tinja tidak di siram dan juga tidak tertutup. Responden tersebut membersihkan dubur di lokasi yang tersedia air yang biasa di gunakan untuk mandi.
Menurut Pedoman Pelaksanaan STBM tahun 2011, Indikator Pencapaian Stop Buang Air Besar Sembarangan terkait Jumlah dan Persentase Penduduk
Tidak Buang Air Besar Sembarangan dengan indikator keberhasilan 100 Kemenkes, 2011. Dari hasil penelitian berdasarkan tabel 4.7 di ketahui bahwa
pelaksanaan Pilar pertama STBM di Lolowua belum berhasil.
5.3.2 Cuci Tangan Pakai Sabun CTPS
Pilar kedua STBM tentang Cuci Tangan Pakai Sabun belum dilaksanakan di Desa Lolowua, diketahui dari hasil wawancara 91 responden 100 yang
menjawab bahwa Program Cuci Tangan Pakai Sabun tidak di laksanakan di desa Lolowua. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepala Seksi Penyehatan
Lingkungan, Makanan dan Minuman Dinas Kesehatan Kabupaten Nias bahwa saat ini kegiatan STBM yang dilaksanakan hanya program STBM pilar pertama.
Penelitian tetap di lakukan untuk dapat mengetahui gambaran pelaksanaan Cuci Tangan Pakai Sabun dengan pengamatan di lapangan dan wawancara
terhadap responden di desa Lolowua. Mayoritas responden menyatakan bahwa waktu mencuci tangan hanya dilakukan sebelum makan dan setelah BABBAK.
Menurut responden tersebut, mencuci tangan sebelum makan sangat penting agar kuman-kuman yang ada di tangan tidak masuk ke dalam tubuh. Mayoritas
responden ketika makan tidak menggunakan sendok melainkan langsung menggunakan tangan, sehingga penting untuk menjaga kebersihan tangan sewatu
makan. Responden juga merasa penting untuk mencuci tangan setelah BABBAK karna ada perasaan jijik dan responden tahu bahwa ada kuman yang dapat
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan penyakit apabila tangan tidak di cuci bersih. Sementara menurut Peraturan Menteri Kesehatan no 3 tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat, waktu penting perlunya CTPS, antara lain: sebelum makan, sebelum mengolah dan menghidangkan makanan, sebelum menyusui, sebelum memberi
makan bayibalita, sesudah buang air besarkecil, sesudah memegang hewanunggas.
Mayoritas responden menerapkan mencuci tangan menggunakan air mengalir, mencuci tangan menggunakan sabun, membasuh kedua tangan saat
mencuci tangan. Tetapi responden yang menggosok seluruh bagian tangan sampai berbusa saat mencuci tangan hanya 40 orang 44,0. Demikian juga responden
yang membersihkan sampai ujung jari dan selah bawah kuku saat mencuci tangan hanya 40 orang 44,0. Mayoritas responden yang membilas sampai bersih dari
sisa sabun saat mencuci tangan sebanyak 65 orang 71,4, dan yang mengeringkan tangan setelah mencuci tangan sebanyak 69 orang 75,8. Hal ini
terjadi karna responden tahu bahwa cuci tangan itu perlu dilakukan tetapi tidak tahu cara mencuci tangan yang baik dan benar seperti yang tertuang di dalam
Peraturan Menteri Kesehatan no 3 tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Di ketahui juga perilaku cuci tangan pakai sabun pada masyarakat
merupakan kebiasaan yang di dukung dengan tersedianya air dan perlengkapan ctps seperti sabun, baskom, gayung serta kainhanduk untuk mengeringkan
tangan. Sejalan dengan penelitian Mulyani 2008 yang menyatakan proporsi perilaku untuk mencuci tangan lebih banyak pada fasilitas yang baik
dibandingkan dengan proporsi perilaku cuci tangan pada fasilitas yang kurang baik. Tapi tidak sejalan dengan penelitian Widya Utami 2010 yang menyatakan
Universitas Sumatera Utara
tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan fasilitas CTPS dengan kebiasaan CTPS.
Di ketahui dari hasil penelitian berdasarkan tabel 4.9 terdapat 38 orang 41,8 responden yang berhasil menerapkan CTPS dengan kesadaran sendiri
walaupun tidak ada program CTPS di desa Lolowua. Akan tetapi dalam Pedoman Pelaksanaan STBM tahun 2011, Indikator Pencapaian Cuci Tangan Pakai Sabun
yaitu setiap anggota keluarga cuci tangan pakai sabun pada waktu-waktu kritis dengan indikator keberhasilan 100 Kemenkes, 2011, sehingga pelaksanaan
Pilar kedua STBM di desa Lolowua tidak berhasil.
5.3.3 Pengelolaan Air Minum dan Makanan Rumah Tangga PAMMRT