BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam menjalani kehidupan, terkadang pasti terdapat situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak
puas yang bersifat subjektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan
apabila terjadi conflict of interest. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua. Apabila pihak kedua dapat
menanggapi dan memuaskan pihak pertama, selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, jika reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau
memiliki nilai-nilai yang berbeda, terjadilah apa yang dinamakan sengketa.
1
Konflik atau sengketa biasanya bahkan terjadi karena hal-hal kecil, antara lain sengketa yang terjadi antar tetangga karna tapak batas rumah, sengketa yang
terjadi di dalam perjanjian karena salah satu pihak melanggar kesepakatan yang telah dibuat, sengketa dalam keluarga karena memperebutkan harta warisan, dan
Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan atau pemahaman antara 2 dua pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah
hukum apabila pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan terhadap hak yang dilanggar, dan atau tuntutan terhadap
kewajiban atau tanggungjawab.
1
Suyud Margono, ADR Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum Bogor: Ghalia Indonesia, 2002 hlm.34
Universitas Sumatera Utara
sebagainya. Juga ada sengketa yang terjadi di dunia perbankan. Pada hakikatnya, tidak ada seorang pun yang menginginkan suatu konflik atau sengketa terjadi,
namun terkadang hal-hal yang menjadi penyebab munculnya atau timbulnya tidak dapat dielakkan.
Dalam persengketaan, perbedaan pendapat dan perdebatan yang berkepanjangan biasanya mengakibatkan kegagalan proses mencapai kesepakatan.
Keadaan seperti ini biasanya berakhir dengan putusnya jalur komunikasi yang sehat sehingga masing-masing pihak mencari jalan keluar tanpa memikirkan nasib
ataupun kepentingan pihak lainnya. Agar tercipta proses penyelesaian sengketa yang efektif, prasyarat yang harus dipenuhi adalah kedua belah pihak harus sama-
sama memperhatikan atau menjunjung tin ggi hak untuk mendengar dan hak untuk di dengar. Dengan prasyarat tersebut proses dialog dan pencarian titik temu
commond ground yang akan menjadi panggung proses penyelesaian sengketa baru dapat berjalan. Jika tanpa kesadaran tentang pentingnya langkah ini, proses
penyelesaian sengketa tidak berjalan dalam arti yang sebenarnya.
2
1. Kepentingan interest
Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi proses penyelesaian sengketa, yaitu :
2. Hak-hak rights, dan
3. Status kekuasaan power.
3
Seperti diketahui, terdapat dua macam solusi penyelesaian sengketa, yaitu litigasi dan non-litigasi. Litigasi merupakan cara penyelesaian sengketa tertua
2
Ibid
3
Ibid. Hlm.35
Universitas Sumatera Utara
dimana proses penyelesaiannya diserashkan melalui lembaga pengadilan. Kemudian berkembang pula proses penyelesaian sengketa secara non-litigasi
yakni alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui adanya kerjasama dan itikad baik antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan serta mengakhiri sengketa tersebut melalui bantuan pihak ketiga. Dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui peradilan mendapat kritik
yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun teoritisi hukum. Peran dan fungsi peradilan dianggap mengalami beban yang terlampau padat overloaded, lamban
dan buang waktu waste of time, biaya mahal very expensive dan kurang tanggap unresponsive terhadap kepentingan umum, atau dianggap terlalu
formalistik formalistic dan terlampau teknis technically.
4
Perkembangan penyelesaian sengketa melalui kerjasama kooperatif di luar pengadilan atau yang disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa yang
merupakan kebalikan penyelesaian sengketa melalui litigasi di dalam pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa menghasilkan
Dalam menggunakan penyelesaian sengketa secara litigasi dengan segala kelemahannya tersebut, para pihak yang bersengketa harus bersabar menunggu
karena terjadinya penumpukan perkara di pengadilan. Untuk mengatasi penumpukan tersebut dan agar para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan
sengketa secara cepat dengan waktu yang relatif singkat dengan biaya yang ringan pula, maka cara yang paling baik untuk ditempuh adalah melalui alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
4
Hukum dan Masyarakat, Bandung, L Angkasa, 1980, dalam skripsi Ririn Bidasari Tahun 2006 Fakultas Hukum USU, hlm.3
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, terhindar dari keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik.
5
1. Konsultasi pertukaran pikiran dengan pihak ketiga, dalam hal ini bisa
oleh konsultan hukum, untuk mendapatkan kesimpulan mengenai penyelesaian sengketa yang sedang terjadi
Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal dan biasa digunakan dalam menyelesaikan sengketa adalah:
2. Negosiasi penyelesaian melalui tawar-menawar oleh kedua belah pihak
yang bersengketa atau diwakili oleh masing-masing perwakilannya untuk mendapatkan titik temu dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi
3. Mediasi penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga yang netral yang
disebut mediator, dimana mediator tersebut tidak memiliki kewenangan mengambil putusan
4. Konsiliasi usaha mempertemukan keinginan-keinginan para pihak
sehingga tercapai persetujuan bersama 5.
Arbitrase penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga yang disebut arbiter, dimana arbiter dapat memberikan putusan
Salah satu metode penyelesaian sengketa secara non-litigasi yang lazim digunakan adalah arbitrase. Dasar pemeriksaan arbitrase yang dipakai di
Indonesia selama ini mengacu pada ketentuan hukum lama yakni Pasal 615
5
Fanny Dwi Lestari, 2013, Efektifitas Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Negeri, Fakultas Hukum USU, hlm.4
Universitas Sumatera Utara
sampai dengan Pasal 651 reglemen Acara Perdata Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847 Nomor 52 dan Pasal 377 Reglemen Indonesia
yang Diperbarui Het Herziene Indonesich Reglement, Staatsblad 1941 Nomor 44 serta Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura
Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927 Nomor 227, yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada
umumnya. Untuk itu, dibentuk Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
6
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 selain mengatur mengenai arbitrase, juga mengatur mengenai pranata hukum lainnya yang dapat digunakan
oleh dunia usaha untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya. Peraturan mengenai arbitrase dapat dijumpai pula dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968
tentang Persetujuan Atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warganegara Asing mengenai Penanaman Modal dan Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards. Dengan sendirinya
pelaksanaan ketentuan arbitrase sebagaimana yang tercantum dalam Undang- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut secara tegas langsung
mencabut ketiga jenis peraturan mengenai arbitrase sebelumnya, maka dengan jelas segala bentuk ketentuan yang menyangkut arbitrase, termasuk penerapan
putusan arbitrase tunduk kepada Undang-Undang yang baru ini.
6
Rachmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, Jakarta, PT Grasindo, 2002, hlm.ix
Universitas Sumatera Utara
Undang Nomor 5 Tahun 1968 dan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tersebut, berpedoman pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
7
1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian
Hal-hal yang dapat dikemukakan tentang arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah :
2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis
3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan
sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum. Dapat kita katakan bahwa pada dasarnya perjanjian arbitrase dapat
terwujud dalam bentuk suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa pactum de compromittendo atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa akta kompromis.
Untuk memenuhi syarat subjektif, selain harus dibuat oleh mereka yang demi hukum cakap bertindak dalam hukum, perjanjian arbitrase harus dibuat oleh
mereka yang demi hukum dianggap memiliki kewenangan untuk melakukan hal yang demikian. Selain syarat subjektif tersebut, terdapat pula syarat objektif yang
harus dipenuhi. Menurut ketentuan pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut,
objek perjanjian arbitrase atau dalam hal ini adalah sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa lainnya hanyalah sengketa di bidang
7
Ibid
Universitas Sumatera Utara
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang- undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak ada suatu
penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dalam ketentuan pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, namun jika kita lihat pada
penjelasan pasal 66 huruf b Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional, dimana dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang:
- Perniagaan
- Perbankan
- Keuangan
- Penanaman modal
- Industri
- Hak kekayaan intelektual.
8
Ini berarti bahwa makna ‘perdagangan’ sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat 1 seharusnya juga memiliki makna yang luas sebagaimana
dijabarkan dalam penjelasan pasal 66 huruf b Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan selanjutnya dalam pasal 5
ayat 2, yang memberikan perumusan negatif, dimana dikatakan bahwa sengketa- sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa
yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Ini berarti kita harus melihat kembali ketentuan mengenai perdamaian yang diatur
8
Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000 hlm. 47
Universitas Sumatera Utara
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Bab Ke-delapan belas Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864.
9
Pada prinsipnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal mempunyai keahlian yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang
arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang yang ahli bidang tertentu. Pranata arbitrase di Indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru dan
telah lama dikenal. Arbitrase adalah pranata alternatif penyelesaian sengketa terakhir dan final bagi para pihak. Sifat pribadi dari arbitrase memberikan
keuntungan-keuntungan melebihi proses ajudikisi di pengadilan. Arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan, otonomi, kerahasiaan kepada para pihak yang
bersengketa. Kebebasan yang dimaksud adalah para pihak dapat memilih arbiter yang
menurut mereka diyakini mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang relevan dengan masalah yang disengketakan, disamping jujur dan
adil. Para pihak juga dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
10
9
Ibid. hlm.48
10
Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2000 hlm.67
Seorang hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya dilarang ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya
objektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan akhir oleh arbiter atau majelis arbiter.
Universitas Sumatera Utara
Mengenai jumlah arbiter, bisa seorang saja yang merupakan arbiter tunggal, atau bisa beberapa orang yang merupakan majelis arbiter yang akan
bertugas menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
11
11
Rachmadi Usman, Op.Cit, hlm 34
Dari uraian diatas, arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mempermudah para pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan sengketanya tanpa mempermalukan para pihak karena bersifat rahasia, juga penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan secara cepat
tanpa menimbulkan penumpukan perkara di pengadilan. Arbitrase juga menguntungkan para pihak karena dilakukan dengan biaya yang ringan. Bagi
masyarakat yang memiliki kepentingan untuk menyelesaikan sengketa secara cepat dan efisien, maka arbitrase ini adalah jawaban untuk penyelesaian sengketa
mereka. Yang diharapkan adalah hal ini sungguh-sungguh dilaksanakan oleh para arbiter termasuk oleh lembaga yang menaungi pelaksanaan arbitrase di Indonesia
yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia, terutama Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota Medan.
Berdasarkan uraian latar belakang dan beberapa alasan diatas, maka mendorong penulis untuk mengadakan penelitian dengan judul “EFEKTIFITAS
PENERAPAN ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN Studi Kasus di Badan Arbitrase Nasional Indonesia Kota
Medan”
Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan Masalah