7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendahuluan
Pada Bab Tinjauan Pustaka ini akan membahas tinjauan teori “spirit of place” yang akan mendasari penelitian ini. Adapun bagian-bagian yang akan
dibahas pada bab ini dimulai dari asal usul, pengertian dari beberapa ahli, kaitannya dengan sense of place, sampai dengan unsur-unsur pembentuk “spirit of
place”.
2.2. Spirit of Place
Spirit of Place jiwa tempat telah dikenal sejak zaman Romawi Kuno, dengan istilah genius loci. Istilah genius loci terdiri atas dua kata, yakni loci atau
dalam bahasa latin locus, yang berarti “tempat”, dan genius yang berasal dari bahasa latin, yang mempunyai arti “roh”. “Roh spirit” tersebutlah yang
“ditempatkan” pada “lokasi loci locus” tertentu, sehingga genius loci dapat diartikan sebagai “roh tempat spirit of place”. Adiyanto, 2011.
Norman Crowe 1997 menjelaskan bahwa genius loci merupakan sebuah fenomena, dimana masyarakat mempercayai bahwa tempat – tempat tertentu
memiliki “roh jiwa” yang mendiami tempat tersebut. Roh jiwa tersebutlah yang mereflesikan keunikan dari tempat tersebut, sehingga membuatnya berbeda dari
tempat yang lain. Roh jiwa inilah yang memberi makna pada tempat, menjaga, serta mengilhami tempat tersebut dengan perasaan. Tanpa kehadiran spirit of
place pada suatu tempat, maka suatu tempat tidak akan memiliki makna, sehingga tidak memiliki kesan secara personal, melainkan hanya general. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa genius loci merupakan cara yang digunakan oleh bangsa romawi kuno untuk menyelamatkan “spirit jiwa” dari suatu tempat.
Salah satu penggagas Genius Loci Spirit of Place, John Ruskin, seorang kritikus XIX, dalam bukunya yang berjudul “Seven Lamps of Architecture”
1849 menyatakan ”Bahwa sesungguhnya keagungngan dari sebuah bangunan tidak terdapat pada batu – batuan atau bahkan emas yang melapisinya, namun
keagungan tersebut adalah pada umur bangunan tersebut, serta rasa mendalam yang terkandung didalamnya, dimana dinding bangunan tersebut telah menjadi
saksi dari perkembangan umat manusia”. Tempat yang terbentuk melalui waktu, serta dari keunikan dan karakter
yang khas, merupakan dasar dari sebuah bangunan dan penggunanya. Namun demikian, bangunan yang dibangun berdasarkan jiwa tempat spirit of place,
akan meningkatkan makna dari tempat tersebut, dan dapat menciptakan lingkungan yang harmonis. Dalam hal ini, “spirit jiwa” dari suatu tempat tercipta
melalui hubungan manusia terhadap bangunan atau tempat tersebut Alexander, 1979.
Spirit of place jiwa tempat sendiri merupakan sebuah konsep fenomenologi yang sulit dipahami oleh berbagai disiplin ilmu. Pendekatan
konseptual dengan makna spirit tempat menekankan bahwa “spirit jiwa” sebuah tempat diciptakan melalui sejarah di tempat tertentu dari sebuah kota, dan
membutuhkan metode pendekatan individual dalam kegiatan konservasi. Cullen, 1961; Conzen, 1966; Sharp, 1969; Worskett, 1969.
Garnham 1985 berpendapat bahwa spirit of place jiwa tempat terbentuk dari dua aspek, yakni aspek fisik tangible berupa situs, bangunan,
lingkungan, rute, dan benda-benda buatan manusia, serta aspek non fisik intangible berupa memori, narasi, dokumen tertulis, festival, acara peringatan,
ritual, pengetahuan tradisional, makna, tekstur, warna, dan lain sebagainya, dimana kedua aspek tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Aspek tangible
berperan dalam membentuk suatu tempat, dimana aspek intangible berperan dalam memberikan “spirit” terhadap tempat tersebut Québec Declaration,
ICOMOS 2008. Christian Norberg Schulz 1980 mengeksplorasi karakter dari sebuah
tempat dan maknanya terhadap penduduk setempat. Dia menekankan bahwa sebuah tempat memiliki arti lebih dari hanya sekedar lokasi, karena setiap tempat
memiliki “spirit jiwa” yang tidak dapat dijelaskan secara analitis atau metode ilmiah. Schulz kemudian mengusulkan sebuah metode fenomenologis untuk
memahami dan menggambarkan “spirit jiwa” dari sebuah tempat melalui penggambaran ciri – ciri fisik dan interpretasi pengalaman manusia pada tempat
tersebut. Dari beberapa pengertian spirit of place tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa fokus utama dalam pembahasan spirit of place, terdapat pada “tempat”. Dengan demikian, untuk memahami lebih dalam arti spirit of place,
maka kita harus terlebih dahulu memahami arti dan konsep dari sebuah “tempat place” berdasarkan tinjauan fenomenologis.
Ilmu fenomenologi pertama kali diperkenalkan oleh seorang filosof berkebangsaan Jerman, bernama Edmund Gustav Aibercth Husserl Delfgaauw,
1988. Fenomenologi merupakan sebuah filsafat yang mempelajari tentang pengalaman individu, yang mengacu pada pengalaman sehari – hari. Husserl
berpendapat bahwa fenomenologi merupakan apa yang dihasilkan oleh kegiatan dan susunan kesadaran manusia.
Heidegger 1971 mengalihkan konsep fenomenologi ke arah hasil pengalaman nyata lived experience. Tujuannya untuk membuat kajian terhadap
karakter suatu objek dari “being mengalami”, bukan karakter dari “knowing menghayati”. Dimana dengan “being mengalami”, kita dapat memunculkan
‘karakter” dari suatu benda tempat yang terbentuk dari rentetan tindakan dan kejadian.
Christian Norberg Schulz 1980 kemudian menggunakan filsafat dikemukakan oleh Heidegger sebagai dasar dalam pembuatan teori Genius Loci.
Schulz menjelaskan bahwa kehidupan sehari – hari merupakan kumpulan fenomena-fenomena kejadian konkret yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Fenomena konkret tersebut terdiri atas hubungan antar manusia, binatang, bunga, pepohonan dan hutan, bebatuan, bumi, kayu dan air, serta kota dengan jalan dan
rumah, pintu, jendela dan perabot, dan sebagainya. Bentuk konkret dari sebuah lingkungan adalah “tempat”. Sebuah “tempat”
memiliki nilai lebih dari sekedar ruang berlangsungnya tindakan dan kejadian. Tempat merupakan bagian esensial dari sebuah kehidupan. Sebuah tempat
terbentuk atas kumpulan fenomena, dimana terdapat material, bentuk, tekstur, dan
lain sebagainya, yang kemudian membentuk “karakter”, sehingga membedakannya dari tempat lainnya.
Schulz 1980 membuat kajian terhadap struktur dari sebuah tempat, Ia mengatakan bahwa tempat terbentuk dari fenomena alami natural dan fenomena
buatan manusia man-made, atau yang dalam istilah konkretnya disebut lingkungan landscape dan pemukiman settlement. Schulz kemudian
menjelaskan konsep ruang eksensial, dan membaginya menjadi dua elemen, yakni “ruang” dan “karakter”, yang saling melengkapi satu sama lainnya.
Sebuah ruang tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung shelter, sebuah ruang merupakan tempat place dimana kehidupan berlangsung. Sebuah
“tempat” merupakan kumpulan “ruang” dengan “karakter” yang berbeda. Tempat inilah yang menjadi fokus pembahasan dari “genius loci spirit of place”. Tujuan
dari ilmu arsitektur adalah untuk memvisualisasikan “spirit of place”, dimana tugas seorang arsitek adalah menciptakan tempat yang memiliki makna, sehingga
mendorong manusia untuk bermukim dwelling. Sebuah “ruang” merupakan perwujudan dari elemen tiga dimensi yang membentuk sebuah tempat, sedangkan
“karakter” diwakili oleh “atmosfer”, yang merupakan elemen terpenting dari setiap tempat. Organisasi “ruang” yang sama pada tempat yang berbeda dapat
memiliki “karakter” yang berbeda, tergantung pada perlakuan konkret pengguna users terhadap elemen ruang.
Spirit of place merupakan ilmu yang mempelajari hubungan total antara manusia dan tempat lingkungannya, yang diistilahkan dengan “dwelling
bermukim”, dengan fokus pembahasannya “tempat place”. Sehingga untuk
memahami secara mendalam kata “dwelling bermukim”, maka kita perlu mendalami struktur dari sebuah tempat, yakni “ruang” dan “karakter”. Christian
Norberg Schulz 1980 menyebutkan ketika seseorang bermukim, maka secara simultan ia akan berlokasi pada ruang, dan secara bersamaan ia juga mengekspos
mengungkap karakter lingkungan tersebut. Dalam hal ini, terlibat dua fungsi psikologi, yakni “orientasi” dan “identifikasi”. Untuk mendapatkan tumpuan
ekstensial, maka seseorang harus dapat mengorientasikan dirinya, ia harus tahu dimana ia berada. Selain itu, seseorang tersebut juga harus mengidentifikasi
dirinya dengan lingkungannya, dimana ia harus tahu bagaimana ia harus bersikap pada tempat-tempat tertentu.
Permasalahan orientasi telah menjadi fokus utama dalam teori perencanaan dan perancangan kota. Lynch 1960, menyebutkan bahwa konsep
“node tumpuan”, “path jalur”, dan “district kawasan” merupakan struktur dasar ruang yang menjadi objek dari orientasi manusia. Hubungan dari elemen-
elemen ruang inilah yang akan menjadi sistem orientasi, sehingga dapat menimbulkan “citra lingkungan”. Lynch menambahkan, citra lingkungan yang
baik akan memberikan rasa aman bagi emosional manusia. Umumnya sistem orientasi tergantung pada struktur alami linkungan. Apabila sistem orientasi
lemah, maka proses pembentukan citra menjadi sulit, sehingga manusia akan merasa ‘tersesat’. Rasa takut akan tersesat inilah yang mendorong manusia untuk
dapat berorientasi pada lingkungannya, karena tujuan dari “bermukim” adalah memiliki rasa aman.
Lingkungan yang dapat melindungi manusia dari rasa tersesat diistilahkan dengan “imageability citra” Lynch,1960. Imageability berarti “bentuk, warna,
dan susunan” lingkungan yang dapat memfasilitasi terbentuknya proses identifikasi secara jelas. Disini Lynch mengimplikasikan bahwa elemen-elemen
yang membentuk struktur ruang merupakan “benda” dengan “karakter” dan “arti” yang konkret.
Tanpa mengesampingkan akan pentingnya faktor orientasi dalam bermukim dwelling, harus disadari bahwa bermukim dwelling merupakan
proses bagaimana manusia mengidentifikasi lingkungan. Walaupun orientasi dan identifikasi merupakan satu faktor kesatuan, namun terdapat independensi
diantara kesatuan tersebut. Seseorang dapat mengorientasikan dirinya dengan baik tanpa harus mengidentifikasikan tempat. Seseorang dapat mengetahui posisinya
tanpa harus merasa seperti di rumah, serta dapat merasa seperti di rumah tanpa merasakan karakter dari tempat tersebut. Dalam masyarakat tradisional, elemen
lingkungan terkecilpun diingat dan mempunyai makna bagi masyarakat. Berbeda dengan masyarakat moderen, yang lebih mementingkan fungsi praktis dari
orientasi, sehingga proses identifikasi telah ditinggalkan. Hal ini berdampak pada psikologi manusia, dimana ia merasa asing di lingkungannya sendiri.
Identifikasi berarti kita mengenal atau berteman dengan “karakter” dari lingkungan tertentu. Sebagai contoh, manusia yang hidup pada bagian utara bumi,
harus berteman dengan kabut, salju, dan udara dingin yang ekstrim, atau sebaliknya, warga yang tinggal di daerah Timur Tengah harus berteman dengan
padang pasir dan teriknya matahari. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan
dirasakan sebagai tempat yang bermakna meaningful. Fenomena ini diungkapkan oleh Bollnow 1956, yakni : “jede stimmung ist ubereintimmung”,
yang berarti “setiap karakter terdapat penyesuaian antara outer dan inner, dan antara fisik dan pikiran.”
Berbeda dengan masyarakat moderen, proses identifikasi lingkungan bukan terhadap kondisi alam, melainkan terhadap benda-benda buatan manusia,
seperti jalan, rambu-rambu, dan bangunan. Setiap manusia memiliki sistem orientasi dan identifikasi yang berbeda,
tergantung pada tempat dan struktur budaya dimana ia berada. Identifikasi dan orientasi merupakan aspek primer dari kehidupan manusia. Dimana identifikasi
merupakan dasar dari rasa saling memiliki sense of belonging, sedangkan orientasi merupakan sebuah fungsi yang membuat manusia dapat menjadi homo
viator, sifat alami manusia. “Spirit of place” sering kali dikaitkan dengan istilah “sense of place”,
yang terbentuk melalui interaksi sosial, yakni hubungan dinamis antar manusia, lingkungan, budaya, dan tempat place yang menimbulkan rasa kesan sense
terhadap suatu tempat. Schulz 1979, mengatakan bahwa setiap orang memiliki cara yang
berbeda dalam membangun sense of place, tergantung pada “rona wajah fisik” dan “karakter ruang”. Reaksi terhadap sense of place merupakan implikasi antara
atribut wajah fisik lingkungan dengan karakteristik personal. Pengalaman khusus seseorang terhadap suatu lingkungan tertentu akan mempengaruhi seseorang
dalam menilai sebuah tempat.
Perasaan sense terhadap suatu tempat merupakan bagian dari keseluruhan orientasi manusia pada ruang, yakni memori dan makna, geometri
dan alam, serta sejarah dan kepercayaan. Perasaan sense terhadap tempat tertentu tidak memiliki batas dan merupakan kesatuan dengan bagian dari
bangunan tersebut. Perasaan sense ini merupakan dasar yang kokoh dalam menciptakan bangunan yang terbentuk sebagai wadah besar untuk menyimpan
makna-makna yang berhubungan dengan pemahamannya terhadap alam dan lingkungan dimana ia berada.
Manusia akan mulai bisa memberikan nilai pada tempat yang satu dengan tempat yang lain, ketika tempat tersebut memiliki perbedaan makna. Kemampuan
untuk merasakan nilai dari sebuah tempat diyakini bisa mun-cul karena tempat tersebut memiliki sense of place.
Sebuah tempat dapat terbentuk melalui mengkombinasikan berbagai bentuk dan ruang, tidak saja dinilai dari dapat memfasilitasi terpenuhinya fungsi
sebagai sebuah tujuan, namun juga dinilai dari kemampuannya untuk dimaknai oleh penggunanya. Bahasa bentuk sebuah karya arsitektural dapat dikembangkan
ketika bentuk tersebut memiliki kekuatan pada sentuhan emosi. Bentuk-bentuk tampilan arsitektural tertentu, akan mampu mengungkapkan makna sesuai dengan
tema dan makna yang ingin disampaikan perancang melalui tampilan karya tersebut. Arsitektur yang baik, harus memiliki hubungan fungsi-bentuk-makna
yang harmonis Capon, 1999. Proses pembentukan rasa kesan terhadap suatu tempat membutuhkan
waktu dan juga tahapan termasuk pengalaman dari subjek atau pelakunya
Carmona et al. 2003. Rasa sense terhadap suatu tempat akan terbentuk dengan parameter mampu mewadahi aktifitas penggunanya, kapasitas, fungsi, dan juga
kualitas interaksi sosial. Relph 1976, Canter 1977, Punter 1991, dan Montgomery 1998
dalam Carmona et al. 2003 menyatakan bahwa terdapat tiga unsur pembentuk tempat, yakni activity aktivitas, form bentuk, dan image citra. Sebuah tempat
place terbentuk melalui hubungan antara wajah fisik lingkungan, aktivitas dari individu maupun kelompok, serta makna yang dibentuknya. Sedangkan rasa
terhadap tempat sense of place terbentuk melalui tiga aspek yaitu activity aktivitas, physical setting bentuk fisik, dan meaning makna. lihat gambar
2.1.. Sense of place merupakan konsep-konsep yang memperlihatkan bagaimana hubungan antara manusia dengan tempat dan lingkungan tempat ia bermukim
dwelling, melalui hubungan kedekatan emosional, serta maknanya.
Gambar 2.1. Skema Pembentukan Tempat
Sumber : Carmona et al. 2003
Tabel 2.1. Simpulan Teori Spirit of Place
E lem
en –
e le
m e
n pe m
be n
tuk T e
m po
a t
Christian Norberg
Schulz 1980 Relph 1976, Canter
1977, Punter 1991, dan Montgomery
1998 Garnham 1985
1. Ruang
2. Karakter
1. Physical Setting
2. Activities
3. Meaning
1. Tangible
situs, bangunan, lingkungan, rute, dan
benda-benda buatan manusia
2. Intangible
memori, narasi, dokumen tertulis, festival, acara
peringatan, ritual, pengetahuan tradisional,
makna, tekstur, warna, dan lain sebagainya
2.3. Unsur – unsur pembentuk Spirit of Place