Syarat Sah Perjanjian PERJANJIAN MENURUT KUH PERDATA

B. Syarat Sah Perjanjian

Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku III KUH Perdata, tetapi kebebasan berkontrak tersebut bukan berarti boleh membuat perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhui syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu perjanjian. Maksud kebebasan berkontrak adalah bebas untuk menentukan atau menetapkan isi dan macam perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum Pasal 1337 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dengan kata lain, para pihak pembuat perjanjian tersebut dalam keadaan bebas, tetapi bebas dalam arti tetap selalu berada dalam ruang gerak yang dibenarkan atau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Di dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah diatur syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang berbunyi: “untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan 4 empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya; 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal;” Universitas Sumatera Utara Kedua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif, karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian. Sedangkan kedua syarat terakhir disebut sebagai syarat objektif, karena mengenai objek yang diperjanjikan. 11 Kesepakatan yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah persesuaian kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan penerimaan. Kesepakatan ini dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan cara tertulis maupun dengan cara tidak tertulis. Dikatakan tidak tertulis, bukan lisan karena perjanjian dapat saja terjadi dengan cara tidak tertulis dan juga tidak lisan, tetapi bahkan hanya dengan menggunakan simbol-simbol atau dengan cara lainnya yang tidak secara lisan. 12 Dengan diperlukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunya kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacat” bagi perwujudan kehendak tersebut. 13 Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui overeenstemende wilsverklaring antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran offerte. Pernyataan pihak yang menerima tawaran dinamakan akseptasi acceptatie. 14 Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim yang dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan 11 Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.73 12 Ahmadi Miru, dkk, Hukum perikatan:Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal.68 13 Op.Cit, hal.73 14 Op.Cit, hal. 74 Universitas Sumatera Utara pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran offerte menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasannya mungkin ia tidak membaca surat itu, hal itu menjadi tanggung jawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat- surat yang diterimanya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. 15 Dilihat dari syarat-syarat sahnya perjanjian ini, maka Asser membedakan bagian perjanjian ini, yaitu bagian inti wezenlijk oordeel dan bagian yang bukan inti non wezenlijk oordeel. Bagian inti disebut esensialia, bagian non-inti terdiri dari naturalia dan aksidentialia. 16 Sementara itu, mengenai cakap bekwaam yang dimaksud dalam pasal ini adalah kemampuan menurut hukum untuk melakukan perbuatan hukum perjanjian. Kecakapan ini ditandai dengan dicapainya umur 21 tahun atau telah menikah, walaupun usianya belum mencapai 21 tahun. Khusus untuk orang yang Esensialia: bagian ini merupakan sifat yang harus ada di dalam perjanjian. Sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta constructieve oordeel. Seperti, persetujuan antara para pihak dan objek perjanjian. Naturalia: bagian ini merupakan sifat bawaan natuur perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dalam benda yang dijual vrijwarning. Aksidentialia: bagian ini merupakan sifat yang melekat dalam perjanjian dalam hal secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuan-ketentuan mengenai domisili para pihak. 15 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermassa, Jakarta, 1979, hal 13 16 Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 74 Universitas Sumatera Utara menikah sebelum usia 21 tahun tersebut, tetap dianggap cakap walaupun dia bercerai sebelum mencapai usia 21 tahun. Jadi, janda atau duda tetap dianggap cakap walaupun usianya belum mencapai 21 tahun. 17 Walaupun ukuran kecaakapan didasarkan pada usia 21 tahun atau sudah menikah, tidak semua orang yang mencapai usia 21 tahun dan telah menikah secara otomatis dapat dikatakan cakap menurut hukum karena berada dibawah pengampunan, misalnya karena gila, atau bahkan karena boros. 18 Menurut Pasal 433 KUH Perdata, orang-orang yang diletakkan di bawah pengampunan adalah setiap orang dewasa yang selalu berada di dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap dan boros. Dalam hal ini pembentuk undang- undang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya dan karena itu tidak cakap bertindak untuk mengadakan perjanjian. Apabila seorang yang belum dewasa dan mereka yang diletakan di bawah pengampunan itu mengadakan perjanjian, maka yang mewakilinya masing- masing adalah orang tua dan pengampunnya. 19 Mengenai hal tertentu, sebagai syarat ketiga untuk sahnya perjanjian ini menerangkan tentang harus adanya objek perjanjian yang jelas. Jadi suatu perjanjian tidak bisa dilakukan tanpa objek tertentu. Jadi tidak bisa seseorang menjual “sesuatu” tidak tertentu dengan harga seribu rupiah misalnya karena kata sesuatu itu tidak menunjukan hal tertentu, tetapi hal yang tidak tertentu. 20 17 Ahmadi Miru, dkk, Hukum perikatan:Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 68 18 Ibid, hal. 68 19 Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.78 20 Op.Cit, hal. 68 Universitas Sumatera Utara Pada Pasal 1333 KUH Perdata mempertegas tentang apa yang dimaksud dengan “hal tertentu” sebagai syarat objektif dari syarat sahnya perjanjian yakni barang yang sudah ditentukan minimal sudah ditentukan jenisnya, termasuk juga barang yang baru dapat ditentukan atau dihitung kemudian, walaupun pada saat perjanjian dibuat belum ditentukan. Syarat keempat mengenai suatu sebab yang halal, ini juga merupakan syarat tentang isi perjanjian. Kata halal di sini bukan dengan maksud untuk memperlawankan dengan kata haram dalam hukum Islam, tetapi yang dimaksudkan di sini adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak dapat bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. 21

C. Asas-asas Hukum Dalam Suatu Perjanjian