Gender Dalam Konteks Arsitektur Tradisi Dan Tradisional

3.2. Gender Dalam Konteks Arsitektur Tradisi Dan Tradisional

Tradisi mengandung arti suatu kebiasaan yang dilakukan dengan cara yang sama oleh beberapa generasi tanpa atau sedikit sekali mengalami perubahan, atau dalam konteks arsitektur dapat diartikan sebagai kecendrungan untuk bertahan dalam mempertahankan bentuk-bentuk yang telah desepakati bersama dengan menerima tata-nilai yang telah mentradisi. Di Bali tradisi bukan berarti sesuatu yang mandeg, tetapi dapat berkembang sesuai dengan alam lingkungannya, asalkan tanpa kehilangan prinsip-prinsip pokok yaitu tujuan hidup dari masyarakatnya. Pamakaian bahan bangunan juga didasari pada penyesuaian terhadap alam disekelilingnya. Sehingga tidak akan terjadi kesulitan mengganti bagian dari bangunan yang telah rusak. Rumah tinggal yang lingkungan desanya banyak tumbuh pohon bambu, akan memanfaatkannya semaksimal mungkin; misalnya penutup atap dari belahan bambu, dinding dari anyaman bambu gedek dan sejenisnya. Ada beberapa aturan yang sering kali terasa kurang logis dan ada kesan “disembunyikan” maksud yang sebenarnya, seperti yang terdapat di daerah Banjar Klimantan Selatan, mengenai pantangan untuk sebuah rumah antara lain : • Jangan membuat pintu yang menyebabkan letak tongkat berada ditengah pintu tersebut. Pintu demikian dianggap sebagai “pintu turunan mayat”, penghuninya akan sering mendapat peristawa kematian keluarga. • Jangan menanam pecahan botol ke dalam tanah di bawah kolong rumah, agar rumah dijauhi oleh iblis. FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008 Ada juga semacam tabu yang berlaku di Kampung Naga, Jawa Barat. Warga Naga tidak diperbolehkan membangun rumah dengan atap genting. Atap rumah semata- mata dibuat dari daun nipah yang dicampur dengan ijuk. Meskipun pernah terjadi beberapa keluarga meninggalkan rumahnya karena mereka ingin tinggal di rumah beratap genting, kenyataannya sampai sekarang aturan tradisi nenek moyang tersebut tetap dipertahankan. Memang cukup aneh, karena kampung Naga ini tidak jauh letaknya dari jalan raya Tasikmalaya-Garut. Perubahan disana sini juga ada, rumah-rumah yang dulunya sunyi, kini sudah mulai terdengar suara radio. Makanpun sudah menggunakan piring kaca, yang dulunya memakai piring seng, karena penggunaan barang dari gelas ditabukan, dan diikuti pula dengan penggunaan jendela kaca nako. Gadis-gadisnya sudah bersolek dengan kosmetika kota. Dalam kehidupan masyarakat Naga dikenal adanya pantangan hari dan bulan. Pada hari-hari Selasa, Rabu, dan Sabtu tiap pekan, atau bulan Sapar dan Puasa setiap tahun, warga Naga dilarang mengadakan kegiatan tertentu, seperti dilarang melakukan ziarah dan membicarakan masalah kemasyarakatan dengan sesama maupun dengan orang luar. Sejak seabad yang lalu masyarakat Kudus Kulon yang berada disekitar Menara Kudus memiliki kultur tersendiri. Sosiologi kemasyarakatannya lebih eksklusif, tertutup, ningrat, dan tergolong fanatik dalam hal agama, yang umunya mereka sebagai pedagang kelas menengah ataupun atas. Dalam karya arsitekturnya ditunjukkan dengan dinding pekarangan yang sangat tinggi dan rapat. Rumah-rumah sering merupakan sebuah komplek yang menjadi satu karena ikatan keluarga FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008 induknya, dengan semacam regol satu-satunya yang menghubungkan komplek rumah ini dengan jalan. Adat pekawinannyapun masih memandang masalah keturunan. Adat pingitan tertanam kuat, mempertegas adanya pantangan bahwa perjaka tidak boleh berhubungan langsung dengan seorang gadis. Dengan bantuan seorang perantara atau jomblang berkembang menjadi mak jomblang, orang tua sigadis bisa mempertimbangkan seorang perjaka bisa diterima atau tidak. Lewat jomblang ini calon menantu diharuskan lewat di depan rumah si gadis, lewat pintu sorong yang penuh jeruji berukir, orang tua gadis mengintip dari dalam rumahnya. Hal ini mengindikasikan bahwa gender perempuan lebih menjadi obyek dan terpinggirkan di dalam hubungan kultural tersebut. Pada masyarakat Seram, terdapat suatu konstruk sosial berkenaan dengan aspek gender, yakni sisi lowau hilir rumah merupakan daerah laki-laki, sedang perempuan pada sisi lodaya atau hulu. Sedangkan dalam tatanan rumah Jawa, pendhapa yang terletak pada kebutuhan publik adalah merupakan wilayah “kekuasaan” laki-laki. Perempuan harus berada pada daerah yang privat, dan disebut krobongan yaitu yang terletak di bagian tengah rumah dan “tertutup”. Dari segenap penelusuran tersebut, terminologi gender dalam tulisan ini difokuskan pada karakteristik seksual maskulin, feminin yang melekat pada fenomena arsitektur, dan bersinggungan dengan perilaku sosial. Arsitektur tradisi cukup teruji dan mapan, karena sudah berlangsung sekian lamanya tanpa mengalami perubahan yang berarti. ”Penyesuaian diri” yang akan FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008 ditempuh seandainya mengalami hal-hal baru, biasanya menyangkut hal-hal yang bersifat lebih praktis. Dari keadaan ini pulalah seringkali orang meninggalkan pemakaian bentuk-bentuk tradisi pada rumahnya, dan menggunakan bentuk baru yang dijumpai di luar daerahnya yang dipandang lebih ekonomis atau lebih modern. Di Nias, rumah-rumah yang sering merasakan pengaruh kuatnya angin, lebih mempercepat proses rusaknya penutup atap dari rumpia, lalu mengadakan tindakan pencegahan dengan mengurangi ketinggian atap rumahnya. Yang terkena angin dari arah belakang lebih mudah menanggulanginya, penutup atap bagian belakang diganti dengan seng gelombang yang lebih awet, yang tidak akan tampak dari arah depan. Apalagi perumahan di desa-desa adat Nias selalu memanjang rapat dan saling berhadapan membentuk pelataran panjang sebagai tempat berkomunikasinya warga desa. Karena mahalnya pemeliharaan, pembuatan, dan dipandang kurang praktis, banyak bangunan tradisional di Toraja yang ditinggalkan pemiliknya. Dibuat rumah baru menurut adat Bugis yang lebih memungkinkan cahaya matahari masuk ke rumah, ruang dalam cukup luas, dan biasanya diolah lebih modern dengan menambahkan jendela-jendela kaca. Rumah tradisional hanya digunakan pada waktu- waktu tertentu saat dilakukan upacara adat yang diikuti oleh seluruh sanak keluarga, seperti pada saat terjadi upacara kematian. Pembangunan rumah tradisional lengkap dengan lumbungnya hanya sebagai unsur prestise saja. Bangunan tradisional adalah bangunan-bangunan baik rumah ataupun bangunan lainnya yang telah ada sejak lama, sejak dari masa nenek moyang kita, FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008 dipelihara secara turun temurun baik bentuk maupun kehadirannya, tanpa adanya pengaruh-pengaruh luar yang berarti, yang dirancang secara adat, mulai dari pembentukan tapak site, peletakkan batu pertama ataupun pemancangan tiang pertama, penuh dengan mentera dan upacara, sampai kepada acara masuk rumah. Menurut Zein M. Wiryoprawiro dalam Josef, 1987, arsitektur tradisional sering diartikan sebagai arsitektur adat atau bahkan diartikan sebagai arsitektur kuno. Kata “Tradisi” berasal dari bahasa latin “tradere” yang berarti menyerahkan atau dari kata “traditum” yang berarti mewariskan. Jadi tradisi dapat diartikan sebagai suatu proses penyerahan atau pewarisan sesuatu dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian maka arsitektur tradisional adalah arsitektur yang hidup dan didukung oleh beberapa generasi secara berurutan. Karena adanya perbedaan waktu dan tingkat kemajuan zaman, maka sudah barang tentu arsitektur tradisional dapat mengalami perubahan. Namun pola dan bentuknya akan tidak begitu jauh dari pola dan bentuk yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Hal itu memang dapat dimengerti sebab “tradisi” itu dapat diartikan sebagai suatu “proses” tetapi juga dapat diartikan sebagai suatu “produk” atau hasil akhir. Tradisi yang masih terus hidup, meski ada perubahan, dapat diartikan sebagai proses. Sebagai contoh, arsitektur di Madura, dapat dikatakan sebagai proses, karena tampak masih hidup, meskipun juga mengalami perubahan. Sebaliknya tradisi yang berhenti, yang tidak dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya, dapat diartikan sebagai produk. Contohnya arsitektur kraton Kesultanan Yogyakarta merupakan tradisi yang sudah berhenti. FIRMAN EDDY : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS : ARSITEKTUR KARO, 2008 USU e-Repository © 2008 Sebagai proses arsitektur ini masih terus hidup dan menyesuaikan diri atau adaptif terhadap perubahan zaman. Sedangkan sebagai produk arsitektur ini sudah berhenti, sebagai “benda antik”, atau merupakan “seni klasik”, yang sudah tidak diproduksi lagi. Sehingga ia merupakan warisan budaya yang layak sebagai benda museum yang patut dihargai dan dilestarikan. Josef Prijotomo 1987 dalam memahami arsitektur tradisional lebih menekankan pada kerangka waktu. Menurut Prijotomo, arsitektur tradisional sebenarnya sudah memiliki pengertian yang bersumber dari antropologietnologi yang sangat menekankan adat dan budaya. Jadi yang dimaksud dengan arsitektur tradisi dan tradisional didalam pembahasan ini adalah: yang tradisi adalah yang masih mengalami perubahan dengan mengadaptasikan diri, sedangkan yang tradisional adalah yang sudah berhenti atau yang sudah tidak berkembang. Di dalam kajian ini gender akan diuraikan dalam konteks tradisi dan tradisional dengan mengambil kasus arsitektur Karo seperti yang telah disebutkan dalam batasan kajian pada bab satu.

3.3. Pemahaman Arsitektur Nusantara