Hubungan antara inferioritas dan perilaku bullying remaja di SMP Pangudi Luhur St. Vincentius Sedayu.
vii
HUBUNGAN ANTARA INFERIORITAS DAN PERILAKU BULLYING REMAJA DI SMP PANGUDI LUHUR St. VINCENTIUS SEDAYU
Ariadne Noven Ginanjar Astuti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah ada hubungan antara inferioritas dan perilaku
bullying pada remaja awal di sekolah. Subjek penelitian ini berjumlah 130 subjek
remaja awal dengan rentang usia 13 hingga 16 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan skala inferioritas dan skala perilaku bullying. Validitas yang digunakan adalah validitas isi. Koefisien reliabilitas dari skala inferioritas adalah sebesar 0,930 dan koefisien reliabilitas dari skala perilaku bullying adalah sebesar 0,922. Untuk mengetahui hubungan antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah digunakan teknik korelasi Spearman Rho. Koefisien korelasi (r) antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah adalah sebesar -0,091 dengan nilai signifikansi (p) = 0,303 (p>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa kedua variabel tersebut tidak berkorelasi.
(2)
viii
RELATIONSHIP OF INFERIORITY AND BULLYING IN ADOLESCENT AT SMP PANGUDI LUHUR St. VINCENTIUS SEDAYU
Ariadne Noven Ginanjar Astuti
ABSTRACT
This study aims to find out the relationship of inferiority and bullying in adolescent at school. The hypothesis in this study was there was a relationship between inferiority and bullying in early adolescent at school. There are 130 subjects as the sample of the study, aged 13 until 16 years old, who are in early adolescent. In this study, used purposive sampling technique. Data collection used by spreading inferiority scale and bullying scale. This study used content validity. The coefficient reliability of inferiority scale was 0,930 and the coefficient reliability of bullying scale was 0,922. To find out the relationship of inferiority and bullying in adolescent at school, used Spearman Rho Correlation. Coefficient correlation (r) between inferiority and bullying in adolescent at school was -0,091 with significant level (p) = 0,303 (p>0,05). It means there was a negative relationship between inferiority and bullying in adolescent at school.
(3)
i
HUBUNGAN ANTARA INFERIORITAS DAN PERILAKU
BULLYING REMAJA DI SMP PANGUDI LUHUR
St.VINCENTIUS SEDAYU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Ariadne Noven Ginanjar Astuti
NIM : 109114036
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
(4)
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA INFERIORITAS DAN PERILAKU BULLYING REMAJA DI SMP PANGUDI LUHUR St. VINCENTIUS SEDAYU
Sylvia Carolina M Y M S.Psi., M.Si.
(5)
Skripri
}IUBTJNGA}I A}[TAR,A INT'ERIORITAS DAII PERII.AI(U BULLYTNG
REMAJA DI SMP PAI{GUDI LUIIUR St. VINCENTIUS SEDAYU
Oleh:
Ariadne Noven Ginanjar Astuti
NIM: 109114036
Dosen Penguii pada tanggalZi
Susunan Penguji 'anda Tangan
Dosen Dosen Dosen
Sanata I)harma
frrWn
Dr- Tarsisius Priyo Widiyanto, M. Si
ilt
ie
m*a
t.'
syarat
(6)
iv
MOTTO HIDUP
Hidup ini bagai air yang mengalir, terus mengalir sekalipun ada kerikil
bahkan batu yang besar menghalangi
(7)
v
Karya sederhana ini saya persembahkan spesial kepada Tuhan Yesus Kristus, Bapak (Petrus Boidi) dan Ibu (Barbara Budi Harsiwiyanti), kakak saya Irene Noven Setyaningtyas, serta adik saya tercinta Natalia Noven Kurniajati
(8)
(9)
vii
HUBUNGAN ANTARA INFERIORITAS DAN PERILAKU BULLYING REMAJA DI SEKOLAH
Ariadne Noven Ginanjar Astuti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah ada hubungan antara inferioritas dan perilaku
bullying pada remaja awal di sekolah. Subjek penelitian ini berjumlah 130 subjek
remaja awal dengan rentang usia 13 hingga 16 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan skala inferioritas dan skala perilaku bullying. Validitas yang digunakan adalah validitas isi. Koefisien reliabilitas dari skala inferioritas adalah sebesar 0,930 dan koefisien reliabilitas dari skala perilaku bullying adalah sebesar 0,922. Untuk mengetahui hubungan antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah digunakan teknik korelasi Spearman Rho. Koefisien korelasi (r) antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah adalah sebesar -0,091 dengan nilai signifikansi (p) = 0,303 (p>0,05), maka dapat disimpulkan bahwa kedua variabel tersebut tidak berkorelasi.
(10)
viii
RELATIONSHIP OF INFERIORITY AND BULLYING IN ADOLESCENT AT SCHOOL
Ariadne Noven Ginanjar Astuti
ABSTRACT
This study aims to find out the relationship of inferiority and bullying in adolescent at school. The hypothesis in this study was there was a relationship between inferiority and bullying in early adolescent at school. There are 130 subjects as the sample of the study, aged 13 until 16 years old, who are in early adolescent. In this study, used purposive sampling technique. Data collection used by spreading inferiority scale and bullying scale. This study used content validity. The coefficient reliability of inferiority scale was 0,930 and the coefficient reliability of bullying scale was 0,922. To find out the relationship of inferiority and bullying in adolescent at school, used Spearman Rho Correlation. Coefficient correlation (r) between inferiority and bullying in adolescent at school was -0,091 with significant level (p) = 0,303 (p>0,05). It means there was a negative relationship between inferiority and bullying in adolescent at school.
(11)
(12)
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya, proses penyusunan skripsi berjudul “Hubungan Antara Inferioritas
Dan Perilaku Bullying Di SMP Pangudi Luhur St. Vincentius Sedayu” dapat terselesaikan dengan baik. Proses penyusunan skripsi ini juga berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak T. Priyo Widiyanto selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sangat sabar, bersedia meluangkan waktu, tenaga serta pikiran untuk membimbing, memberikan saran, motivasi, dan dukungan selama proses penyusunan skripsi.
3. Para dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji hasil penelitian ini.
4. Ibu P. Henrietta P.D.A.D.S selaku dosen pembimbing akademis yang selama 4 tahun ini bersedia memberikan saran dan dukungan.
5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang dengan ketulusan hati dan kesabaran bersedia berbagi ilmu pengetahuan, mendidik, dan mananamkan nilai-nilai kehidupan selama bangku perkuliahan.
6. Seluruh staf Fakultas Psikologi : Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gie, Mas Muji, dan Mas Doni yang telah memberikan bantuan dan kenyamanan selama perkuliahan.
(13)
xi
7. Kepala SMP Pangudi Luhur St. Vincentius Sedayu yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengambil data penelitian.
8. Siswa dan siswi SMP Pangudi Luhur St. Vincentius Sedayu yang telah bersedia berpartisipasi dalam proses pengambilan data.
9. Bapak Petrus Boidi dan ibu Barbara Budi Harsiwiyanti yang senantiasa selalu memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang yang tiada batas sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
10.Kakakku tersayang Irene Noven Setyaningtyas dan adikku tersayang Natalia Noven Kurniajati yang bersedia membantu dan senantiasa memberikan motivasi ketika saya sedang mengalami keputusasaan.
11.Christoporus Satryo Aji yang dengan setia menunggu, mengantar pada saat bimbingan dan menemani selama mengerjakan penelitian, serta bersedia mendengarkan keluh kesah saya dalam menyelesaikan penelitian ini.
12.Teman-teman satu bimbingan skripsi terutama Ninda, Riska, Maya, Hoyi, Simbah, Yovidia, Yovi Koleta, Engger, Lucia Anindita, Tista, Daning, dan Puji yang telah dengan senang hati membantu penelitian ini dengan memberikan saran, membantu mengerjakan SPSS, dukungan moral, motivasi, dan penghiburan lewat candaan-candaan di setiap pertemuan bimbingan skripsi.
13.Teman-teman OMK St. Theresia Sedayu Jati, Krismas, Roni, Nindya, Tata, Dita, Vina, Elep, Rian, Dinus, Hasto, Rindo, dll yang selalu memberikan motivasi lewat ejekan-ejekan pedas dan bersedia merelakan saya untuk
(14)
xii
beberapa bulan tidak berkumpul bersama di gereja agar saya dapat menyelesaikan skripsi.
14.Serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini namun tidak dapat disebutkan satu-persatu. Atas bantuan dan dukungan anda semua saya ucapkan banyak terimakasih.
Penulis sungguh menyadari bahwa penelitian yang disusun oleh penulis ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis meminta saran dan kritik mengenai penelitian ini dengan senang hati. Penulis berharap penelitian ini dapat berguna bagi siapa saja yang membaca dan membutuhkannya.
Yogyakarta,
Penulis
(15)
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACK ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR SKEMA ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian... 8
1. Manfaat Teoritis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 8
(16)
xiv
A. Bullying ... 9
1. Pengertian Bullying ... 9
2. Bentuk Bullying ... 12
3. Faktor Penyebab Bullying ... 14
4. Dampak Bullying ... 16
B. Inferioritas ... 17
1. Pengertian Inferioritas ... 17
2. Faktor Penyebab Perasaan Inferioritas ... 18
3. Aspek Perasaan Inferior ... 20
C. Remaja ... 22
1. Pengertian Remaja ... 22
2. Aspek-aspek Perkembangan Remaja... 23
D. Hubungan Inferioritas dengan Perilaku Bullying ... 26
E. Hipotesis ... 28
BAB III METODE PENELITIAN ... 30
A. Jenis Penelitian ... 30
B. Identifikasi Variabel ... 30
C. Definisi Operasional ... 31
1. Perilaku Bullying ... 32
2. Inferioritas ... 32
D. Subjek Penelitian ... 33
E. Metode Pengumpulan Data ... 33
F. Validitas, Seleksi Item, dan Reliabilitas ... 38
1. Validitas Alat Tes ... 38
2. Seleksi Item ... 38
3. Reliabilitas ... 43
G. Metode Analisis Data ... 44
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45
(17)
xv
B. Deskripsi Subjek dan Data Penelitian ... 45
1. Deskripsi Subjek... 45
2. Deskripsi Data Penelitian ... 46
C. Uji Asumsi Data Penelitian... 47
1. Uji Normalitas ... 47
2. Uji Linearitas ... 48
3. Uji Hipotesis... 49
D. Pembahasan ... 53
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 56
A. Kesimpulan ... 56
B. Saran ... 56
1. Bagi Remaja ... 56
2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 57
DAFTAR PUSTAKA ... 58
(18)
xvi
DAFTAR TABEL
1. Tabel Pemberian Skor Item Skala Bullying 2. Tabel Pemberian Skor Item Skala Inferioritas
3. Tabel Spesifikasi Skala Perilaku Bullying (Sebelum Uji Coba) 4. Tabel Spesifikasi Skala Perilaku Inferioritas (Sebelum Uji Coba) 5. Tabel Spesifikasi Skala Perilaku Bullying (Setelah Uji Coba)
6. Tabel Spesifikasi Skala Perilaku Bullying (Setelah Diratakan pada Setiap Aspek)
7. Tabel Spesifikasi Skala Perilaku Inferioritas (Setelah Uji Coba)
8. Tabel Spesifikasi Skala Perilaku Inferioritas (Setelah Diratakan pada Setiap Aspek)
9. Tabel Data Usia Subjek Penelitian
10.Tabel Data Jenis Kelamin Subjek Penelitian 11.Tabel Deskripsi Data Penelitian
12.Tabel Hasil Uji Normalitas 13.Tabel Hasil Uji Linearitas
14.Tabel Hasil Analisis Sperman Rho
14.1. Tabel Analisis Inferioritas dan Perilaku Bullying Fisik 14.2. Tabel Analisis Inferioritas dan Perilaku Bullying Verbal 14.3. Tabel Analisis Inferioritas dan Perilaku Bullying Mental
(19)
xvii
DAFTAR SKEMA
(20)
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1 Skala Uji Coba
2. Lampiran 2 Analisis Data Uji Coba 3. Lampiran 3 Skala Penelitian
4. Lampiran 4 Analisis Data Penelitian A. Uji Normalitas
B. Uji Linearitas C. Uji Hipotesis
(21)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mengalami perubahan besar dalam perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial. Masa transisi ini memberikan peluang bagi para remaja untuk tumbuh dan berkembang secara fisik, kognitif maupun sosial, sehingga menjadi periode perkembangan yang amat berisiko (Papalia, 2008). Dengan berkembangnya fisik, kognitif dan sosial tersebut menimbulkan suatu kompetisi antar remaja dalam mendapatkan otonomi, harga diri, dan intimasi yang dapat memunculkan dorongan agresi pada remaja. Pada tahun 1908, Adler mengemukakan bahwa dorongan agresi adalah dorongan dasar dalam kehidupan seseorang (Semium, 2013). Hal ini diperkuat dengan masa remaja merupakan waktu meningkatnya perbedaan diantara remaja mayoritas dan minoritas yang akan menghadapkan mereka pada masalah besar yaitu persaingan (Offer & Schonert-Reichl, 1992).
Dewasa ini, tindak kekerasan di Indonesia semakin meningkat seiring dengan berkembangnya jaman dan kemajuan teknologi. Tindak kekerasan yang terjadi tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa, namun para remaja pun juga melakukannya. Tindak kekerasan yang dilakukan remaja juga dapat terjadi di sekolah. Bentuk tindakan kekerasan yang sering terjadi di sekolah adalah perilaku bullying. Belakangan ini, kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah semakin marak. Data yang tercatat dari World Vision
(22)
Indonesia, pada tahun 2008 terjadi 1.626 kasus bullying. Pada tahun 2009
meningkat hingga 1.891 kasus dan 891 kasus diantaranya merupakan kasus yang terjadi di lingkungan sekolah. Berdasarkan daftar rekapitulasi Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2010 tercatat 139 kasus bullying terjadi di lingkungan sekolah dan pada tahun 2012 tercatat 36 kasus. Setelah mengalami penurunan kasus, pada tahun 2013 hingga pada tahun 2014 kasus bullying kembali meningkat hingga 98%, berdasarkan data yang masuk KPAI. Kasus bullying tersebut sebagian besar adalah kasus yang terjadi di sekolah yang pada hakikatnya sekolah merupakan salah satu tempat yang aman dan mendukung terutama bagi para remaja untuk mengembangkan diri.
Bullying merupakan tindakan yang ditimbulkan akibat dari penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan secara fisik dan mental oleh seseorang atau suatu kelompok (Sejiwa, 2008). Dalam hal ini, korban
bullying merupakan pihak yang lemah secara fisik dan mental, serta tidak
memiliki kekuasaan sehingga korban merasa terintimidasi. Apabila korban tidak merasa terintimidasi, maka hal tersebut belum dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan bullying (Sejiwa, 2008). Menurut Rigby (dalam Anesty, 2009), bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan dalam aksi yang menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau sekelompok orang yang lebih kuat dan tidak bertanggung jawab secara berulang dan dilakukan dengan perasaan senang.
(23)
Bullying memiliki tiga bentuk, yaitu bullying fisik, non-fisik, dan
mental/ psikologis. Bullying non-fisik adalah tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang dapat dilihat dengan kasat mata. Contohnya seperti memukul, menolak, meludahi, hingga memalak.
Bullying non-fisik atau verbal adalah tindak kekerasan yang dilakukan
seseorang terhadap orang lain dan hanya dapat diketahui melalui indra pendengaran (Sejiwa, 2008). Contohnya seperti memaki, membentak, menuduh, dan meneriaki. Bullying mental/ psikologis adalah tindak kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dan tidak terlihat oleh kasat mata maupun melalui pendengaran. Contohnya adalah mendiamkan, mengucilkan, dan memandang rendah orang lain (Sejiwa, 2008).
Perilaku bullying memiliki dampak negatif yang dapat menghambat perkembangan anak di sekolah baik bagi korban maupun pelakunya. Dampak negatif bagi korban perilaku bullying tersebut diantaranya adalah anak akan sulit berkonsentrasi dalam belajar sehingga prestasi anak di sekolah akan menurun, anak akan menjadi gelisah, tidak bersemangat, menjadi rendah diri, sulit bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan cenderung hanya memiliki sedikit teman (Sejiwa, 2008). Kesulitan ketika berkonsentrasi di kelas tidak hanya dialami oleh korban bullying namun juga dialami oleh pelaku bullying (Sejiwa, 2008). Hoover et. al (dalam Beane, 2003), mengatakan bahwa perilaku bullying sedikit terjadi pada masa sekolah dasar, kemudian puncak terjadinya perilaku bullying adalah pada masa sekolah menengah, dan mengalami penurunan kembali pada masa sekolah menengah atas.
(24)
Remaja melakukan perilaku bullying sebagai salah satu bentuk untuk mencari perhatian dari orang lain, ingin menunjukkan eksistensi diri, dan ingin menutupi kekurangan diri (Sejiwa, 2008). Dalam teori psikologi individual yang dikemukakan oleh Alfred Adler, menutupi kekurangan diri merupakan salah satu bentuk perasaan inferioritas akibat dari aktualisasi diri yang tidak terpenuhi (Boeree, 2010). Dengan demikian, remaja terlalu mementingkan dirinya sendiri dan kemungkinan terlalu dikuasai oleh perasaan inferioritas (Boeree, 2010). Berdasarkan teori Alfred Adler, inferioritas terdiri dari dua macam yaitu inferioritas organik dan inferioritas psikologis. Inferioritas organik terjadi akibat adanya kekurangan secara fisik pada seseorang atau adanya kelebihan yang kurang wajar pada seseorang. Sedangkan, inferioritas psikologis terjadi akibat dari labeling yang dilakukan seseorang sehingga membuat individu tersebut membenci dirinya sendiri (Boeree, 2010).
Menurut teori psikologi individual, perasaan-perasaan inferioritas tersebut merupakan bentuk kompensasi atas ketidakberdayaan seseorang dan merasa dirinya kecil dan lemah secara fisik pada masa kanak-kanak (Semium, 2013). Perasaan inferioritas ini akan mendorong seseorang pada dorongan superioritas yang sangat kuat dan akan memotivasi individu untuk mencapai keunggulan dan dominansi sosial (Semium, 2013).
Dalam sebuah penelitian mengenai Adlerian Art Therapy untuk pencegahan agresi sosial pada siswa sekolah menengah, menyatakan bahwa agresi sosial yaitu sebagai bentuk dari perasaan inferior dan superior
(25)
merupakan salah satu penyebab terjadinya perilaku bullying. Adlerian Art
Therapy merupakan sebuah kombinasi teori Adler yaitu Psikologi Individual
dengan seni (Froeschle & Riney, 2008).
Ada pun faktor yang dapat menimbulkan perilaku bullying sebagai akibat dari perasaan inferioritas yaitu seperti dalam sebuah penelitian mengenai identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying, didapatkan hasil bahwa salah satu faktornya adalah adanya pengalaman masa lalu subjek yang pernah menjadi korban bullying oleh kakak kelasnya sehingga muncul keinginan untuk membalas dendam (Ardianti, 2009).
Di Indonesia, kasus inferioritas lebih banyak ditemukan pada anak remaja yang memiliki kekurangan fisik atau difabelitas. Salah satunya pada penelitian studi kasus yang dilakukan pada anak autis dalam perjuangannya menuju ke arah superioritas di Semarang. Hasil dari penelitian ini adalah perasaan inferior yang muncul akibat dari adanya labeling yang diberikan pada anak oleh orang-orang di lingkungannya sehingga membuat anak tersebut minder. Perasaan inferior yang dialami anak tersebut membuatnya berjuang ke arah superioritas agar mendapat penerimaan dari lingkungannya (Yuliana, 2013).
Ada pun kasus inferioritas juga terjadi pada remaja yang tidak difabel di Indonesia. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh pada ketiga remaja Panti Asuhan Jabal Bandung yang menghasilkan bahwa ketiga remaja tersebut memiliki karakteristik inferioritas. Karakteristik tersebut adalah remaja ragu dalam menyelesaikan tugas yang diberikan, takut gagal sebelum
(26)
melakukan tugas, diam dan menarik diri, mengalami kecemasan secara berlebihan, dan kebutuhan akan perhatian dan persetujuan. Terdapat beberapa faktor penting yang memunculkan perasaan inferioritas remaja, yaitu penerimaan diri individu (internal), orang tua, teman sebaya, dan lingkungan masyarakat sebagai faktor eksternal (Oktarina, 2013).
Seperti dalam teori Adler, kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa perasaan inferior yang dialami para remaja difabel maupun remaja normal mengarahkan mereka untuk berjuang meraih superioritas sebagai cara untuk mengganti perasaan inferior atau lemah. Hal ini sesuai dengan prinsip dari teori Adler bahwa kekuatan dinamis dibalik perilaku manusia adalah berjuang untuk meraih keberhasilan atau superioritas (Friedman & Schustack, 2008). Individu yang tidak sehat secara psikologis akan berjuang untuk superioritas pribadi, sedangkan individu yang sehat secara psikologis mencari keberhasilan untuk semua umat manusia. Dalam teori psikologi individual mengaitkan kecenderungan untuk melindungi hanya berkenaan dengan konstruksi gejala-gejala neurotik. Seperti, membuat alasan untuk menutupi kelemahannya, melakukan perilaku agresi yang diwujudkan dalam tindakan
bullying untuk melindungi harga diri yang rapuh, dan penarikan diri
(Friedman & Schustack, 2008).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa remaja yang sedang mengalami masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang sedang menghadapi perbedaan dan persaingan antara yang minoritas dan mayoritas akan memunculkan adanya dorongan agresi. Berdasarkan hasil wawancara
(27)
yang dilakukan peneliti dengan guru Bimbingan Konseling/ BK SMP Pangudi Luhur St. Vincentius Sedayu pada bulan Februari 2014, didapatkan bahwa sekolah menengah tersebut tercatat bahwa perilaku bullying menjadi kasus terbanyak yang dilakukan oleh para siswa dan siswinya di sekolah. Guru BK menyampaikan bahwa para siswa dan siswinya melakukan perilaku
bullying tersebut agar terlihat berkuasa, sebagian lainnya karena mereka ingin
balas dendam dahulu pernah menjadi korban bullying kakak kelas. Kasus
bullying di sekolah ini menjadi suatu keprihatinan karena mempengaruhi
prestasi akademik para siswa dan siswi di sekolah dan mempengaruhi perkembangan para muridnya menjadi pribadi yang kurang percaya diri. Berdasarkan kasus tersebut, maka peneliti tertarik untuk menjadikan sekolah tersebut sebagai tempat untuk melakukan penelitian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: apakah ada hubungan antara perasaan inferioritas pada remaja dengan munculnya perilaku bullying di sekolah?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perasaan inferioritas pada remaja terhadap munculnya perilaku bullying di sekolah.
(28)
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah kajian ilmu psikologi khususnya pada psikologi perkembangan remaja mengenai keterkaitan perasaan inferioritas pada remaja terhadap munculnya perilaku bullying di sekolah.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan baru pada orang tua dan pihak sekolah dalam mengenali penyebab terjadinya perilaku
bullying di sekolah. Selain itu, juga dapat menjadi suatu tindakan
(29)
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. BULLYING
1. Pengertian Bullying
Krahe (dalam Karina, 2013) menyebutkan bahwa bullying telah dikenal sebagai masalah sosial, dimana ditemukan di kalangan anak-anak sekolah. Tindak kekerasan bullying ini biasanya berawal dari kanak-kanak, yang mana pada masa anak-anak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan teman sebayanya (Karina, 2003).
Bullying berasal dari bahasa Inggris dari kata bull yang berarti
“banteng” yang suka menanduk. Pelaku bullying disebut bully (Sejiwa,
2008). Bullying merupakan tindakan yang ditimbulkan sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuatan secara fisik dan mental atau kekuasaan oleh seseorang atau suatu kelompok (Sejiwa, 2008). Bullying melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga yang lemah akan merasa tidak berdaya (Beane, 2003).
Olweus (2003) menyebutkan bahwa bullying merupakan tindakan negatif yang disadari untuk menyakiti, mengancam, atau menakut-nakuti orang lain dan terkadang menggunakan agresi. Bullying dilakukan berulang secara psikologis maupun fisik oleh seseorang atau suatu kelompok yang lebih kuat kepada seseorang yang lebih lemah (Rigby, 2007). Olweus (dalam Beane, 2003) menyebutkan bahwa perilaku
(30)
melecehkan teman yang dianggap berbeda, hingga menyerang secara verbal maupun secara fisik kepada teman yang lain. Bullying ini menjadi bahaya karena sifatnya yang terus menerus menyakiti atau menyelakai orang lain, dilakukan secara berulang, dan melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang (Beane, 2003).
Bullying terjadi ketika seseorang berada pada tempat yang
tersembunyi, yang mana tempat tersebut merupakan tempat yang kurang adanya pengamatan dari orang yang lebih dewasa seperti orang tua atau guru di sekolah dan para korban mengalami kesulitan untuk melarikan diri, seperti lapangan; toilet; di jalan saat berangkat atau pulang sekolah; dan bahkan dapat terjadi di dalam ruang kelas (Beane, 2003). Perilaku
bullying biasanya dilakukan pada saat awal pertama para siswa masuk
sekolah oleh para seniornya baik laki-laki maupun perempuan. Hoover et.
al (dalam Beane, 2003), mengatakan bahwa perilaku bullying sedikit
terjadi pada masa sekolah dasar, kemudian puncak terjadinya perilaku
bullying adalah pada masa sekolah menengah, dan mengalami penurunan
kembali pada masa sekolah menengah atas. Olweus (dalam Beane, 2003), mengemukakan bahwa bullying lebih banyak ditemukan di sekolah dibandingkan di tempat kerja.
Bullying sesungguhnya sebuah situasi yang tercipta ketika ketiga
aktor bullying berada di tempat yang sama. Ketiga aktor bullying ini adalah pelaku, korban, dan saksi bullying (Sejiwa, 2008).
(31)
Pelaku bullying adalah seseorang yang besar, kuat, dan memiliki
dominasi psikologis yang besar di kalangan teman sebayanya. Pelaku memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menjatuhkan atau menyakiti korbannya (Sejiwa, 2008). Kecenderungan anak-anak menjadi bully karena mereka pernah menjadi korban bullying, kemudian ingin menunjukkan eksistensi diri dan ingin diakui, serta karena ingin menutupi kekurangan diri dan mencari perhatian. Namun, ada pula yang melakukan
bullying karena iseng, ikut-ikutan teman yang lain, dan ingin terkenal.
Korban bullying merupakan orang yang tidak memiliki kekuatan untuk membela diri atau melawan. Ada beberapa ciri korban bullying, antara lain: memiliki fisik yang kecil dan lemah, berpenampilan lain atau berbeda dari orang-orang biasanya, mengalami kesulitan dalam bergaul, orang yang memiliki kepercayaan diri rendah, dan orang yang dianggap menyebalkan dan menantang untuk dibully.
Saksi bullying adalah orang-orang yang menjadi penonton atas perilaku bullying yang dilakukan. Biasanya para saksi ini aktif menyoraki dan mendukung perilaku bullying tersebut karena ikut-ikutan teman sekelompoknya, atau hanya diam dan acuh tak acuh atas perilaku bullying yang dilakukan karena takut akan menjadi korban selanjutnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan tindakan yang ditimbulkan sebagai akibat dari penyalahgunaan kekuatan secara fisik dan mental atau kekuasaan oleh seseorang atau suatu kelompok. Bullying melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak
(32)
seimbang, sehingga yang lemah akan merasa tidak berdaya. Seperti menendang, memukul, mengejek, menuduh, dan mengucilkan seseorang.
Bullying biasanya dilakukan di dalam lingkungan sekolah dan dilakukan
pada saat tidak adanya pengawasan orang yang lebih dewasa.
1. Bentuk Bullying
Ada beberapa bentuk bullying secara umum, yaitu (Sejiwa, 2008) : i. Bullying fisik
Perilaku bullying yang dapat dilihat dengan kasat mata, terjadi sentuhan fisik antara pelaku dan korban bullying. Contoh bullying fisik adalah menampar, menimpuk, menginjak kaki, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum, dan menolak. ii. Bullying verbal
Perilaku bullying yang dapat diketahui atau dideteksi yang dapat ditangkap oleh alat indera pendengaran. Contohya adalah memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, menuduh, memfitnah, dan menolak.
iii. Bullying mental/ psikologis
Perilaku bullying ini tidak dapat dilihat dengan kasat mata dan indera pendengaran kita tidak cukup awas untuk mendeteksinya. Contohnya adalah memandang sinis, mendiamkan, mengucilkan, mempermalukan, merendahkan orang lain, dan mencibir.
(33)
Beane (2003) mengklasifikasikan bullying ke dalam dua kategori yaitu direct bullying dan indirect bullying. Kedua kategori saling berhubungan dan dapat terjadi secara bersama-sama dalam satu waktu yang sama.
i. Direct bullying meliputi physical bullying dan verbal bullying. Physical bullying adalah perilaku menyakiti yang dilakukan pada fisik
yang terlihat, seperti memukul, menampar, mendorong, menendang, merampok dan merampas barang milik orang lain, bahkan melakukan pelecehan seksual. Sedangkan, verbal bullying adalah perilaku menyakiti orang lain yang dilakukan melalui kata-kata yang diucapkan atau secara verbal seperti, mengata-ngatai, menghina dan merendahkan orang lain, mengejek secara terus menerus, menghina rasis, mengeluarkan lelucon seks yang kurang sopan, mengancam, dan membicarakan keburukan orang lain.
ii. Indirect bullying adalah perilaku membully yang dilakukan secara
tidak langsung antara lain :
a. Menghancurkan relasi orang lain b. Merusak reputasi orang lain c. Membuat orang lain terlihat bodoh
d. Menyebarkan kejahatan dan sesuatu yang tidak benar e. Menolak seseorang masuk ke dalam kelompoknya
(34)
Perilaku bullying yang lainnya adalah :
a. Mengirim pesan singkat yang mengandung unsur negatif seperti mengancam atau meneror
b. Bahasa tubuh yang negatif, seperti ekspresi wajah tidak senang, dan mengacuhkan orang lain
c. Melotot dan menatap dengan tatapan kurang sopan sambil mengeluarkan kata-kata jorok
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa bullying memiliki beberapa bentuk. Bentuk bullying secara keseluruhan antara lain adalah bullying secara fisik, verbal, dan mental/ psikologis.
2. Faktor Penyebab Bullying
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku bullying, antara lain : temperamen dan kepribadian dengan kontrol diri yang rendah. Levianti (2008) menyebutkan ada 5 faktor mempengaruhi perilaku
bullying, yaitu :
i. Faktor individu
Setiap individu memiliki karakter yang berbeda-beda. Astuti (2002) menyebutkan ada dua karakter anak yang dapat memunculkan perilaku bullying, yaitu karakter anak yang selalu berperilaku agresif dan karakater anak yang pendendam atau iri hati. Anak yang demikian biasanya menjadi panutan teman kelompoknya dan sering membuat kekacauan atau selalu mencari
(35)
kesalahan orang lain, serta biasanya anak yang seperti ini adalah anak yang ingin populer. Sedangkan, karakater anak yang pendendam atau iri hati, biasanya sulit untuk diketahui perilakunya karena belum tentu anak tersebut anak yang agresif. Anak dengan karakter seperti ini biasanya akan menyimpan dendam pada korbannya.
ii. Faktor keluarga
Kecenderungan hubungan yang tidak harmonis pada lingkungan keluarga, komunikasi yang kurang baik antar anggota keluarga, dan penggunaan kekerasan atau hukuman fisik dirumah akan memunculkan perilaku agresif dan membuka peluang yang besar munculnya perilaku bullying di sekolah.
iii. Faktor lingkungan sekolah
Lingkungan sekolah yang kurang baik yang dapat memunculkan perilaku bullying adalah lingkungan sekolah yang masih terdapat senioritas, tradisi balas dendam yang tidak pernah terselesaikan, guru yang memberikan contoh kurang baik pada siswa, dan karakter dari setiap individunya.
iv. Faktor sosial ekonomi
Salah satu penyebab perilaku agresi dan bullying yang sangat tinggi adalah faktor ketidakmampuan sosial ekonomi keluarga. Dalam situasi keluarga yang seperti itu, anak akan merasa tertekan
(36)
dan dapat memicu anak untuk menjadi korban maupun pelaku
bullying.
v. Faktor media massa
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anderson (dalam Rigby, 2002) mengatakan bahwa kekerasan melalui media seperti televisi, film, video game dapat memicu terjadinya bullying karena dengan melalui tayangan yang ada di televisi, film, maupun video game secara tidak langsung akan ditiru oleh anak-anak. Hal ini dapat memicu terjadinya perilaku bullying secara cepat dan efeknya akan mudah terlihat.
3. Dampak Bullying
Perilaku bullying di sekolah dapat menyebabkan beberapa dampak untuk anak. Darney, Howcroft, Stroud (2013) menemukan beberapa dampak yang diakibatkan oleh perilaku bullying, antara lain adalah : anak merasa terasingkan atau terisolasi dari dunianya, dan dikeluarkan dari kelompok sepermainannya dan interaksi sosial lainnya. Anak akan mengalami kesulitan dalam bergaul dan mengalami kegagalan dalam membangun sebuah hubungan dengan orang lain karena merasa diri ditolak.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Awake (dalam Darney et al, 2013) juga menyebutkan bahwa anak yang menjadi korban bullying akan
(37)
mengalami kesulitan saat tidur, kecemasan, depresi, dan akan mengalami sakit kepala.
Milsom, Gallo (2006) menemukan dampak bullying di sekolah yaitu anak korban bullying akan mengalami depresi yang akan mengakibatkan masalah akademik bagi anak, masalah interpersonal, ketidakhadiran di sekolah karena kecemasan, mengalami kesendirian karena kehilangan atau dijauhi teman, keluar dari sekolah, hingga mengakibatkan bunuh diri.
A. INFERIORITAS
1. Pengertian Inferioritas
Adler dalam Boeree (2010), mengatakan bahwa perasaan inferioritas muncul karena individu mengalami ketidaksempurnaan dan tidak mampu mengaktualisasikan dirinya. Sedangkan, dalam Suryabrata (2010), inferioritas merupakan rasa diri kurang atau rasa rendah diri yang timbul karena perasaan kurang berharga atau kurang mampu dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut teori psikologi individual Adler, perasaan inferior muncul ketika seseorang tenggelam dalam rasa ketidakberdayaan atau mengalami suatu peristiwa yang membuat dirinya tidak mampu berbuat apa-apa (Friedman & Schustack, 2008). Perasaan inferior ini yang mendorong individu untuk berusaha memperjuangkan harga dirinya ke arah superior atau ke arah kesuksesan sebagai kompensasi atas perasaan inferiornya
(38)
(Feist & Feist, 2006). Ada pun orang yang dapat dikatakan memiliki sifat-sifat kompensatori sebagai berikut (Semium, 2013) : kelancangan sikap dan keberanian pada orang lain, sikap keras kepala, sikap suka memberontak, kurang sopan dan kurang menghargai orang lain, dan memiliki sikap menantang.
Dari sifat-sifat kompensatori tersebut dapat dilihat bahwa dalam memperjuangkan harga dirinya ke arah superior atau kesuksesan, ada dorongan agresi dalam diri individu (Feist & Feist, 2006). Dorongan agresi ini dapat menjadi stimulus negatif maupun stimulus postitif bagi individu. Dorongan agresi negatif akan menjadikan individu berperilaku maladaptif, sedangkan dorongan agresi positif akan menjadikan individu memiliki motivasi ke arah yang lebih baik yaitu kesuksesan dan tercapainya tujuan hidup yaitu berjuang ke arah superior (Feist & Feist, 2006).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perasaan inferior merupakan rasa rendah diri dan rasa kurang berharga yang muncul karena adanya perasaan ketidak berdayaan dan ketidak mampuan untuk mengaktualisasikan dirinya.
2. Faktor Penyebab Perasaan Inferior
Perasaan inferior yang dimiliki individu dapat disebabkan dari berbagai faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan perasaan inferior antara lain :
(39)
i. Ketidaksempurnaan organ atau fisik individu
Perasaan inferior yang disebabkan dari individu yang lahir secara tidak sempurna dan memiliki kecacatan fisik seperti badan yang kecil, lemah, dan tidak berdaya seperti badan yang terlalu gemuk atau terlalu kurus, ketidaksempurnaan organ tubuh seperti tidak memiliki tangan atau kaki, dan memiliki kelemahan dalam berpikir, dapat (Feist & Feist, 2006). Pada jaman sekarang, perasaan inferior lebih disebabkan oleh adanya ketidakpuasan fisik individu. Individu memiliki kelengkapan fisik namun masih kurang merasa puas dengan tubuh yang dimilikinya.
ii. Pengalaman masa kanak-kanak
Individu yang pada masa kanak-kanaknya memiliki pengalaman tidak menyenangkan seperti diejek oleh teman-temannya karena dirinya memiliki kekurangan fisik dan memiliki prestasi yang kurang, individu tersebut akan bertumbuh dengan perasaan inferior (Semium, 2013).
iii. Pola asuh orang tua yang memanjakan dan mengabaikan
Pola asuh orang tua yang memanjakan dapat menjadikan anak lemah dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan anak yang dimanjakan oleh orang tuanya segala keinginan dan kebutuhan akan dipenuhi. Selain itu, anak yang dimanjakan biasanya mendapatkan perlakukan overprotective dari kedua orang tuanya. Anak dengan pola asuh seperti itu dapat
(40)
menjadi anak yang kurang memiliki semangat, terlalu sensitif, tidak sabar, memiliki emosi yang buruk, dan menjadi pencemas. Sedangkan, anak dengan pola asuh orang tua yang mengabaikan akan cenderung bertindak menyakiti orang lain sebagai kompensasi karena dirinya kurang mendapatkan kasih sayang orang tua (Feist & Feist, 2006).
iv. Lingkungan sosial individu
Individu yang berada dalam lingkungan sosial yang kurang baik seperti individu yang tinggal dalam keluarga yang kurang harmonis, bertempat tinggal di kawasan pemukiman miskin dan rawan akan tindak kekerasan akan memiliki kecenderungan memiliki perasaan inferior (Huber, Widdifield & Johnson, 1989).
3. Aspek Perasaan Inferior
Menurut Semium (2003), orang dapat dikatakan merasa inferior apabila memiliki karakteristik takut-takut, dan merasa diri tidak aman; pemalu, dan memiliki kebutuhan akan dukungan dari orang lain; serta memiliki kecenderungan sifat submisif yaitu menganggap diri lebih rendah dari orang lain dan sering menghindari konflik, dan berpikiran bahwa diri tidak pantas bergaul karena diri aneh dan jelek sehingga cenderung menarik diri lingkungan.
Selain itu, menurut Kenchappanavar (2012) menyebutkan bahwa orang yang memiliki perasaan inferior adalah orang yang kebiasaan dan
(41)
perilakunya dianggap aneh atau tidak lazim. Hal ini disebabkan individu tersebut memiliki ketidaksempurnaan fisik sehingga orang lain memandang dirinya aneh dan tidak sama seperti orang-orang pada umumnya. Orang yang inferior biasanya memiliki harga diri rendah dan memiliki masalah sosial seperti kekerasan, agresi dan prestasi yang kurang di sekolah. Hal tersebut dapat membuat individu tersebut frustasi sebagai respon atas harga diri yang rendah. Frustasi ini dikarenakan oleh kebingungan yang dialami individu, merasa jengkel dan marah atas dirinya sendiri yang terlihat lemah. Frustasi ini dapat diwujudkan dengan berbagai bentuk agresi, menarik diri dari lingkungan, fiksasi, dan regresi.
Berdasarkan penjelasan, beberapa aspek tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga aspek yaitu perasaan tidak aman (insecure), aspek perasaan malu (shyness), dan aspek menarik diri dari lingkungan (withdrawal).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008), perasaan aman adalah perasaan bebas dari bahaya atau gangguan, terlindung, tidak mengandung resiko, tenteram, tidak merasa takut atau khawatir. Sebaliknya, perasaan tidak aman adalah adanya perasaan yang mengancam, berbahaya, tidak terlindung, mengandung risiko, dan sesuatu yang menakutkan atau mengkawatirkan. Rasa malu (shyness) didefinisikan sebagai kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial dan sebuah kegagalan untuk berpartisipasi secara tepat dalam situasi sosial (Madeline & Paul, 1992). Siswa yang merasa malu, enggan untuk
(42)
berinteraksi dengan orang lain, enggan mengajukan pertanyaan, dan memulai ide-ide baru. Anak yang pemalu biasanya sering diabaikan meskipun tidak sengaja oleh guru maupun temannya. Menarik diri adalah usaha untuk menghindari interaksi dengan lingkungan sosial atau orang lain, merasa kehilangan kedekatan dan tidak bisa berbagi pikiran dan perasaannya (Rawlins & Heacock, 1993).
B. REMAJA
1.
Pengertian RemajaSantrock (2007), mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional. Masa perkembangan transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang dialami remaja ini dimulai kira-kira pada usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir pada usia 18 dan 22 tahun. Masa remaja dibagi menjadi dua masa yaitu masa remaja awal (early adolescence) dan masa remaja akhir (late adolescence). Early adolescence adalah masa saat remaja duduk dibangku sekolah menengah pertama dan masa ini mencakup perubahan pubertas remaja. Sedangkan, late adolescence adalah masa remaja kira-kira pada usia 15 tahun ke atas dan mencakup minat pada karir, pacaran, dan eksploitasi identittas diri.
Definisi remaja yang didasarkan tujuan praktisnya, menurut WHO (World Health Organization) yang menyebutkan bahwa ada 3 kriteria
(43)
yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Remaja adalah suatu masa dimana individu mengalami perkembangan dari pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder hingga mencapai kematangan seksual. Remaja adalah individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi dewasa (Muangman 1980, dalam Sarwono).
Remaja menurut Hurlock (Gunarsa, 1981) adalah seseorang yang mengalami kematangan seksual dengan ditandai oleh gejala-gejala biologis. Sedangkan, menurut E. H. Erikson, remaja merupakan masa terbentuknya suatu perasaan baru mengenai identitas atau pembentukan ciri khas cara hidup yang berbeda dari yang lain dan sulit dikenali oleh orang lain.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan masa peralihan seseorang dari anak-anak menuju kedewasaan yang ditandai dengan adanya perubahan dan perkembangan fisik-motorik, kognitif, dan sosio-emosional.
2.Aspek-aspek Perkembangan Remaja
Dalam perubahan dan perkembangannya remaja memiliki beberapa aspek perkembangan (Santrock, 2003), diantaranya adalah:
1) Aspek fisik atau biologis (biological processes)
Aspek fisik atau biologis ini mencakup perubahan-perubahan fisik dan biologis individu. Perkembangan fisik remaja meliputi bertambahnya tinggi dan berat badan. Lonjakan pertumbuhan pada
(44)
anak perempuan terjadi pada usia 10,5 tahun, sedangkan lonjakan pertumbuhan pada anak laki-laki terjadi pada usia 12 tahun. Tampak bahwa lonjakan pertumbuhan anak perempuan terjadi 2 tahun lebih awal dari anak laki-laki. Lonjakan pertambahan berat badan terjadi bersamaan seiring dengan pertumbuhan tinggi badan. Masa remaja merupakan masa pubertas yang mana remaja mengalami kematangan seksual. Pada remaja laki-laki tampak pada bertambah panjangnya penis, membesarnya testis, tumbuh rambut di wajah maupun disekitar daerah kemaluan, dan mengalami ‘mimpi basah’. Pada wanita perubahan paling menonjol adalah perkembangan payudara yang membesar, tumbuh rambut kemaluan, dan mengalami menstruasi. Perkembangan seksual primer ini menjadikan remaja selalu memperhatikan tubuh mereka dan membangun citra dirinya sendiri bagaimana harus ditampilkan di depan orang lain. Pada saat pubertas, remaja lebih tidak puas dengan keadaan tubuhnya dibandingkan dengan akhir masa remaja.
2) Aspek kognitif (cognitive processes)
Aspek kognitif meliputi perubahan dalam cara berpikir, inteligensi dan bahasa individu. Menurut Piaget, perkembangan kognitif remaja adalah pemikiran operasional formal (formal operational stage) yang muncul pada usia 11 sampai 15 tahun. Pemikiran operasional formal ini bersifat lebih abstrak dan idealis. Semakin berkembangnya pemikiran abstrak dan idealis tersebut membuat remaja memiliki
(45)
pemikiran egosentrisme. Egosentrisme remaja menggambarkan meningkatnya kesadaran diri remaja dalam wujud sebuah keyakinan bahwa orang lain memiliki perhatian amat besar pada perasaan dan keunikan dirinya, seperti perhatian mereka pada orang-orang di sekitarnya.
Pemikiran egosentrisme remaja dibagi menjadi dua jenis, yaitu
imaginary audience (penonton imajiner) dan personal fable (dongeng
pribadi). Imaginary audience mencakup berbagai perilaku untuk mendapatkan perhatian, keinginan agar kehadirannya diperhatikan, disadari oleh orang lain dan menjadi pusat perhatian. Personal fable merupakan perasaan remaja yang merasa memiliki keunikan pribadi. Perasaan akan keunikan pribadi remaja ini membuat remaja merasa bahwa tidak ada satu orang pun yang mampu memahami perasaannya. 3) Aspek sosial-emosional (socioemotional processes)
Aspek sosial-emosional ini mencakup perubahan ketika melakukan hubungan antara individu dengan orang lain yang melibatkan emosi, kepribadian, dan peran dari konteks sosial dalam perkembangan. Seperti, membantah orang tua, berperilaku agresif terhadap teman sebaya, berkembangnya sifat asertif, dan orientasi peran gender dalam masyarakat.
Dapat disimpulkan, bahwa ketiga aspek tersebut yaitu fisik, kognitif, dan sosial-emosional saling berkaitan satu dengan yang lain. Aspek sosial membentuk aspek kognitif, aspek kognitif mengembangkan atau
(46)
menghambat aspek sosial, dan aspek fisik mempengaruhi aspek kognitif (Santrock, 2003).
C. HUBUNGAN PERASAAN INFERIORITAS DENGAN PERILAKU
BULLYING
Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang mengalami perubahan besar dalam perkembangan fisik, kognitif, dan sosioemosi. Masa transisi ini memberikan peluang bagi para remaja untuk tumbuh dan berkembang secara fisik, kognitif maupun sosial, sehingga menjadi periode perkembangan yang amat berisiko (Papalia, 2008). Dengan berkembangnya fisik, kognitif dan sosial tersebut menimbulkan suatu kompetisi antar remaja dalam mendapatkan otonomi, harga diri, dan intimasi yang dapat memunculkan dorongan agresi pada remaja. Dalam teori psikologi individual Alfred Adler dikemukakan bahwa dorongan agresi adalah dorongan dasar dalam kehidupan seseorang (Semium, 2013). Hal ini diperkuat dengan masa remaja merupakan waktu meningkatnya perbedaan diantara remaja mayoritas dan minoritas yang akan menghadapkan mereka pada masalah besar yaitu persaingan (Offer & Schonert-Reichl, 1992).
Dalam teori psikologi individual, semua manusia memiliki kelemahan fisik sejak lahir yang memicu perasaan inferior oleh karena sifat alami manusia untuk meraih sesuatu yang utuh atau lengkap (Feist & Feist, 2010). Manusia secara terus menerus didorong untuk mengatasi perasaan inferior sehingga membuat manusia berjuang meraih superioritas. Kelemahan fisik
(47)
individu ini dapat menimbulkan perasaan inferior dan bahkan tidak berarti sama sekali bagi individu tergantung pada perasaan subjektif tentang inferioritas, yang berfungsi sebagai dorongan menuju kesempurnaan atau keutuhan (Feist & Feist, 2010).
Beberapa orang menggunakan agresi untuk melindungi perasaan inferior yang berlebihan (inferiority complex), untuk melindungi harga diri mereka yang rapuh (Feist & Feist, 2010). Agresi merupakan reaksi seseorang untuk merasakan ketidakberdayaan/ inferioritas atau dapat dikatakan pula sebagai sebuah pemberontakan melawan ketidakmampuan untuk meraih atau menguasai sesuatu (Friedman & Schustack, 2008).
Beberapa orang mengganti perasaan inferior dengan bergerak menuju keadaan psikologis yang sehat dan gaya hidup yang bermanfaat. Namun, ada pula orang yang menanggapi perasaan inferior dengan melakukan kompensasi secara berlebihan dan termotivasi untuk menaklukkan diri dari orang lain atau menarik diri dari orang lain (Feist & Feist, 2010). Usaha untuk menaklukkan orang lain ini seiring dengan munculnya dorongan agresi individu. Bullying merupakan salah satu wujud agresi yang paling menggambarkan usaha individu untuk mengkompensasikan perasaan inferiornya dengan menyakiti, mengancam, atau menakut-nakuti orang lain (Rigby, 2007). Hal ini dilakukan agar korban bullying dapat merasakan lemah dan tidak berdaya, sama halnya dengan yang dirasakan oleh pelaku bullying sebelumnya. Perasaan inferior pelaku bullying ini yang mendorong individu untuk berusaha membuat orang lain atau korban bullying turut merasakan
(48)
perasaan inferior yang dialaminya, sehingga pelaku mendapatkan perasaan puas.
D. HIPOTESIS
Berdasarkan uraian landasan teoritik di atas maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan antara perasaan inferioritas dengan munculnya perilaku bullying.
(49)
Skema Hubungan Perasaan Inferior dengan Perilaku Bullying
Aspek Perkembangan Remaja baik fisik & biologis, kognitif, serta
sosioemosi
Perilaku bullying Keberhasilan mencapai
tujuan
Dorongan positif Dorongan agresi
Remaja memiliki motivasi untuk membuat
diri lebih baik
Remaja memiliki motivasi untuk menaklukkan orang
lain Remaja
mengkompensasikan secara positif
Remaja
mengkompensasikan secara berlebihan/ negatif Muncul perasaan inferior
(50)
30
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional. Penelitian kuantitatif korelasional adalah penelitian yang digunakan untuk mengukur hubungan antara dua variabel yang menunjukkan sifat sebab akibat (Susanti, 2010). Penelitian korelasional untuk mengetahui sejauh mana variasi dalam satu variabel berhubungan dengan variasi dalam variabel lain (Noor, 2012). Noor (2012), mengatakan bahwa penelitian korelasi bertujuan untuk menguji hipotesis, dengan cara mengukur sejumlah variabel dan menghitung koefisiensi korelasi antara variabel tersebut. Penelitian ini ingin mengetahui apakah ada hubungan antara inferioritas dengan munculnya perilaku bullying.
B. IDENTIFIKASI VARIABEL
Variabel penelitian merupakan faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti (Suryabrata, 2008). Variabel juga diartikan sebagai segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian. menyebutkan bahwa variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Dalam penelitian ini digunakan dua macam variabel yaitu variabel bebas (independen) dan variabel tergantung (dependen). Variabel bebas
(51)
(independen) adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya dan timbulnya variabel tergantung (Sugiyono, 2013). Sedangkan, variabel tergantung (dependen) adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2013).
Berdasarkan pengertian tersebut, maka variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Variabel bebas : Inferioritas 2. Variabel tergantung : Perilaku Bullying
C. DEFINISI OPERASIONAL
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati atau diobservasi (Suryabrata, 2008). Definisi operasional merupakan bagian yang mendefinisikan sebuah konsep/ variabel agar dapat diukur, dengan cara melihat pada dimensi (indikator) dari suatu konsep/ variabel (Noor, 2012). Penyusunan definisi operasional ini penting, karena definisi operasional akan mengarah pada alat pengambilan data yang cocok untuk digunakan (Suryabrata, 2008). Definisi operasional dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Perilaku Bullying
bullying merupakan tindakan yang ditimbulkan sebagai akibat dari
penyalahgunaan kekuatan secara fisik dan mental atau kekuasaan oleh seseorang atau suatu kelompok. Bullying melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga yang lemah akan merasa tidak
(52)
berdaya. Seperti menendang, memukul, mengejek, menuduh, dan mengucilkan seseorang. Bullying biasanya dilakukan di dalam lingkungan sekolah dan dilakukan pada saat tidak adanya pengawasan orang yang lebih dewasa. Semakin tinggi skor yang diperoleh, mengindikasikan tingkat bullying pada siswa yang semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh, mengindikasikan tingkat bullying pada siswa yang semakin rendah.
2. Inferioritas
Perasaan inferior merupakan rasa rendah diri dan rasa kurang berharga yang muncul karena adanya perasaan ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk mengaktualisasikan diri. Perasaan inferior tersebut dapat digambarkan dengan adanya perasaan tidak aman, sikap malu-malu, dan menarik diri dari lingkungan. Semakin tinggi skor inferioritas, mengindikasikan tingkat inferioritas yang tinggi pada siswa. Sebaliknya, semakin rendah skor inferioritas, mengindikasikan semakin rendah tingkat inferioritas pada siswa.
D. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian ini adalah semua remaja awal (early adolescence) yaitu remaja remaja yang masih duduk dibangku sekolah menengah pertama berusia 13-16 tahun. Subjek penelitian ditentukan dengan menggunakan metode
(53)
pertimbangan-pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2008). Subjek dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMP di sebuah sekolah swasta di Yogyakarta sebanyak 130 siswa yang terdiri dari kelas VII B 3 siswa, VIII B 27 siswa, IX A 33 siswa, IX B 32 siswa, dan IX C 35 siswa.
E. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode atau teknik pengumpulan data menurut Noor (2012) merupakan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan skala perilaku bullying dan skala inferioritas. Skala tersebut berisi pernyataan-pernyataan yang menggambarkan aspek dari perilaku
bullying dan inferioritas.
Jenis skala yang digunakan adalah skala Likert. Skala Likert merupakan metode penskalaan berupa pernyataan sikap dengan menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 2011). Skala ini digunakan untuk mengukur sikap dalam suatu penelitian (Sarwono, 2006). Skala perilaku bullying berisi pernyataan favorable yang terdapat 4 alternatif pilihan jawaban yaitu : Tidak Pernah (TP), Jarang (JR), Sering (SR), dan Selalu (SL). Sedangkan, untuk skala inferioritas berisi pernyataan favorable dan unfavorable. Skala inferioritas juga memiliki 4 alternatif pilihan jawaban yaitu : Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS). Alternatif jawaban tengah dalam kedua skala ini dihilangkan karena memiliki arti ganda bias dapat diartikan belum dapat memutuskan atau
(54)
memberi jawaban (menurut konsep aslinya). Selain itu, alternatif jawaban tengah menimbulkan kecenderungan menjawab ketengah (central tendency
effect) terutama bagi yang ragu-ragu atas arah kecenderungan jawabanya dan
juga jawaban tengah akan menghilangkan banyak data penelitian sehingga mengurangi informasi yang didapat (Hadi, 2002).
Skor yang digunakan pada kedua skala untuk setiap item favorable dan
unfavorable dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1
Pemberian Skor Item Skala
Plihan Jawaban Item Favorable
Tidak Pernah (TP) 1
Jarang (JR) 2
Sering (SR) 3
Selalu (SL) 4
Cara menjawab pernyataan pada skala perilaku bullying adalah dengan memberikan tanda silang (X) pada pilihan jawaban yang ada, yaitu: Tidak Pernah (TP), Jarang (JR), Sering (SR), dan Selalu (SL) sesuai dengan kondisi responden.
(55)
Tabel 2
Pemberian Skor Item Skala
Plihan Jawaban Item Favorable Item Unfavorable
Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4
Tidak Setuju (TS) 2 3
Setuju (S) 3 2
Sangat Setuju (SS) 4 1
Cara menjawab pernyataan pada skala inferioritas adalah dengan memberikan tanda silang (X) pada pilihan jawaban yang ada, yaitu: Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS) sesuai dengan kondisi responden.
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Skala Perilaku Bullying
Skala ini digunakan untuk mengukur perilaku bullying yang dilakukan remaja di sekolah. Dalam skala ini tersusun atas 3 aspek, yaitu:
i. Bullying Fisik; dengan indikator memukul, menginjak, dan
meludahi
ii. Bullying Verbal; dengan indikator menghina, meneriaki, dan
memfitnah
iii. Bullying Mental/ Psikologis; dengan indikator memandang sinis,
(56)
Tabel 3
Spesifikasi Skala Perilaku Bullying
(Sebelum Uji Coba)
No. Aspek Perilaku
Bullying
Nomor Item
Favorable
Jumlah
Item
Bobot
1. Bullying Fisik 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15
15 33,33%
2. Bullying Verbal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30
15 33,33%
3. Bullying Mental/
Psikologis
31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45
15 33,33%
Total 45 100%
2. Skala Inferioritas
Skala ini digunakan untuk mengukur tingkat inferioritas yang sedang dialami remaja di sekolah. Dalam skala ini tersusun atas 3 aspek, yaitu:
i. Perasaan Tidak Aman (Insecure); dengan indikator takut ii. Malu-malu (Shyness); dengan indikator rendah diri
iii. Menarik Diri dari Lingkungan (Withdrawal); dengan indikator merasa diri aneh atau tidak lazim
(57)
Tabel 4
Spesifikasi Skala Inferioritas
(Sebelum Uji Coba)
No. Aspek
Inferioritas Nomor Item Favorable Nomor Item Unfavorable Jumlah Item Bobot
1. Perasaan Tidak Aman
(Insecure)
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20
20 33,33%
2. Malu-malu (Shyness)
21, 22, 23, 24, 25, 26, 27,28, 29, 30
31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40
20 33,33%
3. Menarik Diri dari
Lingkungan (Withdrawal)
41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50
51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60
20 33,33%
(58)
F. Validitas, Seleksi Item, dan Reliabilitas
1. Validitas Alat Tes
Menurut Arikunto dalam Tukiran & Hidayati (2011), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Secara mendasar, validasi adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen yang digunakan mampu mengukur apa yang akan diukur (Tukiran & Hidayati, 2011).
Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Azwar (2003) menyebutkan bahwa validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengkajian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgment, yaitu dengan cara meminta dosen pembimbing untuk melihat apakah item-item dalam tes telah ditulis sesuai dengan aspek yang akan diukur.
2. Seleksi Item
Seleksi item untuk menguji karakteristik masing-masing item yang menjadi bagian dari skala yang digunakan. Item-item yang tidak memenuhi syarat kualitas tidak boleh dimasukkan menjadi bagian dari skala (Azwar, 2009). Item yang disusun yang tidak memiliki kualitas yang baik akan digugurkan atau direvisi terlebih dahulu sebelum melakukan uji coba item. Menurut Azwar (2009), pengujian keselarasan fungsi item dengan fungsi tes dilakukan dengan menggunakan komputasi koefisiensi korelasi antara distribusi skor pada setiap item dengan distribusi skor total
(59)
skala. Komputasi koefisien korelasi item akan menghasilkan koefisiensi korelasi item-total (rix) atau indeks daya beda item.
Syarat pemilihan item yang berkualitas berdasarkan koefisiensi korelasi item-total adalah (rix) ≥ 0,3. Item yang memiliki koefisiensi korelasi item-total (rix) ≥ 0,3 memiliki daya beda yang baik, sedangkan item yang memiliki koefisiensi korelasi item-total (rix) < 0,3 memiliki daya beda yang kurang baik.
Berdasarkan hasil uji coba skala penelitian ini pada 17 Oktober 2014 terhadap 50 subjek, prosedur seleksi item menggunakan koefisiensi korelasi Pearson pada program komputer SPSS for windows versi 16. Berikut adalah distribusi item skala setelah uji coba :
1) Skala Perilaku Bullying
Hasil pengujian terhadap 45 item skala perilaku bullying didapatkan 33 item lolos seleksi dan 12 item gugur. Item-item yang gugur dalam uji coba
ini adalah item nomor 1, 2, 3, 4, 5, 7, 9,11, 23, 31, 32, dan 38. Berikut adalah table distribusi skala perilaku bullying setelah uji coba :
Tabel 5
Spesifikasi Skala Perilaku Bullying
(Setelah Uji Coba)
No. Aspek Perilaku
Bullying
Nomor Item
Favorable
Jumlah
Item
Bobot
(60)
2. Bullying Verbal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30
14 42,42%
3. Bullying Mental/
Psikologis
33, 34, 35, 36, 37, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45
12 36,36%
Total 33 100%
Berdasarkan tabel distribusi skala perilaku bullying di atas, tampak bahwa jumlah item pada setiap aspek tidak rata. Oleh karena itu, beberapa item harus digugurkan kembali agar jumlah item pada setiap aspek menjadi rata. Pada aspek bullying fisik terdapat item yang dapat direvisi dengan menggunakan koefisien korelasi item-total ≥ 0,25. Dengan demikian item nomor 9 dapat digunakan. Berikut adalah tabel distribusi skala perilaku bullying setelah diratakan itemnya pada setiap aspek :
Tabel 6
Spesifikasi Skala Perilaku Bullying
(Setelah Diratakan Pada Setiap Aspek)
No. Aspek Perilaku
Bullying
Nomor Item
Favorable
Jumlah
Item
Bobot
1. Bullying Fisik 6, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15
(61)
2. Bullying Verbal 19, 20, 21, 22, 25, 28, 29, 30
8 33,33%
3. Bullying Mental/
Psikologis
33, 35, 36, 39, 41, 42, 44, 45
8 33,33%
Total 24 100%
2) Skala Inferioritas
Hasil uji coba terhadap 60 item skala inferioritas, terdapat 48 item yang lolos seleksi dan 12 item yang gugur. Item-item yang gugur adalah item nomor 1, 2, 14, 16, 17, 18, 19, 31, 32, 49, 51, dan 52. Berikut adalah tabel distribusi skala inferioritas setelah dilakukan uji coba :
Tabel 7
Spesifikasi Skala Inferioritas
(Setelah Uji Coba)
No. Aspek
Inferioritas Nomor Item Favorable Nomor Item Unfavorable Jumlah Item Bobot
1. Perasaan Tidak Aman
(Insecure)
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
11, 12, 13, 15, 20
13 27,08%
2. Malu-malu (Shyness)
21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30
33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40
(62)
3. Menarik Diri dari
Lingkungan (Withdrawal)
41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 50
53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60
17 35,41%
Total 48 100%
Berdasarkan tabel distribusi skala inferioritas tersebut, tampak bahwa jumlah item pada setiap aspek tidak rata. Oleh karena itu, beberapa item harus digugurkan kembali. agar jumlah item pada setiap aspek menjadi rata. Pada aspek perasaan tidak aman (insecure) pada pernyataan unfavorable terdapat beberapa item yang dapat direvisi dengan menggunakan koefisien korelasi item-total ≥ 0,25. Dengan demikian, item nomor 16 dan 19 dapat digunakan. Berikut adalah tabel distribusi skala inferioritas setelah diratakan :
Tabel 8
Spesifikasi Skala Inferioritas
(Setelah Diratakan Pada Setiap Aspek)
No. Aspek
Inferioritas Nomor Item Favorable Nomor Item Unfavorable Jumlah Item Bobot
1. Perasaan Tidak Aman
(Insecure)
3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10
11, 12, 13, 15, 16, 19, 20
15 33,33%
(63)
(Shyness) 27,28, 29, 30 38, 39, 40
3. Reliabilitas
Reliabilitas / keterandalan adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau diandalkan (Noor, 2012). Reliabilitas menunjukkan kemantapan / konsistensi hasil pengukuran. Noor (2012) juga mengatakan bahwa suatu alat ukur dikatakan mantap atau konsisten, apabila untuk mengukur sesuatu berulang kali, alat pengukur tersebut tetap menunjukkan hasil yang sama dan dalam kondisi yang sama.
Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan formula koefisiens Alpha Cronbach dari program SPSS for windows versi 16. Nilai reliabilitas skala dianggap reliabel apabila koefisien alpha lebih besar dari 0,90 karena berarti perbedaan atau variansi yang tampak pada skor tes mampu mencerminkan 90% dari variansi yang terjadi pada skor murni subjek, dan hanya 10% dari perbedaan skor yang tampak disebabkan oleh variansi eror pengukuran (Azwar, 2002).
3. Menarik Diri dari
Lingkungan (Withdrawal)
41, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 50
53, 54, 55, 56, 58, 59, 60
15 33,33%
(64)
Hasil dari uji reliabilitas yang didapat dari penelitian ini adalah koefisien reliabilitas dari skala perilaku bullying 0,922 dan koefisien reliabilitas dari skala inferioritas 0,930. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat reliabilitas pada penelitian ini termasuk dalam kategori tinggi.
G. Metode Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik inferensial yaitu teknik statistik yang digunakan untuk menganalisis data sampel dan hasilnya diberlakukan untuk populasi (Sugiyono, 2013). Statistik inferensial terdapat statistik parametris dan non parametris (Sugiyono, 2013). Penggunaan statistik parametris dan nonparametris tergantung pada asumsi dan jenis data yang akan dianalisis. Statistik parametris memerlukan data yang akan dianalisis berdistribusi normal. Sedangkan, statistik nonparametris data yang akan dianalisis tidak harus berdistribusi normal (Sugiyono, 2013). Teknik analisis statistik yang digunakan pada statistik parametrik adalah Pearson Product Moment Correlation, teknik analisis yang digunakan pada statistik nonparametrik adalah Spearman Ro (Sarwono, 2006). Dalam penelitian ini, pengujian digunakan untuk menguji hubungan antara dua variabel, yaitu variabel perilaku bullying dengan inferioritas pada remaja awal. Alat bantu yang digunakan untuk pengolahan data adalah program SPSS for windows versi 16.
(65)
45
BAB IV
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2014 terhadap 130 subjek remaja awal yang sedang duduk di bangku SMP di Yogyakarta. Kepada sebanyak 130 subjek dua jenis skala yaitu skala perilaku bullying dan skala inferioritas. Setiap subjek mendapatkan 1 eksemplar yang berisi 2 skala. Skala I adalah skala perilaku bullying dan skala II adalah skala inferioritas.
B.
Deskripsi Subjek dan Data Penelitian
1. Deskripsi Subjek Penelitian
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja awal usia 13-16 tahun, berstatus sebagai pelajar dan bertempat tinggal di Yogyakarta. Penelitian dilakukan di sebuah SMP swasta di Yogyakarta.
Tabel 9
Data Usia Subjek Penelitian
Usia Jumlah
12 tahun 3 orang
13 tahun 21 orang
14 tahun 74 orang
15 tahun 25 orang
16 tahun 7 orang
(66)
Tabel 10
Data Jenis Kelamin Subjek
Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki 74 orang
Perempuan 56 orang
Total 130 Orang
2. Deskripsi Data Penelitian
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada remaja awal, maka peneliti memperoleh hasil data penelitian yang dapat membandingkan data teoritik dan data empiris. Data tersebut digunakan untuk melihat hubungan inferioritas dan perilaku bullying dengan cara membandingkan mean teoritik dan mean empiris. Berikut hasil data penelitian yang diperoleh :
Tabel 11
Deskripsi Data Penelitian
Teoritik Empirik
Mean Mean
Bullying 24 96 65 24 40 27,92
Inferioritas 45 180 114,5 51 103 80,53
Berdasarkan hasil data penelitian tersebut didapat bahwa mean teoritik pada variabel bullying sebesar 65 dan mean empiris sebesar 27,92 (Mean Teoritik > Mean Empiris). Data ini menunjukkan bahwa
(67)
rata-rata subjek penelitian cenderung melakukan perilaku bullying yang relatif rendah. Pada variabel inferioritas diperoleh mean teoritik sebesar 114,5 dan mean empiris sebesar 80,53 (Mean Teoritik > Mean Empiris). Data ini menunjukkan bahwa rata-rata subjek penelitian cenderung memiliki inferioritas yang relatif rendah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rata-rata subjek penelitian cenderung tidak memiliki perasaan inferioritas, sehingga cenderung tidak melakukan perilaku
bullying.
C. Uji Asumsi Data Penelitian
Uji asumsi data penelitian dilakukan sebelum melakukan analisis data untuk menguji hipotesis dilakukan. Uji asumsi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan uji linearitas.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat apakah data penelitian berasal dari populasi yang sebarannya normal (Santoso, 2010). Uji normalitas diperlukan karena semua perhitungan statistik parametrik memiliki asumsi normalitas sebaran (Santoso, 2010). Kaidah yang digunakan untuk mengetahui normalitas sebaran adalah jika p > 0,05 sebaran dianggap normal atau jika p < 0,05 sebaran dianggap tidak normal. Dalam penelitian ini uji normalitas yang digunakan adalah one
sample Kolmogorov-Sminorv Test dari program computer SPSS for windows versi 16. Berikut adalah hasil dari uji normalitas :
(68)
Tabel 12
Hasil Uji Normalitas
Kolmogorov-Statistic df Sig.
Perilaku bullying 0,192 130 0,000
Inferioritas 0,054 130 0,851
Berdasarkan hasil uji normalitas di atas dapat disimpulkan bahwa uji normalitas menghasilkan probabilitas (p) data perilaku bullying pada remaja awal sebesar 0,000 atau nilainya kurang dari 0,05 (p < 0,05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel perilaku bullying berdistribusi tidak normal. Sedangkan, probabilitas (p) data inferioritas pada remaja awal sebesar 0,851 atau nilainya lebih dari 0,05 (p > 0,05). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa variabel inferioritas berdistribusi normal.
2. Uji Linearitas
Uji linearitas digunakan untuk mengetahui linearitas data, apakah dua variabel mempunyai hubungan yang linear atau tidak (Priyatno, 2014). Dalam penelitian ini, uji linearitas menggunakan program komputer SPSS for windows versi 16. Hasil uji linearitas menunjukkan nilai signifikansi pada Linearity sebesar 0,310 atau nilainya lebih dari 0,05.
(69)
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara variabel perilaku
bullying dan variabel inferioritas tidak terdapat hubungan yang linear.
Tabel 13
Hasil Uji Linearitas
F Sig.
Perilaku bullying (Combined) 1,164 0,270
Inferioritas Linearity 1,044 0,310
Deviation from Linearity 1,167 0,267
Scatter Plot
3. Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis penelitian, yaitu antara hubungan perilaku
bullying dan inferioritas pada remaja awal dianalisis dengan
(70)
variabel berdistribusi normal. Oleh karena hasil uji normalitas salah satu variabel yaitu variabel perilaku bullying tidak berdistribusi normal, maka uji hipotesis dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi Spearman
Rho. Hal ini dikarenakan analisis korelasi Spearman Rho dapat menguji
dua variabel yang tidak harus berdistribusi normal (Sujarweni & Endrayanto, 2012). Pengujian signifikansi hubungan kedua variabel dilakukan dengan cara membandingkan probability value (p) dengan tingkat signifikansi ( ). Jika nilai p < α, maka dapat disimpulkan bahwa
korelasi tersebut signifikan. Nilai α yang digunakan dalam pengujian ini adalah 0,05 (Santoso, 2010).
Tabel 14
Hasil Uji Hipotesis Spearman Rho
Correlations
Totalscore_PB total_if
Spearman's rho Totalscore_PB Correlation Coefficient 1.000 -.091
Sig. (2-tailed) . .303
N 130 130
total_if Correlation Coefficient -.091 1.000
Sig. (2-tailed) .303 .
N 130 130
Berdasarkan hasil analisis korelasi Spearman Rho dengan menggunakan program komputer SPSS for windows versi 16, diperoleh besarnya koefisien korelasi antara perilaku bullying dan inferioritas pada
(71)
remaja awal sebesar r = -0,091 dengan nilai signifikansi p = 0,303. Nilai
signifikansi p (0,303) > α (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa kedua
variabel tersebut tidak berkorelasi.
Tabel 14.1
Analisis Inferioritas dan Perilaku Bullying Fisik
Correlations
total_if tot_fisik
Spearman's rho total_if Correlation Coefficient 1.000 -.014
Sig. (2-tailed) . .875
N 130 126
tot_fisik Correlation Coefficient -.014 1.000
Sig. (2-tailed) .875 .
N 126 126
Berdasarkan hasil analisis tersebut, didapatkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara inferioritas dan perilaku bullying fisik pada remaja awal sebesar r= -0,014 dengan nilai signifikansi p= 0,875. Nilai
signifikansi p (0,875) > α (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa kedua
(72)
Tabel 14.2
Analisis Inferioritas dan Perilaku Bullying Verbal
Correlations
total_if tot_verbal
Spearman's rho total_if Correlation Coefficient 1.000 -.005
Sig. (2-tailed) . .952
N 130 126
tot_verbal Correlation Coefficient -.005 1.000
Sig. (2-tailed) .952 .
N 126 126
Berdasarkan hasil analisis antara variabel inferioritas dan perilaku
bullying verbal,diperoleh besarnya koefisien korelasi kedua variabel
sebesar r = -0,05 dengan nilai signifikansi p = 0,952. Nilai signifikansi p
(0,952) > α (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa variabel inferioritas
(73)
Tabel 14.3
Analisis Inferioritas dan Perilaku Bullying Mental
Correlations
total_if tot_mental
Spearman's rho total_if Correlation Coefficient 1.000 -.040
Sig. (2-tailed) . .654
N 130 126
tot_mental Correlation Coefficient -.040 1.000
Sig. (2-tailed) .654 .
N 126 126
Berdasarkan hasil analisis antara variabel inferioritas dan perilaku
bullying mental,diperoleh besarnya koefisien korelasi kedua variabel
sebesar r = -0,040 dengan nilai signifikansi p = 0,654. Nilai signifikansi
p (0,654) > α (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa variabel inferioritas
dan perilaku bullying mental tidak berkorelasi.
Hasil uji analisis tiga temuan tersebut disimpulkan bahwa inferioritas tidak berkorelasi secara signifikan dengan perilaku bullying baik fisik, verbal, maupun mental.
D. Pembahasan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara perilaku bullying dan inferioritas pada remaja awal. Berdasarkan hasil uji hipotesis, didapatkan koefisien korelasi (r) -0,091 dengan nilai signifikansi
(74)
(p) = 0,303 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hipotesis penelitian
ini yang berbunyi “ada hubungan antara inferioritas dan perilaku bullying pada remaja awal di sekolah” ditolak.
Tidak adanya hubungan ini dapat diduga karena kurang konsistennya pemaparan definisi operasional antara variabel inferioritas terhadap perilaku
bullying. Pada penelitian ini, pemaparan definisi inferioritas dan perilaku bullying kurang menggambarkan aspek yang akan diteliti. Variabel yang
didefinisikan secara tidak sama atau kurang konsisten pada kesimpulan tiap variabel dan pemaparan definisi operasional. Kejelasan konsep mengenai atribut yang hendak diukur memungkinkan perumusan indikator-indikator perilaku yang menunjukkan ada-tidaknya atribut yang bersangkutan (Aswar, 2009). Rumusan indikator perilaku berdasar dari operasionalisasi konsep teoritik mengenai komponen-komponen atribut yang bersangkutan menjadi rumusan yang terukur/ measurable (Azwar, 2009).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek penelitian mengisi skala perilaku bullying dengan skor terendah yaitu nol (0). Dengan demikian dapat diduga bahwa subjek dalam penelitian ini memang tidak melakukan perilaku bullying.
Asumsi yang melatarbelakangi penelitian ini yaitu remaja yang memiliki inferioritas yang tinggi maka akan cenderung melakukan perilaku bullying. Berdasarkan hasil uji mean teoritik dan mean empiris antara variabel inferioritas dan perilaku bullying menunjukkan bahwa tingkat inferioritas yang dialami remaja awal di sekolah tergolong rendah, serta kecenderungan
(1)
Hasil uji Linearitas
Interactive Graph
ANOVA Table Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Totals core_ PB * total_i f Between Groups
(Combined) 759.888 47 16.168 1.213 .220
Linearity 14.880 1 14.880 1.116 .294
Deviation from
Linearity 745.008 46 16.196 1.215 .219
Within Groups 1093.343 82 13.333
(2)
Hasil uji Korelasi
Nonparametric Correlations
Correlations
Totalscore_P
B total_if
Totalscore_PB Pearson
Correlation 1 -.090
Sig. (2-tailed) .311
N 130 130
total_if Pearson
Correlation -.090 1
Sig. (2-tailed) .311
N 130 130
Correlations
Totalscore_P
B total_if
Spearman's rho
Totalscore_PB Correlation
Coefficient 1.000 -.091
Sig. (2-tailed) . .303
N 130 130
total_if Correlation
Coefficient -.091 1.000
Sig. (2-tailed) .303 .
(3)
Hasil uji Normalitas
Explore
Case Processing Summary Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Totalscore_PB 130 100.0% 0 .0% 130 100.0%
total_if 130 100.0% 0 .0% 130 100.0%
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Totalscore_PB .192 130 .000 .858 130 .000
total_if .054 130 .200* .982 130 .079
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
(4)
(5)
(6)