Penokohan Unsur Intrinsik Drama

4. Tema

Tema merupakan gagasan pokok yang dikandung dalam drama dan berhubungan dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut pandang yang dikemukakan pengarang. Dalam drama, tema akan dikembangkan melalui struktur dramatik dalam plot melalui tokoh-tokoh protagonis dan antagonis dengan perwatakan yang memungkinkan konflik dan diformulasikan dalam bentuk dialog Waluyo, 2002: 24. Tema sering disebut sebagai dasar cerita, yakni pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra. Ia terasa mewarnai karya sastra dari halaman pertama hingga halaman terakhir. Pada hakekatnya tema adalah permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang dalam menyusun cerita atau karya sastra tersebut sekaligus merupakan permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dengan karyanya itu Suhariyanto, 1982: 28. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro 1998: 68 bahwa tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Menurut Sumardjo 1982: 28 tema dalam karya sastra letaknya tersembunyi dan harus dicari sendiri oleh pembacanya. Pengarang atau sastrawan tidak semata-mata menyatakan apa yang menjadi inti permasalahan karyanya, meskipun kadang-kadang memang terdapat kata-kata atau kalimat kunci dalam satu bagian karya itu. Dari kalimat kunci tersebut sastrawan seolah-olah merumuskan apa yang sebenarnya menjadi inti persoalan yang dibahas dalam karyanya. Menurut Staton dalam Nurgiyantoro, 1998: 74 tentang keterkaitan tema dengan unsur lain, yaitu: Tema dalam drama tidak dapat berdiri sendiri, kehadirannya selalu didukung oleh unsur cerita lain. Tema baru akan mempunyai makna jika ada kaitannya dengan unsur cerita lain. Tema cerita juga dapat lahir atau muncul dalam proses, artinya tema tidak ditentukan terlebih dahulu, namun timbul ketika cerita sedang diciptakan. Tema bersifat memberi koherensi dan bermakna terhadap unsur tokoh, plot, latar dan cerita. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema adalah dasar cerita, ide pokok atau sentral dari sebuah cerita. Letak tema dapat secara tersirat maupun tersurat. Tersirat apabila pembaca harus menemukan sendiri tema tersebut dari hasil membaca. Tersurat apabila dalam karya itu disebutkan secara terang-terangan.

D. Semiotika dalam Pandangan Umum

Karya sastra merupakan refleksi pemikiran, perasaan dan keinginan pengarang lewat bahasa. Bahasa itu sendiri tidak sembarang bahasa, melainkan bahasa khusus, yakni bahasa yang memuat tanda-tanda atau semiotik. Bahasa itu akan membentuk sistem ketandaan yang dinamakan semiotik dan ilmu yang mempelajari masalah ini adalah semiologi. Semiologi juga sering dinamakan semiotika, artinya ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam karya sastra. Kata semiotika berasal dari kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Maka semiotika berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda. Secara sederhana, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu tanda dan sistem tanda. Van Zoest dalam Sudjiman dan Van Zoest, 1992: 5 menyebut semiotika sebagai studi tentang tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya seperti cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan penerimanya oleh mereka yang mempergunakannya. Dari sekian banyak pemikir semiotika, setidaknya ada dua ahli yang pantas disebut sebagai pelopor semiotika modern, yaitu Ferdinand de Saussures 1857- 1913 dan Charles Sanders Peirce 1839-1914. Konsep semiotik diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan signifiant. Konsep ini melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ signified dan ‘yang menandai’ signifier. Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda signifier dengan sebuah ide atau petanda signified. Dengan kata lain, penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda; petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor linguistik. Pelz 1984: 43 menyebutkan bahwa beberapa ahli yang mendefinisikan model tanda kebahasaan adalah Saussure, Ogden dan Richards, dan Bühler. Secara sederhana Saussure menggambarkan bahwa model tanda itu terdiri dari dua aspek, yaitu penanda atau yang menandai signifiant dan petanda atau yang ditandai signifie. Contohnya, ketika mendengar sebuah deretan bunyi ‘kursi’, maka yang tergambar pada pemikiraan kita adalah sebuah mebel, yang digunakan untuk duduk, memiliki sandaran dan memiliki empat kaki. Hal tersebut sudah secara otomatis tergambar dalam pemikiran, bahwa kursi merupakan tempat untuk duduk. Karakteristik tanda dari Saussure ini bersifat statis, karena hanya memiliki dua sisi saja Pelz, 1984: 44. Berbeda dengan model penandaan Saussure yang bersifat statis, Ogden dan Richards mencoba menyempurnakan pemaparan dari Saussure. Mereka mengatakan bahwa model tanda memiliki tiga elemen penting, yaitu Symbol tanda, penanda, bentuk formal, Gedanke petanda, arti, konsep dan Referenz objek, acuan. Menurut Ogden dan Richards via Pelz,1984: 45, proses penandaan itu tidak hanya dua sisi penanda dan petanda, melainkan ada satu aspek yang sangat mempengaruhi proses penandaan tersebut, yaitu Referenz atau acuannya. Hal tersebut membuat model penandaan menjadi lebih dinamis. Artinya, proses penandaan tidak hanya sekedar ada yang menandai dan ada yang ditandai, namun ada objek atau acuan yang mempengaruhi proses penandaan tersebut. Bühler via Pelz, 1984: 46 mengatakan, penandaan kebahasaan itu memiliki tiga elemen, yaitu Sender pengirim, Gegenstände benda, dan Empfänger penerima. Ketiga aspek tersebut memiliki fungsinya masing-masing. Sender berfungsi memberikan ekspresi Ausdruck, Gegenstände berfungsi