10
BAB 2 TINJAUAN OBYEK PERANCANGAN
2.1. Tinjauan Umum Perancangan
2.1.1. Pengertian Judul
Proyek ini adalah Pusat Perfilman di Surabaya. Mengandung kata –
kata: pusat, perfilman, di, Surabaya. Yang artinya adalah :
Pusat yang berarti Poerwadarminto, 1976
Pokok pangkal atau yang menjadi pumpungan berbagai urusan, hal, dan sebagainya
Perfilman yang berarti Poerwadarminto, 1976
Dari kata dasar, film, yang berarti sebuah tontonan yang biasa disaksikan di tempat yang memiliki layar yang besar Bioskop,
jadi perfilman disini diartikan sebagai dunia film, segala sesuatu yang berhubungan dengan film.
di Surabaya yang berarti Poerwadarminto, 1976
Terletak pada sebuah nama salah satu kota yang terletak di Indonesia yang menjadi Ibukota Propinsi Jawa Timur terletak di
bagian timur laut. Jadi kesimpulannya, pengertian Pusat Perfilman di Surabaya ini
merupakan, : ”Suatu tempat yang digunakan untuk menonton pertunjukan film di bioskop, dimana bioskop tersebut
merupakan pusat bioskop dari Surabaya yang memiliki fasilitas tambahan yang terkait erat dengan dunia perfilman yang akan
memberi hiburan bagi masyarakat di kota Surabaya.”
2.1.2. Studi Literatur
Sejarah Perkembangan Film Tahun 1900 mulai hadir pertunjukan film bioskop di Batavia,
melalui peristiwa Pertoenjoekan Besar yang Pertama, di Manege, Tanah Abang, Kebonjae. Lima tahun sebelumnya, Robert Paul dari Inggris
11 dan Lumiere Bersaudara dari Prancis mendemonstrasikan proyektor
temuannya, hal ini menandai dimulainya sejarah sinematografi atau seni gambar bergerak atau film. Pada awal kehadiran film di Indonesia,
hanya kaum Eropa bisa menyaksikan. Baru menjelang 1920-an, kaum pribumi punya kesempatan menonton film.
Tahun 1929, film bicara pertama diputar, itupun film produk Amerika. Baru dua tahun kemudian, Indonesia mencoba pembuatan film bersuara
oleh para pembuat film di tanah air. Hebatnya, semua peralatan untuk pembuatan film bersuara dibikin sendiri di Bandung. Meski kualitasnya
belum terlalu bagus, namun mungkin Indonesia lah yang pertama memulai membuat film bersuara di Asia. Mulai tahun 1930 perfilman di
Indonesia berkembang dalam paham industri. Pembuatan film mulai mempertimbangkan keuntungan finansial pada era ini.
Seiring berkembangnya waktu dan pemahaman mengenai perfilman, di dunia kemajuan teknologi perfilman juga semakin berkembang. Pada
1953, system 3 dimensi dengan efek real yang tajam saat menonton, juga tata cahaya dan layar dengan ketajaman gambar yang maksimal,
ditemukan oleh studio film dunia, 20
th
Century Fox. Satu tahun kemudian, muncul system 70 mm dalam dua versi, yaitu Todd A0 dan
D150. sumber : www.google.com Sedangakan sejarah perkembangan bioskop di Surabaya, pertama kali
dicetuskan oleh seorang India berkebangsaan Inggris, Yosef. Dengan konsep layar tancap, ia memasang tenda dan proyektor di lapangan
Hoge Ban sekarang Tugu Pahlawan . Kemudian, setelah konsep tersebut semakin digemari masyrakat Surabaya, maka didirikanlah
bioskop permanen pertama bernama Oost Java yang berlokasi di alun – alun Contong sekarang bioskop King yang sekarang sudah tutup .
Kemudian, bioskop dengan peralatan yang lebih canggih muncul di lokasi Wijaya Shopping Center sekarang B.G Junction Mal pada
tahun 1988.
12 Persyaratan Pokok Proyek
Gedung-gedung bioskop di Surabaya dibagi menjadi beberapa golongan yang ditetapkan oleh PEMDA II bersama
GPBSI Golongan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia . Penerapannya dilihat dari beberapa segi, yaitu :
Keadaan gedung Letak gedung
Peralatan dan sarana keadaan lantai Penggolongan ini dibagi menjadi :
Gedung bioskop golongan AA Gedung bioskop golongan A
Gedung bioskop golongan B Gedung bioskop golongan C
Gedung bioskop golongan D
Untuk Pusat Perfilman di Surabaya ini, dipilih bioskop golongan AA, sesuai lingkup perancangan dan letak yang telah ditentukan ,
yakni di kota besar, seperti Surabaya. Syarat - syarat gedung bioskop AA :
o Lokasi - Mudah dicapai roda 4
- Terletak di Ibu kota Provinsi - Jalan beraspal dan lebar jalan cukup memadai
- Berada di tengah kota atau pinggiran kota - Lokasi harus bebas dari banjir
o Bangunan - Gedung merupakan bangunan baru tahun 1970
keatas - Tersedia pintu jalur masuk dan keluar yang
terpisah bagi penonoton - Dinding layar sesuai dengan ketentuan
13 perundangan yang berlaku
- Proyektor double, buatan tahun 1970 keatas dengan kulopit 75 amp
- Jalur lintas penonton berataskan karpet - Tempat duduk penonton dari spon dilapisi
plastik dapat dilipat stel sesuai kebutuhan kenikmatan penonton dengan jumlah disesuaikan
dengan ruang gedung bioskop -Tersedia tempat penjualan karcis loket pada
dekat jalur masuk dengan kondisi yang cukup memadai yang terpisah dengan kantor pengelola
-Tersedia ruang tunggu untuk penonton pengunjung sekurang - kurangnya cukup untuk
10 dari kapasitas gedung dengan dilengkapi kursi tempat duduk secukupnya
o Tempat Parkir - Tersedia halaman parkir kendaraan bermotor
roda empat sekurang - kurangnya 20 dan sepeda motor sekurang-kurangnya 30 - 50
dari kapasitas gedung o Fasilitas Pelayanan Umum
• Kantor Tersedia ruangan kantor untuk pengelola
dengan kondisi rapi dan memadai • Fasilitas Kebersihan
Tersedia tempat-tempat sampah, baik ruang kantor maupun ruang tunggu dalam jumlah
yang cukup • Kamar Kecil WC
- Untuk pria dan wanita terpisah. - Untuk pria dilengkapi dengan urinoir
14 dengan jumlah yang cukup
- Dinding porselin dan tegel traso serta dilengkapi dengan wastafel, cermin dan
keran air yang serasi
o Instalasi Teknik • Tenaga Listrik
Tersedia sumber daya listrik dengan daya yang cukup serta mempunyai sumber daya cadangan
generator pembangkit listrik tersendiri dengan peralatan yang cukup
• Air Bersih
Tersedia air bersih yang memenuhi syarat sesaai dengan peruntukannya berdasarkan ketentuan yang
berlaku.
• Sistem sirkulasi dan pengatur suhu udara Sistem sirkulasi udara dan pengaturan suhu
udara terdiri dari AC sentral Full AC • Sistem Pencegahan Kebakaran
- Tesedia peralatan pencegahan dan pemadam kebakaran berupa : alarm
dan tabung gas pemadam kebakaran dalam jumlah yang cukup
- Tersedia pintu darurat • Sistem Tata Suara
- Tersedia system tata suara sound system stereo dolby stereo
- Tersedia sound system khusus untuk ruang tunggu para pengunjung
penonton
15 Sedangkan ada beberapa standarisasi didalam ruang bioskop itu
sendiri, antara lain : o Tempat Duduk
Tempat duduk harus mempunyai jarak antara kursi depan minimal jaraknya 45 cm. Hal tersebut
berfungsi sebagai sirkulasi
Gambar 2.1. Jarak antar tempat duduk sumber : Ernest Neuferts data arsitek
o Lebar Layar Jarak layar bioskop dari dinding THX minimal
sebesar 50 - 120 cm tergantung besar teater dan system kedap suara , digantung kesistem pengait.
Setiap layar bioskop mempunyai ukuran yang berbeda tergantung dari jenis bioskop dan luasan
ruang bioskop itu sendiri
Gambar 2.2. Lebar layar bioskop sumber : Ernest Neuferts data arsitek
16 o Jarak Pandang Penonton
Pandangan penonton harus diperhatikan, karena hal tersebut menyangkut kenyamanan menonton.
Penonton yang duduknya paling dekat dengan layar; harus mempunyai sudut pandang ke layar bioskop
antara sebesar 25 - 30
°
.
Gambar 2.3. Jarak pandang penonton paling dekat dengan layar sumber : NEW METRIC Handbook, Patricia Tutt
Gambar 2.4. Pandangan penonton secara horizontal sumber : Ernest Neuferts data arsitek
17 Secara horizontal, penonoton pada deretan kursi yang
paling luar harus dalam lingup 30
°
dalam jangkauan layar. Hal tersebut merupakan batas kenyamanan
bagi penonton yang terletak paling luar atau paling pinggir.
o Sirkulasi Penonton Pada gedung bioskop pada umumnya mempunyai
sirkulasi menyebar. Hal tersebut dikarenakan jumlah dari ruang bioskop lebih dari 1 ruang` bioskop. Hal
tersebut membuat pola sirkulai yang ada yaitu menyebar.
o Reproduksi Bunyi Dalam ruang bioskop menggunankan suara 4 kanal,
yaitu kombinasi 3 pengeras suara belakang layar proyeksi dengan pelengkap pengeras suara disamping
dan dibelakang. Sedangkan untuk film 70 mm, digunakan 6 kanal magneton, pelengkap kombinasi
pengeras suara dibelakang layar proyeksi. o Bentuk Studio Theatre
Bentuk yang paling cocok yaitu bentuk kipas dengan adanya kemiringan lantai. Ukuran besar kecilnya
ruang teater selain tergantung dari kapasitas penonton, juga tergantung pada ukuran layar.
Gambar 2.5. Bentuk studio untuk pemutaran film 35mm sumber : NEW METRIC Handbook, Patricia Tutt
18 o Lighting
Pencahayaan suatu ruang bioskop, terbagi 2 fungsi yang berbeda, yaitu :
- Pencahayaan untuk pintu keluar darurat - Pencahayaan yang dibutuhkan sewaktu sebelum
pemutaran film diputar Jenis dan sumber cahaya untuk kebutuhan tersebut
berasal dari : - Cahaya yang terefleksikan dari pemutaran film
- Cahaya yang berasal dari lampu yang letaknya di plafond
Dalam gedung bioskop harus diperhatikan cahaya dan penghawaanya dimana setiap studio memiliki perbedaan sesuai
dengan kegiatan yang terjadi di ruangan itu.
Berikut ini adalah persyaratan kondisi mendengar yang baik dalam suatu gedung bioskop sumber : Doelle,1990 :
1. Kekerasan loudness yang cukup.
Dalam pengadaan kekerasan yang cukup terutama dalam auditorium ukuran sedang dan besar, terjadi karena energi
yang hilang pada perambatan gelombang bunyi dan karena penyerapan yang besar oleh penonton dan isi
ruang tempat duduk empuk, karpet, tirai dan lain-lain 2. Akustik
Ruang penonton yang berdekatan seharusnya dipisahkan dengan dinding pemisah kira-kira 85 db 18-2000 Hz.
Dalam ruang bioskop, sumber bunyi asli tidak ada, tetapi diproduksi dari rekaman bunyi film oleh pengeras suara.
Bunyi reproduksi yang didengar menggambarkan karakteristik akustik studio film dimana adegan diambil.
Kondisi mendengar yang tepat didapatkan dengan ukuran-ukuran akustik ruang sebagai berikut :
19 Bentuk lantai empat persegi panjang dengan lantai
horizontal harus dihindari. Denah lantai berbentuk kipas dan cukup dimiringkan akan paling cocok dengan
persyaratan untuk melihat dan kebutuhan akustik. Hal tersebut terkecuali pada bentukan denah Teater 4D,
karena pada teater tersebut menggunakan system yang berbeda pada system bioskop pada umumnya
Lantai penonton harus dimiringkan dengan curam pada bagian belakang untuk menyediakan pengadaan bunyi
langsung yang banyak Tempat duduk dengan banyak lapisan empuk harus
digunakan untuk mengimbangi pengaruh akustik ruang merusak karena jumlah penonton yang sangat banyak
berfluktuasi. 3. Ruang harus bebas dari cacat akustik seperti gema,
pemantulan yang
,
berkepanjangan, gaung, pemusatan bunyi, distorsi, bayangan bunyi dan resonansi ruang.
4. Pencahayaan dan Penghawaan sumber : Wijaya, 1989 Pencahayaan
Penggunaan pencahayaan buatan didalam gedung bioskop lebih menguntungkan dibandingkan penggunaan
pencahayaan alami karena lebih mudah diatur. Sistem pencahayaan bagi teater digunakan untuk :
o Pintu keluar terdapat mood ligthing yang digunakan
selama, sebelum dan sesudah pertunjukan. o
Pencahayaan pada saat istirahat o
Pencahayaan dengan intensitas yang cukup untuk pengumuman
20 Sumber dan jenis cahaya yang digunakan :
o Cahaya yang dipantulkan dari layar dengan intensitas
yang beragam tergantung dari jenis film o
Penerangan permukaan dinding dan langit-langit dengan lampu standart atau tabung yang dipasang pada
permukaan area yang akan diterangi o
Cahaya diproyeksikan pada dinding, langit-langit atau area penonton dari daerah tersembunyi
Semua cahaya yang dibutuhkan selama presentasi disediakan bagi barisan tempat duduk depan sampai dengan
tengah dari cahaya pantulan layar. Bagian tengah sampai dengan belakang diterangi oleh sumber cahaya yang lain,
yang ditempatkan sedemikian sehingga cahaya tidak dalam jarak pandang penononton.
Penghawaan Penghawaan yang diperlukan pada ruang bioskop yaitu
penghawaan secara buatan. Karena pada ruang bioskop harus tertutup rapat.
Pemahaman RT60 www.vokuz.com Setiap ruangan memiliki gema dengan karakteristik gema
yang berbeda satu dengan yang lain. Karakter gema di ruangan ditentukan atas tiga parameter yaitu: level gema, waktu gema
dan frekuensi gema. Untuk membuat ruang dengar dengan akustik yang baik adalah kita harus mampu menerapkan
komposisi akustik treatment yang tepat. Sehingga kita mendapatkan ruangan dengan level gema, waktu gema dan
frekuensi gema yang flat pada tiap tingkatan frekuensi. Ruangan dengan tingkat gema yang pas akan memberikan
nuansa ruang live musik yang baik apabila kita membangun ruang untuk musik, atau dialog yang jelas terdengar pada
beragam lokasi di ruang tersebut apabila tujuan kita
21 membangun ruang tersebut untuk keperluan seminar. Ada
beragam metode pengukuran waktu gema tetapi yang paling sering di gunakan adalah Reverberation Time 60dB yang lebih
dikenal dengan istilah RT 60. Definisi RT60 adalah waktu detik yang dibutuhkan untuk suara melemah sebanyak 60dB.
Untuk membuat ruangan dengan hasil akustik yang baik kita perlu menghitung:
1 Besaran gema RT60 rata – rata pada ruangan detik 2 Besaran gema RT60 pada frekuensi tertentu detik
Waktu gema yang ideal RT60 untuk ruang dengar dengan volume 10 meter kubik adalah 0.9 detik dan 500 meter kubik
adalah 1.4 detik. Jika angka RT60 ruang jauh lebih kecil dari angka patokan di atas kita akan merasakan ruangan yang
cenderung mati dead room atau jika angka RT60 ruang jauh di atas angka patokan di atas kita akan merasakan ruang yang
terlalu bergema. Misalnya ruangan yang dimiliki mempunyai ukuran 29 meter kubik maka ideal nya waktu gemanya RT60
adalah 1,15 detik. Tetapi jika ruangan tersebut memiliki waktu gema RT60 sebesar 1.7 detik maka ruangan tersebut
membutuhkan material serap suara. Atau sebaliknya jika pada ruangan tersebut memiliki waktu gema RT60 sebesar 0,7
detik maka ruangan tersebut dapat kita sebut sebagai dead room dimana pada ruang tersebut banyak terdapat material
serap suara. Berdasarkan list suara yang di dengar oleh audiens diatas
arsitek dan akustisi membagi fungsi ruang sebagai berikut: 1. Ruang konferensi: dialog
2. Cinema: dialog, noise dan musik 3. Theater: dialog dan musik
Dan berdasarkan list ruangan tersebut diatas, para akustisi dunia sepakat untuk membuat RT minimum dan maksimal
22 untuk masing – masing ruangan yang disebutkan diatas sebagai
berikut: 1. Ruang konferensi: 0.6 – 1.3 detik
2. Cinema: 0.6 – 1.2 detik 3. Theater: 1 – 1,8 detik
4. Ruang konser musik pop: 1.4 – 2 detik 5. Ruang konser orkestra: 1.6 – 3 detik
Dengan mengikuti list RT60 untuk masing – masing fungsi ruang dan di kombinasikan dengan perencanaan panel akustik
yang benar serta desain interior yang baik maka pemilik ruangan dapat memaksimalkan pengalaman audiens dalam
ruangan tersebut.
2.1.3. Studi Kasus