BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit tuberkulosis menjadi salah satu perhatian global karena kasus tuberkulosis yang tinggi dapat berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi
bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. Tuberkulosis TB merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan penting bagi
masyarakat di dunia hingga saat ini. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan biasa terdapat pada paru-paru tetapi
dapat mengenai organ tubuh lainnya. Sekitar 75 penderita TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis Depkes RI, 2008.
Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis paru bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi.
Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan yang
berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30 yang pada akhirnya akan berdampak terhadap ekonomi secara nasional. Jika ia
meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 Tahun.
Dengan demikian tuberkulosis paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya perang
terhadap penyakit tuberkulosis paru berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan dan kelemahan akibat tuberkulosis.
Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat Depkes RI, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2010, World Health Organization WHO memerkirakan Prevalensi TB paru di dunia sekitar 14 juta
kasus, kemudian 9,4 juta kasus baru TB paru pada Tahun 2009 dan terdapat 1,7 juta orang meninggal akibat TB paru pada tahun yang sama, dengan 4.700 kematian per
hari. Kejadian tingkat global diperkirakan turun menjadi 137 kasus per 100.000 penduduk pada Tahun 2009, setelah memuncak pada Tahun 2004 yaitu 142 kasus per
100.000 penduduk. Akan tetapi menurunnya angka ini dinilai masih terlalu lambat. Secara global, persentase penduduk yang berhasil diobati mencapai level tertinggi
86 pada Tahun 2008. Sebagian besar kasus ditemukan di Asia tenggara, Afrika dan wilayah pasifik barat.
Berdasarkan Global Tuberculosis Control Global Report TB, 2010, situasi epidemiologi TB Indonesia pada Tahun 2009, menunjukkan bahwa Insidensi kasus
baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru TB Paru BTA Positif sedangkan kematian TB paru 39 per 100.000 penduduk
atau 250 orang per hari. Tingginya angka kematian dari penyakit tuberkulosis paru ini menunjukkan rendahnya IPM Indeks Pembangunan Manusia dari sisi kesehatan dan
adanya penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut Kurniasih, 2009.
Dengan munculnya pandemi HIVAIDS di dunia menambah permasalahan TB Paru. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB Paru secara
signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB Paru terhadap obat anti TB multidrug resistance = MDR membuat masalah menjadi lebih besar akibat
Universitas Sumatera Utara
kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB Paru yang sulit ditangani Depkes RI, 2008.
Menurut IDI 2008, Indonesia sebagai negara dengan urutan ke-3 terbanyak setelah India dan Cina dalam jumlah penderita tuberkulosis dengan angka prevalensi
225100.000 penduduk, seyogianya harus berupaya semaksimal mungkin untuk menurunkan angka tersebut menjadi 50 nya pada Tahun 2015. WHO
mencanangkan tahun kedaruratan global penyakit tuberkulosis paru TB pada Tahun 1993 karena penyakit TB tidak terkendali pada sebagian besar negara di dunia akibat
banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular BTA Bakteri Tahan Asam positif Depkes RI, 2002.
Sejak Tahun 1995, program Pemberantasan Tuberculosis Paru, telah dilaksanakan dengan strategi DOTS Directly Observed Treatment, Shortcourse
Chemotherapy yang direkomendasikan oleh WHO. Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan
Gerakan Terpadu Nasional
GERDUNAS TB, maka pemberantasan penyakit tuberkulosis Paru berubah menjadi program penanggulangan
tuberkulosis. Strategi DOTS mengandung lima komponen, yaitu : 1 komitmen politis para pengambil keputusan untuk menjalankan program TB nasional, 2
diagnosis TB
dengan pemeriksaan BTA mikroskopik, 3
pengobatan dengan obat anti TB yang diawasi langsung oleh pengawas menelan obat PMO
, 4
ketersediaan obat,
5 pencatatan dan pelaporan
hasil kinerja program TB
Depkes RI, 2002.
Kunci sukses penanggulangan TB adalah menemukan penderita dan mengobati penderita sampai sembuh. WHO menetapkan target global Case Detection
Rate CDR atau penemuan kasus TB sebesar 70, dan Cure Rate CR atau angka
Universitas Sumatera Utara
kesembuhankeberhasilan pengobatan sebesar 85. Hasil yang dicapai Indonesia dalam menanggulangi TB hingga saat ini telah meningkat. Angka penemuan kasus
TB Paru yang ditemukan pada Tahun 2007 sebesar 160.617 orang 69,12 meningkat menjadi 161.115 orang 69,82 pada Tahun 2008. Keberhasilan
pengobatan TB dari 81,5 pada kelompok penderita yang ditemukan pada tahun 2007 meningkat menjadi 82,8 pada Tahun 2008. Akan tetapi angka tersebut masih
di bawah target yang ditetapkan oleh WHO Depkes RI, 2009. Dalam lima tahun terakhir jumlah kasus TB paru BTA positif di Sumatera
Utara menunjukkan angka yang tidak stabil. Selama Tahun 2005-2006 kasus TB paru mengalami peningkatan dari 13.401 kasus menjadi 16.678 kasus, namun Tahun 2007
mengalami penurunan dengan jumlah 13.369 kasus. Jumlah kasus TB paru naik menjadi 14.158 kasus pada Tahun 2008 dan mengalami peningkatan lagi menjadi
17.026 kasus pada Tahun 2009 Dinkes Sumut, Bid. P2 PL 2010.
Penelitian Amiruddin 2006, menunjukkan bahwa terdapat 3 variabel yang
memengaruhi terjadinya kesembuhan dalam pengobatan penderita TB paru di Kota Ambon yakni Pengawas Menelan Obat PMO, kepatuhan berobat penderita TB paru
dan efek samping obat. Penelitian Pratiwi 2004, di Kabupaten Kudus menunjukkan adanya hubungan bermakna antara perilaku dan lingkungan sosial ekonomi dengan
kesembuhan pengobatan TB Paru. Hasil penelitian lainnya,
Rizkiyani 2008, menunjukkan bahwa faktor keteraturan berobat memiliki pengaruh yang kuat dalam
menentukan kesembuhan penderita TB paru di Jakarta Barat. Menurut Smeltzer dan Bare dalam Sujana 2010, yang menjadi alasan
utama gagalnya pengobatan adalah pasien tidak mau minum obatnya secara teratur
Universitas Sumatera Utara
dalam waktu yang diharuskan. Pasien biasanya bosan harus minum banyak obat setiap hari selama beberapa bulan, karena itu pada pasien cenderung menghentikan
pengobatan secara sepihak. Perilaku penderita untuk menjalani pengobatan secara teratur dipengaruhi
beberapa faktor. Menurut Mantra dalam Sujana 2010, perilaku dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, motivasi, kepercayaan dan sikap positif, tersedianya sarana dan
prasarana yang diperlukan dan terdapat dorongan yang dilandasi kebutuhan yang dirasakan.
Menurut Stoner dan Freedman dalam Sujana 2010, untuk terwujudnya sebuah perilaku menjadi suatu tindakan maka diperlukan sebuah motivasi. Motivasi
adalah karakteristik psikologi manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang, hal ini termasuk faktor yang menyebabkan, menyalurkan, dan
mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu. Menurut Harita dalam Nasution 2003, untuk mencapai keberhasilan
pengobatan dibutuhkan motivasi kesembuhan dari penderita yang menjadi daya penggerak dalam diri individu sebagai upaya untuk mencari jalan keluar. Orang
dengan motivasi tinggi akan cepat pulih dari penyakitnya. Banyak yang memengaruhi motivasi seseorang untuk sembuh dari
penyakitnya. Secara umum dapat dibagi menjadi tiga faktor yaitu : 1 Faktor dari dalam individu, 2 Faktor dari luar individu, dan 3 Faktor religiusitas. Faktor dari
dalam individu dapat berasal dari keinginan seseorang untuk sembuh karena adanya dorongan untuk melepaskan diri dari rasa sakit yang dideritanya Siswanto, 1999.
Universitas Sumatera Utara
Kota Padangsidimpuan terdiri dari 6 kecamatan dengan 9 Puskesmas. Berdasarkan Profil Dinas kesehatan Kota Padangsidimpuan Tahun 2007, diketahui
bahwa dari 870 penderita TB paru klinis dan 118 penderita TB Paru BTA positif yang ada di Puskesmas Sadabuan, sebanyak 112 orang dinyatakan sembuh 94,91. Pada
Tahun 2008, terdapat 927 penderita TB paru klinis dan 103 BTA + dengan angka kesembuhan sebesar 85,44. Meskipun angka kesembuhan tersebut sudah melebihi
target nasional, akan tetapi angka kesembuhan di Puskesmas Sadabuan terus mengalami penurunan hingga pada Tahun 2009, Puskesmas Sadabuan merupakan
puskesmas dengan angka kesembuhan paling rendah dari 9 puskesmas yang ada di Kota Padangsidimpuan yaitu sebesar 63,93. Kemudian pada Tahun 2010 terdapat
peningkatan jumlah penderita TB Paru BTA + yaitu sebanyak 83 orang. Data dari Dinas Kesehatan Kota Padangsidimpuan mengenai jumlah
kesakitan dan kesembuhan TB Paru di Kota Padangsidimpuan dari Tahun 2008 hingga 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.1. berikut :
Tabel 1.1. Jumlah Kesakitan dan Kesembuhan TB Paru Menurut Puskesmas di Kota Padangsidimpuan Tahun 2008 - 2009
No Puskesmas 2008
2009 Klinis
BTA + Sembuh Klinis BTA+ Sembuh
1 Sadabuan
927 103
85,44 610
61 63,93
2 Padangmatinggi
1.157 160
76,88 717
61 75,41
3 Sidangkal
135 12
50,00 107
10 70,00
4 Batunadua
204 19
78,95 177
14 85,71
5 Hutaimbaru
113 19
89,47 193
18 100,00
6 Pijorkoling
197 13
92,31 250
26 76,92
7 Labuhan Rasoki
138 16
62,50 138
28 75,00
8 Pokenjior
89 12
91,67 52
10 90,00
9 Pintu Langit
- -
-
Jumlah 2.960
354 79,66
2.244 228
75,44
Sumber : Profil Dinkes Kota Padangsidimpuan Tahun 2008-2009
Universitas Sumatera Utara
Data di atas menunjukkan bahwa angka kesembuhan penderita TB paru terendah terdapat di Puskesmas Sadabuan sebesar 63,93 dan jika dibandingkan
dengan angka kesembuhan nasional 85, maka persentase angka kesembuhan ini belum mencapai target minimal yang telah ditetapkan WHO tersebut.
Berdasarkan survei pendahuluan peneliti, dari pernyataan beberapa penderita TB paru di Puskesmas Sadabuan dapat diketahui bahwa kurangnya motivasi berobat
penderita TB Paru baik motivasi yang berasal dari individu itu sendiri maupun dari luar dirinya. Salah satu penyebabnya adalah karena penderita merasa bosan dan lelah
dalam menjalani pengobatan. Masih rendahnya cakupan angka kesembuhan berdampak negatif pada
kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program, karena masih memberi peluang terjadinya penularan penyakit TB Paru kepada anggota keluarga dan
masyarakat sekitarnya. Selain itu memungkinkan terjadinya resistensi kuman TB Paru terhadap Obat Anti Tuberkulosis OAT, sehingga menambah penyebarluasan
penyakit TB Paru, meningkatkan kesakitan dan kematian akibat TB Paru Amiruddin, 2006.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh kepatuhan dan motivasi penderita TB Paru terhadap
tingkat kesembuhan
dalam pengobatan di Puskesmas Sadabuan Kota Padangsidimpuan Tahun 2011.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan masalah