KOSMOLOGI : SEJARAH JAGAD RAYA

BAB V KOSMOLOGI : SEJARAH JAGAD RAYA

5.1 Pendahuluan

Sebagaimana ditulis oleh Krane (1992), setiap kemajuan baru di dalam pemahaman jagad raya ternyata semakin memperkecil peran kita di dalamnya. Walaupun demikian, setiap kemajuan ini selalu menimbulkan rasa kekaguman baru. Astronomi abad ke tujuh belas mengungkapkan fakta bahwa bumi bukanlah pusat tata surya melainkan salah satu dari beberapa planet yang mengitari matahari. Pada abad ke sembilan belas, para astronom mengarahkan teleskopnya ke bintang-bintang dan menggunakan peralatan spektroskopi yang dikembangkan untuk mengukur berbagai panjang gelombang cahaya bintang. Ditemukan fakta bahwa matahari kita ternyata hanya sebuah bintang biasa yang kedudukannya tidaklah istimewa dalam skala galaksi. Matahari kita ternyata adalah satu dari

sekitar 10 11 bintang dalam galaksi kita yang dikenal dengan nama galaksi Bima Sakti.

Dari teleskop para astronom, terungkap pula beberapa objek aneh seperti gumpalan nebula redup yaitu sepotong cahaya lebar yang melebihi ukuran bintang. Beberapa nebula ini kemudian dapat disimpulkan sebagai kabut gas dalam galaksi, yang dapat menyatakan materi baru dari mana bintang dibentuk, atau sisa dari bintang yang mengakhiri hidupnya dengan ledakan dahsyat.

Selain itu diperoleh pula nebula yang agak redup. Namun hal ini masih menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya hakikat nebula yang agak redup ini. Kepastian tentang pertanyaan ini hanya dapat terpecahkan bila cahaya semua objek redup dapat dipisahkan menjadi bintang-bintang tunggal. Hal ini adalah persoalan eksperimental yang amat sulit, karena memerlukan pencahayaan sebuah pelat foto sepanjang malam, pada saat mana para astronom bergulat dalam kedinginan malam di atas puncak gunung untuk menjaga fokus teleskopnya tetap mengarah ke nebula, sebagai akibat rotasi bumi dan perubahan suhu yang

menyebabkan perubahan ukuran teleskop. Pada tahun 1920 − an, Edwin Hubble __________________________________________________________________ menyebabkan perubahan ukuran teleskop. Pada tahun 1920 − an, Edwin Hubble __________________________________________________________________

Semakin banyak nebula dan galaksi yang ditemukan, semakin pula kedudukan kita di jagad raya. Matahari kita tidak saja hanya satu dari sekitar 10 11

bintang dalam galaksi Bima Sakti, melainkan mungkin galaksi Bima Sakti sendiri merupakan satu di antara 10 11 galaksi yang ada di jagad raya.

Pengamatan Hubble juga menghasilkan pernyataan yang menarik : setiap galaksi bergerak menjauhi kita (dan menjauhi yang lainnya) dengan kelajuan yang amat tinggi. Semakin jauh sebuah galaksi dari kita, semakin tinggi lajunya. Kesimpulan mengesankan ini akan menuntun kita ke model standar jagad raya beserta asal usulnya. Jika semua galaksi bergerak saling menjauhi, maka mereka sebelumnya tentulah berdekatan. Jika kita kembali cukup jauh ke masa lampau, semua materi tentulah berasal dari sebuah titik singularitas berkerapatan takhingga yang mengalami ledakan dahsyat. Peristiwa itu dikenal sebagai Big Bang (Ledakan Besar).

Informasi yang lebih menghebohkan datang menyusul. Pada tahun 1965, dua astronom yang bernama Arno Penzias dan Robert Wilson menemukan pijaran radiasi latar belakang gelombang mikro dari sisa-sisa ledakan besar yang mengisi seluruh jagad raya dan terus menghujami bumi, meskipun telah mengalami pendinginan selama kurang lebih 15 milyar tahun.

Karya eksperimental yang telah dirintis oleh Hubble, Penzias dan Wilson merupakan landasan untuk berspekulasi mengenai asal mula, evolusi dan masa depan jagad raya. Semua teori ini termasuk dalam bidang kajian kosmologi yang berasaskan pada teori relativitas umum dengan paduan bidang astronomi, fisika partikel, fisika statistik, termodinamika dan elektrodinamika. (Krane, 1992)

Di dalam jagad raya paling tidak terdapat empat jenis interaksi dasar (mungkin dapat ditambah satu lagi yaitu interaksi maha lemah atau superweak). Keempat interaksi tersebut masing-masing adalah interaksi kuat, lemah, elektromagnetik dan gravitasi. Interaksi elektromagnetik (EM) bermediator foton dan berjangkauan jauh terjalin antara zarah − zarah bermuatan listrik dan/atau bermomen magnet dan berlangsung secara makro dan mikro dalam atom inti dan

bermassa W (bermuatan) dan Z (netral) serta melanggar kekekalan paritas. Teori untuk interaksi ini disebut Flavordinamika Kuantum ( QFD ). Interaksi yang paling lemah dari keempat interaksi dasar adalah interaksi gravitasi yang berperan dalam interaksi jangkauan jauh antar massa dan antar massa dengan foton dengan mediator graviton tak bermassa. Teori kuantum yang menjelaskan interaksi gravitasi antar partikel bermassa dikenal dengan nama Geometrodinamika Kuantum ( QGD ).

Pada materi massif seperti bintang dan galaksi, muatan mereka praktis netral sehingga interaksi elektromagnetik tak bekerja pada struktur skala besar jagad raya. Pada pada skala ini, hanya interaksi gravitasi saja yang bekerja. Oleh karena itu hukum gravitasi Einstein yang didasarkan pada teori relativitas umum akan sanggup memberikan gambaran jagad raya secara komprehensif, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Teori Gravitasi Einstein sendiri mampu meramalkan beberapa fenomena di jagad raya dengan ketelitian tinggi. Teori ini adalah teori yang menyempurnakan teori gravitasi Newton. Beberapa fenomena di jagad raya yang terbuktikan ramalannya dengan ketelitian tinggi adalah :

1. pembelokan cahaya bintang

2. presesi orbit planet

3. pergeseran merah gravitasi

4. gema tunda waktu radar (Weinberg, 1972; Krane 1992). __________________________________________________________________

Relativitas umum juga menyajikan beberapa ramalan menarik seperti adanya lubang hitam (black holes), gelombang gravitasi (gravitational waves), singularitas ruang-waktu dan sebagainya. Meskipun teori ini memiliki daya pikat, keindahan estetis dan sementara ini lulus dalam tes eksperimental, jumlah tes tersebut sebenarnya masih tergolong langka. Nampaknya agak berlebihan jika jagad raya dapat ditelaah hanya dengan menggunakan teori ini. Namun akan diperoleh bahwa paling tidak secara kuantitatif, ramalan teori relativitas umum sesuai dengan beberapa pengamatan, seperti fenomena ekspansi jagad raya, ramalan sisa-sisa radiasi Big Bang dan sebagainya.

Tidak digunakannya gravitasi Newton untuk menelaah interaksi gravitasi dalam jagad raya disebabkan oleh keterbatasan teori itu sendiri. Memang gravitasi Newton itu sendiri memberikan pemerian secara kuantitatif yang serupa dengan solusi persamaan gravitasi Einstein untuk objek jagad raya (Weinberg, 1972). Namun teori Newton menganggap bahwa ruang di jagad raya bersifat Euclid (datar). Newton tidak mengenal istilah ruang lengkung. Padahal menurut Einstein, keberadaan medan gravitasi dalam ruang menyebabkan ruang di jagad raya menjadi lengkung, dengan geometri ruang bersifat Riemannian. Kelengkungan ruang untuk skala galaksi memang masih dapat diabaikan, namun untuk skala besar jagad raya, efek ini dapat dijumlahkan sehingga tak dapat diabaikan lagi. Oleh karena itu penelaahan keadaan fisis jagad raya dilakukan dengan menyelesaikan persamaan medan gravitasi Einstein untuk objek jagad raya.

5.2 Asas Kosmologi

7 Dalam skala besar jagad raya, mulai dari jarak 10 parsec, seluruh materi dapat dianggap sebagai fluida yang kontinu, homogen dan isotrop. Pernyataan ini

membawa kepada kesimpulan bahwa tidak ada pengamat galaksi yang dipandang istimewa di jagad raya ini. Dengan kata lain, seluruh pengamat bergerak bersama galaksi dan melihat proses skala besar yang sama dalam evolusi jagad raya. Inilah yang dinamakan dengan asas kosmologi (cosmological principle). Sedangkan teori keadaan ajeg (steady state theory) didasarkan pada asas kosmologi sempurna (perfect cosmological principle) yang menyatakan bahwa seluruh pengamat

5.3 Geometri Bolahiper (Hypersphere geometry)

Dalam ruang Euclid empat dimensi

1 2 3 4 x = ( x , x , x , x ) (5.1) kuadrat elemen garis dirumuskan sebagai

1 2 2 2 3 2 4 2 dl = η ij dx dx = ( dx ) + ( dx ) + ( dx ) + ( dx ) (5.2) Bentuk persamaan bolahiper ( hypersphere ) tiga dimensi dalam ruang empat

dimensi menyerupai bentuk persamaan permukaan bola dua dimensi dalam ruang tiga dimensi. Persamaan bolahiper tersebut adalah

1 2 2 2 3 2 4 2 2 ( x ) + ( x ) + ( x ) + ( x ) = S (5.3) dengan S adalah ruji bolahiper. Jika persamaan di atas diturunkan maka bentuknya

menjadi

1 1 2 2 3 3 4 4 x dx + x dx + x dx + x dx = 0 (5.4) atau

Dengan memasukkan pers. (5.5) ke (5.2) diperoleh

dl = ∑ ( dx ) + 4 2  d ∑ ( x )  (5.6)

yang menyatakan bentuk umum persamaan kuadrat elemen garis pada bolahiper. Jika ruang Euclid tersebut dinyatakan dalam koordinat polar ( u , θ , φ ) (5.7)

melalui persamaan transformasi

1 2 3 x = u sin θ cos φ , x = u sin θ sin φ , x = u cos θ (5.8) maka

( ( x ) + ( x ) + ( x ) ) (5.9)

2 4 2 S = u + (x ) (5.10) sehingga

2 2 2 2 2 2 u du

dl = du + u ( d θ + sin θ d φ ) + 2 2 (5.11)

Dengan substitusi u = Sr (5.13) diperoleh

2 Jika pada pers. (5.3), 2 S diganti dengan − S , pers. (5.14) menjadi

Kedua metrik di atas dapat dituliskan sekaligus dalam ungkapan

dl = S  dr

2 + r ( d θ + sin θ d φ )   (5.16)

 1 − kr

dengan k = 1 untuk pers. (5.14) dan k = − 1 untuk pers. (5.15). Jika diisikan k = 0 , dihasilkan ruang Euclid tiga dimensi.

5.4 Metrik Robertson-Walker

Metrik Robertson-Walker dibangun di atas dua asumsi berikut :

1. 0 Adanya waktu kosmik x dalam koordinat Gauss, yaitu koordinat yang ikut bergerak bersama pengamat

2. Asas homogen dan isotrop jagad raya. Metrik jagad raya mengambil bentuk

ds = g µν dx dx (5.17)

Persamaan transformasi untuk g i 0 adalah

yang menggambarkan bahwa i 0 g menentukan arah tertentu pada ruang tiga dimensi. Hal ini bertentangan dengan asumsi kedua di atas sehingga ditarik

kesimpulan bahwa g i 0 = 0 untuk i = 1, 2, 3. Bentuk metrik jagad raya tereduksi ke bentuk

0 Ditinjau dua kejadian yang masing-masing terjadi pada waktu x dan

0 x 0 + dx . Diketahui d τ adalah swawaktu / waktu pribadi ( proper time ) antara dua kejadian tersebut. Karena koordinat spatial pengamat tidak pernah berubah, bentuk

metrik (5.18) menjadi

00 (dx ) (5.19)

Berdasarkan asumsi pertama, swawaktu τ = ∫ d τ sama dengan waktu kosmik

x 0 = t sehingga g

00 = − 1 . Bentuk metrik (5.18) menjadi

ij dx dx (5.20) Dengan mengambil t konstan, metrik di atas menjadi

j ds = − dt + g

(5.21) Berdasarkan asas kosmologi, setiap pengamat akan mendapati ruang spatial

2 ds = g

ij dx dx = dl

bersifat homogen dan isotrop. Oleh karena itu, bentuk 2 dl adalah bentuk umum elemen garis pers. (5.16) sehingga pers. (5.20) dituliskan sebagai

2 2 2  dr

ds = − dt + S  

2 + r ( d θ + sin θ d φ )   (5.22)

 1 − kr

Metrik di atas dinamakan metrik Robertson-Walker. S adalah faktor skala kosmik yang merupakan fungsi t saja. Untuk k = +1, nilai S menyatakan ruji spatial bolahiper 3 dimensi dalam ruang empat dimensi spatial.

5.5 Pergeseran merah galaksi

Informasi penting yang diperoleh mengenai faktor skala kosmik S (t ) akan membawa pada pengamatan pergeseran frekuensi cahaya yang dipancarkan dari

sumber tertentu. Untuk menghitung pergeseran frekuensi ini, kita akan menempatkan diri kita pada titik awal koordinat r = 0. Ditinjau cahaya yang merambat hanya pada arah r dengan θ dan φ konstan. Persamaan geodesik cahaya tersebut adalah

Jika cahaya meninggalkan galaksi dengan koordinat ( r 1 , θ 1 , φ 1 ) pada saat t 1 maka cahaya tersebut akan sampai pada kita pada saat t yang diberikan oleh 0

persamaan

t 0 dt

∫ = f ( r 1 ) (5.25)

2 =  r 1 k = 0 (5.26)

0 1 − kr

 sinh r 1 k = − 1

Galaksi tersebut memiliki koordinat ( r 1 , θ 1 , φ 1 ) konstan sehingga f ( r 1 ) tak gayut waktu. Selanjutnya jika cahaya berikutnya meninggalkan r 1 pada waktu t 1 + δ t 1 , cahaya tersebut akan sampai kepada kita pada waktu t 0 + δ t 0 dengan hubungan sebagai

dt

∫ = f ( r 1 ) (5.27)

yang berimplikasi pada hubungan

Cahaya berfrekuensi ν 0 yang dipancarkan akan teramati berfrekuensi ν 1 melalui hubungan

Didefinisikan pergeseran merah z sebagai fraksi pertambahan panjang gelombang

Jadi z akan bernilai positif jika S ( t 0 ) > S ( t 1 ) (5.33)

yang menyatakan adanya ekspansi jagad raya. Jika galaksi yang diamati cukup dekat pada skala besar, t 0 − t 1 relatif kecil

dan S ( t 1 ) dapat dinyatakan dalam deret Taylor sebagai

1 ) = S ( t 0 ) − ( t 0 − t 1 ) S ɺ ( t 0 ) + 2 ( t 0 − t 1 ) S ɺ ɺ ( t 0 ) − ...

0 ) ( 1 − H 0 ( t 0 − t 1 ) − 2 q 0 H 0 ( t 0 − t 1 ) − ... ) (5.34)

dengan H 0 dan q 0 berturut-turut menyatakan tetapan Hubble dan parameter perlambatan untuk saat ini. Kedua besaran itu dikatakan konstanta, meski

sebenarnya nilai gayut waktu. Namun untuk rentang waktu yang relatif kecil, jika dibandingkan dengan usia jagad raya, kedua nilai di atas praktis konstan. Secara umum keduanya didefinisikan sebagai

H = (5.35)

dan __________________________________________________________________ dan __________________________________________________________________

Dengan substitusi pers. (5.34) − (5.36) ke (5.32) diperoleh hasil

0 ( t 0 − t 1 ) + ( 2 q 0 + 1 ) H 0 ( t 0 − t 1 ) + ... (5.37) Dengan mengamati z untuk sejumlah galaksi serta menghitung ( t 0 − t 1 ) setiap galaksi, ekspansi z di atas menghasilkan nilai 0 H dan q saat ini yang besarnya 0

masing-masing adalah (Weinberg, 1972)

0 H = 75 km/sMpc

(5.39) Selanjutnya kedua nilai tersebut dipakai untuk menelaah sifat fisis jagad raya.

q = 1,2 0 ± 0,4.

5.6 Ekspansi Jagad Raya

Bukti adanya ekspansi jagad raya berasal dari efek pergeseran Doppler cahaya yang dipancarkan oleh galaksi-galaksi jauh. Pergerakan bintang-bintang atau galaksi dekat relatif terhadap kita tidaklah cukup memberikan bukti adanya ekspansi jagad raya. Beberapa bintang di galaksi kita bergerak menuju kita dan panjang gelombang yang dipancarkannya teramati mengalami pergeseran ke panjang gelombang yang lebih pendek (pergeseran biru). Sementara itu beberapa bintang lainnya bergerak menjauhi kita sehingga cahayanya mengalami pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih besar atau dikenal sebagai pergeseran merah.

Jika kita beralih ke cahaya yang berasal dari galaksi-galaksi di dekat kita, kembali akan diperoleh beberapa di antara mereka mengalami pergeseran biru, dan beberapa lainnya mengalami pergeseran merah. Hanya jika kita alihkan perhatian kepada galaksi-galaksi jauh, barulah nampak secara konvergen galaksi-galaksi tersebut bergerak menjauhi kita serta cahaya yang dipancarkannya mengalami pergeseran merah.

Bagaimanakah kita dapat meyakini adanya pengembangan jagad raya yang menyebabkan terjadinya pergeseran merah tersebut ? Sekurang-kurangnya terdapat tiga alasan yaitu (Krane, 1992) :

1. Menurut pengamatan, jumlah galaksi yang mengalami pergeseran merah dan biru tidak seimbang. Semua galaksi jauh bergerak menjauhi kita. Oleh karena itu pergeseran merah ini tidak dapat dijelaskan sebagai pergeseran acak sejumlah galaksi yang mematuhi suatu distribusi tertentu.

2. Pergeseran merah itu nampaknya bukanlah pergeseran merah galaksi menurut relativitas umum. Hal ini disebabkan materi dalam galaksi tidaklah terlalu padat sehingga tidak dapat menghasilkan pergeseran yang besar.

3. Pergeseran yang diamati berbanding lurus dengan jarak galaksi dari kita. Agaknya kenyataan ini merupakan langkah paling penting untuk mendukung gagasan ekspansi jagad raya yang biasanya diungkapkan sebagai Hukum Hubble, yaitu

(5.40) dengan v adalah laju galaksi, H adalah tetapan Hubble dan d adalah jarak galaksi dari kita.

v = Hd

Hukum Hubble tersebut dapat diturunkan dari metrik Robetrson-Walker. Jika tempat kita dipilih dengan koordinat r = 0, maka jarak radial galaksi ( r 1 , θ , φ ) terhadap kita pada waktu kosmik t adalah

r 1 dr

Sf ( r ) (5.41)

r = 0 1 − kr

dengan f ( r 1 ) seperti pada pers. (5.26). Laju pergerakan galaksi tersebut terhadap kita diberikan sebagai

dS

v = d ɺ = f ( r 1 ) = f ( r 1 ) S = Hd (5.42)

dt

yaitu hukum Hubble. Bagaimanakah hukum Hubble melukiskan ekspansi jagad raya ? Ditinjau kiasan jagad raya yang digambarkan oleh sistem koordinat tiga dimensi pada Gambar 5.1 yang mana setiap titik mewakili sebuah galaksi. Galaksi Bima Sakti dipilih pada titik O. Jarak mula-mula suatu galaksi terhadap Bima Sakti adalah d. Setelah jagad raya mengembang yang digambarkan oleh menjauhnya semua titik tersebut, jarak tersebut menjadi d’. Diasumsikan pengembangan tersebut terjadi

(5.43)

Jika kita bandingkan antara kelajuan galaksi 1 dan 2 diperoleh

(5.44)

yang identik dengan hukum Hubble. Pers. (5.44) di atas sekaligus menunjukkan bahwa makin jauh jarak galaksi dari kita, makin cepat pula ia meninggalkan kita.

Gambar 5.1. Kiasan pengembangan jagad raya dengan kiasan kawat

Perlu dicatat di sini bahwa ekspansi jagad raya berlangsung sedemikian sehingga tidak ada satu tempat/ruang di jagad yang menjadi pusat ekspansi. Semua titik/ruang mengalami ekspansi sehingga tidak ada titik yang memiliki kedudukan istimewa di jagad raya. Jika kita mengecat beberapa titik pada balon kemudian meniupnya, tampak bahwa setiap titik bergerak saling menjauhi. Semakin jauh jarak antara dua titik, semakin cepat pula keduanya menjauh.

Peristiwa fisis ekspansi jagad raya ini melahirkan dua teori besar. Teori pertama, jika setiap galaksi bergerak saling menjauhi, berarti di masa lampau jarak mereka lebih dekat. Kalau kita menengok lebih jauh lagi, akan didapati seluruh galaksi dan materi lainnya mula-mula berada pada titik singularitas dengan

__________________________________________________________________

kerapatan dan temperatur takhingga besar. Teori ini dikenal sebagai hipotesis Big Bang (Ledakan Besar) yang dikemukakan oleh George Gamow dkk pada tahun 1948. Teori kedua, kerapatan jagad raya selalu konstan. Sewatu galaksi-galaksi bergerak saling menjauhi, dalam ruang antargalaksi terus diciptakan materi baru agar kerapatan jagad raya selalu konstan. Galaksi atau materi baru yang diciptakan akan menyebabkan jagad raya tampak sama sepanjang masa, baik pada masa lampau, sekarang maupun masa depan. Teori ini dikenal dengan hipotesis Steady State (Keadaan Ajeg) yang dikemukakan oleh Hoyle dkk pada tahun 1960. Teori kedua ini menggunakan asas kosmologi sempurna, sebagaimana tersebut pada pasal 2. Pengamatan dengan teleskop radio yang dilakukan oleh Penzias dan Wilson di tahun 1965 berhasil menyingkap adanya suatu radiasi latar belakang kosmik pada daerah gelombang mikro yang diyakini sebagai sisa-sisa radiasi Big Bang. Dengan demikian pengamatan tunggal ini mengunggulkan teori Big Bang dari semua model kosmologi lainnya.

5.7 Sejarah Suhu Jagad Raya menurut Big Bang

Menurut teori Big Bang, jagad raya berasal dari suatu ledakan besar yang menghamburkan seluruh isi jagad raya ke segala arah ruang. Saat ledakan terjadi, jagad raya berukuran titik berkerapatan energi takhingga, bersuhu takhingga besar. Saat jagad raya terus mengembang dan usianya bertambah, suhunya semakin mengecil. Akhirnya suhu jagad raya sampai pada ambang penciptaan partikel- antipartikel.

Menurut Weinberg (1972), garis besar sejarah suhu (thermal history) jagad raya adalah sebagai berikut :

1. 12 Pada suhu T > 10 K, jagad raya berisi banyak sekali variasi partikel pada kesetimbangan suhu, seperti foton, lepton, meson dan nukleon beserta

antipartikel masing-masing. Suhu ambang bagi penciptaan nukleon ini adalah sekitar 10 13 K. Di atas suhu tersebut, energi jagad raya sedemikian

tinggi sehingga mungkin mampu menciptakan kuark yang lebih berat dari nukleon seperti kuark jenis charmed, bottom dan top (Griffith, 1987).

2. 12 Pada T ≈ 10 K, jagad raya berisi foton, muon, antimuon, elektron, positron, neutrino dan antineutrino. Terdapat percampuran nukeon dalam jumlah amat

kecil, dengan neutron dan proton berjumlah kurang lebih sama. Semua partikel masih berada dalam kesetimbangan suhu.

3. 12 Ketika T < 10 K, muon dan antimuon mengalami proses pelenyapan (annihilation). Setelah seluruh muon lenyap, pada T 11 ≈ 1,3 × 10 K, neutrino

dan antineutrino mengalami ketidakgandengan (decoupled) dengan partikel

lain. Partikel e, γ dan sebagian kecil nukleon berada pada kesetimbangan

suhu dengan T ∝ S .

11 − 4. 2 Ketika T < 10 K atau t ≈ 10 s, perbedaan massa proton dan neutron menyebabkan terjadinya perubahan percampuran nukleon sehingga proton

lebih banyak daripada neutron.

4 s, pasangan elektron-positron mengalami pelenyapan sehingga melenyapkan seluruh positron dan menyisakan sedikit

5. 9 Ketika T < 5 × 10 K atau t ≈

elektron. Jagad raya hanya didominasi oleh foton, neutrino dan antineutrino dengan suhu foton lebih tinggi 40,1 % daripada suhu neutrino-antineutrino. Perbandingan neutron terhadap proton kira-kira 1 : 5.

6. 9 Pada T ≈ 10 K atau t ≈ 180 s, terjadi fusi antara proton dengan neutron yang membentuk inti yang lebih berat seperti deuterium dan helium.

7. Ekspansi bebas foton, neutrino dan antineutrino terus berlanjut dengan T γ = − 1 3 1,401 5 T

ν ∝ S . Pada 10 K < T < 10 K, nilai rapat energi foton, neutrino- antinuetrino menjadi di bawah rapat energi rehat hidrogen dan helium. Atom hidrogen terbentuk kira-kira pada T ∝ 4000 K setelah elektron bergabung dan inti atom membentuk atom hidrogen. Dimulailah masa dominasi radiasi. Pada tabel 5.1 di bawah ini disajikan beberapa partikel elementer penyusun

jagad raya beserta energi rehat dan suhu ambang yang berkaitan suhu tersebut. Nilai suhu ambang tersebut diperoleh melalui kaitan persamaan

T = (5.45)

dengan k adalah tetapan Boltzmann. __________________________________________________________________

Tabel 5.1. Partikel utama penyusun jagad raya beserta energi dan suhu ambang

No Partikel

Suhu ambang ( × 9 10 K) 1 Foton

Energi (MeV)

e, + e 0,511

Kali ini akan ditelaah sejarah suhu jagad raya secara lebih rinci, dimulai dari

10 − K > T > 1 , 3 × 10 K ketika moun ( µ ) dan antimuon ( µ ) cukup jarang.

Pengisi penting jagad raya, adalah elektron-positron ( + e , e ), foton ( γ ), neutrino- antineutrino untuk elektron ( ν e , ν e ) serta neutrino-antineutrino untuk muon

( ν µ , ν µ ) yang seluruhnya masih berada pada kesetimbangan suhu ( thermal equilibrium ). Foton memenuhi distribusi Planck sedangkan elektron-positron dan

neutrino-antineutrino memenuhi distribusi Fermi. Neutrino dan antineutrino tersebut dihasilkan, dilenyapkan dan dihamburkan melalui reaksi berikut :

+ e + µ ← → ν

e + ν µ (5.46)

e + µ ← → ν µ + e (5.47)

µ + µ ← → ν e + e (5.48)

− e + µ ← → ν

e + ν µ (5.49)

e + µ ← → ν µ + e (5.50)

(5.51) Pada masa dominasi radiasi berlaku kaitan antara rapat energi ( ρ ) dengan suhu ( T) jagad raya yang dirumuskan sebagai

ν µ + µ ← → ν e + e .

(5.52) Sedangkan juga pada masa dominasi radiasi, hubungan antara rapat energi dengan

ruji atau faktor skala kosmik (S) jagad raya dirumuskan sebagai

µ dan ν µ (mungkin juga ν e dan ν e ) mengalami ketidakgandengan (decoupled) dengan partikel dalam kesetimbangan

Ketika T turun hingga 1,3 11 × 10 K, ν

suhu dan mulai melakukan ekspansi bebas (free expansion). Tetapi, ketidakgandengan ini tidak berdampak apa-apa pada distribusi partikel. Partikel yang berada di dalam kesetimbangan suhu tersebut masih berperilaku seperti

partikel ultrarelativistik sehingga suhu mereka tetap sebanding dengan S . Rapat

jumlah neutrino dan antineutrino bebas sebanding dengan S dan mengalami − pergeseran merah oleh faktor 1 S seperti foton. Suhunya juga menurun mengikuti

e , ν e ) pada saat T = 10 10 K, namun hal ini juga tidak membawa pengaruh pada fungsi

− S 1 . Selanjutnya terjadi ketidakgandengan (decoupled) kedua neutrino ( ν

distribusi neutrino dan antineutrino. Secara keseluruhan pada rentang suhu 10 12 K >T >5 9 × 10 K, nilai rapat energi neutrino dan antineutrino baik untuk elektron

maupun untuk muon adalah sama yaitu sebesar

dengan tetapan Stefan-Boltzmann

Pada saat ± m

e < kT , e bersifat relativistik sehingga

7 4 aT

Rapat energi untuk elektron dan positron bernilai dua kali rapat energi neutrino karena elektron dan positron memiliki dua keadaan spin. Rapat energi total jagad

12 raya saat rentang suhunya 10 9 K > T > 5 × 10 K adalah jumlah rapat energi neutrino, elektron, positron dan foton sebesar __________________________________________________________________

10 Berikutnya saat T di bawah suhu 10 K, partikel yang berperan penting di

dalam kesetimbangan suhu hanyalah

e dan γ . Neutrino dan antineutrino tidak mengalami pemanasan ketika pelenyapan elektron-positron sehingga suhu

keduanya turun sebanding dengan S . Selanjutnya untuk T < 5 × 10 K, suhu neutrino dan antineutrino ( T ) harus dibedakan dengan suhu foton dan partikel ν

bermuatan lainnya (T). Suhu foton lebih besar daripada suhu neutrino dengan faktor sebesar

Untuk T < 10 9 K, partikel yang tersisa di kesetimbangan suhu adalah sejumlah + kecil nukleon dan elektron setelah seluruh pasangan − e e mengalami proses − pelenyapan. Kedua nilai 1 T dan T turun mengikuti

dengan perbandingan antara keduanya seperti yang disajikan pada persamaan di atas. Nantinya suhu

foton T γ juga akan berbeda dengan suhu materi T setelah T turun di bawah 4000 K, yaitu saat suhu yang memungkinkan terbentuknya atom hidrogen. Suhu foton

− ini akan terus menurun mengikuti 1 S . Radiasi kosmik latar belakang gelombang mikro yang ditemukan orang

memiliki suhu saat ini sebesar T = 2,7 K. γ 0 (5.59)

Karena itu seharusnya suhu radiasi benda hitam neutrino dan antineutrino sebesar

9 Dari saat T ≈ 10 K hingga saat ini, rapat energi foton, neutrino dan antineutrino yang membentuk rapat energi radiasi adalah

R = 1 , 45 aT γ .

− 4 Selama masa dominasi radiasi, nilai rapat energi ρ ∝ S . Solusi persamaan dinamika jagad raya untuk keadaan tersebut adalah

Tabel 5.2 Deskripsi suhu, usia dan ruji jagad raya

T (K) T / T ν S / S 0 T (detik)

12 Semenjak 10 9 K > T > 5 × 10 K, rapat energi dirumuskan oleh pers. (5.57)

sehingga diperoleh (nilai c diisikan)

 detik + tetapan.

Jika t = 0 dimulai saat T = 10 12 K (tentu saja yang benar tidak demikian), maka diperlukan waktu 0,0107 detik agar suhu turun ke 10 11 K dan selanjutnya sebesar 1,07 detik untuk turun ke 10 10 K.

9 Adapun dari 10 K>T > T , waktu yang diperlukan adalah γ

9 Waktu yang diperlukan agar suhu turun dari 10 8 K menuju 10 K adalah sekitar 5,3 jam. Jika radiasi terus lebih dominan daripada materi sampai terbentuknya atom

hidrogen pada T = 4000 K, usia jagad raya saat itu sekitar 400.000 tahun. Pada Tabel 5.2 disajikan deskripsi suhu usia, usia dan ruji jagad raya dengan sumber dari Weinberg (1972).

5.8. Radiasi Kosmik Latar Belakang Gelombang Mikro

Pengembangan jagad raya menyebabkan suhunya menurun, demikian pula dengan suhu radiasi foton. Hal ini membawa pula pada perubahan panjang gelombang foton yang bergeser ke arah yang lebih besar, yang dikenal sebagai pergeseran merah (red shift). Meskipun demikian, distribusi spektrum radiasi foton tetap seperti yang dimiliki oleh radiasi benda hitam. Pada tahun 1940-an, para ilmuwan kosmolog Big Bang seperti Gamow dan lainnya meramalkan bahwa suhu “bola api” sekarang menurun menjadi suhu yang berorde 5 sampai dengan 10 K.

− Foton-foton tersebut akan memiliki energi kT dalam orde 10 3 eV yang berkaitan dengan panjang gelombang berorde 1 mm, yaitu dalam daerah spektrum

gelombang mikro (microwaves). __________________________________________________________________

Spektrum panjang gelombang radiasi ini dilukiskan oleh distribusi Planck melalui perumusan

8 π hc d λ

u ( λ ) d λ = 5 (5.65)

λ exp( hc / λ kT ) − 1

dengan u ( λ ) d λ adalah rapat energi radiasi yang dipancarkan pada rentang panjang gelombang λ dan λ + d λ . Distribusi panjang gelombang untuk suatu suhu tertentu memiliki nilai maksimum pada λ max yang dirumuskan dalam hukum pergeseran Wien sebagai

(5.66) Rapat energi radiasi total untuk seluruh panjang gelombang diperoleh dari hukum

max T = 2,898 × 10 K m.

Stefan-Boltzmann yaitu dengan mengintegralkan pers. (5.65) yang hasilnya

λ = 0 15 c h

Ketika jagad raya mengembang, suhu T turun sehingga nilai λ max membesar. Panjang gelombang λ max membesar dengan faktor f, yang berpadanan dengan

penurunan suhu T dengan faktor f sehingga 4 ρ mengecil sebesar f . Dengan substitusi

hc λ = ,

pers. (5.65) dapat dituliskan sebagai

8 3 π E dE

u ( E ) dE = 3 3 .

h c exp( E / kT ) − 1

Persamaan di atas menyatakan kerapatan energi foton. Jika nilai di atas dibagi E, hasilnya menyatakan jumlah foton berenergi E persatuan volume atau n(E) yang dirumuskan sebagai

8 2 π E dE

n ( E ) dE = 3 3 .

h c exp( E / kT ) − 1

Jumlah foton untuk seluruh rentang energi persatuan volume atau N dapat dicari dengan mengintegralkan persamaan di atas yang nilainya adalah

8 2 π k T x dx

N = ∫ n ( E ) dE = 3 3 ∫

(5.71)

E = 0 h c x = 0 exp( x ) − 1

untuk mana telah dilakukan substitusi

(5.72)

kT

Nilai integral tersebut dapat dicari secara numerik, sehingga akhirnya diperoleh jumlah foton persatuan volume sebesar

(5.73) Sementara itu nilai rapat energi dari pers. (5.67) adalah

N = 2,03 × 10 T foton m .

(5.74) sehingga energi rata-rata tiap foton adalah

ρ = 4,73 × 10 T eV m ,

E rata − rata =

= 2,33 × 10 T eV. (5.75)

Selanjutnya beralih pada upaya eksperimental untuk mendeteksi radiasi gelombang mikro serta penentuan suhunya. Dari pers. (5.65) tampak bahwa suhu T dapat ditentukan dengan mengukur energi radiasi benda hitam pada sembarang panjang gelombang. Namun untuk menunjukkan bahwa radiasinya mematuhi aturan spektrum radiasi benda hitam, maka diperlukan pengukuran dalam suatu rentang panjang gelombang.

Pada tahun 1965, Penzias dan Wilson menggunakan suatu teleskop radio yang dipasang untuk panjang gelombang 7,35 cm. Pada panjang gelombang tersebut terekam suatu “desis” yang mengganggu teleskop mereka yang sulit untuk dihilangkan. Setelah upaya untuk menghilangkan gangguan itu ternyata sia-sia, mereka berkesimpulan bahwa asal radiasi tersebut adalah suatu sumber tak dikenal yang menghujami teleskop mereka dari segala arah, baik siang maupun malam. Dari energi radiasi pada panjang gelombang 7,35 cm tersebut mereka menyimpulkan bahwa suhu radiasi benda hitam adalah 3,1 ± 1,0 K. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata disimpulkan bahwa radiasi tersebut adalah warisan dari “bola api” Big Bang. Pada Gambar 5.2 disajikan distribusi radiasi benda hitam pada radiasi latar belakang gelombang mikro (Krane, 1992).

__________________________________________________________________

Gambar 5.2 Distribusi radiasi benda hitam pada radiasi latar belakang gelombang mikro

Sejak penemuan tersebut telah dilakukan pula pengamatan pada berbagai panjang gelombang dalam rentang 0,1 hingga 100 cm. Semua pengamatan memberikan kesimpulan suhu yang sama. Nilai baku suhu radiasi kosmik latar belakang gelombang mikro adalah 2,7 ± 0,1 K. Semua hasil pengamatan menampakkan kecocokan yang tinggi. Kecocokan ini akan lebih meyakinkan jika dilakukan pula pengamatan pada panjang gelombang di bawah 0,1 cm. Hanya sayangnya, radiasi pada panjang gelombang tersebut mengalami penyerapan kuat oleh atmosfer bumi. Oleh karena itu teleskop radio di permukaan bumi tidak dapat bermanfaat. Namun demikain data yang dicatat oleh stasiun balon yang diterbangkan di atas atmosfer bumi membuktikan bahwa intensitas radiasi pada rentang panjang gelombang di bawah 0,1 cm memang mematuhi aturan radiasi benda hitam yang bersuhu 2,7 K (Krane, 1992).

Selain itu terdapat metode eksperimen lain yang mendukung kebenaran nilai suhu yang disimpulkan dari pengukuran dengan teleskop radio. Salah satu molekul dwiatom dalam ruang antarbintang yang dicirikan dari spektrum serapnya adalah

Sianogen atau CN. Tingkat energi molekul adalah gabungan dari keadaan elektronik, vibrasi dan rotasi. Pada keadaan dasar, molekuk CN menyerap energi radiasi pada panjang gelombang λ = 387,46 nm pada ujung biru spektrum tampak.

− Keadaan rotasi pertama memiliki energi sebesar 4,70 4 × 10 eV di atas keadaan dasar. Pada keadaan ini, panjang gelombang garis serapnya adalah 387,40 nm. Jika

kita mengukur spektrum serap, perbandingan intensitas kedua garis serap ini merupakan ukuran perbandingan jumlah molekul pada keadaan dasar dan dalam keadaan rotasi pertamanya.

Jika CN berada pada T = 0, semua molekulnya harus berada dalam keadaan dasar. Pada suhu T, populasi keadaan eksitasi ditentukan oleh faktor Boltzmann exp( − E / kT ) . Bobot statistik tingkat tersebut dirumuskan sebagai

exp [ − ( E 1 − E 2 ) / kT ] .

Oleh karena itu penentuan jumlah relatif molekul pada kedua tingkat tersebut adalah suatu cara untuk menentukan suhu gas. Pengamatan terhadap intensitas kedua garis serap gas CN di atas menunjukkan bahwa sekitar 25 % molekulnya berada dalam keadaan tereksitasi. Persamaan di atas menjadi

exp( − 4 , 70 × 10 eV / kT ) (5.77)

yang berarti

(5.78) Hal ini berarti bahwa pada ruang antar bintang yang amat dingin, terdapat sesuatu yang memanasi molekul-molekul gas CN sehingga memiliki suhu tersebut (Krane, 1992).

T = 2,5 K.

Pengamatan terhadap radiasi kosmik menunjukkan bahwa radiasi tersebut − bersifat isotrop (merata) pada seluruh arah hingga ketelitian 10 3 . Sifat ini sesuai

dengan asas kosmologi. Suhu T = 2,7 K ini dapat dikatakan sebagai suhu jagad raya. Hal ini tentu saja berlaku untuk skala besar (large scale). Dengan menggunakan suhu ini, dapat dihitung bahwa dalam setiap volume satu meter kubik ruang di jagad raya, terdapat

sekitar 4 8 × 10 buah foton. Sumbangannya bagi rapat energi jagad raya adalah __________________________________________________________________

5 − sekitar 2,5 3 × 10 eV m atau kira-kira setengah dari energi rehat sebuah elektron. − Jadi setiap foton memiliki energi rata-rata sebesar 6,3 4 × 10 eV.

Mengingat fenomena di atas, pantaslah jika Big Bang merupakan salah satu teori yang cukup menerangkan gejala penciptaan jagad raya dan ekspansinya. Namun demikian terdapat teori baru yang mampu memberikan tambahan penjelasan yang belum mampu dijelaskan oleh teori Big Bang, diantaranya adalah teori jagad raya yang mengalami inflasi (inflationary universe). Hal-hal yang belum dapat dijelaskan oleh teori Big Bang adalah, mengapa jagad raya nampak begitu datar dan seragam, darimanakah munculnya ketidakteraturan rapat massa jagad raya pada skala kecil, dan sebagainya. Namun demikian telaah jagad raya yang mengalami inflasi tersebut tidak akan dibahas di sini.

Soal-Soal Latihan BAB V

1. Jelaskan alasan mengapa munculnya pergeseran merah galaksi-galaksi jauh merupakan isyarat terjadinya ekspansi jagad raya?

2. Apakah tetapan Hubble benar-benar sebuah tetapan? Apakah terhadap jarak yang jauh, ia mengalami perubahan? Bagaimanakah terhadap selang waktu yang lama, akankah ia juga mengalami perubahan?

3. 4 Bagaimanakah kesimpulan anda, bahwa saat umur jagad raya sekitar 10 −

detik, perbandingan antara jari-jari jagad raya saat itu dengan jari-jari jagad 12 raya saat ini adalah sekitar 26 10 −

(jari-jari jagad raya saat ini sekitar 10 m)?

4. Jelaskan perbedaan antara jagad raya terbuka, datar serta tertutup.

5. Buktikan persamaan (5.15).

5. Asumsikan suatu jagad raya bermetrik

2 2 2 2 2 2 2 2 ds 2 = − c dt + R ( t ) dr + sin r ( d θ + sin θ d φ ) dengan

Seorang pengamat pada t = t 1 mengamati suatu galaksi yang berjarak pribadi D tegaklurus dengan garis sight pada t = t 0 . Tentukan pergeseran merah

yang diamati dalam suku R 0 , t 0 , t 1 .

6. Asumsikan jagad raya bersifat isotropik dan datar secara spasial. Metrik jagad raya tersebut dapat mengambil bentuk

2 2 2 2 2 2 2 2 ds 2 = − dt + a ( t )( dr + r d θ + r sin θ d φ ) __________________________________________________________________ 2 2 2 2 2 2 2 2 ds 2 = − dt + a ( t )( dr + r d θ + r sin θ d φ ) __________________________________________________________________

pada waktu t . Solusi persamaan Einstein adalah

ρ a dan a ɺ ɺ = −

Dari fakta bahwa cahaya merambat sepanjang geodesik null, tunjukkan bahwa pergeseran merah kosmologi dari garis spektrum yang dipancarkan

pada waktu t dan diterima pada waktu e t yang didefinisikan sebagai 0

adalah

a e dengan a 0 = a ( t 0 ) dan a e = a ( t e ) .

7. Asumsikan bahwa geometri jagad raya dilukiskan oleh metrik Robertson- Walker (c = 1)

2 2 ds 2 dt R t  dr

 1 − kr

Sebuah pesawat ruang angkasa bergerak relatif terhadap seorang pengamat kosmologis dengan kecepatan v. Beberapa waktu kemudian ketika jagad raya

telah mengembang dengan faktor skala 1 + z , tentukan kecepatan ' v relatif terhadap pengamat tersebut.

8. Gunakan hukum Hubble untuk memperkirakan panjang gelombang 590 nm spektrum garis Na yang diamati terpancarkan dari galaksi yang jaraknya dari bumi adalah

(a) 1 juta tahun cahaya (b) 100 juta tahun cahaya (c) 1 milyar tahun cahaya

9. Carilah panjang gelombang dari puncak spektrum radiasi benda hitam yang bersuhu 2,7 K.

10. 4 Keadaan rotasi pertama sianogen berada pada energi 4 , 70 × 10 − eV di atas

keadaan dasar. Hitunglah populasi relatif keadaan dasar dan ketiga keadaan rotasi pertama pada suhu T = 2,7 K.

11. Kapankah suhu jagad raya berada di bawah suhu ambang bagi (a) Penciptaan nukleon (b) Penciptaan meson π (c) Terbentuknya atom hidrogen

12. Saat jagad raya memungkinkan foton menghasilkan meson K ( E 0 = 500 MeV)

(a) Pada suhu berapakah peristiwa itu dapat terjadi? (b) Pada usia berapakah jagad raya saat memiliki suhu tersebut?

13. Andaikata rapat jumlah neutrino saat terjadi Big Bang sama dengan rapat jumlah foton sekarang, hitunglah energi diam seluruh neutrino yang dapat memberikan kerapatan kritis yang diperlukan untuk menghasilkan jagad raya tertutup.

14. Karena kita belum memiliki teori kuantum gravitasi, kita tidak dapat menganalisis jagad raya sebelum waktu Planck, sekitar 43 10 −

detik. Jika kita menganggap bahwa sifat jagad raya selama masa iu ditentukan oleh teori kuantum, relativitas dan grvitasi, waktu Planck haruslah ditentukan oleh

tetapan dasar dari ketiga teori ini : h , c dan G . Jadi kita dapat menuliskan t

P = h c G . (a) Lakukan analisis dimensi untuk menentukan α , β dan γ .

(b) Hitunglah waktu Planck tersebut. __________________________________________________________________

(c) Kita dapat pula melakukan hal yang sama untuk menentukan panjang Planck l dan massa Planck P m . Tentukan pula panjang Planck dan P massa Planck.

15. Mengapa suhu neutrino lebih rendah daripada suhu radiasi latarbelakang gelombang mikro?