YOGHURT PROBIOTIK DAN SINBIOTIK

5 kadar oksigen pada susu. Kultur starter yoghurt sensitif terhadap oksigen sehingga berkurangnya kadar oksigen dapat mengoptimalkan pertumbuhannya. Suhu dan waktu pemanasan yang umum digunakan pada industri yoghurt adalah 85 o C selama 30 menit atau 95 o C selama 5 menit Tamime dan Robinson 1999 walaupun penggunaan suhu tinggi HTST 100 o C-130 o C selama 4 –16 detik dan UHT 140 o C selama 4 –16 detik juga kerap digunakan. Setelah dilakukan pemanasan, susu kemudian didinginkan hingga mencapai suhu pertumbuhan kultur starter. Suhu optimum untuk kultur yoghurt yang umum digunakan Streptococcus salivarius subsp. thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus adalah sekitar 40-45 o C. Setelah suhu tercapai, kultur starter sebanyak 2-3 kemudian diinokulasikan ke dalam susu dan difermentasi. Fermentasi dilakukan pada suhu optimum pertumbuhan kultur starter selama waktu tertentu pada umumnya 24-48 jam. Berakhirnya proses fermentasi ditandai dengan telah terbentuknya gel yoghurt dan pH yoghurt turun hingga 4-4,6 dari pH awal susu sekitar 6,6. Proses fermentasi bakteri mengubah laktosa menjadi asam laktat menyebabkan terakumulasinya asam laktat pada susu dan pH pada susu pun turun. Ketika pH turun dibawah 5, misel dari kasein, protein hidrofobik, kehilangan struktur tersier karena terjadi protonasi asam amino. Protein ini kemudian berinteraksi dengan molekul hidrofobik lainnya, dan interaksi antarmolekul kasein menciptakan struktur yang memungkinkan untuk tekstur semipadat yoghurt Zourari et al. 1992. Proses pendinginan dilakukan setelah fermentasi selesai. Pendinginan dilakukan untuk mengurangi proses asidifikasi lebih lanjut. Yoghurt dapat didinginkan pada suhu 10 o C di lemari pendingin.

B. YOGHURT PROBIOTIK DAN SINBIOTIK

Yoghurt konvensional biasanya dibuat dengan memanfaatkan bakteri asam laktat Lactobacillus delbrueckii subs bulgaricus dan Streptococcus salivarius subs thermophilus. Namun, berdasarkan hasil penelitian yang berkembang, diketahui bahwa kedua kultur ini tidak dapat bertahan hidup melewati lambung dan usus manusia karena keasaman yang sangat tinggi. Hal ini kemudian menyebabkan perkembangan produk yoghurt sekarang ini lebih banyak dikembangkan dengan menggunakan kultur-kultur bakteri asam laktat lain yang dapat tahan dan hidup pada saluran pencernaan manusia mengingat bakteri baik yang masuk ke dalam tubuh harus dalam kondisi hidup untuk dapat memberi efek positif bagi kesehatan, utamanya kesehatan pada saluran pencernaan. Bakteri yang termasuk dalam golongan ini biasa disebut sebagai bakteri probiotik, sehingga yoghurt yang ditambahkan bakteri probiotik disebut sebagai yoghurt probiotik atau dalam beberapa literatur disebut sebagai bio-yoghurt. Tomasik dan Tomasik 2003 mengungkapkan beberapa kriteria mikroorganisme yang dapat digolongkan ke dalam probiotik, diantaranya: 1 dapat bertahan hidup melewati saluran pencernaan dengan pH rendah serta tahan kontak dengan garam empedu 2 adhesi terhadap sel epitel pada usus 3 stabil terhadap mikroflora usus 4 bukan patogen 5 bertahan hidup dalam bahan makanan, 6 pertumbuhannya cepat, dan 7 mempunyai spesifikasi umum probiotik. Penelitian yang mengarah kepada pengembangan yoghurt menggunakan bakteri probiotik yoghurt probiotik baik probiotik kultur tunggal, maupun campuran telah banyak dilakukan. Jenie 2003 menyatakan bahwa permasalahan yang kerap dihadapi oleh kultur probiotik adalah pertumbuhannya yang lambat serta sifat sensori yang kurang baik. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan kultur campuran. Menurut Hesseltine 1991, penggunaan kultur 6 campuran memberi keuntungan diantaranya memberikan kualitas produk yang lebih baik, pertumbuhan bakteri lebih tinggi, mencegah kontaminasi, mikroorganisme lebih stabil, dan penggunaan substrat dapat lebih maksimal. Penelitian Hartoto 2003 memanfaatkan kultur campuran Bifidobacterium bifidum dan Lactobacillus casei, Dave dan Shah 1996 menggunakan L. acidophilus, dan Donkor et al. 2007 menggunakan L. acidophilus dan L. casei, merupakan beberapa contoh dari penelitian yang memanfaatkan bakteri probiotik dalam pembuatan yoghurt. Selain itu, terdapat penelitian Prisilia 2009 dan Bastomi 2009 menggunakan bakteri kandidat probiotik asal ASI untuk membuat yoghurt. Penelitian Prisilia 2009 menemukan bahwa L. rhamnosus R21 dapat digunakan sebagai starter dalam pembuatan yoghurt, namun penggunaan kultur campuran kombinasi L. rhamnosus R21 dengan S. thermophilus mendapatkan hasil yang lebih baik secara sensori. Adapun penelitian Bastomi 2009 menggunakan P. pentosaceus A16 menyebutkan bahwa kultur ini tidak dapat membentuk asam dengan cepat sehingga dalam pembuatan yoghurt, harus dikombinasikan dengan S. thermophilus untuk memperoleh tingkat keasaman dan penerimaan sensori yang lebih baik. Selain yoghurt probiotik, terdapat pula yoghurt sinbiotik. Konsep yoghurt sinbiotik didasarkan pada penggunaan kombinasi probiotik dan prebiotik dalam pembuatan yoghurt. Keuntungan dari kombinasi ini adalah meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik karena adanya prebiotik yang berfungsi dalam stimulasi pertumbuhan dan keaktifan bakteri probiotik. Oleh karena itu, yoghurt sinbiotik cenderung dianggap lebih baik jika dibandingkan dengan yoghurt yang hanya berisi probiotik saja yoghurt probiotik. Adapun FOS fruktooligosakarida dan GOS galaktooligosacarida, dan inulin merupakan contoh dari beberapa bahan makanan yang dapat dijadikan sebagai prebiotik. Beberapa penelitian yang mengembangkan yoghurt sinbiotik diantaranya adalah penelitian Roni 2011 yang memanfaatkan bakteri Lactobacillus plantarum 2C12 dan Lactobacillus fermentum 2B4, serta FOS sebagai probiotik dan prebiotik, Lestari 2011 menggunakan Lactobacillus casei dan inulin dari puree pisang, Nuraida et al. 2011a menggunakan bakteri kandidat probiotik asal ASI L. rhamnosus R23 dan perpaduan inulin-GOS sebagai prebiotik, serta masih banyak penelitian serupa lainnya.

C. PROBIOTIK