komitmen manajemen yang kuat agar dapat meningkatkan akuntabilitas kinerja Calluzo dan Ittner, 2003.
2.1.3 Otoritas pengambilan keputusan
Calluzo dan Itner 2003 mendefinisikan otoritas pengambilan keputusan yaitu “suatu kondisi dimana seseorang mempunyai otorisasi
atau hak untuk membuat keputusan dengan persyaratan yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam rangka mencapai tujuan strategis
organisasi”. Yasunari 2004 dalam Nurkhamid 2008 berpendapat bahwa pendelegasian otoritas pengambilan keputusan merupakan “elemen
penting untuk terciptanya peningkatan kinerja organisasi”. Poole et al., 2001 dalam Nurkhamid 2008 mengatakan bahwa “dengan terpusatnya
otoritas pengambilan keputusan akan menghambat kreatifitas dan pengambilan risiko, yang pads akhimya akan menghambat berbagai usaha
untuk melakukan perubahan dan inovasi dalam suatu organisasi”. Oleh karena itu dengan adanya pendelegasian otoritas pengambilan
keputusan dari pimpinan kepada bawahannya dalam organisasi dapat meningkatkan suatu kreatifitas dan suatu tindakan dalam melakukan
perubahan serta inovasi dalam suatu organisasi, serta dapat meningkatkan akuntabilitas kinerja diantara personil organisasi sektor publik yang dapat
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Laurensius 2004 dalam Nurkhamid 2008 berpendapat bahwa “personil perlu diberi otoritas untuk
membuat ukuran atau target kinerja sendiri untuk mencapai target itu sesuai aturan rules of the game yang berlaku dalam organisasi”. Oleh
karena itu, dalam mempengaruhi terwujudnya akuntabilitas kinerja dan peningkatan pelayanan publik sangat perludiperhatikan faktor keterlibatan
partisipasi dari semua pihak dalam organisasi yang dapat membantu meningkatkan akuntabilitas kinerja dan peningkatan yangpelayanan
publik.
2.1.4 Budaya Organisasi
Nurkhamid 2008 menyatakanbahwa “budaya organisasi
merupakan nilai dan kepercayaan bersama yang menjadi ciri identitas organisasi, yang terdiri dari sekumpulan sikap, pengalaman, kepercayaan,
dan nilai dalam suatu organisasi”. Budaya organisasi dapat mempengaruhi cara pegawai dalam
tingkah laku, pekerjaan, dan cara bekerja atau berinteraksi dengan karyawan lainnya. Oleh sebab itu, pegawai dalam suatu organisasi tidak
terlepas dari nilai dan norma yang berlaku di dalam organisasi. Pada setiap organisasi, budaya organisasi selalu berhubungan dengan berhasil atau
tidaknya organisasi tersebut dalam mencapai tujuannnya. Oleh karena itu, budaya organisasi selalu diharapkan baik agar dapat memacu organisasi ke
arah yang lebih baik. Seiring dengan budaya organisasi yang baik, maka kinerja yang dicapai dalam organisasi tersebut akan baik juga.
Schein 1992 dalam Julnes dan Holzer 2001 dikutip dari Nurkhamid 2008 juga menyatakan bahwa :
Budaya organisasi merupakan suatu pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok
tertentu dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi atau menanggulangi masalah-masalah yang timbul akibat adaptasi eksternal
dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar
untuk memahami, memikirkan, dan merasakan berbagai masalah tersebut.
Robbins 1998 dalam Kurniawan 2011 berpendapat bahwa terdapat tujuh karakteristik primer untuk memahami hakikat dari budaya
organisasi, yaitu: 1 inovasi dan pengambilan keputusan innovation and risk taking, 2 perhatian pada rincian attention to detail, 3 orientasi
pada hasil outcome orentation, 4orientasi pada orang people orentation, 5orientasi pada tim team orentation, 6 Agresivitas
agresiveness dan 7 kemantapan stability.
2.1.5 Pelatihan