Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga Komposisi Hara pada Terak Baja

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Sifat Kimia dan Fisik Latosol Darmaga

Sifat kimia dan fisik Latosol Darmaga yang digunakan dalam percobaan ini disajikan pada Tabel Lampiran1. Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia dan fisik tanah PPT 1983 pada tanah Latosol Darmaga Tabel Lampiran2, maka tanah ini tergolong masam dengan pH, C-organik, N-total dan KTK yang tergolong rendah. Kandungan P-Bray yang sangat rendah dan kandungan Na-dd, Mg-dd dan K-dd tergolong sedang sedangkan Ca-dd tergolong rendah. Tanah ini memiliki kejenuhan basa yang sedang dan memiliki tekstur liat dengan persentase liat yang tinggi yaitu 74.64, debu 18.17 dan pasir 7.19. Jika tanah ini digunakan untuk tanaman caisim, maka pH perlu ditingkatkan karena caisim dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah gembur dengan pH 6-7 Haryanto, 2003. Untuk mengatasi permasalahan yang terdapat pada tanah masam dapat digunakan bahan kapur, salah satunya dapat menggunakan terak baja. Silva 1971 menyatakan bahwa terak baja mengandung 80 kalsium karbonat yang potensial untuk pengapuran. Terak baja merupakan limbah padat dari proses pemurnian besi cair dalam pembuatan baja. Selain itu caisim sangat cocok ditanam pada tanah gembur yang bertekstur lempung dan banyak mengandung humus, subur, serta pembuangan airnya baik sehingga dibutuhkan peranan bahan organik ke dalam tanah. Di samping untuk memperbaiki sifat fisik, bahan organik juga berperan memperbaiki sifat kimia pada tanah, misalnya C-organik, N-total dan KTK. Penambahan hara seperti pupuk N, P, dan K dibutuhkan juga ke dalam tanah. Dengan demikian pemberian terak baja dan bahan organik perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi caisim.

4.2. Komposisi Hara pada Terak Baja

Komposisi hara pada terak baja Jepang Sumitomo Metal Industry dan Indonesia Krakatau Steel Industry dapat dilihat pada Tabel 3. Dari hasil analisis, tampak bahwa terak baja merupakan bahan kapur karena mengandung CaO yang tinggi dan juga merupakan salah satu sumber silikat. Boxus 1965 menyatakan bahwa terak baja dalam pertanian selain digunakan untuk menetralkan kemasaman tanah juga terak baja merupakan sumber silikat. Kadar CaO 53.36 dan MnO 2 3.3 pada terak baja Jepang lebih tinggi dibandingkan dengan terak baja Indonesia yaitu sebesar 21.6 dan 1.55 sedangkan kadar MgO 2.86 dan Fe 2 O 3 8.12 pada terak baja Jepang terdapat pada jumlah yang lebih rendah dibandingkan terak baja Indonesia yaitu sebesar 11.6 dan 42.6. Tabel 3 . Komposisi Hara Terak Baja Jepang dan Terak Baja Indonesia Suwarno, 1998 dan Sumawinata, et al., 2010 Parameter Satuan S j Jepang S i Indonesia Nilai Nilai B-tersedia ppm 38.70 38.70 P 2 O 5 0.84 0.37 K 2 O 0.01 0.18 CaO 53.36 21.60 MgO 2.86 11.60 SiO 2 6.57 14.60 Fe 2 O 3 8.12 42.60 Al 2 O 3 2.05 7.21 MnO 2 3.30 1.55 Na 2 O 0.19 0.33 Cu ppm 0.002 146.20 Zn ppm - 242.70 Susunan kimia dari terak baja berbeda-beda, baik dalam jenis unsur maupun kadarnya. Perbedaan karakteristik dari masing-masing terak baja tergantung pada bahan baku dan metode yang digunakan ketika proses pembuatan baja. Pembuatan terak baja Jepang menggunakan metode converter sedangkan terak baja Indonesia menggunakan metode electric furnace. Converter terbentuk dari industri baja yang menggunakan proses Basic Oxygen Furnace BOF sedangkan electric furnace merupakan terak baja yang terbentuk pada industry yang menggunakan proses Electric Arc Furnace EAF Proctor et al., 2000. Pada proses converter, besi cair berasal dari blast furnace, yaitu besi cair murni. Besi cair yang ditambahkan berkisar antara 80-90 sedangkan potongan baja sekitar 10-20. Pada tahap awal, potongan baja dimasukkan kedalam tungku pemanas. Selanjutnya besi cair disiramkan di atas potongan baja, kemudian dialirkan oksigen dengan kemurnian di atas 90. Pada proses pengaliran oksigen, terjadi reaksi oksidasi yang sangat intensif sehingga bahan pengotor pada baja dapat dikurangi. Karbon teroksidasi membentuk karbon monoksida, mengakibatkan peningkatan suhu mencapai 1600-1700ÂșC. Pada suhu ini potongan baja mencair dan kadar karbon pada baja menurun. Untuk menurunkan kadar bahan yamg tidak diingankan pada baja ditambahkan fluxing agent, yaitu CaO atau MgCaCO 3 2 . Selama pengaliran oksigen, bahan yang tidak diinginkan teroksidasi, kemudian berikatan dengan bahan kapur membentuk slag yang mengapung di atas besi cair Yildirim dan Prezzi, 2011. Proses electric furnace tidak tergantung dengan proses blast furnace, karena bahan yang digunakan adalah potongan baja yang berasal dari baja-baja bekas. Sumber panas diperoleh dari percikan api yang berasal dari listrik bertegangan tinggi. Proses electric furnace dimulai dengan memasukkan potongan baja ke dalam tungku pemanas elektrik. Kemudian elektroda grafit diturunkan hingga masuk ke dalam tungku. Ketika dialirkan aliran listrik, pertemuan antara elektroda dan potongan baja akan menghasilkan panas. Ketika potongan baja meleleh, kemudian dilanjutkan proses pemurnian. Selama proses pemurnian dialirkan oksigen kemurnian tinggi. Beberapa besi Fe dan berbagai material yang tidak diinginkan termasuk Al, Si, Mn, P dan C teroksidasi. Komponen yang teroksidasi ini berkombinasi dengan CaO maupun MgO membentuk terak Yildirim dan Prezzi, 2011. Perbedaan proses pembuatan terak baja Jepang dan Indonesia mengakibatkan kadar CaO pada terak baja Jepang jauh lebih tinggi dibandingkan terak baja Indonesia Tabel 3, hal ini disebabkan karena pada terak baja Jepang besi cair yang digunakan berasal dari blast furnace, yaitu besi cair murni sedangkan pada terak baja Indonesia tidak menggunakan proses blast furnace, bahan yang digunakan adalah potongan baja yang berasal dari baja-baja bekas. Pada terak baja Indonesia unsur-unsur mikro, seperti Cu dan Zn Tabel 3 jauh lebih tinggi dibandingkan terak baja Jepang. Adapun hal yang mengakibatkan tingginya unsur mikro pada terak baja Indonesia karena pada proses pemurnian. Beberapa unsur yang tidak diinginkan, seperti Fe, Al, Si, Mn, P dan C teroksidasi sehingga berkombinasi dengan CaO maupun MgO membentuk terak baja. Akan tetapi, perbedaan jenis unsur maupun kadar dari masing-masing terak baja Jepang dan Indonesia tidak mengalihkan fungsinya sebagai bahan pengapuran. Hasil penelitian Suwarno 1993 menyatakan bahwa terak baja Jepang sama baiknya dengan terak baja Indonesia karena memiliki potensial untuk pengapuran.

4.3. Pengaruh Terak Baja dan Bahan Organik terhadap Bobot Daun Segar