter untuk melihat karakteristik dari tanah dan batuannya. Pengeboran dilakukan dengan menggunakan bor tangan yang memiliki diameter 1,25 dan 3,0 inchi. Alat ini terdiri dari mata bor dari bahan baja yang dihubungkan dengan pipa yang memiliki panjang 0,5 m dan 3 m serta besi pemutar. Ilustrasi bor tangan disajikan pada Gambar 4, dengan cara kerja sebagai berikut:
1. Bor diameter 1,5 inchi dengan panjang mata bor 1,0 m dihubungkan dengan
pegangan atau tangkai. Untuk pengamatan lapisan tanah yang lebih dalam diperlukan sambungan pipa lain.
2. Bor dimasukan ke dalam tanah dengan cara ditekan dan disentakan secara
berulang oleh tenaga manusia sehingga mata bor masuk ke dalam tanah sampai AWLR tipe pelampung
(53)
27
kedalaman tertentu dan tanah hasil pengeboran tersebut masuk ke dalam lubang bor.
3. Bor diangkat pada setiap kedalaman 50 cm sampai 100 cm. Material (tanah dan
batuan) yang terdapat dalam mata bor dikeluarkan, kemudian diamati karakteristiknya (warna, kekerasan/kekompakan, dan tekstur).
4. Pada saat alat pengeboran sudah tidak mampu menembus batuan yang ada di
dalam tanah, kondisi ini dianggap sebagai kedalaman batuan (bedrock).
Ilustrasi kegiatan lapang pada saat pengamatan kedalaman tanah dan batuan disajikan pada Gambar 5.
Gambar 4 Bor manual terbuat dari pipa besi baja yang dipergunakan untuk mengetahui kedalaman tanah dan batuan
(54)
28
Gambar 5 Pengeboran tanah untuk menentukan kedalaman batuan (bedrock) di
DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu.
Pengeboran dilakukan sebanyak 10 titik yaitu 5 titik pengamatan (L1 – L5) di
lereng arah timur dan 5 titik di lereng arah barat (L6 –L10). Dari hasil pengamatan
diketahui bahwa pada lereng bagian atas (punggung lereng) memiliki lapisan bedrock
yang lebih dalam dibandingkan dengan lereng di bagian bawah (lembah). Karakteristik kedalaman tanah dan batuannya disajikan pada Tabel Lampiran 1-10.
3.3.4 Pemasangan Peralatan Pengamatan Hidrokimia
Dari 10 titik pengamatan kedalaman bedrock telah dilakukan pemasangan
jaringan pengamatan hidrokimia berupa piezometer, tensiometer, dan suction sampler
di 9 titik pengamatan. Pemasangan peralatan dilakukan pada suatu transek yang
ditetapkan sesuai dengan jalur aliran air di lahan kering berlereng (hillslope)
masing-masing sebanyak 5 titik pada lereng arah timur dan 4 titik pada lereng arah barat dari sungai di DAS mikro Cakardipa. Pemasangan alat pengamatan hidrokimia secara spasial disajikan pada Gambar 6, sedangkan secara vertikal disajikan pada Gambar 7. Jaringan alat pengamatan hidrokimia seluruhnya berjumlah 62 buah, terdiri dari 22
tensiometer, 16 piezometer, dan 24 suction sampler yang dipasang pada berbagai
kedalaman. Tensiometer dipergunakan untuk mengukur potensial air tanah, piezometer digunakan untuk mengukur kedalaman muka air tanah dan pengambilan
(55)
29
conto airbumi, sedangkan suction sampler dipergunakan untuk menyedot sampel air
tanah. Prototipe tensiometer dan suction sampler yang digunakan pada penelitian ini
disajikan pada Gambar 8, dan distribusi kedalaman pemasangan peralatan pengamatan hidrokimia disajikan pada Tabel 1.
Gambar 6 Lokasi Pengamatan Batuan dan Pemasangan Jaringan Pengamatan Hidrokimia secara Spasial di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus.
3.3.5 Penentuan Arah Aliran secara Vertikal dan Lateral
Jalur aliran ditentukan di wilayah lereng atas, tengah, dan bawah sampai ke jalur sungai. Jalur aliran bawah permukaan ditetapkan berdasarkan garis equipotensial yang menggambarkan titik-titik yang memiliki potensial air yang sama. Arah aliran bawah permukaan secara vertikal dan lateral ditentukan
(56)
30
pada kedalaman yang berbeda di areal lereng tengah dan bawah. Menurut Subagyono
dan Tanaka (2007), gradien tinggi hidrolik secara vertikal (∂Η/∂z) dihitung
berdasarkan persamaan berikut:
∂H/∂z = (H2-H1)/(z2-z1)...(4)
Dengan : H1 dan H2 adalah tinggi hidrolik pada kedalaman terendah (0,25 m) dan
tertinggi (9 m), dan z1 and z2 adalah ketinggian tempat titik pengamatan.
Sedangkan gradien tinggi hidrolik secara lateral (∂Η/∂z) dihitung berdasarkan
persamaan berikut:
∂H/∂z = (Hb-Ha)/(zb-za)... (5)
Dengan : Ha dan Hb tinggi hidrolik pada titik pengamatan L4 dan L5, sedangkan za
(57)
31
Keterangan:
L1, L2, L8,L9 : terdiri dari tensiometer dan suction sampler
L3, L4, L5, L6, L7 : terdiri dari tensiometer, piezometer, dan suction sampler
Gambar 7 Skema Pemasangan Jaringan Pengamatan Hidrokimia di Lereng sebelah Barat dan Timur DAS mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus, DAS Ciliwung Hulu
(58)
32
A.
B.
C.
Gambar 8 Peralatan Tensiometer (A), Suction Sampler (B), dan Piezometer (C)
(59)
33
Tabel 1 Distribusi peralatan pengamatan hidrometrik dan hidrokimia
Kedalaman (cm)
L1 L2 L3 L4 L5 Alur
sungai
L6 L7 L8 L9
Piezometer 25 v v
50 v v v
100 v v v
150 v v
200 v v v
250 300
400 v v v
Tensiometer 25 v v
50 v v
100 v v v v v
150 v v
200 v v v
250 v v v v
300 v v
350 v
400 v v
550 v
650
900 v
Suction 25 v v
Sampler 50 v v v
100 v v v v v
150 v v
200 v v
250 v v v v
300 v v
350 v v v
400 v v
550 v
650
900 v
Keterangan: L1 –L9 adalah lokasi pemasangan alat
3.3.6 Pengambilan Conto Air
Pengambilan conto air dilakukan pada 25 episode hujan (storm event) selama
musim hujan dan periode pengambilan satu bulan sekali selama 11 bulan yaitu dari bulan Juni 2009 sampai dengan April 2010. Pengambilan sampel air dilakukan
dengan menggunakan suction sampler, kemudian dimasukkan kedalam botol.
Pengambilan conto air meliputi air tanah dan airbumi (groundwater) (diambil dari
jaringan peralatan pengamatan hidrokimia), air hujan dari ombrometer, air permukaan dari Chin-Ong meter, dan air dari saluran drainase. Selain itu juga diambil sampel air
(1)
g.
h,
L2/3
(2)
i.
(3)
Lampiran 5 Kandungan Mineral Liat pada Lereng (Atas, Tengah dan Bawah) Sebelah Barat pada Berbagai Kedalaman di DAS Mikro Cakardipa, Sub DAS Cisukabirus
a.
b. b.
L1/3, 67-93 cm L1/2, 30-67 cm
(4)
c.
d.
L2/1, 0-15
(5)
e.
f.
L2/3, 63-95 cm
(6)
g.
h.
L3/2, 40-70 cm