82
masuk kualifikasi baik ke atas jumlahnya lebih tinggi dari respoden dengan kriteria kadang-kadangl ke bawah. Hal ini berarti aspek proses pendidikan
kepangudiluhuran dapat diterima dan diikuti oleh siswa. Data ini tidak diidukung dengan hasil wawancara. Dari 5 responden
secara keseluruhan
pengalaman mereka
saat mengikuti
pelajaran kepangudiluhuran yaitu jenuh, mudah bosan ketika mendengar guru
menyampaikan materi, mengantuk, ada keterpaksaan dalam mengikuti pelajaran tersebut. Hal yang menyenangkan ketika dalam pelajaran tersebut guru
menyampaikan dalam bentuk film. Sugiyono 2006:12 menyebutkan tujuan umum evaluasi pembelajaran
adalah usaha untuk menghimpun bahan-bahan keterangan yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau taraf kemajuan yang dialami
oleh para peserta didik setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu, mengetahui tingkat efektivitas dari metode-metode
pembelajaran yang telah dipergunakan dalam proses pembelajaran selama jangka waktu tertentu serta menghimpun informasi yang dijadikan dasar untuk
mengetahui taraf kemajuan, taraf perkembangan, atau taraf pencapaian kegiatan belajar siswa. Sejalan dengan hal tersebut proses kepangudiluhuran dalam kelas
perlu mendapat perhatian agar pelajaran kepangudiluhuran semakin diterima oleh para siswa, bermanfaat dan berdaya guna. Para guru perlu mempersiapkan diri
agar dalam pendampingan terhadap siswasiswi, nilai-nilai kepangudiluhuran dapat tersampaikan dengan baik sehingga siswasiswi dapat mengikuti dan
menerima pelajaran kepangudiluhuran. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
C. Refleksi Kateketis
Pendidikan adalah sebuah proses pembelajaran yang pada hakekatnya merupakan sebuah upaya menuju pada penerangan budi. Hal ini berdasar pada
eksistensi manusia sebagai subyek berpikir dan agen moral yang mampu mencapai kebenaran ilmiah. Di dalam proses pembelajaran manusia menemukan
pengetahuan-pengetahuan baru melalui pengalaman hidup mereka dan belajar untuk menghayatinya, dengan demikian nilai-nilai tersebut dapat diterapkan
dalam hidup sehari-hari. Berkaitan dengan perihal di atas, maka pendidikan kepangudiluhuran juga
mempunyai cita-cita yang mulia yakni pembinaan pribadi manusia untuk mencapai tujuan akhirnya perilaku hubungan dengan Tuhan dan diri sendiri dan
sekaligus untuk kepentingan masyarakat perilaku hubungan dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat dan alam sekitarnya. Artinya dalam setiap pribadi manusia
khususnya siswa-siswi dibantu agar dapat menemukan dan menghayati nilai-nilai hidup seperti percaya kepada Tuhan, rendah hati, memiliki semangat juang,
bijaksana, berpengetahuan, saleh, solider, peduli dan sebagainya yang berguna bagi perkembangan hidupnya.
Maka dari itu, dalam proses pembelajaran pun selalu ditekankan untuk menempatkan murid sebagai subyek berpikir dan rekan dialog bersama guru
sebagai fasilitator dan motivator. Sebagai fasilitator, guru mengatur alur proses pembelajaran sehingga setiap murid dapat mengutarakan pandangan berdasarkan
pengalaman hidup dan pengetahuannya secara ilmiah. Sedangkan sebagai motivator, guru berperan “mengingatkan” murid tentang materi yang dipelajari,
84
mendorong mereka untuk mempelajari hal-hal baru, atau memberikan kepada mereka kesempatan mempelajari pengalaman yang relevan. Peranan guru adalah
menstimulasi murid untuk berpikir, bertanya, berargumentasi dan menemukan kemungkinan pemecahan masalah.
Seiring dengan perubahan paradigma pembelajaran abad ke-21, kita diingatkan bahwa proses belajar-mengajar bukanlah dua aktivitas yang terpisah,
melainkan dua aspek dari satu aktivitas yang sama. Hubungan antara pendidik- peserta didik merupakan satu kesatuan relasi dalam proses “mencintai
pengetahuan.” Sebuah pengetahuan mungkin diperoleh seorang „guru‟ dengan belajar dari seorang murid, sebagaimana seorang murid dapat belajar dari seorang
guru. Relasi saling belajar antara guru dan murid hendaknya berpedoman pada Yesus sebagai Sang Guru yang mengajarkan pengetahuan akan nilai-nilai hidup
kepada murid-murid-Nya. Yesus tidak hanya menjadi seorang Guru tetapi Ia juga menjadi fasilitator dan motivator yang handal bagi murid-murid-Nya. Menurut
Lalu 2007:94 dalam katekese fasilitator sangat diperlukan sebab ia dapat dapat menciptakan suasana yang komunikatif, membangkitkan gairah dan motivasi
kepada para peserta untuk berani berbicara mengungkapkan pengalaman iman mereka secara terbuka dengan demikian peserta dapat menemukan pengetahuan
baru bagi hidupnya. Tanpa seorang fasilitator maka proses katekese itu sendiri tidak dapat berjalan dengan baik dan tentunnya sulit untuk menemukan
pengetahuan-pengetahuan baru dari pengalaman-pengalaman peserta tersebut. Maka dari itu, pendidikan kepangudiluhuran hendaknya menempatkan guru
sebagai fasilitator dan sekaligus motivator yang mampu mengantar para murid PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
menemukan pengetahuan-pengetahuan baru guna membangkitkan “jiwa”
kreativitas, keaktifan, otonomi dan tanggung jawab dalam diri mereka untuk mencari dan mencintai pengetahuan kebijaksanaan itu sendiri. Dengan demikian
mereka semakin mampu mencapai kepenuhan hidup rohani dalam Krtistus. Aspek penghayatan merupakan muara dari pengetahuan yang telah
diperoleh dari setiap pengelaman-pengalaman baru. pengetahuan dan penghayatan, keduanya tak terpisahkan. Tanpa penghayatan akan nilai-nilai hidup
atau nilai-nilai iman Kristiani yang diperoleh melalui pengetahuan maka sia-sialah pengetahuan tersebut.
Sebagi makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi manusia memiliki pikiran, perasaan, akal budi dan kehendak. Melalui pikiran, perasaan dan kehendak
tersebut manusia dapat menjalin relasi dengan sesama dan Tuhan. Manusia yang mempunyai relasi dengan Tuhan biasanya dapat dideskripsikan atau digambarkan
secara lahiriah. Misalnya dengan berdoa, beribadat atau membaca kitab suci. Selain itu juga nampak dalam tindakan untuk berbuat baik, memperhatikan atau
peduli kepada sesama yang membutuhkan uluran tangan. Setiap orang dapat menjawab relasi dengan Tuhan melalui penghayatan akan nilai-nilai hidup.
Penghayatan nilai-nilai hidup merupakan motivasi, dorongan, landasan dari sikap seseorang yang melakukan sesuatu dalam relasinya dengan Tuhan. Maka
pengetahuan yang telah diperoleh tersebut tidak cukup hanya dihayati tetapi perlu juga diungkapkan, misalnya dengan berdoa, beribadat maupun membaca Kitab
Suci atau dapat diwujudkan dalam perbuatan konkret yang didasarkan pada nilai- nilai kebaikan atau nulai-nilai iman yang bersumber pada pribadi yang diimani
86
untuk menyatakan pikiran, perasaan, hati dan imannya. Memperhatikan orang yang membutuhkan, berbuat baik dengan mengasihi sesama dan peduli pada
keadaan orang lain khususnya sesama yang miskin, kecil, lemah, dan menderita merupakan wujud dari penghayatan akan nilai-nilai iman tersebut. Pendekatan
aspek analisa sosial dalam terang Injil Aspek Sosiologis dalam katekse dapat diterapkan dalam pendidikan kepangudiluhuran. Pendidikan kepangudiluhuran
perlu memprioritaskan nilai-nilai iman yang hendak dihayati oleh guru, karyawan maupun para siswa. Dengan demikian hidup mereka dapat menjadi berkat yang
berlimpah bagi sesamanya. Aspek proses dalam pendidikan kepangudiluhuran mencakup segala
macam hal yang digunakan berkaitan dengan pembelajaran seperti profesionalitas guru, metode, materi, tujuan, proses, sarana, situasi kelas, dan evaluasi. Semuanya
semata-mata demi menunjang pendidikan kepangudiluhuran yang bermutu. Dengan proses pendidikan kepangudiluhuran yang dimiliki diharapkan semakin
mampu membantu para siswa menemukan nilai-nilai iman yang hendak diwujudnyatakan dalam hidup sehari-hari. Dalam hal ini, proses pendidikan
kepangudiluhuran dapat meneladani sikap dan tindakan Yesus, sebagaimana Ia mengajarkan nilai-nilai Kerajaan Allah kepada orang-orang Yahudi. Selain Yesus
berkotbah, Ia juga mengajar dengan menggunakan perumpamaan, menjalin relasi dengan mereka yang dikucilkan, Ia tidak hanya mengajar akan nilai-nilai hidup
tetapi Ia sendiri juga memberikan contoh konkret melalui sikap dan perbuatannya. Sikap dan perbuatan yang dilakukan Yesus menginspirasi banyak orang untuk
melakukan hal yang sama. Proses pendidikan kepangudiluhuran pun hendaknya PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
demikian, mampu menginspirasi siswa-siswi sehingga mereka semakin mampu untuk mewujudkan dalam tindakan konkret apa yang telah mereka dapatkan
dalam proses pendidikan kepangudiluhuran. Proses pendidikan kepangudiluhuran pada intinya merupakan usaha
pendampingan dan pendalaman sepuluh keutamaan Bruder Bernardus Hoecken, untuk meningkatkan mutu hidup beriman siswa-siswi. Upaya tersebut diusahakan
dengan aneka metode, situasi, dan suasana yang dikembangkan agar mereka ditumbuhkan pengolahan yang mendalam atas imannya baik pengetahuan maupun
sikap hidupnya dalam beriman. Tumbuh dan berkembangnya iman orang tidak dapat dipengaruhi secara langsung. Dengan demikian, prinsip katekese lebih
sebagai usaha untuk menciptakan situasi dan suasana hidup beriman sedemikian rupa, sehingga membantu dan mendukung tumbuh-berkembangnya iman orang.
Proses tumbuh-berkembangnya hidup beriman ini menyiratkan bagaimana orang berkembang secara utuh, baik secara kognitif, afektif maupun perilaku dan
kehendaknya dalam menghayati apa yang diimaninya. Maka metode pembelajaran adalah jalan atau cara yang memudahkan pendidik dan peserta didik untuk tidak
sekedar mengobservasi menyimak, melihat, membaca, mendengar, berasosiasi, lalu menyimpulkan dan mengkomunikasikan pengetahuannya. Lebih dari itu,
metode pembelajaran adalah sebuah diskursus antara guru dan murid untuk bertanya tentang totalitas eksistensi diri, pengalaman dan realitas. Singkatnya,
sebuah metode pembelajaran tak lain adalah “jiwa” yang memampukan murid untuk tidak hanya mengetahui bahwa sesuatu itu ada melainkan terlebih mengapa
sesuatu itu ada sebagaimana adanya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Dalam proses katekese pun perlu diperhatikan dua unsur penting, yaitu segi isi dan suasana. Isi memuat proses edukatif dan konsientisasi menyangkut
visi dan pengetahuan iman, nilai dan pesan moral bagi peserta katekese. Isi katekese tidak dapat dilepaskan dari pengaruhnya atas suasana, baik faktor
perkembangan psikologis peserta katekese itu sendiri dan aspek-aspek eksternalnya, yaitu lingkungan, sarana, pendekatan dan metodenya. Maka
diperlukan suasana akomodatif yang mampu menghantar isi kepada peserta katekese.
Katekese hendaknya dipahami dalam keseluruhan eksistensinya. Katekese tidak boleh berhenti pada beberapa aspek tertentu dari dinamika iman, misalnya
pengetahuan tentang kebenaran yang diwahyukan atau persetujuan akan perilaku moral. Tetapi katekese perlu memperluas jangkauan sampai pada kepekatan sikap
iman sebagai jawaban pribadi dan menyeluruh atas panggilan hidup Kristiani, yakni mengarahkan diri kepada Kristus dan mengikuti-Nya dalam hidup praksis
sehari-hari. Hal ini sesuai dengan proses pendidikan kepangudiluhuran yang terjadi.
Hasil penelitian ditemukan bahwa proses yang terjadi kurang baik tetapi hasilnya baik. Ini tidak menutup kemungkinan bahwa ada aspek lain yakni kultur
keseharian siswa-siswi yang ikut mempengaruhinya. Maka dari itu, pendidikan nilai hendaknya tidak hanya terjadi di dalam ruang kelas formal, namun perlu
juga diupayakan di luar ruangan non formal, melalui live in di panti asuhan, di masyarakat, kunjungan orang sakit, kunjungan ke Lembaga Permasyarakatan
LP, retret, rekoleksi, bakti sosial. Melalui kegiatan non formal ini diharapkan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI