Analisis Pengaruh Indeks Harga Konsumen, Penerimaan Pajak Dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia

(1)

ANALISIS PENGARUH INDEKS HARGA KONSUMEN,

PENERIMAAN PAJAK DAN PENGELUARAN

PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI DI INDONESIA

TESIS

Oleh

MOHAMAD SODRI

077018015/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

S

E K O L

A

H

P A

S C

A S A R JA N


(2)

ANALISIS PENGARUH INDEKS HARGA KONSUMEN,

PENERIMAAN PAJAK DAN PENGELUARAN

PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI DI INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MOHAMAD SODRI

077018015/EP

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH INDEKS HARGA KONSUMEN, PENERIMAAN PAJAK DAN

PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

Nama Mahasiswa : Mohamad Sodri

Nomor Pokok : 077018015

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Jonni Manurung, MS) Ketua

(Kasyful Mahalli, SE, MSi) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Murni Daulay, MS)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 24 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Dr. Jonni Manurung, MS

Anggota : 1. Kasyful Mahalli, SE, MSi

2. Dr. Murni Daulay, M.Si 3. Dr. Rahmanta, M.Si


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul: “ANALISIS PENGARUH INDEKS HARGA KONSUMEN, PENERIMAAN PAJAK DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

DI INDONESIA”.

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun juga sebelumnya. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, Agustus 2010 Yang membuat pernyataan,

Mohamad Sodri NIM. 077018015


(6)

ANALISIS PENGARUH INDEKS HARGA KONSUMEN, PENERIMAAN PAJAK DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

Mohamad Sodri, Dr. Jonni Manurung, MS dan Kasyful Mahalli, SE, MSi

ABSTRAK

Pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mengacu pada Trilogi Pembangunan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu adanya pembangunan di segala bidang, terutama pembangunan di bidang ekonomi. Adapun salah satu tujuan yang ingin dicapai dari pembangunan ekonomi adalah mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Kebijakan anggaran merupakan salah satu instrumen pemerintah untuk mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pajak mempunyai peran utama sebagai salah satu penerimaan pemerintah. Fungsi pajak untuk membiayai pengeluaran pemerintah dinamakan fungsi budgeter.

Analisis pengaruh indeks harga konsumen, penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data

time series tahunan dalam kurun waktu 1980-2007 dengan menggunakan analisis

regresi berganda dan metode Error Correction Mechanism (ECM).

Hasil estimasi menggunakan Error Correction Mechanism (ECM), menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh indeks harga konsumen, penerimaan pajak, pengeluaran pemerintah dan kesalahan keseimbangan (ECT). Sedangkan koefisien ECT tidak sama dengan nol artinya pertumbuhan ekonomi tidak mencapai keseimbangan dalam jangka pendek. Koefisien ECT menunjukkan hasil signifikan yang berarti bahwa ketidakseimbangan persamaan akan menyesuaikan keseimbangannya pada periode berikutnya. Nilai ECT bertanda negatif artinya memang tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama periode penelitian masih rendah (di bawah keseimbangan) sehingga masih bisa ditingkatkan lagi atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selalu di bawah keseimbangan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih rendah. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa Indeks Harga Konsumen (CPI) mempunyai koefisien positif, hal ini sesuai dengan teori dalam ilmu ekonomi karena variabel CPI setelah menggunakan ECM menjadi inflasi karena merupakan perubahan harga dari tahun sebelumnya. Penerimaan pajak mempunyai pengaruh negatif, hal ini sesuai dengan teori, bahwa kenaikan penerimaan pajak akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Namun, peningkatan penerimaan pajak tidak berpengaruh banyak terhadap


(7)

pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah berpengaruh positif secara signifikan dan relatif tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kata Kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Penerimaan Pajak, Pengeluaran Pemerintah, Indeks Harga Konsumen (CPI), ECM.


(8)

ANALYZE THE INFLUENCE OF THE CONSUMERS PRICE INDEX, THE

GOVERNMENTS REVENUE FROM TAX AND THE GOVERNMENTS

EXPENDITURE ON THE ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA

Mohamad Sodri, Dr. Jonni Manurung, MS and Kasyful Mahalli, SE, MSi

ABSTRACT

Long-term development implemented in Indonesia is intended to materialize a just and prosperous society referring to the Trilogy of Development. To meet this purpose, a development in every sector is needed especially a development in the economic sector. One of the objectives to be achieved through the economic development is to obtain an adequately high economic growth. Budget policy is one of the instruments owned by the government to influence the economic growth. Tax plays an important role as one of the government’s revenue. The function of tax to finance the government’s expenditure is called function of budgeter.

The purpose of this study was to analyze the influence of the consumer’s price index, the government’s revenue from tax and the government’s expenditure on the economic growth in Indonesia through the annual time series from 1980-2007 by using multiple regression and Error Correction Mechanism (ECM) methods.

The result of study through the ECM method showed that the economic growth was determined by the consumer’s price index, tax revenue, the government’s expenditure and equilibrium error (ECT). The ECT coefficient is not equal to O (zero) which means the economic growth does not reach equilibrium in a short period of time. The ECT coefficient showed the significant result which means the imbalanced equation will adjust its equilibrium in the coming period. The negative ECT value means that it is true that the level of economic growth in Indonesia during the period of research was still low (below the equilibrium level) that it can still be improved or in other words the economic growth in Indonesia which is always below the equilibrium level shows that the economic growth in Indonesia is still low. The

result of analysis of this study showed that the Consumer’s Price Index (CPI) had a

positive coefficient. This is in line with the theory in economics because, after using ECM, the variable of CPI became an inflation caused by the change of the price of the previous year. That tax revenue had a negative influence was in line with the theory saying that the increasing tax revenue will decrease the economic growth. On the contrary, the increasing tax revenue did not have much influence on the economic growth. The government’s expenditure had a significant, positive and relatively high influence on the economic growth.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Pengaruh Indeks Harga Konsumen, Penerimaan Pajak dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”.

Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Magister pada Program Studi Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua juga bapak serta ibu mertua yang selalu memberikan doa supaya diberikan kemudahan dalam proses pembuatan tesis ini. Secara khusus, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta, Wani Mulyani yang telah sabar dan selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan tesis ini dan juga kepada ananda Khaliza Putri Sonia dan Nouval Umar Soni Akbari yang menjadi motivator penulis dalam menyelesaikan tesis.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Jonni Manurung, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan sumbangsih tenaga, waktu dan pikiran serta kesabaran dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih tak terhingga juga penulis sampaikan kepada Kasyful Mahalli, SE, MSi, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.


(10)

Demikian juga ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu memberikan berbagai bentuk kontribusi bagi penulis, khususnya kepada:

1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, selaku Ketua Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Angkatan XII yang telah memberikan motivasi serta keceriaan dalam mengikuti perkuliahan di kampus, khususnya kepada Bang Sutan sebagai mentor dan inspirator, Darma Yudha, Rudi M, Aulia, dan Pak Wahid master segala ilmu, yang telah memberikan sumbangan ilmu dan perhatiannya bagi penulis.

6. Staff/karyawan sekretariat Program Sekolah Pascasarjana USU serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak mambantu dan memberikan saran, pendapat serta pandangannya sehingga terselesaikannya penulisan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun penulis telah berusaha sekuat tenaga dalam penulisan tesis ini dan menyadari sepenuhnya masih banyak kelemahan dan kekurangan dari tesis ini baik isi maupun


(11)

penyajiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, sehingga tesis ini dapat bermanfaat dan memberikan kontibusi yang bernilai bagi kita semua. Amin...

Medan, Desember 2010 Penulis,


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Mohamad Sodri

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta Timur, 05 Agustus 1974

Alamat : Jl. Al Ikhsan No. 98 Jati Bening Baru Bekasi

Pekerjaan : PNS

Status : Menikah

Nama Istri : Wani Mulyani

Nama Anak : Khaliza Putri Sonia, Nouval Umar Soni Akbari Riwayat Pendidikan : 1. SDN 08 Pagi Duren Sawit Jakarta

2. SMPN 135 Pondok Bambu Jakarta 3. SMAN 71 Duren Sawit Jakarta 4. STAN-PRODIP Jakarta

5. Strata 1 Universitas Sumatera Utara

6. Mahasiswa Program Studi Magister Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pertumbuhan Ekonomi ... 7

2.2 Indeks Harga Konsumen (IHK)………. ... 12

2.3 Kebijakan Fiskal Pemerintah ... 13

2.4 Penerimaan Pajak ... 15

2.5 Pengeluaran Pemerintah ... 21

2.5.1 Pengeluaran Rutin... 22

2.5.2 Pengeluaran Pembangunan ... 24

2.6 Penelitian Sebelumnya ... 26

2.7 Kerangka Konsep ... 30

2.8 Hipotesis ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Ruang Lingkup Penelitian ... 31


(14)

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 31

3.4 Identifikasi dan Operasional Variabel ... 32

3.5 Model Analisis ... 33

3.5.1 Uji Kesesuaian... 35

3.5.2 Pelanggaran Asumsi Klasik... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 Pertumbuhan Ekonomi ... 39

4.2 Penerimaan Pajak ... 42

4.3 Pengeluaran Pemerintah ... 47

4.4 Pembahasan ... 49

4.4.1 Uji Asumsi Klasik ... 49

4.4.2 Model Estimasi Pertumbuhan Ekonomi... 50

4.4.3 Analisis Pengaruh Indeks Harga Konsumen, Penerimaan Pajak dan Pengeluaran Pemerintah ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

5.1 Kesimpulan ... 56

5.2 Saran ... 56


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Penyederhanaan Pajak dalam Reformasi Perpajakan 1983 ... 18 3.1. Operasionalisasi Variabel ... 32


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 30 4.1. Pertumbuhan PDB di Indonesia Periode 1980 s.d 2007

(dalam Milyar Rupiah) ... 41 4.2. Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Periode 1980 s.d 2007

(dalam Persen) ... 42 4.3. Penerimaan Pajak di Indonesia Periode 1980 s.d 2007

(dalam Milyar Rupiah) ... 47 4.4. Jumlah Pengeluaran Pemerintah di Indonesia Periode 1980


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Data Variabel Penelitian ... 61

2. ADF Tes untuk Data tidak Stasioner ... 62

3. Running Model yang Dipakai ... 66


(18)

ANALISIS PENGARUH INDEKS HARGA KONSUMEN, PENERIMAAN PAJAK DAN PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA

Mohamad Sodri, Dr. Jonni Manurung, MS dan Kasyful Mahalli, SE, MSi

ABSTRAK

Pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mengacu pada Trilogi Pembangunan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu adanya pembangunan di segala bidang, terutama pembangunan di bidang ekonomi. Adapun salah satu tujuan yang ingin dicapai dari pembangunan ekonomi adalah mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Kebijakan anggaran merupakan salah satu instrumen pemerintah untuk mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pajak mempunyai peran utama sebagai salah satu penerimaan pemerintah. Fungsi pajak untuk membiayai pengeluaran pemerintah dinamakan fungsi budgeter.

Analisis pengaruh indeks harga konsumen, penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dengan menggunakan data

time series tahunan dalam kurun waktu 1980-2007 dengan menggunakan analisis

regresi berganda dan metode Error Correction Mechanism (ECM).

Hasil estimasi menggunakan Error Correction Mechanism (ECM), menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh indeks harga konsumen, penerimaan pajak, pengeluaran pemerintah dan kesalahan keseimbangan (ECT). Sedangkan koefisien ECT tidak sama dengan nol artinya pertumbuhan ekonomi tidak mencapai keseimbangan dalam jangka pendek. Koefisien ECT menunjukkan hasil signifikan yang berarti bahwa ketidakseimbangan persamaan akan menyesuaikan keseimbangannya pada periode berikutnya. Nilai ECT bertanda negatif artinya memang tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama periode penelitian masih rendah (di bawah keseimbangan) sehingga masih bisa ditingkatkan lagi atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selalu di bawah keseimbangan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih rendah. Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa Indeks Harga Konsumen (CPI) mempunyai koefisien positif, hal ini sesuai dengan teori dalam ilmu ekonomi karena variabel CPI setelah menggunakan ECM menjadi inflasi karena merupakan perubahan harga dari tahun sebelumnya. Penerimaan pajak mempunyai pengaruh negatif, hal ini sesuai dengan teori, bahwa kenaikan penerimaan pajak akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Namun, peningkatan penerimaan pajak tidak berpengaruh banyak terhadap


(19)

pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah berpengaruh positif secara signifikan dan relatif tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kata Kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Penerimaan Pajak, Pengeluaran Pemerintah, Indeks Harga Konsumen (CPI), ECM.


(20)

ANALYZE THE INFLUENCE OF THE CONSUMERS PRICE INDEX, THE

GOVERNMENTS REVENUE FROM TAX AND THE GOVERNMENTS

EXPENDITURE ON THE ECONOMIC GROWTH IN INDONESIA

Mohamad Sodri, Dr. Jonni Manurung, MS and Kasyful Mahalli, SE, MSi

ABSTRACT

Long-term development implemented in Indonesia is intended to materialize a just and prosperous society referring to the Trilogy of Development. To meet this purpose, a development in every sector is needed especially a development in the economic sector. One of the objectives to be achieved through the economic development is to obtain an adequately high economic growth. Budget policy is one of the instruments owned by the government to influence the economic growth. Tax plays an important role as one of the government’s revenue. The function of tax to finance the government’s expenditure is called function of budgeter.

The purpose of this study was to analyze the influence of the consumer’s price index, the government’s revenue from tax and the government’s expenditure on the economic growth in Indonesia through the annual time series from 1980-2007 by using multiple regression and Error Correction Mechanism (ECM) methods.

The result of study through the ECM method showed that the economic growth was determined by the consumer’s price index, tax revenue, the government’s expenditure and equilibrium error (ECT). The ECT coefficient is not equal to O (zero) which means the economic growth does not reach equilibrium in a short period of time. The ECT coefficient showed the significant result which means the imbalanced equation will adjust its equilibrium in the coming period. The negative ECT value means that it is true that the level of economic growth in Indonesia during the period of research was still low (below the equilibrium level) that it can still be improved or in other words the economic growth in Indonesia which is always below the equilibrium level shows that the economic growth in Indonesia is still low. The

result of analysis of this study showed that the Consumer’s Price Index (CPI) had a

positive coefficient. This is in line with the theory in economics because, after using ECM, the variable of CPI became an inflation caused by the change of the price of the previous year. That tax revenue had a negative influence was in line with the theory saying that the increasing tax revenue will decrease the economic growth. On the contrary, the increasing tax revenue did not have much influence on the economic growth. The government’s expenditure had a significant, positive and relatively high influence on the economic growth.


(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan jangka panjang yang dilaksanakan di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan mengacu pada Trilogi Pembangunan (Rochmat Soemitro, 1991). Untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu adanya pembangunan di segala bidang, terutama pembangunan di bidang ekonomi. Secara umum tujuan yang ingin dicapai dari pembangunan ekonomi yang diwujudkan dalam berbagai kebijakan adalah:

1. untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. 2. untuk mencapai tingkat kestabilan harga secara mantap. 3. untuk mengatasi masalah pengangguran.

4. untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran antar negara. 5. pendistribusian pendapatan yang lebih adil dan merata.

Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, pemerintah dapat menempuh berbagai kebijakan, diantaranya melalui kebijakan moneter yang diambil bank sentral selalu searah dengan kebijakan makro lainnya yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu perlu diadakan pengukuran perubahan tingkat harga rata-rata pada biaya hidup. Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan alat ukur yang tepat karena, kenyataan menunjukkan bahwa jumlah konsumen lebih banyak dari jumlah perusahaan. Selain itu, konsumen pada umumnya tidak memiliki kemampuan untuk


(22)

melindungi dirinya sendiri dari ketidakpastian harga di masa depan daripada perusahaan. Oleh karena itu, kebijakan moneter lebih tepat untuk mengendalikan laju inflasi adalah dengan mengacu pada IHK.

Kemudian yang bisa dilakukan adalah melalui kebijakan politik anggaran pemerintah atau kebijakan fiskal yang tercermin dari pola penerimaan dan pengeluaran pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu dengan meningkatkan rencana penerimaan pajak dan mengatur pengeluaran pemerintah. Cara lain yang relatif mudah untuk meningkatkan penerimaan negara adalah dengan mencari hutang kepada negara-negara lain. Kedua cara tersebut sangat mendesak untuk dijalankan karena belanja negara tidak dapat ditangguhkan dan krisis ekonomi harus segera diatasi agar tidak semakin parah. Padahal penerimaan negara dari minyak dan gas bumi juga semakin menurun peranannya.

Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang meliputi semua tindakan pemerintah yang bertujuan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian melalui anggaran belanja negara (Soediyono, 1990). Kegiatan pemerintah dalam perekonomian tampaknya semakin besar dan terus meningkat seiring dengan kemajuan ekonomi dari tahun ke tahun. Besar kecilnya kegiatan pemerintah dapat dilihat dari besarnya bagian pengeluaran konsumsi pemerintah dari seluruh pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal pada negara-negara maju, dimaksudkan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian agar terhindar dari keadaan yang tidak diinginkan. Demikian pula halnya dengan pemerintah Indonesia yang ditunjukkan oleh besarnya APBN, telah turut mempengaruhi besarnya tingkat pendapatan nasional.


(23)

Peranan pemerintah dalam perekonomian saat ini berkembang menjadi empat kelompok (Dumairy, 1997), yaitu:

1. Peran Alokatif, yakni peran pemerintah dalam mengalokasi sumber daya ekonomi yang ada agar pemanfaatannya bisa optimal dan mendukung efisiensi produksi. 2. Peran Distributif, yakni peran pemerintah dalam mendistribusikan sumber daya,

kesempatan dan hasil-hasil ekonomi secara adil dan wajar.

3. Peran Stabilisatif, yakni peran pemerintah memelihara stabilitas perekonomian dan memulihkannya jika berada dalam keadaan disequilibrium.

4. Peran Dinamisatif, yakni peran pemerintah dalam menggerakkan proses pembangunan ekonomi agar cepat tumbuh, berkembang dan maju.

Kebijakan anggaran memang merupakan salah satu instrumen pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian. Namun, kinerja perekonomian tidak semata-mata karena pengaruh kebijakan anggaran. Stabilitas perekonomian negara dapat dilihat dari sejauhmana integrasi kebijakan moneter dan fiskal mampu mengurangi kesenjangan GNP yang besar, tingkat pengangguran yang tinggi dan mengurangi laju inflasi (Dornbusch dan Fischer, 1996).

Secara umum, pajak mempunyai peran utama sebagai salah satu penerimaan pemerintah. Fungsi pajak untuk membiayai pengeluaran pemerintah dinamakan fungsi budgeter. Penerimaan perpajakan sebagai salah satu komponen penerimaan pemerintah dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti perkembangan ekonomi makro dan faktor internal seperti kebijakan di bidang perpajakan. Pengaruh faktor eksternal terhadap penerimaan pajak dapat dilihat pada pertumbuhan ekonomi yang merupakan


(24)

persentase kenaikan PDB dalam nilai riil tahun tertentu dibanding tahun sebelumnya. Selain itu, tingkat inflasi juga dapat mempengaruhi penerimaan pajak.

Faktor internal yang mempengaruhi penerimaan pajak berupa kebijakan dalam menentukan dasar pengenaan pajak (tax base) atau objek pajak. Jika dasar pengenaan pajak dan objek pajak dapat diperluas berdasarkan undang-undang maka hal ini berpengaruh positif terhadap penerimaan pajak.

Dari sisi penyusunan anggaran, terdapat beberapa perubahan di dalam APBN pasca pemerintahan Orde Baru yaitu periode anggaran yang semula adalah April-Maret berubah menjadi Januari-Desember dan pos belanja negara mengalami penambahan yaitu dana perimbangan yang merupakan dana untuk desentralisasi daerah, selain itu jika selama ini APBN disusun berdasarkan anggaran berimbang dan dinamis dalam bentuk T, sekarang berubah menjadi anggaran defisit yang dibiayai oleh sumber-sumber pembiayaan dalam negeri dan pinjaman luar negeri. Krisis yang terjadi di Indonesia tahun 1997 menyebabkan keadaan perekonomian semakin terpuruk, di mana nilai rupiah yang semakin merosot dan mengakibatkan harga di dalam negeri menjadi tidak stabil, terhambatnya kegiatan produksi, ekspor, investasi dan jumlah pengangguran meningkat.

Selain itu di sektor perbankan juga mengalami kredit macet karena kurangnya pengawasan terhadap kinerja dan kesehatan perbankan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah menerbitkan obligasi yang bertujuan untuk merekapitulasi beberapa bank sebagai bagian dari restrukturisasi perbankan. Obligasi yang diterbitkan pemerintah


(25)

dengan tingkat suku bunga dan waktu jatuh tempo tertentu akan mempengaruhi jumlah utang dalam negeri pemerintah.

Berdasarkan gambaran di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh masalah pengaruh indeks harga konsumen, penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dari tahun 1980 sampai dengan 2007 dengan mengambil judul “Analisis Pengaruh Indeks Harga Konsumen, Penerimaan Pajak dan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh indeks harga konsumen terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia?

3. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia?


(26)

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis pengaruh indeks harga konsumen terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

2. Untuk menganalisis pengaruh penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

3. Untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil analisis pengaruh indeks harga konsumen, penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, yaitu:

1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan anggaran negara dan menjaga stabilitas dan pertumbuhan perekonomian.

2. Memperluas wawasan penulis di bidang ekonomi publik khususnya dalam kajian analisis pengaruh indeks harga konsumen, penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Kuznets (dalam Yuliana, 2003) pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan kemampuan suatu sistem perekonomian untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan ekonomi bagi masyarakatnya dalam jangka panjang. Sedangkan Julianery (dalam Yuliana, 2003) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi makro adalah peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB).

Suatu negara dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif apabila kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan negara tersebut mengalami kenaikan. Namun demikian dalam kenyataannya sangat sulit untuk mengetahui berapa jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu untuk mengukur pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan output dilakukan dengan menggunakan perubahan nilai moneternya (uang) yang tercermin dalam PDB. Perubahan PDB menunjukkan adanya perubahan barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu (Rahardja dan Manurung, 2004).

Menurut Blanchard (2000) dalam sistem perekonomian terbuka, komponen PDB terdiri dari konsumsi, investasi, belanja negara, ekspor dan impor yang dirumuskan sebagai berikut:


(28)

y = c + i + g + (x - m) (2.1) Di mana:

y = Produk Domestik Bruto Riil c = Konsumsi Rumah Tangga Riil g = Konsumsi Pemerintah Riil i = Pengeluaran Investasi Riil x - m = Ekspor Netto Riil

x = Ekspor Riil m = Impor Riil

Masing-masing variabel yang mempengaruhi PDB dijelaskan oleh Rahardja dan Manurung (2004) sebagai berikut:

1) Konsumsi rumah tangga riil adalah pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi akhir barang dan jasa baik barang dan jasa yang habis dipakai dalam waktu setahun maupun lebih.

2) Konsumsi Pemerintah riil adalah pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang dikeluarkan hanya untuk mendapatkan barang dan jasa akhir, sedangkan pengeluaran pemerintah untuk tunjangan sosial tidak termasuk dalam definisi konsumsi pemerintah.

3) Pengeluaran investasi riil adalah pengeluaran-pengeluaran dunia usaha untuk meningkatkan atau menciptakan nilai tambah.


(29)

Dalam sistem ekonomi tertutup, identitas output agregat merupakan penjumlahan konsumsi rumah tangga, konsumsi perusahaan dan konsumsi pemerintah, yaitu:

g i c

y   (2.2) Di mana:

y = output riil agregat,

c = konsumsi riil rumah tangga, i = konsumsi riil perusahaan, dan g = konsumsi riil pemerintah

Fungsi konsumsi riil rumah tangga dan konsumsi riil perusahaan masing-masing adalah

] ),

[(y tr R

C

c   (2.3) ]

, [y R I

i (2.4)

Di mana:

y - +tr = pendapatan disposable riil, dan R = tingkat bunga nominal.

Hubungan persamaan (2.2), (2.3) dan (2.4) menjelaskan output riil agregat, yaitu: g R y I R tr y C

y [(  ), ] [ , ] (2.5) Misalkan fungsi konsumsi riil rumah tangga dalam bentuk linier dari pendapatan disposable dan tingkat bunga nominal: c = 0 + 1 [y-+tr] - 2 R.


(30)

Demikian juga fungsi konsumsi riil perusahaan adalah dalam bentuk linier dari pendapatan disposable dan tingkat bunga nominal: i = 0 + 1 y - 2 R. Oleh sebab itu output riil agregat ekonomi tertutup berubah menjadi:

g R y R tr y

y0 1(  )2 0 1 2 

] ) ( [ 1 1 2 2 1 1 0 0 1 1 R tr g

y      

           ] , , , [R g tr

y    (2.6)

Dari persamaan ini (2.6) ditunjukkan bahwa peningkatan belanja pemerintah (g) dan transfer pemerintah (tr) akan meningkatkan output riil agregat (y), sebaliknya peningkatan pajak (t) akan menurunkan output riil agregat (y).

Analisis pengaruh pajak terhadap pertumbuhan ekonomi juga dapat dilakukan melalui sisi penawaran agregat dengan output (produksi) sebagai tolak ukurnya (Musgrave dan Musgrave, 1993). Sementara itu penentu utama dari pertumbuhan produksi adalah modal dan tenaga kerja. Musgrave dan Musgrave (Soemarso, 1990) menganalisis pengaruh kebijakan fiskal terhadap modal melalui tabungan. Penambahan modal akan meningkatkan produktivitas, sementara pembentukan modal diperoleh dari tabungan masyarakat. Jadi semakin besar pendapatan masyarakat yang ditabung akan meningkatkan produktivitas. Di atas dijelaskan bahwa kebijakan fiskal dapat mempengaruhi tingkat tabungan dan konsumsi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan fiskal juga akan berpengaruh terhadap tingkat produksi.


(31)

Kebijakan fiskal juga mempengaruhi penawaran tenaga kerja melalui jumlah jam dan partisipasi kerja yang akan ditawarkan pada tingkat pemajakan (tax rate) tertentu. Pajak akan menurunkan upah riil, yang pada gilirannya akan mempengaruhi gairah kerja. Gairah kerja ini akan mempengaruhi jam dan partisipasi kerja, dan akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi.

Collin Clark (Mangkoesubroto, 1993) mengemukakan hipotesis tentang batas kritis perpajakan. Dikatakan bahwa jika kegiatan sektor pemerintah, yang diukur dengan pajak dan penerimaan-penerimaan lain, melebihi 25% dari total kegiatan ekonomi, maka yang terjadi adalah inflasi. Dasar yang dikemukakan adalah bahwa pajak yang tinggi akan mengurangi gairah kerja. Akibatnya produktivitas akan turun dengan sendirinya dan ini akan mengurangi penawaran agregate. Di lain pihak, pengeluaran pemerintah yang tinggi akan berakibat pada naiknya permintaan

agregate. Inflasi terjadi karena adanya keseimbangan baru yang timbul sebagai akibat

adanya kesenjangan antara permintaan agregate dan penawaran agregate.

Model LM menjelaskan keseimbangan permintaan dan penawatan uang. Rumah tangga memerlukan atau memegang uang sebagai aktiva yang berfungsi sebagai alat tukar, pengukur nilai dan penyimpan nilai. Model keseimbangan permintaan dan penawaran uang adalah

) , (y R L P

M

(2.7)

Persamaan (2.6) menjelaskan perilaku skedul IS dari rumah tangga dan perusahaan dan persamaan (2.7) menjelaskan perilaku permintaan uang sebagai


(32)

aktiva atau skedul LM. Kombinasi (2.6) dan (2.7) menjelaskan model permintaan agregat, yaitu: ) , , ( 

R g

y dan M /PL(y,R)

     

g tr P

M y

y , ,, (2.8)

Dari (2.8) ditunjukkan bahwa respons output riil agregat terhadap stok uang riil dan konsumsi riil pemerintah adalah positif dan respons terhadap pajak riil adalah negatif. Variabel M, g, tr dan  merupakan variabel eksogen dan P merupakan variabel endogen. Dari (2.8) ditunjukkan bahwa hubungan output riil agregat terhadap tingkat harga umum adalah negatif, di mana hubungan output riil agregat dengan tingkat harga umum menjelaskan skedul permintaan agregat [AD]. Pada kurva IS yang tetap, peningkatan harga akan menurunkan stok uang riil sehingga skedul LM semakin rendah. Sebaliknya penurunan harga akan meningkatkan stok uang riil sehingga skedul LM semakin tinggi. Dengan kata lain peningkatan stok uang riil (M/P) akan meningkatkan output riil agregat (y).

2.2. Indeks Harga Konsumen (IHK)

Tingkat harga adalah tingkat rata-rata semua harga-harga dalam sistem ekonomi. Indeks harga digunakan untuk mengukur tingkat harga rata-rata. Indeks harga konsumen (consumer price index) adalah harga sekelompok barang dan jasa relatif terhadap harga sekelompok barang dan jasa yang sama pada tahun dasar. IHK dirancang untuk mengukur perubahan pada biaya hidup untuk rata-rata rumah tangga.


(33)

Karena didasarkan pada konsumsi rata-rata rumah tangga, IHK tidak mengukur secara akurat perubahan biaya hidup untuk masing-masing rumah tangga. IHK digunakan sebagai target kebijakan moneter bank sentral karena beberapa alasan. Pertama, kebijakan moneter yang diambil bank sentral selalu searah dengan kebijakan makro lainnya yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu IHK merupakan alat ukur yang paling tepat. Kedua, kenyataan menunjukkan bahwa jumlah konsumen lebih banyak dari jumlah perusahaan. Selain itu, konsumen pada umumnya tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri dari ketidakpastian harga di masa depan daripada perusahaan. Oleh karena itu, kebijakan moneter lebih tepat untuk mengendalikan laju inflasi IHK. Ketiga, ekspektasi inflasi selalu terkait secara langsung dengan harga konsumen, sehingga dengan mentargetkan IHK, kredibilitas bank sentral di mata masyarakat akan mudah terbentuk. Keempat, dari sisi kepraktisan, institusi yang bertugas mengumpulkan data statistik selalu memfokuskan sebagian sumber dayanya untuk menghasilkan data IHK yang reliable dibandingkan indeks harga lainnya, sehingga hasil pengukuran IHK selalu memiliki kualitas yang lebih baik, dan selalu tersedia secara tepat waktu. Kenaikan tingkat harga secara umum disebut inflasi.

2.3. Kebijakan Fiskal Pemerintah

Kebijakan fiskal yang sering disebut politik fiskal atau fiscal policy, diartikan sebagai tindakan yang diambil pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Oleh karena anggaran


(34)

belanja negara terdiri dari penerimaan berupa hasil pungutan pajak dan pengeluaran yang dapat berupa government expenditure, maka sering pula dikatakan bahwa kebijakan fiskal meliputi semua tindakan pemerintah yang berupa tindakan memperbesar atau memperkecil jumlah pungutan pajak dan memperbesar atau memperkecil penerimaan pemerintah. Instrumen yang penting dalam mempengaruhi kebijakan fiskal adalah pajak dan penerimaan pemerintah (Reksoprayitno, 1985).

Di atas telah dikemukakan bahwa kebijakan fiskal meliputi semua tindakan pemerintah yang bertujuan untuk mempengaruhi jalannya perekonomian melalui anggaran belanja negara. Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen utama kebijakan fiskal yang sangat mempengaruhi jalannya perekonomian dan keputusan-keputusan investasi yang dilakukan oleh para pelaku pasar. Hal ini disebabkan bahwa APBN secara umum menjabarkan rencana kerja dan kebijakan yang akan diambil pemerintah dalam penyelengaraan pemerintah, alokasi sumber-sumber ekonomi yang dimiliki, distribusi pendapatan dan kekayaan melalui intervensi kebijakan dalam mempengaruhi permintaan dan penawaran faktor produksi serta stabilisasi ekonomi makro. Dengan demikian strategi dan pengelolaan APBN menjadi isu yang sangat sentral dan penting dalam perekonomian suatu negara. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kebutuhan pembiayaan anggaran yang semakin besar setiap tahunnya, serta jumlah utang dan rasionya terhadap PDB akan dapat dikendalikan dengan berkurangnya defisit anggaran secara bertahap dan bahkan menjadi surplus anggaran.


(35)

2.4. Penerimaan Pajak

Pada bagian ini akan membahas aspek penerimaan pemerintah yang diperlukan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Penerimaan pemerintah yang digunakan untuk membiayai pembagunan berasal dari beberapa sumber. Secara garis besar, sumber-sumber tersebut dapat dibagi dua yaitu penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak. Untuk bahasan tesis ini dibatasi pada penerimaan pajak.

Definisi pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah di mana pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang dan pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak di mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya (Mangkoesoebroto, 2001). Dalam menerapkan kebijakan anggaran baik anggaran defisit maupun anggaran surplus, tidak terlepas dari peran pajak sebagai sumber pendapatan utama. Dalam penerapan anggaran surplus, pemerintah dapat meningkatkan pajak, khususnya pajak penghasilan atau pajak tidak dinaikkan tetapi pengeluaran pemerintah dikurangi. Begitu juga dalam penerapan anggaran defisit, pemerintah dapat menurunkan tingkat pajak sehingga konsumsi masyarakat dapat menigkat dan gairah usaha juga meningkat.

Peranan penerimaan perpajakan sebagai salah satu sumber penting dalam pembiayaan negara akan terus ditingkatkan dengan melakukan berbagai evaluasi dan kebijakan penyempurnaan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Dengan demikian, diharapkan


(36)

prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan, kesederhanaan dan keadilan dapat tercapai sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, melainkan juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro.

Langkah-langkah reformasi perpajakan selama ini dilakukan telah berhasil mendorong peningkatan penerimaan perpajakan secara cukup signifikan, meskipun masih banyak menghadapi kendala terutama berkaitan dengan kapasitas administrasi pemungutan pajak. Langkah-langkah reformasi perpajakan tersebut antara lain meliputi langkah pembaharuan kebijakan (tax policy reform) dan langkah-langkah pembaharuan administrasi kebijakan (tax administrative reform). Langkah-langkah pembaharuan kebijakan perpajakan ini dilaksanakan antara lain melalui perubahan UU KUP, UU PPh, perubahan UU PPN dan PPnBM, perubahan UU PBB, perubahan UU Bea Materai, serta UU Kepabeanan dan UU Cukai. Pada intinya Paket Amandemen Undang-Undang perpajakan ini lebih dititikberatkan pada pemberian rasa keadilan dan kepastian hukum di bidang perpajakan, yang bertujuan untuk mendorong investasi serta mengoptimalkan penerimaan perpajakan.

Supramono dan Damayanti (2005) menguraikan fungsi-fungsi pajak sebagai berikut:

1. Fungsi penerimaan (budgetair) yaitu fungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran.

2. Fungsi mengatur (regulator) yaitu fungsi untuk mengatur atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan pemerintah dari sudut sosial dan ekonomi.


(37)

Berdasarkan kewenangan dalam pemungutannya, pajak dapat digolongkan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah jenis-jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, diantaranya pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, bea materai, bea masuk, cukai dan pungutan ekspor. Sedangkan Pajak Daerah dipungut oleh pemerintah daerah, baik pemerintah daerah provinsi dan pajak daerah kabupaten/kota, diantaranya pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak pembangunan I dan pajak hiburan.

Dari kedua jenis pajak tersebut, yang akan diuraikan berikut ini hanyalah jenis-jenis pajak pusat karena hanya pajak pusat yang merupakan penerimaan pemerintah pusat yang menjadi bagian dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun pajak pusat tersebut berbeda jenisnya atau namanya antara sebelum reformasi perpajakan 1983 dan sesudah reformasi. Hal ini tampak dari Tabel 2.1 berikut ini:


(38)

Tabel 2.1. Penyederhanaan Pajak dalam Reformasi Perpajakan 1983

Sebelum 1983 Sesudah 1983

Pajak Perseroan Pajak Pendapatan Pajak Kekayaan

Pajak Bunga, Dividen, dan Royalti

Pajak Penghasilan

Pajak Penjualan Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Bea Materai 1922 Bea Materai

Pajak atas Tanah Verponding

Verponding Indonesia Iuran Pembangunan Daerah

Pajak Bumi dan Bangunan

Sumber: The Indonesian Tax in Brief, 2006

Jenis pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat sesudah reformasi perpajakan 1983 adalah sebagai berikut:

1. Pajak Penghasilan (PPh)

Menurut Mansury (2002), PPh sesuai undang-undang tentang pajak penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.


(39)

Supramono dan Damayanti (2005) menambahkan bahwa pajak penghasilan adalah pungutan resmi oleh pemerintah yang ditujukan kepada masyarakat yang berpenghasilan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.

2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM)

Menurut Supramono dan Damayanti (2005) Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan terhadap setiap pertambahan nilai dari suatu produk atau jasa yang dihasilkan oleh pengusaha kena pajak. Sedangkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan terhadap barang-barang yang tergolong mewah. 3. Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan menurut Supramono dan Damayanti (2005) adalah pajak yang dikenakan terhadap bumi dan tubuh bumi serta bangunan yang terletak di atas bumi tersebut. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 pajak yang dikenakan atas bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau bangunan.

4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang


(40)

dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Supramono dan Damayanti (2005) berpendapat bahwa BPHTB adalah penyerahan sebagian dari nilai ekonomis dari perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

5. Bea Materai

Dalam The Indonesian Tax in Brief disebutkan bahwa Bea Materai adalah pajak atas dokumen yang dipakai masyarakat dalam lalulintas hukum. Yang dimaksud dengan dokumen di sini adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan. Surat perjanjian, surat kuasa, surat pernyataan dan akte adalah sebagian contoh dari dokumen yang dikenakan bea materai.

6. Bea Masuk

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang dimaksud bea masuk adalah pungutan oleh negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang-barang yang diimpor. Dengan adanya pungutan tersebut, maka bea masuk selain berfungsi sebagai sumber penerimaan negara juga sebagai pengatur arus impor, baik untuk barang konsumsi maupun barang yang diperlukan industri dalam negeri. Dengan demikian, penerimaan bea masuk tidak semata-mata ditujukan sebagai penerimaan untuk mengisi kas negara, tetapi juga berfungsi sebagai alat pengaturan (regulator).


(41)

7. Cukai

Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, yang dimaksud cukai adalah pungutan oleh negara berdasarkan undang-undang yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik perlu untuk dibatasi, diawasi produksinya dan peredarannya, karena akan berpengaruh langsung terhadap kesehatan dan ketertiban sosial. Dengan demikian, peranan cukai tidak saja berorientasi pada penerimaan negara, melainkan mempertimbangkan pula aspek pembatasan produksi dan konsumsi. Oleh karena itu, dasar pertimbangan besarnya penerimaan cukai tergantung dari jumlah barang yang kena cukai, tarif cukai dan harga dasar barang kena cukai.

8. Pajak Ekspor

Yang dimaksud dengan pungutan ekspor adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang akan diekspor. Pengaturan tarif pajak ekspor ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan memperhatikan harga patokan ekspor dan nilai tukar valuta asing. Kebijakan yang ditempuh dalam pungutan pajak ekspor ini bertujuan untuk mengendalikan harga pasar di dalam negeri.

2.5. Pengeluaran Pemerintah

Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa kebijakan anggaran, yakni anggaran berimbang, anggaran surflus anggaran defisit. Dalam pengertian umum, anggaran seimbang adalah suatu kondisi di mana penerimaan sama dengan


(42)

pengeluaran (G=T). Anggaran surflus yaitu pengeluaran lebih kecil dari penerimaan (G<T) sedangkan anggaran defisit yaitu anggaran di mana komposisi pengeluaran lebih besar dari pada penerimaan (G>T).

Anggaran surplus digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah inflasi sedangkan anggaran defisit digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Jika pemerintah merencanakan peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi angka pengangguran, pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya. Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sampai dengan tahun 2004, rincian belanja pemerintah pusat masih terdiri dari: (1) pengeluaran rutin dan (2) pengeluaran pembangunan. Namun sejak tahun 2005 mulai diterapkan penyatuan anggaran (unified budget) antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, serta pengklasifikasian anggaran belanja pemerintah pusat menurut jenis belanja, organisasi dan fungsi (Nota Keuangan dan RAPBN, 2005).

2.5.1. Pengeluaran Rutin

Pengeluaran rutin yaitu pengeluaran yang digunakan untuk pemeliharaan dan penyelengara pemerintah yang meliputi belanja pegawai, barang, pembayaran bunga hutang, subsidi dan pengeluaran rutin lainnya. Melalui pengeluaran rutin, pemerintah dapat menjalankan misinya dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggara pemerintahan, kegiatan operasional dan pemeliharaan aset negara, pemenuhan


(43)

kewajiban pemerintah kepada pihak ketiga, perlindungan kepada masyarakat miskin dan kurang mampu, serta menjaga stabilitas perekonomian.

Besarnya pengeluaran rutin dipengaruhi oleh berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam rangka pengelolaan keuangan negara dan stabilitas perekonomian seperti perbaikan pendapatan aparatur pemerintah, penghematan pembayaran bunga hutang, dan pengalihan subsidi agar lebih tepat sasaran. Kenaikan pengeluaran pemerintah terutama dari pos belanja pegawai yang dialokasikan untuk menaikkan gaji pegawai dan pensiunan. Selain itu, lonjakan pengeluaran pemerintah yang terjadi pada pos pembayaran bunga hutang luar dan dalam negeri. Perbedaan karakteristik yang paling mendasar adalah pinjaman dari dalam dan luar negeri yaitu pada implikasi di saat pengembalian.

Dalam kasus pinjaman dalam negeri, pembayaran bunga hutang oleh pemerintah akan kembali dinikmati oleh masyarakat Indonesia karena terjadi transfer pendapatan dari kelompok masyarakat yang membayar pajak kepada kelompok masyarakat yang menjadi kreditor. Dampak dari aliran dana ini masih berputar di dalam negeri karena masing-masing pihak adalah warga negara Indonesia. Sedangkan dalam kasus pinjaman luar negeri, terjadi aliran dampak ekonomi (multiplier effect) yang berbeda. Pihak-pihak yang menerima pengembalian pinjaman adalah pihak kreditor di luar negeri (Mangkoesoebroto, 1994).

Jumlah hutang luar negeri yang semakin besar menyebabkan anggaran yang digunakan untuk membayar bunga hutang juga semakin meningkat. Meningkatnya jumlah pembayaran bunga hutang tersebut selain disebabkan oleh membengkaknya


(44)

jumlah hutang jatuh tempo juga dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Selain pengeluaran untuk belanja pegawai dan pembayaran bunga hutang, pos lain yang menarik adalah pengeluaran pemerintah untuk berbagai subsidi. Satu pos diantaranya yang berperan cukup besar adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Subsidi ini muncul pada tahun 1997/1998 sebagai akibat dari melonjaknya harga minyak mentah di pasar dunia. Untuk menjaga stabilitas harga, pemerintah menetapkan aturan penetapan harga jual BBM dalam negeri. Kenaikan harga minyak di pasar dunia menyebabkan meningkatnya biaya pengadaan BBM hingga melebihi hasil penjualan BBM itu sendiri, akibatnya pemerintah terpaksa memberikan subsidi terutama terhadap minyak tanah dan solar.

2.5.2. Pengeluaran Pembangunan

Pengeluaran pembangunan yaitu pengeluaran yang digunakan untuk membiayai pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan umum baik pembangunan secara fisik maupun nonfisik. Peranan anggaran pembangunan lebih ditekankan pada upaya penciptaan kondisi yang stabil dan kondusif bagi berlangsungnya proses pemulihan ekonomi dengan tetap memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam kaitan dengan pengelolaan APBN secara keseluruhan dengan keterbatasan sumber pembiayaan yang tersedia, maka pencapaian sasaran-sasaran pembangunan harus dilakukan seoptimal mungkin (Nota Keuangan dan APBN, 2004). Sehubungan dengan hal tersebut, formulasi distribusi alokasi dan penentuan besarnya pengeluaran pembangunan memegang peranan penting dalam pencapaian target kebijakan fiskal.


(45)

Di samping itu, pengelolaan anggaran pembangunan juga harus tetap ditempatkan sebagai bagian yang utuh dari upaya menciptakan anggaran pendapatan dan belanja negara yang sehat, melalui upaya mengurangi secara bertahap peran pembiayaan yang bersumber dari luar negeri tanpa mengurangi upaya menciptakan pertumbuhan yang berkesinambungan. Pembiayaan pembangunan rupiah dibiayai dari sumber-sumber pembiayaan dalam negeri, dan pinjaman program. Pengelolaan dana tersebut akan dialokasikan kepada departemen dan lembaga pemerintah non departemen di tingkat pusat termasuk Departemen Hankam, dan pemerintah daerah, yang diklasifikasikan ke dalam dana pembangunan yang dikelola oleh instansi pusat, dan dana pembangunan yang dikelola daerah.

Dalam rangka menutupi kesenjangan antara kebutuhan pembagunan dengan kemampuan dana dalam negeri, maka pembiayaan proyek masih tetap dibutuhkan. Sesuai dengan GBHN 1999-2004, pembiayaan pembangunan dengan dana yang bersumber dari luar negeri diupayakan untuk secara bertahap dikurangi. Untuk itu, pembiayaan proyek harus dimanfaatkan secara lebih optimal terutama bagi kegiatan ekonomi yang produktif dan dilaksanakan secara lebih transparan, efektif dan efisien. Dengan demikian, pemilihan proyek-proyek yang pembiayaannya bersumber dari pinjaman luar negeri harus dilakukan berdasarkan prioritas sehingga dapat mendukung pencapaian sasaran.

Persentase pembiayaan proyek terhadap PDB terus diupayakan menurun sebagai cerminan untuk mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri, sekaligus mencerminkan adanya upaya untuk mencapai fiscal sustainability sebagai


(46)

sasaran strategis dari APBN. Pembiayaan proyek dimanfaatkan untuk pembangunan SDM di bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial dalam rangka mendukung program jaring pengaman sosial, penyediaan sarana dan prasarana transportasi, pembangunan di bidang pertanian, tenaga listrik, dan pengairan. Di samping itu juga akan dimanfaatkan untuk pengadaan prasarana pendukung hankam, telekomunikasi dan pembangunan prasarana perkotaan.

2.6. Penelitian Sebelumnya

Engen dan Skinner (1992) dalam studi dengan menggunakan data cross

sectional dari 107 negara pada periode 1970-1985 yang mengembangkan sebuah

general model kebijakan fiskal dan pertumbuhan ekonomi, menyimpulkan bahwa penerapan anggaran berimbang, dengan meningkatkan pengeluaran pemerintah dan penerimaan pajak, diprediksi akan mengurangi pertumbuhan ekonomi.

Salah satu hasil utama dari penelitian Easterly dan Rebelo (1993) dalam studi mengenai hubungan empiris antara variabel kebijakan fiskal, tingkat pembangunan, dan tingkat pertumbuhan ekonomi berdasarkan historical data, mereka menyimpulkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara tingkat pembangunan dengan kebijakan fiskal. Bagi negara miskin, mereka tergantung pada pajak perdagangan luar negeri sementara bagi negara maju pajak penghasilan sangat dominan.

Dorwick (dalam Engen dan Skinner, 1996) dalam penelitiannya di negara-negara OEDC selama kurun waktu 1960-1985, menemukan bahwa pajak penghasilan


(47)

orang pribadi mempunyai efek yang negatif terhadap pertumbuhan, sedangkan pajak penghasilan badan tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan.

Koester dan Kormendi (dalam Engen dan Skinner, 1996) menyatakan bahwa pajak dalam kondisi tarif yang tetap mempunyai efek negatif terhadap pertumbuhan

output. Bram (dalam Engen dan Skinner, 1996) dalam penelitiannya di New York

State dan New York City menyimpulkan bahwa keterkaitan antara pertumbuhan basis pajak dengan peningkatan aktivitas perekonomian. Basis pajak yang ditelitinya adalah penjualan dan penghasilan orang pribadi di New York State dan basis pajak penjualan di New York City. Perubahan kondisi perekonomian di kedua wilayah tersebut menyebabkan perubahan ketiga basis pajak tersebut dan pada akhirnya akan menyebabkan perubahan dalam penerimaan pajak.

Studi Rappaport (1999) dimaksudkan untuk mengkaji empat kelompok fakta-fakta empiris dari pertumbuhan ekonomi antar daerah/lokal di Amerika Serikat tahun 1970-1990. Salah satu kelompok fakta empiris yang dikaji adalah korelasi kebijakan anggaran pemerintah dari pertumbuhan ekonomi lokal. Dalam hal hubungan antara kebijakan anggaran pemerintah lokal dengan pertumbuhan ekonomi lokal tersebut (dilihat dari tiga indikator: migrasi neto, pertumbuhan pendapatan perkapita dan pertumbuhan harga perumahan), dari estimasi Rappaport mendapatkan empat fakta proses pertumbuhan ekonomi lokal di Amerika Serikat. Keempat fakta proses pertumbuhan ekonomi lokal Amerika Serikat tersebut adalah pertama adalah bahwa dari tahun 1970 sampai 1990, pertumbuhan ekonomi lokal berkorelasi negatif dengan besaran keuangan pemerintah lokal; kedua, pertumbuhan ekonomi lokal sepanjang


(48)

periode yang diamati berkorelasi positif dengan pengeluaran pemerintah lokal untuk pendidikan dasar dan menengah; ketiga, pertumbuhan ekonomi daerah tahun 1970 sampai 1990 berkorelasi negatif dengan pajak pendapat personal lokal; keempat, pertumbuhan ekonomi daerah berkorelasi negatif dengan pajak penjualan tertentu yang diambil oleh pemerintah lokal. Tampak yang diamati di sini bukan hanya komposisi investasi pemerintah tetapi juga komposisi penerimaan pemerintah lokal.

Studi Aschauer (Brata, 2004) menggunakan data 46 negara pendapatan rendah dan menengah dengan periode waktu 1970-1990. Selain menganalisis aspek penerimaan, studi tersebut sekaligus juga menganalisis aspek besaran investasi pemerintah serta efisiensinya. Berkaitan dengan aspek penerimaan, Aschauer menggunakan hutang luar negeri sebagai proksi dari total hutang pemerintah. Dalam hal ini, beban pajak sehubungan dengan pengakumulasian modal publik dapat memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengaruh negatif tersebut misalnya melalui pajak yang secara berlebihan dibebankan kepada sektor swasta sehingga pada akhirnya akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi. Dari estimasinya, Aschauer menemukan bahwa peningkatan investasi pemerintah yang dibiayai dengan hutang luar negeri membawa pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan kata pembiayaan hutang luar negeri telah mengurangi manfaat positif investasi sektor publik. Lin dan Kim (2001) dalam studi mengenai hutang luar negeri pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi terhadap 77 negara, mereka mendapatkan hubungan yang positif.


(49)

Adapun Gupta (2002) melakukan studinya dengan kasus 39 negara ESAF dengan kurun waktu 1990-2000. Studi tersebut lebih dimaksudkan untuk mengetahui apakah fiscal adjustment dan perbaikan komposisi pengeluaran pemerintah memiliki manfaat baik bagi pertumbuhan ekonomi di negara-negara miskin. Sumber pembiayaan pemerintah juga diamati di sini dengan dilatarbelakangi kenyataan bahwa selama ini studi-studi yang ada belum memperhatikan apakah defisit yang dibiayai dari luar negeri memiliki perbedaan dampak terhadap pertumbuhan dibandingkan defisit yang dibiayai dengan sumber-sumber dana dalam negeri.

Selain menemukan bahwa komposisi pengeluaran pemerintah yang lebih produktif penting artinya bagi pertumbuhan dan pencapaian fiscal adjustment yang berkelanjutan, Gupta (2002) juga menyebutkan bahwa komposisi pembiayaan defisit juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di negara-negara miskin. Namun, berbeda dengan temuan Aschauer di atas, Gupta justru menemukan bahwa pembiayaan defisit anggaran pemerintah dari sumber-sumber domestik lebih merugikan pertumbuhan ekonomi daripada pinjaman luar negeri. Untuk memperoleh gambaran antara negara-negara yang belum mengalami stabilitas ekonomi dan yang telah mencapai stabilisasi, Gupta juga melakukan estimasi secara terpisah terhadap masing-masing kelompok tersebut. Dalam hal ini bagi negara-negara dengan defisit anggaran yang rendah, tambahan konsolidasi anggaran tidaklah menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun yang lebih penting adalah bahwa dampak buruk pembiayaan defisit di negara-negara tersebut tidaklah separah di negara-negara yang belum mencapai stabilisasi.


(50)

2.7. Kerangka Konsep

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

2.8. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Indeks Harga Konsumen (CPI) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi (GRO) di Indonesia.

2. Penerimaan pemerintah (TAX) berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (GRO) di Indonesia.

3. Pengeluaran pemerintah (GOV) berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi (GRO) di Indonesia.

Indek Harga Konsumen (CPI)

Penerimaan Pajak Pertumbuhan Ekonomi


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian tentang analisis pengaruh indeks harga konsumen, penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

3.2. Metode Penelitian

Berdasarkan jenis masalah yang diteliti, cara dan alat yang digunakan, maka pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif.

3.3. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data runtun waktu (time series) selama 28 tahun yakni dalam kurun waktu 1980-2007. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik dan sumber lainnya, yaitu jurnal-jurnal dan hasil penelitian sebelumnya. Adapun data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah Indeks Harga Konsumen (CPI) tahun dasar 1993, penerimaan pajak tahun 1980 s/d 2007, pengeluaran pemerintah tahun 1980 s/d 2007 dan PDB tahun 1980 s/d 2007 di Indonesia.

Khusus Data CPI dipakai dengan tujuan untuk membuat data-data menjadi riil berdasarkan Indeks Harga Konsumen. Sedangkan dipilih CPI tahun 1993 karena


(52)

data penelitian yang dipakai mempunyai rentang waktu dari 1980 sampai dengan tahun 2007.

3.4. Identifikasi dan Operasional Variabel

Variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel bebas (independent variable) yaitu indeks harga konsumen, penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

2. Variabel terikat (dependent variable) yaitu PDB di Indonesia.

Adapun operasional variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.1. Operasionalisasi Variabel

Variabel Indikator Dasar Skala Pengukuran

Indeks Harga Konsumen

(CPI)

CPI tahun 1993 Persentase

Penerimaan Pajak (TAX) Penerimaan Pajak tahun 1980-2007

Milyar Rupiah

Pengeluaran Pemerintah (GOV)

Pengeluaran Pemerintah tahun 1980-2007

Milyar Rupiah

Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (GRO)

PDB di Indonesia tahun 1980-2007


(53)

3.5. Model Analisis

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi. Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dinyatakan dalam fungsi sebagai berikut:

y = f (X1, X2 , X3)

Pengolahan data menggunakan software Eviews 3.0. Persamaan/Model regresi berganda adalah sebagai berikut:

GRO = â0 + â1 CPI + â2 TAX + â3 GOV + º Definisi: â1 > 0; â2 < 0; â3 > 0

Di mana:

GRO = Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (%) â0 = Intercept/konstanta

â1, â2,â3 = Koefisien regresi

CPI = Indeks Harga Konsumen (%)

TAX = Penerimaan Pajak (Milyar Rupiah)

GOV = Pengeluaran Pemerintah (Milyar Rupiah) º = Variabel Pengganggu

Untuk menghindari Spurious Regression (regresi palsu) akibat data yang tidak stasioner, yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik namun pada kenyataannya tidak didasarkan pada penginterpretasian secara ekonomi, dibutuhkan data yang stasioner. Data yang stasioner menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu. Guncangan pada data


(54)

time series yang stasioner bersifat sementara. Dengan kata lain guncangan hanya

akan terlihat pada jangka pendek. Pada jangka panjang, gerakan data series yang

stasioner akan selalu kembali pada rata-rata jangka panjang dan berfluktuasi di sekitarnya. Apabila data teruji stationeritasnya maka hubungan di antara variabel

menjadi valid. Keberadaan stasioneritas data dapat diukur salah satunya dengan menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF test).

Bila data yang digunakan tidak stasioner maka analisis yang digunakan adalah metode Error Corection Mechanism (ECM) yaitu tehnik untuk mengoreksi ketidakseimbangan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. Metode ECM digunakan untuk mengetahui hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi dengan indeks harga konsumen, penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah. Model ECM dirumuskan sebagai berikut (Manurung, Manurung dan Saragih, 2005):

t t t

t

t CPI TAX GOV

GRO 0 1 2 3  (3.1A)

t t t t

t

t CPI TAX GOV

GRO        

 0 1 2 3 4 1 (3.1B)

Di mana:

t GRO

= GRO - t GROt1

t CPI

 = CPI - t CPIt1

t TAX

 = TAX - t TAXt1

t GOV


(55)

t

= stokhastik term eror dari pertumbuhan ekonomi

t t

t t

t 1 =GRO 0 1CPI 2TAX 3GOV

   

Dari persamaan (3.1B) ditunjukkan bahwa nilai t1 tidak selalu sama dengan nol.

Jika t1≠ 0 maka model pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai keseimbangan.

Apabila GROt= CPIt= TAXt = GOVt= 0 dan t1> 0 artinya GRO di atas t

keseimbangan. Selanjutnya apabila GRO di atas keseimbangan, t 3t1 negatif

menyebabkan GROt negatif sehingga nilai GROt naik pada periode berikutnya untuk mengoreksi kesalahan keseimbangan atau ECM. Sebaliknya jika t1< 0 atau

t

GRO di bawah keseimbangan, 3t1 positif menyebabkan GRO positif sehingga t

nilai GRO turun pada periode berikutnya untuk mengoreksi kesalahan keseimbangan t

koefisien 3 menjelaskan seberapa cepat kesalahan keseimbangan dikoreksi kembali.

Semakin besar koefisien 3 maka kesalahan keseimbangan semakin cepat dikoreksi.

Apabila koefisien 3 signifikan maka pertumbuhan ekonomi GRO tidak mencapai

keseimbangan jangka pendek. 3.5.1. Uji Kesesuaian

Uji kesesuaian menggunakan beberapa tehnik statistik yaitu uji statistik – t dan uji statistik – F. Uji statistik –t statistik –F masing-masing adalah uji parsial (t-test) dimaksudkan untuk mengetahui signifikan statistik.


(56)

t – statistik = ) ( i i SE   (3.2.A)

koefisien regresi secara parsial. Jika t hitung > t tabel, maka Ho ditolak.

F – statistik =

) /( ) 1 ( ) 1 ( 2 2 k N R k R  

(3.2.B)

Uji serempak ( F-test), dimaksudkan untuk mengetahui signifikansi statistik koefisien regresi secara serempak. F hitung > F tabel, maka Ho ditolak.

3.5.2. Pelanggaran Asumsi Klasik

Dalam suatu model regresi ada beberapa permasalahan yang bisa terjadi yang secara statistik dapat mengganggu model yang telah ditentukan, bahkan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang dibentuk. Untuk itu maka perlu melakukan uji penyimpangan asumsi klasik, yang terdiri dari (Gujarati, 2004):

1. Stasioneritas

Uji stasioneritas menggunakan Augmented Dickuy Fuller (ADF) test yaitu Apabila ADF test statistik lebih besar dari nilai kritis mackinon maka variabel dikatakan stasioner

t i t t

t

T

Y

Y

Y

0 1 1 1 (3.3)

2. Multikolinieritas

Multikolinieritas digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan linear diantara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Interpretasi dari persamaan regresi


(57)

linier secara implisit bergantung pada asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tidak saling berkorelasi. Uji multikolineritas menggunakan statistik .

VIF = 2

1 1

ij r

 (3.4)

Di mana:

VIF = variable inflating faktor atau derajat multikolieritas, dan

ij

r = koefisienkorelasi antar variabel bebas.

Jika nilai VIF > 10 maka variabel bebas mengalami multikolinearitas yang serius.

3. Autokorelasi

Autokorelasi dapat didefinisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu. Dalam konteks regresi, model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa autokorelasi seperti itu tidak terdapat dalam disturbansi atau penggunaan. Dengan menggunakan lambang

tsecara sederhana

dapat dikatakan model klasik mengasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur disturbansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain yang manapun. Statistik autokorelasi dirumuskan sebagai berikut:

d =

2

2 1 t t t        (3.5)


(58)

4. Normalitas

Asumsi model regresi linier klasik adalah bahwa faktor pengganggu ui mempunyai nilai rata-rata yang sama dengan nol, tidak berkorelasi dan mempunyai varian yang konstan. Dengan asumsi ini, OLS estimator atau penaksir akan memenuhi sifat-sifat statistik yang diinginkan, seperti ketidakbiasan dan mempunyai varian yang minimum.

Untuk mengetahui normal tidaknya faktor gangguan ui, dilakukan dengan Jarque-Bera Test (J-B Test). Uji ini menggunakan hasil estimasi residual dan X²

probability distribution, yaitu dengan membandingkan nilai JBhitung yaitu X2hitung dengan X2tabel. Kriteria keputusan sebagai berikut:

1. Jika nilai JBhitung > X2tabel (Prob. < 0,05), maka hipotesis yang menyatakan bahwa residual ui terdistribusi normal ditolak.

2. Jika nilai JBhitung < X2tabel (Prob. > 0,05), maka hipotesis yang menyatakan bahwa residual ui terdistribusi normal tidak ditolak.

JB – Statistik = N

  

24 3 2

2

k G S

(3.6)

Di mana:


(59)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang menjadi salah satu penggerak laju perekonomian nasional.

APBN menjadi penjabaran rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga dalam

menyelenggarakan pemerintahan, mengalokasikan sumber-sumber ekonomi,

mendistribusikan barang dan jasa, serta menjaga stabilisasi dan akselerasi kinerja ekonomi. Oleh karena itu, strategi dan pengelolaan APBN memegang peranan yang cukup penting dalam mencapai sasaran pembangunan nasional.

Dalam beberapa tahun terakhir strategi kebijakan fiskal lebih diarahkan untuk melanjutkan dan memantapkan langkah-langkah konsolidasi fiskal guna mewujudkan APBN yang sehat dan berkelanjutan (fiscal sustainability), serta memberikan stimulus fiskal dalam batas-batas kemampuan keuangan negara. Langkah konsolidasi fiscal ditempuh melalui optimalisasi pengumpulan sumber-sumber penerimaan negara, peningkatan efisiensi dan efektivitas belanja negara, serta pemilihan alternatif pembiayaan yang tepat untuk meminimalkan resiko keuangan (financial risk) ke depan. Pemberian stimulus fiskal dilakukan antara lain dalam bentuk: (i) insentif perpajakan, (ii) belanja negara untuk sarana dan prasarana pembangunan, serta meningkatkan daya beli aparatur negara dan masyarakat berpenghasilan rendah, dan (iii) dukungan pemerintah kepada swasta dalam pembangunan infrastruktur (public private partnerships, PPPs).


(60)

Sebagai instrumen kebijakan fiskal dan implementasi perencanaan pembangunan setiap tahun, strategi dan pengelolaan APBN memegang peranan penting bagi Pemerintah untuk mencapai sasaran pembangunan nasional. APBN menjadi salah satu alat perekonomian dalam menyelenggarakan pemerintahan, mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, mendistribusikan barang dan jasa, serta menjaga stabilitas dan akselerasi kinerja ekonomi.

4.1. Pertumbuhan Ekonomi

Sebelum krisis ekonomi (1980-1997) ekonomi Indonesia tumbuh secara berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Selama periode tersebut Produk Domestik Bruto (PDB) Riil Indonesia telah melesat dari Rp. 454,46 milyar di tahun 1980 menjadi Rp. 3.804.154 milyar di tahun 2007 sehingga telah terjadi pertumbuhan rata-rata sebesar 6.58% pertahun. Kondisi pertumbuhan yang rendah terjadi pada tahun 1982 sebesar 2,25% dan tahun 1985 sebesar 2,46%. Data gambar di bawah menunjukkan bahwa pemerintah dapat mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi dengan baik.


(61)

.

Gambar 4.1. Pertumbuhan PDB di Indonesia periode 1980 s.d 2007 (dalam Milyar Rupiah)

Pada akhir dekade 1970-an peningkatan pertumbuhan ekonomi lebih disebabkan karena lonjakan harga minyak dunia di mana pada periode tersebut posisi Indonesia sebagai salah satu pengekspor minyak mentah dunia. Pertumbuhan ekonomi yang rendah di tahun 1982 dan tahun 1985 lebih disebabkan akibat menurunnya harga minyak dunia sehingga melemahkan permintaan terhadap ekspor Indonesia yang masih didominasi oleh ekspor migas. Kondisi demikian kemudian mendorong pemerintah untuk mencari sumber-sumber lain penerimaan negara sehingga secara perlahan mengurangi ketergantungan penerimaan dari hasil ekspor migas.

Begitu juga rendahnya pertumbuhan ekonomi tahun 1997 di mana Indonesia mulai mengalami krisis ekonomi dan mengalami puncaknya tahun 1998 di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai titik terendah yakni -13,13%. Ada banyak


(1)

pribadi mempunyai efek yang negatif terhadap pertumbuhan, sedangkan pajak penghasilan badan tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rappaport (1999) dimaksudkan untuk mengkaji empat kelompok fakta-fakta empiris dari pertumbuhan ekonomi antar daerah/lokal di Amerika Serikat tahun 1970-1990, berkorelasi negatif dengan pajak pendapatan personal lokal dan juga berkorelasi negatif dengan pajak penjualan tertentu yang diambil oleh pemerintah lokal.

Kondisi ini sejalan dengan kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang lebih mengarahkan kebijakan pajak ke arah tax smoothing seperti perluasan basis pajak, peningkatan pelayanan pengurangan beban pajak melalui peningkatan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan pemberian fasilitas pajak pada dunia usaha serta melakukan penurunan tarif secara bertahap tanpa mengganggu pencapaian target penerimaan perpajakan.

Variabel Pengeluaran Pemerintah (GOV) mempunyai nilai koefisien positif sebesar 0,9289, hal ini sesuai dengan teori dalam ilmu ekonomi dan mempunyai pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap pertumbuhan ekonomi pada á = 5% selama masa periode pengamatan. Hal ini dapat berarti bahwa bila terjadi perubahan pada pengeluaran pemerintah sebesar 1% maka akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,92% dengan arah yang sama.

Bila pengaruh Variabel Penerimaan Pajak (TAX) dan Pengeluaran Pemerintah (GOV) digabungkan maka pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi akan


(2)

berpengaruh positif sebesar 0.8612% artinya bila penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah masing-masing naik 1% akan menyebabkan naiknya pertumbuhan ekonomi sebesar 0,8612%.

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rappaport (1999) dimaksudkan untuk mengkaji empat kelompok fakta-fakta empiris dari pertumbuhan ekonomi antar daerah/lokal di Amerika Serikat tahun 1970-1990. Pertumbuhan ekonomi lokal sepanjang periode yang diamati berkorelasi positif dengan pengeluaran pemerintah lokal untuk pendidikan dasar dan menengah.

Dari analisis di atas ditunjukkan bahwa peranan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui APBN sangat signifikan dan relatif tinggi. Setiap peningkatan APBN sebesar 1% akan mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,8612%. Dampak relatif besar ini disebabkan oleh data pengeluaran pemerintah (GOV) adalah seluruh pengeluaran pemerintah, termasuk pengeluaran untuk membayar hutang baik cicilan pokok maupun bunganya serta belanja rutin dan pembangunan.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Variabel Indeks Harga Konsumen (CPI) mempunyai koefisien positif. Hasil ini sesuai dengan teori karena variabel CPI setelah menggunakan ECM menjadi inflasi karena merupakan perubahan harga dari tahun sebelumnya. 2. Pajak mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil ini

sesuai dengan teori dalam ilmu ekonomi, bahwa kenaikan penerimaan pajak akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Namun dari hasil penelitian ini diketahui bahwa peningkatan penerimaan pajak tidak berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan ekonomi.

3. Pengeluaran pemerintah berpengaruh positif secara signifikan dan relatif tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi.

4. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selalu di bawah keseimbangan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih rendah.

5.2. Saran

1. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih rendah bisa lebih ditingkatkan lagi dengan mendorong peningkatan investasi terutama di sektor riil.


(4)

2. Komposisi APBN agar lebih diarahkan pada kebijakan yang pro pertumbuhan seperti peningkatan pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur secara tepat guna.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi, ed.1, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.

Bappenas. 2004, Kajian Strategi Pendanaan Luar Negeri, Jakarta, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Basri, Y.Z. dan Subri, M. 2003. Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri, ed. 1, Jakarta, PT. Raja Grafindo Perkasa.

Bawazier, F. dan Kadir, AM. 2004, “Kebijakan Tax Reform 1994 dan Tax Reform 1997” dalam Subiantoro, H dan Riphat, S., Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasinya, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.

Blanchard, O. 2000, Macroeconomics, New Jersey, Prentice Hill Internasional, Inc. Brata, A.G. 2004, Komposisi Penerimaan Sektor Publik dan Pertumbuhan Ekonomi

Regional, Yogyakarta, LP Universitas Atmajaya.

Budiono. 2004, “Kebijakan Fiskal: Sekarang dam Selanjutnya” dalam Subiantoro, H dan Riphat, S., Kebijakan Fiskal: Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasinya, Jakarta, Penerbit Buku Kompas.

Darmayanti, Theresia Woro. 2004, Pelaksanaan Self Assesment System Menurut Wajib Pajak (Studi Kasus pada Wajib Pajak Badan Salatiga). Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Volume X No. 1, 109 – 128.

Departemen Keuangan Republik Indonesia. 2003. Laporan Hasil Kajian Akademis: Isu-isu Pokok Reformasi Kebijakan Perpajakan.

---. 2004. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2004.

---. 2005. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2005.

---. 2008. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2008.


(6)

Easterly, W, and Rebelo, S. 1993, Fiscal Policy and Economic Growth: An Empirical Investigation, Cambridge, NBER Working Paper Series No. 4223.

Engen E.M and Skinner J. 1992, Fiscal Policy and Economic Growth, Cambridge, NBER Working Paper Series No. 4223.

---. 1996, Taxation and Economic Growth, Cambridge, NBER Working Paper Series No. 5826.

Gupta, S, Benedict, C, Emanuelle, B and Carlos, MG. 2002, Expenditure Composition Fiscal Adjusment, and Growth in Low Income Countries, IMF Working Paper No. 02/77.

Gunadi. 2002. Indonesian Taxation 2002; A Reference Guide. Jakarta, Multi Utama Publishing.

---. 2004. Kebijakan Pemeriksaan Pajak Pasca Berlakunya Undang-Undang Perpajakan Baru, Berita Pajak.

Harahap, A.A. 2004, Paradigma Baru Perpajakan Indonesia: Perspektif Ekonomi-Politik, Jakarta, Integrita Dinamika Pers.

Kiryanto. 1999. Pengaruh Penerapan Struktur Pengendaliuan Intern terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam Memenuhi Pajak Penghasilannya. Makalah dalam Simposium Nasional Akuntansi II.

Kuncoro, M. 2003, Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi, Jakarta, Penerbit Erlangga.

Lin, S. and Kim, S. 2001, Foreign Debt and Economic Growth, Economics of Transition, Vol. 9, No. 3 November 2001.

Makhlani. 2004, Pola Pembangunan Ekonomi dengan Pinjaman Luar Negeri, Jakarta, Bappeki Depkeu.

Mangkusubroto, G. 1993, Ekonomi Publik, Yogyakarta, BPFE UGM.

Mankiw, N.G. 2007, Edisi ke Enam, Macroeconomics, Worth Publishers, USA. Mansury, R. 2002, Pajak Penghasilan Lanjutan Paska Reformasi 2000, Jakarta,