Pilar Batas RI­PNG di Sota

Gambar 1. Pilar Batas RI­PNG di Sota

Tugu/pilar batas (meridien monumen 13. 1) Sota/Botar 80 25’ 45’’, sebagai hasil penetapan Pemerintah RI dan PNG terhadap lokasi pilar batas antara kedua negara. Tugu ini, menjadi bagian tanggung jawab RI karena, baik pemerintah RI

maupun PNG memiliki kewajiban dan kebijakan dalam memelihara kestabilan kawasan serta menjaga lokasi pilar batas. Berdasarkan kesepakatan kedua negara terdapat tugu sejumbah 52. Pemerintah RI bertanggung jawab memelihara 24 tugu dan pemerintah PNG sebanyak 28. Tugu itu dibangun sebanyak 14 pilar batas utama pada tahun 1966­1967 dan 38 batas sekunder dibangun tahun 1982­1990. Selain memiliki fungsi sebagai pembagi batas wilayah kedua negara. Tugu tersebut juga sebagai tempat parawisata yang berupa taman megah yakni Taman Sota. Taman itu seluas tiga hektar memiliki makna dan fungsi yang penting bagi bangsa Indonesia.

Tugu ini sebagai tanda batas negara (pilar batas) RI­PNG yang membagi wilayah RI dan PNG dengan memiliki istilah masing­masing. Daerah perbatasan Indonesia disebut desa­desa perbatasan Indonesia dan PNG merupakan bagian dari batas negara. Daerah perbatasan PNG disebut wilayah sensus (census divisions) di mana perbatasan PNG dan Indonesia merupakan bagian dari batas

kedua negara. 69 Sebagaimana daerah lainnya di Indonesia, kondisi masyarakat di sepanjang kawasan perbatasan sebagian besar masih tertinggal dengan tingkat kesejahteraan yang rendah. Masyarakat lokal di wilayah perbatasan Distrik Sota secara umum mata pencaharian penduduk adalah berladang seperti kumbili, pisang, ubi kayu, talas. Selain itu, menanam pohon sagu dan pinang. Sumber lain dengan melakukan aktivitas berburu seperti rusa, kangguru, babi hutan dan kasuwari.

69 Badan Pengelolaa Perbatasan dan Kerjasama Luar Negeri Provinsi Papua. op.cit. hlm. 14.

Sebagian masyarakat berasal daerah dari transmigrasi Jawa, Kalimantan, NTT, Maluku, Sulawesi serta daerah Papua lainnya yang kehidupan ekonomi lebih baik.

Kawasan wilayah perbatasan Sota memiliki sumber daya alam dan lahan yang sangat besar berupa hutan lindung yang disebut Taman Nasional Wasur. Kawasan hutan yang terbentang di sepanjang kawasan perbatasan tersebut hampir seluruhnya sebagai hutan lindung yang memiliki beberapa jenis flora dan fauna yang berbeda dari wilayah lain di Indonesia seperti rusa, kangguru, anggrek dan rumah semut. Potensi hutan ini, memiliki nilai ekonomis tinggi masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat lokal.

Terdapat dua suku bangsa yakni Kanume dan Yeinan yang merupakan bagian dari suku Marind yang masuk dalam rumpun besar Melanesia. Kedua suku tersebut memiliki hubungan sosial­budaya yang spesifik terkait kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku) dengan masyarakat di PNG. Hal ini, menyebabkan adanya aktivitas pelintas batas negara dari Weam dan Mohed ke Sota ataupun sebaliknya, memiliki pengaturan melintas yang berbeda dari perbatasan Indonesia yang lain seperti Kalimantan­Malaysia. Masyarakat yang melintas antara kedua negara memiliki hak tradisional dan kebiasaan yang diatur dalam pengaturan khusus (special arrangements) bagi kegiatan lintas batas orang, barang dan jasa. Persetujuan khusus yang dimaksud kegiatan lintas orang yang memiliki hak tradisional dan kebiasaan adalah warga negara dari masing­masing negara karena kelahiran atau perkawinan tinggal di kawasan perbatasan untuk melintasi perbatasan yang terkait dengan kegiatan­kegiatan tradisonal di dalam kawasan perbatasan seperti hubungan sosial dan upacara­upacara termasuk perkawinan, Terdapat dua suku bangsa yakni Kanume dan Yeinan yang merupakan bagian dari suku Marind yang masuk dalam rumpun besar Melanesia. Kedua suku tersebut memiliki hubungan sosial­budaya yang spesifik terkait kesamaan budaya, adat dan keturunan (suku) dengan masyarakat di PNG. Hal ini, menyebabkan adanya aktivitas pelintas batas negara dari Weam dan Mohed ke Sota ataupun sebaliknya, memiliki pengaturan melintas yang berbeda dari perbatasan Indonesia yang lain seperti Kalimantan­Malaysia. Masyarakat yang melintas antara kedua negara memiliki hak tradisional dan kebiasaan yang diatur dalam pengaturan khusus (special arrangements) bagi kegiatan lintas batas orang, barang dan jasa. Persetujuan khusus yang dimaksud kegiatan lintas orang yang memiliki hak tradisional dan kebiasaan adalah warga negara dari masing­masing negara karena kelahiran atau perkawinan tinggal di kawasan perbatasan untuk melintasi perbatasan yang terkait dengan kegiatan­kegiatan tradisonal di dalam kawasan perbatasan seperti hubungan sosial dan upacara­upacara termasuk perkawinan,

dan aktivitas­aktivitas kebudayaan. 70 Aktivitas pelintas batas menggunakan kartu lintas batas sebagai pengganti paspor, visa, dan kartu vaksinasi dengan tujuan untuk memenuhi kepentingan mereka masing­masing.

Adanya hak kegiatan pelintas batas tradisional ini merupakan isu sekaligus masalah perbatasan antarnegara yang telah ada sejak lama dan kini muncul kembali seiring dengan penanganan kawasan perbatasan darat di beberapa daerah perbatasan RI­PNG, terutama bagi pelintas batas tradisional yang ilegal dan sulit dicegah di wilayah perbatasan Sota. Kegiatan lintas batas yang disebut imigran gelap telah berlangsung lama dan belum ada upaya penanganan secara serius oleh kedua pihak (negara).

Masyarakat di kawasan perbatasan Distrik Sota memiliki hak tanah adat/ulayat yang berada di wilayah sensus PNG. Tanah ulayat ini sebagian menjadi ladang penghidupan yang diolah sehari­hari oleh masyarakat perbatasan, sehingga pelintasan batas antarnegara menjadi hal yang biasa dilakukan setiap hari seperti beberapa keluarga Ndimar di Sota mempunyai tanah adat/ulayat di wilayah PNG. Berdasarkan garis­garis batas yang membagi wilayah kekuasaan RI dan PNG, tanah adat/ulayat tersebut masuk dalam wilayah kedaulatan PNG yang masuk dalam wilayah sensus Weam. Keberadaan tanah ulayat yang terbagi dua oleh garis perbatasan itu adalah karena memiliki hubungan sosial budaya antara masyarakat Distrik Sota dan Weam.

70 Badan Pengelolaa dan Kerjasama Luar Negeri Provinsi Papua, loc.cit, hlm. 2.

Hubungan sosial budaya masyarakat tersebut sudah ada pada nenek moyang mereka sejak dahulu. Selain itu, juga karena pengungsian masyarakat ke PNG pada tahun 1962. Peristiwa itu terjadi sejak perebutan Papua yang dulunya Irian Barat oleh Indonesia dari kolonial Hindia Belanda yang berhasil di bawah pimpinan Presiden Sukarno. Pada tahun 1990­an, Sukarno menginstruksikan seluruh pengungsian dari PNG untuk kembali ke Indonesia. Perlu diketahui bahwa keluarga penulis juga sebagai pengungsi dari Merauke sejak itu. Namun, tidak semua pengungsian itu kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akibat perkawinan campur. Peristiwa ini mempengaruhi citra Indonesia bagi masyarakat PNG dan negara lain di kawasan Pasifik.

Berdasarkan realita yang terjadi di lapangan masyarakat dari wilayah Mohet PNG mengalami beberapa kendala terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi karena akses sarana dan prasarana sangat minim dan jauh dengan kota­ kota besar. Masyarakat belum memperoleh pelayanan pendidikan dan kesehatan sebagaimana mestinya akibat jauhnya jarak dari permukiman dengan fasilitas yang kurang memadai. Selain itu, optimalisasi potensi sumber daya alam dan pengembangan ekonomi di kawasan perbatasan masih sangat tradisional karena rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan, dan kesehatan masyarakat di perbatasan. Hal­hal tersebut merupakan faktor utama yang menghambat pengembangan ekonomi kawasan perbatasan untuk dapat bersaing dengan wilayah perbatasan Distrik Sota.

Walaupun demikian, kondisi hubungan pelintas batas di perbatasan RI­PNG mengalami perkembangan. Hal ini, dipengaruhi oleh adanya saling Walaupun demikian, kondisi hubungan pelintas batas di perbatasan RI­PNG mengalami perkembangan. Hal ini, dipengaruhi oleh adanya saling

pendidikan sangat terbatas hanya pada kepentingan tradisional dan kebiasaan di kawasan perbatasan. Secara substansi dalam Persetujuan Khusus mengenai kepentingan itu dapat diperluas sampai batas­batas tertentu di mana meliputi kegiatan sekolah, pertukaran olahraga dan kunjungan kebudayaan. Dalam perkembangannya, pendidikan mengalami kemajuan ditandai upaya kedua belah pihak mendorong kerja sama pendidikan di perbatasan tersebut. Upaya tersebut dalam mendorong pendidikan sebagai kerja sama bilateral oleh kedua pejabat perbatasan. Dalam hal ini, di bawah koordinasi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Kabupaten Merauke dan Dinas Pendidikan dan kebudayaan Western Province.

Salah satu sekolah yang diupayakan dalam program kerja sama pendidikan kedua belah pihak yakni SMK N 1 Sota.