Kajian Spirit of Place Kampung Madras Medan

(1)

KAJIAN

SPIRIT OF PLACE

KAMPUNG MADRAS

MEDAN

SKRIPSI

OLEH

Sylvia Harapan

100406042

DEPARTEMEN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KAJIAN

SPIRIT OF PLACE

KAMPUNG MADRAS

MEDAN

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Dalam Departemen Arsitektur

Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

OLEH

SYLVIA HARAPAN

100406042

DEPARTEMEN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERNYATAAN

KAJIAN SPIRIT OF PLACE KAMPUNG MADRAS MEDAN

SKRIPSI

Dengan ini penulis menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Januari 2015 Penulis,

Sylvia Harapan NIM. 100406042


(4)

Judul Skripsi : Kajian Spirit of Place Kampung Madras Medan Nama Mahasiswa : Sylvia Harapan

Nomor Pokok : 100406042 Departemen : Arsitektur

Menyetujui Dosen Pembimbing

(Dr. Ir. Nurlisa ginting, M.Sc.)

Koordinator Skripsi,

Dr. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc.

Ketua Program Studi,

Ir. N. Vinky Rahman, M.T.


(5)

Telah diuji pada

Tanggal : 17 Januari 2015

Panitia Penguji Skripsi

Ketua Komisi Penguji : Dr. Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc

Anggota Komisi Penguji : 1. Dr.Beny O. Y. Marpaung, S.T., M.T. 2. Dr. Hilma Tamiami F., S.T., M.Sc 3. Wahyuni Zahrah, S.T., M.S.


(6)

i ABSTRAK

Kampung Madras merupakan pemukiman tertua bangsa Tamil di kota Medan. Kampung Madras telah menjadi bagian dalam sejarah perkembangan kota Medan. Kampung Madras dalam skala kota merupakan komunitas yang dapat menghadirkan “collective memory” bagi masyarakat kota Medan maupun masyarakat luar kota Medan. Untuk itu eksistensinya harus dilestarikan tanpa menghilangkan identitas – identitas yang telah melekat pada komunitas tersebut agar dapat berintegrasi dengan perkembangan kota yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk menggali unsur-unsur fisik pembentuk spirit of place kawasan, melalui analisa struktur tempat, yakni ruang dan karakter. Penelitian ini menggabungkan dua metode, yakni melalui observasi langsung ke kawasan kajian, dan penyebaran kuesioner kepada 100 orang responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur spirit of place terkuat Kampung Madras terletak pada koridor Jalan K.H. Zainul Arifin. Jalan K.H.Zainul Arifin ini memiliki spirit kuat, yang dapat merefleksikan karakter dari Kampung Madras secara keseluruhan.

Kata Kunci:spirit of place,struktur tempat, ruang, karakter, Kampung Madras

ABSTRACT

Kampung Madras is the oldest Tamil’s settlement in Medan city. Kampung Madras has been taken a part in the history of Medan city development. In urban scale, Kampung Madras is a community that can bring the “collective memory” for Medan citizen, even peoples who lived in the outside of Medan city. Therefore the existence of Kampung Madras should be preserved without losing the identity itself, which has been attached in the community, in order to integrate with the existing urban development. This study is proposed to explore the physical elements that are forming the spirit of place of Kampung Madras, through an analysis of place structure, namely space and character. This study combines two methods, through field observation dan distributing questionnaires to 100 respondents. The results showed that the strongest elements of Kampung Madras’s spirit of place found at K.H.Zainul Arifin road. K.H.Zainul Arifin road has a strong spirit, that can reflect the whole character of Kampung Madras.


(7)

ii KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kajian Spirit of Place Kampung Madras Medan” ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Departemen Arsitektur Universitas Sumatera Utara.

Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc, selaku dosen pembimbing, yang telah mengarahkan dan membimbing penulis sejak awal proses pengerjaan skripsi 2. Ibu Dr. Beny O.Y. Marpaung, S.T., M.T., Ibu Wahyuni Zahra, S.T., M.S.,

dan Ibu Dr. Hilma Tamiami F., S.T., M.Sc., selaku dosen-dosen penguji KBK Kota & Permukiman, atas segala arahan, kritik dan saran yang diberikan untuk menyempurnakan skripsi ini.

3. Bapak Ir. N. Vinky Rahman, M.T. dan Bapak Ir. Rudolf Sitorus, M.LA, selaku ketua dan sekretaris Jurusan Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik USU.

4. Seluruh dosen pengajar di Departemen Arsitektur USU yang telah memberikan banyak ilmu selama proses perkuliahan serta staff-staff yang turut membantu segala proses administrasi yang diperlukan.


(8)

iii 5. Papa, mama, abang, dan kakak tercinta yang selalu memberikan dukungan

dan menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Sahabat, pacar, rekan kerja, serta pimpinan P.T. Sevenzu Indonesia Perkasa yang selalu siap membantu penulis, menyemangati, menjadi rekan berbagi cerita, dan juga memberikan dukungan penuh lewat doa.

7. Seluruh teman-teman seperjuangan Arsitektur USU, khususnya stambuk 2010, yang telah saling membantu dan menyemangati dari awal sampai akhir perkuliahan.

8. Semua pihak yang telah membantu dan berpartisipasi dalam pengumpulan data untuk penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam laporan skripsi ini. Oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka melengkapi dan menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya di lingkungan Departemen Arsitektur USU.

Medan, Januari 2015 Penulis,

Sylvia Harapan NIM. 100406042


(9)

iv DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ...i

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ...iv

DAFTAR GAMBAR ...vii

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xiii

BAB I. PENDAHULUAN ...01

1.1.Latar Belakang ...01

1.2.Perumusan Masalah ...04

1.3.Tujuan Penelitian ...04

1.4.Manfaat Penelitian ...04

1.5.Ruang Lingkup & Batasan Penelitian ...04

1.6.Kerangka Berpikir ...06

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...07

2.1. Pendahuluan ...07

2.2. Spirit of Place ...07

2.3. Unsur-unsur pembentuk spirit of place ...17

2.3.1. Ruang (physical setting) ...20

2.3.2. Karakter ...22

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ...25

3.1. Pendahuluan ...25

3.2. Jenis Penelitian ...25

3.3. Variabel Penelitian ...26


(10)

v

3.4.1. Populasi ...29

3.4.2. Sampel ...29

3.5. Metode Pengumpulan Data ...31

3.6. Kawasan Penelitian ...32

3.6.1. Sejarah Kedatangan Suku Tamil di kota Medan ...33

3.6.2. Sejarah Terbentuknya Kampung Madras ...36

3.6.3. Observasi “spirit of place” terhadap Ruang ...38

3.6.3.1 Obsevasi Path (jalur) ...38

3.6.3.2 Obsevasi Edges (batas) ...47

3.6.3.3 Obsevasi District (kawasan) ...48

3.6.3.4 Obsevasi Nodes (simpul) ...53

3.6.3.5 Obsevasi Landmark (penanda) ...57

3.6.4. Observasi “spirit of place” terhadap Karakter ...64

3.6.4.1 Obsevasi Cara Membangun ...64

3.6.4.2 Obsevasi Fasade Bangunan ...68

3.6.4.3 Obsevasi Visualisasi ...77

3.7. Metode Analisa Data ...79

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...82

4.1. Pendahuluan ...82

4.2. Profil Responden ...82

4.3. Tinjauan “spirit of place” terhadap ruang ...89

4.3.1. Analisa Path (jalur) ...89

4.3.2. Analisa Edges (batas) ...94

4.3.3. Analisa District (kawasan) ...98

4.3.4. Analisa Nodes (simpul) ...102

4.3.5. Analisa Landmark (penanda) ...105


(11)

vi

4.4.1. Analisa Cara Membangun ...109

4.4.2. Analisa Fasade Bangunan ...112

4.4.3. Analisa Visualisasi ...117

4.5. Kesimpulan ...118

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...124

5.1. Pendahuluan ...124

5.2. Kesimpulan ...124

5.3. Saran ...125

DAFTAR PUSTAKA ...126


(12)

vii DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar1.1. Skema Kerangka Berpikir (workframe) ...06

Gambar2.1. Skema Pembentukan Citra Tempat ...16

Gambar2.2. Skema Kerangka Teori ...19

Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian ...33

Gambar 3.2. Jl. K.H. Zainul Arifin...39

Gambar 3.3. Kantor Pemerintahan Jl. Diponegoro...40

Gambar 3.4. Bangunan elit disepanjang Jl. J.Sudirman...40

Gambar 3.5. Jalan Pagaruyung...41

Gambar 3.6. Toko khas India Jl. T. Cik Di Tiro...41

Gambar 3.7. Peta titik kemacetan di kawasan Kp. Madras ...42

Gambar 3.8. Kemacetan yang kerap terjadi di kawasan Kp. Madras...42

Gambar 3.9. Diagram kondisi jalur pedestrian di Kampung Madras...43

Gambar 3.10. Potongan jalan Diponegoro, Jl. Imam Bonjol, Jl. Sudirman...44

Gambar 3.11. Potongan jalan K.H. Zainul Arifin ...44

Gambar 3.12. Potongan jalan kecil...45

Gambar 3.13. Kesemrawutan penataan papan tanda dan reklame di kawasan Kp. Madras ...46

Gambar 3.14. Peta Kelurahan Madras Hulu ...46

Gambar 3.15. Peta Edges Kampung Madras ...48

Gambar 3.16. Peta Pembagian District Kel. Madras Hulu ...49

Gambar 3.17. Kawasan perdagangan dan jasa di Kampung Madras ...50

Gambar 3.18. Kawasan komersil di Kampung Madras ...51

Gambar 3.19. Kawasan fasilitas umum di Kampung Madras ...51

Gambar 3.20. Kawasan permukiman kepadatan jarang di Kampung Madras......52


(13)

viii Gambar 3.21. Kawasan permukiman kepadatan sedang di Kampung

Madras...53

Gambar 3.22. Kawasan permukiman kepadatan padat di Kampung Madras...53

Gambar 3.23. Peta Nodes Kampung Madras ...54

Gambar 3.24.Nodes Persimpangan Jl. K.H. Zainul Arifin dan Jl. Diponegoro...55

Gambar 3.25.Nodes Jembatan Tjong Yong Hian ...55

Gambar 3.26.Nodes Bundaran Air Mancur Sudirman ...56

Gambar 3.27.Nodes Taman Beringin ...57

Gambar 3.28. Peta Landmark Kampung Madras ...58

Gambar 3.29.Landmark Sun Plaza ...59

Gambar 3.30. Tampak Sun Plaza ...59

Gambar 3.31.Landmark Kuil Shri Mahriamman ...60

Gambar 3.32. Tampak Kuil Shri Mahriamman ...61

Gambar 3.33.Landmark Jembatan Tjong Yong Hian ...62

Gambar 3.34.Landmark Gereja Lama Immanuel ...63

Gambar 3.35.Landmark Vihara Gunung Timur ...63

Gambar 3.36. Peta District Kampung Madras ...64

Gambar 3.37.Waybuild pada District perdagangan dan jasa ...65

Gambar 3.38.Waybuild pada District komersil ...66

Gambar 3.39.Waybuild pada District fasilitas umum ...66

Gambar 3.40.Waybuild pada District permukiman kepadatan jarang...67

Gambar 3.41.Waybuild pada District permukiman kepadatan sedang...67

Gambar 3.42.Waybuild pada District permukiman kepadatan padat...68


(14)

ix Gambar 3.43. Fasade bangunan District perdagangan dan

jasa...69

Gambar 3.44. Fasade Sun Plaza ...69

Gambar 3.45. Fasade bangunan Jl.K.H.Zainul Arifin ...70

Gambar 3.46. Fasade bangunan lama ...72

Gambar 3.47. Fasade bangunan District komersil ...73

Gambar 3.48. Fasade bangunan District fasilitas umum ...74

Gambar 3.49. Fasade bangunan District permukiman kepadatan jarang...75

Gambar 3.50. Fasade bangunan District permukiman kepadatan sedang...76

Gambar 3.51. Fasade bangunan District permukiman kepadatan padat...77

Gambar 3.52. Proses Analisa Data ... 80

Gambar 3.53. Kerangka Analisa Data ... 81

Gambar 4.1. Diagram Tempat Tinggal Responden ... 83

Gambar 4.2. Diagram Gender Responden ... 84

Gambar 4.3. Diagram Usia Responden ... ...85

Gambar 4.4. Diagram Pekerjaan Responden ... ...86

Gambar 4.5. Diagram Penghasilan Responden ... 87

Gambar 4.6. Diagram Intensitas Kunjungan Responden ...88

Gambar 4.7. Diagram Tujuan Kunjungan Responden ...89

Gambar 4.8. Diagram Persentase Identifikasi Path ...91

Gambar 4.9. Diagram Persentase Identitas Path ...92

Gambar 4.10. Diagram Persentase Analisa Path ...94

Gambar 4.11. Diagram Persentase Identifikasi Edges ...96

Gambar 4.12. Diagram Persentase Identitas Edges ...97

Gambar 4.13. Diagram Persentase Identifikasi Objek Edges ...98


(15)

x

Gambar 4.15. Diagram Persentase Identifikasi District ...101

Gambar 4.16. Diagram Persentase Identitas District ...102

Gambar 4.17. Diagram Persentase Identifikasi Nodes ...103

Gambar 4.18. Diagram Persentase Analisa Nodes ...105

Gambar 4.19. Diagram Persentase Identifikasi Landmark ...106

Gambar 4.20. Diagram Persentase Identitas Landmark ...107

Gambar 4.21. Diagram Persentase Analisa Landmark ...109

Gambar 4.22. Diagram Persentase Identifikasi Waybuild ...110

Gambar 4.23. Diagram Persentase Analisa Waybuild ...112

Gambar 4.24. Diagram Persentase Identifikasi Fasade ...114

Gambar 4.25. Diagram Persentase Identitas Fasade ...115

Gambar 4.26. Diagram Persentase Identifikasi Fasade yang paling berkesan...116


(16)

xi DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 2.1. Simpulan Teori Spirit of Place ...17

Tabel 2.2. Unsur Pembentuk Spirit of Place ...18

Tabel 3.1. Variabel Penelitian ...27

Tabel 3.2. Observasi Visualisasi ...78

Tabel 4.1. Gender Responden ...83

Tabel 4.2. Usia Responden ...84

Tabel 4.3. Pekerjaan Responden ...85

Tabel 4.4. Penghasilan Responden ...86

Tabel 4.5. Intensitas Kunjungan Responden ...87

Tabel 4.6. Tujuan Kunjungan Responden ...88

Tabel 4.7. Identifikasi Path (jalur) ...90

Tabel 4.8. Identitas Path (jalur)...91

Tabel 4.9. Analisa Path (jalur) ...93

Tabel 4.10. Identifikasi Edges (batas) ...95

Tabel 4.11. Identitas Edges (batas) ...96

Tabel 4.12. Identifikasi Objek Edges (batas) ...97

Tabel 4.13. Analisa District (kawasan) ...99

Tabel 4.14. Identifikasi District (kawasan) ...100

Tabel 4.15. Identitas District (kawasan) ...101

Tabel 4.16. Identifikasi Nodes (simpul) ...103

Tabel 4.17. Analisa Nodes (simpul) ...104

Tabel 4.18. Identifikasi Landmark (penanda) ...105


(17)

xii

Tabel 4.20. Analisa Landmark (penanda) ...108

Tabel 4.21. Identifikasi Waybuild (cara membangun) ...110

Tabel 4.22. Analisa Waybuild (cara membangun) ...111

Tabel 4.23. Identifikasi Fasade ...113

Tabel 4.24. Identitas Fasade ...114

Tabel 4.25. Fasade yang paling berkesan ...115

Tabel 4.26. Analisa Visualisasi ...117


(18)

xiii DAFTAR LAMPIRAN

Hal.


(19)

i ABSTRAK

Kampung Madras merupakan pemukiman tertua bangsa Tamil di kota Medan. Kampung Madras telah menjadi bagian dalam sejarah perkembangan kota Medan. Kampung Madras dalam skala kota merupakan komunitas yang dapat menghadirkan “collective memory” bagi masyarakat kota Medan maupun masyarakat luar kota Medan. Untuk itu eksistensinya harus dilestarikan tanpa menghilangkan identitas – identitas yang telah melekat pada komunitas tersebut agar dapat berintegrasi dengan perkembangan kota yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk menggali unsur-unsur fisik pembentuk spirit of place kawasan, melalui analisa struktur tempat, yakni ruang dan karakter. Penelitian ini menggabungkan dua metode, yakni melalui observasi langsung ke kawasan kajian, dan penyebaran kuesioner kepada 100 orang responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa unsur spirit of place terkuat Kampung Madras terletak pada koridor Jalan K.H. Zainul Arifin. Jalan K.H.Zainul Arifin ini memiliki spirit kuat, yang dapat merefleksikan karakter dari Kampung Madras secara keseluruhan.

Kata Kunci:spirit of place,struktur tempat, ruang, karakter, Kampung Madras

ABSTRACT

Kampung Madras is the oldest Tamil’s settlement in Medan city. Kampung Madras has been taken a part in the history of Medan city development. In urban scale, Kampung Madras is a community that can bring the “collective memory” for Medan citizen, even peoples who lived in the outside of Medan city. Therefore the existence of Kampung Madras should be preserved without losing the identity itself, which has been attached in the community, in order to integrate with the existing urban development. This study is proposed to explore the physical elements that are forming the spirit of place of Kampung Madras, through an analysis of place structure, namely space and character. This study combines two methods, through field observation dan distributing questionnaires to 100 respondents. The results showed that the strongest elements of Kampung Madras’s spirit of place found at K.H.Zainul Arifin road. K.H.Zainul Arifin road has a strong spirit, that can reflect the whole character of Kampung Madras.


(20)

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kota Medan merupakan ibukota dari Provinsi Sumatera Utara. Kota terbesar di Pulau Sumatera ini merupakan kota yang kaya akan warisan budaya. Beragam suku dan etnis mendiami kota ini. Kota Medan dahulunya dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan perdagangan. Oleh sebab itu, banyak pedagang dari penjuru dunia datang untuk berdagang di kota ini. Inilah yang menyebabkan penduduk Kota Medan beragam etnis, tidak hanya etnis asli Indonesia, melainkan juga berbagai etnis pendatang seperti etnis Tionghoa, India, dan Arab yang telah menjadi satu kesatuan harmonis yang tidak dapat terpisahkan dengan kota ini. Keberagaman etnis yang mendiami kota Medan ini, juga membuat arsitektur kota ini kaya akan berbagai gaya dan budaya yang menarik. Bahkan kota ini sempat dijuluki sebagai “Parisj Van Soematera” oleh bangsa Eropa (Buiskool, 2005).

Terdapat 13 etnis yang mendiami kota Medan, antara lain : melayu, batak toba, batak karo, batak mandailing, batak simalungun, batak pak-pak, nias, aceh, jawa, minangkabau, tionghoa, arab, dan india/ tamil. Ketigabelas etnis – etnis yang mendiami kota Medan hidup dengan harmonis dan membentuk komunitas - komunitasnya sendiri, yang salah satunya dapat kita lihat pada Kampung Madras atau yang selama ini lebih dikenal dengan sebutan Kampung Keling.

Kampung Madras merupakan pemukiman masyarakat etnis India/ Tamil. Kedatangan suku India/ Tamil secara besar - besaran di kota Medan dimulai sejak


(21)

pertengahan abad ke-19, tepatnya saat dibukanya industri perkebunan tembakau di Tanah Deli, banyak masyarakat Tamil yang datang untuk mengadu nasib menjadi kuli perkebunan.

Pada masa kolonial, suku bangsa Tamil umumnya tinggal di daerah sekitar perkebunan, yang terletak di pinggiran kota, namun setelah kemerdekaan mereka mendiami daerah kota. Kampung Madras merupakan pemukiman tertua bangsa Tamil, tepatnya di sekitar kawasan Jalan Kyai Haji Zainul Arifin (sebelumnya bernama Jalan Calcutta). Kampung seluas 10 hektar ini lebih dikenal dengan sebutan Kampung Keling. Letak Kampung Madras ini berbatasan dengan aliran sungai Babura.

Eksistensi suku bangsa Tamil telah menjadi bagian dalam sejarah perkembangan kota Medan. Kampung Madras merupakan saksi peradaban bangsa Tamil yang pernah berlangsung pada masanya. Kawasan ini memiliki spirit kuat yang memberikan makna tersendiri bagi masyarakat kota Medan. Norman Crowe (1997), mengatakan bahwa kehadiran “spirit/ jiwa” di suatu tempat dapat mereflesikan keunikan dari tempat tersebut, yang membedakannya dengan tempat lain.

Kawasan ini memiliki karakter kuat yang merepresentasikan komunitas Hindu India. Hingga saat ini, Kampung Madras masih menyisakan artefak – artefak peninggalan zaman pemerintahan kolonial Belanda, antara lain pola ruang, bangunan – bangunan rumah tinggal, serta tempat ibadah. Di kawasan ini juga terdapat kuil Hindu tertua di kota Medan, yakni kuil Shri Mahriamman. Kuil


(22)

3

ini merupakan pusat orientasi dan aktivitas dari masyarakat di Kampung Madras. Kuil megah ini merupakan Landmark dari Kampung Madras. Aktivitas persembahyangan yang dilakukan oleh masyarakat Hindu di kuil ini mengundang daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke kuil ini.

Kampung Madras telah menjadi ikon Kota Medan. Kampung Madras dalam skala kota merupakan komunitas yang dapat menghadirkan “collective memory” bagi masyarakat kota Medan maupun masyarakat luar kota Medan. Untuk itu eksistensinya harus dilestarikan tanpa menghilangkan identitas – identitas yang telah melekat pada komunitas tersebut agar dapat berintegrasi dengan perkembangan kota yang ada.

A city without old building is like a person without memory”, ungkapan Graeme Shankland (1961) menguatkan bahwa arsitektur kota mungkin merupakan representasi paling nyata dari sejarah sebuah kota. Arsitektur bukan hanya sekedar desain fisik dari sebuah bangunan, namun dibalik semua itu arsitektur dapat menjadi refleksi atau cerminan dari perkembangan budaya pada masa lalu. Setiap kota memiliki keunikan ceritanya tersendiri, dan terkadang cerita tersebut bukan berasal dari penduduk kota, melainkan berasal dari bangunan – bangunan tua yang telah menjadi identitas pada kota tersebut.

Masyarakat perlu diingatkan akan pentingnya makna akan suatu tempat, yang dapat dikenali dengan baik, daripada tempat yang tidak bersahabat dan dingin (Norman Crowe, 1997:75). Apabila manusia tidak dapat mengenal atau berorientasi dengan baik pada tempat, maka ia akan merasa tersesat/ asing dengan lingkungannya (Lynch, 1960). Dengan pertimbangan tersebut, maka perlu


(23)

dilakukan penelitian untuk mengkaji unsur – unsur pembentuk spirit of place

(jiwa tempat) kawasan Kampung Madras, sehingga identitas kawasan dapat dipertahankan.

1.2. Perumusan Masalah

Masalah yang muncul pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

• Apa saja unsur – unsur pembentuk spirit of place (jiwa tempat) Kampung Madras

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut : • Mengkaji unsur – unsur pembentuk spirit of place Kampung Madras • Menggali persepsi masyarakat terhadap Kampung Madras

• Mengkongkretkan (mengkukuhkan) unsur spirit of place Kampung Madras

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini yaitu sebagai berikut :

• Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai referensi bagi pemerintahan kota Medan untuk strategi pengembangan dan pembangunan Kampung Madras.

• Secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan pemahaman terhadap spirit of place (jiwa tempat), sehingga identitas dari Kampung Madras dapat dilestarikan. 1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian


(24)

5

Pada penelitian ini peneliti membatasi ruang lingkup penelitian agar pokok permasalahan tidak meluas dan pembahasan masalah menjadi terfokus. Adapun masalah pokok yang akan diteliti adalah mencari unsur – unsur pembentuk spirit of place Kampung Madras. Adapun variabel-variabel yang menjadi acuan penelitian diambil peneliti berdasarkan teori yang berkaitan tentang unsur fisik (tangible) dari “spirit of place” saja. Data yang dikumpulkan kemudian akan dianalisis untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang ada. Dan sebagai simpulan dari penelitian ini, peneliti akan memberikan rekomendasi – rekomendasi sebagai strategi pengembangan dan penataan Kampung Madras yang lebih baik.


(25)

1.6. Kerangka Berpikir

Berikut ini skema kerangka berpikir (workframe) penelitian :

LATAR BELAKANG :

• Kampung Madras memiliki spirit kuat yang memberikan makna terhadap masyarakat kota Medan

• Kampung Madras memiliki karakter kuat yang merepresentasikan komunitas Hindu India

• Kampung Madras telah menjadi ikon Kota Medan

MASALAH :

• Apa yang menjadi unsur – unsur pembentuk spirit of place Kampung Madras

MAKSUD & TUJUAN : • Mengkaji unsur –

unsur pembentuk spirit of place yang telah menjadi identitas kawasan • Mengkongkretkan (mengkukuhkan) unsur spirit of place Kampung Madras

PENGUMPULAN DATA :

Penelitian Lapangan ( Field Research ) Melakukan penelitian langsung ke Kampung Madras untuk mengamati kondisi dan persepsi masyarakat terhadap Kampung Madras. Metode ini dilakukan dengan 3 tahap, yakni :

• Observasi • Wawancara • Kuesioner

Studi Literatur ( Library Research ) Mengumpulkan teori-teori yang berhubungan dengan spirit of place dan fenomenologi dari beberapa ahli :

• Christian Norberg Schulz (1980) • Kevin Lynch (1960)

• Carmona et al. (2003) • Kenneth Frampton • Martin Heidegger (1971)

Analisis :

• Analisa deskriptif

Output :

• Analisa terhadap unsur – unsur pembentuk spirit of place Kampung Madras • Solusi pengembangan dan penataan Kampung Madras yang lebih baik.


(26)

7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pendahuluan

Pada Bab Tinjauan Pustaka ini akan membahas tinjauan teori “spirit of place” yang akan mendasari penelitian ini. Adapun bagian-bagian yang akan dibahas pada bab ini dimulai dari asal usul, pengertian dari beberapa ahli, kaitannya dengan sense of place, sampai dengan unsur-unsur pembentuk “spirit of place”.

2.2. Spirit of Place

Spirit of Place (jiwa tempat) telah dikenal sejak zaman Romawi Kuno, dengan istilah genius loci. Istilah genius loci terdiri atas dua kata, yakni loci atau dalam bahasa latin locus, yang berarti “tempat”, dan genius yang berasal dari bahasa latin, yang mempunyai arti “roh”. “Roh/ spirit” tersebutlah yang “ditempatkan” pada “lokasi/ loci/ locus” tertentu, sehingga genius loci dapat diartikan sebagai “roh tempat (spirit of place)”. (Adiyanto, 2011).

Norman Crowe (1997) menjelaskan bahwa genius loci merupakan sebuah fenomena, dimana masyarakat mempercayai bahwa tempat – tempat tertentu memiliki “roh/ jiwa” yang mendiami tempat tersebut. Roh/ jiwa tersebutlah yang mereflesikan keunikan dari tempat tersebut, sehingga membuatnya berbeda dari tempat yang lain. Roh/ jiwa inilah yang memberi makna pada tempat, menjaga, serta mengilhami tempat tersebut dengan perasaan. Tanpa kehadiran spirit of place pada suatu tempat, maka suatu tempat tidak akan memiliki makna, sehingga tidak memiliki kesan secara personal, melainkan hanya general. Dengan demikian


(27)

dapat disimpulkan bahwa genius loci merupakan cara yang digunakan oleh bangsa romawi kuno untuk menyelamatkan “spirit/ jiwa” dari suatu tempat.

Salah satu penggagas Genius Loci (Spirit of Place), John Ruskin, seorang kritikus XIX, dalam bukunya yang berjudul “Seven Lamps of Architecture” (1849) menyatakan ”Bahwa sesungguhnya keagungngan dari sebuah bangunan tidak terdapat pada batu – batuan atau bahkan emas yang melapisinya, namun keagungan tersebut adalah pada umur bangunan tersebut, serta rasa mendalam yang terkandung didalamnya, dimana dinding bangunan tersebut telah menjadi saksi dari perkembangan umat manusia”.

Tempat yang terbentuk melalui waktu, serta dari keunikan dan karakter yang khas, merupakan dasar dari sebuah bangunan dan penggunanya. Namun demikian, bangunan yang dibangun berdasarkan jiwa tempat (spirit of place), akan meningkatkan makna dari tempat tersebut, dan dapat menciptakan lingkungan yang harmonis. Dalam hal ini, “spirit/ jiwa” dari suatu tempat tercipta melalui hubungan manusia terhadap bangunan atau tempat tersebut (Alexander, 1979).

Spirit of place (jiwa tempat) sendiri merupakan sebuah konsep fenomenologi yang sulit dipahami oleh berbagai disiplin ilmu. Pendekatan konseptual dengan makna spirit tempat menekankan bahwa “spirit/ jiwa” sebuah tempat diciptakan melalui sejarah di tempat tertentu dari sebuah kota, dan membutuhkan metode pendekatan individual dalam kegiatan konservasi. (Cullen, 1961; Conzen, 1966; Sharp, 1969; Worskett, 1969).


(28)

9

Garnham (1985) berpendapat bahwa spirit of place (jiwa tempat) terbentuk dari dua aspek, yakni aspek fisik (tangible) berupa situs, bangunan, lingkungan, rute, dan benda-benda buatan manusia, serta aspek non fisik (intangible) berupa memori, narasi, dokumen tertulis, festival, acara peringatan, ritual, pengetahuan tradisional, makna, tekstur, warna, dan lain sebagainya, dimana kedua aspek tersebut saling berkaitan satu sama lainnya. Aspek tangible

berperan dalam membentuk suatu tempat, dimana aspek intangible berperan dalam memberikan “spirit” terhadap tempat tersebut (Québec Declaration, ICOMOS 2008).

Christian Norberg Schulz (1980) mengeksplorasi karakter dari sebuah tempat dan maknanya terhadap penduduk setempat. Dia menekankan bahwa sebuah tempat memiliki arti lebih dari hanya sekedar lokasi, karena setiap tempat memiliki “spirit/ jiwa” yang tidak dapat dijelaskan secara analitis atau metode ilmiah. Schulz kemudian mengusulkan sebuah metode fenomenologis untuk memahami dan menggambarkan “spirit/ jiwa” dari sebuah tempat melalui penggambaran ciri – ciri fisik dan interpretasi pengalaman manusia pada tempat tersebut.

Dari beberapa pengertian spirit of place tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fokus utama dalam pembahasan spirit of place, terdapat pada “tempat”. Dengan demikian, untuk memahami lebih dalam arti spirit of place, maka kita harus terlebih dahulu memahami arti dan konsep dari sebuah “tempat (place)” berdasarkan tinjauan fenomenologis.


(29)

Ilmu fenomenologi pertama kali diperkenalkan oleh seorang filosof berkebangsaan Jerman, bernama Edmund Gustav Aibercth Husserl (Delfgaauw, 1988). Fenomenologi merupakan sebuah filsafat yang mempelajari tentang pengalaman individu, yang mengacu pada pengalaman sehari – hari. Husserl berpendapat bahwa fenomenologi merupakan apa yang dihasilkan oleh kegiatan dan susunan kesadaran manusia.

Heidegger (1971) mengalihkan konsep fenomenologi ke arah hasil pengalaman nyata (lived experience). Tujuannya untuk membuat kajian terhadap karakter suatu objek dari “being (mengalami)”, bukan karakter dari “knowing

(menghayati)”. Dimana dengan “being (mengalami)”, kita dapat memunculkan ‘karakter” dari suatu benda/ tempat yang terbentuk dari rentetan tindakan dan kejadian.

Christian Norberg Schulz (1980) kemudian menggunakan filsafat dikemukakan oleh Heidegger sebagai dasar dalam pembuatan teori Genius Loci. Schulz menjelaskan bahwa kehidupan sehari – hari merupakan kumpulan fenomena-fenomena (kejadian) konkret yang saling berkaitan satu sama lainnya. Fenomena konkret tersebut terdiri atas hubungan antar manusia, binatang, bunga, pepohonan dan hutan, bebatuan, bumi, kayu dan air, serta kota dengan jalan dan rumah, pintu, jendela dan perabot, dan sebagainya.

Bentuk konkret dari sebuah lingkungan adalah “tempat”. Sebuah “tempat” memiliki nilai lebih dari sekedar ruang berlangsungnya tindakan dan kejadian. Tempat merupakan bagian esensial dari sebuah kehidupan. Sebuah tempat terbentuk atas kumpulan fenomena, dimana terdapat material, bentuk, tekstur, dan


(30)

11

lain sebagainya, yang kemudian membentuk “karakter”, sehingga membedakannya dari tempat lainnya.

Schulz (1980) membuat kajian terhadap struktur dari sebuah tempat, Ia mengatakan bahwa tempat terbentuk dari fenomena alami (natural) dan fenomena buatan manusia (man-made), atau yang dalam istilah konkretnya disebut lingkungan (landscape) dan pemukiman (settlement). Schulz kemudian menjelaskan konsep ruang eksensial, dan membaginya menjadi dua elemen, yakni “ruang” dan “karakter”, yang saling melengkapi satu sama lainnya.

Sebuah ruang tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung (shelter), sebuah ruang merupakan tempat (place) dimana kehidupan berlangsung. Sebuah “tempat” merupakan kumpulan “ruang” dengan “karakter” yang berbeda. Tempat inilah yang menjadi fokus pembahasan dari “genius loci (spirit of place)”. Tujuan dari ilmu arsitektur adalah untuk memvisualisasikan “spirit of place”, dimana tugas seorang arsitek adalah menciptakan tempat yang memiliki makna, sehingga mendorong manusia untuk bermukim (dwelling). Sebuah “ruang” merupakan perwujudan dari elemen tiga dimensi yang membentuk sebuah tempat, sedangkan “karakter” diwakili oleh “atmosfer”, yang merupakan elemen terpenting dari setiap tempat. Organisasi “ruang” yang sama pada tempat yang berbeda dapat memiliki “karakter” yang berbeda, tergantung pada perlakuan konkret pengguna/

users terhadap elemen ruang.

Spirit of place merupakan ilmu yang mempelajari hubungan total antara manusia dan tempat/ lingkungannya, yang diistilahkan dengan “dwelling


(31)

memahami secara mendalam kata “dwelling (bermukim)”, maka kita perlu mendalami struktur dari sebuah tempat, yakni “ruang” dan “karakter”. Christian Norberg Schulz (1980) menyebutkan ketika seseorang bermukim, maka secara simultan ia akan berlokasi pada ruang, dan secara bersamaan ia juga mengekspos/ mengungkap karakter lingkungan tersebut. Dalam hal ini, terlibat dua fungsi psikologi, yakni “orientasi” dan “identifikasi”. Untuk mendapatkan tumpuan ekstensial, maka seseorang harus dapat mengorientasikan dirinya, ia harus tahu dimana ia berada. Selain itu, seseorang tersebut juga harus mengidentifikasi dirinya dengan lingkungannya, dimana ia harus tahu bagaimana ia harus bersikap pada tempat-tempat tertentu.

Permasalahan orientasi telah menjadi fokus utama dalam teori perencanaan dan perancangan kota. Lynch (1960), menyebutkan bahwa konsep “node (tumpuan)”, “path (jalur)”, dan “district (kawasan)” merupakan struktur dasar ruang yang menjadi objek dari orientasi manusia. Hubungan dari elemen-elemen ruang inilah yang akan menjadi sistem orientasi, sehingga dapat menimbulkan “citra lingkungan”. Lynch menambahkan, citra lingkungan yang baik akan memberikan rasa aman bagi emosional manusia. Umumnya sistem orientasi tergantung pada struktur alami linkungan. Apabila sistem orientasi lemah, maka proses pembentukan citra menjadi sulit, sehingga manusia akan merasa ‘tersesat’. Rasa takut akan tersesat inilah yang mendorong manusia untuk dapat berorientasi pada lingkungannya, karena tujuan dari “bermukim” adalah memiliki rasa aman.


(32)

13

Lingkungan yang dapat melindungi manusia dari rasa tersesat diistilahkan dengan “imageability (citra)” (Lynch,1960). Imageability berarti “bentuk, warna, dan susunan” lingkungan yang dapat memfasilitasi terbentuknya proses identifikasi secara jelas. Disini Lynch mengimplikasikan bahwa elemen-elemen yang membentuk struktur ruang merupakan “benda” dengan “karakter” dan “arti” yang konkret.

Tanpa mengesampingkan akan pentingnya faktor orientasi dalam bermukim (dwelling), harus disadari bahwa bermukim (dwelling) merupakan proses bagaimana manusia mengidentifikasi lingkungan. Walaupun orientasi dan identifikasi merupakan satu faktor kesatuan, namun terdapat independensi diantara kesatuan tersebut. Seseorang dapat mengorientasikan dirinya dengan baik tanpa harus mengidentifikasikan tempat. Seseorang dapat mengetahui posisinya tanpa harus merasa seperti di rumah, serta dapat merasa seperti di rumah tanpa merasakan karakter dari tempat tersebut. Dalam masyarakat tradisional, elemen lingkungan terkecilpun diingat dan mempunyai makna bagi masyarakat. Berbeda dengan masyarakat moderen, yang lebih mementingkan fungsi praktis dari orientasi, sehingga proses identifikasi telah ditinggalkan. Hal ini berdampak pada psikologi manusia, dimana ia merasa asing di lingkungannya sendiri.

Identifikasi berarti kita mengenal atau berteman dengan “karakter” dari lingkungan tertentu. Sebagai contoh, manusia yang hidup pada bagian utara bumi, harus berteman dengan kabut, salju, dan udara dingin yang ekstrim, atau sebaliknya, warga yang tinggal di daerah Timur Tengah harus berteman dengan padang pasir dan teriknya matahari. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan


(33)

dirasakan sebagai tempat yang bermakna (meaningful). Fenomena ini diungkapkan oleh Bollnow (1956), yakni : “jede stimmung ist ubereintimmung”, yang berarti “setiap karakter terdapat penyesuaian antara outer dan inner, dan antara fisik dan pikiran.”

Berbeda dengan masyarakat moderen, proses identifikasi lingkungan bukan terhadap kondisi alam, melainkan terhadap benda-benda buatan manusia, seperti jalan, rambu-rambu, dan bangunan.

Setiap manusia memiliki sistem orientasi dan identifikasi yang berbeda, tergantung pada tempat dan struktur budaya dimana ia berada. Identifikasi dan orientasi merupakan aspek primer dari kehidupan manusia. Dimana identifikasi merupakan dasar dari rasa saling memiliki (sense of belonging), sedangkan orientasi merupakan sebuah fungsi yang membuat manusia dapat menjadi homo viator, sifat alami manusia.

“Spirit of place” sering kali dikaitkan dengan istilah “sense of place”, yang terbentuk melalui interaksi sosial, yakni hubungan dinamis antar manusia, lingkungan, budaya, dan tempat (place) yang menimbulkan rasa/ kesan (sense) terhadap suatu tempat.

Schulz (1979), mengatakan bahwa setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam membangun sense of place, tergantung pada “rona/ wajah fisik” dan “karakter ruang”. Reaksi terhadap sense of place merupakan implikasi antara atribut wajah fisik lingkungan dengan karakteristik personal. Pengalaman khusus seseorang terhadap suatu lingkungan tertentu akan mempengaruhi seseorang dalam menilai sebuah tempat.


(34)

15

Perasaan (sense) terhadap suatu tempat merupakan bagian dari keseluruhan orientasi manusia pada ruang, yakni memori dan makna, geometri dan alam, serta sejarah dan kepercayaan. Perasaan (sense) terhadap tempat tertentu tidak memiliki batas dan merupakan kesatuan dengan bagian dari bangunan tersebut. Perasaan (sense) ini merupakan dasar yang kokoh dalam menciptakan bangunan yang terbentuk sebagai wadah besar untuk menyimpan makna-makna yang berhubungan dengan pemahamannya terhadap alam dan lingkungan dimana ia berada.

Manusia akan mulai bisa memberikan nilai pada tempat yang satu dengan tempat yang lain, ketika tempat tersebut memiliki perbedaan makna. Kemampuan untuk merasakan nilai dari sebuah tempat diyakini bisa mun-cul karena tempat tersebut memiliki sense of place.

Sebuah tempat dapat terbentuk melalui mengkombinasikan berbagai bentuk dan ruang, tidak saja dinilai dari dapat memfasilitasi terpenuhinya fungsi sebagai sebuah tujuan, namun juga dinilai dari kemampuannya untuk dimaknai oleh penggunanya. Bahasa bentuk sebuah karya arsitektural dapat dikembangkan ketika bentuk tersebut memiliki kekuatan pada sentuhan emosi. Bentuk-bentuk tampilan arsitektural tertentu, akan mampu mengungkapkan makna sesuai dengan tema dan makna yang ingin disampaikan perancang melalui tampilan karya tersebut. Arsitektur yang baik, harus memiliki hubungan fungsi-bentuk-makna yang harmonis (Capon, 1999).

Proses pembentukan rasa/ kesan terhadap suatu tempat membutuhkan waktu dan juga tahapan termasuk pengalaman dari subjek atau pelakunya


(35)

(Carmona et al. 2003). Rasa (sense) terhadap suatu tempat akan terbentuk dengan parameter mampu mewadahi aktifitas penggunanya, kapasitas, fungsi, dan juga kualitas interaksi sosial.

Relph (1976), Canter (1977), Punter (1991), dan Montgomery (1998) dalam Carmona et al. (2003) menyatakan bahwa terdapat tiga unsur pembentuk tempat, yakni activity (aktivitas), form (bentuk), dan image (citra). Sebuah tempat (place) terbentuk melalui hubungan antara wajah fisik lingkungan, aktivitas dari individu maupun kelompok, serta makna yang dibentuknya. Sedangkan rasa terhadap tempat (sense of place) terbentuk melalui tiga aspek yaitu activity

(aktivitas), physical setting (bentuk fisik), dan meaning (makna). (lihat gambar 2.1.). Sense of place merupakan konsep-konsep yang memperlihatkan bagaimana hubungan antara manusia dengan tempat dan lingkungan tempat ia bermukim (dwelling), melalui hubungan kedekatan emosional, serta maknanya.

Gambar 2.1. Skema Pembentukan Tempat

Sumber : Carmona et al. (2003)


(36)

17 E lem en e le m e n pe m be n tuk T e m po a t Christian Norberg Schulz (1980)

Relph (1976), Canter (1977), Punter (1991), dan Montgomery (1998)

Garnham (1985)

1. Ruang

2. Karakter 1. Physical Setting 2. Activities 3. Meaning

1.Tangible situs, bangunan, lingkungan, rute, dan benda-benda buatan manusia

2.Intangible

memori, narasi, dokumen tertulis, festival, acara peringatan, ritual, pengetahuan tradisional, makna, tekstur, warna, dan lain sebagainya

2.3. Unsur – unsur pembentuk Spirit of Place

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa objek kajian dari spirit of place

merupakan hubungan antara manusia dengan linkungan/ tempat, yang melibatkan dua fungsi psikologi manusia, yakni “orientasi” dan “identifikasi”. Spirit of place

dapat terbentuk apabila kedua fungsi psikologi manusia ini bekerja dengan baik. Dengan kata lain, spirit of place dapat terbentuk, apabila struktur tempat terbentuk dengan baik/ sukses.

Dari penjelasan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa unsur-unsur pembentuk spirit of place terdiri dari struktur tempat berupa elemen-elemen fisik (tangible) yakni, ruang (physical setting) dan karakter (Garnham, 1985; Schulz, 1980; Relph, 1976; Canter, 1977; Punter, 1991, Montgomery, 1998), serta elemen-elemen non fisik (intangible), seperti aktivitas dan makna (Relph, 1976;


(37)

Canter, 1977; Punter, 1991, Montgomery, 1998). Dimana hubungan antar elemen-elemen tersebut yang akan membentuk “sistem orientasi dan identifikasi” yang menjadi dasar pembentukan “spirit of place”.

Tabel 2.2. Unsur Pembentuk Spirit of Place

UNSUR – UNSUR PEMBENTUK SPIRIT OF PLACE

ELEMEN TANGIBLE ELEMEN INTANGIBLE 1. Ruang (Physical Setting)

2. Karakter

1. Aktivitas 2. Makna

Berikut ini diagram (gambar 2.2) hasil rangkuman unsur teori pembentuk


(38)

19

Garnham (1985) Christian Norberg Schulz (1980)

Relph (1976), Canter (1977), Punter (1991), Dan Montgomery (1998)

1. Tangible

situs, bangunan, lingkungan, rute, dan benda-benda buatan manusia 2. Intangible memori, narasi, dokumen tertulis, festival, acara peringatan, ritual, pengetahuan tradisional, makna, tekstur, warna, dan lain sebagainya 1.Ruang Path Edges Nodes District Landmark 2.Karakter

Way build

Facade

Visualization

1. Physical Setting

Path Edges Nodes District Landmark 2. Activities

Diversity of uses Street activities Events

Open close hours

3. Meaning

Connection with cultures

Special memories Symbolic value Identity

UNSUR PEMBENTUK “SPIRIT OF PLACE”

UNSUR FISIK (TANGIBLE)

1. Ruang (Physical Setting) 2. Karakter

Gambar 2.2. Skema Kerangka Teori

TEMPAT

SPIRIT OF PLACE

SISTEM ORIENTASI & IDENTIFIKASI


(39)

2.3.1.Ruang(Physical Setting)

Tibbalds, 2001, mengatakan bahwa struktur ruang kota yang baik seharusnya memberi kemudahan bagi manusia, baik sebagai pejalan kaki, maupun pengemudi kendaraan, memberi petunjuk/ arah, dan elemen-elemen ruang ini, beserta landmark secara bersamaan membantu manusia dalam mengidentifikasi dan berorientasi dalam lingkungannya. Pemikiran Tibbalds ini sejalan dengan Lynch (1964), ia mengatakan bahwa citra lingkungan berpengaruh penting dalam proses orientasi dan identifikasi manusia terhadap tempat, dimana setiap individu memiliki gambaran mental umum terhadap ruang fisik eksterior yang berbeda.

Lynch (1960), mengemukakan lima elemen fisik ruang kota yang menjadi aspek dasar dalam orientasi dan identifikasi manusia, yakni sebagai berikut : 1) Path (jalur)

Path merupakan jalur dimana manusia bergerak. Path dapat berupa jalan-jalan, trotoar, jalur kendaraan umum, maupun kanal kereta api. Bagi sebagian orang, path merupakan elemen dominan dalam proses pembentukan citra lingkungan. Manusia mengamati kota sambil bergerak menelusuri path, dimana disepanjang path ini tertata dan terhubung dengan elemen lingkungan lainnya. Path akan memiliki citra yang lebih baik apabila memiliki ciri khas, misalnya stasiun, tugu, atau alun-alun, serta memiliki penampakan yang kuat, seperti pohon, fasade, dan sebagainya.


(40)

21

Edges merupakan elemen linear yang menjadi batas antara dua fase, sebagai titik dari kelanjutan, seperti pantai, dinding, rel kereta api, pembatas bangunan, dan sebagainya. Edges dapat berupa penghalang, tidak dapat dilewati, mengunci satu wilayah dari wilayah yang lain, ataupun dapat hanya berupa garis yang membedakan antara dua wilayah yang berbeda. Elemen ini bagi sebagian orang penting karena mengorganisasikan kota.

3) Districts (kawasan)

Districts merupakan bagian dari ruang kota yang memiliki karakter atau aktivitas khusus, yang mudah dikenali oleh manusia. District memiliki pola dan wujud yang khas, begitu juga pada batasnya, sehingga orang akan tahu dimana kawasan tersebut berawal dan berakhir. District memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda dengan kawasan sekitarnya. District akan mempunyai citra yang lebih baik apabila batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya, dan homogen, serta fungsi, dan komposisinya jelas. Sebagai contoh, kawasan perdagangan, permukiman, pusat kota, dan lain sebagainya.

4) Nodes (simpul)

Nodes merupakan simpul atau lingkaran. Nodes merupakan titik strategis pada kota, dimana seorang pengamat dapat masuk kedalamnya, merupakan titik acuan dari mana dan kemana ia akan bepergian. Nodes dapat menjadi fungsi penting, tempat pemberhentian transportasi, persimpangan atau pemusatan dari jalan-jalan, maupun peralihan dari suatu struktur ke


(41)

struktur lain. Nodes juga dapat berupa konsentrasi dari beberapa fungsi atau karakter fisik, seperti sudut jalan tempat nongkrong ataupun sebuah ruang tertutup. Nodes dapat menjadi fokus atau lambang dari sebuah

district/ kawasan. Dalam hal ini nodes juga dapat disebut sebagai inti.

5) Landmark (penanda)

Landmark merupakan titik acuan, yang bersifat eksternal, dimana manusia tidak dapat masuk kedalam. Stankiewiez & Kalia (2007) mengartikan

landmark sebagai sebuah fitur unik yang berda di suatu lingkungan yang mudah diingat dan berperan sebagai penunjuk arah secara mental terhadap berbagai lokasi di suatu lingkungan yang menegaskan hubungan peta kognnitif alam. Landmark memiliki daya tarik visual dengan sifat penempatan yang dapat menarik perhatian. Biasanya landmark memiliki bentuk yang unik serta skala yang menonjol dalam sebuah lingkungan.

Landmark merupakan elemen penting dari sebuah kota, karena membantuk manusia mengidentifikasi sebuah lingkungan.

2.3.2.Karakter

“Karakter” merupakan konsep yang lebih umum dan konkret daripada “ruang”. Disatu sisi, “karakter” menunjukkan atmosfer secara keseluruhan. Namun pada sisi lainnya “karakter” juga menunjukkan bentuk konkret dalam mendefinisikan substansi elemen pembentuk ruang.

Schulz (1980) telah menjelaskan bahwa aktifitas yang berbeda membutuhkan tempat dengan karakter yang berbeda pula. Layaknya sebuah rumah harus memiliki karakter “aman”, kantor dengan karakter “praktis”,


(42)

23

ballroom dengan karakter “meriah”, dan tempat ibadah dengan karakter “khidmat”. Sama halnya ketika kita pertama kali mengunjungi sebuah kota, kita akan disapa oleh karakter khusus kota tersebut, yang kesannya akan melekat pada ingatan kita.

Demikian halnya dengan tempat. Karakter sebuah tempat dapat ditentukan oleh material, dan kondisi lingkungan sekitar, seperti keadaan tanah, langit, maupun kondisi pembatas-pembatas yang membentuk tempat. Bagaimana kondisi pembatas-pembatas tersebut tergantung pada bagaimana cara pembatas tersebut “dibangun (waybuild)”. Dari sudut pandang tersebut, kita akan menilai bagaimana elemen tersebut duduk pada tanah (ground) dan bagaimana ia menjulang terhadap langit (sky). Waybuild suatu tempat dapat ditinjau dari ketinggian bangunan-bangunan yang berada pada tempat tersebut. Ketinggian bangunan-bangunan-bangunan-bangunan pada suatu kawasan akan membentuk garis langit (skyline) yang dapat mencerminkan karakteristik dari kawasan tersebut secara makro (Lukic, 2011).

Batas-batas lateral atau dinding suatu kawasan juga memberikan kontribusi besar dalam menentukan karakter ruang kota. Menanggapi hal tersebut, Robbert Venturi (1967), mengungkapkan elemen penting lain yang dapat mempengaruhi karakter kota, yakni “fasade (facade)”. Moughtin (2003) mengatakan bahwa fasade merupakan salah satu elemen penting yang dapat memberikan pengalaman visual bagi pengamat. Sekelompok bangunan pada tempat tertentu, dapat membentuk suatu motif sendiri, dari tipe jendela, pintu, maupun atapnya. Motif tersebut dapat menjadi sebuah karakter yang membedakannya dengan tempat lain. Fasade sekelompok bangunan dapat dinilai kualitasnya berdasarkan 6 komponen,


(43)

yakni kesatuan (unity), proporsi (proportion), skala (scale), kontras (contrast), keseimbangan (balance), dan ritem (rhythm) (Moughtin, 1995:3).

Karakter tempat juga terbangun dari bagaimana elemen-elemen bangunan disusun secara “teknis”. Manusia membangun tempat dengan memvisualisasikan (visualization) alam, dengan membangun apa yang dilihatnya. Manusia akan membangun suatu “pelingkup (enclosure)” apabila alam menunjukkan ruang yang terbatas, manusia akan membangun “mall”, apabila alam menunjukkan terpusat (centralized), manusia akan membangun “jalur (Path)”, apabila alam menunjukkan arah (direction). Yang kedua, untuk melengkapi situasi alam, manusia akan membangun pelengkap (compliment). Dan yang terakhir manusia akan membangun simbolisasi (symbolization), sebagai pemahamannya terhadap alam. Ketiga hubungan manusia dengan alam tersebut mengimplikasi bahwa manusia “mengumpulkan (gather)” pengalaman mereka untuk menciptakan “karakter” mereka.


(44)

25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendahuluan

Pada Bab Metodologi Penelitian ini akan dibahas mengenai mekanisme dan bagaimana alur penelitian ini akan dilaksanakan. Adapun bagian-bagian yang akan dijelaskan pada bab ini antara lain jenis penelitian yang akan digunakan, variabel apakah yang akan digunakan untuk meneliti, populasi dan sampel penelitian, data dan hasil observasi kawasan kajian, dan metode apakah yang akan digunakan untuk menganalisa data.

3.2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan memadukan dua pendekatan, yakni secara kualitatif dan kuantitatif. Dalam penelitian ini peneliti akan melakukan penelitian mendalam terhadap objek penelitian secara langsung, yakni “Kampung Madras”, mempelajari sejarah terbentuknya, mengkaji perspektif masyarakat terhadap objek penelitian, yang kemudian diolah dan dianalisis berdasarkan fakta untuk mendapatkan konsep dan kesimpulan secara deskriptif.

Penelitian campuran (mix method) ini dipilih agar peneliti dapat menghasilkan fakta yang lebih komprehensif. Menurut Abbas (2010), penelitian

mix method merupakan merupakan metode penelitian yang menggabungkan dua pendekatan, yakni kualitatif dan kuantitatif dalam hal metodologi dan semua tahapan kajian terhadap proses penelitian. Adapun strategi metode penelitian mix method yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi


(45)

variabel-variabel penelitian melalui analisis data kuantitatif, lalu kemudian mengumpulkan data kualitatif guna memperluas informasi yang telah dikumpulkan (Abbas, 2010). Tujuan penelitian mix method ini adalah untuk saling melengkapi gambaran hasil studi mengenai fenomena yang diteliti, serta memperkuat analisis penelitian.

Untuk pemaparan hasil penelitian, peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif, dimana peneliti akan menyajikan gambaran lengkap mengenai kondisi fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan, dengan mendeskripsikan variabel-variabel yang berkenaan dengan masalah atau fenomena yang diteliti dalam bentuk uraian kata-kata (deskripsi).

Menurut Jalaluddin Rakhmat (2000:25), penelitian deskriptif bertujuan untuk :

1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci, yang dapat menggambarkan gejala yang ada;

2. Mengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi fenomena-fenomena yang terjadi;

3. Membuat perbandingan atau evaluasi;

4. Menganalisis bagaimana cara orang lain menghadapi dan menyelesaikan masalah.

3.3. Variabel Penelitian

Pada penelitian ini peneliti menetapkan dasar variabel penelitian yang mengacu pada teori spirit of place. Kampung Madras yang menjadi objek penelitian merupakan sebuah kampung kota yang memiliki “spirit/roh” yang


(46)

27

merefleksikan keunikannya. “Spirit/ roh” Kampung Madras ini memberi makna tersendiri bagi kota Medan dan telah menjadi identitas (identity), yang tidak dapat disingkirkan begitu saja.

Dalam “spirit of place” melibatkan dua fungsi psikologi manusia, yakni orientasi (orientation) dan identifikasi (identification). Kedua fungsi psikologi manusia ini dapat berfungsi dengan baik, apabila kualitas “tempat” yang menjadi objek kajian utama “spirit of place” ini juga baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel yang akan diteliti pada objek kajian “spirit of place” ini adalah elemen-elemen fisik pembentuk tempat di kawasan Kampung Madras, yakni “ruang” dan “karakter”.

Tabel 3.1. Variabel Penelitian

TINJAUAN TEORI

VARIABEL PENELITIAN

INDIKATOR ELEMEN TINJAUAN METODE ANALISA Spirit of Place Garnham, 1985; Schulz, 1980; Relph, 1976; Canter, 1977; Punter, 1991; Montgomer y, 1998

Ruang (Physical Setting)

Path (jalur) •Bagaimana penataan elemen-elemen lingkungan di sepanjang Path (jalur) kawasan kajian; •Apakah yang

menjadi ciri khas Path (jalur) disepanjang kawasan kajian? •Observasi •Kuesioner

Edges (batas) • Apa saja yang menjadi Edges (batas) kawasan kajian; Nodes (simpul) •Dimanakah Nodes (simpul)


(47)

aktivitas masyarakat District (kawasan) •Apakah pembagian District (kawasan) di kawasan kajian jelas?; •Adakah ciri

khusus yang membedakan pembagian District di kawasan kajian? Landmark

(penanda)

•Bangunan apa yang menjadi Landmark (penanda) kawasan?; •Apakah letak

dari Landmark tersebut telah tepat? Karakter Cara

membangun (build)

•Bagaimana bangunan duduk secara horizontal (ground); •Menjulang

secara vertikal (sky)

•Observasi • Kuesioner

Fasade (facades)

•Elemen (jendela, pintu, atap) yang membentuk motif/ karakter Visualisasi

(visualization)

•Pelingkup (enclosure) •Pelengkap

(compliment) •Simbolisasi


(48)

29

3.4. Populasi dan Sampel 3.4.1.Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi, yang terdiri atas subjek dan objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu. Karakteristik ini yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari lebih lanjut dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiono, 2008:115).

Dalam penelitian “Kajian Spirit of Place Kampung Madras” ini, peneliti menggunakan pendekatan mix method, dimana peneliti akan mengambil sejumlah sampel dari populasi penduduk Kelurahan Madras Hulu dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang utama. Selain metode penyebaran kuesioner, peneliti juga akan melakukan wawancara terhadap beberapa ahli, untuk memperoleh data sejarah kawasan.

Populasi penelitian adalah seluruh penduduk di Kelurahan Madras Hulu, beserta pedagang maupun pengunjung yang berinteraksi langsung di Kampung Madras. Adapun jumlah populasi penduduk di Kelurahan Madras Hulu adalah sebesar 2.785 jiwa (data BPS Kota Medan, 2012).

3.4.2.Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah populasi dan karakteristik dari populasi penelitian (Sugiono, 2008:116). Jumlah sampel yang diambil atau ukuran sampel merupakan persoalan penting, apalagi bagi penelitian yang mengutamakan analisis kuantitatif.

Singarimbun dan Efendy (1989) menyatakan besaran sampel dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain derajat keseragaman, rencana analisis, biaya,


(49)

waktu, dan sumber daya yang tersedia. Semakin beragam sifat dan karaker elemen populasi, maka semakin banyak sampel yang harus diambil.

Roscoe (1975) dalam Uma Sekaran (1992) menyatakan pedoman penentuan jumlah sampel penelitian sebagai berikut :

1. Ukuran sampel yang layak antara 30 s/d 500 sampel

2. Jika sampel dibagi lagi ke dalam subsampel (gender, tingkat pendidikan, dsb), maka jumlah minimum per subsampel adalah 30 sampel. 3. Pada penelitian multivarian, ukuran sampel harus lebih besar (10 kali) dari

jumlah variabel yang akan dianalisis.

4. Pada penelitian eksperimen sederhana, dengan pengendalian ketat, ukuran sampel antara 10 s/d 20 sampel.

Slovin (dalam Umar 2004:108), menentukan cara mengambil ukuran sampel suatu populasi dengan formula sebagai berikut :

n = N/ [N.(d)2 +1] keterangan :

n = ukuran sampel N = jumlah populasi

d = tingkat toleransi ketidaktelitian

Rumus Slovin tersebutlah yang menjadi acuan peneliti dalam menentukan ukuran sampel yang akan diambil. Adapun tingkat toleransi ketidaktelitian dalam pengambilan sampel ditetapkan peneliti sebesar 10% (0,1), dengan rincian sebagai berikut :


(50)

31

= 96,53 orang≈ digenapkan menjadi 100 orang

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah random sampling, mengingat keterbatasan waktu dan tenaga dalam penyelesaian penelitan. Yang dimaksud dengan random sampling adalah teknik pengambilan sampel dimana setiap anggota populasi memiliki probabilitas yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Sugiono, 2011:68).

Adapun sampel dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi 2 jenis menurut fungsinya (Ujang, 2009) :

1. Sampel Statis (Static Users), yakni mereka yang secara simultan berinteraksi pada kawasan kajian. Orang-orang tersebut berada tetap pada bangunan atau tempat kerja yang sama. Yang termasuk sampel statis pada penelitian ini antara lain, warga Kp. Madras, pemilik toko, pekerja, pedagang, maupun pelajar yang bersekolah di dalam kawasan kajian.

2. Sampel Bergerak (Mobile Users), yaitu mereka yang tidak tergantung pada kawasan kajian, dan berada pada kawasan kajian sebagai pihak yang berpindah-pindah. Yang termasuk sampel bergerak pada penelitian ini antara lain, pengunjung, maupun wisatawan.

3.5. Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan 2 metode pengumpulan data, yakni sebagai berikut :

1. Field Research (penelitian lapangan), pengumpulan data primer. Metode penelitian lapangan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu : a. Observasi


(51)

Menurut Sanafiah Faisal (1990), observasi adalah metode pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap suatu benda, kondisi atau situasi, dan proses atau perilaku.

b. Kuesioner/ angket

Kuesioner/ angket merupakan instrumen penelitian yang berisi seperangkat pertanyaan mengenai objek penelitian untuk ditujukan kepada responden. Pada penelitian ini peneliti menggunakan jenis kuesioner tertutup (peneliti menyediakan pilihan jawaban).

2. Literature Research (penelitian kepustakaan), pengumpulan data sekunder.

Peneliti mengumpulkan semua informasi penting dari buku – buku atau sumber – sumber yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti pada objek penelitian.

3.6. Kawasan Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan pada kawasan Kampung Madras, yang terletak di Kelurahan Madras Hulu, Kecamatan Medan Polonia, Kota Medan (gambar 3.1). Peneliti memilih Kampung Madras sebagai objek penelitian terhadap spirit of place dengan pertimbangan kawasan ini memiliki “spirit/ jiwa” yang mampu memberikan “collective memory” bagi penduduk sekitar maupun masyarakat Kota Medan. Kawasan Kampung Madras ini juga telah menjadi

Landmark dari kota Medan. Oleh sebab itu, peneliti memilih lokasi ini untuk mengkaji unsur-unsur pembentuk spirit of place kawasan ini, agar identitas dari Kampung Madras dapat dipertahankan.


(52)

33

Provinsi Sumatera Utara

Kelurahan Madras Hulu

Gambar 3.1. Peta Lokasi Penelitian (sumber : www.google.com; cad Kota Medan) 3.6.1.Sejarah Kedatangan Suku Tamil di Kota Medan

Jejak kedatangan bangsa India di Provinsi Sumatera Utara telah terekam dalam sebuah prasasti yang dibuat pada tahun 1010 Saka atau 1088 M, yang


(53)

mencatat tentang perkumpulan pedagang suku Tamil di kota Barus, yang ditemukan pada tahun 1873 di situs Lobu Tua (Barus), yakni sebuah perkampungan purba di pinggir pantai Samudera Hindia (Y. Subbarayalu, 2002).

Namun kedatangan bangsa India, khususnya suku bangsa Tamil secara besar-besaran dan hingga saat ini menetap dan membentuk komunitas sendiri di berbagai wilayah di Sumatera Timur, khususnya Kota Medan baru terjadi pada pertengahan abad ke-19, tepatnya pada masa pemerintahan Hindia Belanda, yakni sejak dibukanya industri perkebunan tembakau di Tanah Deli (Lubis, 2005). Tercatat dalam Badan Warisan Sumatera (BWS), rombongan pertama suku bangsa Tamil yang datang ke Kota Medan berjumlah sebanyak 25 orang, tepatnya pada tahun 1873 (Rehulina, 2010).

Para kuli Tamil tersebut dipekerjakan oleh Nienhuys, yaitu seorang pengusaha Belanda di bidang perkebunan tembakau yang terkenal dengan nama tembakau Deli. Hasil dari perkebunan tembakau inilah yang mengantarkan tanah Deli menjadi termahsyur di dunia internasional, hingga pada akhirnya diberi julukan “Tanah Sejuta Dollar”. Semenjak saat tersebut, semakin banyak buruh dan tenaga kerja yang didatangkan dari India untuk dipekerjakan di Tanah Deli sebagai buruh perkebunan, supir, penjaga malam, penarik kereta lembu, maupun untuk membangun jalan dan waduk (Lubis, 2005).

Selain mengadu nasib menjadi kuli perkebunan, juga banyak imigran asal India yang datang ke Sumatera Timur untuk tujuan berdagang, antara lain imigran yang berasal dari India Selatan (Tamil Muslim), serta bangsa Bombay dan


(54)

35

Punjabi. Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Kota Medan mendorong banyaknya imigran asal India yang tergiur untuk berpartisipasi dalam memajukan berbagai sektor usaha yang sedang berkembang di kota ini (A. Mani, 1980:58). Seperti kaum “Chettiars” atau “Chettis”, yang berprofesi sebagai pengurup uang, pedagang, dan juga pengusaha kecil; kaum “Vellalars” dan “Mudialars”, yang berasal dari kasta petani yang juga terlibat dalam usaha perdagangan; kaum “Sikh” dan juga orang-orang yang berasal dari wilayah Uttar Pradesh. Namun masyarakat lokal umumnya tidak mengenali perbedaan antar kaum-kaum imigran India ini.

Masyarakat Kota Medan mempunyai banyak istilah yang digunakan untuk memanggil warga keturunan India ini. Sebagian orang ada yang memanggil dengan istilah “keling” atau “chulia”, selain itu juga ada yang memanggilnya dengan istilah “benggali” untuk menyebut mereka yang sesungguhnya penganut agama Sikh. Selain dari istilah-istilah tersebut di atas, umumnya masyarakat memakai istilah orang “bombai”.

Saat pemerintah Belanda membuka cabang De Jawasche Bank di Medan, sejumlah Sikh dipekerjakan sebagai penjaga pada tahun 1879. Melihat situasi dan kesempatan ekonomi yang baik di kota Medan, beberapa Sikh membuka usaha peternakan lembu untuk meningkatkan permintaan pasokan susu dari Belanda. Banyak sikh yang sukses pada bidang ini, hingga sekarang masyarakat keturunan India terkenal sebagai produsen susu sapi murni.

Saat ini, tidak terdapat data signifikan mengenai jumlah warga keturunan India di kota Medan, mengingat sensus penduduk di kota Medan tidak lagi


(55)

memakai katergori etnik semenjak tahun 1930. A. Mani (1980) menyebutkan bahwa pada tahun 1930 terdapat kurang lebih 5000 orang kaum sikh di Sumatera Utara. Sementara pada tahun 1986, jumlah bangsa Tamil di Kota Medan diperkirakan telah mencapai 30.000 jiwa (Napitupulu, 1992).

Kedatangan suku bangsa Tamil sejak masa penjajahan kolonial Belanda telah melahirkan suatu multikulturalisme pada masyarakat Sumatera Utara, khususnya kota Medan. Komunitas India Tamil telah hadir dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam perkembangan kebudayaan di Nusantara sejak beberapa abad yang lalu, terutama sebagian masyarakat Pulau Sumatera. Seiring dengan proses migrasi tersebut, juga terjadilah proses difusi kebudayaan, akulturasi dan juga asimilasi. Kisah kehadiran satu kaum di tengah-tengah kaum lain sebagai akibat dari gerak migrasi penduduk sudah lama menjadi perhatian dan bahan kajian kalangan ilmuwan sosial. Di kota Medan sendiri, mereka hidup dalam keseharian dan melebur dengan masyarakat setempat. Terdapat sebuah tempat dimana mereka beraktifitas, hidup dan berkembang seiring dengan perkembangan kota Medan.

3.6.2.Sejarah Terbentuknya Kampung Madras

Pada masa kolonial, bangsa Tamil umumnya bermukim di lokasi-lokasi sekitar perkebunan yang berada di Kota Medan dan Sumatera Timur. Namun semenjak kemerdekaan, mereka kebanyakan bermukim di wilayah pusat kota. Komunitas Tamil terbanyak dapat ditemukan di kota Medan, kota Binjai, kota Lubuk Pakam, serta kota Tebing Tinggi.


(56)

37

Kampung Madras adalah salah satu pemukiman warga etnis Tamil yang tertua di Kota Medan. Kampung Madras terletak pada kawasan bisnis Jl. K.H. Zainul Arifin, yang pada zaman dahulu bernama Jl. Calcutta. Lokasi dari perkampungan etnis India ini berada di pinggiran Sungai Babura, yakni sungai yang membelah kota Medan, serta merupakan jalur utama transportasi air pada masa lampau. Perkampungan dengan luas kurang lebih 10 hektar ini lebih akbrab di masyarakat kota Medan dengan sebutan “Kampung Keling”.

Dahulunya Kampung Madras ini merupakan lahan liar yang tidak berpenghuni. Namun seiiring dengan berkembang pesatnya perkembangan perkebunan tembakau di Tanah Deli, maka di kota Medan pun turut dibuka beberapa daerah perkebunan baru, sehingga munculnya perkampungan-perkampungan baru di sekitar daerah perkebunan tersebut. Kampung Madras mulai terbentuk ketika pemerintah Belanda merasa puas dengan hasil kerja para kuli Tamil dengan dibangunnya Kuil Shri Mahriamman sebagai tempat ibadah bagi kuli-kuli Tamil yang beragama Hindu. Kuil inilah yang menjadi kuil hindu pertama di kota Medan. Selain itu, pemerintah Belanda juga menghadiahkan sebidang tanah di sekitar kuil kepada kuli Tamil yang menikah sebagai tempat tinggalnya. Dan akhirnya kawasan ini pun berkembang menjadi perkampungan bagi warga etnis Tamil, yang pada akhirnya di kenal dengan nama “Kampung Keling” (Utami, 2008).

Setelah kemerdekaan, banyak warga Tamil yang kembali ke kampung halamannya, dan menjual tanah mereka kepada orang-orang pribumi. Namun, juga masih banyak warga Tamil yang bertahan, karena alasan ekonomi yang


(57)

maju, dan juga adanya ikatan pernikahan. Semenjak saat tersebut, mulailah terjadi pembauran etnis di Kampung Madras. Kampung Madras yang sampai saat ini masih bertahan antara lain yang terletak pada Jl. K.H. Zainul Arifin dan juga sekitar Jalan Teuku Umar (Utami, 2008). Kampung Madras ini memiliki akses langsung dengan pusat kota Medan, yakni kawasan Kesawan, yang hanya berjarak 1 km. Batas akhir dari Kampung Madras adalah Sungai Babura. Kampung Madras ini termasuk kedalam Kelurahan Madras Hulu, Kecamatan Medan Polonia.

Pada tahun 2008 Pemko Medan resmi mengesahkan nama “Kampung Madras” menggantikan “Kampung Keling”. Hal ini disebabkan oleh kata “keling” yang berkonotasi menghina dan ditujukan kepada orang yang memiliki kulit gelap. Pada awalnya kata keling berawal dari kata “klings”, yang merupakan panggilan dari orang Belanda terhadap imigran asal India yang datang ke Indonesia (Utami, 2008).

3.6.3.Observasi “Spirit of Place” Terhadap Ruang di Kampung Madras 3.6.3.1. Observasi Path (jalur)

Path (jalur) merupakan salah satu elemen kota yang penting dalam membentuk citra (kesan) seseorang terhadap suatu tempat (Lynch, 1960). Path

berperan penting karena Path menghubungkan seseorang dengan elemen-elemen lingkungan lainnya. Lynch (1960) juga mengatakan, sebuah Path akan memiliki citra yang baik apabila Path tersebut memiliki ciri khas (imageable).

Berdasarkan hasil observasi, peneliti mengidentifikasi bahwa jalur/ jalan yang paling berkesan (imageable) atau memiliki spirit pada kawasan Kampung Madras antara lain sebagai berikut :


(58)

39

i. Jl. K.H. Zainul Arifin

Koridor Jl. K.H. Zainul Arifin (gambar 3.3) memiliki spirit tinggi karena kawasan ini merupakan pusat bisnis dari Kampung Madras. Jalan ini merupakan akses utama menuju kawasan Kampung Madras. Disepanjang jalan ini terdapat ratusan pertokoaan, mulai dari menjual baju, perabot, sampai dengan makanan. Dengan menyusuri jalan ini, pengunjung dapat merasakan atmosfir seperti berada di kota India. Di jalan ini juga terdapat bangunan bersejarah, yakni, Kuil Shri Mahriamman, yang merupakan kuil Hindu pertama di Kampung Madras. Selain itu, jalan ini juga memiliki aktivitas unik, yakni banyaknya warga etnis tamil yang berjualan kembang api disepanjang jalan (gambar 3.2).

keyplan

Gambar 3.2. Jl. K.H. Zainul Arifin (kiri), Pedagang kembang api (kanan)

ii. Jl. Diponegoro

Jl. Diponegoro memiliki kesan yang baik, karena kawasan ini merupakan pusat pemerintahan kota Medan. dimana pada jalan ini terdapat banyak kantor pemerintahan, salah satunya Kantor Gubernur Sumatera Utara dan Kantor Kementrian Keuangan RI (gambar 3.3).


(59)

keyplan

Gambar 3.3. Kantor Pemerintahan di Jl. Diponegoro iii. Jl. Jenderal Sudirman

Jl. Jenderal Sudirman ini identik dengan kawasan elitnya kota Medan. Dimana disepanjang jalan ini terdapat banyak bangunan-bangunan elite dan megah, baik yang berfungsi sebagai perkantoran, maupun untuk hunian (gambar 3.4).

keyplan

Gambar 3.4. Bangunan elit di sepanjang Jl. Jenderal Sudirman iv. Jl. Pagaruyung

Jl. Pagaruyung (gambar 3.5) merupakan salah satu jalan yang menjadi identitas dari Kampung Madras. Jalan ini terkenal dengan pusat jajanan kulinernya yang telah berdiri sejak tahun 1990-an, dengan nama “Kuliner Pagaruyung”, yang berlokasi disepanjang jalan tersebut. Jalan ini sangat ramai dikunjungi oleh warga maupun wisatawan pada malam hari, karena terdapat puluhan stand penjual makanan disana.


(60)

41

keyplan

Gambar 3.5. Jl. Pagaruyung v. Jl. T. Cik Di Tiro

Jl. T. Cik Di Tiro memiliki kesan khusus, karena di sepanjang jalan ini terdapat banyak restoran yang menjual makanan khas India. Selain restoran, juga banyak toko-toko yang menjual pernak-pernik khas yang diimpor langsung dari India (gambar 3.6).

keyplan

Gambar 3.6. Toko Khas India Jl. T. Cik Di Tiro

Dari segi sirkulasi, peneliti melihat bahwa sistem sirkulasi di kawasan ini sangat buruk. Padatnya aktivitas warga di kawasan ini membuat kawasan ini sering macet pada jam-jam tertentu. Dari pemetaan berdasarkan hasil observasi (gambar 3.7) dapat dilihat bahwa hampir keseluruhan kawasan Kampung Madras macet. Titik-titik kemacetan terlihat pada hampir seluruh jalan utama kawasan.


(61)

Gambar 3.7. Peta titik kemacetan di kawasan Kp. Madras

Hal ini disebabkan oleh kondisi lebar jalan yang tidak memadai untuk mendukung aktivitas warga. Apalagi banyak kendaraan yang sembarangan memarkirkan kendaraannya di bahu jalan semakin mempersempit badan jalan dan memperparah arus sirkulasi di kawasan ini. (gambar 3.8.)


(62)

43

segmen A3 (kiri); segmen C1 (kanan)

Dari segi jalur pejalan kaki/ pedestrian di kawasan ini tidak terlalu baik. Apabila dilihat dari gambar 3.9, terlihat bahwa sebagian jalur pedestrian di kawasan ini masih bermasalah, namun sebagian lagi sudah cukup baik.

Gambar 3.9. Diagram kondisi Jalur Pedestrian di Kampung Madras Kondisi jalur pejalan kaki pada koridor jalan Jendral Sudirman, jalan Diponegoro, dan jalan Imam Bonjol sudah baik. Pedestrian dengan lebar rata-rata 2 meter ini bebas dari gangguan yang dapat mengganggu kenyamanan pejalan

4

5 1a

1b

3

2

Jl. Diponegoro

Jl. Imam Bonjol

Jl. Jend. Sudirman Jl. K.H. Zainul Arifin

Jl. T. Cik Di Tiro

Jl. Kediri


(63)

kaki (gambar 3.9, foto 4-6). Selain itu pedestrian di kawasan ini juga sangat teduh, karena terdapat vegetasi yang baik (gambar 3.10.).

Gambar 3.10. Potongan Jalan Diponegoro, Jl. Imam Bonjol, Jl. Sudirman Pada koridor utama yakni Jl. K.H. Zainul Arifin tidak tersedia jalur pedestrian yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki. Jalur pedestrian yang seharusnya menjadi hak pejalan kaki, malah beralih fungsi menjadi tempat berjualan Pedagang Kaki Lima (PKL) serta tempat parkir bagi kendaraan bermotor (gambar 3.9, foto 1a, 1b). Hal ini tentunya sangat mengganggu kenyamanan pejalan kaki, yang terpaksa harus berjalan di bahu jalan. Padahal dari segi lebar, pedestrian di koridor ini sudah cukup baik, yakni memiliki lebar 3 meter (gambar 3.11.).


(64)

45

Apalagi pada jalan-jalan kecil, seperti Jl. T. Cik Di Tiro, Jl. Jenggala, Jl. Kediri dan sebagainya, bahkan tidak terdapat lagi jalur pejalan kaki khusus (gambar 3.12), karena kondisi jalan yang terlalu sempit, ditambah lagi dengan parkir kendaraan di bahu jalan, sehingga pejalan kaki mau tidak mau harus berjalan di badan jalan. (gambar 3.9, foto 2, 3)

Gambar 3.12. Potongan Jalan kecil

Perletakan papan-papan reklame yang semrawut semakin menurunkan citra visual dari kawasan Kampung Madras ini. Kondisi terparah dapat dilihat disepanjang koridor Jl. K.H. Zainul Arifin, papan-papan tanda dan reklame dengan berbagai ukuran hampir menutupi fasade bangunan-bangunan disana. Tidak adanya peraturan ketat yang membatasi ukuran papan reklame yang diperbolehkan membuat masyarakat seakan berlomba-lomba untuk membuat papan tanda yang lebih besar untuk menonjolkan identitas tokonya (gambar 3.13). Hal ini tentunya dapat mengakibatkan menurunnya kualitas estetika visual kawasan.


(65)

Gambar 3.13. Kesemrawutan penataan papan tanda dan reklame di kawasan Kp. Madras

Namun dari segi aksesibilitas/ kemudahan menjangkau kawasan ini, tergolong sangat baik, karena jalan-jalan di kawasan Kampung Madras ini terhubung satu sama lainnya, dari jalan-jalan arteri seperti Jl. K.H. Zainul Arifin, Jl. Diponegoro, Jl. Sudirman, Jl. Imam Bonjol, sampai ke jalan-jalan lingkungannya. Sehingga kita dapat berorientasi dengan baik di kawasan ini (gambar 3.14).

Gambar 3.14. Peta Kelurahan Madras Hulu


(66)

47

3.6.3.2. Observasi Edges (batas)

Edges (tepian) merupakan suatu elemen linear yang membedakan antara dua fase kegiatan. Elemen ini berperan penting karena dapat menentukan apakah pengorganisasian kota baik atau tidak (Lynch, 1960).

Berdasarkan hasil observasi terhadap elemen Edges di kawasan Kampung Madras ini, dapat dilihat bahwa kawasan ini telah terorganisir dengan baik dan jelas.

Koridor Jl. K.H. Zainul Arifin merupakan batas utara Kampung Madras,

Edges ini dapat diidentifikasi dengan baik, karena memiliki kegiatan khusus, yakni berupa kawasan perdagangan dan jasa.

Pada sisi barat Kampung Madras dibatasi dengan Sungai Babura. Sungai babura merupakan pembatas antara Kecamatan Medan Polonia dengan Kecamatan Medan Petisah. Sungai Babura ini memiliki sejarah penting, karena merupakan jalur utama perdagangan dan transportasi air pada masa lampau. Sungai babura merupakan batas akhir, serta awal dimulainya Kampung Madras. Jembatan Tjong Yong Hian atau jembatan kebajikan merupakan penghubung antara kedua kecamatan ini (gambar 3.15, foto 1).

Sisi timur Kampung Madras dibatasi dengan Jl. Imam Bonjol, dimana jalan ini menghubungkan antara Kelurahan Madras Hulu dengan Kelurahan Suka Damai. Jl. Imam Bonjol ini merupakan kawasan komersil. Batas awal Jl. Imam


(67)

Bonjol ini tandai dengan bangunan Bank Sumut, dan batas akhirnya ditandai dengan bundaran air mancur Bank Mandiri (gambar 3.15, foto 2,4)

Sedangkan pada sisi selatan Kampung Madras dibatasi oleh Jl. Jenderal Sudirman. Batas awal Jl. Jenderal Sudirman ini ditandai dengan taman kota Beringin, dan juga berakhir pada bundaran air mancur Bank Mandiri (gambar 3.15, foto 3,4) .

Gambar 3.15. Peta Edges Kampung Madras 3.6.3.3. Observasi District (kawasan)

Berdasarkan hasil observasi, peneliti melihat bahwa pembagian kawasan di Kampung Madras ini terorganisasi dengan baik dan jelas, dapat dilihat pada peta pembagian kawasan pada gambar 3.16. District (kawasan) di Kampung Madras

U

1. Jembatan Tjong Yong

3. Taman Beringin

2.Bank Sumut


(68)

49

ini memiliki identitas yang jelas dari segi bentuk bangunan yang homogen, serta memiliki fungsi yang jelas. Hal ini sejalan dengan pemikiran Lynch (1960) yang mengatakan bahwa sebuah District (kawasan) harus mempunyai identitas yang baik, tampilan, serta fungsi yang jelas. Citra dari District (kawasan) ini tidak boleh hilang, karena hal ini dapat mengakibatkan mengaburnya citra kawasan secara keseluruhan.

keterangan :

1.Kawasan Perdagangan dan Jasa

2.Kawasan Komersil 3.Kawasan Fasilitas Umum 4.Kawasan Permukiman

Kepadatan Tinggi 5.Kawasan Permukiman

Kepadatan Sedang 6.Kawasan Permukiman

Kepadatan Jarang

Gambar 3.16. Peta Pembagian District Kelurahan Madras Hulu i. Kawasan Perdagangan dan Jasa

Kawasan yang ditandai dengan warna merah pada peta di atas (gambar 3.16) merupakan kawasan perdagangan dan jasa. Kawasan ini meliputi sebagian koridor Jl. K.H. Zainul Arifin yang dimulai dari persimpangan Jl. Diponegoro dan berakhir pada Jembatan Tjong Yong Hian, Jl. T. Cik Di Tiro, Jl. Teuku Umar, Jl. Jenggala, Jl. Kediri, serta Jl. Muara Takus.


(1)

SP. JL. K.H. ZAINUL ARIFIN

DAN Jl. DIPONEGORO JEMBATAN TJONG YONG HIAN

BUNDARAN AIR MANCUR

SUDIRMAN TAMAN BERINGIN

ELEMEN TINJAUAN 1

SANGAT TIDAK SETUJU

2

TIDAK SETUJU

3

TIDAK PASTI

4

SETUJU

5

SANGAT SETUJU

a. Simpul tersebut mudah diakses/ dijangkau oleh masyarakat dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan

b. Nodes (simpul) tersebut memiliki tampilan yang jelas dan mudah diingat

c. Nodes (simpul) di tersebut memiliki gaya arsitektur yang menarik

d. Nodes (simpul) tersebut memiliki fungsi/ aktivitas yang menarik

5. LANDMARK (PENANDA)

a. Menurut Anda, manakah diantara bangunan/ objek di bawah ini yang menjadi


(2)

SUN PLAZA KUIL SHRI MAHRIAMMAN

JEMBATAN TJONG YONG HIAN GEREJA LAMA IMMANUEL

VIHARA GUNUNG TIMUR

b. Menurut Anda, hal apakah yang membuat objek/ bangunan tersebut di atas dapat menjadi landmark (penanda) dari kawasan Kampung Madras ?

BANGUNAN TERSEBUT MEMILIKI SKALA YANG PALING MENONJOL DARI BANGUNAN LAINNYA

BANGUNAN TERSEBUT MEMILIKI GAYA ARSITEKTUR YANG MENARIK BANGUNAN TERSEBUT MEMILIKI SEJARAH PENTING BAGI KAMPUNG MADRAS

ELEMEN TINJAUAN 1

SANGAT TIDAK SETUJU

2

TIDAK SETUJU

3

TIDAK PASTI

4

SETUJU

5

SANGAT SETUJU

a. Bangunan/ objek landmark (penanda) di kawasan Kampung Madras memiliki daya tarik visual yang baik b. Bangunan/ objek landmark

(penanda) di kawasan Kampung Madras terletak di daerah strategis yang dapat


(3)

menarik perhatian pengunjung.

c. Bangunan/ objek landmark (penanda) di kawasan Kampung Madras telah menjadi identitas kawasan maupun Kota Medan. d. Bangunan/ objek landmark

(penanda) di kawasan Kampung Madras memiliki aktivitas/ fungsi yang menarik.

III. Tinjauan Karakter

1. CARA MEMBANGUN (WAY BUILD)

a. Menurut Anda, manakah diantara district (kawasan) dibawah ini yang memiliki skyline

(ketinggian bangunan) terbaik? KAWASAN PERDAGANGAN DAN JASA (JL. K.H.ZAINUL ARIFIN - JL. MUARA TAKUS)

KAWASAN KOMERSIL (JL. DIPONEGORO - JL. IMAM BONJOL

KAWASAN FASILITAS UMUM (JL. DIPONEGORO - JL. T.CIK DI TIRO)

KAWASAN PERMUKIMAN JARANG (JL. RA KARTINI - JL.H.AGUS SALIM)

KAWASAN PERMUKIMAN SEDANG


(4)

ELEMEN TINJAUAN 1

SANGAT TIDAK SETUJU

2

TIDAK SETUJU

3

TIDAK PASTI

4

SETUJU

5

SANGAT SETUJU

a. Bangunan di kawasan tersebut memiliki skyline

(ketinggian) yang harmonis b. Bangunan di kawasan

tersebut memiliki bentuk yang homogen (sama) dan harmonis

2. FASADE

a. Menurut Anda, manakah diantara district (kawasan) dibawah ini yang memiliki fasade bangunan terbaik?

KAWASAN PERDAGANGAN DAN JASA (JL. K.H.ZAINUL ARIFIN - JL. MUARA TAKUS)

KAWASAN KOMERSIL (JL. DIPONEGORO - JL. IMAM BONJOL

KAWASAN FASILITAS UMUM (JL. DIPONEGORO - JL. T.CIK DI TIRO)

KAWASAN PERMUKIMAN JARANG (JL. RA KARTINI - JL.H.AGUS SALIM)

KAWASAN PERMUKIMAN SEDANG

(JL.HANG LEKIU - JL. HANG KESTURI) KAWASAN PERMUKIMAN PADAT (PINGGIRAN S.BABURA)

b. Menurut Anda, hal apakah yang membut fasade bangunan pada district (kawasan) tersebut di atasmenarik?

BANGUNAN PADA KAWASAN TERSEBUT MEMILIKI MOTIF JENDELA/ PINTU/ ATAP YANG SAMA

BANGUNAN PADA KAWASAN TERSEBUT MEMILIKI GAYA ARSITEKTUR YANG MENARIK


(5)

BANGUNAN PADA KAWASAN TERSEBUT MEMILIKI FASADE BANGUNAN YANG KONTRAS (BERBEDA) SATU SAMA LAINNYA

c. Menurut Anda, manakah diantara fasade bangunan di Kampung Madras di bawah ini yang paling mudah dikenali?

SUN PLAZA BANGUNAN LAMA JL. JENGGALA, JL.

TEUKU UMAR

KUIL SHRI MAHRIAMMAN KANTOR GUBERNUR SUMUT

DERETAN RUMAH MEWAH JL. R.A. KARTINI/ JL. HANG KESTURI

PERMUKIMAN PADAT (PINGGIRAN S.BABURA)

BANGUNAN PERKANTORAN TINGGI JL. IMAM BONJOL

3. VISUALISASI

ELEMEN TINJAUAN 1

SANGAT TIDAK

2

TIDAK SETUJU

3

TIDAK PASTI

4

SETUJU

5

SANGAT SETUJU


(6)

SETUJU

a. Bentuk dan gaya bangunan di kawasan Kampung Madras disesuaikan dengan fungsi dan kebutuhan masyarakat b. Penggunaan material yang

beragam untuk menonjolkan identitas/ status sosial pemilik bangunan.

c. Kampung Madras memiliki fasilitas penunjang yang baik (mis. Mall, pasar, rumah sakit, dsb)