Peranan Gender dalam Arsitektur Studi Kasus : Arsitektur Karo

(1)

PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR

STUDI KASUS: ARSITEKTUR KARO

T E S I S

Oleh

FIRMAN EDDY

027020010/AR

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR

STUDI KASUS: ARSITEKTUR KARO

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik dalam Program Studi Teknik Arsitektur

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

FIRMAN EDDY

027020010/AR

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 8


(3)

Judul Tesis : PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR STUDI KASUS: ARSITEKTUR KARO

Nama Mahasiswa : FIRMAN EDDY Nomor Pokok : 027020010 Program Studi : ARSITEKTUR

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Ir. M. Nawawiy Loebis, M.Phil, PhD) Ketua

(Ir. Bhakti Alamsyah, MT) Anggota

Ketua Program Studi

(Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc)

Direktur


(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 19 Februari 2008

Panitia Penguji Tesis

Ketua Komisi Penguji : Prof. Ir. M. Nawawiy Loebis, M.Phil, PhD Anggota Komisi Penguji : Ir. Bhakti Alamsyah, MT

Ir. Rudolf Sitorus, MLA Imam Faisal Pane, ST, MT Devin Defriza Harisdani, ST, MT


(5)

ABSTRAK

Pemahaman peranan gender hampir tidak pernah dilakukan didalam pembahasan arsitektur Nusantara. Dengan perkembangan arsitektur post modern yang muncul akibat gagalnya modernisme yang dipicu oleh gerakan feminisme, mengakibatkan perhatian terhadap peranan gender muncul ke permukaan.

Peranan gender dalam kajian ini difokuskan kepada peranan laki-laki maupun perempuan didalam perkembangan arsitektur Nusantara, dengan mengambil kasus arsitektur tradisional Karo dan arsitektur Karo kontemporer, untuk melihat sejauh mana perubahan peranan gender dalam tempat dan kurun waktu tertentu.

Dari kajian ini ditemukan bahwa peranan gender dalam arsitektur Nusantara cukup dominan dan tidak banyak berubah selama kurun pengamatan, kecuali beberapa peralihan fungsi dan peran dari masing-masing gender.


(6)

ABSTRACT

The gender is hardly discuss in understanding Nusantara architecture. The appeare of post modern architecture due to the failure of modernism which supported by the feminism movement lead the gender become the focus of many dicipline include architecture.

The gender in this tesis is focus on the role women and man alike in accordance with the development of architecture in Nusantara. Karo architecture either traditional or contemporary is put as case study in order to trace the change of the role of gender within certain period and place.

The finding of research shows that the role of gander in space formation in architecture Nusantara is dominant and has not been changed radically within period of observation, except some transformation of women and man activity shape the space.

Key word : Gender, Nusantara Architecture, Tradition, Traditional, and Contemporary.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Kehadirat ALLAH SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa tesis ini dapat terselesaikan pada waktunya, tesis ini merupakan syarat dalam menyelesaikan studi pada Sekolah Pascasarjana, Program Magister Teknik Arsitektur, Universitas Sumatera Utara dalam bidang kekhususan Studi-studi Arsitektur.

Tesis ini bertujuan untuk membuka wawasan berfikir mengenai arsitektur yang diwujudkan oleh adanya pengaruh gender dalam pembentukan ruang. Dengan membandingkan peranan gender dalam pembentukan ruang baik terhadap bangunan rumah tradisional Karo masa lalu dengan rumah yang didiami suku Karo kontemporer, diharapkan dapat memberikan gambaran pembentukan ruang yang khususnya dipengaruhi oleh gender pada masa yang akan datang..

Menyadari keterbatasan, penulis merasa wajib mengucapkan terima kasih kepada : Prof.Ir.M.Nawawiy Loebis, M.Phil.,PhD atas kesediaanya membimbing penulis dan memberikan arahan dalam membuka cakrawala berfikir, Ir. Bhakti Alamsyah, MT atas diskusinya yang memberi masukan bagi penulis dalam menyelesikan tesis ini dan bimbingannya dalam menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih juga kepada Ir. Nurlisa Ginting, MSc selaku Ketua Program Magister Teknik Arsitektur dan Ir.Dwira N.Aulia, MSc selaku Sekretaris Program


(8)

Magister Teknik Arsitektur juga kepada rekan-rekan angkatan 2002 yang banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi.

Tesis ini dipersembahkan untuk orang tua tercinta, Mama dan Papa serta Bapak dan Ibu Mertua, dan abang serta adik-adik. Terima kasih atas dukungan dan doa restu sehingga terselesaikannya tesis ini. Dengan kesabaran dan cinta kasih yang tulus dari istri Laksmi Syahmenan yang tercinta dan ananda Fachreza Rizky Ardhaffa dan Rechvi Dimaz Anandya yang tersayang sehingga penulis memiliki dorongan yang kuat dalam terwujudnya tesis ini, terima kasih sayang.

Medan, Februari 2008


(9)

RIWAYAT HIDUP

F i r m a n E d d y lahir di Langsa, tanggal 18 Oktober 1969, anak ketiga dari lima bersaudara, putra pasangan H. Mahjuddin SH, dan Mainil. Menjalankan pendidikan formal SD di tiga sekolah yaitu : SD Katholik Tanjung Pinang di Tanjung Pinang, SD Katholik Giki Darmo di Surabaya, dan menamatkannya di SD Katholik di Bondowoso Jawa Timur pada tahun 1982, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 di Bondowoso Jawa Timur dan menamatkannya di SMP Negeri 1 Semarang Jawa Tengah pada tahun 1985. Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Semarang Jawa Tengah pada tahun 1988, dan Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1995.

Tahun 1995 sampai tahun 2000 bekerja di konsultan arsitektur di Jakarta sebagai arsitek. Sejak tahun 2000 diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara sebagai Staf Pengajar. Tahun 2002 mengikuti pendidikan Pascasarjana Arsitektur bidang khusus Studi-Studi Arsitektur, Universitas Sumatera Utara.

Alamat Penulis : Komplek Taman Setiabudi Indah II blok V no : 58 Medan.

Telepon : (061) 8216213, (061) 77415527, 08126499303, 0811658011


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR……… iii

RIWAYAT HIDUP……… v

DAFTAR ISI………... vi

DAFTAR TABEL………... x

DAFTAR GAMBAR……….. xii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Permasalahan……….. 7

1.3. Tujuan Pengkajian……….. 8

1.4. Batasan Pengkajian………. 9

1.5. Metode Pengkajian……….. 10

1.6. Pengumpulan Data……….. 12

1.7. Alur Kerja Tesis……….. 13


(11)

BAB II SEKILAS TENTANG ARSITEKTUR TRADISIONAL

KARO... 15

2.1. Orientasi dan Pola Perkampungan……….. 15

2.2. Arah Rumah Tradisional………. 17

2.3. Tipologi Bangunan……….. 19

2.4. Pendirian Bangunan (Tulo Mulo)... 21

2.4.1. Persiapan Dan Penentuan Lokasi……… 22

2.4.2. Pengadaan Bahan Bangunan………... 23

2.4.3. Upacara Sebelum Pendirian Bangunan…………... 24

2.4.4. Upacara Pada Saat Pendirian Bangunan…………. 26

2.4.5. Upacara Menyiapkan Tanah Dapur………. 27

2.4.6. Upacara Setelah Bangunan Selesai………. 28

2.4.7. Upacara Memasang Peralatan Dapur……….. 29

2.4.8. Upacara Memasang Tungku……… 30

2.4.9. Upacara Memasuki Rumah………. 31

2.5. Elemen Bangunan Dan Ruang Rumah Tradisional Karo (Siwaluh Jabu)………. 33

2.5.1. Dapur………... 33

2.5.2. Beranda……… 34

2.5.3. Para……….. 35 2.6. Pola Pembagian Ruang Dalam Rumah Tradisionl Karo 36


(12)

BAB III KAJIAN PUSTAKA………... 38

3.1. Pemahaman Gender……… 38

3.2. Gender Dalam Konteks Arsitektur Tradisi dan Tradisional.. 40

3.3. Pemahaman Arsitektur Nusantara………. 45

3.4. Pengertian tentang Rumah……… 46

3.5. Peranan Gender Dalam Arsitektur Barat... 49

3.6. Peranan Gender Dalam Pembentukan Ruang... 54

3.7. Pembacaan Peranan Gender Dalam Arsitektur Nusantara... 57

3.7.1. Ide... 59

3.7.2. Image... 60

3.7.3. Stilistik... 61

3.8. Peranan Gender Dalam Pembentukkan Rumah Kontemporer... 68

BAB IV PERANAN GENDER DALAM PEMBENTUKAN RUANG PADA ARSITEKTUR TRADISIONAL KARO... 72

4.1. Analisa Peranan Gender Dalam Pembentukkan Ruang Pada Arsitektur Tradisional Karo... 79

BAB V PERANAN GENDER DALAM PEMBENTUKKAN


(13)

5.1. Analisa Peranan Gender Dalam Pembentukkan Ruang Pada Arsitektur Karo Kontemporer... 89 BAB VI KESIMPULAN... 133 DAFTAR PUSTAKA... 143


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 4.1. Analisa peranan gender dari proses pembangunan rumah

tradisional yang disertai dengan upacara-upacara adat……….. 79 4.2. Pemetaan aktifitas gender terhadap ruang-ruang... 81 4.3. Analisa peranan gender penggunaan ruang-ruang yang ada

sehari-hari, termasuk hari-hari tertentu bila ada acara adat…… 83 5.1. Analisa pemetaan gender responden 1

Rumah keluarga Jamal Hayrudin Tarigan……….. 89 5.2. Analisa pemetaan gender responden 2

Rumah keluarga Armando Arih Persada Barus………. 93 5.3. Analisa pemetaan gender responden 3

Rumah keluarga Sumarlin Ginting………. 97 5.4. Analisa pemetaan gender responden 4

Rumah keluarga Gunung Kaban………. 100 5.5. Analisa pemetaan gender responden 5


(15)

Rumah keluarga Surianto Sembiring……….. 104 5.6. Analisa pemetaan gender responden 6

Rumah keluarga Sidharta Meliala……….. 107 5.7. Analisa pemetaan gender responden 7

Rumah keluarga M. Meliala………... 112 5.8. Analisa pemetaan gender responden 8

Rumah keluarga M. Purba……….. 116 5.9. Analisa pemetaan gender responden 9

Rumah keluarga Tampe Malem Bangun……… 119 5.10. Analisa pemetaan gender responden 10

Rumah keluarga Ardjuna Ginting……….. 122 5.11. Analisa peranan gender mulai dari proses kepemilikkan

rumah, proses pembangunan, pengembangan, dan

pemeliharaan ruang-ruang... 127 5.12. Analisa peranan gender terhadap penggunaan ruang-ruang


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1. Alur Kerja Tesis………... 13

2.1. Desa Lingga……….. 16

2.2. Suasana perkampungan Karo di desa Lingga ………. 16

2.3. Mata angin yang digunakan di dalam menentukan arah pada Karo... 18

2.4. Rumah Kurung Manik dan perspektif potongan... 20

2.5. Tungku dan pembesarannya dalam sebuah dapur untuk dua keluarga……… 31

2.6. Beranda Atau Teras (Ture)... 34

2.7. Detail dan posisi para pada rumah tradisional Karo... 36

2.8. Pembagian ruang rumah Karo... 37 2.9. Suasana di salah satu ruang di dalam rumah tradisional Karo. 37


(17)

3.1. Dinding dan ruang gerak perempuan dalam rumah tinggal arsitektur Nusantara menurut pemikiran Barat... 62 3.2. Dinding dan ruang gerak perempuan yang berlaku dalam

rumah tinggal arsitektur Nusantara... 66 DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.8. Latar Belakang

Dunia kehidupan perempuan dan dunia kehidupan laki-laki adalah dua dunia yang berbeda, namun tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. Dua dunia yang saling berdampingan dan saling mengisi yang mempunyai cara hadir dalam suatu kehidupan yang spesifik dari kelompok kehidupan yang spesifik pula. Sehingga, berbeda cara membaca kedua dunia yang berdampingan ini.

Salah satu cara memahami bagaimana dua dunia yang saling berdampingan ini dalam satu kelompok kehidupan ialah membaca tanda-tanda yang terlekat dalam arsitektur yang mereka miliki. Tanda-tanda yang terbaca pada bangunan rumah tinggal, seakan merupakan tatanan huruf, kata dalam suatu kalimat, melalui kode-kode yang dapat ditangkap oleh pengamatnya. Akan tetapi seperti yang telah tertera diatas, berbeda pengamat akan berbeda pula interpretasi yang mereka dapatkan melalui kode ini, terlebih pengamat yang berasal dari luar kelompok kehidupan dimana bangunan yang diamati berada. Denotasi - konotasi makna, serta sistem berkaitnya suatu kehidupan wanita dan laki-laki dalam kelompok tertentu akan juga bisa diinterpretasikan 'berbeda' dari denotasi-konotasi makna dari kelompok lainnya. Sehingga akan memberikan interpretasi makna yang janggal dan berbeda dari makna


(19)

pembacaan makna dengan pemikiran kontemporer terhadap makna yang terlekat pada bangunan rumah tinggal dalam arsitektur Nusantara.

Penelitian ini adalah upaya untuk memunculkan makna yang sedekat-dekatnya dari makna tentang peranan gender, yang menjadi unsur yang sangat melekat pada bangunan rumah tinggal Arsitektur Nusantara. Kata 'rumah tinggal' yang selalu berkait dengan makna rumah tangga. Sedang kata rumah tangga sendiri akan berkait dengan ibu, bapak, dan anak. Dalam hal ini dengan demikian merancang dapat pula dikaitkan dengan pemecahan permasalahan antara kebutuhan laki-laki dan kebutuhan wanita dalam berkehidupan 'bersama'.

Menurut Waterson (1979), apabila pemikiran tentang hal ini dibalikkan kemasa lampau, maka Tuhan, wanita, dan rumah-tinggal adalah dasar dari dua hal yang sangat melekat satu sama lain, yaitu rumah dan ibu, dimana pola kehidupan yang berlaku pada saat itu adalah agraris, maka rumah tinggal dapat dikatakan sebagai tempat hidup, tempat bernaung dan juga tempat yang aman bagi wanita, khususnya ibu/istri. Sebaliknya bagi laki-laki rumah tinggal dapat dikatakan sebagai kode ”perempuan dan daerah kekuasaannya”. Suatu signifikasi yang bisa didekati hanya dengan menganut aturan-aturan tertentu saja. Seperti istilah yang tidak asing lagi bagi setiap orang bahwa pada masyarakat agraris secara teritorial berlaku semacam hukum, ”ruang gerak perempuan adalah di dalam rumah sedangkan ruang gerak laki-laki adalah di luar rumah”.


(20)

kekuasaan perempuan dan laki-laki. Disini terlihat adanya penggunaan istilah yang berkaitan dengan gender merupakan ciri khas arsitektur Nusantara. Dengan dasar ini maka pengkajian akan bertolak pada keunikan penggunaan istilah yang berkaitan dengan gender tersebut

Dengan kemajuan zaman yang juga bermakna berlakunya pemikiran Corbusier tentang ”rumah tinggal modern adalah sebuah mesin untuk berkehidupan”, maka di bumi Nusantara ini ikut pula berubah. Pemikiran tentang kedudukan Putri Dayang Sumbi dan Timun Mas sebagai mahluk yang lemah dihadapan laki-laki juga ikut terpengaruh. Hal ini tidak lepas dari hasil pendidikan formal yang berlaku di bumi Nusantara dewasa ini, yang memberikan peluang bagi ”siapa saja” yang mengikuti pendidikan formal . Sehingga istilah-istilah ”lemah/harus dilindungi” bagi perempuan sudah mulai pudar, karena perempuan dan laki-laki dianggap sama kedudukannya yaitu sebagai elemen-elemen dari mesinnya Corbusier tadi. Tidak bisa dipungkiri kalau pada masa kini Dewi-dewi tadi berubah menjadi, Srikandi, Calon Arang, dan Nyi Pelet yang siap bertarung dengan derajat kemampuan 'bertarung' yang sama dengan laki-laki, yaitu dalam ajang penguasaan ilmu pengetahuan modern serta mengaplikasikannya dalam kehidupan.

Dengan demikian Dewi-dewi tersebut tidak perlu lagi memunculkan "kekuatannya" melalui ”kelemahannya”. Dengan muculnya pengetahuan dan

teknologi, perseptif pemikiran mereka telah bergeser dari pemikiran yang selama ini


(21)

tidak perlu harus lemah, laki-laki tidak perlu harus kuat, akan tetapi keduanya ternyata masih saling membutuhkan.

Kalau diamati lebih lanjut di bumi Nusantara ini, tidak semuanya begeser, masih ada hal yang mendasar dari pemikiran mengenai gender ini, yaitu apabila kedua gender ini dihadapkan pada Tuhan yang Maha Esa, yaitu bahwa kedua jenis kelamin ini akan saling bertemu dan akan saling bahu-membahu dalam mengemban tugas yang mulia yaitu berumah-tangga. Pengertian yang begitu melekat pada masyarakat Nusantara yaitu simbol kesadaran akan keberadaan Tuhan. Sesuai dengan beragamnya budaya yang berperan memunculkan budaya Nusantara ini, maka terlihat begitu beragamnya tata-cara dalam mewujudkan tugas mulia tadi. Apapun keberagaman tadi, akan tapi ada satu hal yang penting, yaitu wadah yang berperan sebagai penanda adanya sebuah rumah tangga, yaitu rumah tinggal.

Dari zaman ke zaman, manusia dengan segala perubahannya tetap saja mencari upaya untuk mendapatkan makna arsitektur melalui cara yang tersedia pada waktu itu. Salah satu yang berupaya ke arah ini adalah Jencks (1992), dengan

Semiological Triangle-nya yang menyimpulkan bahwa makna arsitektur dapat

didekati dengan simbolik (symbolic architecture). Dengan pemahaman ini upaya untuk mendapatkan makna arsitektur tersebut tidak lagi dengan cara sekedar memandang arsitektur dalam konteks pengertian membangun (techne), yang dipelopori Vitruvius, yaitu: kekuatan, keindahan, dan kegunaan (firmitas, venustas,


(22)

Pandangan Jencks tersebut menunjukkan bahwa subyektifitas terhadap arsitektur dalam upaya memperoleh makna telah menemui jalan buntu. Manusia mulai mencari identitas dirinya di hadapan arsitektur, yang selama ini telah dipandang sebagai obyek teori-teori arsitektur. Dengan pandangan Jencks maka terbukalah kemungkinan untuk menjalin komunikasi antara arsitektur sebagai penanda (signifier) dengan pengamat/penelaah. Namun, mengingat manusia di dunia ini bukanlah makhluk yang homogen dalam pemahamannya, maka pengertian arsitektur tersebut akan sulit untuk menjadi suatu pengertian teori arsitektur yang universal.

Dengan kenyataan yang demikian, maka arsitektur harus dapat dipandang sebagai pengetahuan yang menyeluruh (holistic knowledge), selain itu haruslah dapat juga ditempatkan pengetahuan berdasarkan teori tertentu (theoritical knowledge). Bertolak pada identitas manusia di hadapan arsitektur yang dikemukakan Waterson (1990), perempuan dalam kelompok masyarakat vernakular terkesan hanya sebagai pengguna karya arsitektur untuk menjalankan rutinitas kehidupan sosialnya. Waterson menganggap arsitektur itu sebagai identitas hunian, dimana identitas hunian tersebut tidak akan terlepas dengan peran sosialnya. Waterson juga menyinggung adanya penamaan elemen konstruksi yang berkaitan dengan perempuan. Fenomena tersebut, apabila diamati secara cermat, menunjukkan adanya keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan, namun bukan ke arah yang mengindikasikan adanya peran aktif perempuan dalam berarsitektur. Waterson


(23)

masyarakat vernakular. Menurutnya, perempuan menempati ruang-ruang tinggal mereka sedemikian rupa sehingga menampakkan adanya stratifikasi kedudukan pria-wanita, dimana perempuan menempati posisi yang lebih rendah. Namun, hal ini tidak tampak pada peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan upacara adat, yang menempatkan mereka pada posisi yang sederajat, walaupun laki-laki berlaku sebagai pemimpin, sedangkan perempuan dikaitkan dalam hal persiapan upacara.

Rapoport dalam bukunya House, Form, and Culture menyatakan bahwa arsitektur itu sebagai tanda (mark) dari suatu lingkungan binaan (built environment), atau juga sebagai tanda adanya sebuah kebudayaan (culture). Walau didalam tulisannya ia menyinggung tentang perempuan, tetapi tidak ditemukan tanda-tanda bahwa perempuan berperan dalam berarsitektur. Sebaliknya, perempuan cenderung berperan sebagai pengguna (user) karya arsitektur, yang pada umumnya dibuat oleh kaum laki-laki. Dengan demikian menurut Rapoport, adanya keseimbangan peran sosial laki-laki dan perempuan dalam masyarakat vernakular sudah menjadi bagian dari suatu budaya.

Pemikiran-pemikiran di atas memiliki suatu nilai kebenaran yang tidak dapat disangkal. Namun pendapat tersebut adalah buah pemikiran orang-orang Barat, yang memahami arsitektur dari sudut pandang budaya mereka sendiri.

Dalam dunia arsitektur Nusantara, kita justru mengenal adanya istilah-istilah elemen bangunan yang berkaitan dengan perempuan, misalnya: balok induk, dan ibu tangga. Istilah-istilah tersebut adalah istilah baku yang sering digunakan untuk


(24)

perempuan juga dijumpai dalam bahasa non-arsitektural, yang menunjukkan suatu kelaziman penggunaan istilah-istilah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk mendapat jawaban apakah gender berarsitektur pada arsitektur Nusantara, tampaknya sulit apabila bergerak dari pengertian arsitektur sebagai hasil karya (artefact) atau kegiatan membangun seperti yang dimaksud Vitruvius. Hal ini disebabkan kenyataannya bahwa peranan gender perlu diteliti apakah berperan aktif dalam berarsitektur pada kehidupan masyarakat vernakuler Nusantara. Walau demikian, pada kenyataannya peranan gender bisa meninggalkan jejak-jejaknya (trace) dalam bentuk nama-nama yang melekat pada konstruksi bangunan arsitektur Nusantara. Selanjutnya, untuk dapat memperoleh makna dari nama-nama tersebut, arsitektur dalam hal ini haruslah terlebih dahulu dimengerti sebagai arsitektur pembawa berita (building as a message).

1.9. Permasalahan

Masalah utama yang akan dibahas dalam pengkajian ini berkait dengan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang membangun permasalahan utama. Adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:

• Bagaimana peranan gender pada pembentukan arsitektur Nusantara pada masa dimana pola kehidupan yang berlaku pada saat itu adalah agraris.

• Bagaimana peranan gender pada pembentukan arsitektur Nusantara pada masa dimana yang berlaku pada saat itu adalah pola kehidupan kontemporer.


(25)

Berdasarkan dua pertanyaan diatas maka permasalahan utama adalah

bagaimana gender mempunyai peran yang sentral dalam pembentukan arsitektur Nusantara atau bagaimana peranan gender membentuk bangunan khususnya rumah tinggal kontemporer.

Untuk dapat menjawab permasalahan ini, maka perlu dijawab kedua pertanyaan diatas dengan analisa yang kuat, sehingga disamping dapat menjawab permasalahan utama sekaligus dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan arsitektur kontemporer.

Dalam kajian ini digunakan Arsitektur Karo sebagai studi kasus dan dari studi kasus tersebut diharapkan dapat ditarik suatu pemahaman yang dapat berlaku secara obyektif dalam keilmuan arsitektur khususnya arsitektur Nusantara.

1.10. Tujuan Pengkajian

Berangkat dari permasalahan di atas, maka tujuan dari pengkajian ini adalah

ingin mengetahui sejauh mana gender mempunyai peran yang sentral dalam pembentukan arsitektur Nusantara atau bagaimana peranan gender membentuk ruang pada bangunan khususnya rumah tinggal kontemporer.

Apakah peranan gender yang pada masa agraris sangat berpengaruh, atau justru pada masa sekarang peranan tersebut semakin menguat atau semakin tidak menentukan dalam pembentukan arsitektur.


(26)

1.11. Batasan Pengkajian

Apabila menelaah kata gender dalam permasalahan di atas, maka akan didapat makna yang sangat luas, dan agar pengkajian ini menjadi terarah maka dalam kajian ini perlu adanya suatu pembatasan. Gender bisa diartikan sebagai sebuah makhluk, juga bisa dikenal melalui ciri-cirinya fisiknya, selain itu juga dapat dikenal melalui bentuk-bentuk yang dapat memberikan dan mengisyaratkan pada gender laki-laki maupun perempuan.

Demikian pula dengan kata arsitektur, kata ini bisa memberi makna membangun. Dalam hal ini, pembicaraan tentunya akan bertaut dengan bagaimana, mengapa, dan dengan alasan apa arsitektur tersebut bisa terbentuk, tetapi ada juga bentuk arsitektur yang lain, yang dikenal sebagai arsitektur dalam dunia kritik, yaitu suatu dunia arsitektur juga yang tidak menyangkut pautkan makna membangun di dalamnya. Untuk ini pengkaji juga masih harus menentukan makna yang mana yang harus ditentukan sehingga bisa menjawab permasalahan yang ada dalam pengkajian ini.

Sedangkan batasan pada studi kasus yaitu rumah tradisional Siwaluh jabu pada desa Lingga di Kabupaten Tanah Karo, yang dibangun sekitar 150 tahun yang lalu, yang hanya dilakukan melalui data-data sejarah, dan rumah-rumah kontemporer yang didiami oleh suku Karo di Kota Medan dan sekitarnya termasuk Kota Binjai dan Kabupaten Stabat, yang dibangun sekitar tahun 80 an dan masih berdiri dan dihuni sampai sekarang.


(27)

1.12. Metode Pengkajian

Metode yang dilakukan dalam kajian ini adalah metode kualitatif. Dalam penelitian kualitatif sampel penelitian mencakup dua aspek (Sanapiah, 1990:56-61) yaitu: informan dan situasi sosial. Informan merupakan subyek yang benar-benar mengetahui informasi yang dibutuhkan. Sementara itu situasi sosial merupakan subyek yang akan diamati, dalam hal ini bisa berupa tempat (rona), lingkungan sosial, organisasi, dan sebagainya. Situasi sosial yang dimaksudkan adalah rumah dan segala kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Penentuan situasi sosial penelitian didasarkan pada dua kriteria utama, yaitu pertama, rumah yang diteliti harus merupakan tempat tinggal keluarga, atau mereka yang merupakan keturunannya (ahli waris). Kriteria kedua, rumah yang diteliti harus masih dihuni hingga saat penelitian ini dilaksanakan. Kajian ini nantinya akan menjawab pemasalahan yang diangkat. Untuk menjawab masing-masing permasalahan dibutuhkan metode yang berbeda.

Tahapan pertama, yaitu melihat lingkup dan batas kemampuan yang dapat

digunakan untuk menjelaskan Peranan Gender Dalam Arsitektur Nusantara pada satu daerah dengan daerah lain. Sebagaimana diketahui menurut sejarah bahwa antara waktu memiliki perbedaan sosial budaya, hal ini menyebabkan terjadinya pencarian makna atas peranan gender dalam arsitektur Nusantara pada masing-masing waktu tertentu. Untuk dapat melihat peranan gender pada tahap awal ini akan dilakukan penelusuran terhadap definisi gender sebagai makna sosial budaya dan sebagai makna biologis. Hal ini dilakukan disebabkan karena


(28)

mungkin salah satu gender di dalam kehidupan tradisional selalu ditempatkan sebagai pelengkap dalam kegiatan berarsitektur, sehingga harus dapat dipaparkan terlebih dahulu dalam fungsinya sebagai obyek di dalam berarsitektur.

Tahapan Kedua, yaitu melihat peranan gender dalam arsitektur Nusantara pada Kasus, dalam hal ini kasus yang digunakan adalah Arsitektur Karo. Untuk dapat menjawab masalah ini, maka arsitektur Rumah Adat Karo akan diangkat sebagai kasus yang mewakili, dengan lebih memfokuskan pada fisik arsitektural melalui data-data sejarah, namun tidak mengesampingkan masalah sosial budaya sebatas tersedianya data dan informasi. Untuk menjawab permasalahan di atas maka digunakan adalah metode interpretasi obyektif, seperti yang dikemukakan oleh Emilio Betti (Poespoprodjo, 1987) "Proses pemahaman tidak bersifat pasif, tetapi senantiasa merupakan suatu proses rekognitif dan rekonstruktif serta melibatkan pengalaman interpretator dan minatnya pada masa kini.

Tahapan ketiga, yaitu melihat peranan gender dalam arsitektur Nusantara dapat

berubah dari tradisional ke kontemporer. Untuk menjawab masalah ini digunakan metode Kritik Normatif (Normative Critisism) dengan model Kritik Sistematik (Systematic Critisism), dimana kritik ini merupakan perkaitan unsur-unsur atau prinsip-prinsip yang saling berkaitan dan merupakan dasar bagi suatu penilaian kritik yang teliti. Peranan gender dalam arsitektur tradisional dan peranan gender dalam arsitektur kontemporer akan menjadi subyek yang disandingkan, dengan menjajarkan kedua hal tersebut maka dapat digunakan untuk menjabarkan


(29)

sesuatu kajian yang lebih melihat kepada keabadian (timelessness) dan perubahan (temporal).

Tahapan keempat, yaitu melihat peranan gender dalam pembentukkan rumah

tinggal kontemporer. Yang diharapkan dapat memberikan kontribusi pemahaman peran gender tersebut dalam merencanakan rumah tinggal kontemporer Untuk mendapatkan pemecahan permasalahannya, dilakukan suatu analisa terhadap beberapa bangunan rumah tinggal kontemporer yang didiami oleh suku Karo. Dari analisa ini diharapkan dapat menarik suatu simpulan yang obyektif bagi pemerkaya pemahaman arsitektur kontemporer.

1.13. Pengumpulan Data

• Pengambilan data dimulai dari data-data literatur tentang obyek kasus, sebelum masuk ke lapangan untuk melakukan pendataan langsung, sebagai pengecekan ulang terhadap data yang ada, dan melengkapi kekurangan data atau mencari data tambahan.


(30)

1.14. Alur Kerja Tesis

Sumber: Penulis 2007

Gambar 1.1. Alur Kerja Tesis

1.15. Sistematika Laporan

Berikut ini akan diuraikan sistematika penulisan laporan tesis ini, dengan susunan sebagai berikut:

Bab I : Mengupas latar belakang dari pengkajian, disertai dengan perma-salahan, tujuan, dan batasan pengkajian, pada bab ini juga dijelaskan

PERANAN GENDER DALAM ARSITEKTUR

Kasus Arsitektur Karo

Telaah terhadap Gender dan Arsitektur

Telaah Peranan Gender dalam Pembentukan Arsitektur

Nusantara.

Melihat Peranan Gender Dalam Pembentukan Arsitektur Tradisional

Mempertegas, Memperjelas, dan Memperkaya Peranan Gender dalam Pembentukkan Arsitektur Komtemporer Melihat Peranan Gender dalam

Pembentukan Arsitektur Karo Kontemporer

Telaah Arsitektur Tradisional Karo


(31)

metode yang dipakai, teknik penggalian data, dan alur kerja tesis.

Bab II : Sekilas Menjelaskan tentang rumah tradisional Karo sebagai obyek kajian.

Bab III : Melakukan kajian pustaka terhadap pemahaman gender dan peranannya dalam arsitektur.

Bab IV : Melakukan kajin peranan gender dalam pembentukkan ruang pada arsitektur tradisional Karo.

Bab V : Melakukan kajin peranan gender dalam pembentukkan ruang pada arsitektur Karo kontemporer.

Bab VI : Bagian ini merupakan kesimpulan dari hasil kajian untuk langkah pengkajian berkelanjutan dan rekomendasi untuk implementasi bagi perkembangan ilmu arsitektur kedepan.


(32)

BAB II

SEKILAS TENTANG ARSITEKTUR TRADISIONAL KARO

Untuk dapat lebih memahami arsitektur tradisional Karo, maka dalam bab ini akan dijelaskan secara singkat dari buku “Raibnya Para Dewa”, Kajian Arsitektur Karo, yang ditulis oleh M. Nawawiy (2004), seperti yang diuraikan dibawah ini.

2.6. Orientasi Dan Pola Perkampungan

Pola perkampungan umumnya mengelompok atau berbaris mengikuti alur sungai, sehingga perletakan rumah didasarkan pada aliran sungai, dimana pintu utama atau depan menghadap ke hulu sungai dan pintu belakang menghadap ke hilir sungai. Namun bisa juga mengikuti arah Utara-Selatan, dimana pintu utama diletakkan searah dengan aliran sungai atau dibagian Selatan, dengan demikian panjang bangunan pada arah utara selatan dan lebarnya pada arah Timur dan Barat. Dengan demikian tidak terdapat satu rumahpun yang dibangun menentang arus sungai.


(33)

rumah kurung manik rumah sada tersek rumah dua tersek jambur lesung lumbung sopo griten pagar batas rumah penduduk sungai PETA LOKASI KAMPUNG LINGGA

KABUPATEN TANAH KARO SUMATERA UTARA jam LS L S G waduk peman dian wan

ita

peman dian p

ria 1.1 97.0 00 1.194.000 1.189.000 1.8 00.000 1. 200.400 1.200.0 00 1. 203. 000 1.204.000 1.2 05.000 1.206.000 1.20 7.000 1.200.000 22.000 .000 gereja gereja jam LS L S LOODS L S G LS L LS jam L

J L N

ke kaban jahe L E M B

A H

mata air percinahen

H U T A N mata air perkebunan

H U T A N

Sumber : Buku Raibnya Para Dewa

Gambar 2.1. Desa Lingga

Sumber : Buku Raibnya Para Dewa


(34)

2.7. Arah Rumah Tradisional

Ada beberapa mata angin di dalam masyarakat Karo, salah satunya adalah “Desa Siwaluh”, yang menunjukkan delapan penjuru, sama halnya dengan Mata Angin umum yang dipergunakan untuk menunjukkan arah, orientasi, menemukan sesuatu yang hilang menurut ilmu perdukunan, juga menentukan arah rumah, perkampungan, dan nasib serta peramalan.

Pada awalnya rumah dibuat dengan arah kenjahe-kenjulu, sesuai dengan arah mengalirnya air sungai di suatu kampung. Pengertian kenjahe dan kenjulu berbeda dengan pengertian Utara dan Selatan. Arah hilir di sebut kenjahe sedangkan arah hulu disebut kenjulu. Dalam ucapan sehari-hari arah kenjahe sering disebut kahe-kahe atau

jahe-jahe dan arah kenjulu disebut kolu-kolu atau Julu.

Semua pangkal kayu utama yang digunakan pada rumah tradisional berada di sebelah kenjahe, dimana ditempatkan Jabu Raja, yang dianggap sebagai pangkal atau asal dari rumah. Jabu Raja tersebut terletak disebelah kiri pintu hilir (ture jahe), sedang menurut pendapat lain (Percikan Budaya Karo” hal-2) Jabu Raja atau Jabu

Bena Kayu terletak pada kanan pintu hulu (ture Julu) diarah Timur (Purba), tempat


(35)

Tupak Salah Silima-Lima Tupak Salah Sitipu-tipu Desa Siwaluh

Sumber : Buku Raibnya Para Dewa

Gambar 2.3. Mata Angin yang digunakan didalam menentukan arah pada Karo

Untuk rumah yang berorientasi Kenjahe-Kenjulu, ruang yang terletak di bagian hilir disebut Jabu Kenjahe, meliputi: Jabu Benana Kayu dan Jabu Lepar Benana

Kayu, sedangkan ruang yang terletak di arah hulu disebut Jabu Kenjulu, yang

meliputi: Jabu Ujung Kayu dan Jabu Lepar Ujung Kayu. Jabu Raja atau Jabu

Benana Kayu merupakan pusat rumah yang ditempati oleh kelompok Bangsa Taneh

(Sebayak atau Raja dan Penghulu), yang memimpin seluruh penghuni rumah, baik dalam hubungan internal sesama penghuni rumah maupun dalam hubungan eksternal yaitu hubungan dengan rumah lain atau dengan kampung.

Peruntukkan ruang menggambarkan Daliken Sitelu (anak beru, kalimbubu dan

senina) dan stratifikasi sosial masyarakat, yaitu penghuni Jabu Benana Kayu sebagai


(36)

Lepar Benana Kayu, dan Jabu Lepar Ujung Kayu, sebagai kelompok keluarga dekat

raja (Ginemgem yang artinya dilindungi), sedangkan penghuni Jabu Sidapurkeun

Benana Kayu, Sidapurken Lepar Benana Kayu, Sidapurken Ujung Kayu, dan Sidapurken Lepar Ujung Kayu dapat dianggap sebagai rakyat biasa (Derip).

2.8. Tipologi Bangunan

Menurut bentuk atap terdapat dua tipologi rumah yaitu rumah biasa dan rumah Raja Sibayak. Pembagian lain adalah rumah dengan atap (Tersek) tak bertingkat (Rumah Kurung Manik), rumah beratap satu tingkat (Sada Tersek), dan rumah dengan atap bertingkat dua dilengkapi dengan menara (Anjung- anjung).

Secara umum Rumah Karo berbentuk empat persegi panjang dengan dua buah teras (ture) sebagai pintu utama, yaitu pintu yang menuju hulu (Ture Julu) dan pintu yang menuju hilir (Ture Jahe) sebagai pintu kedua. Bagian-bagian atapnya berbentuk perpaduan trapesium dimana bagian depan atap berbentuk segi tiga yang disebut dengan wajah rumah (ayo atau lambe-lambe), dan bagian dinding yang juga berbentuk trapesium yang ditopang oleh dinding papan berbentuk lunas perahu (dapur-dapur) yang terletak di atas beberapa tiang.

Rumah tradisional Karo diperuntukkan bagi delapan keluarga (Jabu) yang memiliki pertalian keluarga satu sama lain. Susunan ruang bagi setiap keluarga diatur sesuai dengan kedudukan dan fungsi setiap keluarga. Jabu diartikan juga sebagai satu bagian ruangan yang terdapat pada rumah Karo.


(37)

Sumber : Buku Raibnya Para Dewa

Gambar 2.4. Rumah Kurung Manik dan Perspektif Potongan

Kehidupan bersama di dalam rumah tradisional diatur oleh kepercayaan dan adat. Aturan yang terdapat pada rumah yang satu dengan yang lain, mungkin memiliki sedikit perbedaan namun prinsipnya tetap sama. Sanksi yang dikenakan terhadap suatu pelanggaran ketentuan kepercayaan, bergantung kepada besar kecilnya sifat pelanggaran. Seorang yang terlambat pulang pada malam hari dan lupa memasang palang pintu (ngeruk pintun), sehingga terjadi pencurian, akan dikenakan sanksi membersihkan halaman dan kolong rumah yang merupakan simbol dunia bawah atau neraka.


(38)

antara ruang satu keluarga dan keluarga lainnya. Pemisah antara ruang yang berhadapan hanya dapur yang digunakan oleh setiap dua keluarga yang berdekatan. Dengan demikian bangunan ini sepintas hanya terdiri dari satu ruang besar yang ditempati oleh delapan keluarga, yang masing masing menempati daerah yang berukuran kurang lebih 4,00 x 4,00 m, sehingga mereka dapat saling melihat. Meskipun setiap ruang ditempati oleh satu keluarga, namun pada dasarnya semua ruang dapat digunakan untuk berbagai fungsi secara komunal tergantung dari aktifitas yang sedang dilakukan, seperti untuk tempat makan, tempat tidur, menerima tamu, dan lain sebagainya. Namun pada kenyataannya terdapat pembatas psikologis dan kultural yang yang sangat tegas diantara ruang tersebut yang disertai dengan berbagai macam tabu yang berlaku diantara keluarga sesuai dengan keyakinan dan adat.

2.9. Pendirian Bangunan (Tulo Mulo)

Pendirian bangunan baru minimal harus dimulai oleh empat kepala keluarga (jabu empat wuluh) yang akan mendiami daerah inti rumah, yaitu penghuni ruang Raja (Jabu Benana Kayu), yang dikhususkan bagi pemilik rumah dan sekaligus sebagai pemimpin, penghuni Jabu Ujung Kayu, yaitu anak beru Raja, penghuni Jabu

Lepar Ujung Kayu, yaitu Kalimbubu dari raja, dan penghuni Jabu Lepar Benana Kayu, yaitu Kalimbubu dari penghuni Jabu Benana Kayu.

Keempat ruang ini disebut Jabu Adat, yang menggambarkan Deliken Sitelu yaitu pemilik atau raja (Ego/Sukut) selaku keluarga penerima istri (anak beru),


(39)

keluarga yang memiliki keturunan yang sama (Sembuyak), dan keluarga pemberi istri (Kalimbubu). Penghuni rumah tersebut dapat bertambah sesuai dengan Tutur Siwaluh menjadi delapan keluarga yang berasal dari penghuni jabu lain, yang hubungan kekeluargaannnya lebih jauh dari kelompok diatas terhadap Raja, bahkan ruangan (Jabu) itu bisa dihuni rakyat kebanyakan (Derip).

Mendirikannya memakan waktu, yang cukup lama, sampai beberapa tahun baru selesai. Mengingat banyaknya tahapan yang harus dikerjakan, mulai dari menebang kayu (nabah kayu), menarik kayu (ngerintak kayu), mencari ijuk untuk atap dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang melibatkan seluruh warga kampung.

2.9.1. Persiapan dan Penentuan Lokasi

Keinginan mendirikan rumah terlebih dahulu dilakukan melalui permufakatan (Pesada arih) antara raja bakal pemilik rumah (bena kayu) dengan isteri, kemudian yang bersangkutan menanyakan pihak keluarga pemberi istri (kalimbubu) untuk tinggal bersama, selanjutnya memberitahukan pihak keluarga penerima istri (anak

beru), dan diakhiri dengan memanggil biak senina, sehingga lengkap empat atau

delapan keluarga.

Kemudian diputuskan untuk segera mencari pertapakan rumah yang akan didirikan dengan bantuan seorang guru (dukun). Setelah tapak ditemukan maka di atasnya ditegakkan pelepah serta daun enau yang masih mudah (lambe) yang dinamai


(40)

tadi. Petunjuk dukun diminta kembali untuk menentukan hari dan bulan yang tepat dan baik (guru simeteh wari siteluhpuluh) untuk melakukan upacara pembersihkan tanah tapak tersebut agar tempat itu serasi dan memberi rezeki bagi yang menempatinya. Sang guru menyediakan tiga cawan yang berisi air yang masing masing diberi nama Lau Penguras, Lau Mecihau dan Lau Metungei. Ketiga cawan ini ditinggalkan ditengah-tengah tapak selama satu malam. Esok harinya dilihat cawan mana yang airnya berkurang, apabila cawan Lau Penguras, maka harus dikorbankan seekor ayam berwarna merah (manuk megara) sebagai persembahan pengganti air yang berkurang. Apabila cawan Lau Mecihau yang berkurang akan dikorbankan seekor ayam berwarna Putih (manuk mbulan), dan apabila cawan yang berisi Lau Metungei yang berkurang airnya, dikorbankan seekor ayam berwarna Kuning (manuk megersing). Proses dilanjutkan dengan meminta ijin kepada Dewa penjaga tanah (biak taneh) disertai dengan menggali tanah dibagian tengah-tengah tapak jika tidak ada lagi pertanda buruk, maka pekerjaan ini di teruskan dengan mencari bahan bangunan ke hutan.

2.9.2. Pengadaan Bahan Bangunan

Setiap penduduk kampung akan memberikan andilnya secara sukarela, yang disebut dengan tanggungan, seperti menyediakan ijuk dan lain-lain. Kerja sama demikian sangat penting mengingat pada waktu dulu sama sekali tidak ada peralatan yang dapat dibeli, jadi harus disediakan bersama-sama dan masih sederhana dan


(41)

literatur peran laki-laki dan perempuan secara spesifik, tetapi setelah tapak tersedia, maka pada hari yang baik sesuai petunjuk dukun (guru), terdapat peran seorang anak gadis tanggung, yang masih perawan dan lengkap orang tuanya, beserta beberapa orang berangkat ke hutan untuk mencari pohon pertama yang harus ditebang sebagai tanda mulainya pembangunan rumah (nderasi). Setelah diadakan upacara, pohon tersebut ditebang dan ditinggalkan di hutan. Pohon tersebut ditinggalkan selama empat hari yang disebut waktu menunggu (salang sai), dalam waktu menunggu ini pembangunan rumah belum boleh dilanjutkan.

Keadaan menunggu seperti itu terjadi berulang-ulang, seluruh kayu yang telah sampai di lokasi tidak boleh langsung dikerjakan, tetapi harus menunggu hari baik menurut petunjuk dukun. Misalnya pada hari pertama hanya boleh dilakukan pemahatan satu kayu saja, hal ini penting untuk menghindari malapetaka (bala).

2.9.3. Upacara Sebelum Pendirian Bangunan

Upacara yang harus dilakukan sebelum pendirian suatu bangunan

(perbelitan-belitan) adalah suatu upacara pemberian jaminan oleh tukang (pande) kepada

keluarga yang membuat rumah dan pemberian jaminan oleh pemilik rumah disaksikan oleh penghulu disertai upacara makan untuk memohon restu para Dewa agar pembuatan rumah tidak terhalang. Tukang (Pande) harus menjamin penyelesaikan bangunan, sebaliknya pemilik bangunan menjamin penyediaan dan pelaksanaan. Apabila yang bersangkutan ingkar terhadap janji yang telah diberikan,


(42)

(belit). Jaminan tersebut harus sepengetahuan penghulu yang juga memiliki peran dalam pembuatan perjanjian ini.

Tempat upacara pendirian bangunan (perbelitan) dilakukan di rumah penghulu dan waktunya ditetapkan oleh penghulu. Sedangkan pemimpin dan penyelenggara upacara pemberian jaminan adalah kepala kampung yang dihadiri oleh pemilik rumah beserta jaminan atau penjaminnya (belit) dan tukang (pande) beserta jaminan atau penjaminnya. Didalam upacara ini dilakukan makan bersama yang dibawa oleh pemilik rumah maupun tukang dan pemberi jaminan. Setelah selesai pelaksanaan upacara makan, maka kepala suku secara ritual akan menanyakan kepada mereka yang datang apa sebabnya upacara makan ini dilaksanakan dan apa tujuanya, setelah dijelaskan, barulah kepala kampung dapat memulai upacara ini.

Jalannya upacara pada awalnya kepala kampung menanyakan kepada pemilik rumah, siapa yang berperan sebagai penjamin andaikata yang punya rumah ini ingkar janji, maka yang bersangkutan akan menunjukkan penjaminnya (belit). Pertanyaan yang sama di tujukan kepada pande jika pande terhalang dan tidak bisa menyelesaikan bangunan rumah maka si pande juga menunjuk pada penjaminnya (belit) yang juga ikut serta dalam upacara ini. Langkah selanjutnya penghulu menanyakan persetujuan semua penjamin.


(43)

2.9.4. Upacara Pada Saat Pendirian Bangunan

Upacara pada saat pendirian bangunan, seperti upacara menaikkan balok (ngampaiken tekang), dianggap penting selain karena besarnya balok yang akan dinaikkan memerlukan tenaga yang banyak dan dilakukan secara gotong royong (serayan), fungsi elemen ini juga penting karena balok adalah bagian bangunan yang paling menentukan kekuatan bangunan secara keseluruhan. Upacara memasang elemen dinding dimulai setelah pembangunan membuat teras depan (erbahan ture) selesai. Penyelenggaraan upacara menaikkan balok dipimpin oleh pengetua adat dan untuk upacara memasang elemen dinding dipimpin oleh guru yang dibantu oleh penerima gadis (anak beru) dari orang yang mendirikan rumah.

Upacara menaikkan balok diikuti oleh kerabat raja calon penghuni rumah yaitu pihak penerima istri (anak beru), pihak seturunan (senina) dan pihak pemberi istri (kalimbubu), serta guru dan seluruh gadis yang sanak saudaranya masih lengkap (sangkep). Pemimpin upacara adalah guru yang biasa membuat sesajen untuk upacara itu. Upacara ini juga diiringi dengan ritual makan yang sudah dipersiapkan dengan menyisihkan sepiring nasi dan lauk-pauknya (cibalen) dan diletakkan

ditempat tertentu sebagai persembahan kepada begu leluhur agar upacara ini mendapat restu dari para nenek moyang.


(44)

2.9.5. Upacara Menyiapkan Tanah Dapur

Dalam upacara menyediakan tanah untuk dapur (ngelengkapi taneh dapur), pertama-tama guru memilih tanah yang sesuai yaitu yang bebas dari penyakit dan serasi menurut pengelihatannya. Tanah diangkat dengan sejenis keranjang (beha) yang biasa dipakai untuk upacara adat, kemudian tanah tersebut diisi dengan ramuan (rudang sinikas gelar). Untuk membawa atau menjunjung tanah ini biasanya dipilih dari pihak penerima gadis (anak beru) yang punya rumah, yaitu seorang wanita yang masih gadis dan masih lengkap keluarganya (sangkep).

Jalannya upacara pertama-tama menyiapkan ramuan dan sesajen di teras rumah (ture), kemudian dibawa dalam keranjang (beha), dijunjung oleh seorang wanita yang memakai tutup kepala tudung nisarintang dan kain (abit) yang di pakai dari pinggang sampai kaki betis (urus teha atau julu). Dengan berjalan didepan guru yang membawa sesajen dan mencipratkannya kepada semua penghuni rumah dan kemudian menuju ke dapur. Tanah yang dibawa dimasukkan ke semua dapur yang ada di dalam rumah, dan setiap sudut dapur di beri (rudang-rudang simelias gelar). Disamping itu, untuk mengisi dapur, para gadis atau wanita yang masih perawan dan lengkap keluarganya (sangkep) seperti tersebut diatas akan membawa ranting kayu bakar sambil bersenandung (eralep-alep).


(45)

2.9.6. Upacara Setelah Bangunan Selesai

Upacara yang disebut ngarkari ini bertujuan untuk mengembalikan semua jerih payah dan tenaga para tukang (pande) selama melaksanakan tugasnya. Upacara diadakan di rumah yang di bangun pada saat pembayaran upah tukang. Tukang yang bersangkutan didudukkan di jabu bena kayu bersama guru, sedangkan penyelenggaranya adalah kepala keluarga si waluh jabu yang akan menempati jabu

bena kayu, dihadiri oleh keluarga yang lain yang akan menempati rumah tersebut.

Peserta upacara adalah para Pande, guru, dan keluarga-keluarga penghuni rumah si waluh jabu. Yang menjadi pemimpin upacara adalah penghulu kampung (kesain), seperti halnya pada upacara pemberian jaminan (perbelit-belitan).

Jika tidak ada lagi persoalan yang disampaikan oleh pihak yang hadir, maka penghulu kampung mengingatkan kembali perjanjian yang diikrarkan pada pemberian jaminan (perbelit-belitan). Penghulu kampung harus menunaikan ikrar jaminan yang dihadiri oleh penjamin (belit) keluarga yang membuat rumah dan penjamin (belit) dari tukang sendiri. Setelah selesai semua, maka tuan rumah (bena

kayu) mengajak kepada semua peserta untuk makan bersama-sama dan menyisihkan

sebagian makanan sebagai sesembahan bagi para begu.

Setelah selesai upacara makan bersama, maka pihak penerima istri (anak

beru) dari raja rumah yang baru menanyakan kira-kira apakah gerangan tujuannya

para tamu diundang pada hari tersebut. Pengetua rumah si waluh jabu (jabu bena


(46)

tukang (pande) sudah lunas semuanya. Pemilik rumah menjawab semuanya telah selesai sambil menambahkan apakah dari pihak penerima istri (anak beru) dan semua yang hadir masih ada yang tersangkut penyelesaiannya dengan tukang, jika tidak ada lagi maka akhirnya pengetua rumah (jabu bena kayu) menyerahkan upacara penyelesaian ini pada penghulu kampung. Selanjutnya dilakukanlah penyerahan imbalan dihadapan penghulu kampung oleh pihak yang mendirikan rumah kepada tukang (pande) sebesar yang telah di janjikan semula. Selanjutnya pengetua rumah menyakan lagi kepada guru pantangan-pantangan yang harus dihindari dalam menempati rumah selama satu tahun.

2.9.7. Upacara Memasang Peralatan Dapur

Peserta upacara memasang tungku (Majekken Diliken) adalah seorang dari pihak pemberi istri yang sudah memiliki turunan (Si Utang Rido) yang bertugas memasang tungku. Bila seorang menantu atau seorang yang berposisi sebagai menantu (anak dari saudara perempuan) yang disebut Bere-Bere memasuki rumah baru (mengket rumah mbaru), maka mertua atau paman pihak penerima istrinyanya (kalimbubu) yang akan memasang tungku. Dalam upacara tersebut diadakan tanya jawab ritual (perasiken), tentang siapa yang akan memasang tungku dan apakah tungku yang akan dipasang sudah tersedia atau belum. Pihak yang akan memasang tungku menyuruh salah seorang saudara yang seturunan dengannya (Senina


(47)

yang memasang tungku. Dengan disaksikan ke tiga pihak dalam kekerabatan Karo yaitu (Anak Beru, Biak Senina, dan Kalimbubu atau Tinggel-tinggel), dibawalah tungku itu dengan cara dijunjung di atas kepala, dengan alas (lanam) yang terbuat dari kain (uis) sakral yang disebut arinteneng atau digendong (i tempi) dan diselimuti (i ndawai) dengan kain, seperti layaknya menggendong bayi.

Pihak penerima istri pengetua rumah (Anak Beru Simada Rumah), siap menunggu di rumah, sampai ada berita tentang kedatangan pihak pemberi istri (Kalimbubu) selaku pembawa tungku (Simaba Diliken). Dia berangkat saat matahari mulai beranjak naik (nangkih matawari) dan kembali (berkat) saat matahari mulai turun (nese matawari), dan mendirikan tungku dengan perlengkapannya.

Setelah lepas berpantang (rebu) empat hari, terhitung sejak saat upacara memasuki rumah, maka pihak istri pengetua rumah yang memasang tungku, kembali kerumahnya masing-masing dan diberikan upah berupa makanan agar ia terhindar dari kutukan ( latengen /latengka / kemali).

2.4.8. Upacara Memasang Tungku

Upacara dimulai setelah isteri (kemberahen) Kalimbubu di beri gelang yang terbuat dari benang putih (benang Teng /kul-kul), sebagai simbol ketulusan hati dan penangkal bala, kemudian ditaburkanlah tepung (cimpa gabor-gabor) dan digali lobang tempat tungku tengah akan dipasang. Pada lobang tempat tungku yang di tengah, ditanam segala perlengkapan yang telah tersedia yaitu besi, sirih tanpa cacat,


(48)

tungku. Yang pertama adalah tungku tengah, kemudian berturut-turut yang sebelah kanan dan kiri dari jabu. Setelah itu diambil ramuan dedaunan yang diselipkan pada keempat sudut dapur dan kemudian ditaburi dengan tepung (cimpa gabor-gabor), baru kemudian diambil ranting kayu api dan apipun mulai dihidupkan. Pemasangan tungku ini harus diiringi dengan pembacaan mantera-mantera (mangmang).

Pada rumah delapan keluarga (siwaluh jabu), setiap dapur dilengkapi dengan lima buah batu tungku yang dipergunakan oleh dua keluarga (jabu). Oleh karena itu ada satu batu tungku (deliken) yang menjadi milik bersama.

Sumber : Buku Raibnya Para Dewa

Gambar 2.5. Tungku dan pembesarannya dalam sebuah dapur untuk dua keluarga

2.4.9. Upacara Memasuki Rumah

Memasuki rumah, biasanya dilakukan di pagi hari yang disebut penghulu hari (Nangkih matawari), agar keberuntungan selalu menyertai penghuni rumah. Urutan orang yang akan memasuki rumah dimulai dari penghuni Jabu Benana Kayu (Jabu


(49)

Raja, selaku pemimpin rumah), penghuni Jabu Ujung Kayu (anak beru dari penghuni jabu benana kayu), penghuni Jabu Lepar Benana Kayu (Sungkun Berita), kalimbubu penghuni Jabu Benana Kayu penghuni Jabu Lepar Ujung Kayu (Jabu Siman Minem),

Penghuni Jabu Peninggel-Ninggel (Sedapuren benana kayu), Jabu Sidapurken Ujung Kayu yang menghuni Jabu Arinteneng, Guru/Dukun yang menghuni Jabu Sidapurken Lepar Ujung Kayu atau Jabu Bicara Guru, yang terakhir anak beru menteri yang

menghuni Jabu Singkapuri Belo atau Jabu Sidapurken Lepar Benana Kayu.

Semua penghuni harus masuk melalui pintu yang terdapat diarah hilir secara berurutan. Setiap kali penghuni rumah itu menginjakkan kakinya pertama kali dirumah, maka para hadirin terutama kaum wanita bersorak-sorak (ralep-alep). Setelah masing-masing penghuni menempati areanya maka dilakukan acara menghidupkan api yang didahului di dapur jabu benana kayu, kemudian diikuti jabu lainnya secara berurut seperti pada waktu memasuki rumah. Tiap-tiap keluarga merebus sebutir telur ayam, kemudian setelah matang dikumpulkan lalu diserahkan kepada dukun untuk ditenungkan maknanya, tentang baik dan buruknya serta nasib penghuni rumah di kemudian hari. Peristiwa ini disebut dengan “ ngoge kundulen

naruh manok”, lalu disusul dengan makan bersama. Pada malam harinya diadakan


(50)

2.5. Elemen Bangunan Dan Ruang Rumah Tradisional Karo (Siwaluh Jabu) Elemen bangunan dan ruang pada rumah tradisional Karo yang dipaparkan berikut ini adalah hanya yang mungkin berkaitan erat dengan dapat dilihatnya peranan gender didalamnya, diantaranya adalah seperti dipaparkan di bawah ini.

2.5.1.Dapur

Setiap rumah tradisional Karo mempunyai 4 (empat) buah dapur, yaitu dua di bagian hilir dan dua di bagian hulu yang terdapat pada tiap ruang (jabu). Tiap dapur dipergunakan oleh dua keluarga yang saling bersebelahan (Sedapuren). Dapur berbentuk bujur sangkar, sekitar 2x2 meter persegi dilengkapi dengan anak batu (mutu), dan tiga buah tungku (diliken) persis di tengah dapur, yang dijadikan simbol kelompok kekerabatan masyarakat Karo yang disebut pengikat yang tiga (Deliken

Sitelu) yaitu, anak beru, kalimbubu, dan senina.

Karena setiap dapur dipergunakan oleh dua keluarga, maka dalam setiap dapur terdapat dua pasang tungku yang seyogianya terdiri dari enam buah batu tungku (diliken). Namun ternyata hanya terdapat lima buah, dengan perhitungan bahwa diliken yang terletak di tengah dianggap berfungsi ganda. Bilangan diliken yang lima, saat ini ini dianggap sebagai perwujudan dari kelompok klan yang terdapat dalam masyarakat merga silima yaitu : Peranginangin, Karo-Karo, Ginting, Tarigan, dan Sembiring.


(51)

2.5.2.Beranda

Setiap rumah mempunyai dua buah beranda atau teras (ture) masing-masing terletak di sebelah hilir (ture jahe) dan satu lagi di bagian hulu (ture julu). Beranda ini terbuat dari lantai bambu bulat yang ditopang tiang setinggi ± 1,50 m. Beranda ini berfungsi sebagai tempat para perempuan menganyam (mbayu) bakul dan tikar, disiang hari. Waktu malam hari, berfungsi sebagai tempat berbincang dan memadu kasih antara gadis dan pemuda (nure-nure). Fungsi lainnya adalah tempat memandikan anak-anak, tempat memandikan jenazah bila ada anggota penghuni rumah yang meninggal dunia, tempat buang air kecil bagi anak-anak, dan lain-lain. Terdapat anak tangga yang menghubungkan tanah dengan teras (Ture) yang jumlahnya selalu ganjil (rata-rata lima).


(52)

Gambar 2.6. Beranda Atau Teras (Ture)

2.5.3.Para

Para adalah tempat barang berbentuk rak yang ditopang oleh beberapa tiang atau digantung dan diletakkan dibagian yang agak tinggi di dalam rumah, dan tidak jarang para ini dibuat bertingkat-tingkat dengan fungsi yang berbeda-beda. Ada 4 para yang diletakkan bertingkat tepat di atas dapur yaitu:

Para Pengeringan (Tuhor)

Berada persis di atas dapur masing-masing ruang (jabu) yang terdapat di dalam rumah. Ukuran para tuhor ± 2x2 m, sesuai dengan luas dapur (Tuhor berarti kering/pengeringan, juma tuhor artinya ladang kering). Tiap-tiap sudut para tuhor diberi cuping, sebagai tempat untuk menggantungkan daging, parang, dan lain-lain, dan di tengahnya sebagai tempat mengeringkan lada atau menyimpan nyiru, tampah, alat dapur, dan lain-lain.

Para Penyimpanan Periuk (Kudin)

Merupakan bagian dari para pengeringan (tuhor), yang terletak pada bagian atas, berbentuk bak, dengan kedalaman sekitar 30 Cm. Para ini berfungsi untuk tempat menyimpan kuali atau periuk (kudin) dan mengeringkan kemiri, dan lain-lain.

Para Sesajen (Ndegeng)

Para ini terletak diatas “ Jabu Bata Ruang” yang terbuat dari balok atau papan dengan lebar ± 2 m dan panjang menurut panjang rumah ± 6 m. Para ini


(53)

berfungsi sebagai tempat memberikan sesaji kepada Dewa (Dibata) dan arwah leluhur.

Para Layar

Para ini terletak di bagian teratas dari ketiga para lainnya, yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan periuk sesembahan (kudin).

Sumber : Buku Raibnya Para Dewa

Gambar 2.7. Detail dan Posisi Para pada Rumah Tradisional Karo

2.6. Pola Pembagian Ruang Dalam Rumah Tradisional Karo

Pada awalnya dalam rumah tradisional Karo terdapat delapan keluarga (sui

waluh jabu), namun akhirnya berubah menjadi empat keluarga, dua belas, dan enam

belas keluarga. Tabu bagi masyarakat Karo menempati rumah dengan keluarga ganjil, misalnya tiga, lima, tujuh, sembilan, dan seterusnya. Dengan demikian rumah


(54)

dilengkapi dengan dapur yang digunakan berpasang-pasangan, maka keluarga yang ganjil dianggap tidak mempunyai teman dan sanak keluarga (melumang).

Keluarga dalam rumah Siwaluh Jabu membentuk dua kelompok, setiap kelompok terdiri dari empat keluarga. Ruang diantara kelompok utama dibatasi oleh gang kecil (lobah) yang berawal mulai dari Ture Jahe ke Ture Julu.

Laut, Hilir,Utara

Gunung, Hulu,Selatan

Sumber : Buku Raibnya Para Dewa

Gambar 2.8. Pembagian ruang rumah Karo

Ture Jahe Lepar

Bena Kayu Bena Kayu

Sidapurken Lepar Bena Kayu Sidapurken Bena Kayu Sidapurken Ujung Kayu Sidapurken Lepar Ujung Kayu Ujung Kayu Lobah / Labah Lepar Ujung Kayu Ture Julu


(55)

Sumber : Buku Raibnya Para Dewa


(56)

BAB III KAJIAN PUSTAKA

3.1. Pemahaman Gender

Gender tidak sama dengan jenis kelamin karena gender adalah perbedaan tingkah laku antar jenis kelamin yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Gender secara konseptual berbeda dengan jenis kelamin (sex), dia lebih bermakna sebagai perilaku sosial, sehingga untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan pengertian jenis kelamin yang merupakan pemberian Tuhan (kodrat). Sementara gender sifatnya bukan biologis dan bukan pula kodrat Tuhan, melainkan diciptakan oleh masyarakat melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Gender menurut Mansour Fakih (1996), gender: “walaupun merupakan suatu sifat yang melekat pada

kaum laki-laki maupun perempuan, tetapi merupakan konstruksi secara sosial maupun kultural”. Identifikasinya berupa maskulinitas dan feminitas, maskulin

adalah karakteristik seksual yang bersifat kelaki-lakian, dan feminin adalah karakteristik seksual yang bersifat kewanitaan.

Mansour Fakih (1996) memahami gender terutama berkaitan dengan adanya unsur-unsur yang melekat dan sifatnya bertolak belakang (dualisme). Sedangkan Mosse (dalam Chaze, 1996) menyatakan bahwa gender sebenarnya secara biologis sudah melekat ketika manusia dilahirkan, namun berbeda dengan jenis kelamin yang


(57)

bersifat abstrak, dia berada pada aras konseptual. Gender menjadi isu sosial karena memang dikonstruksikan oleh masyarakatnya sendiri, baik disengaja atau pun tidak.

Menurut Illich (1982) bahwa gender adalah sesuatu yang lain dan lebih dari sekedar jenis kelamin. Ia mengisyaratkan polaritas sosial yang sifatnya fundamental dan takkan serupa di dua tempat yang berlainan. Apa yang tak bisa atau yang harus bisa dilakukan seorang lelaki berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Namun selama ini fakta penting itu selalu lolos dari mata para antropolog sosial, dan peristilahan mereka telah menjadi topeng unisex yang menutupi kenyataan. Gender dapat digunakan untuk membeda-bedakan tempat, waktu, alat-alat, tugas-tugas, bentuk-bentuk wicara, gerak-gerik, dan persepsi, yang dihubungkan dengan lelaki, dan perempuan dalam kebudayaan. Asosiasi itu membentuk gender sosial karena ia secara khusus terikat pada tempat dan waktu tertentu. Gender mengisyaratkan keterkaitan saling melengkapi (komplementer) yang sifatnya sukar diterka dan tidak simetris, hanya metafora yang dapat meraihnya. Transisi dari dominasi gender menjadi dominasi jenis kelamin merupakan perubahan kondisi manusia yang tanpa preseden. Pada masyarakat industri saat ini dimana perempuan memiliki kesetaraan ekonomis dengan kaum lelaki, apapun corak ekonomisnya, perempuan selalu memperoleh lebih sedikit dibanding lelaki.

Dari beberapa pendapat diatas tentang gender maka dapat disimpulkan bahwa gender adalah lebih kepada konstruksi sosial yang ditentukan oleh kultur dalam hubungannya dengan pembentukkan ruang pada sebuah rumah.


(58)

3.2. Gender Dalam Konteks Arsitektur Tradisi Dan Tradisional

Tradisi mengandung arti suatu kebiasaan yang dilakukan dengan cara yang sama oleh beberapa generasi tanpa atau sedikit sekali mengalami perubahan, atau dalam konteks arsitektur dapat diartikan sebagai kecendrungan untuk bertahan dalam mempertahankan bentuk-bentuk yang telah desepakati bersama dengan menerima tata-nilai yang telah mentradisi. Di Bali tradisi bukan berarti sesuatu yang mandeg, tetapi dapat berkembang sesuai dengan alam lingkungannya, asalkan tanpa kehilangan prinsip-prinsip pokok yaitu tujuan hidup dari masyarakatnya.

Pamakaian bahan bangunan juga didasari pada penyesuaian terhadap alam disekelilingnya. Sehingga tidak akan terjadi kesulitan mengganti bagian dari bangunan yang telah rusak. Rumah tinggal yang lingkungan desanya banyak tumbuh pohon bambu, akan memanfaatkannya semaksimal mungkin; misalnya penutup atap dari belahan bambu, dinding dari anyaman bambu (gedek) dan sejenisnya.

Ada beberapa aturan yang sering kali terasa kurang logis dan ada kesan “disembunyikan” maksud yang sebenarnya, seperti yang terdapat di daerah Banjar Klimantan Selatan, mengenai pantangan untuk sebuah rumah antara lain :

• Jangan membuat pintu yang menyebabkan letak tongkat berada ditengah pintu tersebut. Pintu demikian dianggap sebagai “pintu turunan mayat”, penghuninya akan sering mendapat peristawa kematian keluarga.

• Jangan menanam pecahan botol ke dalam tanah di bawah kolong rumah, agar rumah dijauhi oleh iblis.


(59)

Ada juga semacam tabu yang berlaku di Kampung Naga, Jawa Barat. Warga Naga tidak diperbolehkan membangun rumah dengan atap genting. Atap rumah semata- mata dibuat dari daun nipah yang dicampur dengan ijuk. Meskipun pernah terjadi beberapa keluarga meninggalkan rumahnya karena mereka ingin tinggal di rumah beratap genting, kenyataannya sampai sekarang aturan tradisi nenek moyang tersebut tetap dipertahankan. Memang cukup aneh, karena kampung Naga ini tidak jauh letaknya dari jalan raya Tasikmalaya-Garut. Perubahan disana sini juga ada, rumah-rumah yang dulunya sunyi, kini sudah mulai terdengar suara radio. Makanpun sudah menggunakan piring kaca, yang dulunya memakai piring seng, karena penggunaan barang dari gelas ditabukan, dan diikuti pula dengan penggunaan jendela kaca nako. Gadis-gadisnya sudah bersolek dengan kosmetika kota. Dalam kehidupan masyarakat Naga dikenal adanya pantangan hari dan bulan. Pada hari-hari Selasa, Rabu, dan Sabtu tiap pekan, atau bulan Sapar dan Puasa setiap tahun, warga Naga dilarang mengadakan kegiatan tertentu, seperti dilarang melakukan ziarah dan membicarakan masalah kemasyarakatan dengan sesama maupun dengan orang luar.

Sejak seabad yang lalu masyarakat Kudus Kulon yang berada disekitar Menara Kudus memiliki kultur tersendiri. Sosiologi kemasyarakatannya lebih eksklusif, tertutup, ningrat, dan tergolong fanatik dalam hal agama, yang umunya mereka sebagai pedagang kelas menengah ataupun atas. Dalam karya arsitekturnya ditunjukkan dengan dinding pekarangan yang sangat tinggi dan rapat. Rumah-rumah sering merupakan sebuah komplek yang menjadi satu karena ikatan keluarga


(60)

induknya, dengan semacam regol satu-satunya yang menghubungkan komplek rumah

ini dengan jalan.

Adat pekawinannyapun masih memandang masalah keturunan. Adat pingitan tertanam kuat, mempertegas adanya pantangan bahwa perjaka tidak boleh berhubungan langsung dengan seorang gadis. Dengan bantuan seorang perantara atau jomblang (berkembang menjadi mak jomblang), orang tua sigadis bisa mempertimbangkan seorang perjaka bisa diterima atau tidak. Lewat jomblang ini calon menantu diharuskan lewat di depan rumah si gadis, lewat pintu sorong yang penuh jeruji berukir, orang tua gadis mengintip dari dalam rumahnya. Hal ini mengindikasikan bahwa gender perempuan lebih menjadi obyek dan terpinggirkan di

dalam hubungan kultural tersebut.

Pada masyarakat Seram, terdapat suatu konstruk sosial berkenaan dengan aspek gender, yakni sisi lowau (hilir) rumah merupakan daerah laki-laki, sedang perempuan pada sisi lodaya atau hulu. Sedangkan dalam tatanan rumah Jawa,

pendhapa yang terletak pada kebutuhan publik adalah merupakan wilayah

“kekuasaan” laki-laki. Perempuan harus berada pada daerah yang privat, dan disebut

krobongan yaitu yang terletak di bagian tengah rumah dan “tertutup”. Dari segenap

penelusuran tersebut, terminologi gender dalam tulisan ini difokuskan pada karakteristik seksual (maskulin, feminin) yang melekat pada fenomena arsitektur, dan bersinggungan dengan perilaku sosial.


(61)

ditempuh seandainya mengalami hal-hal baru, biasanya menyangkut hal-hal yang bersifat lebih praktis. Dari keadaan ini pulalah seringkali orang meninggalkan pemakaian bentuk-bentuk tradisi pada rumahnya, dan menggunakan bentuk baru yang dijumpai di luar daerahnya yang dipandang lebih ekonomis atau lebih modern.

Di Nias, rumah-rumah yang sering merasakan pengaruh kuatnya angin, lebih mempercepat proses rusaknya penutup atap dari rumpia, lalu mengadakan tindakan pencegahan dengan mengurangi ketinggian atap rumahnya. Yang terkena angin dari arah belakang lebih mudah menanggulanginya, penutup atap bagian belakang diganti dengan seng gelombang yang lebih awet, yang tidak akan tampak dari arah depan. Apalagi perumahan di desa-desa adat Nias selalu memanjang rapat dan saling berhadapan membentuk pelataran panjang sebagai tempat berkomunikasinya warga desa.

Karena mahalnya pemeliharaan, pembuatan, dan dipandang kurang praktis, banyak bangunan tradisional di Toraja yang ditinggalkan pemiliknya. Dibuat rumah baru menurut adat Bugis yang lebih memungkinkan cahaya matahari masuk ke rumah, ruang dalam cukup luas, dan biasanya diolah lebih modern dengan menambahkan jendela-jendela kaca. Rumah tradisional hanya digunakan pada waktu-waktu tertentu saat dilakukan upacara adat yang diikuti oleh seluruh sanak keluarga, seperti pada saat terjadi upacara kematian. Pembangunan rumah tradisional lengkap dengan lumbungnya hanya sebagai unsur prestise saja.


(62)

dipelihara secara turun temurun baik bentuk maupun kehadirannya, tanpa adanya pengaruh-pengaruh luar yang berarti, yang dirancang secara adat, mulai dari pembentukan tapak (site), peletakkan batu pertama ataupun pemancangan tiang pertama, penuh dengan mentera dan upacara, sampai kepada acara masuk rumah.

Menurut Zein M. Wiryoprawiro (dalam Josef, 1987), arsitektur tradisional sering diartikan sebagai arsitektur adat atau bahkan diartikan sebagai arsitektur kuno. Kata “Tradisi” berasal dari bahasa latin “tradere” yang berarti menyerahkan atau dari kata “traditum” yang berarti mewariskan. Jadi tradisi dapat diartikan sebagai suatu proses penyerahan atau pewarisan sesuatu dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dengan demikian maka arsitektur tradisional adalah arsitektur yang hidup dan didukung oleh beberapa generasi secara berurutan. Karena adanya perbedaan waktu dan tingkat kemajuan zaman, maka sudah barang tentu arsitektur tradisional dapat mengalami perubahan. Namun pola dan bentuknya akan tidak begitu jauh dari pola dan bentuk yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Hal itu memang dapat dimengerti sebab “tradisi” itu dapat diartikan sebagai suatu “proses” tetapi juga dapat diartikan sebagai suatu “produk” atau hasil akhir. Tradisi yang masih terus hidup, meski ada perubahan, dapat diartikan sebagai proses. Sebagai contoh, arsitektur di Madura, dapat dikatakan sebagai proses, karena tampak masih hidup, meskipun juga mengalami perubahan. Sebaliknya tradisi yang berhenti, yang tidak dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya, dapat diartikan sebagai produk. Contohnya arsitektur kraton Kesultanan Yogyakarta merupakan tradisi yang sudah berhenti.


(63)

Sebagai proses arsitektur ini masih terus hidup dan menyesuaikan diri atau adaptif terhadap perubahan zaman. Sedangkan sebagai produk arsitektur ini sudah berhenti, sebagai “benda antik”, atau merupakan “seni klasik”, yang sudah tidak diproduksi lagi. Sehingga ia merupakan warisan budaya yang layak sebagai benda museum yang patut dihargai dan dilestarikan.

Josef Prijotomo (1987) dalam memahami arsitektur tradisional lebih menekankan pada kerangka waktu. Menurut Prijotomo, arsitektur tradisional sebenarnya sudah memiliki pengertian yang bersumber dari antropologi/etnologi yang sangat menekankan adat dan budaya.

Jadi yang dimaksud dengan arsitektur tradisi dan tradisional didalam pembahasan ini adalah: yang tradisi adalah yang masih mengalami perubahan dengan mengadaptasikan diri, sedangkan yang tradisional adalah yang sudah berhenti atau yang sudah tidak berkembang. Di dalam kajian ini gender akan diuraikan dalam konteks tradisi dan tradisional dengan mengambil kasus arsitektur Karo seperti yang telah disebutkan dalam batasan kajian pada bab satu.

3.3. Pemahaman Arsitektur Nusantara

Terminologi ”Nusantara”. menurut Iwan Sudrajat pada tulisannya ”Membangun Sistem Teori Arsitektur Nusantara : Mengubah Angan-angan menjadi Kenyataan” (Aly,1999), ditemukan dalam inskripsi tahun 1305 dan manuskrip berbahasa Jawa dari abad ke 14 dan 15, termasuk dalam Pararaton, dimana Patih


(64)

dipastikan, tetapi penduduk Indonesia kemudian lebih mengartikan Nusantara sebagai ”archipelago” (nusa-antara) atau kepulauan Indonesia. Pengertian tersebut kemudian diperkuat oleh Suwardi Suryadiningrat, Ki Hajar Dewantara, dan Soekarno.

Jadi arsitektur Nusantara adalah suatu kata yang mewakili arsitektur di wilayah yang mencakup seluruh Asia Tenggara bahkan Asia Timur termasuk Indonesia di dalamnya.

3.4. Pengertian Tentang Rumah

Menurut Projotomo (1992) bahwa rumah adalah hasil ulah tangan dan akal manusia. Dia dirakit dan disusun dengan segenap kesadaran dan keyakinan bahwa di rumah ini (sebagian dari) hidup dan kehidupan manusia penghuni digantungkan padanya. Bila rumah ambruk penghuni bisa binasa, bila rumah terbakar atau tiris penghuninya bisa sengsara. Tidak sekedar itu saja ketergantungan hidup manusia pada rumah, diantaranya sebagai lingkungan hidup buatan, dimana kehidupan yang paling pribadi diselenggarakan, khususnya melangsungkan kegiatan-kegiatan yang menjadi kodrat manusia, seperti melangsungkan kontak dengan Penciptanya, menghormati leluhurnya, dan mengusahakan keturunan. Dalam rumah, keseluruhan bidang dinding, lantai, dan atap memisahkan ruangan di dalam rumah dengan lingkungan alamiahnya.

Selanjutnya Prijotomo (1992), bumi adalah penggal alam semesta yang bukan ciptaan manusia, dia sudah ada sejak semula. Di sinilah manusia untuk seluruh bagian


(65)

hidup dan kehidupannya melangsungkan kontak dengan segenap isi alam itu sendiri, mulai dari sengatan matahari hingga memelihara hewan piaraan, mulai menjemur padi dan melepas anak-anak untuk bermain, hingga bercanda dan berlingkungan dengan keluarga-keluarga lain. Di luar rumah segala jenis kegiatan adalah penyelenggaraan kontak dan karena itu bersifat publik (berlawanan dengan rumah yang bersifat pribadi). Di sini pula segenap dinamika yang menandai keberadaan (eksistensi) manusia mendapatkan tempatnya. Di luar rumah pula penilaian terhadap kemampuan berkontak sosial dilakukan oleh lingkungan itu sendiri. Singkatnya, di luar rumah itulah terselenggra segenap hidup dan kehidupan yang kontras dengan yang ada di dalam rumah. Rumah harus dihubungkan dengan dunia luarnya, alam lingkungan luar mutlak mempunyai ikatan dengan lingkungan di dalam rumah. Dengan hadirnya tangga di rumah panggung, adalah wujud dari konsep penyatuan dalam kehidupan, yang merupakan unsur yang menghubungkan, melengkapkan, mengaitkan, dan menyempurnakan kesatuan dan penyatuan dari rumah dengan alam semesta, dan dengan lingkungan totalnya.

Menurut Norman Crowe (1997), dalam mengenali rumah yang intergral dengan konsep tempat tinggal, maka pengertian yang lebih luas tentang tempat dimana kita tinggal selalu meletakkan rumah itu pada pusatnya. Suatu definisi modern tentang “rumah” adalah suatu “ tempat tinggal pribadi”. Dalam suatu pengertian rumah menjadi perwujudan pusat tempat dimana kita tinggal, plot tanah/ground kita, ladang kita, daerah kita, atau dunia kita, rumah sering dilihat


(66)

sebagai pusat dari domain kita tak perduli bagaimanapun besarnya domain itu. Tepat ketika rumah itu ada pada bagian tengah dari suatu domain yang lebih besar, pada bagian tengah rumah itu terletak perapian. Perapian itu telah secara tradisional menjadi fokus simbolis dan fokus nyata kehidupan orang-orang yang tinggal di sana. Dan itu juga tercermin dalam bahasa : misalnya, kata bahasa laten untuk perapian adalah “fokus”. Gaston Bachelard dalam buku ”Nature and The Idea of a Man-Made World” karangan Norman Crowe, menggambarkan atau merefleksikan suatu fakta umum bahwa rumah dalam pengalaman kita mempengaruhi cara kita memahami seluruh dunia, “karena rumah kita adalah sudut dunia kita”. Sebagaimana yang telah sering dikatakan, rumah itu adalah alam atau jagad pertama kita.

Sebagai contoh, dalam wacana kebudayaan Jawa kita mengenal pemahaman dualitas (dualisme), adanya dua unsur yang dikotomis, oleh karena itu tatanan spasial rumah Jawa juga direkayasa menjadi tatanan yang mendua. Denah pada rumah Jawa memperlihatkan pembagian ruang-ruangnya terbagi menjadi dua kanan-kiri yang sama, senthong kiwo- senthong tengen, gandhok kiwo- gandhok tengen, dan seterusnya. Aspek gender pun dalam pandangan Jawa dikategorikan ke dalam sistem simbol dualisme, yang merupakan fenomena yang wajar jika dalam alam terdapat dua kutub yang bertolak belakang, seperti lingga dan yoni, bersifat feminin dan maskulin. Sifat maskulin-feminin itu tidak saja mengimbas pada dimensi spasial saja tapi juga pada tataran yang lebih khusus, seperti pusaka, yang merupakan aktualisasi dari gender sebab hanya diturunkan kepada anak laki-laki. Dalam keadaan tertentu


(67)

Sejalan dengan hal diatas maka penelitian ini dilaksanakan pada lingkup bangunan rumah adat dalam wilayah Arsitektur Nusantara. Alasan pelingkupan adalah mengacu pada pemahaman bahwa kehidupan dan rona hunian keluarga pada rumah adat merupakan tipologi yang dekat dengan konstruk sosial keluarga yang menempati bangunan tersebut.

3.5. Peranan Gender Dalam Arsitektur Barat

Sekitar tahun 1980-an, kaum perempuan dan kaum laki-laki diseluruh negara- bagian Amerika memulai percobaan dengan cara melakukan perubahan melalui keadaan dimana dunia buatan manusia merupakan dunia yang dibuat oleh kaum laki-laki dan kaum perempuan. Untuk melakukannya, beberapa perancang berpikir bahwa yang mereka butuhkan untuk menciptakan suatu tempat dimasa mendatang yang melibatkan suatu pertentangan perbedaan tradisi antara di dalam dan di luar bangunan, antara yang direncanakan dan yang dialami, antara tiruan dan natural, dan antara yang bermanfaat dan yang menyenangkan, yang membuat budaya dari kaum laki-laki dan kaum perempuan menjadi lebih nyata dari pengalaman hidupnya. Pada sisi lain para perancang banyak memandang dari sudut pragmatis, dimana mereka mencoba menemukan alternatif lain dari jenis tempat yang justru dapat membuat kaum wanita merasa tidak nyaman berada pada tempat melakukan tugas–tugas tradisional, seperti mengasuh anak, memasak, dan bersih–bersih. Ada juga yang memandang secara filosofi, menspekulasi bangunan dengan arsitektur yang terlalu


(68)

kebudayaan diluar dari lingkaran kebudayaan yang kita pahami, atau kita mengasingkan diri dari dunia tempat kita bermukim selama ini. Seluruh upaya ini tetap bersifat mencoba, dimana hal ini merupakan awal untuk menggagasi cara-cara lain dimana kita dapat mendiami dunia ini. Ini merupakan keinginan para perancang dari satu kelompok yang membedakannya dengan yang lain.

Perempuan lebih keluar dari aturan tradisi pada tempat yang menjadi panutan disana, terlihat dari beberapa aspek sosial, apa yang para laki-laki dan perempuan lakukan dan bagaimana mereka berkelakuan, yang menyebabkan ruang-ruang yang mereka buat untuk diri mereka atau bagaimana mereka menggunakan ruang–ruang itu, menjadi sangat rumit dan sulit untuk dijelaskan. Para perempuan banyak menumbuhkan kekuatan politik dan ekonomi yang dapat melemahkan kebiasaan khusus para laki, namun tuntutan untuk mengakhiri kebiasaan khusus para laki-laki tersebut belum dapat terwujud, malah sebaliknya hingga sekarang masih tetap berjalan sesuai dengan kaidahnya. Hal tersebut dikarenakan bahwa hakikat perempuan untuk mematuhi laki-laki sebagai pemegang kendali dalam rumah tangga masih dipegang sebagai suatu ketentuan dalam hidup berumah tangga. Perubahan yang diinginkan tetap harus dapat menyesuaikan dengan hakekat yang telah berakar pada kehidupan tradis kita..

Bagian pragmatik yang harus diperhatikan dari upaya ini adalah bagaimana awalnya terbentuk pemahaman manusia terhadap pengaruh gender didalam terbentuknya suatu ruang dalam arsitektur. Sebagai contoh saat ini tidak ada alasan


(69)

Pemikiran bahwa tempat umum di kota adalah tempat berbahaya bagi kaum perempuan masih merupkan suatu pemahaman pada peradaban awal, dimana perempuan diharuskan berada di dalam rumah, sedangkan para laki-laki yang mengatur di luar. Kondisi ini masih terjadi di negara-negara Timur Tengah dan bahkan pada masyarakat pedesaan di Eropa, dimana kaum perempuan dinyatakan berbahaya berada dijalan. Hal ini merupakan masalah hilangnya proporsi, karena penjagaan jalanan dengan lebih ketat hanya menciptakan suasana ketidak nyamanan bahkan kekerasan.

Seperti biasanya, perempuan atau kaum minoritas merupakan kelompok yang sangat lemah dalam masyarakat. Kaum perempuan merasa sangat menderita akibat budaya ketakutan ini, dimana mereka tidak dapat banyak melakukan apa-apa untuk melindungi diri mereka sendiri. Yang biasa mereka lakukan adalah mengasingkan diri, baik di dalam rumah atau di perdesaan. Sub urbanisasi dari kebudayaan menciptakan jarak yang jauh, bahkan menjadi tempat yang sangat tertutup rapat dan merupakan tempat yang terisolasi untuk belanja, bekerja, ataupun belajar, dan mereka hanya bisa menerima keadan ini.

Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu solusinya adalah dengan menciptakan bentuk–bentuk baru sebagai pengganti dari kehidupan yang umum. Disamping rumah yang terisolasi dan jalanan yang kosong, kita butuh tempat hunian yang fleksibel, dimana kelompok kecil masyarakat dapat berbagi kepemilikan ruang dan tugas.


(70)

Dalam buku Building Sex (Betsky, 1995), Dolores Hayden seorang guru sejarah arsitek di Yale, telah mengusulkan cara pemecahan secara menyeluruh berdasarkan proposal dalam skala kecil. Berdasarkan proposal ini pada tahun 1980 dan 1984, kelompok kecil kaum perempuan bisa berbagi banyak hal tentang kehidupan di pinggiran kota dan pedesaan, dengan menciptakan kehidupan komunal tertentu. Hyden dan partnernya mengusulkan bahwa kelanjutan kehidupan modern yang ideal dari ruang hidup yang fleksibel adalah bagaimana cara mereka mempertimbangkan alternatif lain bagi keluarga inti, dan mempertimbangkan bagaimana mereka bisa memperluas daerah untuk menambah hubungan kekeluargaan atau kelompok persahabatan yang berbagi kepemilikan, berbagi tempat, saling mengenal, atau bisa juga terdiri dari individu yang berbagi dalam mengasuh anak dan tugas yang lain.

Hubungan antara rumah masyarakat pinggiran kota dengan rumah masyarakat tradisional (yang tinggal di pedalaman) pada budaya yang pertama, atau hubungan antara rumah keluarga yang berdiri sendiri dan rumah keluarga yang tinggal di apartemen, ataupun hubungan antara individu dengan ruang yang kolektif, kesemuanya dapat bekerja sama hanya jika tidak menutup diri dari dunia luar, mengulangi pola teladan secara fisik dan bekerja sama berdasarkan pada pengalaman. Dengan menciptakan suatu dunia yang sempurna di bagian dalam, mereka menyatakan kembali bahwa bagian eksterior ruang merupakan tempat bagi orang asing, dimana kita harus pergi dan harus memaksakan diri kita untuk bertahan.


(71)

Pada dasarnya banyak negara–negara di Eropa yang telah memikirkan kesuksesan dengan cara menciptakan lingkungan baik bangunan maupun perkotaan dimana semua kelompok dan kedua gender dapat hidup bersama. Sebagai contoh dalam kehidupan perkotaan di Belanda, bahwa presentase anggaran biaya pemerintahan mereka yang cukup besar disediakan untuk membangun perumahan yang ditujukan untuk menciptakan sebuah ruang tinggal bagi ibu tunggal (janda), dan juga membangun ruang tinggal kaum perempuan atau kaum laki-laki dapat hidup bersama, atau bagi kelompok nontradisi lainnya. Dengan rumah baru, mereka menjadi kelompok ekonomi menengah dan menciptakan perkembangan daerah pinggiran kota yang komunal, terbuka, dan adanya ruang yang mudah dicapai sebagai bagian yang integral dari semua proses pembuatan ruang bagi manusia untuk hidup. Ada tradisi lama di Belanda untuk membuat sesuatu dengan ruang terbatas yang dimiliki seseorang dan melihat hasil kerjanya. Pada saat sekarang tradisi seperti ini digunakan untuk menciptakan lingkungan bertetangga, dimana para arsitek melakukan percobaan dengan semua aspek bentukan rumah-rumah sampai ke tikungan jalan dan berbagai macam lingkungan berbelanja untuk menciptakan dunia dimana kaum laki-laki dan kaum perempuan dapat saling melihat, mengetahui, dan membuatnya nyaman.

Pada saat yang sama Frank Gehry, juga tertarik untuk mempelajari bagaimana cara membangun dan kemudian menghuninya. Desain Gehry untuk rumahnya bukan berdasarkan bentuk pavilion domestik, bukan pula merupakan perluasan dari aturan


(72)

saat makan, memasak, dan bermain, dalam bentuk–bentuk geometris yang sangat sulit didefenisikan sebagai ruang yang terpisah. Gehry mendesain rumahnya sendiri menjadi sesuatu yang extreme namun logis dengan membayangkan dunia dimana rumah hanya berupa scaffolding, terbuat dari elemen–elemen yang padat, menjadi tempat dimana kita bisa melakukan banyak aktifitas sehari–hari. Hiasan dinding dari konstruksi ini bisa menjadi sebuah jaringan atau pergeseran bidang–bidang yang menyatakan bahwa ini merupakan buatan kita sendiri.

Dari pembahasan di atas dapat dipahami bahwa dalam arsitekitur Barat kontemporer sangat memberi kebebasan pada kita untuk membangun aturan di dunia kita sendiri. Meskipun arsitektur kaum laki-laki menciptakan keabstrakan dan hunian kaum perempuan menciptakan tempat dengan aturan–aturan barunya sendiri, namun masih memiliki rangkaian kesatuan dari konstruksi bangunan, pengalaman-pengalaman dari percobaan-percobaan dalam arsitektur.

3.6.Peranan Gender Dalam Pembentukkan Ruang

Gender selalu bersifat kedaerahan, namun didalam perkembangan saat ini gender mampu menyesuaikan terhadap perkembangan jaman. Gender dapat diibaratkan sebagai suatu dialek bahasa dalam kehidupan, dimana setiap orang yang berada pada suatu tempat akan mengalami suatu penyesuaian terhadap dialek suatu bahasa dimana orang tersebut berpijak. Logat atau dialek orangtuanya akan menjadi suatu dialek substandar bagi bahasa ibu yang diajarkan kepada anaknya, hal ini


(1)

12.00

12.00 – 13.00

13.00 – 14.00

14.00 – 15.00

15.00 – 16.00

16.00 - 17.00

17.00 - 18.00

18.00 – 19.00

19.00 – 20.00

20.00 – 21.00


(2)

22.00 – 23.00

23.00 - 24.00

12.Mohon tabel berikut ini diisi berdasarkan kebiasaan Ibu selama beraktifitas sehari-hari di rumah (mohon di isi langsung di dalam tabel di bawah ini):

JAM KEGIATAN DI LAKUKAN

DI RUANG

KETERANGAN

5.00 - 6.00

6.00 - 7.00

7.00 - 8.00

9.00 - 10.00


(3)

11.00 - 12.00

12.00 – 13.00

13.00 – 14.00

14.00 – 15.00

15.00 – 16.00

16.00 - 17.00

17.00 - 18.00

18.00 – 19.00

19.00 – 20.00

20.00 – 21.00


(4)

22.00

22.00 – 23.00

23.00 - 24.00

13.Mohon tabel berikut ini diisi berdasarkan kebiasaan salah seorang anak perempuan atau laki- laki, (salah satu anak saja), selama beraktifitas sehari-hari di rumah (mohon di isi langsung di dalam tabel di bawah ini):

JAM KEGIATAN DI LAKUKAN

DI RUANG

KETERANGAN

5.00 - 6.00

6.00 - 7.00


(5)

10.00 - 11.00

11.00 - 12.00

12.00 – 13.00

13.00 – 14.00

14.00 – 15.00

15.00 – 16.00

16.00 - 17.00

17.00 - 18.00

18.00 – 19.00

19.00 – 20.00


(6)

21.00

21.00 – 22.00

22.00 – 23.00

23.00 - 24.00

Terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan Bapak dan Ibu yang telah mengisi kuisioner ini. Besar harapan kami, data-data yang Bapak dan Ibu berikan akan menjadi dasar yang akurat dalam pengkajian yang akan kami buat yaitu Peranan Gender dalam Arsitektur, yang akan memberikan konstribusi bagi perkembangan teori arsitektur, dan juga akan membuka wacana bagi pelestarian identitas arsitektur, khususnya arsitektur Karo.