Kepribadian seseorang juga dipengaruhi oleh kebudayaan di sekitarnya. Hal itu karena kebudayaan dan adat istiadat merupakan lingkungan hidup dalam
keseharian. Menurut Spranger, kehidupan manusia dipengaruhi oleh dua macam kehidupan jiwanya, yaitu jiwa obyektif dan jiwa subyektif. Jiwa subyektif ialah
jiwa tiap-tiap orang. Jiwa obyektif ialah nilai-nilai kebudayaan yang besar sekali pengaruhnya pada jiwa subyektif. Manusia ini dapat dibedakan atas enam nilai
kebudayaan yaitu, ekonomi, politik, sosial, ilmu pengetahuan, kesenian dan agama. Di antara keenam itu, nilai kebudayaan manakah yang paling besar
pengaruhnya terhadap jiwa subyektif dan inilah yang menentukan tipe manusia itu via Sujanto, 2008: 43-44.
2. Tokoh dan Perwatakan Tokoh dalam Karya Sastra
Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan
karakterisasi secara bergantian dengan menunjukkan pengertian yang hampir sama. Istilah itu sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang sama persis.
Istilah “tokoh” menunjuk pada orang atau pelaku cerita. Menurut Jones via Nurgiyantoro, 2010: 165 menjelaskan bahwa penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Melalui imajinasi pengarang, tokoh-tokoh dalam karya sastra memiliki
ruh sendiri. Tokoh tersebut diciptakan pengarang untuk membawakan perannya masing-masing. Setelah para pembaca dapat memahami karakter atau
perwatakannya, kepribadian serta permasalahan yang dibawa setiap tokoh merupakan cara pengarang untuk menyampaikan gagasannya. Perwatakan dalam
karya sastra dapat diartikan penggambaran yang jelas tentang tingkah laku seseorang, cara berpikir, emosi, kedudukan, dan lain sebagainya.
Tokoh merupakan sarana pembangun cerita yang dihadirkan untuk menyampaikan pesan kepada pembaca karya sastra. Aspek tokoh dalam fiksi pada
dasarnya merupakan aspek yang lebih menarik perhatian. Dalam membaca atau menganalisis suatu karya fiksi, kita sering tidak butuh mempertanyakan apa yang
kemudian terjadi, tetapi kita mempertanyakan “peristiwa apa yang kemudian terjadi kemudian menimpa siapa”. Hal tersebut wajar adanya, menurut Sayuti
2000: 67-68 kita cenderung untuk mengharapkan agar orang –orang atau tokoh
dalam fiksi “mirip” dengan orang-orang dalam kehidupan yang sesungguhnya. Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh fiksi
dibedakan menjadi dua, yakni tokoh sentral dan tokoh periferal. Karena acap kali sebuah fiksi melibatkan beberapa tokoh. Biasanya tokoh sentral merupakan tokoh
yang mengambil bagian terbesar dalam peristiwa atau cerita. Peristiwa atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap dalam diri tokoh
dan perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap tokoh tersebut Sayuti, 2000: 74.
Ada beberapa cara yang sering digunakan untuk menampilkan tokoh dalam sebuah cerita, yaitu dengan cara analitik dan dramatik, ada yang
membedakannya dengan cara langsung dan tidak langsung Sayuti, 2000: 89. Cara penggambaran tokoh terbagi menjadi empat, yaitu metode diskursif, metode
dramatis, metode konstektual dan metode campuran. Ada tiga macam pelukisan secara tidak langsung terhadap kualitas tokoh, yaitu teknik pemberian nama