Karakterisasi Sifat Fisiko Kimia dan Aroma Ekstrak Panili Komersial

(1)

NURMALIA MULIATI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(2)

Ekstrak Panili Komersial. Dibimbing oleh DWI SETYANINGSIH.

Panili digunakan secara luas pada industri pangan terutama sebagai flavor dan pada

industri parfum. Flavor panili ada yang alami dan ada yang sintetis. Flavor panili sintetis

hanya mengandung salah satu komponen flavor vanilla yaitu vanillin atau etil vanillin

(Boyce

et.al

, 2003), sehingga aroma yang dihasilkan tidak sekaya aroma ekstrak panili

alami. Aroma maupun rasa yang terdapat pada ekstrak panili tergantung pada varietas

tanaman, tanah, lingkungan dan proses

curing

. Ekstrak panili mengandung lebih dari 100

senyawa volatil yang terdeteksi termasuk

aromatic carbonyls, aromatic alcohol,

aromatic acids, aromatic esters, phenols

dan

phenols ethers, aliphatic alcohols,

carbonyls, acids, esters,

dan

lactones

, di mana aldehyde vanillin yang paling dominan

(Perez-Silva et al.,2005; Adedeji et al., 1992; Klimes &Lamparsky, 1976; Ranadive,

1994). Kandungan vanillin, p-hydroxybenzaldehyde,

vanillic acids

, dan

p-hydroxybenzoic dalam

cured vanilla

menentukan kualitas untuk tujuan komersial.

Sebanyak 70-80% sumber panili dunia berasal dari Madagaskar. Adapun Amerika

Serikat saat ini membeli buah panili dari Madagaskar, Indonesia, Uganda dan Tonga.

Sebagian besar panili berkualitas tinggi diperoleh dari Madagaskar. Panili

Madagaskar-Bourbon memiliki flavor

smooth, rich

dan

sweet

. Panili Mexico memiliki flavor

smooth,

strong

dan

rich.

Panili Tahiti tidak memiliki flavor yang kuat seperti yang lain, akan

tetapi sangat aromatik dengan aroma floral yang kompleks sehingga digunakan untuk

parfum.

Ekstrak panili Indonesia memiliki aroma cenderung kepada

woody

dan

phenolic

karena pemanenan yang terlalu cepat dan proses kuring yang tidak sempurna.

Usaha untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian terus dilakukan,

termasuk pada buah panili. Selama ini para petani menjual panili dalam bentuk segar

bahkan terkadang masih mentah. Harga rata-rata buah panili segar tahun 2001 sebesar

Rp. 301.330 / kg (Deptan Dirjen Bina Produksi Perkebunan, 2004). Pengolahan buah

panili menjadi panili kering dan ekstrak panili akan memberikan nilai tambah pada

produk panili. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik fisikokimia dan aroma

ekstrak panili yang ada di Indonesia baik produk lokal (untuk ekspor) maupun produk

impor kemudian dibandingkan dengan ekstrak panili dari buah panili lokal hasil

penelitian dengan metode terbaru.

Penelitian dilakukan dengan menganalisa sifat fisikokimia ekstrak panili sesuai

dengan standar

Food and Drug Administration (FDA)

yaitu kadar vanillin, kadar abu, abu

terlarut, alkalinitas abu terlarut, alkalinitas abu total, total asam dan

lead number

. Sifat

sensori yang dianalisa yaitu aroma. Analisa dilakukan dengan uji deskripsi kualitatif

dengan metode

in-depth interview

dan

focus group

; dan uji deskripsi kuantitatif dengan

QDA (

Quantitative Descriptive Analysis).

Uji deskripsi dilakukan oleh panelis terlatih

sebanyak 12 orang.

Berdasarkan hasil uji sifat fisikokimia, ekstrak panili Cobra dan Djasulawangi

(eksportir) dan G11 (hasil penelitian) memenuhi range nilai standar FDA pada kadar

vanillin 1.1-3.5 g/l, abu 2.2-4.32 g/l, abu terlarut 1.79-3.57 g/l, lead number 4.0-7.4,

alkalinitas abu total 300-540 ml 0.1 N asam/l dan alkalinitas abu terlarut 220-400 ml 0.1


(3)

karakter aroma yang sama (berada dalam kuadran yang sama) yaitu aroma

spicy

dan

smoky

. Cobra dicirikan dengan aroma

creamy

,

sweet

dan

vanilla

. Djasulawangi dan S7

dikenali dengan aroma

balsamic

. Tahiti Grade I dan G11 membentuk kelompok dengan

aroma tersendiri. Dapat disimpulkan bahwa ekstrak panili G11 (hasil penelitian)

memenuhi persyaratan FDA pada sifat fisikokimia akan tetapi belum menghasilkan

aroma yang sesuai dengan ekstrak panili komersial dari eksportir maupun importir

sehingga pengembangan aroma ekstrak panili harus terus dilakukan terutama pada

ekstrak panili G11.


(4)

NURMALIA MULIATI

F34101017

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


(5)

(6)

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN AROMA EKSTRAK

PANILI KOMERSIAL

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

NURMALIA MULIATI

F34101017

Dilahirkan pada tanggal 5 Agustus 1983

Di Plaju

Tanggal lulus :

Disetujui


(7)

NURMALIA MULIATI. F34101017. Phsycochemical and Aroma Characterization

of Commercial Vanilla Extract. Under the direction of DWI SETYANINGSIH.

Vanilla is widely used as flavouring in the food and perfume industries. In

flavouring, there are natural extracts from beans harvested from vanilla orchid and

synthetics vanillin. Flavour from synthetic vanillin only consist one or two major

components usually vanillin or ethyl vanillin so that the aroma isnot as rich as natural

vanilla extract which contains complex mixture of 100-200 flavour components. The

taste and aroma of vanilla extract depend on varieties of plant, soil, environment and

curing process. Vanilla extract contains more than 100 volatil compounds detected

including aromatic carbonyls, aromatic alcohols, aromatic acids, aromatic esters, phenols

and phenols ethers, aliphatic alcohol, carbonyls, acids, esters, and lactones, of which the

aldehyde vanillin is the most abundant (Perez-Silva

et.al

., 2005; Adedeji

et a

l., 1993;

Klimes & Lamparsky, 1976; Ranadive, 1994). The level of the aldehydes vanillin,

vanillin, hydroxybenzaldehyde and their respective acids (vanillic acid and

p-hydroxybenzoic acid) in cured vanilla is used as an indicator of cured vanilla bean quality

for commercial purpose. The 70-80% sources of vanilla beans come from Madagascar.

Today, United States buys vanilla beans from Madagascar, Indonesia, Uganda and

Tonga. Most of high quality vanilla beans are achieved from Madagascar.

Madagascar-Bourbon vanilla has smooth, rich, and sweet flavour. Mexican vanilla has smooth, strong

and rich flavour. Tahitian vanilla has aromatic and complex floral aroma used in

perfume. Indonesian vanilla extracts tend to woody, and phenolic because of earliest

harvested and unperfected curing process.

The efforts to increase agricultural added value were done continuously including

vanilla. As long as we know that farmers sold fresh vanilla beans even they were still

unripe. The average prices of whole vanilla in 2001 was Rp. 301.330/kg (Deptan Dirjen

Bina Produksi Perkebunan, 2004). The curing process from cured vanilla to vanilla

extract would give added value to vanilla product. This experiment had objective to know

the phsycochemical and aroma characteristics of commercial vanilla extracts in

Indonesia from local product (to be exported) and from imported product. Then, they

were compared with vanilla extract from the new experiment.

This experiment analyzed amount of vanillin, total ash, soluble ash, alcalinity of

soluble ash, alcalinity of total ash, total acidity and lead number. Sensory characteristic

analyzed was aroma. Analysis was done by qualitative descriptive test with In-Depth

Interview and Focus Group methods, and quantitative descriptive analysis (QDA). These

tests used 12 trained panelists.

According to the results of phsycochemical analysis, Cobra and Djasulawangi from

exporter and G11 from the experiment agreed to FDA regulations, those were vanillin

1.1-3.5 g/l, total ash 2.2-4.32 g/l, soluble ash 1.79-3.57 g/l, lead number 4.0-7.4,

alcalinity of total ash 300-540 ml 0.1N acid/l and alcalinity of soluble ash 220-400 ml 0.1

N acid/l. These showed that the three vanilla extracts above had fulfiled the regulations of

vanilla extracts and were able to compete other commercial vanilla extracts.


(8)

with balsamic aroma, while Tahiti grade I and G11 made a group with their own aroma.

It could be concluded that G11 vanilla extract from experiment fulfiled the rules of FDA

in phsycochemical characteristics but it did not give the appropriate aroma as the aroma

of exporter and importer vanilla extracts, so that the aroma development of vanilla extract

especially G11 should be kept on.


(9)

A.LATAR BELAKANG

Panili digunakan secara luas pada industri pangan terutama sebagai flavor dan pada industri parfum. Flavor panili ada yang alami dan ada yang sintetis. Komposisi flavor sintetis lebih sederhana yaitu terdiri dari satu atau

dua komponen mayor, biasanya vanillin atau etil vanillin (Boyce et.al, 2003),

sehingga aroma yang dihasilkan tidak sekaya aroma ekstrak panili alami. Ekstrak panili alami mengandung 100-200 komponen flavor. Lebih dari seratus senyawa volatil yang terdeteksi, termasuk karbonil aromatik, alkohol aromatik, asam aromatik, ester aromatik, fenol dan fenol ester, alkohol alifatik, karbonil, asam, ester, dan lakton, di mana aldehid vanillin adalah yang paling dominan

(Pérez-Silva et al., 2005). Setiap jenis ekstrak panili memiliki profil aroma

yang berbeda-beda tergantung tempat tumbuhnya dan spesiesnya. Beberapa

jenis ekstrak panili diantaranya Bourbon Vanilla, Mexican vanilla, Tahiti

Vanilla, Guadaloupe vanillon dan Indonesian vanilla. Vanilla Indonesia

cenderung memiliki profil aroma woody dan phenolic karena proses

pengeringan yang terlalu cepat.

Produksi panili Indonesia tahun 2001 dan 2002 sebesar 2.198 ton dan 2.731 ton. Volume ekspor panili Indonesia tahun 2001 sebesar 468 ton (US$ 19.309.000) dan meningkat menjadi 3.599 ton (US$ 19.160.000) pada 2002, sedangkan volume impor tahun 2001 dan 2002 sebesar 230 ton (US$ 868.000)

dan 1.514 ton (US$ 1.346.000). Indonesia mengekspor panili utuh (vanilla

whole) paling banyak ke USA sebesar 372 ton (US$ 15.790.000) dan Jerman 29 ton (US$ 2.351.000) pada tahun 2001, sedangkan tahun 2002, ekspor ke USA sebesar 242 ton (US$ 11.265.000) dan Jerman 51 ton (US$ 3.373), selain itu ekspor juga dilakukan ke Hongkong, Singapura, Malaysia, Australia,

Kanada, Inggris, Prancis, Austria, dan lainnya. Panili dalam bentuk lain (other

vanilla) diekspor ke China, Malaysia, USA, Jerman, Vietnam, Prancis, dan lainnya dengan total volume 3.278 ton (tahun 2002) senilai US$ 2.950.000. Negara pengimpor panili utuh adalah Madagascar, Amerika, Philipina dan Papua New Guinea sedangkan pengimpor panili dalam bentuk lain adalah


(10)

Malaysia, Australia, Timor-Timur, USA, Pakistan Singapura dan lainnya (Badan Statistik, Dirjen Bina Produksi Perkebunan, 2004).

Buah panili selama ini diekspor dalam bentuk buah panili kering, padahal jika dilakukan pengolahan lebih lanjut dari panili kering menjadi ekstrak panili maka nilai tambah yang diperoleh akan jauh lebih besar. Kualitas ekstrak panili yang dihasilkan pun harus mampu bersaing dengan ekstrak panili yang selama ini dihasilkan oleh industri-industri pengekstrak di luar negeri, oleh karena itu, dibutuhkan informasi mengenai mutu produk ekstrak panili lokal dan mutu ekstrak panili impor, baik sifat fisikokimia maupun karakter aroma yang dihasilkan untuk perbaikan produk-produk berbasis panili yang akan dikembangkan.

B.TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan mengetahui sifat fisikokimia dan sensori ekstrak panili komersial baik produk lokal (dari eksportir) maupun produk impor dan produk hasil percobaan laboratorium.


(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.PANILI

1.Botani Panili

Panili (Vanilla planifolia, Andrews) merupakan tanaman introduksi

yang berasal dari Mexico dan Amerika Tengah, tetapi saat ini sudah banyak dibudidayakan di daerah tropik seperti Madagascar, Reunion dan Comoro bahkan di Indonesia (Hadipoentyanti dan Udarno, 1998).

Panili termasuk famili Orchidaceae yang merupakan famili yang

terbesar dalam tanaman berbunga, mempunyai 700 genus dan 20.000 spesies (Purseglove et al., 1981). Spesies panili yang terpenting yaitu

Vanilla planifolia ditemukan oleh Andrews pada tahun 1808 (Chalot, 1920). Panili mulai dibudidayakan di Indonesia tahun 1819 (Ridley, 1912). Penggolongan panili adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Klas : Angiospermae

Sub Klas : Monocotyledon

Ordo : Orchidules

Famili : Orchidaceae

Genus : Vanilla

Species : Vanilla planifolia Andrews.

Tanaman panili adalah tanaman tahunan memanjat. Batangnya berbuku-buku, dari buku-buku tersebut tumbuh daun dan akar adventif, yang berguna untuk memanjat pada tiang panjatnya. Bunga keluar dari ketiak daun dalam bentuk tandan yang mekar satu persatu setiap hari dimulai dari pangkal ke atas. Panili dikenal sebagai tanaman berumah satu, dan tidak dapat melakukan penyerbukan sendiri tanpa bantuan manusia. Setiap buah yang masak mengandung ribuan biji yang sangat kecil berwarna hitam dan tidak mempunyai lembaga (Hadipoentyanti dan Udarno, 1998).


(12)

www.tahiti1.com Photo by Jim Reddekopp

Gambar 1. Buah panili yang sudah matang (1) dan tanaman panili (2)

Jenis panili banyak sekali, beberapa jenis sangat berbeda baik dari

segi morfologi maupun sifat-sifat lainnya. Pada Vanilla planifolia, buah

yang belum matang, keras, berwarna hijau tua setelah matang, agak lembek

berwarna hijau kekuningan dan setelah diproses (proses kuring, red.)

berwarna coklat tua. Buah matang mempunyai aroma yang khas daripanili.

Pematangan buah tidak serempak pada satu tandan (mekar bunga tidak serentak), karena itu pemetikan (panen) dilakukan satu persatu secara selektif. Buah yang matang mempunyai kecenderungan berpilin dan minyak

balsem (balsam oil) yang berwarna gelap akan muncul, epidermis menjadi

lunak dan harum panili akan timbul. Biji dilapisi oleh minyak berwarna

gelap dikenal dengan balsam of vanilla (Chalot, 1920, Ridley, 1912).

Vanilla pompana Schiede memiliki buah besar-besar lebih pendek

daripada buah V. planifolia, bersudut tiga dengan panjang 12-17.5 cm, dan

lebar 16-30 mm, berwarna hijau tua. Sudut-sudut pada buah V. pompana

lebih jelas dibandingkan V. planifolia. Buah V. planifolia lurus sedangkan

buah V. pompana berpilin sejak belum matang, buah yang matang berwarna

coklat tua, berbau seperti bunga matahari.

Vanilla tahitensis J.W. Moore memiliki buah yang tidak

mengeluarkan aroma seperti buah V. planifolia (Ridley, 1912). Menurut

Heyne (1927) buah berair manis, enak dimakan dan dapat menyuburkan rambut. Karakteristik pada jenis ini adalah tahan terhadap hujan lebat sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan jenis unggul baru.


(13)

Panili umumnya dapat berkembangbiak dengan cepat di daerah tropis,

sekitar 25oLU dan LS dari khatulistiwa, atau di daerah pegunungan dengan

ketinggian 400-800 meter (Kantor Pusat BRI, 1986). Namun, Panili hutan pernah ditemukan di dataran rendah (10 m dpl) maupun di dataran tinggi antara lain di Kalimantan Timur sampai ketinggian 1000 m dpl (Herbarium Bogoriensis, 1994).

2.Kegunaan Panili

Kegunaan panili terutama sebagai ramuan pada minuman serta untuk memberikan aroma pada makanan seperti coklat, kembang gula dan es krim

(Hadipoentyanti dan Udarno, 1998). Burri et al. (1989) melaporkan bahwa

vanilin dapat digunakan sebagai antioksidan pada makanan yang banyak mengandung komponen tak jenuh. Selanjutnya Cerutti et al. (1997) menyebutkan bahwa kombinasi vanilin dengan 500 ppm asam askorbat pada pH 3 mampu mencegah pertumbuhan mikroba alami dan kontaminan pada puree strawberry yang disimpan selama 60 hari pada suhu ruang. Vanillin

juga digunakan dalam sintesa obat-obatan sebagai flavouring agent, sebagai

starting material dalam pembuatan obat antihipertensi (1-3-(3,4-dihydroxyl phenyl)-2-methylalanine) dan untuk perawatan penderita Parkinson (Chemistry Department University Of Malta, 2000).

3.Sifat Fisikokimia

Buah panili setelah mengalami fermentasi akan menghasilkan Vanilin

(C8H8O3). Kandungan vanilin pada setiap jenis panili berbeda, perbedaan

tersebut disebabkan karena perbedaan agroklimat tempat tumbuhnya.

Sebagai contoh panili berasal dari Mexico (V. planifolia), kadar vanilinnya

1.32-1.86 %, dari Reunion (V. planifolia), 1.919-2.00% dan dari Tahiti (V.

tahitensis, V. pompana) 1.55 %. Untuk panili yang berkualitas rendah, kadar vanilin minimal 1.19 % sedangkan untuk panili yang berkualitas prima (superior), kadar vanilin ditetapkan sebesar 1.50 % (Chalot, 1920). Menurut


(14)

(Vanillons), dalam hal aromanya kurang dibandingkan V. planifolia, karena itu hanya dipergunakan untuk membuat parfum.

Buah panili segar hampir tidak mempunyai bau sehingga harus diolah

melalui proses curing untuk menghasilkan aroma khas panili. Flavor khas

panili merupakan campuran kompleks lebih dari 170 komponen volatil yang

terdapat dalam buah vanili cured. Komponen utama pembentuk flavor panili

adalah vanilin, asam vanilat, vanilil alkohol, p-hidroksibenzaldehid, asam p

-hidroksibenzoat dan p-hidroksibenzil alkohol (Rao dan Ravishankar, 2000).

Komposisi kimia buah panili dan struktur kimia komponen-komponen pembentuk flavor vanili dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 3.

Tabel 1. Komposisi kimia Buah Panili Segar

Komposisi Kimia Kandungan (%)

Air

Karbohidrat Lemak Kalium Kalsium Klor Nitrogen Magnesium

78-82 8-20 4-15 0.005 0.003 0.0024

0.004 0.0015

Sumber: Purseglove et al. (1981)

Gambar 2. Buah panili cured (1) dan ekstrak panili dalam kemasan (2)


(15)

Vanilin asam vanilat vanilil alkohol

p-hidroksibenzaldehid asam p-hidroksi benzoat p-hidroksibenzil alkohol

Gambar 3. Struktur Kimia Komponen Utama Flavor Panili (Rao dan Ravishankar, 2000).

Buah panili hasil proses kuring mengandung protein, gula, serat lignoselulosa, selulosa, asam organik, vanilin dan fenol monohidroksi, minyak, lilin, resin, gum, pigmen, mineral, komponen aroma volatil dan asam lemak esensial (Rao dan Ravishankar, 2000).

Tabel 2. Komponen Utama Panili Cured

Komposisi Kimia Kandungan

(g/kg berat kering) Vanilin

Asam Vanilat

p-Hidroksibenzaldehid p-Hidroksibenzil metil eter Gula

Lemak Selulosa Mineral Air

20 1 2 0.2 250 150 150-300

60 350 Sumber : Rao dan Ravishankar (2000) CHO

OCH3

OH

COOH

OCH3

OH

CH2OH

OCH3

OH

OH OH

CHO

OH


(16)

B.EKSTRAK PANILI

Ekstrak panili (Vanilla extract) yaitu ekstrak yang dihasilkan dari

perkolasi atau maserasi potongan-potongan buah panili dengan pelarut etil

alkohol dan air (www.vanilla.com/html/facts-extracts.html). Ekstrak panili

dapat pula dihasilkan dengan cara mencincang buah panili dan menghaluskannya dengan gula (sebanyak setengah dari bobot buah panili) yang akan membantu jalannya ekstraksi dan proses penuaan produk, kemudian diperkolasi dalam ekstraktor stainless steel menggunakan ethanol dan air kira-kira 57% volume selama 3-4 minggu. Perkolasi dikumpulkan

dan dihaluskan kemudian disimpan sampai penuaan tertentu lalu disaring

atau disentrifugasi (Cowley 1973).

FDA mengatur bahwa ekstrak panili 1 fold adalah ekstrak yang murni

mengandung 13.35 ons buah panili/gallon cairan dan mengandung 35%

alcohol. Fold adalah ukuran kekuatan ekstrak vanilla. Untuk food

processing, digunakan vanilla dua, tiga, atau empat fold. Vanilla dua fold

menggunakan 26,7 ons buah panili, mengandung dua kali lebih banyak

bahan ekstrak dan dua kali lebih kuat. Tiga fold, empat fold merupakan tiga

atau empat kali kandungan satu fold (www.nielsenmassey.com).

Aroma vanilla berkembang akibat proses enzimatik dan kimiawi selama proses kuring. Flavor vanilla yang kaya dan lengkap mengandung lebih dari 250 komponen senyawa volatil dan kebanyakan dari senyawa tersebut berperan dalam sifat organoleptik secara keseluruhan (Tanudjaja, 1998; Dignum, 2002). Komposisi flavor sintetis lebih sederhana yaitu terdiri dari satu atau dua komponen mayor, biasanya vanillin atau etil vanillin

(Boyce et.al, 2003), sehingga aroma yang dihasilkan tidak sekaya aroma

ekstrak panili alami. Pure vanilla mempunyai aroma delicate, yet rich, dan

mellow. Flavor tiruan mempunyai bau yang berat dan grassy

(Reineccius,1994).

Analisis yang menentukan banyaknya vanillin yang ada, lead

number, kandungan abu dan nilai lainnya digunakan untuk mengetahui apakah ekstrak tersebut telah mengalami pencampuran atau pemalsuan (Reineccius, 1994).


(17)

Standar ekstrak panili berdasarkan FDA adalah kadar etanol 350 ml/l atau lebih, mengandung gliserin, propilen glikol, gula, dan sirup sebagai pengental dan pemanis, anti kempal pada produk akhir tidak lebih dari 20

g/kg, kekuatan two fold, kadar vanillin 1.1-3.5 g/l, abu 2.2-4.32 g/l, abu

terlarut 1.79-3.57 g/l, lead number 4.0-7.4, alkalinitas abu total 300-540 ml

0.1 N asam/l, alkalinitas abu terlarut 220-400 ml 0.1 N asam/l, total asam 300-520 ml 0.1 N basa/l, dan keasaman selain vanillin 140-420 ml 0.1 N basa/l (Heath, 1978).

C.ANALISIS SENSORI

Analisis sensori merupakan analisis yang menggunakan manusia sebagai instrumen, dimana kemungkinan terjadi penyimpangan sangat besar. Dasar-dasar dari faktor fisiologi dan psikologi yang dapat

berpengaruh terhadap penilaian sensori harus dipahami untuk

meminimalisasi penyimpangan atau penilaian yang berubah-ubah,

(Meilgaard et al., 1999).

Menurut Noble (2002), analisis sensori pada analisis flavor mirip dengan analisis menggunakan instrumen, yaitu menggunakan standar yang baku dan dalam suatu kondisi yang terkontrol. Semua faktor eksternal yang dapat membiaskan penilaian harus disingkirkan. Test harus difasilitasi sebaik mungkin sehingga dapat mencegah berbagai gangguan.

Respon secara obyektif terhadap sifat makanan diperoleh dengan penilaian organoleptik melalui penglihatan, penciuman, rasa, sentuhan, dan

pendengaran (Piggott et al., 1998). Terdapat beberapa metode dalam

mendeskripsikan sifat makanan, yaitu secara kualitatif dan secara

kuantitatif. Menurut Meilgaard et al., (1999) semua metode analisis

deskripsi menggunakan penilaian baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif, menuntut panelis untuk dapat mendeteksi dan menggambarkan atribut-atribut sensori sedekat mungkin. Metode kualitatif dilakukan untuk mendapatkan dan mengembangkan bahasa, sehingga dapat menggambarkan sampel yang nantinya sangat penting untuk analisis secara kuantitatif, sedangkan metode kuantitatif mendeskripsikan karakteristik sensori suatu


(18)

produk dengan memberikan penilaian yang menggambarkan sampel dalam suatu skala interval.

Metode kuantitatif yang cukup sering digunakan yaitu Quantitative

Descriptive Analysis (QDA) yaitu suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan suatu karakteristik sensori suatu produk secara matematis (Zook dan Pearce, 1988 dalam Aryati 2003). QDA menggunakan panelis terlatih yang memberi penilaian terhadap intensitas atribut suatu produk yang dibandingkan dengan standar pada skala garis sepanjang 6 inci (15 cm). Data QDA setelah mengalami transformasi data dapat ditampilkan

dalam bentuk grafik majemuk jaring laba-laba (spider web) atau

menggunakan Multivariate Analysis dengan aplikasi teknik Principal

Component Analysis (PCA).

D.PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS

Principal Component Analysis (PCA) merupakan metode analisis

statistika multivariate yang digunakan untuk mentransformasikan

variabel-variabel asli menjadi variabel-variabel-variabel-variabel baru yang mempunyai dimensi lebih kecil, saling bebas dan orthogonal antara variabel satu dengan variabel lainnya. Dimensi-dimensi yang baru ini dipilih menurut syarat khusus, yaitu masing-masing dimensi harus memaksimalkan jumlah keragaman yang

dijelaskan (Carpenter et al., 2000). Variabel-variabel baru tersebut

merupakan kombinasi linear dari variabel aslinya (Esbensen et al., 1994)

dan dinamakan komponen utama (Principle Component/PC).

Analisis ini mampu menjelaskan sebanyak 75%-90% dari total keragaman dalam data yang mempunyai 25 sampai 30 variabel hanya

dengan dua sampai tiga principal component (Meilgaard et al., 1999).

Menurut Esbensen et al. (1994), tahapan dasar dalam PCA adalah

mentransformasikan p variabel-variabel kuantitatif awal yang kurang saling berkorelasi ke dalam p variabel kuantitatif baru yang disebut komponen utama. Jadi hasil analisis tipe ini tidak berasal dari variabel-variabel awal tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linear variabel-variabel awal.


(19)

Diantara semua indeks sintetik yang mungkin terbaca, analisis ini mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum. Indeks ini disebut komponen utama-1(PC1) dan mempunyai variasi terbesar dari variasi total individu. Selanjutnya dicari komponen utama-2 dengan syarat berkorelasi nihil dengan yang pertama dan memiliki variasi individu terbesar setelah komponen utama-1. Proses ini akan terus berlanjut sampai komponen utama terakhir, dimana variasi individu yang

dijelaskan akan semakin kecil (Esbensen et al., 1994).

Setiap komponen dalam model PCA dikarakterisasi oleh tiga atribut

yang saling melengkapi, yaitu keragaman (variance) yang memberikan

berapa banyak informasi yang dapat digunakan pada komponen utama yang

dapat dinyatakan dengan residual variance dan explained variance, lalu

loading yang menyatakan gambaran hubungan (korelasi) antara

variabel-variabel dalam setiap komponen utama, dan scores yang menggambarkan

sifat-sifat subyek (sampel).

Hasil analisa merupakan gabungan dari plot loading dan scores dalam

bentuk grafik biplot. Grafik ini menggambarkan hubungan antara variabel

dan sampel secara keseluruhan. Jarak antara titik variabel menunjukkan hubungan diantara variabel. Interpretasi untuk titik-titik sampel sama dengan interpretasi variabel. Hubungan antara dua titik sampel dapat dilihat dengan membandingkan jaraknya dengan titik-titik dari variabel. Titik-titik sampel yang berdekatan menunjukkan bahwa sampel-sampel tersebut sama, sedangkan titik-titik sampel yang berjauhan menunjukkan hal yang sebaliknya. Titik-titik sampel yang terdapat dalam satu kelompok adalah sama sedangkan titik-titik sampel antara kelompok adalah berbeda


(20)

III. BAHAN DAN METODE

A.BAHAN DAN ALAT

1. Bahan Baku

Kode sampel dari eksportir : Cobra (PT. Tripper Nature) dan Djasulawangi (PT. Djasulawangi), importir: Virginia, Tahiti dan Grade II, sedangkan dari hasil penelitian : S7 dan G11. Semua sampel diperoleh dalam bentuk ekstrak panili kecuali Djasulawangi dalam bentuk panili kering yang ekstraknya dibuat sendiri oleh peneliti. Ekstrak panili S7 dan G11 merupakan hasil penelitian Melawati (2006). Metode ekstraksi Djasulawangi, S7 dan G11 dapat dilihat pada lampiran 2, 3 dan 4. Sampel S7 dan G11 menggunakan panili ½ kering hasil modifikasi proses kuring. Modifikasi proses kuring adalah modifikasi pengolahan panili yang terdiri dari tahap sortasi buah panili, penyayatan buah dengan menggunakan jarum sedalam 1-2 mm, perendaman buah dalam aktivator butanol 0,3 M dan

sistein 1mM selama dua jam, pelayuan dalam air panas pada suhu 40oC

selama 30 menit, pemeraman selama 18 jam pada suhu 38-40oC,

pengeringan I pada suhu 40oC tiga jam/hari selama lima hari, pengeringan II

pada suhu 60oC tiga jam/hari sampai dengan kadar air 35%, dan penuaan

selama satu bulan.

Produk panili yang berasal dari konsumen tidak digunakan dalam penelitian ini karena bukan berupa ekstrak alami akan tetapi flavor atau

essence panili sintetis.

2. Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan ialah propilen glikol, Na2EDTA 0.025

N, NaOH 0.1 N, HCl 0.1 N, NaCH3COO 0.1 N, CH3COOH 0.1 N,

Pb(CH3COO)2, xylenol orange, indikator PP, indikator methyl orange,

etanol 60 %, guaiacol, ethyl butyrat, lactone, benzyl alcohol, vanillin


(21)

3. Alat

Pipet 200 µl, pipet 1000 µl, labu takar 10 ml dan 25 ml, gelas ukur, spektrofotometer UV (Simadzu), pipet tetes, pipet 5ml dan 10 ml, cawan

porselen, hot plate, tanur, gegep, filterflask, pompa vakum, milipore 0.45

µm, buret, botol aquades, oven, labu destilasi alkohol, desikator, neraca

analitik, refrigerator, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, sudip, pH meter,

botol gelap berulir 10 ml, smelling strips, dll.

B. METODE PENELITIAN

1. Analisis Sifat Fisikokimia

Analisis sifat fisikokimia ekstrak panili yaitu karakterisasi tiga kelompok ekstrak panili yang meliputi warna, kadar vanillin, kadar abu, abu

terlarut, lead number, alkalinitas abu total, alkalinitas abu terlarut dan total

asam. Sifat fisik yang dianalisis yaitu warna yang diamati secara visual. Sifat kimia dianalisis dengan prosedur pengujian terlampir pada lampiran 1.

Hasil analisis ini digunakan untuk menduga mutu ekstrak panili dari eksportir, importir dan hasil percobaan dibandingkan dengan standar FDA (Food and Drug Administration). Pendugaan ini didasarkan pada sampel ekstrak panili yang diambil. Sebaran yang diambil adalah sebaran t dengan

membandingkan dua kelompok yaitu μ karakteristik fisikokimia seluruh

ekstrak sampel dengan μ karakteristik fisikokimia standar FDA.

Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah

Ho : μ karakteristik fisikokimia ekstrak sampel = μ karakteristik

fisikokimia standar FDA

Ht : μ karakteristik fisikokimia ekstrak sampel ≠ μ karakteristik

fisikokimia standar FDA

Nilai pembanding dalam hipotesis ini sesuai dengan spesifikasi FDA. Syarat penerimaan adalah bila t (hitung) lebih kecil dari t (tabel) dan lebih

besar dari –t(tabel) pada taraf signifikan (α) 0.05. Nilai t (hitung) didapatkan

dengan rumus berikut:

………(1)

n s

x hitung t

/ )


(22)

Keterangan :

= nilai rata-rata contoh (sampel)

μ = nilai rata-rata populasi

s = simpangan baku sampel

n = besarnya sampel

………(2)

s2= penduga ragam

………..(3)

2. Analisis Sensori

Analisis sensori yang dilakukan adalah uji deskripsi. Untuk melakukan uji deskripsi, diperlukan panelis yang terlatih, maka ada beberapa tahapan yang dilakukan sebelum uji deskripsi, yaitu tahap seleksi panelis, tahap pelatihan panelis dan tahap pengujian. Tahap pengujian terdiri dari uji deskripsi secara kualitatif dan kuantitatif. Uji deskripsi secara

kualitatif dilakukan dengan metode In-Depth Interview dan Focus Group,

sedangkan uji deskripsi secara kuantitatif dilakukan dengan metode QDA (Quantitative Descriptive Analysis).

a. Seleksi Panelis

Seleksi panelis dilakukan dengan menyebarkan kuesioner (Prescreening Questionnaire) yang selanjutnya diolah dan diseleksi untuk mendapatkan calon panelis yang sesuai kriteria dan bersedia mengikuti pelatihan panelis. Salah satu kriteria menjadi panelis adalah kesehatan indra panelis terutama penciuman karena pengujian yang akan dilakukan terkait dengan aroma. Setelah terpilih, maka dilanjutkan

x n x x x x x x n i i n n i

i ... ; /

1 2 1 1

= = = + + + =

(

) (

)

(

)

(

)

1 1 .... 1 2 2 2 2 2 1 2 − − = − − + − + − =

= n x x n x x x x x x s n i i n

(

)

1 1 2 − − =

= n x x s n i i


(23)

dengan seleksi panelis menggunakan uji segitiga. Contoh Prescreening Questionnaire dapat dilihat pada lampiran 13.

Dalam uji segitiga, digunakan flavor standar sebagai sampel uji. Flavor standar yang digunakan dalam uji yaitu benzyl alkohol dengan

atribut aroma sweet, vanillin dengan aroma vanilla dan eugenol dengan

aroma spicy. Ketiga flavor standar tersebut digunakan karena memiliki

atribut aroma yang ada pada ekstrak panili sebagai sampel uji pada tahap pengujian.

Pada uji segitiga, panelis diminta menemukan satu yang beda di antara ketiga sampel yang diuji dan apabila 60 % jawaban panelis benar maka panelis lolos seleksi dan dapat mengikuti tahap pelatihan.

b. Pelatihan Panelis

Tahap pelatihan panelis terdiri dari pengenalan bahasa flavor, pelatihan penskalaan, dan pelatihan intensitas skala. Pada pelatihan pengenalan bahasa flavor, panelis diperkenalkan dengan lima flavor

standar yaitu spicy, creamy, balsamic, sweet, dan smoky.

Pada tahap pelatihan penskalaan, dilakukan uji rangking di mana panelis diminta memberikan nomor urut terhadap sampel-sampel sesuai dengan intensitasnya. Pelatihan ini untuk melatih kemampuan panelis untuk membedakan intensitas aroma-aroma. Formulir isian setiap uji dapat dilihat pada lampiran 14-19.

Tahapan terakhir dari pelatihan panelis ialah pelatihan intensitas skala. Pelatihan ini dilakukan dengan uji skalar garis, yaitu salah satu uji skalar yang menggunakan garis sebagai parameter penentuan suatu kesan dari suatu rangsangan. Dengan menggunakan skalar garis dapat diketahui besaran kesan yang diperoleh dari suatu komoditi sehingga dapat diketahui mutu dari komoditi tersebut (Rahayu, 1998). Pelatihan uji intensitas skala dilakukan dengan menilai intensitas aroma sampel kemudian dibandingkan dengan flavor standar yang telah diketahui intensitasnya.


(24)

c. Tahap Pengujian (1)Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif dilakukan dengan teknik in-depth interview,

di mana masing-masing panelis mendeskripsikan sampel dipandu

dengan moderator, dan dengan teknik Focus Group yang berbentuk

kelompok diskusi untuk mendeskripsikan atribut-atribut yang terdapat dalam sampel sesuai kesepakatan bersama. Teknik ini juga

dipandu oleh moderator (panel leader). Setiap panelis membaui

setiap sampel dengan bottle technique dan dilakukan simplo.

(2)QDA (Quantitative Descriptive Analysis)

QDA adalah metode analisis untuk mengukur intensitas suatu produk (Resurreccion, 1998). Panelis menilai intensitas aroma setiap atribut aroma pada garis sepanjang 15 cm (nilai 0 = lemah, 15 = kuat). Kemudian nilainya ditransformasikan pada skala 1-100 dan divalidasi keragaman datanya. Data diterima bila memenuhi:

X – SD ≤ d ≤ X + SD

di mana : X = rata-rata data intensitas atribut pada QDA SD = simpangan baku data intensitas atribut

pada QDA

d = data intensitas atribut pada QDA

Setelah divalidasi, data QDA tersebut divisualisasikan dalam

bentuk spiderweb untuk melihat profil aromanya. Panelis

memberikan penilaian intensitas aroma dengan membandingkan intensitas atribut aroma pada ekstrak dengan intensitas flavor standar yang telah diberi nilai tertentu. Standar aroma yang digunakan dalam QDA dapat dilihat pada Tabel 3.

3. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan dengan PCA (Principal Component

Analysis). PCA digunakan untuk mengetahui kecenderungan hubungan pengelompokan atribut aroma pada tiap sampel dengan cara memaksimumkan keragaman menggunakan komponen utama (PC) yang paling sedikit.


(25)

Tabel 3. Standar deskripsi aroma ekstrak panili

Atribut aroma SI

(Sensory Intensity)

PI (μl/ 10 ml propilen glikol)

Smoky (guaiacol)

25 100 70 1000

Creamy (lactone)

10 0.1 25 10

Sweet (etil butirat)

20 6 50 146

Balsamic (metil sinamat)

25 246.8 60 2114.23

Spicy (eugenol)

20 28.55 50 516

Vanilla

(vanillin)

20 100 50 1000


(26)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.SIFAT FISIKOKIMIA SAMPEL EKSTRAK PANILI 1. Warna

Sampel ekstrak panili yang digunakan dalam penelitian ini berwarna kuning keemasan sampai coklat pekat. Berikut ini gambar sampel yang digunakan dalam penelitian ini:

Gambar 4. Sampel ekstrak panili: (1)Tahiti, (2)Grade II, (3)Virginia, (4)Cobra, (5)S7, (6)Djasulawangi, (7)G11

Warna ekstrak panili tergantung pada beberapa faktor yaitu kualitas buah panili, durasi (lama waktu) ekstraksi dan adanya gliserin, akan tetapi kandungan etanol juga penting. Warna ekstrak akan lebih gelap sampai kandungan etanol 60 persen. Di atas 70 persen warnanya lebih muda dan di

atas 95 persen sangat sedikit warna yang terekstrak (Purseglove et al., 1981;

Reineccius,1994). Apabila kandungan etanol lebih dari 70 persen, maka

sejumlah fixed oil akan ikut terekstrak dan akan mengendap, hal ini tidak

akan terjadi pada ekstrak dengan kandungan etanol 35-40% (Purseglove, 1981), sehingga kandungan etanol mempengaruhi zat yang terekstrak dan warna ekstrak. Sampel dari eksportir dan importir memiliki warna yang lebih gelap kecuali Djasulawangi yang diekstrak sendiri oleh peneliti, hal ini kemungkinan disebabkan karena durasi ekstraksi Djasulawangi yang lebih singkat (hanya 6 hari) karena pada perusahaan penghasil ekstrak panili, dilakukan penuaan bisa lebih dari tiga minggu bahkan sampai tiga bulan

(Purseglove et al., 1981), sedangkan sampel S7 dilakukan maserasi selama

16 hari dan G11 selama 22 hari. Faktor-faktor yang lain (kualitas buah,


(27)

adanya gliserin dan kandungan etanol) juga mempengaruhi warna ekstrak panili.

2. Kadar Vanillin

Pengukuran kadar vanillin dilakukan sebagai salah satu indikator mutu ekstrak panili pada analisis laboratorium, akan tetapi penentuan mutu ekstrak panili terutama dilakukan secara subyektif melalui penilaian organoleptik terhadap aroma dan flavor karena adanya konstituen-konstituen minor yang juga mempengaruhi aroma ekstrak panili alami (Purseglove et al., 1981).

Kadar vanillin tertinggi (Gambar 6 / Lampiran 5) dimiliki oleh ekstrak panili Tahiti (Grade I) sebesar 7,9 g/l. Ekstrak Virginia memiliki kadar vanillin sebesar 6,9 g/l, S7 sebesar 4,5 g/l, G11 sebesar 3,8 g/l, Cobra 3,3 g/l, Djasulawangi 3,2 g/l dan yang paling rendah adalah Tahiti grade II sebesar 2,4 g/l. Berdasarkan hasil analisis varian (ANOVA), diketahui bahwa jenis sampel memiliki hubungan yang signifikan terhadap kadar vanillin dengan perbedaan nyata pada setiap sampel kecuali Djasulawangi dan Cobra.

Kadar vanillin dalam setiap sampel ekstrak panili berbeda, hal ini disebabkan karena perbedaan agroklimat tempat tumbuhnya (Chalot, 1920). Sampel Tahiti Grade I dan II berasal dari Tahiti, Virginia berasal dari Madagascar, S7 dan G11 berasal dari Makassar, sedangkan Djasulawangi dan Cobra berasal dari dalam negeri, akan tetapi tidak diketahui dari daerah mana. Antara Tahiti Grade I dan II terdapat perbedaan kadar vanillin yang cukup besar walaupun berasal dari daerah yang sama, hal ini terkait dengan grade ekstrak tersebut, di mana Grade I mengandung vanillin lebih tinggi daripada Grade II. Sampel Cobra dan Djasulawangi tidak berbeda nyata kadar vanillinnya, sehingga mungkin menggunakan buah panili dari daerah yang sama, sedangkan untuk sampel S7 dan G11, kemungkinan perbedaan metode ekstraksi yang menyebabkan kadar vanillinnya berbeda karena bahan baku buah panili yang digunakan berasal dari daerah yang sama. Menurut Setyaningsih (2006) kadar vanillin sangat tergantung pada proses


(28)

ekstraksi, perbandingan air dan buah panili, serta kondisi bahan baku buah panili segar yang digunakan. Setyaningsih (2006) menyebutkan pula bahwa kenaikan kadar vanillin selama proses kuring disebabkan terutama oleh hidrolisis glukovanillin dan akumulasi vanillin dari tahap-tahap sebelumnya. Sejumlah kecil vanillin mungkin dihasilkan dari eliminasi rantai karbon dari asam ferulat (Venturi et al, 1998), metoksi 4-hidroksi benzaldehid (Podstolski et al, 2002 dalam Setyaningsih, 2006), serta hidroksilasi dan metilasi asam sinamat yang terdapat sebagai prekursor lignin (Funk dan Brodelius, 1990). Kadar vanillin juga dapat berkurang karena teroksidasi oleh enzim peroksidase menjadi o-guaiacol atau asam vanillat (Purseglove et al, 1981).

Tahiti G radeII Virgin Cobra S7 Djasula G 11 Std

Sampe l Ekstrak

2,00 4,00 6,00 8,00

K

a

d

a

r

V

a

n

il

li

n

(

g

/l

)

D D

D

D

D

D D

D

Gambar 5. Kadar vanillin dari ekstrak panili dan standar FDA Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis kadar vanillin disimpulkan bahwa rata-rata kadar vanillin seluruh ekstrak yang dianalisis sama dengan rata-rata kadar vanillin menurut standar FDA. Oleh karena itu semua sampel ekstrak panili telah memenuhi kriteria kadar vanillin sesuai dengan standar. Hasil uji hipotesis dapat dilihat pada lampiran 24.


(29)

3. Kadar Abu

Kadar abu menunjukkan banyaknya zat anorganik dalam bahan pangan, yaitu zat yang tidak terbakar saat proses pembakaran (Winarno, 1997). Kadar abu pada ekstrak panili dapat digunakan untuk mengetahui kemurnian ekstrak panili, di mana ekstrak panili alami akan memiliki kadar abu yang lebih besar daripada panili imitasi. Menurut standar FDA, kadar abu ekstrak panili asli sebesar 2.2 – 4.32 g/l. Hasil pengukuran kadar abu dari sampel ekstrak panili dibandingkan dengan standar FDA dapat dilihat pada Lampiran 6.

Tahiti G rade II

Virginia Cobra S7 G 11 Djasulaw Standar Sampe l 0,00 2,00 4,00 6,00 K a d a r A b u ( g /l ) D D D D D D D D

Gambar 6. Kadar abu ekstrak panili

Pada Gambar 6, kadar abu tertinggi dimiliki oleh Tahiti Grade II sebesar 5.85 g/l, nilai ini melebihi batas atas kadar abu dalam persyaratan FDA. Penyebabnya kemungkinan terdapatnya zat anorganik dalam jumlah yang cukup besar atau ditambahkannya alkali pada ekstrak tersebut sehingga kadar abu melebihi standar, sedangkan kadar abu terendah dimiliki oleh sampel S7 sebesar 1.33 g/l. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kandungan zat anorganiknya lebih rendah, selain itu kemungkinan penyebab kecilnya kadar abu S7 karena dilakukan dua kali penyaringan setelah ekstraksi sehingga mungkin banyak senyawa anorganik yang menempel


(30)

pada filter. Hal ini dapat diketahui pula dari warna ekstrak yang lebih muda dari sampel hasil penelitian, G11.

Dari hasil analisis varian (ANOVA), jenis sampel berpengaruh nyata terhadap kadar abu dan masing-masing jenis sampel ekstrak panili, kecuali Cobra dan G11. Hal ini terjadi kemungkinan karena perbedaan kandungan mineral di dalam tiap sampel ekstrak panili. Kandungan mineral dalam buah panili diantaranya kalium, kalsium, klor, nitrogen dan magnesium. Panili

sintetis mengandung bahan-bahan seperti vanillin, coumarin dan gula

substitusi, gliserin dan pelarut lainnya yang secara praktis bebas dari abu (Reineccius, 1994). Oleh karena itu, pengukuran kadar abu perlu dilakukan untuk mengetahui adanya pemalsuan atau tidak, karena industri ekstrak panili dapat meningkatkan kadar abu dengan menggunakan alkali, tetapi akan mengubah nilai kelarutan dan alkalinitasnya (Reineccius, 1994).

Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis kadar abu total disimpulkan bahwa rata-rata kadar abu seluruh ekstrak yang dianalisis sama dengan rata-rata kadar abu menurut standar FDA sehingga ketujuh sampel tersebut dapat diterima.

4. Abu Terlarut

Abu terlarut diperoleh dari hasil pelarutan abu total dengan air panas yang kemudian melalui penyaringan. Menurut Reineccius (1994), lebih dari 80 persen dari total abu, terlarut dalam air.

Pada Gambar 7, nilai abu terlarut paling tinggi adalah pada ekstrak panili Tahiti Grade II yaitu 4.93 g/l atau 83.8 % dari abu total dan yang paling rendah adalah ekstrak panili S7 sebesar 0.80 g/l atau 64% dari abu total. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 7. Menurut Reineccius (1994), kadar abu berguna untuk mengetahui keaslian vanilla karena pada vanilla imitasi yang hanya mengandung vanillin, coumarin, gula substitusi, gliserin dan pelarut, praktis bebas dari abu. Namun, ada yang menambahkan alkali pada pembuatan ekstrak panili sehingga meningkatkan total abu, tetapi nilai kelarutan dan alkalinitasnya akan berubah pula.


(31)

Tahiti G rade II

Virginia Cobro S7 Djasulaw G 11 Standar Sampe l 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 A b u T e rl a ru t (g /l ) D D D D D D D D

Gambar 7. Abu terlarut antara standar dan sampel ekstrak panili

Alkali yang ditambahkan pada vanilla imitasi akan ikut terlarut dalam analisis abu terlarut sehingga akan mempengaruhi nilai alkalinitasnya saat uji alkalinitas abu terlarut. Hasil analisis varians menunjukkan bahwa Tahiti Grade II berbeda nyata dari sampel yang lain. Akan tetapi Virginia, Djasula, G11 dan Cobra memberikan nilai yang tidak berbeda nyata.

Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis kadar abu terlarut disimpulkan bahwa rata-rata kadar abu terlarut seluruh ekstrak yang dianalisis sama dengan rata-rata kadar abu terlarut menurut standar FDA, sehingga semua ekstrak secara keseluruhan dapat diterima mutunya sampai pada uji abu terlarut.

5. Lead Number

Prinsip analisis lead number yaitu asam organik dari panili

diendapkan dengan Pb(CH3COO)2 netral dalam keadaan standar, garam

timbal yang tidak larut dipindahkan dan kelebihan timbal ditentukan dengan

titrasi khelometri dengan Na2EDTA. Menurut Harjadi (1993), EDTA


(32)

Bentuk sederhananya H4Y. Sebagai asam lemah, EDTA mengalami

pengionan bertahap melepaskan ion hidrogen satu persatu. EDTA mampu membentuk kompleks dengan ion logam dan memiliki konstanta kestabilan yang besar sehingga reaksi berjalan sempurna. Pembentukan kelat logam dengan EDTA dapat ditulis secara umum sebagai berikut:

Mn+ + Y4-↔ MY n-4 Keterangan: M = ion logam

Y = EDTA

Pada kesetimbangan EDTA ion logam, pembentukan dari kompleks dipengaruhi oleh pH, maka biasanya pada penitaran EDTA selalu dipakai

larutan buffer sehingga didapatkan pH yang tetap (Sumarna et al, 2000).

Lead number digunakan untuk mengetahui asam organik yang terdapat dalam ekstrak panili (AOAC, 1995). Menurut Melawati (2006), ekstrak panili alami mengandung senyawa organik yang terbentuk dari oksidasi senyawa vanillin selama proses kuring dan dari hasil proses

oksidasi alkohol selama proses conditioning. Kandungan asam organik yang

rendah mengindikasikan adanya pencampuran.

Nilai lead number (Winton) standar adalah 4.0-7.4 atau rata-rata 5.4,

sedangkan nilai lead number yang diperoleh dari pengukuran sampel

ekstrak panili dapat dilihat pada Lampiran 9. Lead number tertinggi

(Gambar 8) dimiliki oleh sampel Tahiti Grade II yaitu sebesar 5.4 sama

dengan rata-rata lead number standar. Hal ini mengindikasikan lebih banyak

terdapat asam organik di dalamnya dibandingkan dengan lainnya.

Sedangkan nilai lead number yang paling rendah dimiliki oleh S7 yang

menandakan asam organik yang dimilikinya lebih sedikit. Tahiti Grade II

memiliki lead number yang berbeda nyata dari semua jenis sampel, begitu

pula dengan Cobra. Tahiti I tidak berbeda nyata terhadap Djasulawangi, sedangkan S7 tidak berbeda nyata dengan G11. S7 dan G11 memiliki nilai

lead number yang terendah kemungkinan disebabkan belum sempurnanya proses pembentukan asam-asam organik pada buah panili yang digunakan pada proses kuring karena S7 dan G11 berasal dari buah panili ½ kering.


(33)

Sampel Virginia tidak diuji nilai lead numbernya karena sampelnya terbatas.

Tahiti G rade II Cobra S7 Djasulaw G 11 Standar

Sampe l

2,00 4,00 6,00 8,00

L

e

a

d

N

u

m

b

e

r

D

D D D

D

D

D

Gambar 8. Lead number antar standar dan sampel

Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis lead number disimpulkan

bahwa rata-rata lead number seluruh ekstrak yang dianalisis tidak sama

dengan rata-rata lead number ekstrak menurut standar FDA. Hal ini

menunjukkan kemungkinan sedikitnya asam organik yang terkandung dalam ekstrak sampel.

6. Alkalinitas Abu terlarut

Alkalinitas abu terlarut diukur dari filtrat hasil penyaringan larutan abu dengan air panas. Alkalinitas menunjukkan adanya unsur logam yang dapat membentuk basa seperti natrium, kalium, kalsium dan magnesium. Unsur-unsur ini berasal dari unsur mineral yang ada di dalam buah panili (Purseglove et al.,1981).

Nilai alkalinitas abu terlarut dinyatakan dalam ml 0.1N HCl/l. Nilai alkalinitas abu terlarut digunakan untuk mengetahui kandungan alkali yang ada pada ekstrak. Hal ini dapat pula digunakan untuk mengetahui adanya penambahan alkali atau tidak pada ekstrak panili. Nilai alkalinitas abu


(34)

terlarut berdasarkan FDA untuk ekstrak panili adalah 220-400 ml 0.1 N HCl/l, sedangkan nilai alkalinitas abu terlarut yang diperoleh dari ketujuh sampel (Gambar 9) berkisar 139-309 ml 0.1 N HCl/l. Ekstrak panili Tahiti Grade I dan S7 tidak masuk dalam range FDA. Hal ini disebabkan kecilnya kadar abu yang berasal dari kandungan zat anorganik dalam ekstrak panili. Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis alkalinitas abu terlarut disimpulkan bahwa rata-rata alkalinitas abu terlarut seluruh ekstrak yang dianalisis tidak sama dengan rata-rata alkalinitas abu terlarut ekstrak menurut standar FDA.

Tahiti G rade II

Virginia Cobro S7 Djasulaw G 11 Standar Sampe l 100,00 200,00 300,00 400,00 A lk a li n it a s A b u T e rl a ru t (m l H C l 0 .1 N /l ) D D D D D D D D

Gambar 9. Alkalinitas abu terlarut pada standar dan sampel.

7. Alkalinitas Abu Total

Alkalinitas abu total diperoleh dari alkalinitas abu terlarut dan tidak terlarut. Alkalinitas abu total menurut FDA adalah 300-540 ml 0.1 N HCl/l. Hasil pengukuran alkalinitas abu total terhadap sampel dapat diamati pada lampiran 8.

Nilai alkalinitas abu total (Gambar 10) Tahiti Grade II dan Virginia berbeda nyata dari sampel-sampel lainnya yaitu sebesar 721.3 dan 722.8 ml 0.1 N HCl/l. Alkalinitas abu total menjadi salah satu indikator untuk mengetahui pencampuran atau pemalsuan ekstrak panili karena pada ekstrak


(35)

panili yang memiliki kadar abu rendah, dapat ditambahkan alkali untuk meningkatkan kadar abu, sehingga akan mengubah nilai kelarutan dan alkalinitasnya. Pada ekstrak yang ditambahkan alkali, maka kadar abunya akan tinggi, sedangkan abu terlarutnya menunjukkan banyaknya zat-zat anorganik termasuk alkali yang larut dalam air. Alkalinitas abu total merupakan hasil yang diperoleh dari alkalinitas abu terlarut dan alkalinitas abu tidak terlarut sehingga dapat diketahui berapa banyak dari abu total yang merupakan alkali.

Tahiti G rade II

Virginia Cobro S7 Djasulaw G 11 Standar Sampe l 0,00 250,00 500,00 750,00 A lk a li n it a s A b u T o ta l (m l H C l 0 .1 N /l ) D D D D D D D D

Gambar 10. Alkalinitas abu total antar standar dan sampel

Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis alkalinitas abu total disimpulkan bahwa rata-rata alkalinitas abu total seluruh ekstrak yang dianalisis tidak sama dengan rata-rata alkalinitas abu total ekstrak menurut standar FDA, sehingga ekstrak sampel tidak memenuhi syarat fisikokimia dari FDA untuk alkalinitas abu total.

8. Total Asam

Keasaman air dapat disebabkan oleh adanya CO2 yang tidak terikat,

asam-asam mineral, dan garam-garam dari asam kuat dan basa lemah. Titrasi hingga titik akhir fenolftalein, pH 8.3, dinyatakan sebagai keasaman


(36)

total, dan dalam hal ini termasuk asam-asam lemah, garam-garam asam dan beberapa keasaman yang disebabkan karena hidrolisa (Jenie dan Fardiaz, 1989).

Keasaman mengindikasikan adanya asam-asam organik terlarut dalam buah panili termasuk adanya vanillin alami (Reineccius, 1994). Total asam yang rendah mengindikasikan adanya pencampuran. Nilai ini juga digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya gula atau gliserin dalam

menstruum. Selain itu, kandungan alkohol yang lebih rendah dalam

menstruum akan meningkatkan kadar abu dan mengurangi keasaman. Nilai total asam dapat dilihat pada Gambar 11.

Total asam berdasarkan FDA adalah 300-520 ml 0.1 NaOH/l, sedangkan pada sampel diperoleh total asam dalam kisaran 100 – 250 ml 0.1 NaOH/l. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya pencampuran gula dan gliserin ke dalam ekstrak atau sedikitnya asam-asam organik yang terlarut dari buah ke dalam ekstrak tersebut. Asam-asam organik sebagian

besar terbentuk saat proses curing (Herman et al., 1990).

Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis total asam disimpulkan bahwa rata-rata total asam seluruh ekstrak yang dianalisis tidak sama dengan rata-rata total asam ekstrak menurut standar FDA, sehingga tidak memenuhi karakteristik ekstrak panili menurut FDA.

Tahiti G rade II

Virginia Cobra S7 Djasulaw G 11 Standar Sampe l 0,00 100,00 200,00 300,00 400,00 500,00 T o ta l A s a m ( m l 0 ,1 N N a O H /L ) D D D D D D D D


(37)

B.DISKUSI KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA

Berdasarkan analisis PCA (Gambar 12), diperoleh kesimpulan bahwa sampel Virginia dan Tahiti grade II mempunyai karakteristik yang sama karena berada pada kuadran yang sama, yaitu karakteristik alkalinitas abu total, abu terlarut dan abu total. Kedua sampel ini juga memiliki karakter yang hampir sama dengan G11, tapi dapat dibedakan dari kadar vanilinnya. Abu total dan abu terlarut memiliki hubungan yang sangat dekat, begitu pula dengan alkalinitas abu total. Hal ini sesuai dengan pernyataan Reineccius (1994) yang menyebutkan apabila dilakukan penambahan alkali dalam pembuatan ekstrak panili, maka akan berubah pula nilai kelarutan dan alkalinitasnya. Sampel Cobra dan Djasulawangi terlihat lebih dekat kepada karakteristik Standar. Hubungan antara total asam dan alkalinitas abu terlarut sangat erat (positif) pada sampel djasulawangi dan menjadi pembeda dari sampel ekstrak yang lain. Sedangkan sampel Tahiti grade I dikenali karakteristiknya dari kadar vanilinnya. Sampel terakhir adalah S7 yang tidak memiliki karakteristik yang khas dengan karakteristik yang ada.

PC1 P C 2 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 2 1 0 -1 -2 0 0 TotalAsam Alk AbuTerlar ut

Alk AbuTotal AbuTerlarut AbuTotal Vanillin Standar G11 Djasulaw angi S7

Cobro Pure Vanilla Extract

Virginia Dare

Grade I I Tahiti

Scatterplot of PC2 vs PC1

Gambar 12. Biplot sifat fisikokimia dengan sampel ekstrak panili

Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa sampel G11(hasil penelitian) memiliki karakteristik fisikokimia terutama kadar abu,


(38)

abu terlarut dan alkalinitas abu total yang cukup dekat dengan sampel Tahiti grade I, tahiti Grade II dan Virginia yang termasuk sampel dari importir. Sedangkan sampel Cobra dan Djasulawangi (dari eksportir) memiliki karakteristik yang mengarah pada Standar walaupun tidak cukup dekat, tapi dapat dibedakan dari sampel yang lain melalui karakteristik total asam dan alkalinitas abu terlarut. Sedangkan sampel S7 (hasil penelitian) tidak mendekati karakteristik ekstrak manapun.

Berdasarkan hasil analisis sifat fisikokimia, diperoleh hasil bahwa sampel G11, Cobra dan Djasulawangi memenuhi nilai standar FDA pada kadar abu,

abu terlarut, alkalinitas abu terlarut, alkalinitas abu total, lead number dan

kadar vanilin. Hal ini menunjukkan ketiga ekstrak panili tersebut asli atau sesuai dengan mutu yang ditetapkan FDA dan G11 memiliki karakter fisikokimia yang mirip dengan sampel ekstrak panili eksportir.

C. ANALISIS SENSORI a. Deskripsi Kualitatif

Bagian pertama dari tahap pengujian deskripsi kuantitatif adalah

in-depth interview. Pengujian ini dilakukan oleh 12 orang panelis. Masing-masing panelis mendeskripsikan atribut-atribut yang terdapat pada sampel ekstrak panili dengan cara membaui sampel ekstrak panili langsung dari botol. Tiap panelis mendeskripsikan sesuai dengan aroma yang dapat

dideteksi masing-masing. Panel leader (peneliti) dapat membantu

menjelaskan apabila panelis sulit untuk mendeskripsikan. Atribut aroma yang dideskripsikan oleh tiap panelis berbeda-beda satu sama lain. Hasil

deskripsi kualitatif in-depth interview dapat dilihat pada lampiran 11.

Bagian kedua dalam tahap ini yaitu analisis deskripsi dengan Focus Group.

Panelis mendiskusikan atribut-atribut yang mereka peroleh saat in-depth

interview (Lampiran 11) bersama panelis yang lain dan panel leader. Diskusi ini dilakukan untuk menyamakan persepsi dan menemukan kesepakatan tentang atribut aroma yang dapat dideteksi oleh seluruh panelis.


(39)

Dari kesimpulan focus group, sampel ekstrak Tahiti grade I dan II

memiliki atribut aroma dominan yang berbeda, Tahiti I dengan aroma sweet

dan smokey, sedangkan Tahiti Grade II dikenali dengan atribut aroma spicy dan creamy. Atribut sweet terdeteksi pada sampel Cobra, Djasulawangi,

Tahiti grade I dan Virginia. Balsamic dapat dideteksi pada sampel ekstrak

Djasulawangi dan S7. Smoky dikenali pada Tahiti grade I, dan Virginia.

Creamy terdapat pada sampel Cobra, Tahiti Grade II, S7 dan G11. Sedangkan atribut aroma vanilla hanya dapat dideteksi pada sampel Djasulawangi.

Tabel 4. Hasil Uji Deskripsi dengan metode Focus Group

Jenis Ekstrak Atribut Aroma

Tahiti Grade I Sweet, smoky

Tahiti Grade II Spicy, creamy

Virginia Dare Sweet, smoky

Cobra Pure Vanilla Extract Creamy, sweet

S7 Balsamic, spicy, creamy

Djasulawangi Balsamic, sweet, vanilla

G11 Smokey, spicy, creamy

Perbedaan aroma yang terdeteksi dari setiap sampel ekstrak panili terjadi karena ekstrak panili memiliki karakter kimiawi yang bervariasi. Berikut ini kunci karakter rasa ekstrak panili:

- Madagascar Bourbon – creamy, brown, haylike, sweet, vanillin.

- Mexican – creamy, woody, spicy, sweet, vanillin.

- Tahitian – aromatic, fruity, sweet, cherry, anisic

- Indonesian wholewoody, strawy

- Indonesian cuts woody, phenolic, smoky, bitter

- Bourbon-Indonesian blend creamy, woody, phenolic.

(http://www.cookswares.com/discussions/vanilla2.asp, 2004)

Menurut Heath (1978), dalam ekstrak panili, terdapat senyawa selain vanillin (4-hydroxy-3-methoxybenzaldehyde) yang juga berperan dalam

pembentukan profil aroma yaitu vanillic acid (4-hydroxy-3-methoxy

benzoic acid), p-hydroxy benzoic acid, p-coumaric acid. Sedangkan Gernot

Katzer (2003) dalam www.uni-graz.at menyatakan komponen aroma yang


(40)

-hydroxybenzyl methyl ether (1%). Selain itu ada 130 lebih senyawa yang

diidentifikasi dalam ekstrak panili (phenoles, phenol ether, alcohols,

carbonyl compounds, acids, ester, lactones, aliphatic and aromatic carbohydrates dan heterocyclic compounds). Dua stereoisomeric vitispiranes (2,10,10-trimethyl-1,6-dan methylidene-1-oxaspiro (4,5)dec-7-ene) juga berpengaruh terhadap aroma.

b. Deskripsi Kuantitatif

Bagian terakhir dalam tahap pengujian yaitu uji deskripsi kuantitatif dengan QDA. Panelis diminta memperkirakan intensitas aroma sesuai

dengan atribut aroma hasil focus group yang dapat dideteksi dari setiap jenis

ekstrak panili. Tiap panelis diberikan tujuh sampel ekstrak panili yang akan diuji dan enam atribut flavor standar yang akan digunakan sebagai standar penentuan intensitas atribut aroma pada sampel ekstrak panili. Contoh form isian QDA dapat dilihat pada lampiran 18. Panelis membuka tutup botol

standar flavor lalu mencelupkan smelling strip ke dalamnya dan

mengibas-ngibaskannya sambil dicium aromanya dan diingat intensitasnya sesuai dengan yang tertera pada label. Kemudian panelis mengidentifikasi aroma

ekstrak panili dengan menggunakan smelling strip lalu intensitasnya

dibandingkan dengan intensitas flavor standar. Hasil yang diperoleh

ditampilkan dalam spiderweb (Gambar 13) dan dianalisis dengan PCA

(Principal Component Analysis).

Gambar13. Spiderweb semua sampel ekstrak panili

0 20 40 60 Balsamic

Sw eet

Creamy

Spicy Smokey

vanilla

S7 VIRGINIA GRADE II

DJASULAWANGI TAHITI G11


(41)

Gambar14. Spider web ekstrak panili dari eksportir

Sampel ekstrak panili dari eksportir (Gambar 14) terdiri dari sampel

Cobra dan Djasulawangi. Sampel Cobra dicirikan oleh atribut vanilla,

creamy dan sweet karena memiliki nilai atribut aroma yang lebih besar dibandingkan sampel Djasulawangi, sedangkan sampel Djasulawangi

dicirikan oleh atribut aroma balsamic karena nilai atribut aromanya lebih

besar.

Gambar 15. Spider web atribut ekstrak panili dari importir

Sampel dari Eksportir

0 5 10 15 20 25 30 35 Balsamic

Sw eet

Creamy

Spicy Smokey

vanilla

COBRA DJASULAWANGI

Sampel dari importir

0 10 20 30 40 50 60 Balsamic

Sw eet

Creamy

Spicy Smokey

vanilla

VIRGINIA GRADE II TAHITI


(42)

Pada Gambar 15 diperlihatkan sebuah pola yang hampir sama pada sampel Virginia dan Tahiti Grade I dan pola yang berbeda bila keduanya

dibandingkan dengan Tahiti Grade II. Aroma vanilla dan sweet pada

Virginia dan Tahiti Grade I lebih dapat dideteksi daripada Tahiti grade II.

Sedangkan Tahiti grade II, aroma spicy lebih besar dibanding kedua sampel

lainnya. Ekstrak panili Tahiti memiliki fragrance yang sedikit berbeda dari

ekstrak panili yang lain karena mengandung piperonal (heliotropin, 3,4-dioxymethylenbenzaldehyde) dan diacetyl (butandione). Piperonal

memberikan atribut aroma sweet, strongly floral, bitter-sweet taste (Heath,

1978).

Spider web atribut aroma ekstrak panili hasil penelitian (Gambar 16) memperlihatkan pola yang sama pada S7 dan G11 pada hampir semua atribut. Apabila dibandingkan dengan sampel dari importir, maka

kekurangan dari kedua ekstrak ini adalah pada aroma sweet dan creamy.

Untuk aroma vanilla sendiri sudah mendekati sampel dari importir. Adapun

sampel Cobra (dari eksportir) memiliki aroma sweet, vanilla dan creamy

seperti halnya sampel dari importir. Aroma ekstrak panili Indonesia tergantung pada bagaimana proses kuring dan pengeringan yang dilalui, karena pemanenan buah panili yang terlalu cepat dan proses kuring yang

singkat akan memberikan aroma woody dan phenolic, padahal seharusnya

aromanya mirip dengan ekstrak panili Bourbon (www.vanilla.com/html/facts-extracts.html).

Gambar 16. Spider web atribut aroma ekstrak panili hasil penelitian

Sampel hasil penelitian

0 10 20 30 40 50 Balsamic

Sw eet

Creamy

Spicy Smokey

vanilla

G11 S7


(43)

c. Principal Component Analysis (PCA)

Untuk mengetahui atribut aroma yang berhubungan erat dengan jenis

sampel ekstrak panili digunakan PCA (Principal Component Analysis)

menggunakan software Minitab 14. Analisis menggunakan PCA

menghasilkan empat buah grafik yaitu scree plot, score plot, loading plot

dan scatter plot (biplot). Dalam analisis komponen utama, Minitab lebih

dahulu mencari susunan eigenvector ortogonal dari korelasi atau keragaman

matriks variabel-variabel. Matriks komponen utama (PC) adalah produk dari

matriks eigenvector dengan matriks variabel independen. PC1 menghitung

persentase terbesar dari total variasi data. PC2 menghitung persentase terbesar kedua dari total variasi data. Tujuan dari PC adalah untuk menjelaskan jumlah maksimum variasi dengan jumlah komponen tersedikit (Minitab Inc., 2003).

Scree plot (Gambar 17) pada data ini menampilkan enam buah PC. Penentuan jumlah PC yang digunakan berdasarkan nilai eigenvalue yang menerangkan keragaman komponen utama (PC). Eigenvalue yang diperoleh PC1 sebesar 2,5017 yang dapat menjelaskan keragaman sebesar 41,7 % . PC2 dengan nilai eigenvalue 1,7761 dapat menjelaskan keragaman sebesar 29,6 %. Dalam hal ini digunakan dua PC karena sesuai dengan pendapat

Everitt dan Dunn (1998) yang menyatakan bahwa jumlah Principal

Component (PC) yang digunakan harus mampu menerangkan minimal 70% total keragaman data. Jadi, total keragaman yang dapat dijelaskan oleh analisis komponen utama ini sebesar 71,3 % (Lampiran 12).

Score plot (Gambar 18) menggambarkan grafik antara PC2 dan PC1 yang menerangkan hubungan antar sampel, di mana sampel yang berdekatan mempunyai deskripsi yang sama, sedangkan sampel yang berada pada lokasi berlawanan mempunyai deskripsi yang berbeda.

Loading plot (Gambar 19) menjelaskan hubungan antara variabel atribut aroma ekstrak panili. Untuk mengetahui hubungan antara sampel

ekstrak panili dan atribut aroma, maka digunakan scatterplot atau grafik

biplot (Gambar 20). Dari biplot dapat diperoleh informasi hubungan antar peubah, kemiripan relatif antar obyek pengamatan, posisi relatif antar obyek


(44)

pengamatan dengan peubah dan nilai peubah pada suatu objek (Sumertajaya, 2002).

Component Number

E ig e n v a lu e 6 5 4 3 2 1 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0

Scree Plot of Balsamic; ...; vanilla

Gambar 17. Scree plot komponen utama ekstrak panili

First Component

S e c o n d C o m p o n e n t 3 2 1 0 -1 -2 -3 2 1 0 -1 -2 COBRA G11 TAHI TI DJASULAW ANGI

GRADE I I

VI RGI NI A S7

Score Plot of Balsamic; ...; vanilla

Gambar 18. Score plot principal component 1 dan principal component 2


(45)

First Component S e c o n d C o m p o n e n t 0,50 0,25 0,00 -0,25 -0,50 0,50 0,25 0,00 -0,25 -0,50 v anilla Smok ey Spicy Creamy Sw eet

Balsamic

Loading Plot of Balsamic; ...; vanilla

Gambar 19. Loading plot atribut aroma

Dari biplot (Gambar 20) dapat diinterpretasikan bahwa atribut creamy, sweet dan vanilla memiliki hubungan yang dekat dan berkorelasi positif.

Menurut Perez –Silva et al. (2006), sweet, woody, balsamic, spicy,

vanilla-like adalah atribut dari senyawa fenolik. Smoky memiliki korelasi positif

terhadap spicy, sedangkan balsamic memiliki korelasi negatif terhadap

atribut aroma lainnya. Sampel ekstrak panili yang posisinya berdekatan berarti memiliki karakteristik yang sama. Hasil PCA menunjukkan bahwa dalam kuadran yang sama, tidak ada sampel yang saling berdekatan kecuali G11, Cobra dan S7 yang berdekatan akan tetapi masing-masing berada pada kuadran yang berbeda. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa sampel S7, G11 dan Cobra memiliki kesan yang cukup dekat, akan tetapi masih dapat dibedakan dengan karakteristik khas masing-masing sampel, yaitu

Cobra dapat dibedakan dengan aroma creamy, sweet dan vanilla yang

dominan, S7 dengan aroma balsamic-nya dan G11 dapat dibedakan dengan

karakternya sendiri. Grade II dan Virginia walaupun tidak cukup dekat tetapi berada dalam kuadran yang sama (kuadran II) sehingga dapat

dikelompokkan dengan karakteristik yang sama, yaitu smoky dan spicy.

Tahiti dan G11 berada dalam kuadran yang sama (kuadran IV) membentuk kelompok tersendiri tanpa karakteristik yang ditentukan. Djasulawangi dan


(46)

S7 berada dalam kuadran ketiga memiliki kecenderungan pada aroma

balsamic. Sedangkan Cobra berada pada kuadran I memiliki karakteristik

creamy, sweet dan vanilla.

PC1 P C 2 3 2 1 0 -1 -2 -3 2 1 0 -1 -2 0 0 v anilla Smok ey Spicy Creamy Sw eet Balsamic

COBRA

G11 TAHI TI

DJASULAW ANGI

GRADE I I

VI RGI NI A S7

Scatterplot of PC2 vs PC1

Gambar 20. Biplot PC2 vs PC1

Dari ketujuh sampel ekstrak panili tersebut, hanya sampel dari importir yaitu Tahiti Grade II dan Virginia yang memiliki keragaman

karakteristik menonjol yang sama yaitu spicy dan smoky.

Perbedaan atribut aroma yang dominan pada tiap sampel diduga selain karena perbedaan agroklimat tempat tumbuhnya tanaman panili dan senyawa-senyawa volatil yang terbentuk saat proses kuring, tetapi juga karena adanya bahan-bahan yang ditambahkan pada ekstrak panili. Penambahan bahan-bahan ke dalam ekstrak panili yang diperbolehkan oleh FDA adalah gliserin, propilen glikol, gula (termasuk gula invert), dekstrosa,

corn sirup (termasuk dried corn sirup).

Berdasarkan hasil uji deskripsi kuantitatif (QDA) diperoleh kecenderungan aroma masing-masing sampel yang dapat dijelaskan pada Gambar 20, sedangkan apabila dibandingkan dengan hasil uji deskripsi kualitatif, walaupun terdapat beberapa perbedaan, namun hasil uji kualitatif ini mendekati kecenderungan hasil analisis kuantitatif. Pada sampel Cobra,


(47)

hasil Focus Group mendeteksi aroma creamy dan sweet sedangkan pada

QDA diperoleh kedekatan hubungan aroma creamy, sweet dan vanilla pada

sampel Cobra. Pada Djasulawangi, hasil uji kualitatif yaitu balsamic, sweet

dan vanilla sedangkan hasil QDA menunjukkan kecenderungan kepada

balsamic. Pada Grade II, hasil uji kualitatif adalah spicy dan creamy

sedangkan hasil QDA mengarah pada spicy. Sampel Tahiti grade I pada uji

kualitatif diperoleh aroma sweet dan smokey sedangkan pada QDA sampel

ini tidak ditunjukkan oleh atribut aroma yang ada. Pada Virginia, hasil focus

group memberikan aroma sweet dan smokey sedangkan hasil QDA

menunjukkan kecenderungan Virginia pada aroma smokey dan spicy. S7

ditunjukkan dengan aroma balsamic, spicy dan creamy pada focus group

sedangkan pada QDA, S7 ditunjukkan dengan kedekatannya pada aroma

balsamic. Yang terakhir adalah sampel G11 yang pada focus group

didefinisikan dengan aroma smokey, spicy dan creamy, namun pada QDA

tidak menunjukkan kecenderungan kepada salah satu aroma tersebut.

d. Komponen Volatil Ekstrak Panili

Analisis komponen volatil ekstrak panili dilakukan pada sampel Cobra. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui komponen penyusun aroma ekstrak panili. Hasil analisis GC-MS dapat dilihat pada Tabel 5. Senyawa volatil yang dominan pada ekstrak panili Cobra yaitu vanillin dengan luas

area sebesar 9424402. Vanillin memberikan aroma sweet dan vanilla.

Menurut Perez-Silva, et al.(2005) aroma sweet, woody, balsamic, spicy,

vanilla-like dan toasted merupakan atribut aroma dari senyawa fenolik.

Senyawa asam alifatik salah satunya acetic acid memiliki luas area yang

lebih besar dari vanillin yaitu sebesar 10757639 yang mengeluarkan aroma

sour, pungent dan vinegar, senyawa alifatik alkohol, 2,3-butanediol

mengeluarkan aroma floral dan oily, furaneol mengeluarkan aroma fruit,

burnt dan sugar sedangkan maltol mengeluarkan aroma cotton candy dan

sweet. Senyawa butyrolactone menghasilkan aroma coconut-like. Senyawa

aromatik keton, 3-hydroxy-2-butanone menghasilkan aroma buttery. Hasil


(48)

menghasilkan aroma dominan yang dapat terdeteksi yaitu creamy, sweet dan

vanilla. Hal ini sesuai dengan hasil analisis komponen volatil dengan GC-MS.

Tabel 5. Analisis Senyawa Volatil

Nama Retention Time

Luas Area Aroma

Aliphatic acids

Formic acid 2,806 3179299 Strongly pungent, irritating

Acetic acid 3,126 10757639 Sour, vinegar, pungent

Propionic acid 3,483 385330 Pungent, slightly cheesy

Pyruvic acid 4,359 1576830

4-oxo-pentanoic acid 10,765 279528

Fatty Acids

Hexadecanoic acid 40,743 106061

Aliphatic alcohols

2,3-butanediol 4,486 474609

3-methyl-2-heptanol 4,558 148976

1-acetoxy-2-propanol 4,952 98465

Tetrahydro-2-furanmethanol 5,042 195500

2-furanmethanol 5,358 603190

2-furanmethanol 5,467 1267082

furaneol 12,117 328143 Fruit, burnt, sugar

maltol 12,353 168951 Cotton candy, sweet

4-methoxybenzyl alcohol 19,557 839462

Aliphatic esters and lactones

Methyl acrylate 3,961 712516

Methyl pyruvate 4,172 409436

2-acetyl-2-hydroxy-gamma butyrolactone 14,613 4263254 Coconut-like Phenol and phenol ethers

4-vinyl-2-methoxy-phenol 20,351 151119

4-ethoxymethylphenol 22,747 511038

Ethyl vanilylether 25,538 614988

Aromatic ketones

1-hydroxy-2-propanone 3,287 2419213

3-hydroxy-2-butanone 3,575 129487 Buttery

1-hydroxy-2-propanone 4,125 349578

1-(acetyloxy)-2-propanone 5,666 206730

Gamma-butyrolactone 6,721 193285

2-hydroxycyclopent-2-en-1-one 7,093 363406

2-hydroxy-3-methyl-2-cyclopenten-1-one 10,083 124635

2,3-dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl-4H-pyran-4-one

14,843 6833596

3,4-dimethyl-2,5-furandione 16,118 642926

Aromatic aldehydes

4-hydroxybenzaldehyde 23,317 173377

vanillin 23,721 9424402 Very sweet, vanilla-like

Heterocyclics

2-formyl-2-methyl-tetrahydrofuran 8,342 54661

4-methyl-2-propyl furan 12,017 152071

5-(hydroxymethyl)-2-furfural 18,093 4915757

Aliphatic hydrocarbon

3-hydroxy butanal 7,008 161393

2,4-dimethyl-1,3-dioxane 8,591 644483


(49)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Karakteristik fisikokimia ketujuh sampel, baik dari eksportir, importir maupun hasil penelitian memiliki rata-rata kadar vanillin 4,56 g/l, abu total 3,54 g/l, abu terlarut 2,90 g/l, alkalinitas abu total 563,17 ml 0.1 N HCl/l, alkalinitas abu terlarut 229,38 ml 0.1 N NaOH/l, total asam 175 ml 0.1 N

NaOH/l, lead number 4,89. Berdasarkan hasil uji sifat fisikokimia, Cobra dan

Djasulawangi (eksportir) dan G11 (hasil penelitian) memenuhi nilai standar FDA pada kadar abu, abu terlarut, alkalinitas abu terlarut, alkalinitas abu total,

lead number dan kadar vanilin. Hal ini menunjukkan ketiga ekstrak panili tersebut asli atau sesuai dengan mutu yang ditetapkan FDA.

Berdasarkan hasil uji hipotesis dari ketujuh sampel, rata-rata abu total dan abu terlarut sama dengan rata yang ditetapkan FDA, sedangkan rata-rata kadar vanillin, alkalinitas abu terlarut, alkalinitas abu total, total asam, dan lead number tidak sama dengan nilai rata-rata yang ditetapkan FDA, sehingga secara keseluruhan, mutu ekstrak sampel belum sesuai dengan standar FDA.

Berdasarkan hasil analisis komponen utama, dapat disimpulkan bahwa sampel G11(hasil penelitian) memiliki karakteristik fisikokimia terutama kadar abu, abu terlarut dan alkalinitas abu total yang cukup dekat dengan sampel Tahiti grade I, tahiti Grade II dan Virginia yang termasuk sampel dari importir. Sedangkan sampel Cobra dan Djasulawangi (dari eksportir) memiliki karakteristik yang mengarah pada Standar walaupun tidak cukup dekat, tapi dapat dibedakan dari sampel yang lain melalui karakteristik total asam dan alkalinitas abu terlarut. Sedangkan sampel S7 (hasil penelitian) tidak mendekati karakteristik ekstrak manapun.

Pada karakterisasi aroma, sampel S7, G11 dan Cobra memiliki kesan yang cukup dekat, akan tetapi masih dapat dibedakan dengan karakteristik khas masing-masing sampel, yaitu Cobra dapat dibedakan dengan aroma


(50)

creamy, sweet dan vanilla yang dominan, S7 dengan aroma balsamic dan G11 dapat dibedakan dengan karakternya sendiri. Grade II dan Virginia walaupun tidak cukup dekat tetapi berada dalam kuadran yang sama (kuadran II)

sehingga dapat dikelompokkan dengan karakteristik yang sama, yaitu smoky

dan spicy. Tahiti dan G11 berada dalam kuadran yang sama (kuadran IV) membentuk kelompok tersendiri tanpa karakteristik yang ditentukan. Djasulawangi dan S7 berada dalam kuadran ketiga memiliki kecenderungan

pada aroma balsamic. Sedangkan Cobra berada pada kuadran I memiliki

karakteristik creamy, sweet dan vanilla.

Dengan demikian, sampel G11 sudah mampu mendekati karakteristik fisikokimia produk impor Tahiti grade I, tahiti Grade II dan Virginia. Akan tetapi, berdasarkan hasil uji sensori, G11 masih belum dapat mendekati aroma ekstrak panili dari eksportir maupun importir.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka disarankan untuk melakukan pengembangan lebih lanjut terhadap produk G11 dengan penyempurnaan proses kuring sehingga komponen-komponen penyusun aroma ekstrak panili dapat terbentuk.


(51)

NURMALIA MULIATI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(1)

BOGOR 2006


(2)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA DAN AROMA EKSTRAK

PANILI KOMERSIAL

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

NURMALIA MULIATI F34101017

Dilahirkan pada tanggal 5 Agustus 1983 Di Plaju

Tanggal lulus :

Disetujui


(3)

Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi Dosen Pembimbing

ABSTRACT

NURMALIA MULIATI. F34101017. Phsycochemical and Aroma Characterization of Commercial Vanilla Extract. Under the direction of DWI SETYANINGSIH.

Vanilla is widely used as flavouring in the food and perfume industries. In flavouring, there are natural extracts from beans harvested from vanilla orchid and synthetics vanillin. Flavour from synthetic vanillin only consist one or two major components usually vanillin or ethyl vanillin so that the aroma isnot as rich as natural vanilla extract which contains complex mixture of 100-200 flavour components. The taste and aroma of vanilla extract depend on varieties of plant, soil, environment and curing process. Vanilla extract contains more than 100 volatil compounds detected including aromatic carbonyls, aromatic alcohols, aromatic acids, aromatic esters, phenols and phenols ethers, aliphatic alcohol, carbonyls, acids, esters, and lactones, of which the aldehyde vanillin is the most abundant (Perez-Silva et.al., 2005; Adedeji et al., 1993; Klimes & Lamparsky, 1976; Ranadive, 1994). The level of the aldehydes vanillin, vanillin, hydroxybenzaldehyde and their respective acids (vanillic acid and p-hydroxybenzoic acid) in cured vanilla is used as an indicator of cured vanilla bean quality for commercial purpose. The 70-80% sources of vanilla beans come from Madagascar. Today, United States buys vanilla beans from Madagascar, Indonesia, Uganda and Tonga. Most of high quality vanilla beans are achieved from Madagascar. Madagascar-Bourbon vanilla has smooth, rich, and sweet flavour. Mexican vanilla has smooth, strong and rich flavour. Tahitian vanilla has aromatic and complex floral aroma used in perfume. Indonesian vanilla extracts tend to woody, and phenolic because of earliest harvested and unperfected curing process.

The efforts to increase agricultural added value were done continuously including vanilla. As long as we know that farmers sold fresh vanilla beans even they were still unripe. The average prices of whole vanilla in 2001 was Rp. 301.330/kg (Deptan Dirjen Bina Produksi Perkebunan, 2004). The curing process from cured vanilla to vanilla extract would give added value to vanilla product. This experiment had objective to know the phsycochemical and aroma characteristics of commercial vanilla extracts in Indonesia from local product (to be exported) and from imported product. Then, they were compared with vanilla extract from the new experiment.

This experiment analyzed amount of vanillin, total ash, soluble ash, alcalinity of soluble ash, alcalinity of total ash, total acidity and lead number. Sensory characteristic analyzed was aroma. Analysis was done by qualitative descriptive test with In-Depth Interview and Focus Group methods, and quantitative descriptive analysis (QDA). These tests used 12 trained panelists.

According to the results of phsycochemical analysis, Cobra and Djasulawangi from exporter and G11 from the experiment agreed to FDA regulations, those were vanillin 1.1-3.5 g/l, total ash 2.2-4.32 g/l, soluble ash 1.79-3.57 g/l, lead number 4.0-7.4, alcalinity of total ash 300-540 ml 0.1N acid/l and alcalinity of soluble ash 220-400 ml 0.1 N acid/l. These showed that the three vanilla extracts above had fulfiled the regulations of vanilla extracts and were able to compete other commercial vanilla extracts.


(4)

According to the results of sensory analysis, Tahiti grade II dan Virginia vanilla extracts had the same aroma (existed in the same quadran). They were spicy and smoky. Cobra was characterized by creamy, sweet and vanilla. Djasulawangi dan S7 were known with balsamic aroma, while Tahiti grade I and G11 made a group with their own aroma. It could be concluded that G11 vanilla extract from experiment fulfiled the rules of FDA in phsycochemical characteristics but it did not give the appropriate aroma as the aroma of exporter and importer vanilla extracts, so that the aroma development of vanilla extract especially G11 should be kept on.


(5)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Panili digunakan secara luas pada industri pangan terutama sebagai flavor dan pada industri parfum. Flavor panili ada yang alami dan ada yang sintetis. Komposisi flavor sintetis lebih sederhana yaitu terdiri dari satu atau dua komponen mayor, biasanya vanillin atau etil vanillin (Boyce et.al, 2003), sehingga aroma yang dihasilkan tidak sekaya aroma ekstrak panili alami. Ekstrak panili alami mengandung 100-200 komponen flavor. Lebih dari seratus senyawa volatil yang terdeteksi, termasuk karbonil aromatik, alkohol aromatik, asam aromatik, ester aromatik, fenol dan fenol ester, alkohol alifatik, karbonil, asam, ester, dan lakton, di mana aldehid vanillin adalah yang paling dominan (Pérez-Silva et al., 2005). Setiap jenis ekstrak panili memiliki profil aroma yang berbeda-beda tergantung tempat tumbuhnya dan spesiesnya. Beberapa jenis ekstrak panili diantaranya Bourbon Vanilla, Mexican vanilla, Tahiti Vanilla, Guadaloupe vanillon dan Indonesian vanilla. Vanilla Indonesia cenderung memiliki profil aroma woody dan phenolic karena proses pengeringan yang terlalu cepat.

Produksi panili Indonesia tahun 2001 dan 2002 sebesar 2.198 ton dan 2.731 ton. Volume ekspor panili Indonesia tahun 2001 sebesar 468 ton (US$ 19.309.000) dan meningkat menjadi 3.599 ton (US$ 19.160.000) pada 2002, sedangkan volume impor tahun 2001 dan 2002 sebesar 230 ton (US$ 868.000) dan 1.514 ton (US$ 1.346.000). Indonesia mengekspor panili utuh (vanilla whole) paling banyak ke USA sebesar 372 ton (US$ 15.790.000) dan Jerman 29 ton (US$ 2.351.000) pada tahun 2001, sedangkan tahun 2002, ekspor ke USA sebesar 242 ton (US$ 11.265.000) dan Jerman 51 ton (US$ 3.373), selain itu ekspor juga dilakukan ke Hongkong, Singapura, Malaysia, Australia, Kanada, Inggris, Prancis, Austria, dan lainnya. Panili dalam bentuk lain (other vanilla) diekspor ke China, Malaysia, USA, Jerman, Vietnam, Prancis, dan lainnya dengan total volume 3.278 ton (tahun 2002) senilai US$ 2.950.000. Negara pengimpor panili utuh adalah Madagascar, Amerika, Philipina dan Papua New Guinea sedangkan pengimpor panili dalam bentuk lain adalah


(6)

2

Malaysia, Australia, Timor-Timur, USA, Pakistan Singapura dan lainnya (Badan Statistik, Dirjen Bina Produksi Perkebunan, 2004).

Buah panili selama ini diekspor dalam bentuk buah panili kering, padahal jika dilakukan pengolahan lebih lanjut dari panili kering menjadi ekstrak panili maka nilai tambah yang diperoleh akan jauh lebih besar. Kualitas ekstrak panili yang dihasilkan pun harus mampu bersaing dengan ekstrak panili yang selama ini dihasilkan oleh industri-industri pengekstrak di luar negeri, oleh karena itu, dibutuhkan informasi mengenai mutu produk ekstrak panili lokal dan mutu ekstrak panili impor, baik sifat fisikokimia maupun karakter aroma yang dihasilkan untuk perbaikan produk-produk berbasis panili yang akan dikembangkan.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan mengetahui sifat fisikokimia dan sensori ekstrak panili komersial baik produk lokal (dari eksportir) maupun produk impor dan produk hasil percobaan laboratorium.