Batas-batas Tanggung Jawab Wali Amanat Dalam Penerbitan Obligasi Di Pasar Modal

Dalam obligasi, biasanya diperlukan guarantor atau penanggung untuk menjamin pelunasan seluruh pinjaman pokok dan bunga oleh Emiten. Penanggung ini biasanya dilaksanakan oleh Bank. Dengan demikian, jelas bahwa untuk menghindari terjadinya conflict of interest antara fungsi Wali Amanat dengan fungsi penanggung, suatu bank yang bertindak sebagai Wali Amanat dilarang untuk sekaligus bertindak sebagai penanggung pada penerbitan Efek yang bersifat utang yang sama.

C. Batas-batas Tanggung Jawab Wali Amanat Dalam Penerbitan Obligasi Di Pasar Modal

Wali Amanat memiliki dua bentuk kewajiban, yaitu kewajiban langsung kepada investor pemegang obligasi, dan pemenuhan kewajiban Emiten terhadap investor pemegang obligasi. Wali Amanat tidak memiliki kewajiban kepada Emiten oleh karena Wali Amanat tidaklah memiliki hubungan dengan Emiten. Walaupun Perjanjian Perwaliamanatan dibuat dan ditandatangani oleh Emiten dan Wali Amanat, penandatanganan tersebut dilakukan oleh Wali Amanat adalah kepentingan investor pemegang obligasi. Demikian juga,seluruh janji-janji yang diberikan oleh Emitman dalam Perjanjian Perwaliamanatan adalah janji yang melahirkan perikatan yang wajib dipenuhi oleh Emiten kepada investor pemegang obligasi yang dalam hal ini diwakili oleh Wali Amanat. Dalam suatu penerbitan obligasi terdapat berbagai macam issuer antara lain korporasi, pemerintah, Badan Usaha Milik Negara BUMN, swasta, di mana masing-masing memiliki kondisi obligasi yang berbeda-beda. Sampai dengan Universitas Sumatera Utara tahun1996, wali amanat berada dalam kondisi yang “aman-aman” saja, dalam artian semuanya berjalan mulus. Pembayaran bunga obligasi dan pokoknya sudah dilaksanakan, serta selalu ada sinking fund. Sejak awal tahun1997, beberapa penerbit obligasi sudah “kepayahan”, bermula dari tidak dapat menyediakan sinking fund dan akhirnya meminta kelonggaran. Setelah tidak ada sinking fund, emiten beralasan tidak mampu membayar bunga. Dalam hal ini, wali amanat harus tegas meminta apa yang telah diperjanjikan. Misalnya dilaksanakannya lobbying dengan mengatakan bahwa hak pemegang obligasi harus didahulukan. Apabila ternyata masih ada utang yang lain, wali amanat meminta kepada emiten untuk tetap mengutamakan pembayaran terhadap pemegang obligasi. Pendekatan terus dilakukan kepada emten-emiten tersebut karena wali amanat harus mendahulukan kepentingan pemegang obligasi. Pemegang obligasi itu sendiri tersebar dari begitu banyak aspek, misalnya perbankan, asuransi, dana pension, dan sebagainya. Pada saat itu, dana pensiun mulai panik karena uang yang digunakan untuk membeli obligasi adalah uang masyarakat. Dengan demikian, dimohonkan kepada wali amanat untuk memperjuangkan hak mereka dalam menerima pembayaran. Istilah lainnya, wali amanat secara door to door mendekati emiten supaya memenuhi kewajibannya kepada pemegang obligasi. 52 Ketika diketahui bahwa emiten tersebut ternyata berpotensi untuk menjadi default yang menyusahkan semua pihak. Wali amanat memposisikan dirinya di tengah-tengah. Walaupun berpihak kepada pemegang obligasi yang meminta 52 Adrian Setiadi, Op. Cit., hlm. 56-57. Universitas Sumatera Utara kelonggaran, namun wali amanat akan tetap berpegang pada perjanjian perwaliamanatan. Seumpama wali amanat telah melakukan peneguran dan pendekatan, namun emiten tetap tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana terdapat dalam perjanjian perwaliamanatan, maka wali amanat akan melakukan tindakan sebagaimana telah diatur dalam perjanjian perwaliamanatan itu sendiri. 53 Kelalaian tersebut antara lain apabila emiten tidak melakukan pembayaran bunga pokok obligasi pada tanggal yang telah diperjanjikan dalam perjanjian perwaliamanatan atau emiten melanggar salah satu ketentuan lain yang terdapat perjanjian perwaliamanatan maupun perjanjian lain yang berhubungan dengan emisi obligasi. Wali amanat akan melakukan pengawasan secara keseluruhan. Apabila terjadi pelanggaran yang kecl sekalipun, wali amanat akan melakukan peneguran dan segera meminta perbaikan. Jika yang dilanggar merupakan hal yang principal, maka dalam jangka waktu 10-15 hari wali amanat akan mengadakan RUPO. Apabila yang dilanggar bukanlah hal yang menyangkut masalah yang financial, maka wali amanat akan memberikan kesempatan bagi emiten untuk melakukan perbaikan sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan dan dengan jangka waktu sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan, ada 30 samapai 90 hari. Bentuk kelalaian lain adalah apabila pada saat emisi obligasi emiten memberikan keterangan atau jaminan tentang keadaan keuangan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Setelah wali amanat melakukan pengecekan 53 Ibid. Universitas Sumatera Utara dan menemukan ketidaksesuaian tersebut, wali amanat akan langsung melakukan peneguran dan meminta emiten untuk melakukan perbaikan. Apabila emiten tidak segera melakukan perbaikan, maka wali amanat akan menganggap tindakan emiten sebagai bentuk kelalaian. Jika emiten bubar, maka hal itu termasuk juga ke dalam bentuk kelalaian. Saat ini banyak sekali perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi. Bubar yang dimaksud di sini adalah selain bubar yang disebabkan oleh merger dan akuisisi yang telah mendapatkan izin dari wali amanat. Apabila terjadi penggabungan perusahaan, maka penerus dari obligasi yang bersangkutan adalah penerus dari perusahaan tersebut. Penyebab lain kelalaian adalah apabila izin atau hak atas keberadaan dari perusahaan yang bersangkutan sudah dicabut oleh pihak yang berwenang. Apabila terjadi kelalaian seperti ini dan tidak dilakukan perbaikan, maka wali amanat akan melakukan RUPO sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan. Dalam RUPO tersebut, wali amanat akan mengutarakan seluruh pengetahuannya mengenai emiten kepada pemegang obligasi. Wali amanat juga akan duduk bersama-sama emiten dengan wali amanat untuk memberikan penjelasan atas kelalaian yeng telah dilakukannya. Dalam RUPO ini ada dua hal yang akan diputuskan, yaitu memaafkan atau tidak memaafkan. Apabila pemegang obligasi tidak dapat menerima penjelasan emiten dan tidak bersedia memaafkan, maka obligasi tersebut otomatis akan menjadi jatuh tempo. Pada tahun 1998, terdapat obligasi yang diproses di bulan Juli. Pembayaran bunga pertama dilakukan pada bulan September dan pada saat itu pula ternyata emiten Universitas Sumatera Utara tersebut sudah tidak mampu melakukan pembayaran. Walaupun baru 3 bulan, obligasi tersebut menjadi default dan jatuh tempo. Karena pada saat itu umur obligasinya masih sangat muda, maka para pemegang obligasi memberikan kelonggaran kepada emiten tersebut selama 3 bulan dan harus tetap memberikan bunga. Tiga bulan berikutnya, pada saat diadakan RUPO lagi pemegang obligasi kembali memberikan kelonggaran selama 3 bulan ditambah dengan pembayaran bunga denda. Pada akhirnya emiten hanya mampu membayar bunga denda tanpa membayar pembayaran pokok dari obligasi. Apabila RUPO memutuskan bahwa obligasi sudah jatuh tempo, wali amanat harus melaksanakan hasil keputusan RUPO tersebut. Untuk obligasi yang memakai jaminan, wali amanat akan mengeksekusi jaminan yang bersifat preferen. Apabila obligasi tidak memiliki jaminan yang preferen, wali amanat akan memberitahu kreditor lainnya bahwa emiten telah melakukan kelalaian dan wali amanat hendak melakukan eksekusi atas jaminan yang dimiliki emiten sehingga diharapkan adanya kerjasama antara wali amanat dan para kreditor lainnya. Dengan demikian, uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Wali amanat merupakan wakil atau trust untuk kepentingan pemegang obligasi. Wali amanat bertindak sejak awal sebelum obligasi diproses bersama dengan lembaga- lembaga yang lain untuk melakukan penilaian dan pemantauan keuangan. Pada saat proses pembentukan obligasi, wali amanat bersama lembaga-lembaga yang lain memasukkan hal-hal apa saja yang harus dipenuhi oleh emiten terhadap pemegang obligasi sehubungan dengan adanya obligasi tersebut. Ketika obligasi Universitas Sumatera Utara telah dijual kepada masyarakat, wali amanat akan melakukan pemantauan yang kemudian hasilnya akan dilaporkan kepada pemegang obligasi, Bapepam dan bursa efek. Apabila dilakukan peneguran kepada emiten, tetapi emiten tidak melakukan perbaikan maka wali amanat akan mengadakan RUPO untuk menentukan apakah obligasi yang bersangkutan akan dilanjutkan atau tidak sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan. Jadi yang menjadi batas-batas tanggung jawab wali amanat adalah bahwa wali amanat bertanggung jawab kepada pemegang obligasi untuk setiap kerugian yang diderita pemegang obligasi apabila wali amanat lalai dalam melakukan tindakan atau tindakan wali amanat tidak sesuai dengan perjanjian perwaliamanatan karena wali amanat lebih mementingkan hal yang lain atau karena telah terjadi conflict of interest. Apabila wali amanat tidak lalai, maka wali amanat tidak bertanggung jawab atas seluruh pemenuhan kewajiban emiten yang tercantum dalam perjanjian perwaliamanatan. Dalam perjanjian perwaliamanatan tercantum bahwa apabila terdapat gugatan kerugian sehubungan dengan pemenuhan kewajiban emiten sehubungan kepada pemegang obligasi atau wali amanat harus mengeluarkan biaya sehubungan dnegan pemenuhan kewajiban emiten kepada pemegang obligasi, maka emiten harus mengganti kerugian yang diderita oleh wali amanat tersebut. Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 51 ayat 2 Undang-undang Pasar Modal diatur mengenai bagaimana wali amanat mewakili kepentingan pemegang efek. Di dalam pasal tersebut, selain konsep perwakilan juga disebutkan bahwa wali amanat diberikan kuasa berdasarkan undang-undang untuk mewakili kepentingan Universitas Sumatera Utara pemegang obligasi, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Secara lebih spesifik disebutkan, di dalam penjelasan bahwa tidak diperlukan adanya surat kuasa khusus bagi wali amanat. Sebagai suatu bentuk perikatan sempurna, setiap janji Wali Amanat melahirkan tidak hanya kewajiban schuld seperti dijelaskan diatas, melainkan juga pertanggung jawaban Perdata haftung pada diri Wali Amanat, yang dijamin dengan harta kekayaannya sesuai Pasal 1131 KUH Perdata. Sebagai wakil imvestor pemegang obligasi, antara Wali Amanat dan seluruh investor pemegang obligasi tersebut terdapat suatui hubungan kepercayaan fiduciary relation. Berdasarkan pada hubungan kepercayaan tersebut, Wali Amanat dihadapkan pada kewajiban untuk melakukan segala tindakan hanya untuk kepentingan dari seluruh investor dan menghindari terjadinya benturan antara kepentingan Wali Amanat dengan kepentingan investor pemegang obligasi duty of loyalti and good faith yang tercermin dalam bentuk kewajiban Wali Amanat kepada investor pemegang obligasi. Selain itu, seperti telah dijelaskan di muka, Wali Amanat juga wajib memastikan bahwa para investor pemegang obligasi tersebut akan memperoleh hak-haknya tepat waktunya sedemikian rupa sehingga para investor pemegang obligasi tidak dirugikan hak-haknya duty of care amd diligence yang tercermin dalam kewajiban tidak langsung Wali Amanat kepada investor pemegang obligasi, yang mewajibkan Wali Amanat untuk memastikan bahwa Emiten akan tetap memenuhi kewajibannya tepat waktunya. Kedua hal tersebut merupakan kewajiban yang disebut dengan fiduciary duty. Selama dan sepanjang Wali Amanat telah melaksanakan tugasnya dan memenuhi kewajibannya sesuai dengan Universitas Sumatera Utara ketentuan pribadi dalam suatu transaksi yang mempunyai benturan kepentingan conflict of interest, melakukan kelalaian berat gross negligence atau kecurangan fraud, merugikan kepentingan suatu atau lebih investor pemegang obligasi unlawfull miscounduc – fraud against minority interest, Wali amanat tidaklah dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Apabila terdapat kasus yang diajukan ke pengadilan, apakah hanya wali amanat semata yang menjadi wakil dari pemegang obligasi ataukah pemegang obligasi secara individu bias mewakili dirinya sendiri? Dalam Pasal 51 ayat 2 Undang-undang Pasar Modal, ditentukan bahwa wali amanat diberi kuasa oleh undang-undang untuk mewakili kepentingan pemegang obligasi, termasuk mewakili pemegang obligasi mengajukan gugatan ke pengadilan tanpa perlu diberikan surat kuasa khusus terhadap wali amanat. Dengan adanya ketentuan tersebut, apakah ketika pemegang obligasi ingin mengajukan gugatan ke pengadilan, maka yang dapat masuk ke persidangan hanya wali amanat selaku wakil dari pemegang obligasi? Sebenarnya, hal, ini memang telah menjadi bahan pertanyaan di antara para praktisi. Apakah hal tersebut mutlak ditafsirkan demikian ataukah bias terbuka kemungkinan bagi pemegang obligasi untuk mengajukan gugatan secara sendiri-sendiri? Jika memang terbuka kemungkinana tersebut, apakah akan dibuka sebebas-bebasnya atau hanya dalam hal tertentu saja. Melihat praktik di Negara common law, terdapat non action clause yaituklausa yang ada di dalam perjanjian perwaliamanatan yang di Negara common law disebut sebagai trustee yang mengatakan bahwa tidak ada bond holder atau pemegang obligasi yang dapat mengajukan gugatan kecuali apabila Universitas Sumatera Utara wali amanat telah lalai melaksanakan tugasnya dan kelalaian tersebut dilakukan dalam periode yang masih wajar atau in a reasonable time. Kecenderungan yang ada pada pengadilan di Negara common law adalah tidak secara langsung dapat menerima non acton clause tersebut. Dalam beberapa kasus yang ditemukan di Kanada, Amerika Serikat, dan Prancis, pengadilan mencoba untuk mengurangu larangan dalam non action clause tersebutatas dasar bahwa bagaimanapun yang diajukan ke pengadilan adalah merupakan kepentingan yang hakiki dari seorang pemegang obligasi. Ketika emiten lalai dalam pembayaran, maka menjadi hak dari pemegang obligasi untuk menuntut pembayaran kepada emiten. Apabila jika terbukti bahwa wali amanat lalai dalam melaksanakan tugasnya Di Indonesia terdapat perbedaan masing-masing wali amanat yang ada. Ada wali amanat yang telah memproses obligasi sebelum obligasi terbit, kemudian melakukan pemantauan terhadap obligasi yang telah diterbitkan tersebut. Ada juga wali amanat yang memiliki standar yang tidak terlalu ketat dalam pemantauan dan keseriusannya memeriksa pentaatan oleh emiten. Sehingga dalam hal yang demikian, wajar bahwa dalam situasi tertentu diberikan kesempatan bagi pemegang obligasi untuk mengajukan gugatan disertai dengan bukti bahwa wali amanat telah lalai melaksanakan tugasnya. Kini dikaitkan dengan argumen yang didasarkan pada Pasal 51 Undang- undang Pasar Modal yang mengatakan bahwa wali amanat mewakili kepentingan pemegang obligasi, yang mana dalam penjelasannya disebutkan mengenai konsep kuasa. Pertanyaan yang timbul adalah apabila pemegang obligasi memberikan kuasa kepada pihak lain dalam suatu persidangan, apakah pada persidangan Universitas Sumatera Utara berikutnya pemegang obligasi tersebut diperkenankan untuk hadir sendiri? Selain itu apakah konsep pemberian kuasa sama artinya dengan meniadakan hak dari pihak yang memberikan perwakilan atau kuasa untuk dapat hadir dan mempertahankan haknya sendiri tanpa menyertakan wali amanat? Hal itulah yang bias dijadikan pertimbangan bagi para hakim apabila menemukan kasus seperti ini. Seperti biasa dalam perjanjian perwaliamanatan terdapat klausul-klausul mengenai utang pokok, bunga, jangka waktu, pelunasan utang pokok, denda keterlambatan, dan jaminan. Berkaitan dengan pelunasan utang pokok, dalam beberapa obloigasi dikenal konsep dinamakan call option dan put option. a. Call Option adalah opsi atau hak emiten untuk memanggil pemegang obligasi dengan tujuan untuk menebus obligasi yang telah dikeluarkan tersebut. Variasinya bisa bermacam-macam dengan harga sesuai dengan harga pasar atau yang telah ditentukan dalam perjanjian perwaliamanatan. b. Pada put option, pemegang obligasi memiliki opsi untuk mewajibkan emiten membayar obligasi sekalipun belum jatuh tempo. Apabila terdapat pemegang obligasi yang melaksanakan put option, maka emiten wajib melakukan pembayaran sekalipun dipercepat accelerated payment. Baik call option maupun put option sifatnya adalah kontraktual dan tidak wajib diadakan dalam perjanjian perwaliamanatan. 54 54 Adrian Setiadi, Ibid., hlm 64. Universitas Sumatera Utara Selain itu dalam Perjanjian Perwaliamanatan juga diatur tentang hubungan Perwaliamanatan dimana jika dikaitkan terhadap Pasal 53 Undang-undang Pasar Modal ditentukan bahwa wali amanat wajib memberikan ganti rugi kepada pemegang obligasi atas kerugian yang diakibatkan kelalaian yang dilakukan oleh wali amanat dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Pasar Modal dan perjanjian perwaliamanatan. Hal ini menjadi menarik ketika melihat batas-batas tanggungjawab wali amanat yang tercantum di perjanjian perwaliamanatan yang salah satunya adalah bahwa wali amanita tidak bertanggung jawab atas pemenuhan kewajiban-kewajiban emiten. Apakah hal demikian adalah mutlak? Di satu sisi wali amanat mempunyai tugas untuk melakukan pemantauan terhadap emiten dalam melakukan pemenuhan kewajibannya. Sebenarnya tujuan dari pemantauan tersebut adalah jangan sampai emiten melakukan kesalahan kecil sekalipun , tetapi dibiarkan saja oleh wali amanat sehingga menjadi besar dan akhirnya tidak terbendung serta tidak dapat diatasi. Apabila wali amanat menemukan suatu technical default atau kelalaian yang bersifat teknis, tetapi dibiarkan saja sehingga akhirnya menjadi payment default, apakah kemudian wali amanat tidak bertanggung jawab atas pemenuhan kewajiban-kewajiban emiten? Kasus seperti ini tampaknya memang belum pernah terjadi di Indonesia. Di Belanda, terdapat tanggung jawab kreditor terhadap debitur. Artinya, setelah kreditor memberikan dana kepada debitur, tidak otomatis kreditor hanya diam saja menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran pokok dan bunga. Sebenarnya di antara waktu pembayaran tersebut terdapat fiduciary duty, yaitu tugas dari kreditor untuk memantau debiturnya. Di Belanda, ada suatu kasus Universitas Sumatera Utara di mana kreditorlah yang dipersalahkan karena telah lalai sehingga debitur tidak dimintakan pertanggungjawaban sepenuhnya. Kita juga mengetahui bahwa ada Larangan-larangan yang diberlakukan bagi wali amanta antara lain : 55 1. Memiliki hubungan utang-piutang dengan emiten Sangat disayangkan di sini bahwa Bapepam belum menentukan berapa jumlah utang –piutang yang diperkenankan antara wali amanat dengan emitenn. Hal itu seharusnya ditentukan, karena apabila jumlahnya tidak material seharusnya tidak ada larangan. Apalagi dengan adanya peraturan Undang-undang Pasar Modal yang dalam klausulnya menentukan “….dalam jumlah tertentu…”. 2. Tidak boleh memiliki hubungan afiliasi Pengecualiannya adalah bahwa hubungan afiliasi terjadi karena adanya kepemilikan atau penyertaan modal pemerintah. Pengecualian ini dirasa perlu, sebab apabila tidak ada pengecualian tersebut, akan sulit mencari wali amanat karena kebanyakan bank-bank besar yang telah dipercaya oleh masyarakat merupakan bank-bank pemerintah. Seringkali pihak emiten ingin diberikan pinjaman yang besar dengan pembatasan yang kecil, misalnya hanya ada satu pembatasan tanpa larangan apa pun. Ketentuan kewajiban, larangan dan pembatasan di dalam perjanjian perwaliamanatan, didapatkan dari negosiasi yang alot. Wali amanat berusaha 55 Ibid., hlm. 65. Universitas Sumatera Utara melindungi kepentingan pemegang obligasi dan emiten ingin mendapatkan pinjaman yang besar, tetapi dengan pembatasan yang seminimal mungkin karena ingin mendapatkan kebebasan dalam menjalankan usaha. Hal yang penting dalam melaksanakan negosiasi adalah proses uji tuntas atau due diligence process. Maksudnya adalah proses yang dilakukan bersama-sama oleh emiten, underwriter, wali amanat, dan profesi penunjang lainnya seperti akuntan dan konsultan hokum, yang bertujuan untuk mendapatkan kebenaran dari sisi usaha, perizinan, kepemilikan aset, dan lainnya sehingga prinsip keterbukaan yang merupakan prinsip utama dalam pasar modal terpenuhi oleh emiten. Apabila ternyata emiten pernah lalai dalam perjanjian utang apa pun, maka emiten harus membuka atau men-disclose hal tersebut dan menyampaikannya kepada pihak yang berkepentingan untuk kemudian dilihat apakah kelalaian emiten memiliki dampak yang bersifat material atau tidak. Misalnya saja walaupun utang perusahaan sebenarnya tidak terlalu besar dan tidak melebihi nilai aset perusahaan, tetapi ternyata jaminan yang diberikan adalah aset perusahaan yang merupakan aset utama dari perusahaan. Di situlah pentingnya due diligence process. Sering ditemukan emiten yang tidak mau membuka hal tersebut, padahal sebenarnya kelalaian tersebut dapat membuat pemegang obligasi dan wali amanat men-trigger emiten untuk mempercepat melakukan pembayaran pokok den bunga. Due diligence process dianggap penting, sebab selama krisis moneter banyak ditemukan perbedaan dalam klausul perjanjian perwaliamanatan. Ada yang makin diperketat, namun ada juga yang diperlonggar. Setelah diselidiki lebih lanjut, Universitas Sumatera Utara diketahui hal ini terjadi dikarenakan tidak adanya due diligence process dan juga tidak adanya rapat-rapat di mana dalam rapat tersebut harusnya pihak terhadap emiten diajukan pertanyaan, dimintakan klarifikasi dan di-counter dengan bukti- bukti yang mendukung. Padahal apabila hal tersebut dijalankan, dapat diperoleh keterbukaan yang sepenuhnya dari pihak emiten. Hal ini nantinya dapat dijadikan alasan oleh pihak emiten yang nakal untuk menghindar dari kesalahan dengan mengatakan bahwa sebenarnya emiten sudah menawarkan untuk dilakukan due diligence process, tetapi tidak ada pihak yang bersedia untuk melaksanakannya, yaitu para pihak yang seharusnya bertanggung jawab sebelum proses emisi untuk terlibat langsung dalam memastikan apakah keterbukaan informasi sudah dilakukan atau belum. Terdapat covenant yang lazim ditemukan dalam perjanjian sindikasi. Tiap-tiap perusahaan memiliki covenant yang berbeda, antara lain tergantung pada usaha, ukuran perusahaan, aset yang dimiliki dan apakah perusahaan ini memiliki anak perusahaan yang banyak atau tidak. Hal ini dirundingkan tergantung pada fakta dari keadaan PT tersebut. Dalam due diligence process tidak dapat begitu saja diterima pernyataan dan jaminan yang diberikan oleh emiten, yang biasanya berisi pernyataan bahwa perusahaan didirikan secara sah, tidak memiliki cacat dalam anggaran dasar, serta penyusunan direksi dan komisaris telah dilaksanakan secara sah. Apabila due diligence process dilakukan secara benar, sering ditemukan bahwa pernyataan dan jaminan tersebut tidak dapat diberlakukan begitu saja karena pasti terdapat kualifikasi yang memiliki kecacatan di bagian tengah, yaitu dalam pembentukan Universitas Sumatera Utara anggaran dasar dihadiri oleh pemegang saham yang belum sah. Dari hal tersebut dapat dilihat sampai sejauh mana dampaknya yang dapat terjadi. Terdapat pula kasus di mana emiten yang merupakan perusahaan yang sangat besar,lalai dalam memenuhi financial covenant atau rasio keuangan. Contoh rasio keuangan adalah rasio antara aset terhadap liability. Di lain pihak, pihak emiten mengatakan bahwa permasalahan tersebut bukanlah suatu masalah besar karena sampai detik ini belum pernah dinyatakan default. Padahal dari sisi underwriter dan konsultan hokum, tidak dinyatakannya default bukan berarti tidak memiliki potensi default. Hal seperti ini harus diungkapkan, karena sekalipun secara de jure tidak dalam keadaan lalai, tetapi secara de facto emiten dapat berada dalam keadaan lalai. Permasalahan yang timbul adalah adanya keberatan dari emiten karena mereka khawatir apabila dari awal sudah dilakukan kualifikasi bahwa emiten lalai dalam memenuhi covenant atas sebagian utang mereka, maka obligasi yang mereka terbitkan akan menjadi tidak laku di pasaran. Perkembangan beberapa tahun terakhir, dalam beberapa perjanjian perwaliamanatan dimasukkan klausul but back. Perbedaannya dengan call option adalah bahwa dalam call option emiten membuat pengumuman terlebih dahulu, sementara dalam buy back emiten melakukan pembelian secara diam-diam di pasar. Alasan dimasukkannya klausul buy back adalah adanya kelebihan dana yang dimiliki oleh emiten, sehingga emiten membeli obligasi tersebut secara diam-diam. Selain itu, alasan lainnya adalah keinginan untuk menghindari dari kewajiban pembayaran bunga yang tinggi. Daripada emiten harus membayar bunga setiap jatuh tempo, emiten dapat meminjam dana untuk membeli obligasi Universitas Sumatera Utara tersebut dari bank dengan bunga yang lebih rendah dari pembayaran bunga obligasi. Tujuan obligasi dipegang oleh perseroan ada dua, yaitu : 1. emiten yang memberlakukan obligasi sebagai pelunasan; Dari sisi kredit akan mengurangi jumlah obligasi yang terutang. 2. emiten yang menjadikan obligasi sebagai investasi. Obligasi tersebut diletakkan pada bagian debet yang dimasukkan dalam akun surat berharga, Tujuannya adalah ketika suatu saat harga obligasi tersebut menjadi tinggi, maka emiten akan melepaskannya ke pasar. Dalam hal ini, emiten menjadi pihak trader yang mendapatkan keuntungan dari obligasi yang dikeluarkan sendiri. Ditinjau dari sisi Rapat Umum Pemegang Obligasi RUPO, emiten yang menguasai obligasi yang dikeluarkannya sendiri, termasuk pihak-pihak yang terafiliasi, tidak memiliki hak suara dalam RUPO sekalipun memegang hak suara mayoritas. RUPO biasanya dihadiri dan disetujui oleh pemegang obligasi yang independent. Dalam praktiknya kerap kali terjadi penyimpangan di mana seringkali pihak emiten atau pihak terafiliasi yang nakal mempergunakan joki dengan menggunakan dana dari emiten, tetapi menggunakan identitas orang lain. Dalam kenyataannya sering terjadi kegagalan dalam RUPO karena mayoritas obligasi dikuasai oleh joki tersebut, di mana mereka lebih menyuarakan kepentingan emiten atau pihak yang terafiliasi. Universitas Sumatera Utara Pada intinya terdapat dua bentuk pelanggaran, yaitu : 1. Technical Default Technical default merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh emiten yang tidak ada hubungannya dengan masalah pembayaran pokok dan bunga obligasi. 2. Payment Default Pelanggaran ini merupakan pelanggaran yang berhubungan dengan masalah pembayaran, baik pembayaran utang pokok maupun bunga obligasi. Berdasarkan data dari Bursa Efek Jakarta BEJ, 56 pelanggaran yang biasa dilakukan oleh emiten adalah tidak dibayarkannya utang pokok, bunga obligasi, tidak memberikan laporan keuangan yang telah diaudit maupun pelanggaran terhadap rasio financial. Di sinilah tugas wali amanat untuk bertanggung jawab terhadap emiten yang default tersebut, karena besar sekali kepercayaan yang diberikan oleh pemegang obligasi kepadanya. Wali amanat harus dapat memperkirakan dan mengklarifikasi apakah memang benar terdapat default. Kemudian wali amanat harus memikirkan hal-hal yang harus dilakukan apabila terjadi default oleh emiten. Sebelum wali amanat masuk ke pengadilan, banyak hal yang harus dilakukan terlebih dahulu. Hal-hal tersebut antara lain melakukan klarifikasi dengan emiten, mengadakan pertemuan informal dengan emiten dan pemegang obligasi, sampai 56 Ibid., hlm. 68. Universitas Sumatera Utara akhirnya mengadakan RUPO. Dalam RUPO tidak akan langsung dinyatakan bahwa emiten dalam keadaan default. Dalam RUPO, pertama kali akan diberikan kesempatan kepada emiten untuk memberikan penjelasan tanpa ada keputusan apa pun. Sampai pada akhirnya jika memang emiten benar-benar “bandel”, barulah dalam RUPO dinyatakan bahwa emiten default, emiten tidak dapat langsung dibawa ke pengadilan. Dibuka kemungkinan bagi emiten untuk mengajukan usulan mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan terhadap emiten, apakah ingin dilakukan restrukturisasi atau assetbsettlement. Ketika pada akhirnya ditempuh jalur pengadilan, hal ini berarti emiten memang benar-benar “bandel” dan tidak bersedia bekerja sama. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN