Perampasan Aset Milik Pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan

B. Perampasan Aset Milik Pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan

Mengupayakan Mutual Legal Assistance MLA Penanganan suatu tindak pidana tidak dengan serta merta dapat diatasi dengan sendirinya tanpa bantuan pihak lain. Polisi, Jaksa, dan KPK tidak akan mampu bekerja secara sendiri-sendiri dalam menegakkan hukum terkait dengan hal terjadinya suatu tindak pidana. Bahkan di dalam struktur hukum sendiri pun yang ada dalam suatu negara tertentu, penegakan hukum itu mustahil dapat dilakukan. Sebab, struktur hukum, budaya hukum, dan substansi hukum harus berada dalam satu sistim yang bekerja dengan baik. 140 Tindak pidana tidak saja dilakukan pelaku dalam suatu negara tertentu, melainkan telah melewati batas-batas negara. Hal ini disebabkan oleh era globalisasi berbagai aspek kehidupan, sehingga batas-batas lintas negara tersebut hampir tidak dapat diatasi walapun negara tertentu memiliki kedaulatan berdasarkan yurisdiksi yang diakui oleh PBB. Oleh sebab itu, penanganan suatu tindak pidana dalam konteks lintas negara atau lintas batas tersebut dapat dilakukan melalui kerja sama yang bersifat internasional misalnya bilateral, regional, dan multilateral. Kerja sama dilakukan dalam hal-hal tertentu misalnya dalam hal penanganan tindak pidana korupsi khususnya untuk merampas aset pelaku yang disimpan atau disembunyikan atau dititipkan di luar negeri. Wujud dari kerj sama ini baik secara bilateral, regional, dan multilateral dapat dilakukan berupa perjanjian dalam hal bantuan hukum timbal balik atau disebut dengan Mutual Legal Assistance MLA. 140 Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Edisi Kedua, Jakarta: Tatanusa, 2001, hal. 8-9. Universitas Sumatera Utara Menurut Romli Atmasasmita, munculnya MLA sebagai salah satu upaya dalam mengatasi dan memberantas berbagai kejahatan yang sifatnya lintas batas transnasional. 141 Pemakaian istilah bantuan timbal balik masih terdapat banyak perbedaan penulisan istilah 142 , namun walaupun demikian tetap digunakan Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance MLA. Sebab, persoalan yang perlu diperoleh bantuan itu menyangkut persoalan-persoalan hukum. Secara rinci definisi MLA dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik 141 Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia , Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 39. Kejahatan transnasional yaitu kejahatan yang memenuhi unsur-unsur a tindakan yang berdampak terhadap lebih dari satu negara; b tindakan yang melibatkan warga negara dari lebih satu negara; dan c menggunakan sarana dan metoda yang melampaui batas teritorial. 142 Dalam mempergunakan istilah bantuan timbal balik Mutual Legal AssistenceMLA banyak terdapat perbedaan dalam penulisan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, ditentukan dalam Pasal 89 ayat 2 yakni ”Bantuan Timbal Balik”, sebagaimana dalam Pasal 89 ayat 2 UU No.8 Tahun 2010 disebutkan, ”Kerja sama internasional yang dilakukan PPATK dapat dilaksanakan dalam bentuk kerja sama formal atau berdasarkan bantuan timbal balik atau prinsip resiprositas”. Demikian juga dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2006 memakai istilah Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Penggunaan istilah ”bantuan timbal balik” kurang tepat, sebab hal ini terlihat dasar pemakaian istilah bantuan timbal balik tersebut berasal dari istilah ”Mutual Legal Assistence” yang lebih tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah ”Bantuan Hukum Timbal Balik”. Pemakaian istilah Bantuan Hukum Timbal Balik Mutual Legal AssistenceMLA dapat dilihat referensi yang telah diuraikan di atas seperti misalnya Rekomendasi 40 dari the Financial action Task Force on Money Loundering FATF pada poin 36 dan 37 dalam terjemahannya ke Bahasa Indonesia terdapat istilah ”Bantuan Hukum Timbal Balik” demikian juga dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003 United Nation Convention Against Corruption 2003 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tertanggal 18 April 2006 pada Pasal 46 tertulis ”Bantuan Hukum Timbal Balik”. Mengingat bantuan timbal balik menyangkut kerja sama internasional di bidang hukum pidana dan pedoman dalam membuat perjanjian bantuan timbal balik masalah pidana dengan negara asing guna melakukan penyidikan, penuntutan dan proses peradilan berkaitan dengan kejahatan-kejahatan tindak pidana dengan kata lain ruang lingkup bantuan timbal balik itu menyangkut masalah ”hukum” maka sangat tepat istilah bantuan timbal balik tersebut dinyatakan sebagai ”Bantuan Hukum Timbal Balik”. Universitas Sumatera Utara Dalam Masalah Pidana, tidak disebutkan. 143 MLA dapat dirujuk kepada Penjelasan Umum UU No.1 Tahun 2006 dijelaskan ”Kerja sama antar negara diperlukan untuk mempermudah penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atas suatu masalah pidana yang timbul baik di Negara Peminta maupun Negara Diminta”. 144 MLA didefinisikan oleh Siswanto Sunarso, yakni ”suatu perjanjian yang bertumpu pada permintaan bantuan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan lain-lain, dari Negara Diminta dengan Negara Peminta”. 145 Istilah Bantuan Hukum Timbal Balik Muatual Legal AsistanceMLA mulai diperkanalkan dalam hukum pidana adalah berkenaan dengan kerja sama internasional untuk memberantas tindak pidana pencucian uang money loundering yang termuat dalam rekomodasi The Financial Action Task Force on Maney Loundering FATF, yang dibentuk oleh negara-negara yang tergabung dalam kelompok 7 atau negara G-7 pada waktu G-7 Summit di Perancis bulan Juli 1989. Rekomendasi yang di keluarkan oleh the Financial Action Task Force on Money Loundering FATF, paralel dengan UN Convention on Against Illicit Trafic in 143 Pelaksanaan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana atau Mutual Legal Assistance MLA di Indonesia diatur dalam UU No. 1 Tahun 2006. Tujuannya untuk memberikan dasar hukum bagi Pemerintah RI dalam meminta danatau memberikan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana dan pedoman dalam membuat perjanjian timbal balik dalam masalah pidana dengan negara asing. Sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut, maka MLA dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian namun dalam hal belum ada perjanjian maka bantuan hukum dapat saja dilakukan atas dasar hubungan baik berdasarkan prinsip resiprositas. 144 Paragraf 3 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. 145 Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional , Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hal. 133. Universitas Sumatera Utara Nacoti Drugs and Psychotropic substance atau yang dikenal dengan Vienna Convention 1988, yang lahir di Wina, Austria pada tanggal 19 Desember 1988, yang telah ditandatangani oleh 106 Negara, termasuk negara Indonesia yang kemudian diratifikasinya di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1997. 146 MLA menurut Bismar Nasution, adalah nafas dan suatu instrumen hukum yang sangat berguna dari upaya pengembalian aset-aset yang dicuri oleh para koruptor oleh karena MLA merupakan permintaan bantuan di masalah hukum pidana berkenan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan i sidang pengadilan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara diminta. 147 Berdasarkan hal tersebut, maka MLA sebenarnya merupakan suatu sistim kerja sama internasional dalam bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan 146 Bismar Nasution., Rejim Anti Money Loundering Di Indonesia, Bandung: Books Terrace Library, 2008, hal. 122. Selanjutnya dengan revisi tahun 1996, the Financial Action Task Force on Maney Loundering FATF telah mengeluarkan rekomendasi yang berkaitan dengan praktik pencucian uang dengan mempunyai tiga ruang lingkup yaitu: peningkatan sistim hukum nasional, peningkatan peranan sistem finansial, dan memperkuat kerja sama internasional. Rekomendasi the Financial Action Task on Maney Loundering FATF yang berkaitan dengan Bantuan Hukum Timbal Balik Mutual Legal Assistance MLA adalah dalam ruang lingkup memperkuat kerja sama internasional, hal ini dapat terlihat dari Rekomendasi 40 empat puluh yaitu pada angka 36 sampai dengan 39. Negara- negara harus menjamin bahwa kewenangan pihak yang diwajibkan menurut Rekomendasi 40 juga tersedia guna mengajukan permohonan bantuan timbal balik, dan jika konsisten dengan peraturan setempat, merespon permohonan-permohonan langsung dari pengadilan di lusr negeri atau penegak hukum berwenang untuk disampaikan kepada lembaga domestik. Guna menghindari konflik antar negara, perlu dibuat perencanaan dan menerapkan mekanisme penentuan nilai-nilai terbaik dalam proses penuntutan terhadap terdakwa demi kepentingan keadilan atas kasus-kasus yang tunduk pada penuntutan di lebih dari satu negara, sebagaimana dalam angka 37 menentukan bahwa ”sedapat mungkin, negara-negara harus menyediakan bantuan hukum timbal balik meskipun tidak terdapat kriminalitas ganda dual criminality. Jika kriminalitas ganda diwjibkan untuk bantuan hukum timbal balik atau ektradisi, persyaratan tersebut harus ipenuhi tanpa memperhatikan apakah kedua negara menetapkan tindak pidana ke dalam kategori tindak pidana yang sama atau menggabungkan tindak pidana melalui terminologi yang sama, mengingat bahwa kedua negara mengkriminalisasi tindakan sebagai tindak pidana”. 147 Bismar Nasution., Stolen Asset Recovery Initiative Dari Perspektif Hukum Ekonomi Di Indonesia, Op. cit., hal. 6-7. Universitas Sumatera Utara khususnya terhadap kejahatan lintas negara yang lahir dari kaidah-kaidah hubungan antar negara yang telah diterapkan oleh Indonesia baik dengan perjanjian maupun tidak. Secara internasional, dasar perampasan aset adalah UNCAC 2003 atau KAK 2003. Ditentukan dalam Pasal 46 ayat 3 UNCAC 2003 mengenai hal-hal yang perlu dilakukan bantuan timbal balik yaitu: 1. Mengambil bukti atau pernyataan dari orang; 2. Mempengaruhi pelayanan dokumen peradilan; 3. Pencarian pembekuan aset; 4. Meneliti benda dan situs; 5. Memberikan informasi, barang-barang pembuktian dan penilaian ahli; 6. Memberikan dokumen asli atau salinan resmi dari dokumen-dokumen yang relevan dan catatan, termasuk laporan pemerintah, bank, keuangan, perusahaan atau bisnis; 7. Mengidentifikasi atau melacak hasil kejahatan, kekayaan, sarana atau hal-hal lain untuk tujuan pembuktian; 8. Memfasilitasi sukarelawan seseorang di Negara Pihak Peminta; 9. Setiap jenis bantuan lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum nasional Negara Pihak yang diminta; 10. Mengidentifikasi, membekukan, dan melacak hasil tindak pidana sesuai dengan ketentuan Bab V KAK 2003; dan 11. Pemulihan aset, sesuai dengan ketentuan Bab V KAK 2003. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan ketentuan Pasal 46 ayat 3 UNCAC 2003 di atas, objek MLA antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti, termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA. MLA sangatlah penting dilakukan untuk menjembatani perampasan aset hasil dari tindak pidana korupsi, 148 dan bagaikan nafas dari upaya pembalian aset-aset yang telah dicuri oleh para koruptor di Indonesia. 149 MLA sangat dianjurkan dalam UNCAC 2003. Pasal 44 ayat 2 UNCAC 2003 ditegaskan: Bantuan hukum timbal balik wajib diberikan seluas mungkin, dan pengaturan-pengaturan yang terkait dari Negara Pihak yang diminta menyangkut penyidikan, penuntutan, dan proses pengadilan yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan terhadap mana suatu badan hukum dapat dikenai tanggung jawab sesuai dengan Pasal 26 Konvensi ini di Negara Pihak yang diminta. Pasal 3 ayat 1 UU No.1 Tahun 2006 ditegaskan yaitu bantuan timbal balik dalam masalah pidana, merupakan permintaan Bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Negara diminta. 148 Maskun., Stolen Asset Recovery StAR Dalam Perspektif Hukum Internasional, Makalah pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional SPHN 2007, di Hotel Millenium, Jakarta, Tanggal 28 sd 29 November 2007, hal. 50. Lihat juga: http:www.digilib.ui.edu, diakses tanggal 20 Mei 2011. 149 Bismar Nasution., Stolen Asset Recovery Initiative Dari Perspektif Hukum Ekonomi Di Indonesia, Loc. cit., hal. 6. Universitas Sumatera Utara Bentuk kerja sama MLA antara negara-negara pada prinsipnya dapat dilakukan dalam 3 tiga bentuk yaitu bilateral, regional, dan multilateral. 150 1. Perjanjian Bilateral. Dilakukan oleh tim terpadu yang terdiri dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Perjanjian dibuat oleh dua Negara atas dasar peraturan MLA mengikat kedua belah pihak sehingga wajib dipatuhi dan dilaksanakan. Pemerintah Indonesia telah memiliki 4 empat perjanjian bilateral di bidang MLA. 151 2. Perjanjian Regional. Dilakukan oleh negara yang terhimpun dalam suatu regional misalnya anggota Association of South East Asian Nations ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia, Thailan, Filipina, Singapura, dan Brunai darusalam dan telah ditandatangani pada bulan November 2004 semua negara anggota Association of South East Asian Nations ASEAN. 150 Zulkarnain Sitompul, Merampas Hasil Korupsi Tantangan Kerjasama Internasional, dalam Forum Keadilan No. 40, 13 Februari 2005, hal. 2. 151 Yunus Husein., Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, Cetakan I, Bandung: Book Terrace Library, 2007, hal. 357. a. Indonesia dengan Australia, yang ditandatangani pada tahun 1995, sebagaimana telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan Australia mengenai Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Treaty Between The Republic of Indonesia and Australia on Mutual Legal Assistance in criminal Matters . b. Indonesia dengan RRC, yang ditandatangani pada tahun 2000, sebagaimana telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China mengenai Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Treaty Between The Republic of Indonesia and The People’s Republic of China on Mutual Legal Assistance in criminal Matters . c. Indonesia dengan Korea Selatan, yang ditandatangani pada tahun 2004, sebagaimana telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2007 tentang Pengesahan Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Korea Treaty on Extradition between the Republic of Indonesia and the Republic of Korea , dan d. Indonesia dengan Hong Kong, yang ditandatangani oleh Jaksa Agung RI pada tanggal 3 April 2008, tentunya diharapkan dikemudian hari Jaksa Agung dapat menjadi central authorithy dalam penanganan permintaan Bantuan Hukum Timbal Balik dalam masalah pidana ini, sebagaimana negara negara sahabat lainnya. Universitas Sumatera Utara 3. Perjanjian Multilateral. Yakni perjanjian yang terdiri banyak negara. Misalnya UNCAC 2003. Perjanjian model ini akan berlaku setelah ditandatangani oleh negara-negara peserta dan setelah diratifikasi negara-negara lain, sehingga konvensi tersebut dapat dijadikan landasan untuk melakukan kerja sama MLA. Pemerintah Indonesia telah memiliki beberapa perjanjian multilateral di bidang MLA. 152 Prinsip dalam MLA menurut Yunus Husein, haruslah memperhatikan prinsip persamaan equality yang didasarkan pada sikap saling menghargai dan kedaulatan souvereignity dari negara-negara yan terlibat dalam kerja sama itu. Sebab, kerja sama internasional yang tertuang dalam perjanjian internasional akan berlaku dan mengikat secara politik dan hukum kepada negara-negara yang membuatnya. 153 Oleh sebab itu, MLA tidak mungkin dilakukan atas dasar-dasar yang bertumpu pada ketidakadilan atau dibuat karena adanya tekananpaksaan yang menguntungkan salah satu pihak. 154 Kerja sama internasional dalam memberantas tindak pidana, tertuang di dalam berbagai perjanjian, antara lain: Perjanjian Pertukaran Informasi Memorandum of 152 Zulkarnain Sitompul., Op. cit., hal. 2. e. ASEAN MLA TREATY, ditandatangani tanggal 29 Nopember 2004, sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matters Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. f. Konvensi PBB Menentang Korupsi United Nations Convention Against CorruptionUNCAC tahun 2003, sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. g. Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi United Nations Convention Against Transnastional Organized Crime UNTOC tahun 2000, sebagaimana telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 2009. 153 Yunus Husein., Op. cit., hal. 361. 154 . Zulkarnain Sitompul., Ibid. Universitas Sumatera Utara Understanding on Exchange InfoemationMoU , Mutual Legal AssistanceMLA, Ekstradisi dan Perjanjian Pemindahan Terpidana Transfer of sentences Person. Perbedaan satu sama lainnya adalah dalam perjanjian pertukaran informasi memorandum of Understanding on Exchange InfoemationMoU objeknya atau yang dipertukarkan adalah informasi dalam rangka penyidikan atau penyidikan tindak pidana. Sedangkan Mutual Legal AssistanceMLA, ruang lingkup kerjasamanya meliputi tahap penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan dimuka persidangan hingga pelaksanaan putusan pengadilan. Sementara, perjanjian ekstradisi lebih fokus kepada upaya menangkap seseorang tersangka atau terdakwa yang berada pada yuridiksi Negara lain. Perjanjian Pemindahan Terpidana transfer of sentences person meliputi pemindahan orang yang sudah menjalani sebahagian hukuman ke Negara asalnya untuk menjalani sisa hukuman yang belum dijalani. 155 Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa peran MLA merupakan salah satu perangkat hukum yang sangat diperlukan untuk dapat dilakukan proses hukum terhadap suatu tindak pidana yang melewati batas lintas negara antar negara khususnya ditujukan untuk perampasan aset tindak pidana korupsi. Maka, diharapkan bahwa Indonesia mesti melakukan kerja sama dalam Bantuan Hukum Timbal Balik ini dalam berbagai aspek pidana dan perdata artinya meliputi semua tindak pidana dan masalah perdata baik kerja sama bilateral maupun multilateral tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 155 Yunus Husein., Op. cit., hal. 362. Universitas Sumatera Utara

C. Implementasi Instrumen Civil Forfeiture Untuk Merampas Aset Milik