Behavioral Control Cognitive control Transplantasi Ginjal Peritoneal dialisa PD Hemodialisa HD

Kedua, masyarakat mendorong individu secara konstan menyusun standar yang lebih baik bagi dirinya, sehingga dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut dibuatkan pengontrolan diri agar dalam proses pencapaian standar tersebut individu tidak melakukan hal-hal yang menyimpang.

2.2.2 Aspek-aspek Self Control

Berdasarkan Konsep Averill Sarafino, 1994 terdapat 3 jenis kemampuan mengontrol diri yaitu,

a. Behavioral Control

Dalam Averill 1973, behavioral control merupakan kesiapan atau tersedianya suatu respon yang dapat secara langsung mempengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi 2 komponen yaitu mengatur pelaksanaan regulated administration dan kemampuan memodifikasi stimulus stimulus modifibiality. Kemampuan mengatur pelaksaan merupakan kemampuan individu untuk menentukan siapa yang mengendalikan situasi atau keadaan, dirinya sendiri atau sesuatu diluar dirinya. Individu yang mampu mengontrol dirinya baik akan mampu mengatur perilaku dengan menggunakan kemampua dirinya dan bila tidak mampu individu akan menggunakan sumber eksternal.

b. Cognitive control

Merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai atau menggabungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai adaptasi psikologis atau untuk mengurangi tekanan. Aspek ini terdiri atas dua komponen yaitu: memperoleh informasi information gain dan melakukan penilaian appraisal.

c. Decisional control

Merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan tindakan pada sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Self control dalam menentukan pilihan akan berfungsi baik dengan adanya suatu kesempatan, kebebasan, atau kemungkinan pada diri individu untuk memilih berbagai kemungkinan tindakan. Menurut Block dan Block dalam Lazarus, 1969, ada tiga jenis kualitas self control, yaitu over control, under control, dan appropriate control. Over control merupakan self control yang dilakukan oleh individu secara berlebihan yang menyebabkan individu banyak menahan diri dalam bereaksi terhadap stimulus. Under control merupakan suatu kecendrungan individu untuk melepaskan impulsivitas dengan bebas tanpa perhitungan yang matang. Appropriate control merupakan kontrol individu dalam upaya mengendalikan implus secara tepat. Dari uraian dan penjelasan di atas, maka untuk mengukur self control digunakan aspek-aspek sebagi berikut: a. Kemampuan mengontrol perilaku b. Kemampuan mengontrol stimulus c. Kemampuan mengantisipasi suatu kejadian atau peristiwa d. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian e. Kemampuan mengambil keputusan

2.2.3 Model Self Control

Model dari self control memiliki dua bagian: • Bagian pertama, memerlukan spesifikasi yang jelas masalah yang mana sebagai perilaku yang harus dikontrol. • Bagian kedua, mensyaratkan teknik perilaku yang diterapkan untuk mengelola masalah. Dalam pengertian itu, model self control ini terdiri dari melakukan satu hal untuk meningkatkan peluang melakukan hal lain. Seorang individu harus berperilaku dengan cara tertentu mengatur lingkungan untuk mengelola sendiri perilaku berikutnya. Ini berarti memancarkan perilaku untuk mengendalikan efek perubahan perilaku dikontrol skinner,1953 dalam Garry Martin Joseph Pear, 2003: 321

2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self Control

Sebagaimana faktor psikologis lainnya self control dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara garis besarnya faktor-faktor yang mempengaruhi self control ini terdiri dari faktor internal dari diri individu, dan faktor eksternal lingkungan individu: a. Faktor internal Faktor internal yang ikut andil terhadap self control adalah usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin baik kemampuan mengontrol diri seseorang itu. b. Faktor eksternal Faktor eksternal ini diantaranya adalah lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga menentukan bagaimana kemampuan mengontrol diri seseorang Hurlock, 1980. Dalam Calhoun dan Acocella 1990 dikatakan bahwa tiga masalah yang dapat dipengaruhi oleh self control salah satunya adalah kecemasan. Dikatakan juga bahwa seseorang yang tidak mampu memelihara self control-nya akan mempunyai efek negatif berupa depresi, merasa putus asa, ketergantungan, perfeksionis, self image rendah, tidak berdaya, dan emosi tak terkendali.

2.2.5 Pengaruh Self Control terhadap Perilaku

Calhoun dan Acocella 1990 menyatakan bahwa self control dapat dijadikan sebagai pengatur proses-proses fisik, psikologis, dan perilaku seseorang. Dengan kata lain, serangkaian yang membentuk proses dirinya sendiri. Dengan begitu individu dengan self controlnya yang tinggi akan sangat memperhatikan cara-cara yang tepat untuk bagaimana berprilaku dalam situasi yang bervariasi. Ia cenderung untuk mengubah perilakunya sesuai dengan permintaan situasi sosial yang kemudian dapat mengatur kesan yang dibuat. Berdasarkan penjelasan diatas, maka self control dapat berfungsi sebagai suatu aktivitas pengendalian perilaku. Pengendalian perilaku mengandung makna yaitu melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu sebelum mengambil sikap dan memutuskan untuk bertindak. 2.3 Gagal Ginjal Kronik 2.3.1 Definisi Gagal Ginjal Kronik Menurut Colvy 2010 mendefinisikan gagal ginjal sebagai sebuah penyakit dimana fungsi ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium di dalam darah atau produksi urine. Menurut Hartono 2008 gagal ginjal kronik dapat diartikan sebagai ketidakmampuan ginjal untuk melaksanakan pekerjaannya. Sedangkan menurut Suciadi 2010 gagal ginjal atau yang sekarang lebih dikenal sebagai end-stage renal disease, merupakan stadium akhir berdasarkan gangguan fungsi dan tingkat keparahan kerusakan penyakit ginjal menahun. Lebih lanjut menurut Rachmach 2007 gagal ginjal kronik yaitu berkurangnya fungsi ginjal dalam tubuh secara bertahap yang diikuti oleh penimbunan sisa metabolisme protein serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh.

2.3.2 Klasifikasi Kerusakan Pada Ginjal

Klasifikasi membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium yaitu, Stadium I kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan ringan fungsi ginjal, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal Susalit, 2002.

2.3.3 Penyebab Gagal Ginjal Kronik

Colvy 2010:41 mengatakan bahwa penyebab gagal ginjal kronik dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu: 1. Penyebab pre-renal Penyebab pre-renal berupa gangguan aliran darah ke arah ginjal sehingga ginjal kekurangan suplai darah. Kurangnya suplai darah mengakibatkan kurangnya oksigen yang pada gilirannya menyebabkan kerusakan jaringan ginjal. Sederhananya, penyebab pre-renal adalah berkurangnya daya pompa jantung, adanya sumbatanhambatan aliran darah pada arteri besar yang ke arah ginjal, dan lain-lain. Misalnya, dehidrasi dari kehilangan cairan tubuh muntah, diare, berkeringat, demam, hypovolemia volume darah yang rendah. 2. Penyebab renal Penyebab renal berupa gangguankerusakan yang mengenai jaringan ginjal sendiri seperti kerusakan akibat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, penyakit sistem kekebalan tubuh seperti SLE Systemic Lupus Erythematosus, peradangan, keracunan obat, kista dalam ginjal, berbagai gangguan aliran darah di dalam ginjal yang merusak jaringan ginjal. 3. Penyebab post-renal Penyebab post-renal berupa gangguanhambatan aliran keluar output urin sehingga terjadi aliran balik urin ke arah ginjal yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Sederhananya, penyebab post-renal antara lain adalah adanya sumbatan atau penyepitan pada saluran pengeluaran urin antara ginjal sampai ujung saluran kemih, adanya batu pada ureter sampai uretra, penyempitan akibat saluran tertekuk, penyempitan akibat pembesaran kelenjar prostat, tumor, dan lain-lain.

2.3.4 Gejala Gagal Ginjal Kronik

Menurut Colvy 2010:42 adapun gejala dari gagal ginjal kronik kerap tanpa keluhan pada stadium awal. Oleh karena itu pasien sebaiknya waspada jika mengalami gejala-gejala berikut: a. Tekanan darah tinggi b. Perubahan jumlah berkemih c. Ada darah dalam urin d. Bengkak pada kaki dan pergelangan kaki edema e. Rasa lemah serta sulit tidur f. Sakit kepala g. Sesak dan merasa mual serta muntah h. Urin berubah warna, berbusa, atau sering bangun malam untuk berkemih i. Napas bau, karena adanya kotoran yang mengumpul di rongga mulut j. Gatal-gatal, utamanya di kaki

2.3.5 Tahapan Yang Terjadi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik

KublerRoss dalam Taylor, 2009 mengemukakan lima tahapan yang biasanya terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yaitu:

1. Tahap penyangkalan

Reaksi kebanyakan individu saat pertama kali mendengar diagnosa penyakit kronis yang menimpanya adalah pernyataan, “Tidak, bukan saya, itu tidak benar.” Biasanya penyangkalan merupakan pertahanan sementara dan segera akan digantikan dengan penerimaan yang bersifat parsial.

2. Tahap marah.

Kalau penyangkalan pada tahap pertama tidak tertahan lagi, maka itu akan digantikan dengan rasa marah, gusar, cemburu, dan benci. Berlawanan dengan tahap penyangkalan, tahap marah ini sangat sulit diatasi dari sisi keluarga dan para staf rumah sakit.

3. Tahap menawar

Tahap ini tidak terlalu dikenal, namun sebenarnya sangat menolong pasien, meskipun terjadi hanya beberapa saat. Ketika kita tidak mampu menghadapi kenyataan yang menyedihkan pada awal periode dan menjadi marah terhadap orang-orang sekitar dan Tuhan pada fase kedua, boleh jadi kita akan berhasil membuat perjanjian yang mungkin menunda terjadinya hal yang tidak diharapkan.

4. Tahap Depresi

Terdapat dua macam jenis depresi yaitu, depresi reaktif, dan depresi preparatory persiapan. Pada depresi reaktif, pasien memiliki banyak hal untuk diungkapkan dan memerlukan banyak interaksi verbal serta sering melibatkan interaksi aktif. Seseorang yang penuh pengertian tidak akan menemui kesulitan dalam mengungkapkan penyebab depresi dan meredakan perasaan bersalah atau malu yang tidak realistis, yang biasanya menyertai depresi. Ketika depresi menjadi alat persiapan bagi kehilangan yang harus terjadi atas objek-objek yang dicintai, demi mempermudah sikap menerima, dorongan, dan penentraman hati tidak lagi terlalu berarti.

5. Tahap penerimaan

Penerimaan harus dibedakan dari bahagia. Penerimaan lebih merupakan kehampaan perasaan. Ketika pasien menerima kedamaian dan penerimaan, lingkaran minatnya pun hilang. Pasien berharap dibiarkan sendiri atau setidaknya tidak dipusingkan oleh berita-berita dan masalah dunia luar.

2.3.6 Aspek Psikologis Pasien Gagal Ginjal Kronik

Secara umum aspek psikologis pasien gagal ginjal kronik dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal Rachmach, 2007:103.

1. Faktor Internal, meliputi :

a. Komplikasi proses hemodialisa, terkadang hemodialisa menambah ketidaknyamanan karena adanya komplikasi atau kondisi pasien yang drop pasca hemodialisa, seperti hipotensi, kram otot, sindrom ketidakseimbangan dialysis, penyakit yang berhubungan dengan transfusi dan anemia. b. Aturan diet ketat dan pengurangan asupan cairan, dikarenakan diet ketat membuat pasien frustasi dan merasa tidak nyaman, sedangkan pengurangan asupan cairan merupakan stressor psikologis yang tinggi bagi pasien. c. Harapan patah ditengah jalan, dikarenakan pasien merasa hidupnya sudah tidak ada harapan lagi untuk menggapai masa depannya.

2. Faktor Eksternal , meliputi :

a. Beban Ekonomi, dikarenakan salah satunya biaya hemodialisa, konsultasi dokter yang dirasa cukup berat. b. Mobilitas yang terbatas, karena keterbatasan kegiatan sehari-hari merupakan stressor utama bagi pasien. c. Ketergantungan terhadap mesin, kelangsungan hidup pasien sangat tergantung pada mesin sebagai pengganti mesin dan ketergantungan terhadap orang-orang yang menolongnya saat proses hemodialisa. d. Stressor-stressor lain misalnya, kehilangan pekerjaan, penghasilan, status finansial, efek samping obat, perasaan lelah, perubahan suasana hati, sulit menemukan teman yang mengerti penyakitnya, kekacauan suasana keluarga, dan hubungan social yang kurang baik. Kedua faktor ini, apabila tidak diperhatikan bisa menimbulkan kecemasan luar biasa dan depresi yang dalam jangka panjang bisa mengakibatkan stress. Apabila pasien sudah mengalami depresi maka akan muncul perasaan sedih, murung, merasa kosong, tidak ada rasa senang, lesu, sulit tidur, selera makan menurun, mudah tersinggung, tidak kooperatif, merasa tidak berharga dan tidak berguna, serta putus asa Rachmach, 2007.

2.3.7 Penanganan Gagal Ginjal Kronik

Selama ini dikenal beberapa terapi pengganti ginjal yaitu, transplantasi ginjal, peritoneal dialisa PD, dan Hemodialisa HD.

a. Transplantasi Ginjal

Menurut Rachmach 2007 transplantasi ginjal adalah proses penggantian ginjal yang rusak dengan ginjal yang baru yang masih sehat.

b. Peritoneal dialisa PD

Menurut Colvy 2010 dialysis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran peritoneum selaput rongga perut.

c. Hemodialisa HD

Hemodialisa HD adalah dialisis dengan menggunakan mesin dialiser yang berfungsi sebagai “ginjal buatan”. Proses ini dilakukan 1-3 kali seminggu di rumah sakit dan setiap kalinya membutuhkan waktu sekitar 2- 4 jam Colvy, 2010. Terapi cuci darah ini tidak menyebabkan fungsi ginjal menjadi baik, pasien yang melakukan terapi akan memiliki ketergantungan pada mesin hemodialisis. Ada beberapa gejala umum drop yang dirasakan oleh pasien menjelang hemodialisa, antara lain mual dan muntah, uremik, sesak nafas, tekanan darah yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah, dan Hb yang rendah Rachmach 2007:49. 2.4 Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia YDGI 2.4.1 Definisi Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia