26
2. Proses Operasi Produksi a. Waktu Layanan lead time
b. Ketersediaan Obat c. Kinerja Penyuluhan
- Frekuensi Penyuluhan - Kehadiran sasaran penyuluhan
- Indeks Penilaian Pelanggan tentang Penyuluhan Puskesmas
Waktu Layanan: Perbandingan waktu layanan ideal normatif
15-30 menit dengan waktu layanan aktual. Ketersediaan Obat
Perbandingan antara ketersediaan obat normatif dan aktual
Frekuensi Penyuluhan Perbandingan antara frekuensi normatif 60
x penyuluhan per triwulan dengan kenyataannya
Kehadiran sasaran penyuluhan Perbandingan antara kehadiran sasaran
penyuluhan normatif 90 dengan kenyataannya.
Indeks Penilaian pelanggan tentang penyuluhan Puskesmas
Jenis data : Primer Sumber : Pelanggan Pasien
Pengukuran : Skala 1-5
3. Perspektif Keuangan
1. Efektifitas Biaya Subsidi Pelayanan Kesehatan per satu orang pelanggan
2. Kontribusi swadana per pelanggan Jenis Data : Sekunder
Sumber : Puskesmas Pengukuran:
Efektifitas Pembiayaan Rasio Jumlah Subsid i Jumlah Pelanggan .
Kontribusi Swadana per pelanggan Rasio Jumlah pelanggan dan Total
Pemasukan Swadana Mutu Kinerja
Perbandingan Efektifitas Pembiayaan dan Swadana pada ketiga Puskesmas.
4 Perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan
1. Kepuasan Pegawai a. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan
b. Penghargaan terhadap prestasi c. Lingkungansuasana kerja
d. Dukungan sarana kerja e. Insentif Pegawai
2. Kapabilitas Informasi a. Ketersediaan Informasi yang mendukung
pekerjaan pegawai b. Kecepatan arus informasi yang mendukung
pekerjaan pegawai c. Keakuratan informasi yang mendukung
pekerjaan pegawai Jenis data : Primer
Sumber : Responden Pegawai Puskesmas Pengukuran :
Indeks Kepuasan Pegawai pada skala 1 -5 Jenis data : Primer
Sumber : Responden Pegawai Puskesmas Pengukuran :
Indeks Kapabilitas Informasi pada skala 1-5
27
3. Kapabilitas Pegawai Dari Aspek General knowledge :
a. Pengetahuan ttg manajemen Puskesmas b. Pengetahuan thd kesesuaian 20 Upaya
Pokok Puskesmas saat ini c. Pengetahuan tentang Puskesmas Swadana
Dari Aspek Attitude d. Sikap thd perlunya pelatihan kualitas
layanan e. Ketertarikan thd pelatihan kualitas layanan
f. Sikap thd manfaat ISO Dari Aspek Skill
g. Kesesuian pengetahuan yang dimiliki dengan tugas yang dijalankan
h. Komitmen untuk komunikatif dengan Plg. i. Komitmen thd upaya mengetahui kep.plg
k. Ketertarikan thd tugas yg berhub. dengan keluhan pelanggan
l. Ketersediaan menangani tugas yang berhubungan dengan keluhan pelanggan
m. Memilih tugas ‘di belakang meja’ atau melayani pelanggan secara langsung
Jenis data : Primer Sumber : Responden Pegawai Puskesmas
Pengukuran : Indeks Kapabilitas Pegawai pada skala 1-5
Mutu Kinerja : Dihitung melalui nilai Konversi normatif
dan empiris
Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006
Selanjutnya, model pemberdayaan yang akan dibangun dalam disertasi ini didasarkan pada konsep dan metode SD. Berikut ini adalah batasan dan definisi dari
konsep-konsep tersebut. 1. Konsep Model
Dalam SD, fungsi model adalah untuk menjelaskan berbagai area yang diukur seperti keuangan, sumber daya manusia, pelanggan, dan sebagainya. Model
adalah representasi dari dunia nyata. Model dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, antara lain fisik, analog, digital komputer, dan matematikal.Maani
dan Cavana, 2000. Menurut Sterman 2000, setiap model adalah representasi dari suatu sistem, yakni kelompok dari elemen-elemen yang saling berhubungan
secara fungsional dan membentuk suatu keseluruhan yang kompleks. 2. System Dynamic SD
SD merupakan metode yang menjembatani konsep berpikir sistemik System Thinking ST yang digunakan sebagai cara berpikir dalam menganalisis kinerja
BSC Puskesmas. ST menurut Senge et al 1999 terdiri dari tahapan berpikir events apa fenomena itu, patterns pola-pola apa yang terdapat dalam
28 fenomena, structures bagaimana pola-pola tersebut saling berhubungan dan
saling mempengaruhi, dan mental models mengapa pola-pola fenomena tersebut saling berhub ungan dan saling mempengaruhi.
Selanjutnya, sebagai metode SD dilengkapi dengan ‘bahasa, notasi, dan simbol- simbol’ yang secara keseluruhan terdapat di dalam perangkat lunak komputer
yang disebut powersim. Berikut ini konsep-konsep penting dalam SD : a. Model Causal Loop Diagram CLD
CLD adalah suatu alat berupa model yang memperlihatkan pola hubungan kausal diantara satu set variabel-variabel yang dioperasikan dalam sistem.
Elemen dasar dalam CLD adalah ‘variabel- variabel’ dan ‘panah-panah’ yang menggambarkan hubungan variabel-variabel, baik hubungan searah tanda ‘s’
atau ‘+’ maupun berlawanan arah tanda ‘o’ atau ‘- ‘. Suatu variabel adalah suatu kondisi, situasi, tindakan, atau keputusan-keputusan yang dapat
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh variabel lainnya. Model CLD diciptakan dengan melalui proses yang panjang yang memadukan kerangka berpikir
secara teoritik dan aspek-aspek empirik Hubungan kausalitas dalam CLD menghasilkan dua macam umpan balik, yakni positif dan negatif
b. Umpan Balik Positif Reinforcing R Umpan balik positif menggambarkan pola kecenderungan hubungan yang
saling menguatkan seluruhnya + atau meluruhkan seluruhnya - . Makna positif atau negatif bukan berarti baik atau buruk, melainkan hanya
menggambarkan pola perubahan searah atau berlawanan arah. Contoh: Bila mutu layanan meningkat, maka kepuasan pelanggan juga meningkat, da n bila
kepuasan pelanggan meningkat, jumlah pasien akan bertambah, bertambahnya jumlah pasien akan meningkatkan penerimaan retribusi, bertambahnya
penerimaan akan meningkatkan mutu layanan. variabel mutu layanan akan mengawali dan menutup sebuah loop atau pola umpan balik
c. Umpan Balik Negatif Balancing B Menggambarkan pola hubungan yang bersifat melemahkan, karena salah satu
variabel negatif. Untuk menyeimbangkan sistem, maka variabel yang negatif biasanya diperhatikan dan dilakukan tindakan koreksi. Berdasarkan pengertian
29 tersebut, maka umpan balik B juga dikenal sebagai suatu sistem yang mencari
stabilitas dan kontrol terhadap keseimbangan yang diinginkan. Contoh: Penerimaan retribusi akan meningkatkan pelatihan pegawai +, sementara
peningkatan pelatihan akan mengurangi - penerimaan. Pesan yang dibawa dalam hubungan ini adalah, bahwa penerimaan harus dijaga sedemikian rupa
agar kebutuhan pelatihan terpenuhi dengan wajar. Berikut ini notasi dan simbol-simbol yang digunakan dalam CLD.
Tabel 3 Notasi dan Interpretasi Simbol-simbol CLD
SIMBOL INTERPRETASI
CONTOH
+ atau S S = Same Direction
X + Y Simbol kesamaan arah
Menunjukkan kesamaan arah pada hubungan sebab akibat antara
variable X dan Y +
Mutu Penjualan Jika mutu meningkat, maka
penjualan juga akan meningkat sebaliknya
- atau O O = Opposite Direction
X ¯ Y Simbol perbedaan arah
Menunjukkan Perbedaan arah pada hubungan sebab akibat antara
variable X dan Y -
Kematian Populas i Jika kematian meningkat, maka
populasi akan menurun.
B Balancing Umpan balik negative negative
feedback loop -
Kematian Populasi +
R Reinforcing Umpan balik positif positive
feedback loop dapat berupa peningkatan + atau penurunan -
+ Kelahiran Pp opulasi
+
Sumber : Sterman, 2000 : 139 d. Model Stock Flow Diagram SFD
Penggambaran hubungan kausalitas melalui model CLD dipandang belum mencukupi karena model tersebut tidak mampu memberikan gambaran
struktur bentuk sistem secara quantifiable atau berisi nilai- nilai variabel yang dapat dihitung. Karena itu digunakan SFD yang dapat menutup i
keterbatasan CLD tersebut. SFD digambarkan dalam notasi Stock-Flow yang merupakan konsep sentral dalam SD. Notasi ‘Stock’ menggambarkan sebuah
B
R
30 Simbol Stock
Simbol Flow
? Stock
? Flow
Simbol Stock dan Flow
? Stock
? Inflow
? Outflow
Gambar Struktur Umum SFD Inflow = penambahan stock
Outflow= pengurangan stock akumulasi atau inventory gudang suatu sistem berupa apa saja, seperti
misalnya informasi, keputusan-keputusan, SDM, pelanggan, dan sebagainya. Stock merupakan sumber terjadinya ketidakseimbangan dalam sistem, karena
jumlah dan akumulasinya selalu berubah dan perubahannya dipengaruhi oleh apa yang disebut sebagai ‘Flow’ atau aliran atau laju. Sebagai contoh, Stock
pegawai selalu berubah karena dipengaruhi oleh ‘laju’ atau ‘Flow’ jumlah pegawai yang masuk dan yang keluar yang terus bergerak naik-turun karena
pensiun, keluar, dan rekruitmen Sterman, 2000. Berikut ini diketengahkan notasi dan simbol-simbol SFD
Gambar 2 Notasi Diagram Stock Flow SFD Sumber : Stearman, 2000:193
Dalam gambar Stock-Flow, pada ujung-ujungnya digambarkan simbol
‘awan’ cloud yang melambangkan ‘ketidakterbatasan’ infinite dari suatu sistem. Kenyataannya dalam dunia nyata, sumber-sumber dalam sistem adalah
terbatas dan harus dibatasi, agar sistem mudah dikelola. Di dalam model hal ini juga diimplementasikan, seperti pernyataan Sterman, bahwa : “to keep
your models manageable, you must truncate these chains using sources and sinks, represented in stock-flow maps by ‘cloud’ “ . Karena itu dalam
? Pegawai
? Laju_Pgw_masuk
? Laju_Pgw_Keluar
? Perekrutan_Pgw
? Pensiun
Contoh : SFD Pega wai - Stock = Pegawai
- Inflow = Laju Pgw Masuk - Outflow = Laju Pgw Keluar
- Auxalery = Perekrutan Pgw - Auxalery = Pensiun
31 implementasi SFD, tidak semua variabel digambarkan dalam SFD, melainkan
hanya variabel- variabel yang diduga memiliki efek paling kuatlah yang dinotasikan dalam SFD.
e. Grafik Perilaku Behaviour Over Time Dalam faktanya, suatu sistem dibedakan melalui perilaku pada waktu yang
berbeda Behaviour Ov er Time BOT. Perbedaan perilaku sistem dalam SD digambarkan melalui grafik perilaku sistem menurut waktu Grafik BOT
yang berbeda-beda. Fungsi Grafik BOT adalah untuk membantu mengamati kecenderungan perilaku sistem dan membantu memilih perilaku yang terbaik
melalui simulasi dalam perangkat lunak powersim untuk menetapkan skenario -skenario dalam pengambilan keputusan organisasi. Menurut
Sterman 2000:108, t erdapat 6 enam bentuk dasar dari Grafik BOT, yakni : 1 exponential growth, 2 goal seeking, 3 S-shaped growth, 4 oscillation,
5 growth with overshoot, dan 6 overshoot and collapse. Dalam penelitian ini hanya diketengahkan 2 di antaranya yang lazim terjadi yakni perilaku
exponential growth dan goal seeking. Berikut ini adalah gambar dan penjelasannya.
Gambar 3 Grafik Perilaku dan Struktur System Sumber: Sterman, 2000 : 108
Penjelasan grafik perilaku sistem adalah sebagai berikut : 1. Grafik Exponential Growth
Perilaku Exponential growth terjadi karena adanya umpan balik positif positive feedback atau Reinforcing R. Sebagai contoh, kelahiran akan
meningkatkan populasi +, populasi akan meningkatkan kelahiran + jadi +
Time Time
1 Exponential Growth 2 Goal Seeking
Goal
32 x + = +, atau kematian mengurangi populasi -, populasi mengurangi
kematian -, jadi - x - = +. 2 Grafik Goal Seeking.
Perilaku goal seeking disebabkan terjadinya umpan balik negatif negative feedback atau BalancingB. Karena terjadinya umpan balik negatif yakni
kesenjangan antara kondisi yang aktual dengan yang dikehendaki, maka sistem bereaksi dengan melakukan tindakan koreksi hingga kondisi yang
dikehendaki tercapai. Dalam kasus ini peningkatan kinerja tidak bersifat linier namun dibatasi oleh tujuan goal yang dikehendaki atau telah ditetapkan.
Contoh, pada kepuasan pelanggan, gap yang terdapat antara kepuasan pelanggan yang diinginkan yakni pada skala 5 dengan kepuasan pelanggan
aktual, skala 3,2, memerlukan suatu tindakan koreksi yang dapat mendongkrak kepuasan pelanggan yang diinginkan skala 5. Jika tujuan
tersebut telah tercapai maka grafik perilaku tidak akan meningkat lagi melainkan mendatar.
f. Uji Sensitivitas Model Uji sensitivitas adalah untuk mengetahui respon model terhadap suatu
stimulus. Respon ditunjukkan dengan perubahan perilaku danatau kinerja model, sedangk an stimulus dilakukan dengan memberikanmengubah
perlakuan tertentu pada variabel model. Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel, dan hubungan antar variabel
dalam model, sedangkan hasil uji sensitivitas adalah dalam bentuk perubahan perilaku model yang dapat digunakan untuk menganalisis efek intervensi
terhadap model. Uji sensitivitas dilakukan melalui perangkat lunak powersim dalam komputer Muhammadi, dkk, 2001:361. Dalam penelitian ini, uji
sensitivitas menghasilkan variabel-variabel kinerja yang berperan sebagai pengungkit leverage model kinerja Puskesmas.
g. Skenario Pemberdayaan Fahey dan Randall 1998:4 mengartikan skenario sebagai sebuah deskripsi
naratif tentang proyeksi berbagai pilihan yang masuk akal dari bagian-bagian
33 spesifik suatu sistem, di masa yang akan datang. Skenario dilakukan setelah
variabel- variabel sensitif ditemukan. Untuk memberikan gambaran skenario yang sesuai dengan kondisi organisasi publik, maka selanjutnya dalam
disertasi ini skenario akan disusun berdasarkan pada model kuadran Star Star, dalam Ringland, 2002:33. Kuadran Star terdiri dari 4 empat kuadran
yang didasarkan pada kombinasi faktor- faktor kondisional seperti kondisi kepastian dan ketidakpastian certainty-uncertainty, serta kondisi di mana
kontrol dan hirarkhi begitu ketat dengan kondisi di mana jaringan pemberdayaan lebih memungkinkan untuk dilakukan common-control
hierarkhy- empowered networks. Variabel-variabel sensitif yang ditemukan selanjutnya diletakkan di kuadran yang sesuai berdasarkan latar belakang
kondisi organisasi. Kuadran C adalah kuadran prioritas karena terdiri dari kombinasi kondisi organisasi yang dipandang lebih fleksibel bagi upaya
pemberdayaan. Prioritas kedua adalah kuadran B, dan ketiga adalah D, sedangkan kuadran A dipandang sebagai kuadran yang memiliki kombinasi
kondisi organisasi paling berat dalam upaya pemberdayaan. Berikut ini adalah gambar dari kuadran Star.
Gambar 4 Diagram Skenario Model Star
Sumber: Diadopsi dari Skenario Model Star, 2002
UNCERTAINTY
RELATIVE CERTAINTY
PREDICTABILITY EMPOWERED
NETWORKS COMMON -
CONTROL HIERARKHY
C D
B A
34 h. Simulasi Model
Setelah variabel-variabel sensitif ditempatkan pada skenario model Star, maka selanjutnya simulasi variabel- variabel dapat dilakukan secara efektif
dengan memprioritaskan variabel- variabel pada kuadran tertentu. Simulasi model merupakan penambahan atau pengurangan 10 hingga 20
dari nilai- nilai variabel sensitif untuk melihat pola perubahan sistem. Tidak ada batasan berapa kali simulasi harus dilakukan, yang terpenting adalah pada
simulasi mana ditemukan perubahan yang paling signifikan yang dapat mempengaruhi bekerjanya sistem. Hasil simulasi berguna untuk menentukan
pengaruh variabel tertentu terhadap arah pemberdayaan Puskesmas. Simulasi model dapat diamati melalui perubahan tabel nilai variabel serta grafik
perilaku variabel menurut waktu. i. Variabel ‘Base Case’
Yakni variabel yang dipilih atau ditetapkan sebagai variabel yang akan diuji melalui simulasi oleh varaiabel- variabel lain dalam sistem. Penetapan
variabel ‘base case’ d idasarkan pada pertimbangan: 1 bahwa variabel tersebut memiliki kompleksitas dinamika yang tinggi mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh sebagian besar variabel- variabel dalam sistem. 2 variabel tersebut menunjukkan kinerja yang cenderung lemah berdasarkan analisis
kinerja yang telah dilakukan sebelumnya. j. Variabel Sensitif
Yakni variabel-variabel yang dalam uji sensitivitas melalui komputer, diketahui memiliki nilai sensitivitas yang kuat terhadap variabel base case.
35
35
TINJAUAN PUSTAKA
Esensi dan PentingnyaPelayanan Publik
Esensi dan pentingnya pelayanan publik dapat dipahami melalui konsep sektor publik. Bapak ekonomi klasik Adam Smith 1776 melalui pekerjaan monumental dalam
bukunya yang sangat dikenal “The Wealth of Nations” mengetengahkan 3 tiga peran dasar negara, yakni: Pertama, melindungi rakyat dari segala bentuk penjajahan dan
penindasan bangsa lain. Manifestasi tugas ini nampak pada kekuatan militer yang diciptakan oleh negara.
Kedua, melindungi masyarakat dari aspek hukum dan ketidakadilan, wujud dari tugas ini nampak pada diciptakannya berbagai peraturan dan perangkat lembaga
peradilan dan hukum untuk melindungi rakyat dari ketidakadilan. Ketiga, menegakkan serta memelihara lembaga - lembaga publik untuk melakukan
tugas-tugas perlindungan terhadap rakyat. Bentuk aktivitasnya adalah berupa pelayanan publik. Aronson, 1985:14
Tiga peran dasar Negara tersebut kemudian diasumsikan sebagai pembatas antara apa yang har us dilakukan oleh negara dan pasar. Dikotomi tersebut diperkuat Smith
dengan mengandalkan apa yang disebut sebagai ‘the invisible hand’ ‘tangan yang tidak terlihat’, atau mekanisme ‘pasar bebas’ yang diperkirakan mampu mengatur pemerataan
income dalam sistem perekonomian negara, sehingga negara tidak perlu turut campur tangan di dalamnya. Paradigma ini banyak dianut oleh Negara-negara di Eropa barat
sekitar abad 18 an. Sejarah kemudian mencatat, bahwa kemungkinan besar sektor publik tidak akan
berkembang sepesat seperti sekarang ini jika pasar berhasil menciptakan distribusi income secara merata pada masyarakat, sebagaimana prediksi Smith sebelumnya.
Kenyataannya hingga abad 19-an, pasar bebas tidak bekerja sebagaimana diramalkan, terjadi kegaga lan pasar atau market failure yang mencakup: Pertama, transaksi yang
dilakukan oleh sektor swasta pada kenyataannya gagal menyediakan sejumlah barang- jasa yang diperlukan bagi hajat hidup masyarakat. Kedua, kegagalan dalam menciptakan
pemerataan penghasilan bagi sebagian besar masyarakat, karena sebagian masyakat tidak
36 memiliki sarana produksi, seperti modal, sumberdaya manusia, sumberdaya alam,
tehnologi, daya beli, dan berbagai sarana lainnya untuk akses ke pasar. Ketiga, bahwa kedua kegagalan tersebut membawa implikasi kegagalan pasar dalam menciptakan
tingkat stabilitas pendapatan nasional dan lapangan kerja. Aronson, 1985: 19 . Kondisi tersebut kemudian mengundang berbagai kritikan terhadap aliran
ekonomi klasik, dan memicu munculnya aliran baru yakni teori ekonomi neo-klasik yang dipelopori oleh seorang ahli ekonomi Inggris, Keynes 1936 dengan anjurannya yang
bertolak belakang dengan teori ekonomi klasik, yakni agar negara berperan aktif dalam mengontrol dan mengatur sistem perekonomian negara agar tercipta pemerataan
kesejahteraan bagi rakyat. Teori Neo-klasik mengajarkan konsep ‘social philanthropy’ yang kemudian dikembangkan sebagai bentuk perbaikan dan pertanggungjawaban peran
negara kepada warga negaranya serta untuk memecahkan masalah- masalah sosial yang selama ini tidak mampu ditangani oleh sektor privat.
Sektor publik memiliki karakteristik dasar yang mudah ditandai yakni dengan melihat institusi atau lembaga yang diciptakan dan didanai oleh negara baik melalui
pajak, subsidi, grant, loan, dan sebagainya yang pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan rakyat. Apapun yang dilakukan oleh sektor publik
dapat dipastikan selalu berada pada domain atau proses politik.. Dalam hal ini , Chapman dan Cowdell 1998:2 -3 mempertegas karakteristik tersebut sebagai berikut :
“These institutions are founded and funded by state, in the interest of state and, through the state, in the interest of its citizens. Their aims are politically determined
by the state. Their budgets are sourced from taxation, both nationally and locally. Funding is determined by allocation, rather than by use, and they are controlled, or
at least regulated, by state. The state is responsible for the legal obligation given to such institutions and for the legal controls over what they do. Indeed it is one of
characteristics of public sector organizations that they are bounded by and operate within extensive legislation which creates an often creaking bureaucracy, much of
which is concerned with the ‘proper’ use of public money”
Secara lebih jauh, ditinjau dari karakteristik kelembagaan, Chapman dan Cowdell melihat sektor publik sebagai suatu organisasi yang memberikan manfaat pada
masyarakat luas dalam berbagai cara. Kebutuhan dan hajat hidup masyarakat luas dipertemukan dengan konsep permintaan dan pelayanan barang – jasa oleh pemerintah
secara keseluruhan mela lui mekanisme politik. Karena orientasinya pada kemanfaatan
37 masyarakat luas tersebut, maka sifat sektor publik dikatakan altruistic dan tidak
berorientasi keuntungan. “Public sector institutions are usually understood in the sense of the first
category. They are generally organizations, the purpose of which is to benefit society in some way. They are concerned with satisfying social wants and needs –
that is, with meeting demands for services or support which benefit society as a whole. They may therefore be said to be ‘altruistic’, with concern for others as a
guiding principle. As a result, they are generally non-profit-making organizations”.
Sejalan dengan pemahaman Chapman dan Cowdell tersebut, Nutley dan Osborne 1994:1 menambahkan bahwa sektor publik menggambarkan badan-badan pemerintah
yang memiliki kewenangan khusus yang diperoleh dari parlemen di mana mereka tunduk dan bertanggung jawab padanya. Selain dari pada itu sebagian besar sektor publik -
walaupun tidak semuanya - didanai melalui pajak. Selanjutnya ditambahkannya pula bahwa domain organisasi sektor publik mencakup pelayanan pemerintah pusat, daerah
dan industri-industri milik negara:
“ Public sector may have included some of the following : Central government departments, agencies and services – such as defence, education, health and
social security. Local government departments and services – such as educations, social services, and housing.Nationalized industries - such as British Rail, Post
Office”.
Untuk membedakan organisasi privat dan publik, Farnham dan Horton 1993:28 menyatakan bahwa:
“Private organizations are those created by individuals or groups for market or welfare purposes. There are ultimately accountable to their owners or members.
Private organizations take the forms of unincorporated associations, companies, partnerships, and voluntary bodies. Public Organizations are created by
government for primarily collectivistor political purposes. They ultimately accountable to political representatives and the law. Their criteria for succsess
are less easy to define than are those of private organizations. Public organizations cover a wide range of activities and encompass all those public
bodies which are involved in making, implementing and applying public policy.”
Di dalam prakteknya, garis pemisah antara dua sektor tersebut sangat kabur dan sulit, demikian ditambahkan oleh Farnham dan Horton. Maksud nya adalah terkait dengan
38 wilayah atau domain kedua sektor yang semakin tidak jelas, pelayanan yang diciptakan
oleh organisasi sektor publik meluas dan semakin bervariasi serta tidak ditujukan semata- mata pada misinya semula yakni social philanthropy, bahkan menyaingi bisnis swasta.
Terkait dengan masalah wilayah sektor publik, McKevitt 1998:1mengemukakan secara tegas, bahwa sesungguhnya domain utama sektor publik ada pada 4 empat
pelayanan inti yang terdiri dari, Health, Education, Welfare, dan Security HEWS. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam Undang-Undang Negara manapun, ke empat pelayanan
inti tersebut menjadi tugas pelayanan pokok pemerintah pada warga negaranya. Setidaknya pemerintah menjamin bahwa rakyatnya berhak memperoleh layanan inti
HEWS dan bebas dari permasalahan kegagalan pasar. Lebih lanjut McKevitt juga memberikan alasan, mengapa hanya empat macam
pelayanan tersebut yang dikatakan menjadi inti dari pelayanan publik ? Dalam penjelasannya, empat macam pelayanan tersebut digambarkan memiliki hubungan
interdependensi terhadap kesejahteraan rakyat secara umum. Artinya tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi kesehatan, kesehatan akan mempengaruhi kesejahteraan
sosial-ekonomi, dan kesejateraan sosial-ekonomi akan mempengaruhi stabilitas keamanan, begitu seterusnya membentuk suatu siklus yang saling berkaitan. Sehingga
dalam rangka menjalankan tugas pokoknya, negara minimal harus menjamin keempat pelayanan inti tersebut berjalan secara baik, jika misi altruism negara ingin tetap terjaga
Secara filosofis, pelayanan publik memiliki makna yang besar bagi kehidupan dalam suatu negara dan tidak dapat diukur melalui keuntungan atau apapun secara
individual, karena kemanfaatannya lebih dirasakan secara kolektif atau lebih tepat yakni menyangkut hajat hidup orang banyak baca:rakyat. Demikian pula dalam hal
pengelolaan dan pemeliharaannya, menjadi tanggung jawab kolektif dalam hal ini negara, dan bukan orang perseorangan. Filosofi pelayanan publik ini secara jelas telah
diungkapkan oleh Adam Smith 1776 dalam “The Wealth of Nations” dalam Chapman and Cowdell, 1998: 2 sebagai berikut :
“…..those public institutions and those public works, which though they may be in the highest degree advantageous to a great society, are, however, of such a nature
, that the profit could never repay the expense to any individual, or small number of individuals, and which it, therefore, cannot be expected that any individual, or
small number of individuals, should erect or maintain”
39 Esensi pelayanan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat secara luas
tersebut, sekaligus juga menggarisbawahi makna ‘publik’ pada istilah pelayanan publik itu sendiri. Hal ini sebagaimana dibenarkan oleh Chapman dan Cowdell ibid :114
bahwa “The definition of the public calls it ‘the community as an aggregate’ , with community meaning a body of people living in the same locally, and an aggregate
meaning of a collection unit, or people, ...” Kenyataannya, dalam pelayanan publik secara spesifik istilah ‘publik’ lebih mengacu ‘as a collection of groups”. Misalnya
kelompok masyarakat pelanggan jasa kesehatan, kelompok pelanggan jasa pendidikan, dan seterusnya.
Selain dari itu, makna pelayanan publik yang mengandung istilah kolektif antara lain juga dapat ditandai pada model pembiayaannya yakni melalui pajak, dari pada
melalui penerimaan dari hasil penjualan secara private. Mengenai hal ini dapat dipahami pada definisi pelayanan publik yang diketengahk an oleh Farnham dan Horton 1993
berikut ini: “The public services are broadly defined as those major public sector
organizations whose current and capital expenditures are funded primarily by taxation, rather than by raising revenue through the sale of their services to
either individual or corporate consumers. The public services so defined, include the civil service, local government, the National Health Service NHS,
and the educational and police services.”
Badan atau agen penyelenggara pelayanan publik kemudian tidak terbatas pada pemerintah pusat atau pemerintah daerah semata, namun juga mencakup perusahaan-
perusahaan negara yang diciptakan oleh pemerintah dalam rangka penyediaan pelayanan secara langsung. Osborne dan Nutley 1994:1 mempertegas hal ini, yakni:1 Pelayanan
publik yang diselenggarakan oleh Departemen Pemerintah Pusat, seperti pertahanan keamanan, kesehatan, pendidikan, sosial, 2 Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah, seperti air bersih, sampah, kesehatan, serta 3 Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Industri atau Perusahaan yang bersifat nasional , seperti
listrik, kereta api , kantor pos, telepon, dan sebagainya Pelayanan publik di bidang kesehatan sebagaimana telah diketengahkan oleh
Mckevitt pada bahasan sebelumnya, merupakan pelayanan inti yang memiliki urgensi
40 tinggi terhadap sistem kesehatan penduduk baik secara regional maupun nasional. Secara
jelas WHO World Health Organization merumuskan sistem kesehatan sebagai suatu kesatuan faktor- faktor kesehatan yang kompleks dan saling berhubungan dalam suatu
Negara yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kesehatan baik perorangan, keluarga, kelompok, masyarakat, di suatu Negara WHO,1984, dalam Azwar, 1996:14.
Selanjutnya sistem kesehatan mencakup hal yang amat luas, Azwar 1996:14 menyatakan bahwa sistem kesehatan terdiri dari : 1 Sub sistem pelayanan kesehatan,
dan 2 Sub sistem pembiayaan kesehatan. Untuk menghasilkan suatu pelayanan kesehatan yang baik, kedua sub sistem tersebut harus ditata dan dikelola dengan baik.
Dalam tinjauan pustaka ini selanjutnya akan disoroti tentang sub sistem pelayanan kesehatan.
Sub sistem pelayanan kesehatan menurut Levy dan Loomba 1973, dalam Azwar, 1996:35, memiliki makna sebagai upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan,
keluarga, kelompok atau masyarakat. Berdasarkan pada batasan tersebut maka karakteristik pelayanan kesehatan ditentukan oleh pengorganisasian pelayanan apakah
dilaksanakan secara sendiri atau dalam organisasi formal, kemudian ditentukan oleh ruang lingkup kegiatan apakah mencakup salah satu atau keseluruhan dari pemeliharaan,
pencegahan, pengobatan, pemulihan kesehatan, dan ditentukan pula oleh sasaran pelayanan kesehatan apakah perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat
Hodgetts dan Cascio 1983, dalam Azwar, 1996:36-39 membedakan pelayanan kesehatan dalam dua bentuk yakni : 1 Pelayanan kedokteran medical services yang
ditandai dengan cara pengorganisasian yang bersifat sendiri solo practice atau secara bersama-sama dalam suatu lembaga kesehatan institution. Tujuan utamanya adalah
untuk menyembuhkan penyakit, dan sasaran utamanya adalah perseorangan atau keluarga. 2 Pelayanan Kesehatan Masyarakat public health services, yang ditandai
dengan pengorganisasian yang dikelola oleh baik pemerintah pusat dan atau daerah maupun swasta. Tujuannya adalah untuk memelihara, mencegah, dan menyembuhkan
penyakit. Sedangkan sasaran utamanya adalah kelompok atau masyarakat.
41 Pelayanan kesehatan sebagai suatu sistem pada umumnya dibagi dalam beberapa
strata. Somers dan Somers 1974,dalam Azwar, 1996:40 mengetengahkan stratifikasi pelayanan kesehatan sebagai : 1 Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama primary health
services yakni pelayanan kesehatan yang bersifat pokok basic, yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan mempunyai nilai strategis dalam meningkatkan
derajad kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini berupa pelayanan rawat jalan ambulatoryout patient services. 2 Pelayanan Kesehatan
Tingkat Kedua secondary health services yakni pelayanan kesehatan lebih lanjut, telah bersifat rawat inap in patient services dan untuk menyelenggarakannya telah
dibutuhkan tersedianya tenaga-tenaga spesialis. 3 Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga tertiary health services yakni pelayanan kesehatan yang bersifat lebih kompleks dan
umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga spesialis. Dalam konsep pelayanan kesehatan tersebut Puskesmas dapat digolongkan dalam
karakteristik public health services yang memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Sebagaimana telah diungkapkan, bahwa urgensi pelayanan kesehatan seperti
Puskesmas adalah sangat penting dan mempunyai nilai strategis yang tinggi terhadap derajad hidup masyarakat di suatu wilayah.
Tinjauan Konsep Perubahan Dalam Kaitannya dengan Pemberdayaan Pelayanan Publik
Selanjutnya dalam tingkat urgensi yang demikian tinggi, pelayanan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah khususnya di negara-negara berkembang seperti halnya di
Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat. Lingkungan yang terus menerus berubah menuntut pelayanan publik dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Tinjauan
terhadap konsep perubahan dalam bagian ini antara lain bertujuan untuk memberikan penekanan arti perubahan dalam pemberdayaan pe layanan publik bidang kesehatan,
sebagaimana diketengahkan oleh Jenkins bahwa ’empowerment means making changes’. Pemberdayaan Pelayanan publik di bidang kesehatan dalam hal ini Puskesmas,
dengan demikian dapat dipandang sebagai bagian dari upaya menciptakan perubahan dan mengantisipasi perubahan lingkungan. Sementara perubahan itu sendiri merupakan
42 sesuatu yang mustahil untuk dihindari dalam era modernisasi dan globalisasi saat ini.
Kesadaran pelanggan akan nilai-nilai mutu pelayanan yang baik, kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka dalam menerima pelayanan publik secara sepatutnya, dan
masalah nilai- nilai hak azasi manusia yang menjadi bagian pelayanan publik baik secara filosofis maupun dalam praktiknya, secara keseluruhan membentuk sifat kritis pelanggan
masyarakat untuk tidak begitu saja menerima layanan yang cacat. Berdasarkan pada tuntutan lingkungan tersebut, maka pemberdayaan pelayanan
publik akan lebih bermakna ketika perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya adalah terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan yang mengacu pada pemuasan kebutuhan
pelanggan atau masyarakat. Secara internal perubahan-perubahan tersebut seharusnya juga memberikan kesempatan bagi individu- individu pelaksana pelayanan publik untuk
berubah. Konsep perubahan yang diketengahkan Senge, et al 1999:33, mengetengahkan
bahwa organisasi adalah hasil dari cara-cara orang berpikir dan berinteraksi di dalamnya. Karena itu setiap perubahan apapun yang ada di dalam organisasi, harus memberi
kesempatan bagi orang-orang di dalamnya untuk mengubah cara-cara berpikir dan berinteraksi mereka. Perubahan orang-orang dalam organisasi tidak bisa hanya dilakukan
dengan peningkatan pelatihan semata- mata, atau dengan menggunakan pendekatan kontrol, atau perubahan manajemen secara tangible, melainkan harus melibatkan
‘pemberian kesempatan’ dalam berbagai aktivitas baru pada orang-orang agar dapat mengembangkan kapabilitasnya sedemikian rupa untuk perubahan.
Konsep perubaha n Senge et al tersebut memberikan arti, bahwa pemberdayaan seharusnya tidak hanya sekedar mengubah, melainkan memberikan kesempatan untuk
berubah. Dalam hal ini tentunya organisasi harus memfasilitasi individu- individu dalam proses perubahan tersebut. Sala h satu yang diketengahkan oleh Senge adalah kesempatan
untuk belajar. Memberikan kesempatan belajar berarti organisasi telah melakukan investasi terhadap pengembangan ide-ide baru, bakat atau kapabilitas baru yang selama
ini tidak terdeteksi melalui pola interaksi yang terencana dan terarah. Secara kongkrit, pendelegasian pemikiran, kesempatan dalam pengambilan keputusan, kewenangan, dan
metode bertindak, menjadi inti dari perubahan orang-orang di dalam organisasi.
43 Pemikiran-pemikiran yang terkait dengan perubahan organisasi kemudian
bermunculan dalam berbagai bentuk teori maupun konsep, antara lain adalah konsep- konsep perubahan dan pengembangan organisasi Organization Development OD yang
mengkaitkan perubahan dengan perilaku manusia dan budaya organisasi Beckhard,1969 kemudian konsep pembelajaran organisasi Learning Organization yang memandang
perubahan organisasi sebagai cara untuk memberikan kesempatan pada orang-orang di dalamnya untuk meningkatkan kapabilitasnya Senge, 1999; Maycunich,2000.
Terdapat beberapa kekuatan yang menghubungkan perubahan-perubahan dalam organisasi. Dalam konsep “administrative reform” yang diketengahkan oleh Caiden
1969:4, dinyatakan bahwa perubahan dalam organisasi atau dalam masyarakat tidak terjadi dengan sendirinya, setidaknya ada 4 empat kekuatan yang mendorong timbulnya
perubahan, yakni: 1 gerakan yang menghubungkan antara perubahan dengan lingkungan, 2 gerakan yang menghubungkan antara perubahan dengan ide- ide baru atau
inovasi, 3, gerakan yang menghubungkan antara perubahan dengan penghapusan masalah- masalah sosial, dan 4 gerakan yang menghubungkan perubahan dengan sifat
kecenderungan membandingkan dan mengevaluasi aktifitas-aktifitas sosial. Menurut Caiden, semua bentuk reformasi dalam organisasi merupakan bagian dari perubahan
sosial. Perubahan sosial merupakan dinamika lingkungan yang sewaktu-waktu dapat mempengaruhi organisasi. Caiden lebih memaknai perubahan dalam organisasi sebagai
suatu ‘reform’ yakni perubahan yang secara sengaja diciptakan, artificial atau buatan, dapat dihindari jika tidak diperlukan, dan memiliki tujuan moral moral purpose.
Sementara itu para pemerhati lingkungan organisasi mengaitkan perubahan organisasi dengan perubahan lingkungannya . Era globalisasi dan perdagangan bebas yang
dikaitkan dengan kelangkaan sumber-sumber karena ketatnya persaingan dewasa ini menjadi alasan bahwa perubahan organisasi diperlukan. Daft 1992:71 mendefinisikan
lingkungan sebagai : “The environment is infinite and includes everything outside the organization”. Selanjutnya, dari definisi lingkungan tersebut, Daft memberikan definisi
lingkungan organisasi yakni : “As all elements that exist outside the boundary of the organization and have the potential to affect all or part of the organization. Berdasarkan
konsep Daft tersebut maka stakeholders organisasi yang menjadi boundary pertama yang
44 harus diperhatikan dalam perubahan, adalah pelanggan, pegawai, manajemen, pemasok,
dan pesaing. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan perubahan organisasi itu ? Beckhard
1969, dalam Tyson dan Jackson, 2000:209 mendefinisikan perubahan organisasi sebagai : ‘Usaha terencana, organisasi luas dan dikelola dari atas untuk meningkatkan
efektifitas dan kesehatan or ganisasi melalui intervensi terencana dalam proses-proses organisasi yang menggunakan ilmu pengetahuan sosial”.
Sejalan dengan konsep pemberdayaan dalam organisasi pelayanan publik, maka makna perubahan menjadi tema penting yang terkait dengan tujuan dari pemberdayaan
itu sendiri. Pemberdayaan mengacu pada definisi Beckhard tersebut adalah sebagai usaha terencana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi dan individu-individu
yang ada di dalamnya melalui berbagai intervensi terencana terhadap aktivitas yang dilakukan oleh organisasi. Sebagai contoh, pemberdayaan kapabilitas dan kapasitas
pegawai misalnya, pasti akan mengikutsertakan sejumlah intervensi- intervensi organisasi dalam berbagai bentuknya, apakah melalui perubahan peraturan, policy, metode, dan
bahkan intervensi dalam mengubah perilaku, melalui pendidikan pelatihan misalnya. Dalam konsepnya tentang ‘Three categories of change’ perubahan diawali
dengan kemampuan struktur kewenangan, teknologi, dan perilaku, Robbins dan Decenzo lebih mengacu pada sequensial perubahan yang diawali oleh adaptasi organisasi terhadap
perubahan lingkungannya. Dalam organisasi yang adaptif perubahan tersebut direspon oleh organisasi melalui hubungan kewenangan, mekanisme koordinasi, desain pekerjaan,
dan kontrol, Selanjutnya perubahan struktur ini akan diikuti oleh perubahan teknologi kerja mencakup proses kerja, metode kerja, dan peralatan. Jika orang-orang dalam
organisasi belum memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai dengan perubahan yang baru diadopsi, maka orang-orang ini harus diubah perilaku, sikap, harapan, maupun
persepsinya. Dapat dikatakan bahwa tingkat intervensi tertinggi dalam perubahan organisasi adalah kewenangan dan policy, kemudian intervensi terhadap metode atau
cara, dan terakhir adalah perilaku para pelaksananya. Dalam hubungannya dengan pemberdayaan yang mengindikasikan suatu
perubahan organisasi yang terencana dan dikelola dengan memanfaatkan intervensi, muncul pertanyaan, sejauh mana perubaha n-perubahan tersebut dapat dikelola secara
45 baik dan berhasil atau bermanfaat bagi organisasi ? Linda Ackerman 1984, dalam Jick
dan Peiperl, 2003:2 memaknai perubahan sebagai sesuatu yang direncanakan dan berbentuk respon atau kekuatan-kekuatan yang menekan organisasi. Dalam hal ini
Ackerman menyatakan, bahwa mengelola perubahan tergantung pada macam atau jenis perubahan itu sendiri. Ackerman menyatakan sekurang-kurangnya ada 3 tiga macam
bentuk atau tipe perubahan, yakni : 1 Development change, yakni perubahan yang berupa perbaikan ketrampilan, metode atau kondisi, guna mencapai harapan yang lebih
baik. Pengelolaan tidak begitu rumit dan dapat dilakukan secara linier dari A ke B. 2 Transitional Change. Perubahan bentuk ini memerlukan step-step peruba han yang
bersifat bertahap dan pelan dimulai dari menata kembali organisasi, membuat proyek contoh perubahan, dan baru mengoperasionalkannya secara penuh. Tugas manajemen
menjadi kompleks karena masa transisi dari yang lama ke yang baru.dan yang terakhir adalah 3 Transformational Change. Tipe perubahan ini dikatakan sebagai tipe paling
radikal, karena secara total organisasi mengubah variabel- variabel tertentu, seperti misalnya mengkonsepkan kembali visi- misi, budaya, tujuan, dan kepemimpinan
organisasi secara total. Pengelolaan perubahan jenis ini diakui sangat sulit, diperlukan analisis total lingkungan organisasi, dan komitmen seluruh stakeholder-nya.
Jika perubahan organisasi dapat dikelola sesuai dengan jenis – jenis perubahan sebagaimana diketengahkan oleh Ackerman tersebut, maka tidak demikian dengan
perubahan perilaku manusia dalam organisasi. Perubahan yang mengacu pada peningkatan atau kontrol terhadap kinerja pegawai misalnya, sulit untuk dikelola apabila
tidak disertai dengan pengetahuan terhadap kesiapan orang-orang dalam organisasi untuk berubah.
Terkait dengan hal tersebut, maka kesiapan orang untuk berubah terdapat pada 2 dua kekuatan yang ada dalam individu-individu itu sendiri. Kekuatan tersebut meliputi
pertama, pengetahuan dan ketrampilan dasar, kesadaran diri, dan toleransi terhadap ambiguitas.Bahkan ada bukti yang menyatakan bahwa tingkat motivasi dan harga diri
berperan penting dalam kesiapan individu untuk berubah. Kekuatan kedua adalah berkaitan dengan sistem yang meliputi budaya dan iklim organisasi, dan konsekuensi
yang dirasakan terhadap kegagalan atau keberhasilan organisasi. Gabungan faktor-faktor tersebut memberikan diskripsi mengenai rasa aman Tyson dan Jackson 2000:237.
46 Selanjutnya Carnall dalam Tyson dan Jackson, 2000:237 mengetengahkan, jika
rasa aman tinggi atau rendah, maka respon terhadap perubahan akan banyak berupa penolakan, penekanan, ataupun distorsi.
. Robbins dan Decenzo 2001:236 menunjuk pada 3 tiga alasan mengapa orang cenderung resisten terhadap perubahan. Pertama, orang-orang sering berasumsi negative
terlebih dahulu terhadap perubahan, sebelum menyimak dengan baik manfaatnya. Perubahan diasumsikan sebagai yang tidak pasti uncertainty, penuh keragu-raguan
terhadap sesuatu yang belum diketahuinya karena masih baru. Kedua, sebagian besar orang-orang takut terhadap perubahan karena takut kehilangan sesuatu yang bernilai.
Sebut saja kedudukan, investasi, pertemanan, kelompok, dan hal-hal lain yang bernilai bagi manusia. Ketiga, mempercayai perubahan sebagai hal yang tidak baik bagi
organisasi. Orang-orang dalam organisasi secara diam-diam akan menganalisis perubahan-perubahan yang ada, dan memberikan penilaian. Hasil analisa mereka dapat
negative atau positif, artinya tergantung pada kesesuaian perubahan dengan manfaatnya secara individual bagi mereka.
Dalam ilmu penyuluhan pembangunan, dikenal teknik untuk menurunkan resistensi, misalnya dalam metode pembelajaran orang dewasa secara lateral, orang-orang
belajar tanpa harus ‘terpaksa’, karena pendidik menempatkan secara sejajar dirinya dengan peserta didi, dengan demikian apa yang dikatakan dengan ‘kehilangan harga diri’
tidak akan terjadi. Robbins dan Decenzo 2001:237 mengetengahkan teknik -teknik penurunan
resistensi sebagai berikut: 1 ketika resistensi terjadi karena kurangnya informasi perubahan, maka teknik yang sesuai adalah melalui pendidikan dan komunikasi. 2
Apabila orang-orang yang resisten memiliki keahlian untuk membuat kontribusi atau sumbangan dalam perubahan, maka teknik yang digunakan adalah partisipasi atau
melibatkan orang-orang yang resisten tersebut dengan aktifitas perubahan. 3 Apabila orang-orang merasa ketakutan atau merasa terasing pada perubahan, maka teknik yang
digunakan adalah memfasilitasi dan memberikan dukungan dan negosiasi bahkan ‘membeli’ komitmen mereka. 4 Apabila resistensi terjadi pada kelompok-kelompok
yang memiliki kekuatan kewenangan, maka teknik yang digunakan adalah cooptasi, merger, atau mengajak mereka untuk bergabung atau berasosiasi. Dan yang terakhir 5
47 ketika kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan sulit untuk diajak kerjasama, maka
teknik ‘paksaan’ berupa sanksi yang tegas dapat digunakan. Menurut Tyson dan Jackson 2000:243 , kerangka terbaik untuk mengatasi
perubahan adalah memperhatikan individu dan menganalisis situasi dan pengalaman organisasi di masa lalu. Kadang-kadang perubahan besar tidak diperlukan, justru
perubahan yang memerlukan perbaikan sederhanalah yang baik, perubahan yang membuat sesuatu yang sudah berjalan baik menjadi lebih baik. Jika perubahan-perubahan
sederhana ini dilakukan secara terus menerus, maka kebutuhan akan perubahan besar dapat berkurang.. Greiner dalam Tyson dan Jackson,2000 menyebut hal ini sebagai
‘struktur kebiasaan’. Namun kadang-kadang struktur kebiasaan menghambat penyesuaian terhadap perubahan. Yang terpenting menurut Greiner adalah bagaimana organisasi dapat
menyiapkan umpan balik yang berguna bagi pegawai selama proses perubahan. Umpan balik dapat dirancang dan bermacam- macam dan menyangkut perilaku manajerial, seperti
keamanan, dihargai ide- ide dan gagasan, kepemimpinan yang mendukung kreatifitas, demokratis, dan lain- lainnya.
Dapat ditarik benang merah dari pembahasan konsep perubahan tersebut, pertama, bahwa perubahan terkait dengan suatu upaya organisasi dalam mengantisipasi dan
menghadapi perubahan lingkungan. Kedua, perubahan terkait dengan pemberdayaan baik organisasi maupun individu. Perubahan yang tidak memberdayakan adalah perubahan
yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu orang-orang yang akan diubah sebaiknya diberikan kesempatan dan fasilitas untuk dapat berubah. Ketiga, perubahan menuntut
kesiapan organisasi untuk berubah. Perubahan berarti memberikan kesempatan pada siapapun untuk belajar berubah, sehingga perubahan adalah suatu proses. Keempat, tidak
mustahil bahwa di dalam suatu perubahan akan terjadi penolakan atau resistensi. Di dalam pelayanan publik sejak era defisit anggaran tahun 1980-an, terjadi
perubahan yang mendasar terhadap kuantitas dan kualitas pelayanan publik di berbagai negara. Perubahan paradigma pelayanan publik selaras dengan perubahan lingkungan
dunia saat itu, di mana titik awal dan koreksi terhadap pelayanan publik dimulai. Amerika Serikat dan Inggris adalah dua negara besar yang merasakan bahwa public
expenditures mereka membengkak karena besarnya subsidi pelayanan publik. Munculnya gerakan privatisasi yang dipelopori oleh Presiden Amerika Serikat Rona ld Reagan dan
48 Perdana Menteri Inggris Margareth Thacher pada tahun 1979, membawa dua implikasi
perubahan sekaligus, yakni di satu sisi mengurangi beban negara dari pengeluarannya yang berupa subsidi, di sisi lain mengandung makna perubahan besar terhadap ethic dan
manajerial sektor publik, antara lain munculnya perhatian terhadap pembenahan dan pembaharuan pelayanan publik yang selama ini dinilai tidak efisien dan tidak efektif,
serta memiliki kinerja yang rendah. Di negara-negara berkembang, kegagalan pasar disikapi oleh pemerintah dengan
peran sentral pemerintah yang dominan, segala sesuatunya ditetapkan secara ‘top-down policy’ oleh pemerintah. Pelayanan publik lebih banyak dikelola dan disediakan oleh
pemerintah serta diatur dalam suatu mekanisme politik. Tangan-tangan politik dengan berbagai kepentingannya sering berada di balik berbagai macam pelayanan masyarakat.
Indonesia pada jaman orde baru pernah menempatkan birokrasi pelayanan publik sebagai mesin partai mayoritas pada saat itu. Masyarakat tidak memiliki pilihan dan harus
menerima kondisi monopoli pemerintah sebagai satu-satunya pemenuhan hajat hidup mereka. Kondisi ini tentu saja membawa implikasi yakni semakin resistennya birokrasi
terhadap masukan dan kritikan masyarakat. Chapman dan Cowdell 1998:12 memperjelas hal tersebut sebagai perilaku ‘we know best’ yang merupakan sindiran bagi
pemerintah yang merasa seolah paling mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat, dan karenanya masyarakat tidak perlu protes atau komplain.
Perubahan yang dituntut masyarakat pada era tersebut seperti gayung bersambut sejalan dengan perubahan era defisit dunia. Birokrasi dituntut untuk memberikan
pelayanan publik secara murni, dan harus terlepas dari kungkungan mesin politik. Munc ulnya gerakan privatisasi selain mengindikasikan kembalinya pasar bebas,
juga merupakan kritik luas terhadap peran negara dalam pelayanan publik. Menurut para ahli, pelayanan publik memerlukan paradigma baru yang mampu membawa pencerahan,
dan perubahan. Pe layanan publik diharapkan memposisikan dirinya pada lingkungan politik dan birokrasi yang tidak rigid. Walaupun untuk terlepas sama sekali adalah suatu
kemustahilan, namun setidaknya ‘otonomi’ bagi sektor publik harus berjalan secara rasional dan menekanka n pada prinsip-prinsip pelayanan yang mengacu pada pemenuhan
kebutuhan dan kepuasan masyarakat. Perbedaannya dengan sektor private adalah sesuatu yang tidak perlu dibahas secara mendetail – perbedaan tersebut justru memberikan warna
49 dan karakteristik khas masing- masing pelayanan – konsentrasi dapat diarahkan pada
bagaimana mengadopsi ‘apa yang baik’ dari private. Ide untuk mengadopsi apa yang baik dari private tersebut pernah dikemukakan
dalam bentuk pandangan yang mengarah pada ‘public-private-partnership’ dilontarkan dalam upaya untuk memperbaiki kinerja sektor publik. Osborne dan Gaebler 1992
dalam bukunya yang sangat terkenal yakni “Reinventing Government”, menawarkan suatu perubahan yang mencakup policy level, design organisasi dan peraturan kerangka
kerja yang mengacu pada organisasi sektor publik yang responsive dan memberdayakan masyarakat. Dalam paradigma ini ada beberapa credo yang mengubah budaya kerja
pemerintah, antara lain, pemerintahan katalis yang lebih mengarahkan katimbang mengayuh, pemerintahan yang lebih desentralistis, pemerintahan yang kompetitif,
pemerintahan yang berorientasi pelanggan, pemerintahan yang digerakkan oleh misi, pemerintahan yang wirausaha, pemerintahan yang antisipatif, pemerintahan yang dimiliki
oleh masyarakat, dan pemerintahan yang berorientasi pasar. Beberapa tahun kemudian hingga saat ini, pandangan ini dengan cepat diadopsi oleh beberapa negara berkembang
termasuk Indonesia. Reinventing government dengan cepat digunakan sebagai conceptual framework pada berbagai proposal proyek-proyek pembangunan pemerintah dan
menempati silabi beberapa mata kuliah manajemen publik dan administrasi pembangunan
Pada aspek lain, perubahan juga nampak pada ditawarkannya suatu paradigma yang mengacu pada prinsip -prinsip dari “New Public Sector Marketing” , Chapman dan
Cowdell 1998, Nutley dan Osborne 1994, adalah nama- nama spesialis yang mengetengahkan pandangan baru yang mengubah pandangan tradisional pelayanan
publik terhadap pemasaran barang-jasa publik, terutama disesuaikan dengan tuntutan pasar yakni demand dari masyarakat. Menurut para pakar tersebut, ke depan perubahan
marketing sektor publik akan mempengaruhi filosofi dan fungsi pelayanan publik, dan selanjutnya akan mengembangkan suatu pemahaman yang jelas tentang kebutuhan,
keinginan, dan aspirasi para pemilih. Selama ini terdapat pandangan yang salah terhadap pasar, dan lebih sering dihubungkan dengan dunia profit- making business – memang
pada kenyataannya hampir seluruh konsep marketing ditulis dan ditujukan bagi dunia bisnis – sementara tidak disadari bahwa proses pertukaran yang dikontrol oleh supply dan
50 demand dalam pasar sesungguhnya juga mencakup sektor publik yang juga adalah
bagian dari ekonomi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Chapman dan Cowdell 1998:31 sebagai berikut:
“Used in this way, references to ‘the market’ have been mainly associated with the world of profit-making business. Indeed, the bulk of available literature on
marketing has been written from the business, profit-making perspective. However, the market defines the relationships between supply and demand in any
sector of the economy, and is therefore a key social institution. Society only endorses those institutions which serve its needs, and the process of exchange is a
central one”.
Kegamangan terhadap marketing sangat dapat dimengerti mengingat konsep marketing sendiri lebih melekat di sektor bisnis. Setidaknya diperlukan perubahan cara
pandang terhadap pemasaran. Secara filosofis, marketing akan lebih ‘mendekatkan’ provider – consumer citizen, karena selama ini diketahui bahwa pandangan sektor
publik yang jauh dari masyarakat sesungguhnya sangat tidak menguntungkan sektor publik sendiri, antara lain menjauhnya partisipasi dan kontrol masyarakat.
McKevitt 1998:38 menyinggung perihal pendekatan marketing dalam publik sektor sebagai berikut :
“Service marketing has, in its strategic objectives, obvious resonance for the management of public services – that is, the creation and maintenance of a valued
relationship with the citizen-client. For example, customer complaints in the private sector are an important source of management data for the improvement
of service quality ; the traditional public sector attitude has been to ignore complaints from service recipients, that is, citizens”.
Jelas sudah bahwa melalui pendekatan marketing juga diharapkan muncul suatu nilai- nilai yang menghargai konsumen, dalam hal ini masyarakat sebagai warga negara.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam sektor publik, masyarakat sebagai warga negara tidak memiliki ‘kedudukan’ yang sama dengan konsumen pada sektor private. Pada
faktanya masyarakat tidak memiliki pilihan dalam mengkonsumsi barang-jasa publik. Preferensi masyarakat disalurkan mela lui haknya sebagai pemilih voter, sedangkan
supplay dan demand terjadi dalam suatu proses politik. Demikian pula dalam mekanisme harga, masyarakat tidak bersentuhan langsung sebagaimana dalam pasar private. Kondisi
tersebut menyebabkan sektor publik menjadi sangat dominan dalam perannya sebagai
51 public producer maupun provision. Dominasi sektor publik tersebut bahkan tercermin
pada resistensinya terhadap komplain dan kritikan masyarakat Perilaku ini sesungguhnya tidak boleh terjadi bila sektor publik ingin menghindari sindiran ‘we know what is best
practice’, yang mengindikasikan seolah-olah pemerintah adalah satu-satunya pihak yang paling mengetahui apa yang diharapkan dan dibutuhkan oleh masyarakat.
Perubahan radikal pada tahun 1980-an yang dipelopor i oleh Margaret Thatcher mantan Perdana Menteri Inggris melalui privatisasi beberapa pelayanan publik,
bertujuan mendudukkan warga negara seperti ‘the customer is king’ atau ‘the customer always right’.
Gebrakan lainnya yang meramaikan khasanah pelayanan publik adalah paradigma kualitas layanan service quality – sering disingkat servqual, adalah pengukuran kinerja
melalui kepuasan pelanggan. Level pelayanan yang menghadapkan secara langsung antara pemberi layanan dengan masyarakat pengguna layanan front line kali ini menjadi
fokus utama dalam servqual yang diujikan pada sejumlah pelayanan private dan publik di New Zealand dan Inggris. Keampuhan kualitas pelayanan terhadap kepuasan
pelanggan merupakan hasil penelitian Zeithaml, Berry, dan Parasurama n 1990 yang membuktikan betapa kinerja aparat ujung tombak memegang peranan penting dalam
mengantarkan suatu pelayanan yang berkualitas. Kinerja aparat pemberi layanan juga termasuk bagaimana mereka dapat memahami pelanggan, menangkap keinginan dan
harapan pelanggan, serta memberikan yang terbaik pada pelanggan. Kesenjangan antara ‘harapan’ dan ‘kenyataan’ yang dirasakan oleh pelanggan menjadi titik awal bagi
perbaikan suatu pelayanan . Setidaknya ada 5 lima gap dalam servqual, dimana gap ke lima bermuara pada 5 lima dimensi kualitas layanan, yakni tangible, realibility,
responsiveness, assurance dan empathy Zaithaml, et al, 1990 hal 131. Pelajaran yang dapat dipetik dari perkembangan paradigma pelayanan publik
tersebut adalah, pertama, setelah era defisit, konsep pelayanan publik mulai mengalami perubahan terutama pada teknik manajerial dengan mengadopsi teknik manajerial
privat.Osborne dan Gaebler,1998 ; Chapman dan Cowdell, 1998 ; Farnham dan Horton, 1993 Kedua, konsentrasi perubahan lebih cenderung pada peningkatan kualitas level
frontline.Zeithaml et al,1990 ; Mckevitt, 1998 ; Lovelock,1990 Ketiga, gerakan peningkatan kinerja birokrasi pelayanan publik nampak gencar dipromosikan Savas,
52 1990 ; Osborne dan Gaebler, 1998, Moore, 1995, Walters, 1993 .Keempat, nampak
perhatian terhadap partisipasi dan pemberdayaan masyarakat pengguna, namun belum sepenuhnya memperoleh tekanan.yang berarti Moore,1995 ; McKevitt 1998.
Tinjauan Konsep Pemberdayaan
Turbulensi lingkungan yang semakin cepat menuntut pelayanan publik di bidang kesehatan juga semakin cermat melakukan perubahan-perubahan. Proses perubahan yang
memberikan kesempatan untuk belajar dan memfasilitasi perubahan merupakan upaya pemberdayaan. Apakah batasan sua tu pemberdayaan itu ?
Sebagian dari masalah memahami dan mengimplementasikan pemberdayaan adalah kesulitan mendefinisikan secara tepat makna pemberdayaan itu sendiri. Definisi
tentang pemberdayaan hingga saat ini masih beragam, sebagian menganggap pemberdayaan adalah suatu cara atau alat, dan sebagian lagi menganggap pemberdayaan
sebagai proses dan tujuan. Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:3. Stewart dalam rangka menjelaskan arti empowerment, menyatakan bahwa ketika
orang membicarakan tentang pemberdayaan organisasi maupun para pegawai, yang pertama dipikirkan adalah asumsi bahwa kondisi organisasi dan pegawai mereka saat ini
tidak atau kurang berdaya. Kata ‘berdaya’ erat kaitannya dengan kata ‘power’, artinya orang yang memiliki ‘daya’ adalah orang yang memiliki ‘power ’. Sangat berbeda dengan
authority yang secara esensial diartikan sebagai suatu hak, power mengandung arti ‘kemampuan’ atau ‘kemampuan untuk melakukan sesuatu’. Para pimpinan organisasi
barangkali memiliki hak authority untuk memerintah bawahannya melakukan suatu pekerjaan, akan tetapi tidak cukup hanya itu, diperlukan pula power atau kemampuan
agar perintahnya tersebut ditaati dan dilaksanakan dengan baik bahkan memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan, misalnya dengan ancaman, sanksi atau penghargaan role
power, dengan keahlian memerintah dan memimpin expert power, dengan menggunakan sarana atau sumber-sumber untuk mendukung pelaksanaan pekerjaan,
seperti materi, uang, alat-alat dan sebagainya resource power. Empowerment dengan demikian adalah sebagai suatu cara yang produktif dan praktis dalam mencapai yang
terbaik dari para pegawai dalam organisasi Steward, 1994:6
53 Whetten, et al 2000:405-407 menjelaskan bahwa pemberdayaan memiliki
sederetan makna yakni antara lain, bahwa pemberdayaan menolong orang lain untuk mengembangkan harga diri mereka to help people develop a sense of self-worth,
pemberdayaan juga berarti untuk mengatasi penyebab kehilangan kewenangan to overcome causes of powerlessness, pemberdayaan juga berarti memberikan energi pada
orang lain untuk melakukan aktifitas to energies people to take action, pemberdayaan juga berarti memobilisasi faktor-faktor rangsangan intringsik dalam pekerjaan it means
to mobilize intrinsic excitement factors in work , dan akhirnya pemberdayaan juga berarti menyempurnakan suatu tugas.
Clutterbuck dan Kernaghan 2003:3 mendefinisikan pemberdayaan sebagai upaya menemukan cara-cara baru untuk memusatkan kekuasaan di tangan orang-orang
yang paling membutuhkan untuk melaksanakan pekerjaannya. Pemberdayaan juga berarti pendelegasian tanggung jawab atas pembuatan keputusan sampai sejauh mungkin di
bawah lini manajemen. Pemberdayaan juga berarti peralihan kekuasaan secara terkendali dari manajemen ke karyawan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Pemberdayaan juga
mengandung makna sebagai upaya menciptakan kondisi dan situasi di mana orang-orang bisa menggunakan kualitas-kualitas dan kemmapuan-kemampuan mereka di tingkat
maksimum. Ditinjau dari sejarah penggunaan dan pemahaman kata ‘empowerment’ , Whetten,
dan kawan-kawan menyatakan bahwa istilah pemberdayaan bukan istilah baru sebagaimana dikenal secara populer pada gerakan pemberdayaan tahun ’80-an hingga
’90-an. Makna pemberdayaan dengan berbagai konteks ya ng melatarbelakanginya, kadang-kadang menyebabkan artinya menjadi rancu dan membingungkan. Dengan
mengetahui maknanya dalam berbagai disiplin, maka diharapkan orang akan dapat menggunakan arti pemberdayaan secara tepat. Berikut ini sederetan makna
pemberda yaan dalam evolusi dari beberapa disiplin, antara lain psikologi. Sosiologi, dan theologi. Pertama, dalam disiplin psikologi, pemberdayaan diartikan sebagai ‘effectance
motivation’ , yakni suatu motivasi intrinsic yang membuat sesuatu terjadi White, 1959, dalam Whetten et al, 2000: 406. Selain itu juga berarti ‘psichological reactance’ yang
mengacu pada pencarian kebebasan dari hambatan-hambatan.
54 Kedua, dari disiplin ilmu sosiologi. Pemberdayaan mempunyai pengertian
mendasar sebagai ‘rights movement’, di mana orang-orang mengkampanyekan kebebasan dan kontrol terhadap lingkungan mereka sendiri Solomon, 1976, Bookman dan Morgan,
1988, dalam Whetten et al, 2000, atau masalah- masalah perubahan sosial yang pada dasarnya dipusatkan pada pemberdayaan kelompok atau orang-orang Marx, 1844,
Alinski, 1971, dalam Whetten, et al, 2000. Ketiga, dari disiplin theologi, yang memperdebatkan pemberdayaan dengan
‘helplessness’, kemudian menekankan pemberdayaan terhadap penentuan nasib sendiri, dan terlepas dari belenggu kontrol kekuatan yang lain yang lebih dominan Freire dan
Faundez, 1989, dalam Whetten et al, 2000. Keempat, dari literatur manajemen, konsep pemberdayaan kemudian dikenal
melalui evolusi manajemen itu sendiri, misalnya pada tahun 1950-an aliran ‘human relations’ memperkenalkan pemberdayaan sebagai penggambaran sebuah pendekatan
yang bersahabat antara kelompok manajer dengan para staf. Tahun 1960-an pemberdayaan digambarkan sebagai keharusan para manajer untuk secara sensitif
merasakan kebutuhan dan motivasi terhadap pegawai, serta melibatkannya dalam berbagai pelatihan yang terkait dengan hal tersebut. Pada tahun 1970-an, peta
pemberdayaan telah mengarah pada keinginan dan minat para pimpinan untuk lebih jauh menolong para pegawai mereka khususnya dalam keterlibatan menentukan tujuan
organisasi. Tahun 1980-an , pemberdayaan dimaknai sebagai pemberdayaan team kerja yang mengacu pada siklus kualitas dan kinerja. Tahun 1997 hingga saat ini , dengan
berbagai variasinya, pemberdayaan dimaknai sebagai kemampuan untuk memberdayakan pegawai dan organisasi.
Ditinjau dari dimensi-dimensinya, Whetten dengan melengkapi pendapat Spreitzer 1992 dan Mishra 1992 menyatakan bahwa pemberdayaan individu memiliki
6 enam dimensi, yakni, pertama, self – esteem, yakni bahwa orang-orang yang
diberdayakan memiliki harga diri, artinya pemberdayaan akan lebih meningkatkan bukan
malah menurunkan harga diri mereka. Kedua, self-efficacy, yakni bahwa ketika orang-
orang diberdayakan, mereka sesungguhnya merasa memiliki kompetensi diri, jadi pemberdayaan tidak hanya menambah atau meningkatkan kompetensi mereka, namun
juga meningkatkan kepercayaan diri mereka terhadap kompetensi yang dimilikinya.
55
Ketiga, self-determination, bahwa pemberdayaan harus meningkatkan kemampuan
orang-orang yang diberdayakan untuk mampu menentukan pilihan sendiri, dalam arti menentukan inisiatif, dan berbagai aktifitas yang berhubungan dengan tugas-tugas
mereka. Keempat, personal control, bahwa pemberdayaan harus mempu meningkatkan
kemampuan orang-orang untuk mengontrol sendiri segala sesuatu yang merintangi atau
menghambat pekerjaan mereka. Kelima, meaning, yang berarti bahwa orang-orang yang
diberdayakan memiliki suatu perasaan bahwa dirinya memiliki arti dan memiliki nilai- nilai yang sejalan dengan tujuan organisasi, sehingga pemberdayaan berarti dukungan
melalui kesempatan, peluang dan arahan agar keberartian mereka semakin meningkat.
Keenam, ‘trust in other people’. Dimensi yang satu ini erat kaitannya dengan prinsip-
prinsip keadilan dan kejujuran. Pemberdayaan tidak boleh mengandung arti sebagai ‘pemanfaatan’ terhadap satu sama lain, melainkan memberikan makna keamanan dan
kenyamanan karena hak- hak satu sama lain saling dihargai melalui satu kata yakni ‘kepercayaan’
Apapun makna dibalik pemberdayaan, perlu digarisbawahi bahwa pentingnya pemberdayaan antara lain berkiblat pada, pertama, kecepatan perubahan yang semakin
tinggi, turbulensi lingkungan organisasi, cepatnya respon persaingan, akselerasi permintaan-permintaan pelanggan yang menuntut kecepatan dan fleksibelitas tanggapan
yang tinggi. Kedua, perubahan lingkungan membawa implikasi pada perubahan organisasi,
dimana organisasi harus membuat penyesuaian-penyesuaian agar tetap eksis. Metode- metode tradisional berupa koordinasi dan kontrol yang ketat dipandang sudah tidak
sesuai lagi. Upaya mencapai kinerja dalam kondisi yang baru menuntut seluruh komponen organisasi menjadi berdaya.
Ketiga, dewasa ini hampir tidak ada organisasi yang bekerja tanpa tuntutan bekerja secara lintas fungsi dan lintas sektoral. Kerjasama seperti itu hanya dapat
dilakukan melalui pemberdayaan yang tepat di semua lini organisasi Obaldeston, dalam Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:15
Sejalan dengan hal tersebut, Jenkins 1996:39 kemudian memberikan tekanan bahwa kunci pemberdayaan adalah membuat suatu perubahan, yakni perubahan perilaku
56 organisasi maupun persepsi para anggota organisasi termasuk pimpinan. Pandangan
Jenkins tersebut tidak lain bertumpu pada konsep ‘human resources’ , dimana manusia dalam organisasi dipandang sebagai ‘asset’ yang penting dan perlu secara terus menerus
diberdayakan dan diarahkan perilakunya agar tujuan organisasi tercapai secara optimal. Dengan memiliki penekanan yang sama, perspektif penyuluhan pembangunan juga
memandang pemberdayaan sebagai bagian perubahan perilaku manusia atau masyarakat sasaran, sebagaimana diketengahkan oleh Slamet 2003, hal. 45 : “Bagaimana membuat
masyarakat mampu membangun dirinya sendiri. Mampu, berdaya, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang,
berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi, dan mampu
bertindak sesuai situasi.” Benang merah yang dapat ditarik dari berbagai konsep pemberdayaan tersebut
adalah ‘perubahan perilaku’, baik perilaku individu- individu dalam organisasi maupun perilaku organisasi atau sistem. Apapun makna pemberdayaa n, jika berkaitan dengan
perubahan, pengembangan, atau perbaikan, maka dapat dipastikan akan diikuti dengan perubahan perilaku individu maupun sistem. Cara atau upaya yang ditujukan untuk
mendorong sesuatu agar berubah tidak akan ada gunanya ketika tidak diikuti dengan perubahan perilaku, bagaimanapun organisasi digerakan oleh manusia. Kegagalan untuk
mengenal respon individual terhadap pemberdayaan akan membuahkan kegagalan pemberdayaan itu sendiri Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:163-7.
Mengacu pada konsep perubahan maupun konsep pemberdayaan yang telah diuraikan tersebut, maka makna pemberdayaan dalam pelayanan publik khususnya di
bidang kesehatan adalah terkait erat dengan upaya-upaya organisasi dalam merespon perubahan lingkungannya dan melakukan perubahan secara internal. Secara konseptual,
respon organisasi pelayanan publik terhadap perubahan lingkungannya tidak secepat respon organisasi private bisnis.
Osborne dan Gaebler 1998:23 menyatakan, bahwa pemerintahan dan bisnis adalah dua lembaga yang berbeda secara mendasar. Bisnis didorong untuk motif keuntungan,
sedangkan pemerintah untuk motif bisa dipilih kembali. Bisnis memperoleh sebagian
57 besar uang dari pelanggannya, sedang pemerintah dari pembayar pajak Bisnis berada
pada domain kompetisi, sedangkan pemerintah ada pada domain politik dan monopoli. Berdasarkan karakteristik inilah maka organisasi pelayanan publik sulit untuk
berkembang, karena tidak terdapat motivasi yang mendorong perubahan. Di sektor privat, masalah efisiensi, efektifitas, dan kualitas adalah suatu keharusan.
Hal tersebut karena tuntutan lingkungan, di mana pesaing, pelanggan dan stakeholder dapat sewaktu-waktu mengancam hidup dan matinya bisnis mereka. Ketergantungan
yang tinggi terhadap pelanggan, menyebabkan sektor bisnis memperlakukan pelanggannya bak raja, dan menjaga kualitas service delivery mereka. Kinerja mereka
dihubungkan dengan kepuasan pelanggan, peningkatan produktifitas dan keuntungan. Sementara nilai-nilai tradisional yang dihubungkan dengan pelayanan publik sering
menekankan pada stabilitas, segala sesuatunya seolah dapat diprediksikan, kontinuitas, dan kepastian. Nilai- nilai tersebut mempengaruhi pelayanan publik yang digambarkan
tertutup dan sangat birokratik. Lingkungan politik juga ikut mempengaruhi pelayanan publik, antara lain dalam pricing controls, di mana penetapan harga layanan ditentukan
melalui mekanisme politik Eliassen dan Kooiman,1993 ; Farnham dan Horton,1995; Leach-Steward dan Walsh,1994.
Sementara itu beberapa ahli menyoroti perihal ‘perilaku birokrasi’ pelayanan publik. Munculnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh organisasi pemerintah
semakin menambah beban berat terhadap citra pelayanan publik. Di negara-negara miskin atau negara-negara berkembang, umumnya gaji pegawai negeri memang tidak
cukup untuk menyambung hidup. Hal ini karena pemerintah tidak mampu menggaji pegawainya secara layak. Karena itu, gaji yang rendah sering dilihat sebagai penyebab
korupsi, setidak-tidaknya korupsi kec il-kecilan, jika tidak di seluruh sistem. Namun jawaban untuk hal ini jauh lebih rumit dari pada sekedar menaikkan gaji. Demikian
diungkapkan oleh Pope 2003:18. Selain masalah formula kompensasi yang kurang memadai, masalah juga muncul
pada pengukuran out put birokrasi yang sulit. Sementara itu masalah monopoli juga menjadi penghalang bagi terciptanya sistem yang kompetetitif dan pada akhirnya akan
bermuara pada rendahnya mutu layanan.
58 Menjadi krusial kemudian untuk mempertanyakan dari mana tepatnya suatu
pemberdayaan harus dimulai ?. Karena pemberdayaan adalah suatu perubahan yang artificial, dan terencana, maka memerlukan starting point untuk mengetahui dari mana
arah pemberdayaan akan dimulai. Pemberdayaan dapat dilakukan dengan efektif bila terlebih dahulu diketahui tingkat kinerja dari organisasi yang akan diberdayakan. Artinya
bahwa hasil pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan model pemberdayaan yang tepat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Clutterbuck dan
Kernaghan 2003:16, dan Berman et al 2001:334. Terkait dengan hal tersebut, maka konsep kinerja perlu untuk diketengahkan pada bagian berikut ini.
Konsep dan Pengukuran Kinerja
Peningkatan dan perbaikan indikator kinerja pada pelayanan pub lik saat ini menjadi tolak ukur bahwa kesulitan yang dihadapi pelayanan publik dalam pengukuran
kinerja tidak berarti mengendurnya upaya kearah peningkatan kinerja yang baik Hughes 1994:207 mengungkapkan bahwa : “Performance indicators become a new movement
within the public services with the express aim of finding out how hard government activity was to measure”.
Kinerja didefinisikan secara beragam. Para ahli manajemen kinerja menyatakan bahwa konsep kinerja bersifat multidimensional, artinya memiliki berbagai macam
pengukuran dari berbagai dimensi kinerja yang ada. Begitu pula faktor-faktor yang mempengaruhinya, juga penting untuk diperhatikan apakah tujuan pengukuran adalah
untuk menilai kinerja hasil atau perilaku hal tersebut sebagaimana diungkapkan Bates dan Holton 1995, dalam Armstrong dan Baron,1998:15, bahwa: “Performance is a
multi-dimensional construct, the measurement of which varies, depending on a variety of factors. They also state that it is important to determine whether the measurement
objectives is to assess performance outcomes or behaviour”. Sejalan dengan pemikiran Bates dan Holton, Campbell 1990, dalam Armstrong
dan Baron, 1998:16, menyatakan bahwa kinerja adalah perilaku behaviour dan harus dibedakan dengan hasil outcomes, sebab hasil telah dipengaruhi oleh faktor-faktor
dalam sistem.
59 Rothwell, et al 2000: 1-2 menyatakan pada kalimat awal dibukunya, bahwa
kinerja dapat menjadi suatu konsep yang ‘elusive’ artinya sulit untuk dicari kesamaan pemahamannya. Artinya, bahwa konsep atau pendefisinian kinerja sering digunakan
secara rancu dengan konsep ‘behaviour’, melalui cara yang sederhana, kinerja dirumuskan sebagai hasil akhir, dan perilaku adalah alat untuk mencapai hasil akhir
tersebut. Menurut Rothwell dan kawa n-kawan, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Seorang yang sangat rajin dan sangat loyal pada organisasi serta berpengalaman,
dapatkah dijamin bahwa kinerjanya akan lebih baik dari yang lain ? Fokus utama dalam kinerja individual menurut Rothwell dan kawan-kawan adalah bagaimana mereka dapat
mencapai hasil terbaik accomplishments, sedangkan perilaku menjadi penekanan kedua. Benang merah dari ragam batasan kinerja yang dikemukakan para ahli tersebut
adalah, bahwa kinerja dapat diukur baik secara individual, yakni melalui hasil perilaku individu dalam organisasi, maupun secara organisasional, yakni melalui hasil yang dapat
dicapai oleh organisasi. Dengan demikian juga dapat dikatakan bahwa kinerja individu adalah bagian dari kinerja organisasi. Penekanan individual disini dimaksudkan mengacu
pada kinerja para pegawai, atau ‘the workers’ di dalam organisasi. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kinerja pegawai sesungguhnya menjadi dasar atau fondasi
keberhasilan organisasi, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Rosen 1993:42 yang menggarisbawahi pentingnya kinerja pegawai sebab : “At the foundation of the
organizational triangle are the workers who actually produce and deliver public services”
Rumusan kinerja organisasi akan semakin jelas jika menyimak konsep kinerja Brumbrach 1988, dalam Armstrong dan Baron, 1998:16 berikut ini:
“Performance means both behaviours and results. Behaviour emanate from the performer and transform performance from abstraction to action. Not just the
instruments for results, behaviours are also outcomes in their own right – the product of mental and physical effort applied to task – and can be judged apart
from results” .
Rumusan Brumbrach tentang kinerja tersebut membawa pada pemahaman bahwa kinerja mencakup baik perilaku dan hasil. Armstrong menyebut pandangan ini sebagai
‘mix -model’ dimana perilaku behaviour dipertimbangkan sebagai ‘input’ dan hasil
60 results sebagai ‘output’. Hal serupa juga diketengahkan oleh Swanson 1999, dalam
Gilley dan Maycunich, 2000:180 Namun demikian, “Performance is not only about what is achieved but also
about how it is achieved”. Demikian pendapat Armstrong dan Baron 1998:8 , yang berarti bahwa masalah kinerja harus ditangani secara profesional melalui manajemen
kinerja yang dapat mengarahkan berbagai konteks kinerja yang ada, apakah hal tersebut berkaitan dengan penetapan indikator indicator of performance, pengukurannya
performance measurement, evaluasi performance evaluation, maupun pengembangan performance development dan perbaikan kinerja performance improvement .
Mengapa kinerja penting bagi pelayanan publik ? Dalam pelayanan publik kinerja terkait dengan sistem akuntabilitas publik. Konsep akuntabilitas adalah pertanggung
jawaban sektor publik terhadap masyarakat yang dilayaninya Wilson dan Hinton, 1993:123 Dalam sektor publik dikenal beberapa konsep akuntabilitas, antara lain adalah,
akuntabilitas politik, akuntabilitas manajerial, akuntabilitas legal, akuntabilitas konsumen, dan akuntabilitas profesional Lawton dan Rose, 1991, dalam Wilson dan
Hinton, 1993:126. Akuntabilitas politik political accountability berkaitan dengan pertanggung
jawaban terhadap pemberi otoritas atau kewenangan secara terstruktur dalam politik. Dalam hal ini misalnya seorang menteri bertanggung jawab terhadap presiden,
selanjutnya presiden bertanggung jawab terhadap parlemen. Akuntabilitas politik juga mencakup berbagai issue yang terkait secara konstitutional, misalnya masalah
kesejahteraaan, keadilan, subsidi, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan pelayanan publik, akuntabilitas politik berarti pertanggungjawaban terhadap mandat yang diterima
dari rakyat untuk menyelenggarakan pelayanan bagi rakyat Day dan Klein,1987, dalam Wilson dan Hinton, 1993:126.
Akuntabilitas manajerial berhubungan dengan manajemen kinerja atau penilaian terhadap kinerja maupun audit terhadap pelaksanaan suatu kewenangan yang telah
didelegasikan dalam suatu tugas pelayanan publik yang mencakup akuntabilitas fiskal secara rutin, akuntabilitas terhadap proses atau efisiensi, dan akuntabilitas terhadap
efektifitas program. Metcalfe dan Richard 1990 kemudian menyatakan bahwa akuntabilitas manajerial banyak diaplikasikan dalam sektor publik. Di Inggris hal ini
61 cenderung kearah desentralisasi inisiatif manajemen keuangan yang diciptakan oleh
pemerintahan Thatcher pada tahun 1982. Akuntabilitas legal dan administratif biasanya berhubungan dengan akuntabilitas
politik. Istilah legal disini melebihi ‘mandat’, karena kewenangan yang diterima adalah berdasarkan hukum dan aturan yang ada. Sedangkan akuntabilitas administratif memiliki
arti yang lebih luas, Peters 1984:241 menekankan pada kontrol birokrasi, termasuk diantaranya adalah tugas dan peran para pegawai pelayanan publik yang mengacu pada
tanggung jawab administratif. Akuntabilitas konsumen adalah mengacu pada konteks pertanggungjawaban
terhadap para pengguna pelayanan publik termasuk dalam hal ini pelaksanaan dari pada berbagai prosedur penggunaan komplain, praktik -praktik maladministration, dan
ombudsman. Dengan kata lain bahwa responsiveness dari pelayanan publik terhadap masyarakat adalah menjadi ukuran akuntabilitas pelayanan publik. Lawton dan Rose,
1991:21 Tipe akuntabilitas yang terakhir adalah akuntabilitas profesional, yakni
pertanggungjawaban pelayanan publik secara profesional, mencakup profesionalisme para pegawainya, profesionalisme pelayanan, dan penanganan klaim. Dalam arti bahwa
karakteristik profesionalisme dalam pelayanan publik harus terdapat didalam ukuran kinerja akuntabilitas profesional. Karakteristik profesional tersebut oleh Metcalfe dan
Richard 1990 :124 mencakup antara lain, kepemilikan suatu ‘badan’ yang mencerminkan kekhususan yang terstandarisasi, terlihat pada pelatihan yang
bersertifikasi, otonomi dalam bidang keahlian, kontrol terhadap pengantaran pelayanan, kode etik dan standard aturan yang jelas, dan menekankan pada kompetensi dan etik
perilaku Ingraham dan Romzek 1994 : 269 memberikan karakteristik terhadap tipologi
akuntabilitas berdasarkan pada ‘sumber pengawasan’ dan ‘tingkatan pengawasan’. Dimensi sumber pengawasan biasanya berhubungan dengan dari mana suatu pengawasan
berasal, misalnya apakah eksternal atau internal. Pengawasan internal biasanya ada di dalam agen-agen pelayanan publik itu sendiri, sedangkan pengawasan eksternal berada
diluar agen pelayanan publik. Sedangkan tingkatan pengawasan berhubungan dengan tinggi atau rendahnya suatu pengawasan. Kombinasi dua dimensi tersebut menghasilkan
62 4 empat model akuntabilitas yakni, pertama, akuntabilitas berdasarkan mekanisme
birokratik yang bercirikan sumber pengawasan internal karena lebih menekankan efisiensi, dengan tingkat pengawasan tinggi yang menekankan pada aturan, prosedur, dan
standard operasional yang rigid. Kedua, Akuntabilitas legal, kombinasi dari sumber pengawasan berasal dari eksternal auditor, atau lembaga peradilan dan tingkatan
pengawasan yang tinggi melalui monitoring secara berkala dan menekankan pada rule and law. Ketiga, akuntabilitas profesional, yang dicirikan oleh tingkatan pengawasan
yang rendah dengan penekanan pada konsep keahlian, profesionalism yang telah diatur dalam suatu kode etik, serta sumber pengawasan dari internal. Keempat, adalah
akuntabilitas politik, yakni bercirikan sumber pengawasan eksternal pemilih, voter, constituent, dan tingkatan pengawasan yang rendah karena lebih memberlakukan nilai-
nilai responsiveness Penilaian terhadap kinerja juga mencakup penilaian kinerja yang terfokus pada
sumber daya manusia atau kinerja individu. Khasanah manajemen kinerja yang berkaitan dengan perbaikan kinerja sumber daya manusia, banyak dibahas dalam konteks ‘Human
Performance Improvement’ HPI. American Society for Training and Development ASTD, 1992, dalam Rothwell, et al, 2000:10 yang memberikan batasan HPI “sebagai
suatu pendekatan yang sistemik untuk menganalisis, memperbaiki, dan mengelola kinerja individual di tempat kerja melalui penggunaan intervensi yang bermacam-macam dan
sesuai”. Hampir sama denga n ASTD, Harless 1992, ibid:10, mendefinisikan HPI sebagai
“proses analisis, desain, pengembangan, testing, implementasi, dan evaluasi dari intervensi yang sesuai terhadap kinerja SDM yang sepantasnya”. Secara lebih lengkap
Rothwell 1996, ibid:10 mendefinisikan HPI “sebagai suatu proses yang sistematik dari pengenalan dan penganalisisan kesenjangan-kesenjangan kinerja SDM yang penting,
perancangan dan pengembangan dengan pembiayaan yang effective dan intervensi secara etik terhadap bagaimana caranya menutup kesenjangan-kesenjangan tersebut, kemudian
mengimplentasikan intervensi, dan mengevaluasi hasilnya baik secara finansial maupun non- finansial”.
Rothwell, et al 2000:44-45 menyatakan kesenjangan atau gap kinerja merupakan perbedaan antara tingkatan kinerja saat ini dengan tingkatan kinerja yang diinginkan
63 Rumusannya adalah : Desired Performance – Current Performance = Performance Gap
or Discrepancy Dari beberapa definisi HPI nampak bahwa perbaikan kinerja SDM adalah amat
penting dalam organisasi. Gilley dan Maycunich 2000:182 menyatakan bahwa HPI dapat menyediakan pendekatan-pendekatan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
kinerja melalui analisis permasalahan yang menyentuh keakarnya. Pendekatan system yang digunakan memungkinkan menganalisis elemen-elemen yang saling terkait dengan
penyebab kesenjangan kinerja individual SDM. Rothwell 1996:32 menyatakan bahwa pendekatan system memandang organisasi sebagai system yang terbuka yang dengan
demikian tergantung pada sukses tidaknya interaksi organisasi dengan lingkungannya. Rothwell juga mengidentifikasikan bahwa setidaknya ada 4 empat macam lingkungan
yang menurutnya dapat membantu menemukan upaya-upaya perbaikan kinerja SDM. Lingkungan tersebut yakni: 1 Lingkungan organisasional, yakni sinonim dengan
suprasistem atau segala sesuatu yang ada di lingkungan eksternal organisasi. 2 Lingkungan kerja, yakni segala sesuatu yang ada didalam organisasi atau disebut
lingkungan internal organisasi. 3 Pekerjaan itu sendiri, dimana terjadi proses input ditransformasikan menjadi output, dan yang terakhir adalah, 4 Pekerja atau individu-
individu atau SDM yang akan dinilai hasil pencapaian kinerjanya. Selain itu, Gilley dan Maycunich 2000:199 mengingatkan bahwa kegagalan HPI
selama ini dikarenakan terabaikannya beberapa prinsip-prinsip penting oleh para pimpinan organisasi. Prinsip -prinsip tersebut adalah: 1 keterhubungan antara kinerja
dengan penghargaanreward. Para pegawai gagal mewujudkan peningkatan kinerja mereka sebab mereka merasa bahwa pimpinan tidak menghargai dan menghubungkan
pencapaian kinerja terbaik mereka dengan reward atau penghargaan. Para pimpinan menunda-nunda, mengelak, bahkan mengambil waktu yang sangat panjang untuk urusan
reward ini, sehingga pegawai menjadi tidak percaya dan menganggap peningkatan kinerja mereka tidak ada hubungannya sama sekali atau tidak ada implikasinya dengan
penghargaan yang seharusnya diterima. Pandangan ini disebut sebagai performancereward disconnect. 2 Prinsip yang kedua adalah tidak menutupi hasil
kinerja pegawai dengan dalih apapun. Para pegawai perlu mengetahui seberapa jauh atau seberapa banyak hasil kinerja mereka, agar mereka dapat menentukan prioritas langkah-
64 langkah apa yang harus diperbuatnya untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja
berikutnya. Dalam masalah ini bukan kinerja pegawai yang salah, melainkan ketidakmampuan para pimpinan untuk mengkomunikasikan dengan para pegawai. Hal ini
sering disebut sebagai ‘performance whitewashing’ menutup-nutupi pencapaian kinerja pegawai. 3 Kegagalan kinerja SDM juga disebabkan karena inspection failure yakni
kelalaian para pimpinan organisasi untuk mengontrol pekerjaan pegawai. Pimpinan yang hanya mengalokasikan sedikit waktu untuk mengontrol kinerja pegawainya akan
menemui kegagalan dalam pencapaian kinerja SDM yang diharapkannya. Konsep kinerja yang multidimensional juga menggambarkan ragam faktor-faktor
yang diperkirakan mempengaruhi penilaian suatu kinerja. Tom Gilbert dalam LaBonte, 2001:4, mengidentifikasikan 6 enam variable kunci yang menurutnya harus
dipertimbangkan dalam menilai kinerja organisasi, yakni pertama adalah variable lingkungan yang terdiri dari informasi, resources, dan incentives, serta yang kedua adalah
variable individual yang terdiri dari knowledge, capacity, dan motives. Rummler dan Brache 1988, dalam Rothwell, dkk 2000:5 mengetengahkan 6
enam variabel yang mempengaruhi kinerja individu dalam pekerjaannya, spesifikasi pekerjaan, campur tangan terhadap pekerjaan mereka, konsekuensi-konsekuensi,
feedback , knowledge dan skill, serta kapasitas individual. Tidak berbeda jauh dengan rumusan Rummler maupun Gilbert, Armstrong dan
Baron 1998:16 mengetengahkan 5 lima faktor yang mempengaruhi kinerja yakni, faktor- faktor personal seperti skill, kompetensi, motivasi, dan komitmen. Kemudian yang
kedua adalah faktor- faktor leadership seperti kualitas dukungan, pemberian semangat, dan team leader. Ketiga, yakni faktor team, antara lain kualitas dukungan yang
disediakan oleh kolegatemanteam work. Keempat, faktor sistem meliputi sistem kerja dan fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh organisasi. Dan yang kelima, adalah faktor
situasional atau kontekstual yang berupa tekanan dan perubahan lingkungan eksternal maupun internal dimana individ u itu bekerja .
Masalah manajemen kinerja yang dihadapi oleh sektor publik, adalah masalah pengukuran. Sektor publik pada umumnya tidak memiliki standard kinerja yang baku
sebagaimana dalam sektor private. Standard kinerja yang ada umumnya bersifat ad hoc
65 dan jauh dari sistematik. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hughes 1994:205
sebagai berikut : “By any standard, performance management in the tradisional model of public
administration was inadequate, and this applies to either the performance of individuals or organization. Measures which did exist were ad hoc and far from
systematic”.
Pengukuran Kinerja Balanced Scorecard
Pengukuran kinerja merupakan bagian dari manajemen kinerja yang dipandang penting baik di organisasi private maupun publik. Keinginan organisasi untuk
mengetahui kinerjanya sering terhambat oleh masalah yang berkaitan dengan pengukuran. Hughes ibid:206 mengakui bahwa memang benar sangat sulit mengukur
kinerja di sektor publik sebab di sana tidak ada ide tentang apa yang diproduksi, bagaimana memproduksinya, apakah pekerja bekerja dengan baik, bagaimana mengukur
produktifitas mereka, apakah pelanggan puas, jika tidak siapa yang harus menghadapi keluhan pelanggan, dan seterusnya. Bahkan di banyak kasus, seorang administrator tidak
perlu bersusah payah memikirkan kinerja anak buahnya, menurut mereka pengukuran kinerja hanya menimbulkan masalah.
Kendati demikian Niven 2003: x mengingatkan bahwa pembedaan antara publik dan privat hendaknya tidak dipakai sebagai alasan untuk menghindari pengukuran
kinerja. Di era keterbukaan yang semakin tinggi organisasi sektor publik harus berani menerima tantangan berupa akuntabilitas dan transparansi melalui penilaian terhadap
kinerja mereka. Informasi dan pelaporan kerangka kerja yang konsisten dari kinerja sektor publik dipandang sebagai kemampuan untuk menyingkap kinerja dan hasil dari
pekerjaan mereka. Reformasi manajemen kinerja sektor publik dipandang sangat penting, dan
menjadi bagian integral dari program-program yang ada di setiap organisasi pelayanan publik. Organisasi pelayanan publik saat ini diharapkan dapat mengembangkan berbagai
66 indikator kinerja yang dapat diukur secara obyektif dan mengacu pada pencapaian tujuan
organisasi Hughes, 1994; Wilson dan Hinton, 1993; Gilley, et al, 1999 Salah satu pengukuran kinerja organisasional yang saat ini masih banyak
digunakan baik di organisasi privat maupun publik adalah Balanced Scorecard BSC karya Kaplan dan Norton 1996. Inti dari konsep BSC sebagaimana telah diungkapkan
sebelumnya adalah mencakup pengukuran kinerja organisasi melalui 4 empat Perspektif utama, yakni Keuangan, Proses Internal, Pembelajaran-Pertumbuhan, serta Pelanggan.
Sebelum BSC diperkenalkan pada tahun 1990 oleh Kaplan dan Norton, kebanyakan pengukuran kinerja dilakukan terhadap aktifitas keuangan yang juga
dianggap sebagai aktifitas yang telah berlalu past-activity, sedangkan aktifitas-aktifitas lainnya yang bersifat non-keuangan dan mendorong kesuksesan organisasi di masa depan
proses internal, pembelajaran-pertumbuhan pegawai, dan pelanggan jarang dilakukan. Selanjutnya Kaplan dan Norton ibid:8 juga mengetengahkan bahwa pengukuran
kinerja baik finansial maupun non-finansial tersebut harus menjadi bagian dari sistem infor masi untuk para pekerja di semua tingkatan di perusahaan. Para pekerja lini depan
harus memahami konsekuensi finansial akibat dari tindakan dan keputusan-keputusan mereka. Sedangkan pada pimpinan juga harus memahami berbagai faktor pendorong
keberhasilan finansial jangka panjang. Berikut ini pandangan Kaplan dan Norton terhadap 4 empat perspektif BSC yang diketengahkannya tersebut.
Pertama, Perspektif Keuangan. Dalam organisasi keuangan dipandang sangat penting karena memberikan suatu catatan konsekuensi tindakan ekonomis yang telah
diambil oleh organisasi di masa lalu. Pengukuran kinerja keuangan menunjukkan apakah strategi, implementasi, dan pelaksanaan kebijakan keuangan memberikan kontribusi atau
tidak terhadap peningkatan keuntungan organisasi. Tujuan keuangan pada organisasi bisnis biasanya berkaitan dengan profitabilitas, return on capital employed ROCE, dan
economic value added. Di dalam organisasi publik tidak selalu demikian, Niven 2003:33 menjelaskan bahwa dalam organisasi publik dan non-profit, tujuan ukuran
kinerja keuangan adalah beda, karena kedua organisasi tersebut tidak berorientasi pada laba, sehingga penekanannya akan lebih mengacu pada bagaimana dana digunakan secara
efisien dan efektif, atau seberapa jauh pemborosan dapat ditekan, dan seberapa jauh kemampuan pendanaan organisasi secara berkelanjutan kedepan. Pemasukan keuangan
67 pelayanan publik di daerah diperoleh melalui beberapa model, pertama, tergantung pada
dana bantuan dari pusat yang secara fundamental dasarnya adalah pajak daerah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Wilson dan Hinton 1993:175 bahwa :“Local authority
net revenue funding was provided in the form of grants from central government. The fundamental need for grants stems from the tax based of local government”. Grant dapat
berarti sebagai suatu subsidi, atau sebagai bantuan proyek Considine, 1994:43. Kedua, melalui pungutan pajak langsung atau charging yang dikenakan pada sejumlah jasa
publik maupun non publik, yang secara keseluruhan merupakan penerimaan asli daerah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Considine 1994:43 sebagai berikut : “Indirect
taxes, taxes on specific goods and charges for the use of government services are also valued tools”
Kedua, Perspektif Pelanggan. Perhatian terhadap pelanggan pada umumnya hanya dikenal pada organisasi bisnis. Bisnis merasa perlu untuk mengidentifikasi pelanggan dan
segmen pasar dimana perusahaan akan bersaing. Ukuran utama kinerja dari aspek pelanggan umumnya terdiri atas, kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, akuisisi
pelanggan baru, profitabilitas pelanggan, dan pangsa pasar di segmen sasaran. Selain itu perspektif pelanggan juga mencakup berbagai ukuran tertentu yang menunjukkan
proposisi nilai yang akan diberikan oleh perusahaan pada pelanggan. Proposisi nilai pelanggan ini penting karena dapat menjadi faktor pendorong apakah pelanggan akan
tetap loyal, atau sebaliknya. Sebagai contoh misalnya pelanggan akan lebih menghargai masalah tenggang waktu lead times yang singkat atau tepat waktu pada pengiriman
barang-jasa yang diinginkannya. Juga pelanggan akan lebih menyukai produk -jasa yang inovatif, dan harga yang murah atau terjangkau. Harapan pelanggan terhadap jasa-barang
yang diinginkannya dipengaruhi oleh komunikasi dari mulut ke mulut, kebutuhan personal, pengalaman masa lalu, komunikasi eksternal penyedia layanan pada calon
pelanggan, demikian hasil identifikasi dalam penelitian kepuasan pelanggan yang dilakukan oleh Zeithaml, et al 1990:19
Pada pelayanan publik, konsep pelanggan menjadi problema tersendiri. Kesulitan utama untuk konsentrasi pada pelanggan adalah karena disana ada beberapa aktor yang
terlibat, seperti politisi, pembayar pajak, pemilih, yang secara keseluruhan berpengaruh terhadap pelayanan publik, sehingga untuk secara esklusif hanya memperhatikan
68 pelanggan adalah tidak mungkin. Flynn, 1988, dalam Eliassen dan Kooiman, 1993:130.
Hal ini juga diungkapkan oleh Chapman dan Cowdell 1998:145 bahwa “In the public services, it can be quite difficult to understand the importance of client expectations ,
particularly in a situation where an organization is effectively a monopoly provider” Hal tersebut kemudian dibantah oleh Farnham dan Horton 1993:170, bahwa :
“Local authority managers are producing mission statement and business plans, costing services, drawing up contracts, establishing quality assurance system and developing
customer awareness. These are now central to management agenda”. Sejalan dengan hal tersebut, penciptaan indikator- indikator kepuasan pelanggan pada pelayanan publik
bukan merupakan masalah lagi. Pada sebagian besar organisasi publik, selain mengetahui kepuasan pelanggan, juga perlu diketahui bagaimana membangun dukungan komunitas
build community support. Hal ini akan terwujud jika proses internal berhasil mengembangkan inovasi dan sesuatu yang baru. Niven, 2003 :37.
Ketiga, Perspektif Proses Internal. Dalam perspektif ini, identifikasi berbagai proses internal adalah penting, sebab memungkinkan organisasi bisnis untuk,
memberikan proposisi nilai yang akan menarik perhatian pelanggan, serta memenuhi harapan terhadap keuntungan finansial yang tinggi pada para shareholder. Di dalam
bisnis, pengukuran keunggulan proses internal dapat melalui beberapa indikator, antara lain melalui ‘waktu siklus pengiriman’ delivery cycle time yakni jumlah waktu dari
pesanan diterima pelanggan sampai pada saat pesanan lengkap dikirimkan. Termasuk dalam ukuran ini adalah waktu tunggu, waktu inspeksi, waktu gerak, dan waktu antri.
Ukuran lainnya adalah berkaitan dengan inovasi produk dan proses pengenalannya, antara lain adalah prosentase penjualan produk baru, perkenalan produk baru dengan
benchmarking produk lainnya, waktu yang diciptakan untuk penciptaan produk dengan generasi berikutnya Tunggal, 2001:87.
Dalam organisasi publik, pengembangan proposisi nilai pelanggan juga dipandang penting, karena dapat mempertahankan loyalitas pelanggan, serta mendorong
dukungan komunitas yang lebih tinggi lagi bagi penyediaan layanan jasa publik, bentuk pengukurannya sebagaimana disarankan oleh Niven, 2003:18 adalah mengidentifikasi
bagaimana menciptakan proses internal baru dari pada konsentrasi pada aktifitas-aktifitas perbaikan. Termasuk dalam area ini antara lain adalah pengembangan layanan dan sistem
69 pengantaran , kemitraan dengan masyarakat yang dilayani, presentasi laporan- laporan
yang menunjukkan proses internal baru pada khalayak atau semacam promosi. Keempat, Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan. Perspektif keempat dari
BSC ini mengidentifikasikan pentingnya infrastruktur yang harus dibangun perusahaan dalam menciptakan pertumbuhan dan peningkatan kinerja jangka panjang. Setidaknya
ada 3 tiga sumber utama infrastruktur dalam pembelajaran dan pertumbuhan yakni, manusia, sistem dan prosedur perusahaan. Perusahaan perlu menutup kesenjangan antara
kondisi aktual manusia, sistem, dan prosedur dengan kondisi yang diharapkan. Untuk menutup kesenjangan infrastruktur manusia, diperlukan faktor pendongkrak yakni,
peningkatan kapabilitas pegawai, antara lain dengan pelatihan dan pendidikan yang berkaitan dengan kompetensi yang dibutuhkan dalam pekerjaannya, kepuasan pegawai
dan kapabilitas informasi. Kapabilitas pegawai dari aspek kompetensi adalah suatu karakteristik dasar dari
seseorang yang memungkinkannya memberikan kinerja unggul dalam pekerjaan, peran, atau situasi tertentu. Dalam model gunung es kompetensi terbagi tiga, pertama
kompetensi yang nampak di permukaan dapat diketahui bentuknya yakni, ketrampilan dan pengetahuan. Tingkat kedalaman kedua yang semakin tidak terlihat tetapi
mengarahkan dan mengendalikan perilaku permukaan adalah, peran sosial dan citra diri, watak, dan motif- motif yang lebih dekat dengan kepribadian seseorang. Ketrampilan
adalah hal- hal yang orang bisa lakukan dengan baik, misalnya programming, mengetik, dan sebagainya, sedangkan pengetahuan adalah apa yang diketahui seseorang tentang
suatu topik, misalnya bahasa komputer. Peran sosial adalah citra yang ditunjukkan oleh seseorang di depan publik. Peran sosial mewakili apa yang dianggap orang itu penting.
Peran sosial juga mencerminkan nilai-nilai seseorang. Boulter, et al 2003:39 Bramley 1996:73 menjelaskan knowledge, skill, dan attitude dari aspek
pengukuran. Pengertian tentang knowledge, dibedakan ke dalam 3 tiga tingkatan, yakni 1 tingkatan paling dasar yang disebut sebagai declarative knowledge. Artinya yang akan
diukur adalah kemampuan dasar tentang fakta dan informasi tugas-tugas di seputar area pekerjaan. Dalam hal ini berkaitan dengan informasi tentang ‘what’ Contoh, informasi
tentang di mana ruang periksa, di mana ruang UGD, atau bagaimana mengisi formulir formulir pendaftaran, atau isian blangko apa saja yang harus diberikan pada pasien dalam
70 rangka rujukan , dan seterusnya. 2 Pengetahuan yang berkaitan dengan kemampuan
untuk merangkai potongan-potongan informasi secara baik sehingga dapat menjadi penjelasan tentang ‘how’, misalnya bagaimana prosedurnya, bagaimana melakukan
sesuatu, bagaimana mengatur permintaan atau tindakan-tindakan, dan sebagainya. Pengetahuan pada tingkat ini disebut procedural knowledge. 3 tingkat pengetahuan
yang tertinggi adalah ‘strategic knowledge’. Pada tingkat ini kemampuan yang diukur mencakup informasi tentang ‘way’ dan ‘which’ yakni kemampuan menganalisis situasi
tertentu, membuat keputusan tentang apa yang baik dan apa yang tidak, menganalisis masalah- masalah dalam organisasi, dan sebagainya.
Tentang skill atau ketrampilan, Bramley 1996:81 membagi kedalam 4 empat tingkatan yakni, 1 tingkat skill yang paling dasar, disebutnya sebagai communication.
Contoh dalam hal ini misalnya kemampuan memberikan gambaran atau ciri, atau identitas sesuatu. 2 tingkatan kedua adalah simple procedure, yakni kemampuan untuk
menunjukkan gambaran suatu prosedur sederhana, baik dengan instruksi, lisan atau catatan. 3 tingkatan skill yang disebut skilled action atau skill automaticly. Ukurannya
adalah kemampuan mengoperasikan sesuatu komputer, mobil, mesin ketik, dsb secara otomatis tanpa perlu diberikan contoh atau arahan terlebih dulu. 4 tingkatan tertinggi
dari skill adalah judging. Ukuran ketrampilan telah sampai pada taraf kualitas. Sebagai contoh, misalnya seorang dokter memutuskan apakah obat yang diberikan tepatmanjur
atau sebaliknya, pertimbangannya adalah bukan karena secara otomatis obat diberikan karena memang demikian seharusnya, akan tetapi lebih mempertimbangkan masa depan
kesehatan pasien yang juga kepuasan dirinya sebagai dokter. Pada indikator kepuasan pegawai, unsur-unsur dalam kepuasan pegawai, antara
lain adalah keterlibata n dalam pengambilan keputusan, penghargaan, akses yang memadai pada informasi yang digunakan untuk melakukan pekerjaan dengan baik,
dorongan aktif pimpinan, tingkat dukungan lingkungan kerja, dan sebagainya Tunggal, 2001:89. Konsep ini juga dapat diaplikasikan dalam organisasi publik, dengan
menambahkan motivasi pegawai, design perbaikan sistem insentif mengingat para pegawai publik bekerja pada kondisi keuangan yang terbatas. Niven, 2003:35.
Selanjutnya pada kapabilitas informasi yang juga dipandang penting dalam dimensi pembelajaran dan pertumbuhan, Niven ibid:200-201 mengetengahkan bahwa
71 informasi adalah lebih dari pada kemampuan untuk sekedar menerapkan perangkat IT
information technology, melainkan kemudahan akses informasi itu sendiri. Para pegawai harus mampu mengakses informasi tentang pelanggan, dan stakeholder lainnya.
Dalam hal ini kapabilitas informasi dapat diukur melalui ketersediaan, kesesuaian dan kemudahan akses informasi- informasi yang berhubungan dengan pekerjaan maupun
Pelanggan. Penempatan Perspektif Keuangan pada posisi teratas dalam konsep BSC,
menggambarkan bahwa tujuan keuangan merupakan aspek utama dalam pengukuran kinerja organisasi, yakni untuk memuaskan stakeholder perusahaan, antara lain
pemegang saham, konsumen, karyawan, dan lain- lainnya yang secara keseluruhan tercermin dalam perspektif keuangan.
Karena pelayanan publik pada umumnya tidak berorientasi keuntungan finansial, maka komposisi penempatan keempat perspektif BSC tersebut berbeda. Dalam hal ini
Niven 2003:17-19, menjelaskan bahwa konsep BSC dapat diterapkan dalam organisasi publik dan nonprofit, dengan penyesuaian-penyesuaian dimensinya. Ditambahkannya,
bagi organisasi publik dan nonprofit, aspek nilai tambah ekonomis dan profitabilitas pada kinerja keuangan bukan menjadi tujuan utama. Tujuan utama dalam organisasi publik
adalah ‘memberikan pelayanan’ sebaik mungkin dan seefisien mungkin pada masyarakat pelanggan, sehingga prioritas utama dalam misi organisasi adalah ‘pelanggan’ dalam arti
‘siapakah pelanggan kita, dan bagaimana kita menciptakan nilai untuk pelanggan kita tersebut’. Berdasarkan argumentasi tersebut maka model BSC disesuaikan dengan
menempatkan perspektif pelanggan pada posisi utama. Sebagaimana diketengahkannya bahwa : “We put the customer perspective at the top. The message is that anything and
everything we do regarding financials, revenues, and so on is there to support our customer” ibid : 34
Jika Niven menempatkan fokus kinerja atas pelanggan, maka tidak demikian halnya dengan Olve, et al 1999:307, menurutnya penerapan BSC dalam organisasi
publik tetap harus menempatkan kinerja keuangan sebagai fokus utama sebagaimana pada organisasi bisnis. Baik dalam sektor publik maupun private, hal yang paling sesuai
dalam pemanfaatan BSC adalah membagi setiap dimensi ke dalam kelompok ‘waktu’, seperti misalnya, dimensi ‘keuangan’ adalah dikelompokkan ke dalam waktu ‘kemarin’
72 yesterday, dimensi ‘pelanggan’ dan ‘Proses internal’ dikelompokkan ke dalam waktu
‘sekarang’ today, dan dimensi ‘pembelajaran-pertumbuhan’ dikelompokkan ke dalam waktu ‘besuk’ tomorrow. Dengan pengelompokkan waktu secara demikian, maka fokus
BSC akan menjadi jelas, dalam hal ini, apa yang harus dilakukan sekarang dan apa yang harus dilakukan besuk, keduanya tetap berdasar pada pengalaman ‘kemarin’, yakni
dimensi keuangan. Argumen ini merupakan alasan pertama Olve, dan kawan-kawan. Sedangkan alasan kedua, adalah bahwa di dalam sektor publik, mengukur ‘kepuasan
pelanggan’ dan ‘loyalitas pelanggan’ adalah sulit, mengingat cakupan dari pelayanan publik yang demikian luas. Arti kepuasan pelanggan sesungguhnya adalah mencakup
‘benefit to society’, yang menurut Olve, et al hal ini tidak mudah untuk mengukurnya. Berdasarkan hal tersebut, maka pengukuran hanya mungkin dilakukan melalui
penghitungan atau konversi suatu hasil secara moneter . Sejalan dengan konsep waktu-nya Olve, dan kawan-kawan, Andre de Waal
2001: 88, menjelaskan bahwa kinerja keuangan adalah menunjukkan dimensi masa lalu, dimana pengukurannya adalah untuk mengetahui ‘apa yang terjadi dimasa lalu’. Baik
Waal maupun Kaplan dan Norton menyebutnya sebagai ‘lag indicator’. Untuk melengkapi indikator masa lalu, organisasi harus mengukur indikator pendorong atau
‘lead indicator’ yang akan meramalkan hasil masa depan. Menurut Waal, perspektif indikator pendorong ini dapat berbeda dalam setiap organisasi yang berbeda-beda, seperti
misalnya organisasi publik berbeda dengan private. Ditambahkannya pula, bahwa suatu pengukuran yang seimbang adalah mencerminkan hubungan ‘cause-and-effect’ oleh
mana nilai-nilai pelanggan diciptakan. Dalam penjelasannya, Kaplan dan Norton menegaskan bahwa kinerja-kinerja
yang diukur dalam Perspektif BSC pada dasarnya harus terhubung satu dengan yang lain, jika salah satu menjadi indikator hasil lag indicator, maka harus ada indikator
pendorong lead indicator. Dengan demikian kinerja-kinerja yang diukur bukan kinerja parsial dan berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling terhubung sebagai suatu sistem.
Gagasan Kaplan dan Norton terkait dengan hubungan kausalitas sistemik antara keempat Perspektif Kinerja BSC tersebut sesungguhnya dilandasi oleh pendekatan
organisasi sebagai suatu sistem di mana setiap elemen dari kinerja organisasi
73 sesungguhnya saling interdependensi dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain
dan membentuk suatu kesatuan kekuatan kinerja organisasi secara utuh. Hanya sayang bahwa konsep BSC tidak dilengkapi dengan alat yang dapat
menjelaskan seberapa jauh hubungan sistemik yang terdapat dalam variable- variabel kinerja dapat diukur secara kuantitatif. Sehingga untuk keperluan analisis hubungan
kinerja secara sistemik diperlukan suatu metode dan alat yang dapat menjembatani. Sejalan dengan kebutuhan tersebut, maka dipandang perlu untuk menggunakan
konsep System Thinking ST dan metode System Dynamic SD yang mampu menjabarkan pola hubungan dinamis kinerja BSC.
Perspektif Berpikir Sistem
Paradigma berpikir sistem atau ‘system thinking’ selanjutnya ditulis ST memperoleh perhatian pada awal abad 20, di mana para ahli fisika quantum mulai
mempertanyakan persepsi ‘Newtonian’. Sanggahan terhadap ‘kebenaran’ teori Newton muncul dalam bentuk formulasi tentang prinsip -prinsip ‘uncertainty’ atau ketidakpastian,
di tahun 1923. Kemudian pada tahun 1947, Weiner mengembangkan cybernetics, yakni ilmu tentang hubungan manusia dengan mesin. Setelah itu Von Bertalanffy
mengembangkan teori system melalui bukunya yang berjudul ‘General System Theory’ dan dipub likasikan pada tahun 1954. Selanjutnya Forrester dari Massachusetts Institute of
Technology MIT memperkenalkan dan mendemonstrasikan simulasi model yang kemudian dikenal dengan ‘system dynamic’. Maani dan Cavana, 2000:6
Ide yang terkandung dalam teori ST tersebut adalah melihat ‘dunia’ organisasi sebagai suatu sistem, sebagaimana diketengahkan dalam 5 lima disiplin pembelajaran
organisasi oleh Senge yang menempatkan ST dalam disiplin yang ke lima. Untuk memahami ST, maka secara berturut-turut akan diketengahkan tentang teori atau konsep
sistem, kemudian konsep berpikir sistemik, konsep dinamika sistem dan konsep model. Dalam kehidupan sehari- hari setiap orang dihadapkan, dipengaruhi, bahkan
mempengaruhi sistem, apakah itu sistem biologi, sosial, ekonomi, politik, alam, dan sebagainya. Demikian pula dalam kehidupan organisasi modern. pekerjaan manusia
hampir tidak dapat dipisahkan dengan sistem, seperti komputer, mobil, bangunan, sistem
74 kerja, sistem produksi, dan seterusnya. Senge, et al 1999:137, mendefinisikan sistem :
“System are defined by the fact that their elements have a common purpose and behave in common ways, precisely because they are interrelated toward that purpose”.
Sementara itu Ruben 1988: 62 melengkapi definisi sistem sebagai suatu entitas atau suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling interdependensi.
Secara lengkap definisi tersebut adalah sebagai berikut : “A system is any entity or whole that is composed of interdependent parts. System have characteristics and capabilities
that are distinct from those of separate parts”. Diketengahkannya pula bahwa sebagian besar sistem memiliki kelengkapan fisik seperti, mobil, rumah, masyarakat, sistem
transportasi, sistem tubuh manusia, dan sebagainya. Sejalan dengan definisi Ruben, Maani dan Cavana 2000:6 mendefinisikan
sistem sebagai berikut : “A system is a collection of parts that interact with one another to function as a whole”. Meskipun demikian, sistem dikatakan lebih dari sekedar
kumpulan bagian-bagian, melainkan di sana terdapat produk dari ‘interaksi’ antar bagian- bagian tersebut. Checkland 1999:24 menterjemahkan sistem sebagai ‘holon’ yakni
sistem aktifitas manusia. Aminullah 2004:2 mempertegas pengertian sistem sebagai ‘keseluruhan saling
pengaruh antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan’. Tidak jauh berbeda dengan Aminullah, sistem juga didefinisikan
sebagai “keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan”. Pengertian ‘keseluruhan’ adalah lebih dari
sekedar penjumlahan atau susunan aggregate, namun terletak pada kekuatan power yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau
susunan. Muhammadi, dkk, 2001:3. Selanjutnya menurut Muhammadi, dkk ibid:4-8, definisi tersebut mengandung
beberapa pengertian, yakni : 1 Pengertian ‘interaksi’ adalah pengikat atau penghubung antar unsur, yang memberi bentuk struk tur kepada obyek, membedakan dengan obyek
lain, dan mempengaruhi perilaku dari obyek. Contoh misalnya struktur organisasi adalah pengikat dari bagian produksi, pemasaran, keuangan, dan personalia yang memberi
bentuk dan membedakan antara suatu organisasi bisnis atau publik. Selanjutnya perbedaan struktur ini akan mempengaruhi perilaku dan unjuk kerja organisasi-organisasi
75 yang bersangkutan. 2. Dalam system juga mengandung pengertian ‘unsur’ adalah
benda, baik kongkrit atau abstrak, yang menyusun obyek sistem. Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur ini. Gangguan salah satu fungsi unsur akan mempengaruhi
unsur lain, sehingga akan mempengaruhi pula fungsi kerja sistem secara keseluruhan. Unsur juga disebut bagian atau sub-sistem. Contoh dalam organisasi publik, jika fungsi
keuangan terganggu, maka fungsi-fungsi lainnya seperti produksi, distribusi, dan pelayanan pelanggan juga akan terganggu. 3. Pengertian ‘obyek’ adalah sistem yang
menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu sehingga dapat dibedakan antara sistem dengan lingkungan sistem. Artinya semua yang di luar sistem adalah lingkungan system.
Semakin luas batas perhatian semakin kabur batas sistem, sebaliknya jika semakin spesifik batas obyek, maka semakin jelas batas sistem. Contoh. Perusahaan dalam bentuk
fisik sangat jelas batasnya dengan lingkungan wilayah, sedangkan perusahaan dalam bentuk intangible seperti organisasi akan kabur batasnya dengan lingkungan pasar. 4
Selanjutnya adalah pengertian ‘batas’, antara system dengan lingkungan tersebut memberikan dua jenis sistem yakni ‘sistem tertutup’ dan ‘sistem terbuka’. Sistem tertutup
adalah sebuah sistem dengan batas yang dianggap kedap tidak tembus terhadap pengaruh lingkungan. Sistem tertutup itu hanya ada dalam anggapan untuk kepentingan
analisis, karena pada kenyataannya sistem selalu berinteraksi dengan lingkungan atau sebagai sebuah sistem terbuka. Contoh, organisasi apapun selain terdapat interaksi dari
bagian-bagian yang ada didalamnya, juga melakukan interaksi dengan lingk ungannya misalnya pelanggan, pemasok, pesaing, pemerintah, dan sebagainya. 5. Yang terakhir
adalah pengertian ‘tujuan’ yakni unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Unjuk kerja yang teramati merupakan hasil yang telah dicapai oleh kerja sistem, yaitu
keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu. Terkait dengan pemahaman dasar tentang konsep sistem tersebut, orang diajak
untuk memahami tentang kompleksitas suatu sistem di mana kehidupan terus berlanjut dan tumbuh. Banyak masalah-masalah organisasi bermunculan sebagai akibat tidak
diantisipasinya efek samping dari tindakan-tindakan di masa lalu. Hal ini berakibat pada gagalnya implementasi kebijakan untuk memecahkan masalah penting, dan tentunya
justru akan menciptakan masalah baru. Agar pembuatan keputusan efektif, diperlukan cara berpikir yang memahami kompleksitas sistem itu sendiri.
76 Suatu paradigma dalam berpikir dan bertindak berdasarkan pada kompleksitas
sistem disebut sebagai ‘system thinking’ ST. ST didefinisikan oleh Sterman 2000:4 sebagai : ‘…the ability to see the world as a complex system, in which we understand that
‘you can’t just do one thing’ and that ‘everything is connected to everything else’. Checkland 2000:21-23 menambahkan, bahwa ST adalah melihat dunia sebagai
suatu sistem sama artinya dengan memahami hubungan- hubungan yang ada di dalamnya. Dalam melihat kompleksitas dunia tersebut, manusia dipenuhi ide- ide abstrak tentang
dunia menurut persepsinya. Gambaran dunia nyata akan diperoleh ketika ide-ide yang dipersepsikan manusia tersebut diterjemahkan dengan metodologi penelitian.
Di dalam organisasi, berpikir sistemik tidak sekedar memandang struktur organisasi sebagai bagan semata, atau melihat struktur organisasi sebagai desain dari alur
dan proses pekerjaan dalam organisasi, sebagaimana gambaran orang saat ini. Menurut Senge 1994:90, dalam perpikir sistemik ST, struktur organisasi adalah pola dari
interrelationship diantara berbagai komponen dalam sistem organisasi. Termasuk didalamnya adalah alur dari hirarkhi dan proses, juga berbagai perilaku dan persepsi,
kualitas produk, cara-cara keputusan dibuat, dan ratusan faktor lainnya yang ada disana. Berkaitan dengan pengambilan keputusan, Sterman 2000:3 -5 mengetengahkan
bahwa ST dapat dipahami ketika melihat orang-orang berpandangan holistik, di mana mereka akan bertindak dan berpikiran jangka panjang dan melihat sistem secara
keseluruhan, mengidentifikasikan daya pengungkit yang tinggi pada sistem, dan menghindarkan kebijakan yang resisten. ST merupakan tantangan dan sekaligus alat dan
proses yang menolong orang-orang dalam organisasi untuk memahami kompleksitas, merancang dengan baik pelaksanaan kebijakan, dan menjadi panduan dalam mengikuti
perubahan dalam sistem. Aminullah 2004:18 menyimpulkan bahwa “berpikir sistemik pada dasarnya
adalah alat bantu menyederhanakan kerumitan sehingga dapat ditangani. Membuat penyederhanaan adalah membuat sketsa dari suatu benda yang rumit tanpa kehilangan
wujud keseluruhan dari gambar sesungguhnya. Sketsa dapat berfungsi sebagai alat perekat bagi berbagai pihak dalam melihat rangkaian bagian dari keseluruhan secara
terpadu. Pembuatan sketsa peta sistemik adalah pintu masuk berpikir sistemik, yang perlu diurai lebih rinci, tetapi masih bisa ditangani dengan analisis sistemik”
77 Tidak semua orang berpikir secara sistemik, Maani dan Cavana 2000: 12
menjelaskan bahwa ada 4 empat tingkatan berpikir, yakni : 1 Tingkatan berpikir yang dikatakan sebagai ‘event’ yakni tingkatan berpikir yang hanya mengandalkan informasi
atau kejadian-kejadian aktual yang hanya menyentuh permukaannya saja. Misalnya informasi tentang apa yang terjadi, dimana, kapan, bagaimana, dan siapa yang terlibat.
Tingkatan berpikir demikian juga disebut ‘a snapshots view’ atau informa si yang masih dangkal. 2. Tingkatan berpikir yang disebut ‘pattern’ yakni berpikir setingkat lebih
dalam dari event, di mana diperlukan gambaran secara lebih berpola terhadap kecenderungan dari suatu kejadian. Cara berpikir demikian maksudnya untuk
memberikan pengayaan gambaran suatu kejadian secara realitis dan memberikan lebih banyak lagi ‘sisi dalam’ dari suatu kejadian. 3. Tingkatan berpikir yang ketiga adalah
berpikir secara sistemik systemic structures. Berpikir secara sistemik menunjukkan cara berpikir yang mendalam tentang bagaimana hubungan antar variable di dalam kejadian
yang kita pikirkan. Tujuan dari berpikir sistemik adalah untuk mengetahui bagaimana variable-variable tersebut saling berinteraksi. 4. Tingkatan berpikir yang paling dalam
adalah yang dinamakan ‘mental model’ yakni cara berpikir yang didasarkan pada nilai- nilai, kepercayaan, asumsi-asumsi yang dipegang, dan berbagai alasan yang diyakini
benar. Kedalaman berpikir demikian sering ditunjukkan dengan pertanyaan ‘mengapa’ sesuatu terjadi, mengapa harus dilakukan dan mengapa tidak ? Berpikir sistemik adalah
cara berpikir yang mengacu pada kedalaman tingkat berpikir yang tidak hanya melihat kejadian dari permukaannya semata fenomena gunung es melainkan berpikir hingga
ke tingkatan mental model, yakni mencari tahu sedalam-dalamnya tentang ‘akar’ dari suatu permasalahan sehingga dapat mengambil keputusan yang setepat-tepatnya.
Untuk keperluan operasional, ST dilengkapi dengan ‘System Dynamic’ SD
yakni berupa metode untuk mempelajari sistem yang komplek. Pembelajaran SD memerlukan lebih dari sekedar alat, melainkan diperlukan secara fundamental berbagai
disiplin ilmu. Selain dari pada itu, karena SD berhubungan dengan perilaku sistem yang komplek, maka landasan SD bukan teori linier melainkan sebaliknya yaitu non- linier
dengan pengembangan matematik, fisika, dan tehnik. Namun demikian untuk mengaplikasikan dalam perilaku manusia, SD dapat diturunkan atas pengetahuan sosial,
psikologi, ekonomi, dan ilmu sosial lainnya Tujuan ST dan SD adalah untuk
78 memperbaiki pemahaman terhadap kinerja organisasi serta kaitannya dengan struktur
internal, kebijakan operational, termasuk pelanggan, pesaing , dan stakeholder yang lain, dan kemudian menggunakan hal tersebut untuk kebijakan menciptakan pengungkit yang
efektif bagi keberhasilan organisasi, serta menghindarkan resistensi kebijakan. Sterman, 2000:4 -5
Forrester 1961, dalam Sterman, 2000:21-22 mempertegas bahwa penggambaran dunia nyata adalah tidak sesederhana yang kita bayangkan. Sejak awal penekanan SD
adalah pada multiloop, multistate, and non-linear character of the feeedback system in which we live. Kompleksitas dinamik muncul karena sistem memiliki sifat-sifat antara
lain adalah : 1 dinamis, sebagaimana dikatakan oleh Heraclitus, bahwa “all is change” artinya bahwa apapun yang ada di dunia ini berubah, sistem tubuh manusia, organisasi,
dan lain- lainnya dapat dipastikan mengalami perubahan. 2 Berpasangan secara ketat. Hal ini menggambarkan sifat sistem yang yang secara kuat berinterasi satu sama lain. 3
Diarahkan oleh umpan balik. Sifat ini sebagai hasil interaksi yang kuat satu sama lain, sehingga interaksi yang satu akan berdampak bagi yang lain. 4 Non- linier. Artinya
bahwa hubungan interaksi tersebut dapat menjadi hubungan sebab-akibat. 5. Pengorganisasian diri. Artinya bahwa sistem secara spontan muncul dari struktur internal
sendiri. Pola-pola yang menunjukkan saling ketergantungan merupakan umpan balik struktur. 6 Adatif, yakni kemampuan untuk menyesuaikan dengan perubahan, sepelan
apapun. Bentuknya bisa evolusi atau adaptasi melalui pembelajaran. 7 Counterintuitive, artinya bahwa di dalam sistem yang kompleks hubungan sebab akibat adalah melalui
waktu dan ruang yang panjang, sementara orang cenderung melihat segala sesuatunya pada jangka pendek, atau sesaat. 8 Resistensi kebijakan. Kompleksitas sistem seringkali
sulit untuk dipahami, hasilnya banyak pemecahan masalah yang membingungkan atau membuat situasi menjadi lebih buruk, hal inilah yang kemudian membuat resistensi. 9
Bercirikan ‘trade-offs’ artinya, adanya waktu tunda dalam umpan balik. Hal ini juga berarti terdapat respon jangka panjang dari intervensi sistem berbeda dengan respon
jangka pendek. Kebijakan pengungkit tinggi justru memperburuk, sementara kebijakan pengungkit rendah sering menimbulkan perbaikan yang tidak kekal sebelum maslah
tumbuh semakin buruk
79 Secara metodologi, ST menggunakan fungsi ‘model’ dalam menjelaskan berbagai
area yang akan diukurnya, seperti keuangan, SDM, pelanggan, dan lain sebagainya. Adapun pengertian model menurut Maani dan Cavana 2000:20 adalah : “Model is
defined as being a representation of the real world”. Model dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, apakah fisik, analog, digital computer, matematikal, dan seterusnya.
Dalam batasan tersebut oleh Maani dan Cavana, konsep model dapat dipahami tidak hanya dalam bentuknya yang tradisional yang sering mengacu pada kuantitaif hard
modelling, melainkan juga dapat dalam bentuk lebih soft modeling yang mengacu pada pendekatan konseptual dan kontekstual yang cenderung lebih realistic, pluralistic, dan
holistic atau lebih kualitatif. Dalam ST biasanya digunakan pendekatan yang lebih soft modeling sementara dalam system dynamic SD lebih mengacu pada hard modeling.
Menurut Sterman 2000:89 ‘every models is a representation of a system-a group of functionally interrelated elements forming a complex whole’. Lebih lanjut
dijelaskannya bahwa suatu model dirancang untuk memahami misalnya bagaimana siklus suatu bisnis dapat dibuat stabil, atau suatu model dari berbagai kebijakan, atau model
yang menggambarkan lingkungan ekonomi, dan seterusnya. Suatu model yang komprehensif kompleksitasnya akan serupa dengan sistemnya sendiri. Untuk membatasi
bangunan model, diperlukan ‘seni’ untuk ‘cut-out’ memperjelas tujuan model secara logika. Luasnya suatu sistem kadang-kadang tidak mungkin digambarkan dalam model
secara lengkap, apalagi jika data tidak lengkap, asumsi-asumsi tidak pernah diuji, dan orang yang membangun model tidak memahami perilaku sistem
Untuk membangun model, biasanya seseorang memerlukan syarat awal yakni membuat karakterisasi dari permasalahan melalui diskusi dengan klien, dibantu oleh para
peneliti, kemudian mengumpulkan data, wawancara, dan observasi langsung atau partisipasi. Namun demikian di sana banyak cara atau metode yang dapat dipakai untuk
mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk mendefinisikan dinamika masalah. Perilaku dinamis dari suatu sistem dapat dikenali melalui ‘model’. Menurut
Muhammadi dan kawan-kawan 2001:52, model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikategorikan ke dalam model
kuantitatif, kualitatif, dan model ikonik. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematik, statistik, atau computer. Model kualitatif adalah model yang
80 berbentuk gambar, diagram, atau matrik, yang menyatakan hubungan dalam unsur.
Dalam model kualitatif tidak digunakan rumus-rumus matematik, statistik, dan komputer. Model ikonik adalah model yang memiliki bentuk fisik yang sama dengan barang yang
ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Pentingnya model dalam SD antara lain adalah : 1 model dapat mewakili dunia
nyata, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan melalui simulasi model tanpa harus melakukan percobaan secara langsung pada fenomena yang nyata. Dengan
simulasi model berarti akan lebih menghemat biaya, tenaga, dan waktu. 2 Melalui simulasi model, para pengambil keputusan dapat melakukan penyegaran dalam mengasah
ketrampilan, dan memainkan perannya dalam pengambilan keputusan, tanpa perlu merasa bersalah karena gagal. 3 Melalui simulasi model, sebuah laboratorium yang
murah dapat disediakan untuk pembelajaran dan pelatihan dalam memahami sistem organisasi. 4. Dunia virtual yang juga merupakan model formal, menyediakan kualitas
yang tinggi akan tersedianya hasil umpan balik, sebab model dapat dikendalikan dan dikontrol dalam tingkatan variasi random yang dikehendaki. ‘Kotak hitam’ dalam dunia
nyata, bersifat tertutup dan sulit dikendalikan atau dikontrol, namun dalam dunia model, kotak hitam tersebut dapat dibuka, dimana seseorang dapat mensimulasikan asumsi-
asumsinya dan memodifikasinya berdasarkan pada pengetahuan yang dikuasainya. Sterman, 2000:35.
Selanjutnya Sterman juga mengetengahkan langkah- langkah membuat model hal ini akan dibahas dalam bab tentang metode penelitian , hanya menurut Randers 1980,
dalam Sterman 2000 :87 menyatakan bahwa tidak ada resep yang manjur untuk menjamin keberhasilan dalam membuat model. “There is no cookbook recipe for
successful modelling, no procedure you can follow to guarantee a useful model” . Membuat model adalah tergantung dari kreatifitas dan gaya serta pendekatan yang
digunakan oleh pembuat model.
81
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESA
Kerangka Berpikir
Pentingnya peran Puskesmas dalam peningkatan kesehatan penduduk di wilayahnya saat ini menghadapi berbagai tantangan baik berupa kendala internal yakni
keterbatasan-keterbatasan sumber daya manusia, serta sumber-sumber lainnya yang mendukung, maupun kendala eksternal yakni perubahan-perubahan lingkungan, dan
menurunnya kesadaran masyarakat terhadap pola hidup sehat. Berdasarkan pada kondisi aktual tersebut, maka model pemberdayaan Puskesmas
khusus nya pada aspek pelayanan kesehatan dipandang penting dan menjadi fokus utama dalam kajian ini. Konsep pemberdayaan yang menjadi acuan di sini adalah berorientasi
pada perubahan perilaku, baik perilaku sistem atau organisasi maupun perilaku individu anggota organisasi.
Dalam menciptakan model pemberdayaan Puskesmas, dibutuhkan suatu dasar yang kuat untuk mengetahui perubahan perilaku seperti apa yang dikehendaki, apakah
perilaku-perilaku di sana saling terkait satu sama lain dalam suatu sistem organisasi, bagaimana arah dan bentuk perilaku-perilaku di sana. Berdasarkan pandangan demikian
maka agar model pemberdayaan yang akan direkomendasikan lebih tepat dan sesuai, terlebih dulu dilakukan pengukuran kinerja, mengapa ? karena kinerja adalah hasil dari
perilaku yang mencerminkan kemampuan organisasi dalam melaksanakan tugasnya. Adapun alat ukur kinerja yang dipandang komprehensif dan sesuai adalah Balanced
Scorecard BSC. Dalam penelitian ini keempat perspektif kinerja BSC yang pada dasarkan
berhubungan secara kausalitas, kemudian diimplementasikan dengan menggunakan sebagian besar ukuran-ukuran generik yang terdapat di dalamnya, yang terdiri dari: 1
Perspektif pelanggan, dengan indikator kepuasan pelanggan, 2 Perspektif proses inter nal, dengan indikator-indikator kemampuan inovasi, dan operasi 3 Perspektif
keuangan, dengan indikator biaya per satu pelanggan dan kontribusi per pelanggan pada swadana, 4 Perspektif pembelajaran-pertumbuhan, dengan indikator kapabilitas
informasi, kapabilitas pegawai, dan kepuasan pegawai.
82 Untuk membantu menggali secara lebih dalam hubungan kausalitas yang terdapat
dalam kinerja BSC Puskesmas tersebut, maka diperlukan metode analisis yang sesuai, dalam hal ini adalah System Dynamic SD. Metode ini menyediakan perangkat model
yang berupa diagram yang dapat menggambarkan pola atau arah dan struktur atau bentuk hubungan kinerja sebagaimana layaknya suatu sistem. Diagram tersebut adalah Causal
Loop Diagram CLD yang menggambarkan pola atau arah hubungan variabel- variabel secara sistemik, dan Stock Flow Diagram SFD, yang menggambarkan struktur atau
bentuk hubungan secara kuantitatif, di mana variabel- variabel yang berhubungan memiliki nilai.
Kedua diagram tersebut selanjutnya menjadi dasar untuk melakukan uji sensitivitas terhadap variabel-variabel kinerja yang memiliki kompleksitas dan pengaruh yang kuat
terhadap kinerja Puskesmas secara keseluruhan.. Simulasi uji sensitivitas ini sangat membantu untuk memilih variabel-variabel mana yang memiliki sensitifitas tinggi
memiliki daya pengungkit yang tinggi yang dapat berguna untuk mengambil keputusan dalam memberdayakan Puskesmas. Variabel- variabel yang memiliki sensitifitas tinggi
kemudian disusun dalam suatu skenario kuadran Star, guna memudahkan mengambil keputusan pemberdayaan Puskesmas.
Dalam skema kerangka pemikiran berikut ini, terkandung dua aktifitas penelitian yang menggunakan paradigma yang berbeda. Aktifitas pertama adalah pengukuran
kinerja BSC pada ketiga Puskesmas sampel dengan paradigma positivist dan menggunakan perangkat analisis statistik diskriptif. Adapun sebagian besar variabel-
variabel BSC yang dioperasionalisasikan adalah menggunakan parameter generik BSC yang disesuaikan dengan kondisi Puskesmas. Variabel- variabel tersebut telah
disampaikan pada bagian pendahuluan dari disertasi ini Aktifitas kedua adalah berupa pemodelan. Aktifitas pemodelan menggunakan
paradigma System Dynamic SD dengan pendekatan hard approach kuantitatif. Penggunaan model untuk membantu memahami hubungan variabel- variabel kinerja BSC
secara sistemik. Selain itu dalam konsep BSC disyaratkan untuk menganalisis kinerja secara kausalitas. Aktifitas ini secara berurutan meliputi : 1 Pembuatan model Causal
Loop Diagram CLD yang dapat menggambarkan pola atau arah hubungan kausalitas variabel- variabel kinerja BSC. 2 Pembuatan model Stock Flow Diagram SFD, yang
83 dapat menggambarkan bentuk atau struktur hubungan kausalitas variabel- variabel kinerja
BSC secara kuantitatif. 3 Menguji variabel- variabel kinerja BSC dalam SFD. Berikut ini adalah gambaran sederhana alur kerangka berpikir disertasi ini
Gambar 5 : Kerangka Pemikiran Disertasi Hasil kajian Penulis, 2006
Variabel yang diuji adalah yang umumnya lemah dan memiliki kompleksitas hubungan kausalitas yang tinggi disebut variabel base case dengan cara memberikan
stimulus atau perubahan nilai variabel dari 10 hingga 20 dalam suatu program simulasi powersim dalam komputer. Kegunaan uji simulasi adalah untuk menemukan variabel-
variabel yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap kinerja BSC. Selanjutnya variabel- variabel yang sensitif tersebut diperlakukan sebagai variabel pengungkit dalam skenario
pemberdayaan. 4 Menetapkan skenario-skenario pemberdayaan berdasarkan variabel-
URGENSI PUSKESMAS
MODEL PEMBERDAYAAN PUSKESMAS
Elite, Moderate, Slum
PENGUKURAN KINERJA
VISI-MISI DAN STRATEGI
SKENARIO -SKENARIO PEMBERDAYAAN PUSKESMAS
Elite, Moderate, Slum
KEUANGAN
Efektifitas Biaya, dan Kontribusi Swadana
PELANGGAN
Kepuasan Pelanggan
PROSES INTERNAL
Kemamp. Inovasi, Operasi, Penyuluhan
PEMBELAJARAN DAN PERTUMBUHAN
Kapab.Pgw, Kepuasn Pgw, dan Kapab.Informasi
UJI SENSITIVITAS UNTUK MENEMUKAN VARIABEL LEVERAGE KINERJA
84 variabel yang telah diuji sensitifitasnya. Karena kinerja yang diukur adalah pada
organisasi pelayanan publik, maka skenario yang digunakan disesuaikan dengan lingkungan birokrasi dan sistem pelayanan publik, untuk itu dipilih model skenario
menurut Kuadran Star sebagaimana telah diuraikan dalam bagian pendahuluan. 5 Berdasarkan skenario kemudian ditetapkan model pemberdayaan ketiga Puskesmas untuk
prediksi atau perkiraan t5 hingga t12 triwulan 5 – 12 atau tahun 2007 - 2008 Walaupun kedua aktifitas dilaksanakan secara terpisah, namun dari aspek hasil
kedua aktifitas saling terkait. Hasil pengukuran kinerja berupa indeks rata-rata kinerja menjadi nilai awal initial dari nilai variabel yang dioperasionalisasikan dalam SFD.
Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam pemodelan CLD dan SFD adalah: Pada perspektif pelanggan terdiri dari 1. jumlah pasien dan 2 kepuasan pelanggan. Pada
perspektif proses internal terdiri dari: 1 mutu layanan, 2 waktu layanan, 3 inovasi layanan, 4 penyuluhan, dan 5 ketersediaan obat. Sedangkan pada perspektif keuangan
terdiri dari 1 penerimaan subsidi, dan 2 penerimaan retribusi swadana. Terakhir, pada perspektif pembelajaran-pertumbuhan terdiri dari 1 jumlah pegawai, 2 work load
beban kerja, 3 insentif pegawai, 4 kepuasan pegawai, 5 coverage pelatihan kebutuhan belajar, 6 ketersediaan informasi, dan 7 kapabilitas informasi.
Total seluruh variabel yang dioperasionalisasikan dalam pemodelan dan mencakup pada 4 empat perspektif kinerja BSC adalah 16 enam belas variabel. Penentuan
variabel- variabel tersebut selain berdasarkan pada parameter kinerja yang telah dikonseptualisasikan, juga berdasarkan proses validasi model yang dilakukan bersama-
sama dengan pihak Puskesmas. Kaidah ini dilakukan agar model mendekati dunia nyata, dan tidak semata-mata berlandaskan teori atau konsep yang dibangun.
Hipotesis
Hipotes is yang diketengahkan dalam penelitian ini adalah : 1. Tingkat dan pola atau arah kecenderungan kinerja BSC pelanggan, proses
internal, keuangan, dan pembelajaran-pertumbuhan pada Puskesmas elite diduga lebih baik daripada Puskesmas moderate. Sementara tingkat dan pola
kecenderungan kinerja BSC pada Puskesmas moderate diduga lebih baik daripada Puskesmas slum.
85 2. Struktur atau bentuk sistem kinerja BSC Puskesmas diduga memiliki hubungan
kausal yang membentuk suatu loop bentuk sistem tertutup di mana terdapat umpan balik feed back negatif yang mendominasi hubungan antara satu variabel
terhadap variabel lainnya. 3. Variabel-variabel leverage pengungkit yang dapat meningkatkan kinerja
Puskesmas diduga akan berbeda antara Puskesmas elite, moderate dan slum. Pada Puskesmas elite diduga variabel yang menjadi leverage adalah variabel yang
terdapat pada perspektif pembelajaran-pertumbuhan. Sedangkan pada Puskesmas moderate diduga bahwa variabel yang menjadi leverage adalah yang terdapat
pada perspektif proses internal. Sementara pada Puskesmas slum bahwa variabel yang menjadi leverage adalah yang terdapat pada pelanggan.
86
METODE PENELITIAN
Pada bagian ini secara berturut-turut akan diketengahkan paradigma penelitian, rancangan penelitian, populasi dan sampel, data, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data, validitas dan reliabilitas.
Paradigma Penelitian
Paradigma penelitian yang akan digunakan dalam upaya menjawab pertanyaan- pertanyaan dalam penelitian ini mencakup dua paradigma sekaligus. Dalam upaya
menjawab pertanyaan penelitian tentang tingkat kinerja BSC Puskesmas, paradigma yang digunakan adalah kuantitatif atau positivist. Sedangkan untuk menjawab pertanyaan
penelitian yang berhubungan dengan pola arah dan struktur bentuk kinerja BSC, serta model pemberdayaan Puskesmas digunakan paradigma System Dynamic dengan
pendekatan ‘hard approach ’ yang saat ini telah disejajarkan dengan pendekatan kuantitatif.
Alasan menggunakan pendekatan kuantitatif atau positivist dalam menjawab pertanyaan tentang tingkat kinerja tidak lain karena ditinjau dari asumsi ontologi,
epistemologi, aksiologi, dan metodologi, penelitian ini memiliki karakteristik atau gambaran sebagaimana dimaksud dalam asumsi-asumsi tersebut.
Pertama, dari asumsi ontologi apa sifat dari realita, penelitian ini mendasarkan
pada realita obyektif dan tunggal terpisah dari subyektifitas peneliti. Artinya, fenomena yang diteliti berada di luar peneliti dan secara obyektif dapat diukur dengan
menggunakan daftar pertanyaan atau instrumen. Kedua, ditilik dari asumsi epistemologi
bagaimana hubungan peneliti dan yang diteliti, maka dalam penelitian ini hubungan peneliti independen dari obyek yang diteliti. Artinya peneliti berusaha mengendalikan
prasangka dan bersikap obyektif dalam menilai situasi. Ketiga, dari asumsi aksiologi
apakah peran nilai, maka penelitian ini adalah bebas nilai dan tidak bias. Artinya nilai
peneliti terpisah dari penelitian. Keempat, dari asumsi metodologi apakah proses
penelitiannya, proses penelitian ini berjalan dalam alur deduktif atau hubungan sebab- akibat Patton,1988 dalam Creswell,1994:4.
Selain asumsi-asumsi tersebut, secara umum alasan pemilihan paradigma kuantitatif, antara lain juga karena permasalahan yang diteliti khususnya pada tujuan
mengetahui kinerja Puskesmas memiliki variabel-variabel, konsep-konsep, dan teori-
87 teori yang pada umumnya telah dikenal, dan mudah untuk dijadikan pijakan dalam
meneliti. Selanjutnya dalam upaya menjawab pertanyaan kedua dalam penelitian ini, yakni
tentang pola dan struktur kinerja BSC serta model pemberdayaan Puskesmas berdasarkan struktur kinerja BSC tersebut, digunakan System Dynamic SD dari aliran kuantitatif
atau ‘hard approach’. Penggunaan SD dipandang mampu memecahkan masalah kompleksitas hubungan sistemik non linier variabel-variabel dalam Balanced Scorecard
BSC. Hal tersebut sesuai dengan fungsi SD sebagai metode pembelajaran dalam suatu
sistem yang komplek sebagaimana diketengahkan oleh Sterman 2000:4 berikut ini, bahwa:
“System dynamic is a method to enhance learning in complex systems. Just as airline uses flight simulators to help pilots learn, system dynamics is, partly, a
method for developing management flight simulators, often computer simulation models, to help us learn about dynamic complexity, understand to sources of
policy resistence, and design more effective policies”
Paradigma ‘hard approach’, menurut Maani dan Cavana 2000:20, adalah setara dengan pendekatan kuantitatif atau deterministic sebagaimana digunakan dalam
penelitian yang menguji hubungan linier. Sejalan dengan Maani dan Cavana, Hsiao 2001:7, juga menyatakan bahwa saat ini pendekatan hard approach dikelompokkan
dalam paradigma positivistic, hal ini sebagaimana diungkapkannya bahwa:“…the current system dynamics modeling effectively embrace a ‘positivistic worldview’, a paradigm
way of thinking that concider the world as ordered universe made up of atomistic, discrete and observable events”
Pandangan tentang kesetaraan paradigma ‘hard approach’ dengan paradigma positivist atau kuantitatif, antara lain juga didasarkan pada peran statistik dalam
pengukuran variabel- variabel dari sistem dan dalam mendemonstrasikan obyektifitas model, serta penempatan peran peneliti secara obyektif di luar obyek yang ditelitinya.
Lebih jauh Hsiao menyatakan bahwa : “The quantitative modelling approach, in principle, follow the positivist paradigm and emphasizes the measurable factors of a
system, without paying sufficient attention to the complexity of human interaction”
88 Selain dari pada itu, secara ontologi, epistemologi, metodologi, dan aksiologi,
penggunaan hard approach dipandang sesuai karena menunjukkan karakteristik yang sama dengan paradigma kuantitatif yang digunakan untuk menjawab pertanyaan kinerja.
Karakteristik tersebut selanjutnya dapat disimak pada tabel 4 yang sekaligus membedakan pula antara paradigma hard approach dan soft approach dalam SD.
Tabel 4 Hard Versus Soft Approaches
Criteria Hard Approaches
Soft Approaches
Model Definition A representation of the real world
A way of generating debate and insight about the real world
Problem Definition Clear and single dimensional
single objective Ambigous and multidimensional
multiple objective
People and Organization Not taken into account
Are integral parts of the model Data
Quantitative Qualitative
Goal Solution and optimization
Insight and learning Outcome
Product or recommendation Progress through group learning
Sumber : Pidd 1996, dalam Maani dan Cavana, 2000:21
Tipe Penelitian Ditinjau dari Dimensi Tujuan dan Waktu
Ditinjau dari dimensi tujuan, tipe penelitian yang menjawab tujuan pertama adalah deskriptif, yakni mengga mbarkan dan menganalisis tingkat kinerja Puskesmas melalui
dukungan analisis teori yang relevan. Sedangkan tipe penelitian untuk menjawab model pemberdayaan Puskesmas adalah explanation. Penelitian tipe explanatif menurut
Neuman 1997:20 adalah penelitian yang bertujuan menjelaskan dan menggambarkan alasan-alasan ‘mengapa sesuatu terjadi atau tidak terjadi’. Selain itu, tipe penelitian ini
juga bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat secara kausalitas sebagaimana menjadi tujuan kedua penelitian ini.
Tipe explanatif sengaja dipilih karena sesuai dengan cara berpikir yang digunakan dalam memahami permasalahan kinerja secara kausalistik dan menggambarkan suatu
cara berpikir yang tidak hanya melihat suatu permasalahan yang nampak dipermukaan saja, melainkan melihat secara lebih luas lagi hingga ke pola-pola hubungan antara
variabel yang satu dan yang lain. Makna eksplanasi semakin nyata ketika pola-pola hubungan ditelaah bentuk struktur hubungan yang memiliki makna dan dapat
89 diperhitungkan besarannya, dan kemudian memotretnya secara lebih mendalam lagi
melalui analisis mental model yang pada dasarnya mempertanyakan ‘mengapa’ masalah- masalah tersebut terjadi dan saling berhubungan secara kausalitas
Ditinjau dari aspek waktu, tipe penelitian ini longitudinal research, artinya bahwa pengambilan data dilakukan secara time series, di mana data diambil secara periodik
setiap 3 tiga bulan sekali dalam satu tahun survei yakni tahun 2005. Metode pengumpulan data secara runtun waktu adalah syarat utama dalam metode SD yakni
untuk mengetahui pola kecenderungan sistem selama batas waktu tertentu. Dengan diketahuinya pola kecenderungan sistem, maka struktur hubungan variabel- variabel
dalam sistem akan mudah diidentifikasikan. Selanjutnya melalui perangkat lunak powersim secara efisien dapat dilakukan pekerjaan simulasi model dan pembuatan
skenario-skenario pemberdayaan untuk menetapkan model pemberdayaan Puskesmas secara tepat.
Populasi Penelitian
Keseluruhan elemen atau populasi dalam penelitian ini adalah berupa organisasi dan individu- individu pegawai dan pelanggan yang terlibat dalam kegiatan Pusat
Kesehatan Masyar akat atau Puskesmas Kecamatan, yang beroperasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta minus Kepulauan Seribu pada kurun waktu 2005.
Alasan untuk tidak mengikutsertakan Puskesmas di Kabupaten Kepulauan Seribu dalam populasi penelitian ini antara lain adalah karena pada saat penelitian ini
dilaksanakan, Puskesmas di sana belum berstatus sebagai Puskesmas swadana sebagaimana Puskesmas lain di wilayah DKI-Jakarta, sehingga dikuatirkan akan
mempengaruhi sifat homogenitas Puskesmas yang diteliti. Dengan demikian populasi target dalam penelitian ini berjumlah 42 empat puluh
dua Puskesmas Kecamatan. Perhitungan tersebut berasal dari jumlah Puskesmas Kecamatan dalam populasi target ada 44 empat puluh empat Puskesmas Kecamatan
dikurangi 2 dua Puskesmas Kecamatan Kepulauan Seribu, sehingga jumlahnya adalah 42 empat puluh dua Puskesmas Kecamatan.
Pada dasarnya populasi Puskesmas dapat digolongkan homogen, terutama dilihat dari titik acuan point of reference berupa stratifikasi kewilayahan di mana Puskesmas
90 beroperasi, yakni wilayah administratif Kecamatan. Namun untuk keperluan analisis
kinerja, dalam penelitian ini dilakukan pengelompokkan Puskesmas ke dalam tipologi Puskesmas elite, moderate, dan slum. Adapun yang menjadi dasar pengelompokkan
adalah: Pertama, rasio jumlah penduduk dan penduduk miskin diperkirakan mempengaruhi potensi jumlah pasien yang pada gilirannya juga mempengaruhi
penerimaan retribusi Puskesmas. Tinggi, sedang, dan rendahnya rasio jumlah penduduk berbanding penduduk miskin selanjutnya menjadi acuan untuk mengelompokkan
Puskesmas dalam wilayah elite, moderate dan slum. Kedua, tipologi juga didasarkan pada banyaknya lokasi tempat tinggal rumah tangga miskin seperti di bantaran sungai,
perkampungan kumuh, dan tepi rel kereta api. Lokasi- lokasi demikian terdapat di beberapa Kecamatan di mana Puskesmas beroperasi dan diduga dapat mempengaruhi
kinerja Puskesmas dalam melayani segmen pelanggan keluarga miskin GAKIN. Ketiga, didasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak NJOP wilayah setempat, artinya tinggi, sedang
dan rendahnya NJOP di wilayah Puskesmas menjadi acuan pengelompokkan Puskesmas wilayah elite, moderate, dan slum Data tentang hal ini terlampir
Adapun hasil identifikasi ke dalam tiga tipologi Puskesmas dapat disimak pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5 Tipologi Puskesmas di DKI-Jakarta Berdasarkan Wilayah Kecamatan Elite, Moderate dan Slum
No Puskesmas Wilayah
Elite Puskesmas Wilayah
Moderate Puskesmas Wilayah
Slum
1. Pasar Rebo
Cipayung Tanah Abang
2 Ciracas
Makasar Jatinegara
3 Matraman
Duren Sawit Cakung
4 Kelapa Gading
Tanjung Priok Pulo Gadung
5 Kebon Jeruk
Kembangan Penjaringan
6 Palmerah
Grogol Petamburan Pademangan
7 Taman Sari
Senen Koja
8 Menteng
Sawah Besar Cilincing
9 Cempaka Putih
Gambir Tambora
10 Jaga Karsa
Pancoran Cengkareng
11 Pasar Minggu
Kramat Jati Kemayoran
12 Pesanggrahan
Kalideres Johar Baru
13 Setiabudi
Mampang Prapatan 14
Tebet Kebayoran Lama
15 Kebayoran Baru
Total 16 Puskesmas Elite
14 Puskesmas Moderate 12 Puskesmas Slum
Sumber: Diolah dari Data Sekunder Penelitian 2005
91 Langkah selanjutnya adalah menentukan populasi sampel berdasarkan pada
populasi target yang telah dikelompokkan tersebut. Dengan metode sampling acak kelompok, pada masing- masing kelompok akan diambil secara random 1 satu
Puskesmas. Jumlah atau besaran sampel Puskesmas dalam hal ini ditetapkan berdasarkan homogenitas populasi dan kemampuan sumberdaya yang digunakan dalam penelitian ini.
Semakin homogen populasi semakin kecil sampel, dan semakin heterogen populasi, semakin besar sampel Irawan, 2004:73. Berdasarkan pada pemahaman tersebut, maka
populasi sampel dalam penelitian ini secara random jatuh pada Puskesmas Elite Kebayoran Baru, Puskesmas Moderate yakni Kalideres, dan Puskesmas Slum, adalah
Kemayoran. Rumusan populasi juga mempertimbangkan cakupan obyek yang diteliti. Dalam
hal ini diketahui bahwa Puskesmas di DKI-Jakarta saat ini melaksanakan dua macam aktifitas yang tercermin dalam struktur organisasi, yakni aktifitas di dalam gedung yang
dikenal dengan pelayanan kesehatan yang berujud pelayanan pengobatan kuratif dan sebagian pelayanan promotif penyuluhan, serta aktifitas di luar gedung yang dikenal
sebagai pelayanan kesehatan masyarakat. Karena keterbatasan sumberdaya, maka penelitian ini dibatasi dan difokuskan hanya pada aspek pelayanan kesehatan di dalam
gedung. Dengan demikian rumusan populasi sampel adalah : ‘Organisasi yang mencakup pegawai dan pelanggan pelayanan kesehatan pada Puskesmas Kecamatan elite, moderate,
dan slum, di Provinsi DKI-Jakarta minus Kepulauan Seribu, pada tahun 2005’
Jenis dan Teknik Penarikan Sampel
Dari rumusan populasi, unit analisis dalam penelitian ini adalah organisasi dan individu. Organisasi adalah diwakili oleh Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru elite,
Kalideres moderate dan Kemayoran slum, sedangkan unit analisis individu adalah pelanggan dan pegawai ketiga Puskesmas tersebut. Berdasarkan populasi sampel ditarik
sejumlah sampel pelanggan dan pegawai Puskesmas dengan memperhatikan prosedur tertentu.
Jenis sampel pelanggan yang digunakan adalah sampel probabilita dengan teknik penarikan ‘sampel acak kelompok dua tahap’. Pilihan pada samp el acak kelompok karena
92
POPULASI PUSKESMAS PKC ‘ELITE’
PKC ‘MODERATE’ PKC ‘SLUM’
POLIKLINIK 10 – 14
POLIKLINIK 10 – 14
Sampling kelompok
2 POLIKLINIK E DAN F
25 Pelanggan E 25 Pelanggan F
Triwulan 1
Triwulan 4
TOTAL SAMPEL = 4 triwulan X 50 responden X 3 kel = 600 resp. POLIKLINIK
10 – 14
2 POLIKLINIK E DAN F
Sampling kelompok
25 Pelanggan E 25 Pelanggan F
25 Pelanggan E 25 Pelanggan F
2 POLIKLINIK E DAN F
didasarkan pada pertimbangan, pertama, bahwa persebaran pelanggan pelayanan kesehatanpengobatan terkonsentrasi atas kelompok-kelompok yang disebut layanan
poliklinik, misalnya pelanggan poliklinik umum, THT, gigi, dan seterusnya. Kedua, berdasarkan pada hal tersebut, maka sangat tidak efisien jika harus mengambil elemen
sampel secara langsung dari populasi, sebab selain harus proporsional, juga memerlukan waktu cukup lama untuk menyusun kerangka sampel. Ketiga, tujuan pengelompokan
adalah untuk menciptakan homogenitas elemen-elemen dalam populasi. Keempat, semakin homogen populasi, maka besaran jumlah sampel tidak mengikat.
Berdasarkan hal tersebut, maka langkah- langkah penarikan sampel pelanggan adalah: 1 Menetapkan daftar kelompok yakni berdasarkan poliklinik -poliklinik. 2
Menarik sampel acak dengan pengembalian kembali with replacement dari daftar kelompok poliklinik-poliklinik yang telah ditetapkan pada tahap pertama tersebut. Jumlah
sampel kelompok yang ditarik adalah dua poliklinik pada masing- masing kelompok Puskesmas. 3 Dari satu sampel kelompok poliklinik yang ditarik pada tahap kedua,
ditarik secara acak 25 responden sebagai sampel individual pelanggan secara runtun waktu, yakni setiap satu triwulan sekali. Total sampel pelanggan adalah 25 responden x 2
poliklinik x 3 Puskesmas x 4 triwulan = 600 responden 150 respondentriwulan.
Gambar 6 Skema Tehnik Penarikan Sampel Responden Pelanggan
Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2005
93 Pada sampel pegawai, jenis sampel yang digunakan adalah probabilita, artinya
setiap pegawai PNS Puskesmas memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Adapun tehnik penarikan sampel dilakukan secara acak sederhana dengan pengembalian
kembali with replacement setiap triwulan sekali sejumlah 10 sampel, dengan komposisi 7 tujuh medis, dan 3 non medis. Total sampel selama 4 empat triwulan ada lah 4 x 10
responden x 3 PKC elite, moderate dan slum = 120 responden pegawai
Analisis Data
Analisis data yang akan diketengahkan pada bagian ini merupakan rangkaian penjelasan tentang jenis data menurut sumber dan skala pengukuran yang digunakan,
teknik pengumpulannya, teknik pengolahan dan pengukuran data, dan teknik analisis data.
Jenis Data yang Digunakan
Untuk menjawab pertanyaan tentang tingkat kinerja, diperlukan jenis data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan di sini mencakup data primer kuantitatif
dan data primer kualitatif. Data primer kuantitatif diperlukan untuk menyusun dan mengetahui informasi tentang tingkat kinerja BSC Puskesmas, dalam hal ini mencakup:
1 data primer dari perspektif pelanggan yakni ‘Indeks Kepuasan Kelanggan IKP’. 2 data primer dari perspektif proses internal yakni ‘Indeks Penilaian Pelanggan terhadap
Penyuluhan’. 3 data primer dari perspektif pembelajaran-pertumbuhan organisasi yang meliputi a. kepuasan pegawai, b. kapabilitas informasi, dan c. kapabilitas pegawai.
Selain data primer kuantitatif diperlukan pula data primer kualitatif yang diperoleh melalui wawancara dengan responden yang d ipandang dapat memberikan informasi
akurat yang diperlukan. Termasuk dalam data primer kualitatif adalah sebagian besar data yang digunakan untuk model CLD dan SFD, dan berupa data ‘judgment’ yang diperlukan
secara langsung dari pihak Puskesmas yang berkaitan dengan norma atau standar perbandingan penilaian kinerja yang sebelumnya tidak terdapattidak tertulis. Sumber
yang dipercaya dapat memberikan judgment adalah Kepala Puskesmas, dan pihak-pihak lain terkait yang dipandang mengetahui kebenaran dari norma yang diinginkan.
94 Data berikutnya yang diperlukan adalah data sekunder untuk proses pemodelan,
mencakup proses pembuatan diagram Causal-Loop Diagram CLD dan Stock -Flow Diagram SFD yang kegunaannya untuk mengetahui pola arah kecenderungan dan
struktur bentuk hubungan kinerja Puskesmas. Baik data primer maupun sekunder dikumpulkan setiap 3 bulan sekali time series . Data sekunder mencakup : 1 data
keuangan khusus YanKes, 2 data persediaan obat dan norma persediaan obat, 3 data waktu layanan dan norma waktu layanan, 4 data program-program inovasi yang sedang
dilaksanakan, 5 data tentang frekuensi penyuluhan, rata-rata kehadiran sasaran, dan norma penyuluhan, 6 data jumlah pelanggan, pegawai, penduduk, dan data-data lain
yang tertulis yang berfungsi mendukung temuan dan pemodelan.
Sumber data Primer dan Sekunder
Sumber data primer diperoleh secara langsung dari responden pelanggan, dan responden pegawai, serta dari sumber-sumber langsung baik dari individu-individu para
pejabat terkait maupun lembaga - lembaga terkait, seperti, Kepala Puskesmas, pejabat terkait dari Suku Dinas Kesehatan Kota di DKI-Jakarta, pejabat terkait dari Dinas
Kesehatan DKI-Jakarta, serta sumber-sumber lainnya seperti para ahli di bidang permodelan atau system dynamic.
Sedangkan sumber data sekunder adalah dari pihak kedua yang telah mengumpulkannya terlebih dulu. Pihak kedua di sini adalah dapat berasal dari internal
Puskesmas maupun dari eksternal Puskesmas. Data sekunder yang diperlukan biasanya telah berbentuk data olahan dan dimuat dalam dokumen-dokumen tertulis atau tercatat
seperti laporan, hasil rapat, peraturan, dan dokumen-dokume n lain terkait. Adapun yang dimaksud dengan responden pelanggan adalah pelanggan yang
terdaftar di Puskesmas yang mendatangani Puskesmas untuk menikmati pelayanan pengobatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas melalui berbagai macam poliklinik
yang ada di Puskesmas. Batasan ini dibuat untuk membedakan dengan definisi pelanggan Puskesmas pada aspek Kesehatan Masyarakat pelanggan atau masyarakat yang
dikunjungi oleh Puskesmas sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Responden pegawai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pegawai medis dan
non medis yang berstatus sebagai pegawai tetap atau Pegawai Negeri Sipil yang bekerja
95 di Puskesmas. Karena jumlah pegawai medis lebih banyak dari pada pegawai
administratif, maka sampel responden pegawai medis secara proposional lebih banyak bila dibandingkan dengan pegawai non medis.
Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data primer kuantitatif adalah dengan tehnik penyebaran kuisioner secara langsung dengan menggunakan pewawancara terlatih pada responden
pelanggan maupun pegawai pada setiap triwulan yang dimulai pada bulan Maret hingga Desember tahun 2005. Pengambilan secara runtun waktu ini adalah syarat utama untuk
keperluan pemodelan untuk tujuan mengetahui pola kecenderungan peningkatan atau penurunan k inerja Puskesmas selama kurun waktu tertentu.
Prosedur pengumpulan data primer kualitatif dilakukan dengan wawancara secara mendalam dengan individu-individu yang menjadi sumber informasi penting dalam
penelitian ini, antara lain adalah Kepala Puskesmas yang menjadi sampel penelitian, dan sumber-sumber lainnya dari Dinas Kesehatan Prop.DKI-Jakarta.
Prosedur pengumpulan data sekunder adalah dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen penting yang diperlukan, untuk kemudian mempelajarinya dan
mengolahnya kembali bila diperlukan, hingga informasi yang diinginkan dapat dipenuhi.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Sebagian data primer yang terkait dengan pengukuran persepsi dan nilai indeks kinerja BSC Pelanggan dan Pegawai diolah melalui perangkat lunak komputer SPSS
versi 11.5. Sementara sebagian lagi yang berupa data sekunder, diolah secara manual
dengan mempergunakan rumus-rumus matematik sederhana.
Pengolahan data yang dilakukan melalui SPSS mencakup, pertama, data primer dari perspektif pelanggan yakni ‘Indeks Kepuasan Kelanggan’. Kedua, data primer dari
perspektif proses internal yakni ‘Penilaian Pelanggan terhadap Penyuluhan’. Ketiga, data primer dari perspektif pembelajaran-pertumbuhan organisasi yang meliputi 1 kepuasan
pegawai, 2 kapabilitas informasi, dan 3 kapabilitas pegawai.
Analisis data primer tentang tingkat kinerja dilakukan menurut metode statistik
deskriptif untuk mengetahui nilai pada setiap variabel atau indikator kinerja BSC.
96 Sebelumnya perlu diketengahkan bahwa skala yang digunakan untuk mengukur variabel-
variabel kinerja adalah skala Likert dengan rating scale 1 hingga 5 atau dengan pernyataan dari ‘sangat tidak setuju’ hingga ‘sangat setuju’. Setiap pernyataan ditandai
dengan suatu ‘numerical score’ artinya analisis dapat berbasis atas item demi item atau dapat dilakukan penjumlahan skor summated pada setiap responden. Menurut Maholtra
1999:271 pendekatan demikian dalam skala Likert mengacu pada ‘summated scale’ , dan dengan demikian termasuk dalam skala interval.
Terkait dengan metode pengukuran variabel tersebut, maka untuk mengetahui dan menganalisis nilai- nilai pada setiap variabel diperlukan statistik deskriptif yang
dihubungkan dengan frekuensi persebaran nilai- nilai, antara lain measure of location yakni suatu statistik yang menggambarkan suatu lokasi dari satu set data, dan biasanya
terdiri dari mean atau nilai rata-rata, jika skala yang digunakan interval, mode atau nilai tertinggi pada distribusi, jika skala yang digunakan adalah kategori atau nominal,
dan median atau nilai tengah, jika skala yang digunakan adalah ordinal. Karena skala Likert mengacu pada skala interval, maka persebaran nilai dalam penelitian ini akan
dilihat secara rata-rata mean atau dengan tendensi sentral pada nilai rata-rata. Selanjutnya dalam analisis statistik deskriptif digunakan dua versi analisis data
primer yakni analisis melalui metode konversi secara normatif sebagaimana dianjurkan dalam ‘Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat atau IKM menurut
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP25M.PAN22004 yang telah diberlakukan pada sebagian besar Unit Instansi Pemerintah.dan teknik analisis
melalui metode konversi empiris atau aktual, dimana penentuan peringkat nilai kinerja didasarkan pada nilai interval yang diperoleh dari selisih skor tertinggi dan terendah.
Penggunaan kedua teknik analisis tersebut antara lain bertujuan untuk membandingkan nilai mutu kinerja agar selanjutnya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan
keputusan pihak Puskesmas. Setelah dilakukan penyesuaian istilah dan pembobotan, maka teknis analisis
normatif dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut : Pertama, Nilai Indeks Kepuasan Masyarakat di dalam penelitian ini disesuaikan dan
diganti dengan nilai ‘Indeks Kepuasan Pelanggan’, dan selanjutnya disingkat IKP dihitung dengan menggunakan ‘nilai tertimbang’, masing- masing indikator pelayanan.
97 Setiap indikator memiliki penimbang yang berbeda sesuai dengan bobot yang diberikan
pelanggan di dalam SK MENPAN bobot penimbang setiap indikator dianggap sama. Adapun rumus nilai pembobotan adalah sebagai berikut:
Contoh : Indikator ‘x’ adalah salah satu dari 4 indikator yang diberikan bobot oleh pelanggan tertinggi yakni 4, maka nilai bobot indikator ‘x’ adalah 4 10 atau 0.4 angka
10 merupakan akumulasi dari jumlah indikator yakni 1, 2, 3, 4 = 10 Kedua, untuk mengetahui nilai IKP per indikator, maka digunakan rumus sebagai berikut
Sedangkan untuk mengetahui nilai ‘Indeks Kepuasan Pelanggan’ per variabel dimensi Servqual digunakan rumus sebagai berikut :
Ketiga, untuk memudahkan interpretasi terhadap penilaian IKP maka terlebih dahulu nilai pada skala Likert 1-5 dikonversikan ke dalam ‘nilai konversi IKP’ antara 20 - 100.
Keempat, langkah terakhir adalah menentukan ‘nilai konversi IKP’, dengan rumus
Hasil penghitungan menurut langkah- langkah tersebut adalah tertera pada Tabel 6 berikut ini.
IKP per dimensi = ? Total Nilai Persepsi per indikator X Bobot n Responden
IKP konversi = IKP per Dimensi X nilai dasar 20 Nilai pembobotan = Nilai bobot yang diberikan pelanggan
Jumlah akumulasi indikator
IKP per indikator = Total Nilai Persepsi per indikator X Bobot n Responden
98 Tabel 6 Konversi Nilai Skala Likert Ke Nilai Mutu Layanan dan Kinerja
Pelayanan Dengan Metode Normatif
Nilai Skala
Likert Nilai Konversi
Interval Nilai Konversi IKP
nilai dasar 20 Mutu
Pelayanan Kinerja Unit Pelayanan
1 1.00 - 1.80
20 - 36 E
Sangat kurang 2
1.81 - 2.60 36.1 - 52
D Kurang
3 2.61 - 3.40
52.1 - 68 C
Sedang 4
3.41 - 4.20 68.1 - 84
B Baik
5 4.21 - 5.00
84.1 - 100 A
Sangat Baik
Sumber: SK Kep.MENPAN NO.252004
Sedangkan konversi berdasarkan metode empiris dilakukan dengan mencari selisih nilai skor terendah - sebagai contoh pada perspektif ‘kepuasan pelanggan’ nilai tersebut
adalah 2.68 - dengan nilai skor tertinggi adalah 4.68, selisih kedua nilai diketahui yakni 2.00. Selisih nilai kemudian dibaga i 5 dan hasilnya adalah nilai interval 0.4. Selanjutnya
berdasarkan nilai interval tersebut peringkat nilai konversi dapat disimak pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel. 7 Konversi Nilai Interval Ke Nilai Mutu dan Nilai Kinerja Pelayanan Dengan Metode Empirik
Nilai Interval Nilai Mutu
Nilai Kinerja Pelayanan
4.28 - 4.68 A
Sangat Baik 3.87 - 4.27
B Baik
3.45 - 3.86 C
Sedang 3.03 - 3.44
D Kurang
2.62 - 3.02 E
Sangat Kurang Sumber: Hasil kajian penulis, 2006
Teknis a nalisis berikutnya adalah berkaitan dengan pemodelan, yakni menggunakan perangkat lunak komputer powersim, dengan tujuan untuk mengetahui atau menemukan
pola kecenderungan perilaku variabel-variabel dalam model. Muhammadi, dkk 2001:374 mengetenga hkan beberapa teknik analisis model, namun yang dipandang
sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah apa yang disebutnya dengan ‘Pengembangan Alternatif Kebijakan Fungsional’ untuk keperluan penentuan kebijakan dalam penelitian
ini adalah untuk keperluan memutuskan model pemberdayaan mana yang paling sesuai. Teknik analisis tersebut
berupa pengembangan kebijakan alternatif untuk mengembangkan ide- ide baru yang diperlukan dalam mempengaruhi sistem untuk
99 mencapai tujuan. Pengembangan ide-ide baru dalam kebijakan dapat dilakukan dengan
cara membiarkan model tetap seperti apa adanya, sedangkan yang diubah adalah parameter dari fungsi- fungsi dalam model. Tabel 8 berikut ini akan membantu
memperjelas hal tersebut. Tabel 8 Pengembangan Alternatif Kebijakan Fungsional
KOMBINASI PARAMETER
PARAMETER PARAMETER
SENSITIVITAS TINGGI
Komponen Sensitivitas
PERNYATAAN KEBIJAKAN
KATEGORI KEBIJAKAN
P1 , P2, P3, P4 P1, P2, P3
P1, P2 X1 Kebijakan A
Lama P2, P3 X2
Kebijakan B Lama
P3, P1 X3 Kebijakan C
Baru
Sumber: Muhammadi, dkk, 2001:375
Berdasarkan konsep analisis model tersebut, maka analisis model dalam disertasi ini akan mengacu pada langkah- langkah sebagai berikut :
1. Analisis kausalitas 4 kinerja utama BSC Pelanggan, Proses Internal, Pembelajaran-Pertumbuhan, dan Keuangan melalui model diagram CLD untuk
mengetahui pola kecenderungan sistem kinerja BSC Puskesmas. Kemudian untuk mengetahui perilaku struktur sistem kinerja, analisis dilakukan terhadap diagram
alir diagram stock–flow atau SFD. 2. Analisis uji sensitivitas model untuk menemukan perilaku ‘terbaik’ dari variabel-
variabel kunci yang diyakini dapat menjadi pengungkit pemberdayaan Puskesmas.
3. Menyusun skenario pemberdayaan berdasarkan faktor- faktor kunci yang diperkirakan dapat menjadi pengungkit kinerja Puskesmas dengan
mempertimbangkan strategi dan lingkungan sistem kerja Puskesmas. Analisis skenario menggunakan kuadran Star.
4. Menetapkan model pemberdayaan Puskesmas yang dibuat berdasarkan skenario - skenario yang telah ditetapkan.
100
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Validitas dan reliabilitas instrumen menggunakan validitas dan reliabilitas konstruk. Evaluasi validitas konstruk dimulai dengan memeriksa nilai t dari muatan-
muatan faktor factor loading atau koefisien-koefisien yang ada dalam model. Nilai t suatu muatan faktor atau koefisien yang tinggi merupakan bukti bahwa variabel- variabel
teramati atau faktor-faktor yang ada mewakili konstruk-konstruk yang mendasarinya. Nilai t setiap muatan faktor perlu melebihi nilai kritis yaitu 1,96 untuk tingkat signifikan
0,01. Nilai t suatu muatan faktor yang melebihi nilai kritis menunjukkan bahwa variabel
yang bersangkutan secara nyata mempunyai hubungan dengan konstruk terkait dan sekaligus merupakan verifikasi hubungan antara variabel dan konstruk yang telah
didefinisikan sebelumnya. Setelah pemeriksaan keeratan hubungan antara faktor dengan konstruk dilakukan, perlu juga pemeriksaan atas besarnya muatan faktor untuk melihat
kuatnya hubungan antara variabel teramati dengan konstruk yang bersangkutan. Muatan faktor sebuah variabel minimal pada konstruknya dikatakan tinggi jika nilainya lebih dari
0,50 Hair et al, 1998. Dengan demikian, sebuah variabel dikatakan memiliki validitas terhadap konstruk atau variabel laten yang baik apabila nilai t muatan faktornya lebih
besar dari nilai kritis 1,96 dan nilai muatan faktornya lebih besar atau sama dengan 0,50.
Reliabilitas sebuah pengukuran merupakan suatu cara untuk melihat konsistensi suatu pengukuran. Reliabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa indikator- indikator
mempunyai konsistensi tinggi dalam mengukur konstruk latennya. Reliabilitas ini diukur dengan nilai Cronbach Alpha. Nilai Cronbach Alpha diperoleh dengan memasukkan
semua indikator sebuah konstruk pada aplikasi SPSS. Kecocokan model struktural diperiksa dengan cara melihat signifikansi dari berbagai koefisien persamaan struktural
yang diestimasi. Hal ini dilakukan dengan melihat nilai alpha α
dari konstruk variabel yang diestimasi. Konsistensi reliabilitas yang mencukupi ditunjukkan oleh nilai
Cronbach Alpha lebih besar dari 0,6 dalam skala 0 sampai 1 Maholtra, 1999. Adapun analisis faktor dilakukan dengan menggunakan metode Principal
Component Analysis, untuk mengetahui apakah faktor tersebut layak digunakan dengan
101 memenuhi syarat-syarat Measure of Sampling Adequacy MSA test tidak dibawah 0,5
dan Anti Image Matrices tidak di bawah 0,5 Hair et al., 1998. Jika MSA berada dibawah 0,5 berarti faktor tersebut tidak dapat digunakan, sedangkan jika terdapat item
dalam Anti image matrices yang nilainya di bawah 0,5 maka item tersebut harus dibuang. Pada tabel Anti image matrice terlihat sejumlah angka yang membentuk diagonal, yang
bertanda ‘a’. Hal ini menandakan bahwa MSA adalah sebuah indikator. Selain melihat uji nilai muatan faktor factor loading, nilai alpha
α dan nilai
MSA, analisis faktor juga mensyaratkan nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy KMO MSA dan Bartlett’s Test of Sphercity dalam sampel secara
keseluruhan. Besarnya nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy KMO MSA tidak di bawah 0,5 untuk melihat kecukupan sampel MSA secara keseluruhan.
Sementara nilai signifikansi dalam Bartlett’s Test of Sphercity harus di bawah 0,05. Nilai ini digunakan untuk melihat adanya korelasi diantara variabel-variabel pengukuran.
Berikut ini akan disajikan contoh hasil pengolahan validitas indikator- indikator instrumen kepuasan pelanggan, persyaratan nilai KMO-MSA, dan reliabilitas kelompok variabel
dalam instrumen.
Validitas Model dan Uji Sensitifitas
Validasi berikutnya dilakukan dalam kaitannya dengan tujuan penelitian kedua, yakni model pemberdayaan. Menurut Sterman 2000:846 validasi adalah berasa l dari
kata latin ‘verus’ yang artinya kebenaran obyektif truth, sedangkan istilah verifikasi diartikan sebagai ‘mencari kebenaran, akurasi, dan realitas dari suatu fenomena ’. Dengan
demikian tanggung jawab terhadap model secara ilmiah adalah, bagaimana menciptakan model yang sebaik mungkin dalam arti memiliki kebenaran baik dari logika pemikiran
atau teoritis, dan dari logika empiris dapat dipertanggung jawabkan yakni melalui uji statistik.
Pada dasarnya tidak ada ketentuan berapa kali atau dengan cara apa saja suatu model harus divalidasi. Banyak cara atau metode validasi dan dapat dilakukan sesuai
dengan keyakinan yang diinginkan oleh pembuat model. Hal ini sebagaimana
102 diketengahkan oleh Forrester dan Senge 1980, dalam Maani dan Cavana, 2000:69
bahwa: “There is no single test which serves to ‘validate’ a system dynamic model.
Rather,confidence in a dynamic simulation model accumulates gradually as the model passes more test and as new points of correspondence between the model
and empirical reality are identified”
Coyle, dalam Maani dan Cavana, 2000:69 menganjurkan validasi model melalui
tiga cara, yakni, pertama melakukan test verifikasi terutama terhadap parameter-
parameter yang digunakan dalam model. Tes ini untuk mencocokan ukuran yang
digunakan dalam model dengan kenyataannya. Kedua, tes validasi, yakni tes untuk
menunjukkan bahwa secara aktual, model memiliki konsistensi perilaku yang tetap atau
sama dengan kenyataannya. Ketiga, tes legitimasi, di mana model yang ditetapkan
berdasarkan atas hukum- hukum dalam sistem, atau secara umum aturan-aturan yang mengikuti model diterima. Prinsip dari validasi terakhir ini adalah bahwa perilaku model
harus masuk akal plausible, dan tidak bertentangan dengan dunia nyata. Muhammadi, dkk 2001:344 menyatakan bahwa, teknik validasi yang utama
dalam metode berpikir sistem adalah ‘validasi struktur model’ , yakni sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Artinya adalah sejauh mana
interaksi variabel model dapat menirukan interaksi kejadian nyata. Berdasarkan pada uraian tersebut, validasi model dalam penelitian ini
mengakomodir anjuran para ahli dengan penyesuaian-penyesuaian yang didasarkan atas pertimbangan faktor kondisional di lapangan. Dalam hal ini penulis melakuka n validasi
secara lintas perspektif yakni menggunakan metode validasi yang memenuhi kaidah logika pemikiran atau teori, dan logika empirik atau statistik. Dengan demikian validasi
model pada penelitian ini ditetapkan melalui : Pertama, validasi pada taraf proses
modelling. Pada proses pembuatan model, logika pemikiran dibangun selain melalui teori juga mengikut sertakan para ahli dan pakar dynamic modelling, serta pihak stakeholder
yakni Puskesmas dan Suku Dinas Kesehatan, untuk memberikan masukan maupun kritikan terhadap model teoritik yang digagas. Melalui proses diskusi berkali-kali dan
cukup panjang serta terdokumentasi, dihasilkan suatu model berdasarkan 4 kinerja BSC yang didasarkan atas logika pemikiran dan empiris dan berbagai parameter yang
103 digunaka n. daftar nama pakar modelling dan tanggal pertemuan diskusi dilampirkan.
Kedua, Validasi secara kuantitatif atau secara statistik dengan menghitung
penyimpangan antara nilai rata-rata simulasi terhadap nilai rata-rata aktual, dengan rumus AME Absolute Means Error. Dalam hal ini ditetapkan batas penyimpangan yang dapat
diterima adalah antara 5 - 10 . Berikut ini adalah rumus AME Rumus AME = Si - Ai Si = nilai rata-rata simulasi ; Ai = nilai rata-rata aktual
Ai Berikut ini gambar proses validasi sebagaimana diketengahkan oleh Muhammadi,
dkk
Gambar 7 Proses Validasi Mode l
Sumber: Muh ammadi, dkk, 2001:346
Setelah validasi model dilakukan, selanjutnya dilakukan uji sensitivitas model. Menurut Muhammadi, dkk, 2001:361, uji sensitivitas adalah untuk mengetahui respon
model terhadap suatu stimulus. Respon ditunjukkan dengan perubahan perilaku danatau kinerja model. Sedangkan stimulus dilakukan dengan memberikan perlakuan tertentu
pada unsur atau struktur model. Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel, dan hubungan antar variabel dalam model. Sedangkan hasil uji
sensitivitas adalah dalam bentuk perubahan perilaku danatau kinerja model, dan digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model.
Konstruksi Model
Masuka n
STRUKTUR MODEL
Validasi Konstruksi
Dasar Teori
PERILAKU DAN KINERJA
MODEL
STRUKTUR DUNIA NYATA
Observasi kompleksitas
dan ketidakpastian
Proses Keluaran
Kontrol Rencana.
Keluaran
PERILAKU DAN KINERJA NYATA
FAKTA DAN DATA
Validasi Struktur
Validasi Kinerja Konsistensi
Statistik Sensitiitas
Validasi Model Validasi Model
104 Terdapat dua macam uji sensitivitas yang diketengahkan oleh Muhammadi, dkk,
yakni : Pertama, intervensi Fungsional, yakni intervensi terhadap parameter tertentu atau kombinasi parameter tertentu dari model dengan menggunakan fasilitas dalam perangkat
lunak komputer powersim yang cocok atau mewakili perubahan keputusan, kejadian, dan keadaan tertentu. Maani dan Cavana 2000:228 menambahkan bahwa intervensi
fungsional ini dapat dilakukan dengan cara menambah atau mengurangi 10 dari parameter-parameternya. Sedangkan Muhammadi melakukannya dengan menambah atau
mengurangi 10 – 20 parameter-para meternya. Selanjutnya dalam penelitian ini, dipilih uji sensitivitas melalui intervensi fungsional, dengan pertimbangan efisiensi, dan agar
tidak perlu mengubah struktur sistem kinerja yang diuji Kedua, intervensi Struktural, yakni intervensi yang mempengaruhi hubungan antar
unsur atau struktur, yang dapat dilakukan dengan mengubah unsur atau hubungan yang membentuk struktur model, misalnya dengan menambahkan sub-model ‘penghubung’
kedalam model awal, sehingga mengubah struktur model semula. Uji sensitivitas dilakukan terhadap model yang baru, jika hasilnya tidak mengubah bentuk dasar
archetype model maka disebut ‘intervensi inkremental’ sebaliknya jika mengubah bentuk dasar model, maka disebut ‘intervensi radikal’.
105
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan penelitian akan diuraikan secara bersamaan dan tidak terpisah pada bagian lain. Secara keseluruhan isi pada bagian ini mencakup jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan penelitian, yakni : 1 hasil dan pemba hasan kinerja BSC Puskesmas yang terdiri dari kinerja dari perspektif pelanggan, proses internal,
pembelajaran-pertumbuhan, dan keuangan. Selain itu juga diketengahkan tentang pola atau arah kecenderungan kinerja Puskesmas yang ditunjukkan dengan peta Causal Loop
Diagram CLD yang berisi hubungan-hubungan variabel kinerja secara kausalitas, dan umpan balik yang dihasilkan dari hubungan-hubungan di sana, yang berguna untuk
analisis kinerja BSC secara sistemik. ; 2 hasil dan pembahasan struktur atau bentuk kinerja Puskesmas dalam analisis Stock Flow Diagram SFD yang menggambarkan
bentuk hubungan secara sistemik dan kuantitatif dan 3 model pemberdayaan Puskesmas elite, moderate, dan slum yang terlebih dulu akan didahului dengan hasil uji sensitivitas,
dan skenario pemberdayaan.
Kinerja Puskesmas
Sebagaimana telah diketengahkan sebelumnya, kinerja Puskesmas diukur dengan menggunakan parameter-parameter generic pada konsep Balanced Scorecard BSC
yang terdiri dari perspektif pelanggan, proses internal, keuangan, dan pembelajaran- pertumbuhan. Siklus BSC pada penelitian ini tidak diakhiri dengan perspektif keuangan
sebagaimana konsep asli dari Kaplan dan Norton 1996, melainkan mengikuti anjuran Niven 2003, yang diakhiri dengan perspektif pelanggan. Hal ini dilakukan karena
tujuan organisasi pelayanan publik sebagaimana halnya Puskesmas tidak berorientasi pada keuntungan, melainkan pada kemanfaatan bagi masyarakat pengguna. Niven
menggambarkan siklus tersebut sebagai berikut:
106 Gambar 8 Siklus BSC Pada Organisasi Publik dan Nirlaba
Sumber: Niven, 2003:32 Kinerja Puskesmas dari Perspektif Pelanggan
Kinerja Puskesmas dari Perspektif Pelanggan diukur melalui parameter ‘Indeks Kepuasan Pelanggan’ terhadap 5 lima dimensi service quality servqual menurut
Zaithaml, Parasuraman, Berry 1990. Adapun pengertian setiap dimensi dan pembobotan pelanggan terhadap indikator-indikator dimensi servqual adalah sebagai berikut :
1. Dimens i tangible : Kemampuan pelayanan yang terlihat pada aspek fisik Puskesmas. Diukur melalui 4 indikator dengan urutan bobot kepentingan menurut
persepsi pelanggan, yakni a lokasi Puskesmas yang mudah dijangkau kendaraan umum 43 ; b keteraturan loket pendaftaran 28 ; c Kecukupan bangku
di ruang tunggu 17 ; dan d kebersihan toilet 12 2. Dimensi responsiveness : Kemampuan Puskesmas memberikan pelayanan yang
tanggap dan cepat, dengan indikator sesuai urutan bobot menurut kepentingan pelanggan, yakni a keberadaan dokter hingga jam kerja usai 46 ; b
kecepatan pelayanan 21 ; c kerumitan prosedur pelayanan, 19 dan d tanggap terhadap keluhan pasien 14 .
MISSION
INTERNAL PROCESSES
To satisfy customer while meeting
budgetary constraints, at which business
processes must we excel ?
FINANCIAL
How do we add value for customers while
controlling cost ?
CUSTOMER
Whom do we define as our customer ? How
do we create value for our customer ?
EMPLOYEE LEARNING AND
GROWTH
How do we enable ourselves to grow and
change, meeting ongoing demands ?
STRATEGY
107 3. Dimensi reliability : Kemampuan Puskesmas memberikan layanan yang handal
dan akurat, dengan indikator sesuai urutan bobot menurut kepentingan pelanggan, yakni a kemampuan dokter dalam pengobatan 42 ; b ketersediaan obat-
obatan yang dibutuhkan 32 ; c petugas medis yang dapat diandalkan 26 4. Dimensi assurance :Kemampuan Puskesmas untuk meyakinkan pelanggan dalam
layanannya, dengan indikator sesuai bobot menurut kepentingan pelanggan, yakni a Jaminan bahwa setiap keluhan pelanggan akan diperhatikan 48 ; b
jaminan bahwa setiap permintaan keringanan biaya pengobatan akan diperhatikan 31;c jaminan bahwa tidak ada pembedaan perlakuan terhadap pasien 21 .
5. Dimensi empathy : kemampuan Puskesmas memberikan perhatian secara individual pada pelanggan, dengan indikator sesuai urutan bobot menurut
kepentingan pelanggan, yakni a empathy dokter 51 ; b empathy petugas paramedis 37 ; dan c empathy petugas pendaftaran 12
Pengukuran Kepuasan Pelanggan sesungguhnya merupakan penjabaran dari misi dan tujuan Puskesmas yang pada hakekatnya memang bertujuan memberikan pelayanan
kesehatan yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan, yakni memberikan pelayanan yang simpel dalam prosedur, terjangkau dalam tarif, profesional dan bermutu,
sebagaimana tercermin dalam strategi Puskesmas yang dapat disimak melalui Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9 Misi, Tujuan, Pengukuran, Target dan Indikator Kinerja Kepuasan Pelanggan Puskesmas
PELANGGAN MISI
TUJUAN STRATEGIS PENGUKURAN
TARGET INDIKATOR
Mengembang kan pelayanan
Kesehatan yang
berkualitas dan paripurna
Memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi
pada masyarakat, simple dalam prosedur, terjangkau,
professional, dan berkualitas Indeks Kepuasan
Pelanggan IKP Pada skala Likert
1-5 IKP = 5
5 dimensi servqual -tangible
-responsiveness - reliability
- assurance, dan - empathy
Sumber : Hasil Kajian Penelitian, 2006
108 Hasil pengukuran kepuasan pelanggan selanjutnya akan ditampilkan dalam 3
tiga macam tabel, Tabel 10 menunjukkan ‘Nilai Indeks Kepuasan’ atau IKP pelanggan berdasarkan bobot kepentingan pelanggan yang belum dikonversikan, tujuannya adalah
untuk melihat rentang nilai rating scor kepuasan pelanggan terendah 1 sangat tidak puas dan tertinggi 5 sangat puas. Sementara Tabel 11 berikutnya, menggambarkan
nilai ‘Mutu layanan’ Puskesmas berdasarkan pada IKP yang telah dikonversikan secara normatif menurut ketentuan SK Kep.MENPAN No 252004, ke dalam data ordinal A :
sangat baik, B : Baik, C : sedang, D : Buruk, dan E : sangat buruk. Sedangkan pada Tabel 12 membandingkan mutu layanan Puskesmas berdasarkan pada IKP yang telah
dikonversikan secara empirik atau aktual. Aplikasi kedua metode tersebut akan menghasilkan nilai mutu kinerja layanan yang berbeda. Adapun maksud dari
pembandingan ini adala h untuk bahan pertimbangan Puskesmas dalam memilih kebijakan penentuan metode konversi pada nilai mutu kinerja, apakah mengikuti normatif
yang dianjurkan pemerintah saat ini atau mengikuti cara-cara empirik sesuai kenyataannya walaup un hasilnya akan lebih rendah.
Tabel 10 Nilai Indeks Kepuasan Pelanggan Terhadap Servqual Puskesmas
ELITE MODERATE
SLUM Triwulan
Triwulan Triwulan
PKC SERVQUAL
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
Tangible
2.62 2.67
2.73 2.78
3.84 3.85
3.87 3.92
3.64 3.77
3.89 3.91
Responsiveness
3.45 3.49
3.49 3.56
3.51 3.51
3.58 3.59
3.92 3.90
3.97 3.97
Reliablity
4.02 4.20
4.40 4.57
3.16 3.18
3.20 3.23
3.92 4.00
4.02 4.03
Assurance
4.12 4.26
4.63 4.68
3.41 3.47
3.52 3.56
3.11 3.22
3.38 3.45
Empathy
3.90 3.98
3.99 4.09
3.30 3.36
3.47 4.59
3.83 3.96
3.97 4.02
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian 2006
Terlihat dalam tabel di atas bahwa Nilai Indeks Kepuasan Pelanggan IKP terhadap dimensi tangible Puskesmas elite nampak lebih rendah bila dibandingkan
dengan Puskesmas moderate, dan slum. Nilai IKP berada pada kisaran 2.62 hingga 2.78, sedang pada moderate berada pada kisara n 3.84 – 3.92 dan pada slum berada pada
109 kisaran 3.64-3.91. Secara keseluruhan IKP menunjukkan kecenderungan nilai yang
meningkat sejak triwulan 1 hingga 4, walaupun tidak begitu tajam. Selanjutnya IKP dikonversikan melalui metode penghitungan normatif menurut
IKM pada Kep.MENPAN No. 252004, maka terlihat pada tabel 11 bahwa mutu kinerja layanan Puskesmas elite pada dimensi tangible adalah ‘sedang’ dengan nilai ‘C’,
sedangkan pada Puskesmas moderate Kalideres dan slum Kemayoran, mutu kinerja layanan tergolong ‘Baik’ atau ‘B’.
Tabel 11 Mutu Pelayanan Servqual Puskesmas Metode Normatif
ELITE MODERATE
SLUM Triwulan
Triwulan Triwulan
PKC SERVQUAL
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
Tangible C
C C
C B
B B
B B
B B
B Responsiveness
B B
B B
B B
B B
B B
B B
Reliablity B
B A
A B
B B
B B
B B
B Assurance
B B
A A
B B
B B
B B
B B
Empathy B
B B
B B
B B
B B
B B
B
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian 2006
Apabila penghitungan konversi menggunakan metode empirik dengan cara berdasarkan peringkat nilai interval, maka diperoleh hasil yang sangat berbeda dengan
penghitungan sebelumnya. Secara keseluruhan hasil konversi dapat disimak pada Tabel 12 berikut ini. Nampak dalam Tabel 12 bahwa nilai mutu kinerja pelayanan setiap
dimensi berbeda dengan nilai pada Tabel 11 sebelumnya. Sebagai contoh pada dimensi tangible, Puskesmas elite Kebayoran Baru sebelumnya berada pada nilai mutu pelayanan
‘sedang’ dengan nilai ‘C’, pada Tabel 12, tangible berada pada nilai mutu ‘sangat kurang’ dengan nilai ‘E’. Begitu pula dengan nilai kinerja yang lainnya, nampak
setingkat di bawah nilai mutu normatif. Hasil metode empirik sering dipandang tidak nyaman, namun sebenarnya hasil
tersebut menunjukkan nilai aktual apa adanya dan justru menjadi masukan yang berguna untuk menetapkan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.
110 Tabel 12 Indeks Kepuasan Pelanggan dan Mutu Pelayanan Puskesmas
Metode Empirik
ELITE MODERATE
SLUM Triwulan
Triwulan Triwulan
PKC SERVQUAL
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2
3 4
Tangible
2.62 E
2.67 E
2.73 E
2.78 E
3.84 C
3.85 C
3.87 B
3.92 B
3.64 C
3.77 C
3.89 C
3.91 C
Responsiveness
3.45 C
3.49 C
3.49 C
3.56 C
3.51 C
3.51 C
3.58 C
3.59 C
3.92 B
3.90 B
3.97 B
3.97 B
Reliablity
4.02 B
4.20 B
4.40 A
4.57 A
3.16 D
3.18 D
3.20 D
3.23 D
3.92 B
4.00 B
4.02 B
4.03 B
Assurance
4.12 B
4.26 B
4.63 A
4.68 A
3.41 D
3.47 C
3.52 C
3.56 C
3.11 D
3.22 D
3.38 D
3.45 C
Empathy
3.90 B
3.98 B
3.99 B
4.09 B
3.30 D
3.36 D
3.47 C
4.59 C
3.83 C
3.96 B
3.97 B
4.02 B
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian 2005
Rendahnya penilaian pelanggan terhadap tangible elite terutama karena sebagian besar pelanggan menilai bahwa ruang tunggu di Puskesmas tidak memadai terutama pada
jam-jam sibuk . Untuk melayani jumlah pelanggan yang mencapai rata-rata 200 orang per hari, luas ruang tunggu dan ketersediaan bangku-bangku yang ada terlihat kurang
memadai. Beberapa bangunan Puskesmas Kecamatan di wilayah DKI-Jakarta sebetulnya telah cukup bagus dan sesuai dengan standar yang ditetapkan kurang lebih 1500 m2
untuk luas tanah, dan 1200 m2 untuk luas bangunan, namun masih terdapat beberapa bangunan yang belum direnovasi dan masih terkesan tambal sulam dalam penataan
ruang-ruang pelayanan kesehatan, terutama ruang tunggu. Menurut keterangan Kepala Puskesmas, renovasi hanya dapat dilakukan bila disetujui oleh Dinas Kesehatan terkait,
dalam hal ini Puskesmas sebagai unit teknis tidak memiliki kewenangan untuk mengubah, membangun atau merenovasi atas inisitaif sendiri. Puskesmas hanya
mengusulkan dalam biaya anggaran tahunan subsidi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan diduga akan meningkatkan potensi pasien dan jumlah pasien, yang harus
diimbangi dengan penataan ruang layanan kesehatan yang memadai. Selanjutnya dapat digambarkan perbandingan tangible elite, moderate dan slum
sebagaimana nampak pada gambar grafik di bawah ini.
111 Pada grafik terlihat kinerja elite lebih rendah dari dua Puskesmas yang lain. Grafik
juga mengindikasikan suatu kecenderungan perilaku kinerja ke arah model ‘goal seeking behaviour’ Sterman, 2000: 111, perilaku yang mengacu pada pencarian keseimbangan
sistem karena masih terdapat kesenjangan antara kinerja yang diharapkan dengan kenyataannya. Melalui perbaikan kesenjangan nilai tangible maka grafik akan tergambar
meningkat namun peningkatannya tidak akan linier, melainkan terbatas pada titik tujuan yang diinginkan yakni skala penilaian 5. Selanjutnya bila titik tujuan tersebut telah
tercapai, grafik akan tergambar mendatar. Bentuk ini sekaligus menandakan adanya perilaku non linier. Dapat dipastikan bahwa seluruh grafik dimensi-dimensi servqual
lainnya juga membentuk kecenderungan yang sama yakni ‘goal seeking behaviour’ Pada dimensi responsiveness, bobot tertinggi yang diberikan pelanggan adalah
indikator ‘keberadaan dokter hingga jam kerja Puskesmas usai’. Wajar kiranya jika indikator tersebut diberikan bobot tertinggi, karena harapan terbesar pelanggan
Puskesmas adalah kesiapan dokter yang selalu berada di tempat ketika diperlukan. Adapun ‘kecepatan pelayanan Puskesmas’, dipandang oleh pelanggan sebagai unsur
kedua terpenting, selanjutnya ‘kerumitan prosedur pelayanan’ dan ‘tanggapan dokter terhadap keluhan pasien’, menempati bobot ketiga dan keempat.
Nampak dalam Tabel 10 Puskesmas slum memiliki IKP tertinggi bila dibandingkan dengan elite maupun moderate. Secara keseluruhan IKP juga menunjukkan
kecenderungan meningkat pada setiap triwulan. Adapun nilai mutu pelayanan normatif pada ketiga kelompok Puskesmas berada pada peringkat ‘B’ atau pada peringkat kinerja
Time
Tangible_Elit 1
Tangible_Moderat 2
Tangible_Slum 3
1 2
3 4
2.8 3.0
3.3 3.5
3.8
1 2
3 1
2
3 1
2 3
1 2
Gambar 9 Grafik Perilaku Kinerja Tangible Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum
Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006
112 pelayanan ‘Baik’, sedangkan secara empiris, elite terendah dengan nilai mutu ‘C’,
moderate berada pada peringkat kedua dengan nilai C, dan slum memiliki peringkat tertinggi dengan nilai B. Adapun grafik perilaku kinerja responsiveness dapat disimak
pada gambar 10 berikut ini.
Faktor kunci penilaian responsifitas adalah kesiapsiagaan figur dokter dalam pelayanan sehari-hari. Masyarakat menghendaki para dokter tidak mewakilkan urusan
pengobatan pada para perawat Dalam kenyataannya, para dokter dan petugas para medis memiliki tugas ganda, yakni sebagai profesional medis dan administratif sekaligus. Para
dokter dan petugas paramedis tidak hanya bertanggung jawab di bidangnya, namun juga bertanggung jawab terhadap urusan- urusan yang bersifat administratif seperti membuat
laporan rutin, bulanan dan tahunan, mengelola berbagai aktifitas yang bersifat administratif manajerial seperti kunjungan ke masyarakat, rapat lintas sektoral,
penyuluhan, dan promosi, yang memakan waktu lebih besar dari pada fungsi utama pelayanan medis. Dari hasil pengamatan dapat dikemukakan bahwa pasien sering
ditangani hanya oleh petugas paramedis atau bidan yang juga diberikan kuasa untuk menulis resep, bila dokter sedang berkeliling melakukan kunjungan atau rapat-rapat lintas
sektoral, sedangkan dokter jaga tidak mampu menangani seluruh pasien terutama pada jam-jam sibuk. Keinginan pelanggan agar dokter senantiasa siaga bila dibutuhkan tidak
Time
Responsiveness_elit 1
Responsiveness_moderat 2
Responsiveness_slum_ 3
1 2
3 4
3.0 3.2
3.4 3.6
3.8 4.0
1 2
3
1 2
3
1 2
3
1 2
3
Gambar 10 Grafik Perilaku Kinerja Responsiveness Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum
Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006
113 mungkin terwujud tanpa adanya penataan kembali tugas dan fungsi dokter dan para
medis Pada dimensi reliability, IKP tertinggi berada pada Puskesmas elite, yakni berkisar
pada nilai 4.12 hingga 4.68. bahkan pada triwulan 3 dan 4 mutu kinerja adalah ‘A’. Kemudian peringkat kedua adalah Puskesmas slum dengan nilai kinerja normatif
maupun empirik ‘B’, sedangkan Puskesmas moderate memiliki nilai mutu kinerja normatif ‘B’ namun pada nilai mutu kinerja empirik adalah ‘D’. Nampak pada tabel di
atas, kecenderungan peningkatan IKP pelanggan dari triwulan I hingga IV, walaupun tidak begitu tajam, namun menunjukkan perbedaan yang cukup nyata.
Bobot paling tinggi yang diberikan pelanggan adalah pada indikator ‘kemampuan dokter mengobati’, hal tersebut menggambarkan bahwa keandalan Puskesmas di mata
pelanggan adalah ‘kemampuan dokter’ dalam menyembuhkan pasien. Sedangkan ‘ketersediaan obat-obatan’ dan ‘kehandalan petugas medis’ me miliki peringkat penting
kedua dan ketiga di mata pelanggan. Berikut ini adalah grafik kecenderungan perilaku reliability pada ketiga Puskesmas.
Sekali lagi data menunjukkan bahwa dimensi reliability erat kaitannya dengan kehandalan SDM Puskesmas terutama dokter. Stigma yang melekat dan cenderung
meragukan kemampuan dokter-dokter Puskesmas terlanjur membentuk opini masyarakat. Diduga penyebabnya adalah kurang seimbangnya jumlah pasien dengan jumlah dokter
Time
Reliability_Elit 1
Reliability_Moderat 2
Reliability_Slum 3
1 2
3 4
3.5 4.0
4.5 1
2 3
1
2 3
1
2 3
1
2 3
Gambar 11 Grafik Perilaku Kinerja Reliability Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum
Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006
114 yang melayani, sehingga terjadi work load dan waktu pemeriksaan tidak optimal atau
tidak sungguh-sungguh. Pada dimensi assurance, IKP terendah nampak pada Puskesmas slum Sedangkan
Puskesmas elite memiliki IKP tertinggi dan kinerja terbaik yang dicapai pada triwulan 3 dan 4 dengan nilai mutu kinerja ‘A’, sedangkan moderate pada peringkat kedua, dengan
nilai mutu kinerja empirik ‘D’ pada triwulan pertama, dan meningkat ‘C’ pada triwulan 2, 3, dan 4. Peringkat ketiga adalah slum dengan nilai mutu kinerja empiris ‘D’. Secara
keseluruhan pola kecenderungan sejak triwulan 1 hingga 4 nampak meningkat, kendati tidak tajam.
Indikator terpenting yang dinilai pelanggan adalah ‘keterjaminan bahwa setiap keluhan pelanggan diperhatikan Puskesmas’. Pada aspek ini yang diharapkan pelanggan
adalah Puskesmas memperhatikan secara serius masukan- masukan pelanggan berupa saran, komplain dan sebagainya dengan tindak lanjut kongkrit. Pada indikator
‘keterjaminan bahwa permintaan keringanan biaya diperhatikan’, adalah berkaitan dengan biaya -biaya tindakan medis yang bervariasi besarannya. Sedangkan pada
‘keterjaminan bahwa Puskesmas tidak melakukan diskriminasi pelanggan’ dimaksudkan diskriminasi terhadap pelanggan ‘gratis’ atau yang tidak mampu membayar biaya
tindakan, bahkan biaya karcis. Kecuali elite, moderate dan slum, berada pada peringkat mutu pelayanan ‘D’ atau ‘Kurang’. Berikut ini adalah grafik kecenderungan perilaku
assurance.
Time
Assurance_Elit 1
Assurance_Moderat 2
Assurance_Slum 3
1 2
3 4
3.5 4.0
4.5 1
2 3
1
2 3
1
2 3
1
2
Gambar 12 Grafik Perilaku Assurance Puskesmas Elit,Moderat, dan Slum Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006
115 Dimensi terakhir adalah empathy yakni perhatian secara personal dari pihak
Puskesmas. Grafik kecenderungan empathy nampak pada Gambar 13 berikut ini, di mana Puskesmas moderate memiliki kecenderungan peningkatan paling rendah bila
dibandingkan dengan dua Puskesmas yang lain.
Empathy adalah perhatian secara personal dari para petugas Puskesmas. Pada umumnya pelanggan menginginkan ‘empathy dokter’ lebih penting dari pada petugas
yang lain. Hal tersebut nampak pada pembobotan tertinggi yang diberikan oleh pelanggan pada indikator tersebut. IKP tertinggi adalah elite, sedangkan moderate menempati
peringkat ketiga. Ketiga kelompok Puskesmas nampak rata-rata memiliki nilai mutu pelayanan normatif ‘B’ atau peringkat kinerja pelayanan ‘Baik’ , namun secara empiris,
nilai mutu pelayanan ‘B’ hanya terdapat pada Puskesmas elite, sedangkan pada Puskesmas slum pada awalnya ‘C’ dan kemudian meningkat pada triwulan 2, 3, dan 4.
menjadi ‘B’. Peringkat terendah adalah pada Puskesmas moderate Dari hasil temuan dapat disimpulkan bahwa secara empiris, mutu layanan tangibel
pada Puskesmas elite lebih rendah dibandingkan dengan dua Puskesmas lainnya . Sedangkan pada mutu layanan responsiveness, yang terbaik adalah Puskesmas slum.
Pada dimensi reliability, mutu layanan yang terbaik adalah Puskesmas elite, demikian pula mutu layanan pada dimensi assurance dan empathy. Secara keseluruhan fokus
penilaian pelanggan mengacu pada ‘kemampuan dokter’ dalam melayani.
Time
Empathy_Elit 1
Empathy_Moderat 2
Empathy_Slum 3
1 2
3 4
3.4 3.6
3.8 4.0
1
2 3
1
2 3
1
2 3
1
2
Gambar 13 Grafik Perilaku Empathy Puskesmas Elit,Moderat, dan Slum Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006
116 Upaya peningkatan kepuasan pelanggan, tidak selalu dihubungkan dengan
peningkatan keuntungan, namun lebih merupakan upaya untuk menciptakan ‘customer intimacy’ membangun hubungan dengan pelanggan untuk jangka panjang, yang
merupakan bagian dari konsep proposisi nilai pelanggan. Operasional yang baik, bermutu, dan efisien serta mengacu pada kebutuhan pelanggan adalah aplikasi dari
konsep proposisi nilai pelanggan tersebut Manfaat dari membangun hubungan yang baik dengan pelanggan adalah,
Puskesmas dapat mempertahankan pelanggan lama yang telah sembuh, dan tetap berobat ke Puskesmas bila sakit, dan selanjutnya melalui promosi dari mulut ke mulut dari
pelanggan yang sembuh, kepercayaan terhadap pelayanan Puskesmas diharapkan meningkat, artinya bahwa dengan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja
Puskesmas, maka persentase jumlah pelanggan dapat ditingkatkan lebih besar dari yang ada saat ini.
Karena sasaran Puskesmas adalah penduduk di wilayah Kecamatan di mana Puskesmas beroperasi, maka laju pertambahan penduduk juga mempengaruhi jumlah
pelanggan Puskesmas. Bahkan penduduk di wilayah Kecamatan tersebut sekaligus menjadi ‘pasar’ bagi Puskesmas. Pada saat ini jumlah penduduk yang menjadi pelanggan
Puskesmas kurang lebih baru 40 , artinya masih sekitar kurang lebih 60 yang dapat ditingkatkan potensinya sebagai pelanggan Puskesmas. Sumber: data sekunder
penelitian, 2005. Variabel berikutnya yang juga diduga mempengaruhi total jumlah pasien adalah
variabel ‘harga’ atau tarif yang terjangkau. Keterjangkauan tarif Puskesmas antara lain juga dapat dilihat melalui perbandingan jumlah pasien gratis dengan total pasien per hari
yang tidak begitu mencolok, keadaan ini membuktikan bahwa daya beli masyarakat atas tarif layanan kesehatan di Puskesmas masih terjangkau atau sesuai dengan daya beli
mereka. Semakin meningkat kualitas Puskesmas, maka diasumsikan bukan hanya orang miskintidak mampu yang akan berobat ke Puskesmas, namun juga sebagian besar
masyarakat menengah, dari data diketahui bahwa lebih dari setengah jumlah pengunjung Puskesmas elite berpenghasilan rata-rata di atas Rp.1.500.000,- , sedangkan Puskesmas
moderate dan slum rata-rata berpenghasilan di bawahnya. Fakta lain juga menunjukkan, bahwa Puskesmas elite dalam satu hari rata-rata dikunjungi oleh 3.55 pasien gratis 8
117 orang dari total kunjungan sebesar 100 hingga 150 orang pasien per hari. Sedangkan
Puskesmas moderate, 8.5 pasien gratis per hari 17 orang, dari total kunjungan rata- rata 130 hingga 200 orang perhari, adapun Puskesmas slum dikunjungi 17.6 pasien
gratis per hari 37 orang dari rata-rata total kunjungan pasien 150 hingga 250 orang perhari Sumber: diolah dari data sekunder penelitian, 2005.
Aspek tarif menjadi kekuatan atau daya tarik tersendiri bagi Puskesmas, sebab di wilayah Kecamatan di mana Puskesmas beroperasi, hampir tidak ada layanan kesehatan
sejenis yang memasang tarif semurah Puskesmas yakni sekali kunjungan 2000 rupiah sudah termasuk pemeriksaan dan obat. Jika aspek tarif ini diimbangi dengan pelayanan
yang bermutu, maka tidak mustahil hal ini dapat mengubah citra Puskesmas dan menjadi pelayanan kesehatan yang diminati oleh masyarakat.
Kinerja Puskesmas dari Perspektif Proses Internal
Perspektif kedua untuk mengukur kinerja Puskesmas adalah proses internal. penekanan utama perspektif ini yakni pada pentingnya mata rantai proses produksi yang
diawali dengan proses inovasi – yakni bagaimana organisasi mengidentifikasikan kebutuhan pelanggan saat ini maupun yang akan datang, kemudian mengembangkan
identifikasi tersebut ke dalam rencana -rencana maupun tindakan kongkrit – kemudian pada proses operasi – yakni bagaimana organisasi menyampaikan produk atau jasanya
kepada pelanggan saat ini – dan yang terakhir adalah pada proses layanan purna jual, yakni bagaimana organisasi menciptakan layanan setelah penjualan guna memberikan
nilai tambah bagi kepuasan pelanggan Kaplan dan Norton, 1996:92. Pada penelitian ini karena proses purna jual belum menjadi kelaziman dan belum
dilaksanakan di Puskesmas, maka ukuran proses internal hanya mengacu pada kinerja: 1 Inovasi, dan 2 Operasi,
Adapun misi, dan tujuan strategis yang menjadi basis parameter proses internal Puskesmas dapat disimak pada Tabel 13 berikut ini.
118 Tabel 13 Misi, Tujuan, Pengukuran, Target dan Indikator Kinerja Proses Internal
Puskesmas
PROSES INTERNAL MISI
TUJUAN STRATEGIS PENGUKURAN
TARGET INDIKATOR
Mengembang kan pelayanan
Kesehatan yang
berkualitas dan paripurna
Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
Yankes terutama dalam pengembangan produk
layanan jasa kesehatan dan peningkatan
manajemen kesehatan yang handal.
1.Mutu Kinerja Inovasi