Implementasi Instrumen Civil Forfeiture Untuk Merampas Aset Milik

C. Implementasi Instrumen Civil Forfeiture Untuk Merampas Aset Milik

Pelaku Tindak Pidana Korupsi David Scott Romantz, mendefinisikan civil forfeiture adalah suatu instrumen penyitaan dan pengambilalihan suatu aset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap aset. 156 Konsep civil forfeiture didasarkan pada “doktrin mencemari” atau “taint doctrine” dimana sebuah tindak pidana dianggap “taint” menodai atau menodai sebuah aset yang dipakai atau merupakan hasil dari tindak pidana tersebut. 157 Criminal forfeiture dan civil forfeiture, walaupun mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk menyita dan mengambilalih aset hasil kejahatan, civil forfeiture berbeda dengan criminal forfeiture yang menggunakan gugatan in personam gugatan terhadap orang untuk menyita dan mengambilalih suatu aset. 158 Penggunaan civil forfeiture sebagai instrumen untuk menyita dan mengambil aset yang berasal, berkaitan, atau merupakan hasil dari kejahatan sudah hal yang lazim ditemui di negara-negara common law. Akar dari prinsip civil forfeiture pertama kali ditemukan pada abad pertengahan di Inggris ketika kerajaan Inggris menyita barang-barang yang dianggap sebagai “instrumen kematian” instrument of a death atau yang sering disebut sebagai deodand. 159 156 David Scott Romantz, “Civil Forfeiture and The Constitution: A Legislative Abrogation of right and The Judicial Response: The Guilt of the Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, hal. 390. 157 Ibid. 158 Ibid., hal. 389. 159 Tood Barnet, “Legal Fiction and Forfeiture: A Historical Analysis of the Civil Asset Forfeiture Reform Act”, 40 Duquesne Law Review Fall 2001, hal. 89. Munculnya era industrialisasi di Inggris kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatnya kecelakaan yang terjadi sehingga menyebabkan banyaknya aset yang disita. Namun demikian, walaupun deodand telah dihapuskan di Inggris, prinsip dari civil forfeiture ini kemudian berkembang di Amerika Serikat Universitas Sumatera Utara Diambil contoh kasus dalam praktik yang mirip dengan civil forfeiture di Indonesia yakni Gugatan perdata mantan Presiden RI H.M Soeharto dan Yayasan Supersemar melalui gugatan perdata biasa. Karena jalur keperdataan dalam pengembalian aset negara, dibandingkan jalur pidana relatif lebih mudah karena dalam hal pembuktian korupsi. Jaksa Pengacara Negara cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil, atau berhubungan dengan tindak pidana. Selama pemerintahan H.M. Soeharto yang berlangsung selama 32 tahun telah terjadi penyalahgunaan kekuasaan yaitu melakukan tindak korupsi di Yayasan Supersemar. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor 904Pdt.G2007PN.Jak.Sel memutuskan terhadap para tergugat untuk membayar ganti kerugian materiil kepada penggugat sejumlah US 105.000.727,66 seratus lima juta tujuh ratus dua puluh tujuh dolar Amerika Serikat koma enam puluh enam sen dan Rp.46.479.512.226,187 empat puluh enam milyar empat ratus tujuh puluh sembilan juta lima ratus dua belas ribu dua ratus dua puluh enam rupiah koma seratus delapan puluh tujuh sen. Putusan tersebut tidak berimbang dengan jumlah kerugian keuangan negara yang telah dihitung menurut penghitungan oleh Tim BPKP Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Jumlah uang materil yang diputuskan sangat jauh dari jumlah nominal yang digugat terhadap kerugian keuangan negara yang jelas-jelas dan nyata-nyata telah menyimpang dari maksud dan tujuan Anggaran Dasar, sedangkan gugatan dalam bentuk immateril sama sekali tidak terutama dalam bidang hukum perkapalan admiralty law. Colonial Admiralty Courts sering sekali mengadili persidangan terhadap sebuah kapal daripada pemilik kapalnya. Universitas Sumatera Utara dikabulkan majelis hakim. 160 Putusan ini dalam upaya hukum banding tanggal 2 April 2008 dikuatkan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Berdasarkan contoh kasus di atas, implementasi perampasan aset di Indonesia masih menunjukkan model perampasan aset berdasarkan criminal forfeiture sebab perampasan aset tersebut dilakukan berdasarkan Pasal 33 UU No.31 Tahun 1999 yang menegaskan: ”Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya”. Ketentuan ini menegaskan perampasan aset baru dapat dilakukan apabila tersangka meninggal dunia atau harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18 ayat 2 UU No.31 Tahun 1999 yaitu, ”Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling lama dalam waktu 1 satu bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut”. Dikatakan bahwa perampasan aset dalam kasus Yayasan Supersemar bukan implementatif dari konsep civil forfeiture tetapi mirip dengan civil forfeiture karena sebagaimana diketahui bahwa konsep civil forfeture tidak mesti menunggu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap baru dilakukan perampasan aset. Pertimbangan 160 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 904Pdt.G2007PN Jakarta Selatan. Universitas Sumatera Utara selanjutnya pada jumlah nominal dalam putusan yaitu US 105.000.727,66 seratus lima juta tujuh ratus dua puluh tujuh dolar Amerika Serikat koma enam puluh enam sen dan Rp.46.479.512.226,187 empat puluh enam milyar empat ratus tujuh puluh sembilan juta lima ratus dua belas ribu dua ratus dua puluh enam rupiah koma seratus delapan puluh tujuh sen, bukanlah jumlah yang besar yang dapat memiskinkan pelaku atau ahli warisnya. Jumlah yang digugat jauh berbeda dengan putusan yakni: kerugian Materil kepada Penggugat sejumlah US 420.002.910,64 Empat ratus dua puluh juta dua ribu sembilan ratus sepuluh dollar Amerika Serikat enam puluh empat sen dan Rp. 185.918.048.904,75 Seratus delapan puluh lima milyar sembilan rutus delapan belas juta empat puluh delapan ribu sembilan ratus empat rupiah tjuh puluh lima sen; dan kerugian Immateril kepada Penggugat seejumlah Rp. 10.000.000.000.000,00 Sepuluh triliun rupiah. 161 Sebenarnya praktik civil forfeiture ini dianggap bersifat tidak adil, namun Amerika Serikat tetap mempertahankan penggunaan civil forfeiture untuk hukum perkapalan dengan mengeluarkan peraturan yang memberi kewenangan kepada pemerintah federal dalam hal menyita kapal. 162 Supreme Court kemudian juga mendukung penggunaan civil forfeiture di Amerika Serikat dalam kasus Palmyra yang terjadi di tahun 1827 dimana pengadilan menolak argumen pengacara dari si pemilik kapal yang mengatakan bahwa penyitaan dan pengambilalihan kapalnya adalah illegal karena tanpa adanya sebuah putusan yang menyatakan pemiliknya 161 Tambok Nainggolan, Op. cit., hal. 170. 162 Ibid., hal. 46. Universitas Sumatera Utara bersalah. Kasus inilah yang menjadi dasar dari penggunaan civil forfeiture di Amerika Serikat. 163 Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya 164 , salah satu dari tujuan hukum adalah untuk menciptakan “ketertiban” order yang dalam hal ini adalah “perdamaian manusia yang dipertahankan oleh hukum” dengan “melindungi kepentingan-kepentingan manusia”, “kehormatan”, “kemerdekaan”, “jiwa”, “harta benda” dan sebagainya terhadap yang merugikannya. 165 Tujuan hukum modern yaitu sebagai sarana pembaharuan masyarakat. 166 Hukum nasional dibuat selain untuk mencapai keadilan dan ketertiban, juga sebagai sarana pembaharuan kehidupan masyarakat, agar perubahan pembangunan itu dilakukan dengan teratur dan tertib. 167 Roscoe Pound, merumuskan tujuan hukum adalah untuk ketertiban, guna mencapai keadilan, dan hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat law as a tool of social engineering . 168 Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penggunaan instrumen civil forfeiture dalam perampasan aset atau harta pelaku tindak pidana korupsi adalah untuk mencapai keadilan yang dimaksud. Dimana yang dicari adalah aset atau harta bukan pelaku. Karena adakalanya perbuatan melawan hukum tidak terbukti, namun ada 163 Ibid., hal. 91-92. 164 Lihat: Kerangka Teori dalam Penelitian ini. 165 Oetarid Sadino, Loc. cit. 166 Lili Rasjidi, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Nasional Indonesia”, dalam: Jurnal Hukum Padjdjaran Review, Hukum Responsif , Lo. cit. 167 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional: Suatu Uraian Tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia , Loc. cit. 168 R. Otje Salman S dan Anthion F. Susanto, Teori Hukum: Mengingat, Mengumpulkan Dan Membuka Kembali , Cetakan Kedua., Loc. cit. Universitas Sumatera Utara ditemukan kerugian keuangan negara. Untuk menghindari hal demikian, maka dalam kasus tertentu khususnya perkara korupsi perlu digunakan asas civil forfeiture yang diadopsi dari KAK 2003 atau UNCAC 2003. Civil forfeiture sangat tepat dianut dalam UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UUPTPK untuk dapat merampas aset koruptor tersebut. 169 Direktorat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, menekankan agar berhati-hati dan tetap memperhatikan “rule of law” dan “due process of law” dalam merumuskan upaya paksa baru perampasan aset melalui civil forfeiture yang 169 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Disampaikan sebagai Narasumber dalam Sosialisasi RUU Perampasan Aset Tindak Pidana , Oleh Ditjen PP, Dep Huk Ham, di Hotel Maharani, Jakarta, tanggal 3 Agustus 2009, hal. 2. Rejim civil forfeiture merupakan salah satu cara yang dapat digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam menangani mencegah dan memberantas pelaku tindak pidana korupsi khususnya mengenai aset negara yang dirugikan pelaku adalah dengan menyita dan mengambil alih aset para koruptor melalui jalur perdata atau di negara common law dikenal dengan istilah civil forfeiture. Perampasan aset tindak pidana memang sudah dikenal dalam hukum pidana Indonesia melalui Pasal 10 b pidana tambahan KUH Pidana dan selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 ad Pasal 42 KUH Pidana. Konsep hukum legal concept perampasan aset menurut hukum pidana Indonesia adalah suatu pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, bersama-sama dengan pidana pokok di Belanda dapat juga dijatuhkan secara tersendiri oleh hakim. Pasal 39 KUH Pidana selanjutnya mengatur barang aset apa saja yang dapat dirampas. RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana akan diajukan konsep hukum baru memperluas konsep hukum lama, dengan menjadikan perampasan barang aset dapat juga “bukan pidana”. Perluasan konsep ini perlu dicantumkan pada awal RUU tidak cukup hanya dalam penjelasan. Konsep “penyitaan” menurut hukum pidana Indonesia dan dijelaskan dalam KUHAP hukum acara Indonesia, antara lain dalam Pasal 1, butir 16 KUHAP. Berbeda dengan “perampasan” di mana hak milik aset berpindah permanen ke negara, tanpa kompensasi, maka “penyitaan” sifatnya sementara juga dipakai dalam RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana dalam arti “pemblokiran” Pasal 8 RUU, maka diperlukan pula penjelasan, apakah “penyitaanpemblokiran” ini dalam arti KUHAP dapat menjadi perampasan aset yang permanen menurut RUU. RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana harus jelas apakah bermaksud untuk memperluas konsep KUHAP tentang “penyitaan” menjadi “pemblokiran” menurut RUU. Pengertian “pemblokiran” persamaan dan atau perbedaan dengan “penyitaan” KUHAP harus ada pula pada awal RUU tidak cukup hanya dalam penjelasan. Perampasan aset yang sudah dikenal dalam sistim hukum Indonesia berbeda dengan model civil forfeiture dimana bahwa model ini bisa memiskinkan koruptor karena perampasan aset pelaku tidak saja dilakukan kepada aset pelaku melainkan juga perampasan kepada aset-aset yang dimiliki keluarga pelaku, hingga pelaku tersebut tidak memiliki harta lagi sedangkan model perampasan aset yang dilakukan Indonesia selama ini tidak sampai seperti itu, melainkan hanya merampas aset hasil korupsi sesuai dengan berapa banyak jumlah aset negara yang dirugikan. Universitas Sumatera Utara mencerminkan semangat penguatan terhadap pemberantasan korupsi dan tidak menghilangkan sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa extraordinary crime. 170 Lembaga hukum “Non Conviction Based Forfeiture” NCBF dikenal dalam sistem hukum Anglo-American common law system, tetapi tidak atau kurang dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental civil law system. Civil forfeiture masih dipersoalkan di negara-negara yang mengenalnya, antara lain mencegah adanya penyalahgunaan kewenangan polisi abuse of police powers dalam pelaksanaan upaya hukum “perampasan aset” yang diduga terkait tindak pidana korupsi. 171 Perampasan aset tindak pidana yang direncanakan dalam RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kampanye dunia melawan korupsi. Melalui UNCAC 2003 telah diusahakan adanya kerja sama antar negara melawan korupsi, antara lain dengan meningkatkan kemampuan negara- negara berkembang “merampas kembali” aset yang telah dicuri oleh para koruptor dan disembunyikan di luar negeri. Civil forfeiture ditegaskan dalam UNCAC 2003 sebagai salah satu prinsip dasar penanganan korupsi, ditentukan bahwa: “Acknowledging the fundamental principles of due process of law in criminal proceedings and in civil or administrative proceedings to adjudicate property rights ”. Berarti negara-negara peserta konvensi 170 http:www.antikorupsi.organtikorupsi?q=content19517rombak-total-draf-ruu-tipikor, diakses tanggal 18 Mei 2011. 171 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Loc. cit., Terutama dalam suasana akhir-akhir ini, dimana kegiatan pemberantasan korupsi di Indonesia sedang “dihambat” dan Pengadilan Tipikor serta KPK ingin “diperlemah”, maka agar RUU Anti Korupsi mendapat dukungan penuh di DPR baru, disarankan agar perumusan konsep-konsep itu benar-benar sejalan dengan perlindungan hukum yang diberikan oleh konstitusi NKRI. Universitas Sumatera Utara dan negara-negara yang meratifikasi UNCAC 2003 harus tunduk pada prinsip-prinsip ini yaitu prinsip mengakui proses hukum pidana, proses hukum perdata, dan proses hukum administratif untuk mengadili perkara korpusi. 172 Konsep baru yang diajukan dalam RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana sebagaimana kesepakatan PBB dan Bank Dunia dikenal sebagai “Non Conviction Based Forfeiture ” NCBF, yang dalam Pasal 1 butir 1 RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana didefinisikan sebagai: “.....upaya paksa dwangmiddel yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan penetapan pengadilan, tanpa dikaitkan dengan penghukuman terhadap pelakunya non conviction”. Konsep perampasan NCBF ini di negara Amerika Serikat di namakan juga “civil forfeiture”, yang dapat diterjemahkan bebas artinya “perampasan perdata” menurut hukum perdata. 173 Perampasan aset menurut Theodore S. Greenberg, adalah alat yang tangguh untuk merampas kembali hasil tindak pidana korupsi, terutama dalam kasus-kasus dimana hasilnya telah ditranfer ke luar negeri. Perampasan NCBF ini didesain khusus untuk perampasan aset tindak pidana yang disembunyikan di luar negeri dan hanya akan efektif bilamana undang-undang perampasan NCBF Indonesia diakui di luar negeri sebagai berdasarkan “rule of law” dan mengakui “due process of law”. 174 Theodore S. Greenberg, mengatakan, paling tidak diperlukan dua syarat utama, untuk 172 Paragraf 9 pada bagian Pembukaan Preamble UNCAC 2003 KAK 2003. 173 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Op. cit., hal. 2-3. 174 Theodore S. Greenberg, dkk, Stolen Asset Recovery: A Good Practice Guide for Non- Conviction Based Asset Forfeiture , Jakarta: Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, 2009, hal. 167. Universitas Sumatera Utara dapat merampas kembali recovery aset yang disembunyikan para koruptor Indonesia di luar negeri, yaitu: 175 1. Indonesia juga harus mempunyai sistem peradilan yang jelas dan tegas melawan korupsi dalam hal ini UUPTPK, KPK dan Pengadilan Tipikor. 2. Indonesia harus juga mempunyai undang-undang yang jelas dalam “merampas kembali” aset yang dicuri oleh para koruptor baik aset yang disembunyikan di dalam negeri, maupun di luar negeri. Kedua syarat di atas akan sangat menentukan, terutama kalau Indonesia ingin merampas recover aset koruptor Indonesia yang berada di luar negeri. Sebab, Indonesia tidak akan dapat begitu saja memintamerampas aset koruptor Indonesia di luar negeri, tetapi harus melalui jalur hukum negara di mana aset tersebut ditempatkan. Indonesia adalah yang meminta requesting state sebagai “negara korban” sedangkan negara lain tersebut adalah yang dimintakan bantuannya requested state sebagai “negara tempat aset”. Direktorat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, menekankan bahwa tidak banyak manfaatnya merumuskan perampasan aset tindak pidana korupsi yang “sederhana dan mudah” di Indonesia, tetapi tidak diakui sebagai “cukup melindungi” jaminan hukum konstitusi constitutional legal guarantees yang diakui negara tempat aset bersangkutan. Membuat tata cara perampasan yang mudah dan sederhana dan hanya berlaku di Indonesia, tidak akan berarti apa-apa, sebab sebagian besar aset korupsi yang akan dirampas itu, berada di luar negeri. 176 175 Ibid., hal. 198. 176 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Artikel dalam Media Informasi Hukum dan Peraturan Perundang- Undangan , Jakarta, tanggal 28 Desember 2009, hal. 3. Universitas Sumatera Utara Terdapat dua jenis perampasan yang dipergunakan secara internasional untuk memperoleh kembali hasil tindak pidana korupsi, yaitu menurut hukum pidana dan menurut hukum perdata. Perampasan menurut hukum perdata civil forfeiture sering dinamakan “in rem forfeiture”, sedangkan perampasan menurut hukum pidana yang dikenal dalam KUH Pidana adalah criminal forfeiture disebut sebagai “in personam forfeiture ”. Perampasan menurut hukum pidana atau criminal forfeiture disebut sebagai “in personam forfeiture” tidak panjang lebar dibahas di sini, cukup mengingatkan bahwa perampasan menurut KUH Pidana adalah pidana tambahan terhadap harta kekayaan vermogensstraf yang bermaksud untuk “merugikan” terpidana dengan mengurangi kekayaannya. Civil forfeitures perampasan NCBF dianggap “in rem actions ”, didasarkan pada penggunaan tidak sah terlepas dari kesalahannya the unlawful use of the res, irrespective of its owner’s culpability . Perampasan aset model civil forfeiture di Amerika Serikat dipergunakan karena didorong untuk memerangi tindak pidana narkoba dan saat ini tindak pidana terorisme yang pada dasarnya dipergunakan hukum acara perdata rules of civil procedure. Karena itulah di Amerika Serikat, civil forfeiture atau NCBF tetap mendapat jaminan konstitusi. Jaminan konstitusi itu di Indonesia terdapat dalam Pasal 28G UUD 1945 sebagai berikut: 1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Universitas Sumatera Utara 2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 28G UUD 1945 di atas, berarti harta benda kekayaan seseorang tidak boleh secara sewenang-wenang digeledah atau dirampas, karena harta benda kekayaan termasuk dalam perlindungan hukum acara pidana dan hukum pidana. Jaminan konstitusi ini bukan untuk meniadakan pembentukan RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Sebagaimana Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery 177 , menyebutkan bahwa keuntungan prosedur perampasan aset tindak pidana melalui prosedur khusus perundang-undangan adalah sebagai berikut: 178 1. Terdakwa telah wafat. Hukum pidana tradisional yang bertumpu pada pertanggungjawaban pidana seorang pelaku menyebabkan aset ilegal pelaku tidak dapat dirampas negara. Melalui civil forfeiture proses in rem dapat dilakukan terhadap aset atau harta ilegal tersebut dapat dirampas. 2. Terdakwa bebas dalam peradilan pidana dan karena itu perampasan menurut hukum pidana tidaklah mungkin. Maka civil forfeiture memungkinkan untuk merampas hasil kejahatan dengan cara bukan membuka kembali kasus tersebut, karena civil forfeiture tidaklah bertujuan meminta pertanggungjawaban terdakwa, melainkan bermaksud untuk membuktikan asal-usul aset yang bersangkutan. 3. Terdakwa tidak dapat ditemukan pada “negara korban”, karena sudah melarikan diri keluar negeri. 177 http:www.baselgovernance.orgicar, diakses tanggal 18 Mei 2011. Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery adalah pusat Internasional untuk Asset Recovery ICAR yang menyediakan pengembangan kapasitas dan metodologi pelatihan onsite, di negara-negara Selatan dan Timur, di bidang investigasi keuangan, penelusuran aset dan pemulihan serta bantuan hukum timbal balik. ICAR ini menyediakan nasihat hukum dan bantuan kepada pihak penegak hukum dan lembaga anti korupsi dalam menangani kasus-kasus pemulihan aset yang spesifik. ICAR ini menawarkan layanan Teknologi Informasi TI termasuk pusat online pengetahuan dengan informasi yang komprehensif tentang berbagai yurisdiksi, perundang-undangan dan lembaga penegak hukum yang berhubungan dengan proses pemulihan aset dan anti pencucian uang. Memberikan bantuan dalam pelaksanaan danatau meninjau sistem hukum dan institusi untuk anti pencucian uang dan Pencegahan pendanaan terorisme. 178 Ibid. Universitas Sumatera Utara 4. Pemilik aset bersangkutan tidak pasti. Kejahatan ekonomi biasanya diikuti dengan usaha “pencucian uang” money laundering, kalau hal ini berhasil, maka kepemilikan tersangka sulit dibuktikan. Perampasan NCBF atau civil forfeiture diharapkan sangat bermanfaat. 5. Ketentuan daluarsa menuntut tindak pidana korupsi, tidak memungkinkan penyidikan perbuatan ini. Civil forfeiture sangat memungkinkan perampasan hasil kejahatan karena tidak ada masa daluarsa. Perampasan aset dapat dilakukan dengan menggunakan civil forfeiture menurut versi lembaga Non Conviction Based Forfeiture NCBF apabila kasus-kasus tersebut berkaitan dengan berikut ini: 179 1. Tersangka atau Terdakwa telah meninggal dunia. Karena hukum pidana tradisional berfokus pada tanggung jawab seseorang dengan cara yang biasa untuk mengambil hasil tindak pidana telah tindakan di persona. Ketika seseorang meninggal dunia dan oleh karena itu kemungkinan untuk mengadili telah tidak memingkinkan, aset ilegal yang diperoleh mungkin tidak dapat dipulihkan. 2. Tersangka atau erdakwa telah dibebaskan dalam proses peradilan pidana, dan penyitaan tidak memungkin. Sebuah keyakinan non-proses perampasan berdasarkan kemungkinan pemulihan hasil tindak pidana. 3. Ada juga kasus di mana terdakwa tidak dapat ditemukan di dalam yurisdiksi karena telah melarikan diri, karena sudah dipenjara di luar negeri atau untuk alasan lain. 4. Pemilik aktiva tersebut tidak pasti. Pencucian uang biasanya mengikuti komisi dari kejahatan ekonomi untuk menyembunyikan asal usul aset. Jika proses pencucian uang yang efektif bahkan kepemilikan bisa sulit untuk membuktikan. 5. Pembatasan undang-undang untuk mencegah bentuk pelanggaran sedang diselidiki khususnya di negara-negara yang dilanda korupsi. Instrumen Civil forfeiture menggunakan gugatan terhadap aset in rem sedangkan criminal forfeiture adalah gugatan terhadap orang in personam. 180 179 http:www.assetrecovery.orgkcnode3518064a-a345-11dc-bf1b-335d0754ba85.12, diakses tanggal 21 Mei 2011. NCBF adalah suatu lembaga sebagai Pusat Internasional untuk Asset Recovery The International Centre for Asset Recovery disingkat ICAR berkedudukan di Basel-Swiss telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah aset yang duciri. Lembaga ini mudah diakses, informasi yang komprehensif dan praktis dalam Asset Recovery. Hal ini telah diidentifikasikan sebagai salah satu masalah utama dengan sejumlah negara pada pertemuan pertama UNCAC terbuka Kelompok Kerja Pemulihan Aset yang diadakan di Wina pada bulan Agustus 2007. Universitas Sumatera Utara Perbedaan kedua ini menimbulkan perbedaan dalam hal pembuktian di pengadilan. Criminal forfeiture, penuntut umum harus membuktikan terpenuhinya unsur-unsur dalam sebuah tindak pidana seperti kesalahan personal culpability dan mens rea dari seorang terdakwa sebelum dapat menyita aset dari terdakwa tersebut. Karena sifatnya yang pidana, criminal forfeiture juga mengharuskan penuntut umum untuk membuktikan hal tersebut dengan standar beyond reasonable doubt. 181 Civil forfeiture sifatnya perdata, maka tidak diharuskan penuntut umum untuk membuktikan unsur-unsur kesalahan dari orang yang melakukan tindak pidana tersebut personal culpability, cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana. Penuntut cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence pembuktian formil bahwa sebuah tindak pidana telah terjadi dan suatu aset telah dihasilkan, digunakan atau terlibat dengan tindak pidana. 182 Pemilik dari aset tersebut kemudian harus membuktikan dengan standar yang sama bahwa aset yang digugat tidak merupakan hasil, digunakan atau berkaitan dengan tindak pidana yang dituntut pembuktian terbalik. 183 Prosedur yang digunakan adalah perdata, namun walaupun demikian, civil forfeiture menggunakan prosedur yang sedikit berbeda dengan perdata biasa dimana pemilik dari aset yang dituntut bukan harta pihak yang berpekara melainkan juga 180 Ario Wandatama dan Detania Sukarja, Op. cit., hal. 4. 181 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi., Op. cit., hal. 192. 182 Stefan D. Cassella, “Provision of the USA Patriot Act relating to Asset Forfeiture in Transnasional Cases”, Journal of Financial Crime, Vol. 10, No.4, Tahun 2003, hal. 303. 183 Ibid. Universitas Sumatera Utara pihak ketiga dari proses persidanganya misalnya orang lain danatau keluarganya. Selain itu, civil forfeiture menggunakan sistem pembuktian terbalik dimana si pemilik dari aset yang dirampas harus membuktikan bahwa si pemilik tidak bersalah atau tidak tahu kalau aset itu adalah hasil yang digunakan atau berkaitan dengan sebuah tindak pidana. Hal ini tentunya sedikit berbeda dengan gugatan perdata umumnya yang mengharuskan si penuntut untuk membuktikan adanya sebuah perbuatan melawan hukum dan kerugian yang dialaminya. 184 Pembuktian si pemilik aset dalam civil forfeiture hanya berkaitan dengan hubungan antara sebuah tindak pidana dan aset yang dituntut atau dengan kata lain pemilik hanya perlu membuktikan bahwa “aset tersebut tidak bersalah”. Jika si pemilik tidak dapat membuktikan bahwa “aset tersebut tidak bersalah” maka aset tersebut dirampas untuk negara. Sehingga si pemilik aset tidak harus membuktikan dirinya tidak bersalah atau tidak terlibat dalam sebuah tindak pidana. Hubungan antara tindak pidana yang diduga dan keterlibatan si pemilik dengan tindak pidana tersebut tidak relevan dalam persidangan dan hanya hubungan antara si pemilik dan aset yang dituntutlah yang menjadi fokus dari persidangan. 185 184 Kuntoro Basuki, “Pengembalian Aset Korupsi dalam Persfektif Hukum Perdata”, Makalah Disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasioal SPHN 2007, Hotel Millenium, Jakarta, Tanggal 28 sd 29 Nopember 2007, hal. 14. 185 Ario Wandatama dan Detania Sukarja, Op. cit., hal. 6-7. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN PENGGUNAAN INSTRUMEN