C. Implementasi  Instrumen  Civil  Forfeiture  Untuk  Merampas  Aset  Milik
Pelaku Tindak Pidana Korupsi
David Scott Romantz, mendefinisikan  civil forfeiture adalah suatu instrumen penyitaan  dan  pengambilalihan  suatu  aset  melalui  gugatan  in  rem  atau  gugatan
terhadap  aset.
156
Konsep  civil  forfeiture  didasarkan  pada  “doktrin  mencemari”  atau “taint  doctrine”  dimana  sebuah  tindak  pidana  dianggap  “taint”  menodai  atau
menodai  sebuah  aset  yang  dipakai  atau  merupakan  hasil  dari  tindak  pidana tersebut.
157
Criminal forfeiture dan civil forfeiture, walaupun mempunyai tujuan yang sama  yaitu  untuk  menyita  dan  mengambilalih  aset  hasil  kejahatan,  civil  forfeiture
berbeda dengan criminal forfeiture yang menggunakan gugatan in personam gugatan terhadap orang untuk menyita dan mengambilalih suatu aset.
158
Penggunaan civil forfeiture sebagai instrumen untuk menyita dan mengambil aset  yang  berasal,  berkaitan,  atau  merupakan  hasil  dari  kejahatan  sudah  hal  yang
lazim  ditemui  di  negara-negara  common  law.  Akar  dari  prinsip  civil  forfeiture pertama  kali  ditemukan  pada  abad  pertengahan  di  Inggris  ketika  kerajaan  Inggris
menyita barang-barang yang dianggap sebagai “instrumen kematian” instrument of a death
atau yang sering disebut sebagai deodand.
159
156
David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, hal.
390.
157
Ibid.
158
Ibid., hal. 389.
159
Tood  Barnet,  “Legal  Fiction  and  Forfeiture:  A  Historical  Analysis  of  the  Civil  Asset Forfeiture Reform Act”, 40 Duquesne Law Review Fall 2001, hal. 89. Munculnya era industrialisasi di
Inggris kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatnya kecelakaan yang terjadi sehingga menyebabkan banyaknya aset yang disita. Namun demikian, walaupun deodand
telah dihapuskan di Inggris, prinsip dari civil forfeiture ini kemudian berkembang di Amerika Serikat
Universitas Sumatera Utara
Diambil  contoh  kasus  dalam  praktik  yang  mirip  dengan  civil  forfeiture  di Indonesia  yakni  Gugatan  perdata  mantan  Presiden  RI  H.M  Soeharto  dan  Yayasan
Supersemar  melalui  gugatan  perdata  biasa.  Karena  jalur  keperdataan  dalam pengembalian  aset  negara,  dibandingkan  jalur  pidana  relatif  lebih  mudah  karena
dalam hal pembuktian korupsi. Jaksa Pengacara Negara cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil, atau berhubungan dengan tindak pidana.
Selama pemerintahan H.M. Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan yaitu melakukan tindak korupsi di Yayasan Supersemar.
Majelis  Hakim  Pengadilan  Negeri  Jakarta  Selatan  yang  memeriksa  dan mengadili  perkara  Nomor  904Pdt.G2007PN.Jak.Sel  memutuskan  terhadap  para
tergugat  untuk  membayar  ganti  kerugian  materiil  kepada  penggugat  sejumlah  US 105.000.727,66 seratus lima juta tujuh ratus dua puluh tujuh dolar Amerika Serikat
koma enam puluh enam sen dan Rp.46.479.512.226,187 empat puluh enam milyar empat ratus tujuh puluh sembilan juta lima ratus dua belas ribu dua ratus dua puluh
enam rupiah koma seratus delapan puluh tujuh sen. Putusan tersebut tidak berimbang dengan jumlah kerugian keuangan negara yang telah dihitung menurut penghitungan
oleh  Tim  BPKP  Kejaksaan  Agung  Republik  Indonesia.  Jumlah  uang  materil  yang diputuskan  sangat  jauh  dari  jumlah  nominal  yang  digugat  terhadap  kerugian
keuangan negara yang jelas-jelas dan nyata-nyata telah menyimpang dari maksud dan tujuan Anggaran Dasar, sedangkan gugatan dalam bentuk immateril sama sekali tidak
terutama  dalam  bidang  hukum  perkapalan  admiralty  law.  Colonial  Admiralty  Courts  sering  sekali mengadili persidangan terhadap sebuah kapal daripada pemilik kapalnya.
Universitas Sumatera Utara
dikabulkan  majelis  hakim.
160
Putusan  ini  dalam  upaya  hukum  banding  tanggal  2 April 2008 dikuatkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Berdasarkan contoh kasus di atas, implementasi perampasan aset di Indonesia masih  menunjukkan  model  perampasan  aset  berdasarkan  criminal  forfeiture  sebab
perampasan  aset  tersebut  dilakukan  berdasarkan  Pasal  33  UU  No.31  Tahun  1999 yang  menegaskan:  ”Dalam  hak  tersangka  meninggal  dunia  pada  saat  dilakukan
penyidikan,  sedangkan  secara  nyata  telah  ada  kerugian  keuangan  negara,  maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa
Pengacara  Negara  atau  diserahkan  kepada  instansi  yang  dirugikan  untuk  dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”. Ketentuan ini menegaskan perampasan aset
baru  dapat  dilakukan  apabila  tersangka  meninggal  dunia  atau  harus  menunggu putusan  pengadilan  yang  berkekuatan  hukum  tetap  sebagaimana  ditegaskan  dalam
Pasal 18 ayat 2 UU No.31 Tahun 1999 yaitu, ”Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling lama dalam waktu 1
satu  bulan  sesudah  putusan  pengadilan  yang  telah  memperoleh  kekuatan  hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut”. Dikatakan  bahwa  perampasan  aset  dalam  kasus  Yayasan  Supersemar  bukan
implementatif  dari  konsep  civil  forfeiture  tetapi  mirip  dengan  civil  forfeiture  karena sebagaimana  diketahui  bahwa  konsep  civil  forfeture  tidak  mesti  menunggu  putusan
hakim yang berkekuatan hukum tetap baru dilakukan perampasan aset. Pertimbangan
160
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 904Pdt.G2007PN Jakarta Selatan.
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya pada jumlah nominal dalam putusan yaitu US  105.000.727,66 seratus lima juta tujuh ratus dua puluh tujuh dolar Amerika Serikat koma enam puluh enam
sen dan Rp.46.479.512.226,187 empat puluh enam milyar empat ratus  tujuh puluh sembilan juta lima ratus dua belas ribu dua ratus dua puluh enam rupiah koma seratus
delapan  puluh  tujuh  sen,  bukanlah  jumlah  yang  besar  yang  dapat  memiskinkan pelaku atau ahli warisnya. Jumlah yang digugat jauh berbeda dengan putusan yakni:
kerugian Materil kepada Penggugat sejumlah US  420.002.910,64 Empat ratus dua puluh juta dua ribu sembilan ratus sepuluh dollar Amerika Serikat enam puluh empat
sen dan Rp. 185.918.048.904,75 Seratus delapan puluh lima milyar sembilan rutus delapan belas juta empat puluh delapan ribu sembilan ratus empat rupiah tjuh puluh
lima  sen;  dan  kerugian  Immateril  kepada  Penggugat  seejumlah  Rp. 10.000.000.000.000,00 Sepuluh triliun rupiah.
161
Sebenarnya  praktik  civil  forfeiture  ini  dianggap  bersifat  tidak  adil,  namun Amerika  Serikat  tetap  mempertahankan  penggunaan  civil  forfeiture  untuk  hukum
perkapalan  dengan  mengeluarkan  peraturan  yang  memberi  kewenangan  kepada pemerintah  federal  dalam  hal  menyita  kapal.
162
Supreme  Court  kemudian  juga mendukung  penggunaan  civil  forfeiture  di  Amerika  Serikat  dalam  kasus  Palmyra
yang  terjadi  di  tahun  1827  dimana  pengadilan  menolak  argumen  pengacara  dari  si pemilik  kapal  yang  mengatakan  bahwa  penyitaan  dan  pengambilalihan  kapalnya
adalah  illegal  karena  tanpa  adanya  sebuah  putusan  yang  menyatakan  pemiliknya
161
Tambok Nainggolan, Op. cit., hal. 170.
162
Ibid., hal. 46.
Universitas Sumatera Utara
bersalah.  Kasus  inilah  yang  menjadi  dasar  dari  penggunaan  civil  forfeiture  di Amerika Serikat.
163
Sebagaimana  telah  dijelaskan  sebelumnya
164
,  salah  satu  dari  tujuan  hukum adalah  untuk  menciptakan  “ketertiban”  order  yang  dalam  hal  ini  adalah
“perdamaian  manusia  yang  dipertahankan  oleh  hukum”  dengan  “melindungi kepentingan-kepentingan  manusia”,  “kehormatan”,  “kemerdekaan”,  “jiwa”,  “harta
benda” dan sebagainya terhadap yang merugikannya.
165
Tujuan hukum modern yaitu sebagai  sarana  pembaharuan  masyarakat.
166
Hukum  nasional  dibuat  selain  untuk mencapai  keadilan  dan  ketertiban,  juga  sebagai  sarana  pembaharuan  kehidupan
masyarakat,  agar  perubahan  pembangunan  itu  dilakukan  dengan  teratur  dan tertib.
167
Roscoe  Pound,  merumuskan  tujuan  hukum  adalah  untuk  ketertiban,  guna mencapai keadilan, dan hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat law as a tool
of social engineering .
168
Berdasarkan  hal  tersebut,  maka  tujuan  penggunaan  instrumen  civil  forfeiture dalam  perampasan  aset  atau  harta  pelaku  tindak  pidana  korupsi  adalah  untuk
mencapai keadilan yang dimaksud. Dimana yang dicari adalah aset atau harta bukan pelaku.  Karena  adakalanya  perbuatan  melawan  hukum  tidak  terbukti,  namun  ada
163
Ibid., hal. 91-92.
164
Lihat: Kerangka Teori dalam Penelitian ini.
165
Oetarid Sadino, Loc. cit.
166
Lili  Rasjidi,  “Peranan  Hukum  Dalam  Pembangunan  Nasional  Indonesia”,  dalam:  Jurnal Hukum Padjdjaran Review, Hukum Responsif
, Lo. cit.
167
Mochtar  Kusumaatmadja,  Hukum,  Masyarakat  dan  Pembinaan  Hukum  Nasional:  Suatu Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia
, Loc. cit.
168
R. Otje Salman S dan Anthion F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan Dan Membuka Kembali
, Cetakan Kedua., Loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
ditemukan kerugian keuangan negara. Untuk menghindari hal demikian, maka dalam kasus  tertentu  khususnya  perkara  korupsi  perlu  digunakan  asas  civil  forfeiture  yang
diadopsi  dari  KAK  2003  atau  UNCAC  2003.  Civil  forfeiture  sangat  tepat  dianut dalam  UU  No.31  Tahun  1999  jo  UU  No.20  Tahun  2001  tentang  Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi UUPTPK untuk dapat merampas aset koruptor tersebut.
169
Direktorat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, menekankan agar  berhati-hati  dan  tetap  memperhatikan  “rule  of  law”  dan  “due  process  of  law”
dalam  merumuskan  upaya  paksa  baru  perampasan  aset  melalui  civil  forfeiture  yang
169
Direktorat  Jenderal  Peraturan  Perundang-Undangan  Kementerian  Hukum  dan  Hak  Asasi Manusia  Republik  Indonesia,  Disampaikan  sebagai  Narasumber  dalam  Sosialisasi  RUU  Perampasan
Aset  Tindak  Pidana ,  Oleh  Ditjen  PP,  Dep  Huk  Ham,  di  Hotel  Maharani,  Jakarta,  tanggal  3  Agustus
2009, hal. 2. Rejim civil forfeiture  merupakan salah satu cara yang dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia  dalam  menangani  mencegah  dan  memberantas  pelaku  tindak  pidana  korupsi  khususnya
mengenai  aset  negara  yang  dirugikan  pelaku  adalah  dengan  menyita  dan  mengambil  alih  aset  para koruptor  melalui  jalur  perdata  atau  di  negara  common  law    dikenal  dengan  istilah  civil  forfeiture.
Perampasan  aset  tindak  pidana  memang  sudah  dikenal  dalam  hukum  pidana  Indonesia  melalui  Pasal 10 b pidana tambahan KUH Pidana dan selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 ad Pasal 42
KUH Pidana. Konsep hukum legal concept perampasan aset menurut hukum pidana Indonesia adalah suatu  pidana  tambahan  yang  dapat  dijatuhkan  oleh  hakim,  bersama-sama  dengan  pidana  pokok  di
Belanda  dapat  juga  dijatuhkan  secara  tersendiri  oleh  hakim.  Pasal  39  KUH  Pidana  selanjutnya mengatur barang aset apa  saja yang dapat dirampas.  RUU tentang Perampasan  Aset  Tindak Pidana
akan diajukan konsep hukum baru memperluas konsep hukum lama, dengan menjadikan perampasan barang  aset  dapat  juga  “bukan  pidana”.  Perluasan  konsep  ini  perlu  dicantumkan  pada  awal  RUU
tidak  cukup  hanya  dalam  penjelasan.  Konsep  “penyitaan”  menurut  hukum  pidana  Indonesia  dan dijelaskan  dalam  KUHAP  hukum  acara  Indonesia,  antara  lain  dalam  Pasal  1,  butir  16  KUHAP.
Berbeda  dengan  “perampasan”  di  mana  hak  milik  aset  berpindah  permanen  ke  negara,  tanpa kompensasi, maka “penyitaan” sifatnya sementara juga dipakai dalam RUU tentang Perampasan Aset
Tindak  Pidana  dalam  arti  “pemblokiran”  Pasal  8  RUU,  maka  diperlukan  pula  penjelasan,  apakah “penyitaanpemblokiran”  ini  dalam  arti  KUHAP  dapat  menjadi  perampasan  aset  yang  permanen
menurut  RUU.  RUU  tentang  Perampasan  Aset  Tindak  Pidana  harus  jelas  apakah  bermaksud  untuk memperluas konsep KUHAP tentang “penyitaan” menjadi “pemblokiran” menurut RUU. Pengertian
“pemblokiran” persamaan dan atau perbedaan dengan “penyitaan” KUHAP harus ada pula pada awal RUU tidak cukup hanya dalam penjelasan. Perampasan aset yang sudah dikenal dalam sistim hukum
Indonesia berbeda dengan model civil forfeiture dimana bahwa model ini bisa memiskinkan koruptor karena  perampasan  aset  pelaku  tidak  saja  dilakukan  kepada  aset  pelaku  melainkan  juga  perampasan
kepada  aset-aset  yang  dimiliki  keluarga  pelaku,  hingga  pelaku  tersebut  tidak  memiliki  harta  lagi sedangkan  model  perampasan  aset  yang  dilakukan  Indonesia  selama  ini  tidak  sampai  seperti  itu,
melainkan hanya  merampas aset  hasil  korupsi  sesuai dengan berapa banyak jumlah aset  negara  yang dirugikan.
Universitas Sumatera Utara
mencerminkan  semangat  penguatan  terhadap  pemberantasan  korupsi  dan  tidak menghilangkan  sifat  korupsi  sebagai  kejahatan  luar  biasa  extraordinary  crime.
170
Lembaga  hukum  “Non  Conviction  Based  Forfeiture”  NCBF  dikenal  dalam  sistem hukum  Anglo-American  common  law  system,  tetapi  tidak  atau  kurang  dikenal
dalam  sistem  hukum  Eropa  Kontinental  civil  law  system.  Civil  forfeiture  masih dipersoalkan  di  negara-negara  yang  mengenalnya,  antara  lain  mencegah  adanya
penyalahgunaan  kewenangan  polisi  abuse  of  police  powers  dalam  pelaksanaan upaya hukum “perampasan aset” yang diduga terkait tindak pidana korupsi.
171
Perampasan  aset  tindak  pidana  yang  direncanakan  dalam  RUU  tentang Perampasan Aset Tindak Pidana adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kampanye
dunia  melawan  korupsi.  Melalui  UNCAC  2003  telah  diusahakan  adanya  kerja  sama antar negara melawan korupsi, antara lain dengan meningkatkan kemampuan negara-
negara  berkembang  “merampas  kembali”  aset  yang  telah  dicuri  oleh  para  koruptor dan disembunyikan di luar negeri.
Civil  forfeiture ditegaskan  dalam  UNCAC  2003  sebagai  salah  satu  prinsip
dasar  penanganan  korupsi,  ditentukan  bahwa:  “Acknowledging  the  fundamental principles of due process of law in criminal proceedings and in civil or administrative
proceedings  to  adjudicate  property  rights ”.  Berarti  negara-negara  peserta  konvensi
170
http:www.antikorupsi.organtikorupsi?q=content19517rombak-total-draf-ruu-tipikor, diakses tanggal 18 Mei 2011.
171
Direktorat  Jenderal  Peraturan  Perundang-Undangan  Kementerian  Hukum  dan  Hak  Asasi Manusia  Republik  Indonesia,  Loc.  cit.,  Terutama  dalam  suasana  akhir-akhir  ini,  dimana  kegiatan
pemberantasan  korupsi  di  Indonesia  sedang  “dihambat”  dan  Pengadilan  Tipikor  serta  KPK  ingin “diperlemah”,  maka  agar  RUU  Anti  Korupsi  mendapat  dukungan  penuh  di  DPR  baru,  disarankan
agar  perumusan  konsep-konsep  itu  benar-benar  sejalan  dengan  perlindungan  hukum  yang  diberikan oleh konstitusi NKRI.
Universitas Sumatera Utara
dan negara-negara yang meratifikasi UNCAC 2003 harus tunduk pada prinsip-prinsip ini  yaitu  prinsip  mengakui  proses  hukum  pidana,  proses  hukum  perdata,  dan  proses
hukum administratif untuk mengadili perkara korpusi.
172
Konsep  baru  yang  diajukan  dalam  RUU  tentang  Perampasan  Aset  Tindak Pidana  sebagaimana  kesepakatan  PBB  dan  Bank  Dunia  dikenal  sebagai  “Non
Conviction  Based  Forfeiture ”  NCBF,  yang  dalam  Pasal  1  butir  1  RUU  tentang
Perampasan  Aset  Tindak  Pidana  didefinisikan  sebagai:  “.....upaya  paksa dwangmiddel  yang  dilakukan  oleh  negara  untuk  merampas  aset  tindak  pidana
berdasarkan  penetapan  pengadilan,  tanpa  dikaitkan  dengan  penghukuman  terhadap pelakunya  non  conviction”.  Konsep  perampasan  NCBF  ini  di  negara  Amerika
Serikat  di  namakan  juga  “civil  forfeiture”,  yang  dapat  diterjemahkan  bebas  artinya “perampasan perdata” menurut hukum perdata.
173
Perampasan  aset  menurut  Theodore  S.  Greenberg,  adalah  alat  yang  tangguh untuk  merampas  kembali  hasil  tindak  pidana  korupsi,  terutama  dalam  kasus-kasus
dimana hasilnya telah ditranfer ke luar negeri. Perampasan NCBF ini didesain khusus untuk  perampasan  aset  tindak  pidana  yang  disembunyikan  di  luar  negeri  dan  hanya
akan  efektif  bilamana  undang-undang  perampasan  NCBF  Indonesia  diakui  di  luar negeri  sebagai  berdasarkan  “rule  of  law”  dan  mengakui  “due  process  of  law”.
174
Theodore S. Greenberg, mengatakan, paling tidak diperlukan dua syarat utama, untuk
172
Paragraf 9 pada bagian Pembukaan Preamble UNCAC 2003 KAK 2003.
173
Direktorat  Jenderal  Peraturan  Perundang-Undangan  Kementerian  Hukum  dan  Hak  Asasi Manusia Republik Indonesia, Op. cit., hal. 2-3.
174
Theodore  S.  Greenberg,  dkk,  Stolen  Asset  Recovery:  A  Good  Practice  Guide  for  Non- Conviction Based Asset Forfeiture
, Jakarta: Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, 2009, hal. 167.
Universitas Sumatera Utara
dapat  merampas  kembali  recovery  aset  yang  disembunyikan  para  koruptor Indonesia di luar negeri, yaitu:
175
1. Indonesia  juga  harus  mempunyai  sistem  peradilan  yang  jelas  dan  tegas
melawan korupsi dalam hal ini UUPTPK, KPK dan Pengadilan Tipikor. 2.
Indonesia  harus  juga  mempunyai  undang-undang  yang  jelas  dalam “merampas  kembali”  aset  yang  dicuri  oleh  para  koruptor  baik  aset  yang
disembunyikan di dalam negeri, maupun di luar negeri.
Kedua syarat di atas akan sangat menentukan, terutama kalau Indonesia ingin merampas  recover  aset  koruptor  Indonesia  yang  berada  di  luar  negeri.  Sebab,
Indonesia tidak akan dapat begitu saja memintamerampas aset koruptor Indonesia di luar  negeri,  tetapi  harus  melalui  jalur  hukum  negara  di  mana  aset  tersebut
ditempatkan.  Indonesia  adalah  yang  meminta  requesting  state  sebagai  “negara korban”  sedangkan  negara  lain  tersebut  adalah  yang  dimintakan  bantuannya
requested state sebagai “negara tempat aset”. Direktorat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, menekankan
bahwa tidak banyak manfaatnya merumuskan perampasan aset tindak pidana korupsi yang  “sederhana  dan  mudah”  di  Indonesia,  tetapi  tidak  diakui  sebagai  “cukup
melindungi” jaminan hukum konstitusi constitutional legal guarantees yang diakui negara  tempat  aset  bersangkutan.  Membuat  tata  cara  perampasan  yang  mudah  dan
sederhana dan hanya berlaku di Indonesia, tidak akan berarti apa-apa, sebab sebagian besar aset korupsi yang akan dirampas itu, berada di luar negeri.
176
175
Ibid., hal. 198.
176
Direktorat  Jenderal  Peraturan  Perundang-Undangan  Kementerian  Hukum  dan  Hak  Asasi Manusia  Republik  Indonesia,  Artikel  dalam  Media  Informasi  Hukum  dan  Peraturan  Perundang-
Undangan , Jakarta, tanggal 28 Desember 2009, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
Terdapat dua jenis perampasan yang dipergunakan secara internasional untuk memperoleh  kembali  hasil  tindak  pidana  korupsi,  yaitu  menurut  hukum  pidana  dan
menurut hukum perdata. Perampasan menurut hukum perdata civil forfeiture sering dinamakan  “in  rem  forfeiture”,  sedangkan  perampasan  menurut  hukum  pidana  yang
dikenal dalam KUH Pidana adalah  criminal forfeiture disebut sebagai “in personam forfeiture
”. Perampasan  menurut  hukum  pidana  atau  criminal  forfeiture  disebut  sebagai
“in  personam  forfeiture”  tidak  panjang  lebar  dibahas  di  sini,  cukup  mengingatkan bahwa  perampasan  menurut  KUH  Pidana  adalah  pidana  tambahan  terhadap  harta
kekayaan  vermogensstraf  yang  bermaksud  untuk  “merugikan”  terpidana  dengan mengurangi  kekayaannya.  Civil  forfeitures  perampasan  NCBF  dianggap  “in  rem
actions ”,  didasarkan  pada  penggunaan  tidak  sah  terlepas  dari  kesalahannya  the
unlawful  use  of  the  res,  irrespective  of  its  owner’s  culpability .  Perampasan  aset
model  civil  forfeiture  di  Amerika  Serikat  dipergunakan  karena  didorong  untuk memerangi  tindak  pidana  narkoba  dan  saat  ini  tindak  pidana  terorisme  yang  pada
dasarnya dipergunakan hukum acara perdata rules of civil procedure. Karena itulah di  Amerika  Serikat,  civil  forfeiture  atau  NCBF  tetap  mendapat  jaminan  konstitusi.
Jaminan  konstitusi  itu  di  Indonesia  terdapat  dalam  Pasal  28G  UUD  1945  sebagai berikut:
1. Setiap  orang  berhak  atas  perlindungan  diri  pribadi,  keluarga,  kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman  dan  perlindungan  dari  ancaman  ketakutan  untuk  berbuat  atau  tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Universitas Sumatera Utara
2. Setiap  orang  berhak  untuk  bebas  dari  penyiksaan  atau  perlakuan  yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Berdasarkan  ketentuan  Pasal  28G  UUD  1945  di  atas,  berarti  harta  benda kekayaan seseorang tidak boleh secara sewenang-wenang digeledah atau dirampas,
karena harta benda kekayaan termasuk dalam perlindungan hukum acara pidana dan hukum  pidana.  Jaminan  konstitusi  ini  bukan  untuk  meniadakan  pembentukan  RUU
tentang  Perampasan  Aset  Tindak  Pidana.  Sebagaimana  Basel  Institute  on Governance,  International  Centre  for  Asset  Recovery
177
,  menyebutkan  bahwa keuntungan  prosedur  perampasan  aset  tindak  pidana  melalui  prosedur  khusus
perundang-undangan adalah sebagai berikut:
178
1. Terdakwa  telah  wafat.  Hukum  pidana  tradisional  yang  bertumpu  pada
pertanggungjawaban  pidana  seorang  pelaku  menyebabkan  aset  ilegal  pelaku tidak  dapat  dirampas  negara.  Melalui  civil  forfeiture  proses  in  rem  dapat
dilakukan terhadap aset atau harta ilegal tersebut dapat dirampas.
2. Terdakwa bebas dalam peradilan pidana dan karena itu perampasan menurut
hukum pidana tidaklah  mungkin. Maka  civil forfeiture memungkinkan untuk merampas  hasil  kejahatan  dengan  cara  bukan  membuka  kembali  kasus
tersebut, karena
civil forfeiture
tidaklah bertujuan
meminta pertanggungjawaban  terdakwa,  melainkan  bermaksud  untuk  membuktikan
asal-usul aset yang bersangkutan. 3.
Terdakwa  tidak  dapat  ditemukan  pada  “negara  korban”,  karena  sudah melarikan diri keluar negeri.
177
http:www.baselgovernance.orgicar,  diakses  tanggal  18  Mei  2011.  Basel  Institute  on Governance, International Centre for Asset Recovery
adalah pusat Internasional untuk Asset Recovery ICAR yang menyediakan pengembangan kapasitas dan metodologi pelatihan onsite, di negara-negara
Selatan  dan  Timur,  di  bidang  investigasi  keuangan,  penelusuran  aset  dan  pemulihan  serta  bantuan hukum timbal balik. ICAR ini menyediakan nasihat hukum dan bantuan kepada pihak penegak hukum
dan  lembaga  anti  korupsi  dalam  menangani  kasus-kasus  pemulihan  aset  yang  spesifik.  ICAR  ini menawarkan  layanan  Teknologi  Informasi  TI  termasuk  pusat  online  pengetahuan  dengan  informasi
yang  komprehensif  tentang  berbagai  yurisdiksi,  perundang-undangan  dan  lembaga  penegak  hukum yang berhubungan dengan proses pemulihan aset dan anti pencucian uang. Memberikan bantuan dalam
pelaksanaan danatau meninjau sistem hukum dan institusi untuk anti pencucian uang dan Pencegahan pendanaan terorisme.
178
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
4. Pemilik  aset  bersangkutan  tidak  pasti.  Kejahatan  ekonomi  biasanya  diikuti
dengan  usaha  “pencucian  uang”  money  laundering,  kalau  hal  ini  berhasil, maka  kepemilikan  tersangka  sulit  dibuktikan.  Perampasan  NCBF  atau  civil
forfeiture diharapkan sangat bermanfaat.
5. Ketentuan  daluarsa  menuntut  tindak  pidana  korupsi,  tidak  memungkinkan
penyidikan  perbuatan  ini.  Civil  forfeiture  sangat  memungkinkan  perampasan hasil kejahatan karena tidak ada masa daluarsa.
Perampasan  aset  dapat  dilakukan  dengan  menggunakan  civil  forfeiture menurut versi lembaga Non Conviction Based Forfeiture NCBF apabila kasus-kasus
tersebut berkaitan dengan berikut ini:
179
1. Tersangka  atau  Terdakwa  telah  meninggal  dunia.  Karena  hukum  pidana
tradisional  berfokus  pada  tanggung  jawab  seseorang  dengan  cara  yang  biasa untuk  mengambil  hasil  tindak  pidana  telah  tindakan  di  persona.  Ketika
seseorang meninggal dunia dan oleh karena itu kemungkinan untuk mengadili telah  tidak  memingkinkan,  aset  ilegal  yang  diperoleh  mungkin  tidak  dapat
dipulihkan.
2. Tersangka atau erdakwa telah dibebaskan dalam proses peradilan pidana, dan
penyitaan  tidak  memungkin.  Sebuah  keyakinan  non-proses  perampasan berdasarkan kemungkinan pemulihan hasil tindak pidana.
3. Ada juga kasus di mana terdakwa tidak dapat ditemukan di dalam yurisdiksi
karena telah melarikan diri, karena sudah dipenjara di luar negeri atau untuk alasan lain.
4. Pemilik aktiva tersebut tidak pasti. Pencucian uang biasanya mengikuti komisi
dari  kejahatan  ekonomi  untuk  menyembunyikan  asal  usul  aset.  Jika  proses pencucian  uang  yang  efektif  bahkan  kepemilikan  bisa  sulit  untuk
membuktikan.
5. Pembatasan  undang-undang  untuk  mencegah  bentuk  pelanggaran  sedang
diselidiki khususnya di negara-negara yang dilanda korupsi. Instrumen  Civil  forfeiture  menggunakan  gugatan  terhadap  aset  in  rem
sedangkan  criminal  forfeiture  adalah  gugatan  terhadap  orang  in  personam.
180
179
http:www.assetrecovery.orgkcnode3518064a-a345-11dc-bf1b-335d0754ba85.12, diakses  tanggal  21  Mei  2011.  NCBF  adalah  suatu  lembaga  sebagai  Pusat  Internasional  untuk  Asset
Recovery The International Centre for Asset Recovery disingkat ICAR berkedudukan di Basel-Swiss telah  mengambil  langkah-langkah  untuk  mengatasi  masalah  aset  yang  duciri.  Lembaga  ini  mudah
diakses,  informasi  yang  komprehensif  dan  praktis  dalam  Asset  Recovery.  Hal  ini  telah diidentifikasikan  sebagai  salah  satu  masalah  utama  dengan  sejumlah  negara  pada  pertemuan  pertama
UNCAC terbuka Kelompok Kerja Pemulihan Aset yang diadakan di Wina pada bulan Agustus 2007.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan  kedua  ini  menimbulkan  perbedaan  dalam  hal  pembuktian  di  pengadilan. Criminal  forfeiture,
penuntut  umum  harus  membuktikan  terpenuhinya  unsur-unsur dalam  sebuah  tindak  pidana  seperti  kesalahan  personal  culpability  dan  mens  rea
dari  seorang  terdakwa  sebelum  dapat  menyita  aset  dari  terdakwa  tersebut.  Karena sifatnya  yang  pidana,  criminal  forfeiture  juga  mengharuskan  penuntut  umum  untuk
membuktikan hal tersebut dengan standar beyond reasonable doubt.
181
Civil forfeiture sifatnya perdata, maka tidak diharuskan penuntut umum untuk
membuktikan  unsur-unsur  kesalahan  dari  orang  yang  melakukan  tindak  pidana tersebut personal culpability, cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang
digugat  mempunyai  hubungan  dengan  sebuah  tindak  pidana.  Penuntut  cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence pembuktian formil bahwa
sebuah  tindak  pidana  telah  terjadi  dan  suatu  aset  telah  dihasilkan,  digunakan  atau terlibat  dengan  tindak  pidana.
182
Pemilik  dari  aset  tersebut  kemudian  harus membuktikan  dengan  standar  yang  sama  bahwa  aset  yang  digugat  tidak  merupakan
hasil,  digunakan  atau  berkaitan  dengan  tindak  pidana  yang  dituntut  pembuktian terbalik.
183
Prosedur  yang  digunakan  adalah  perdata,  namun  walaupun  demikian,  civil forfeiture
menggunakan prosedur  yang sedikit berbeda dengan perdata biasa dimana pemilik  dari  aset  yang  dituntut  bukan  harta  pihak  yang  berpekara  melainkan  juga
180
Ario Wandatama dan Detania Sukarja, Op. cit., hal. 4.
181
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi., Op. cit., hal. 192.
182
Stefan  D.  Cassella,  “Provision  of  the  USA  Patriot  Act  relating  to  Asset  Forfeiture  in Transnasional Cases”, Journal of Financial Crime, Vol. 10, No.4, Tahun 2003, hal. 303.
183
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pihak  ketiga  dari  proses  persidanganya  misalnya  orang  lain  danatau  keluarganya. Selain itu, civil forfeiture menggunakan sistem pembuktian terbalik dimana si pemilik
dari  aset  yang  dirampas  harus  membuktikan  bahwa  si  pemilik  tidak  bersalah  atau tidak  tahu  kalau  aset  itu  adalah  hasil  yang  digunakan  atau  berkaitan  dengan  sebuah
tindak  pidana.  Hal  ini  tentunya  sedikit  berbeda  dengan  gugatan  perdata  umumnya yang  mengharuskan  si  penuntut  untuk  membuktikan  adanya  sebuah  perbuatan
melawan hukum dan kerugian yang dialaminya.
184
Pembuktian  si  pemilik  aset  dalam  civil  forfeiture  hanya  berkaitan  dengan hubungan  antara  sebuah  tindak  pidana  dan  aset  yang  dituntut  atau  dengan  kata  lain
pemilik  hanya  perlu  membuktikan  bahwa  “aset  tersebut  tidak  bersalah”.  Jika  si pemilik  tidak  dapat  membuktikan  bahwa  “aset  tersebut  tidak  bersalah”  maka  aset
tersebut  dirampas  untuk  negara.  Sehingga  si  pemilik  aset  tidak  harus  membuktikan dirinya  tidak  bersalah  atau  tidak  terlibat  dalam  sebuah  tindak  pidana.  Hubungan
antara  tindak  pidana  yang  diduga  dan  keterlibatan  si  pemilik  dengan  tindak  pidana tersebut tidak relevan dalam persidangan dan hanya hubungan  antara si pemilik dan
aset yang dituntutlah yang menjadi fokus dari persidangan.
185
184
Kuntoro Basuki, “Pengembalian Aset Korupsi dalam Persfektif Hukum Perdata”, Makalah Disampaikan  pada  Seminar  Pengkajian  Hukum  Nasioal  SPHN  2007,  Hotel  Millenium,  Jakarta,
Tanggal 28 sd 29 Nopember 2007, hal. 14.
185
Ario Wandatama dan Detania Sukarja, Op. cit., hal. 6-7.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PENGGUNAAN INSTRUMEN