Retinopati Diabetik Hubungan Antara Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Retinopati Diabetik Dikaji Dari HbA1c Sebagai Parameter Kontrol Gula Darah

c. vena terdiri dari sejumlah kecil otot polos dan jaringan elastik pada dindingnya dan relatif dapat mengembang Kanski, 2007.

2.3 Retinopati Diabetik

Retinopati diabetik merupakan kelainan pada retina penderita DM yang bukan karena radang Ilyas, 2008. Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progressif yang ditandai dengan kerusakan dan sumbatan pembuluh darah kecil. Perubahan patologis paling awal adalah penebalan membran basal endotel kapiler dan berkurangnya jumlah perisit, yang kemudian berkembang membentuk mikroaneurisma, perdarahan, dilatasi pembuluh darah, hard exudate, soft exudate, pembentukan pembuluh darah baru, edema retina, terbentuk parut akhirnya menyebabkan kebutaan Ilyas, 2008; Vaughan et.al., 2000. Retinopati diabetik masih merupakan penyebab utama kebutaan di Negara ‐negara Barat. Di Amerika Serikat terjadi kebutaan 5.000 orang per tahun akibat retinopati diabetik, sedangkan di Inggris retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan nomor 4 dari seluruh penyebab kebutaan Ilyas, 2008. Frekwensinya bertambah sejalan dengan lamanya penyakit DM. Beberapa penyelidikan menunjukkan adanya hubungan erat antara kadar gula darah yang tidak terkendali dengan meningkatnya insiden serta tingkat keparahan retinopati. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan sebab‐akibat atau apakah hal ini merupakan bentuk progressif semakin parahnya penyakit Vaughan et.al., 2000. Universitas Sumatera Utara

2.3.1 Patofisiologi

Mekanisme yang tepat untuk menerangkan DM penyebab retinopati belum jelas. Hiperglikemia mempunyai 4 jalur biokimia menuju terjadinya komplikasi mikroangiopati dan komplikasi menahun lainnya, yaitu melalui : a. Efek langsung : melalui endotel, membran basalis, kolagen, otot polos, semuanya mengalami disfungsi. Beberapa kelainan membran basalis yang dapat mengganggu faalnya antara lain : i. meningkatnya deposit kolagen di membran basalis. ii. meningkatnya kadar glikoprotein di membran basalis. iii. menurunnya kadar sistin di membran basalis, sehingga memudahkan kebocoran. Penebalan membran basalis dengan kualitas rendah akibat banyaknya endapan glikoprotein akan memudahkan kebocoran. Tergantung pada status regulasi DM, membran basalis pasien DM mempunyai kecenderungan menebal, endotel tidak utuh lagi, sehingga faal kapiler terganggu, menimbulkan kebocoran, serta keluarnya protein dan sel‐sel darah diakibatkan antara lain : i. tekanan onkotik jaringan menurun edema setempat akibat keluarnya albumin. ii. pertahanan jaringan setempat menurun akibat keluarnya sel‐sel darah seperti leukosit. Universitas Sumatera Utara iii. perfusi jaringan menurun sehingga terjadi hipoksia akibat eksudasi dan akhirnya edema makula serta dengan adanya kerapuhan kebocoran kapiler menyebabkan perdarahan. Kerusakan endotel menyebabkan kebocoran karena deposit lemak, proliferasi otot polos di bawah membran basalis akibat rangsangan insulin, growth hormone, dan growth factor yang dikeluarkan trombosit yang rusak. b. Efek reologi : baik melalui kelainan seluler maupun darah dan plasma. Trombosit penderita DM mempunyai sifat‐sifat antara lain : i. mudah mengalami adhesi kerjasama dengan faktor VIII dan faktor von Willebrand endotel dan glikoprotein I dari trombosit dan mudah pula terjadi agregasi dibantu oleh glikoprotein II, III, dan tromboksan. Agregasi trombosit, fibrinogen, dan trombin mempermudah terbentuknya mikrotrombus. ii. umur trombosit DM lebih pendek dan keluarnya bahan yang mempermudah koagulasi dan keluar pula growth factor untuk merangsang proliferasi sel otot polos pembuluh darah Tjokroprawiro, 1996. Faktor VIII dan faktor von Willebrand pada DM meningkat. Faktor koagulasi ini yang berperan penting dalam proses adhesi dan agregasi trombosit sehingga terbentuk mikrotrombus. Antitrombin III penting untuk menghambat faktor Xa sehingga pembentukan trombin terhambat. Oleh karena pada DM kadar fibrinogen juga meningkat, maka trombin Universitas Sumatera Utara meningkat dan pembentukan plasmin menurun, jadi pada DM kadar faktor VIII meningkat, sekresi aktifator oleh endotel menurun, sehingga pembentukan fibrin dan agregasi trombosit meningkat dan terjadi pertambahan mikrotrombus yang cepat Gambar 2.4 Tjokroprawiro, 1996. Faktor Xa AT III Protrombin Trombin AT III Fibrinogen Fibrin Plasminogen Plasmin Mikrotrombus Aktifator plasminogen endotel Trombosit Agregasi Faktor VIII Gambar 2.4 Gangguan sistim fibrinolitik pada Diabetes melitus Keterangan : merangsang menghambat c. Jalur poliol : dengan adanya akumulasi sorbitol dalam sel, mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik dan menurunkan kadar mioinositol dan aktivitas NaK‐ATPase. Pada normoglikemia, sebagian besar glukosa seluler mengalami fosforilasi menjadi glukosa‐6‐fosfat oleh enzim heksokinase. Bagian kecil dari glukosa yang tidak mengalami fosforilasi Universitas Sumatera Utara memasuki jalur poliol, yakni jalur alternatif metabolisme glukosa. Melalui jalur ini glukosa dalam sel diubah menjadi sorbitol dengan bantuan enzim aldose reduktase AR Sufriyana, 2010. Endotel yang utuh akan resisten terhadap penempelan trombosit dan mencegah terjadinya adhesi dan agregasi trombosit. Adanya lesi endotel akan mempermudah timbulnya proses tersebut dan juga kebocoran. Endotel mempunyai enzim aldose reduktase yang mengubah glukosa menjadi polialkohol sorbitol melalui reduksi gugus aldehid glukosa, kemudian sorbitol diubah menjadi fruktosa. Kedua senyawa ini menyerap air sehingga endotel membengkak dan akhirnya merusak endotel dengan proses biokimia sehingga terjadi gangguan faal endotel antara lain kebocoran dan agregasi trombosit. Gangguan faal endotel ini akan mempermudah timbulnya komplikasi DM melalui proses : i. sintesis faktor von Willebrand oleh endotel meningkat, dan faktor inilah yang berperan utama dalam proses adhesi dan agregasi trombosit. ii. konversi asam arakidonat ke PGI 2 prostasiklin menurun, sedangkan bahan ini sangat penting untuk menghambat agregasi trombosit selain sebagai vasodilator. iii. sintesis aktivator plasminogen menurun, sehingga menurunkan plasmin, rendahnya plasmin akan mempermudah terbentuknya fibrin dan mikrotrombus Tjokroprawiro, 1996. Universitas Sumatera Utara d. Proses glikosilasi non‐enzimatik : mengubah proses fisika‐kimia sifat‐sifat sel dan membentuk advanced glycosilation end‐products AGEs yang berperan dalam komplikasi menahun pada DM. AGEs ini mengendap pada jaringan, pada protein‐protein tubuh yang turn‐overnya lambat seperti : kolagen, mielin, kristalin, elastin, lipoprotein LDL, albumin, dan IgG Tjokroprawiro, 1996. AGEs merupakan produk glikasi non‐enzimatik dan oksidasi protein dan lipid yang bersifat ireversibel. Protein yang dirusak oleh AGEs akan mengubah struktur dan fungsi jaringan, sehingga terjadi penurunan elastisitas dinding pembuluh darah. Protein yang telah dimodifikasi AGEs dapat menghambat pertumbuhan sel normal. AGEs juga mengganggu fungsi enzim pengatur pengeluaran zat yang memvasodilatasi dan adhesi sel di dalam pembuluh darah. Kadar AGEs di jaringan berhubungan dengan laju perkembangan aterosklerosis disertai akumulasi protein plasma, lipoprotein, dan lipid pada dinding pembuluh darah. Lesi aterosklerotik dapat ruptur dan menimbulkan trombus yang menyumbat kapiler fokal di mata Sufriyana, 2010. Akumulasi AGEs di berbagai jaringan merupakan sumber utama radikal bebas yang berperan dalam peningkatan stres oksidatif, serta terkait dengan patogenesis komplikasi DM mirip pada penuaan. Pada DM, akumulasi AGEs secara umum mempercepat terjadinya aterosklerosis, nefropati, neuropati, retinopati, serta katarak Setiawan dan Suhartono, 2005. AGEs terjadi dari beberapa tahapan reaksi kimia akibat hiperglikemia. Pada keadaan hiperglikemia, produksi berbagai gula pereduksi antara lain glukosa, Universitas Sumatera Utara glukosa ‐6‐fosfat, dan fruktosa meningkat melalui glikolisis dan jalur poliol. AGEs atau prekursornya juga dapat berasal dari luar tubuh, misalnya tembakau dan makanan modern western diet. Kandungan AGEs pada makanan tergantung pada kandungan lemak, protein, dan karbohidrat. Juga tergantung dari cara mengolah makanan, lama memasak, dan temperatur memasak makanan yang mengawali terjadinya pembentukan derivat a‐β dicarbonyl yang bersifat tidak stabil hasil reaksi glikosidasi dan lipoksidasi Peppa dan Vlassara, 2005. Glukosa sebagai gula pereduksi bersifat toksik, karena kemampuan kimiawi gugus karbonil aldehidnya. Aldehid merupakan senyawa yang mampu berikatan secara kovalen sehingga terjadi modifikasi protein secara enzimatik dan non‐enzimatik. Selain protein, target kerusakan lain adalah lipid amino seperti fosfatidiletanolamin, dan DNA Peppa dan Vlassara, 2005; Setiawan dan Suhartono, 2005. Reaksi pengikatan aldehid pada protein dinamakan reaksi glikasi. Reaksi ini memiliki kemaknaan patologis yang besar. Berbagai contoh reaksi glikasi protein antara lain hemoglobin glikosilat HbA1c, albumin, dan kristal lensa mata. Reaksi secara non‐enzimatik glukosa darah dengan protein di dalam tubuh akan berlanjut sebagai reaksi browning dan oksidasi. Reaksi tersebut selanjutnya dapat menyebabkan akumulasi modifikasi kimia protein jaringan. Perubahan kimia ini dikenal sebagai reaksi Maillard Setiawan dan Suhartono, 2005. Reaksi Maillard juga berkaitan dengan komplikasi kronik DM. Reaksi ini secara umum terdiri atas empat tahap, yaitu: Universitas Sumatera Utara i. kondensasi non‐enzimatik gula pereduksi, aldehid atau ketosa, dengan gugus amino bebas dari protein atau asam nukleat membentuk glikosilamin. Reaksi ini dikenal sebagai fase 1 serta secara alamiah bersifat reversibel dan terjadi dalam beberapa jam kurang dari 24 jam. ii. pada fase 2 akan terjadi penataan ulang glikosilamin menjadi produk Amadori suatu senyawa ketoamin. Komponen khas pada Amadori adalah HbA1c yang merupakan marker jangka panjang glikemia pada DM Sufriyana, 2010. Reaksi ini terjadi akibat kadar glukosa yang masih tinggi dalam waktu lebih dari 24 jam. Produk Amadori tersebut bersifat toksik bagi jaringan namun masih reversibel. Kadar produk Amadori pada sejumlah protein meningkat sebanding dengan derajat hiperglikemia pada DM. iii. penataan ulang dan dehidrasi berganda produk Amadori menjadi amino atau senyawa karbonil reaktivitas tinggi seperti 3 ‐deoxyglucosane. iv. reaksi antara senyawa karbonil dengan gugus amino lain dilanjutkan proses penataan ulang membentuk beragam advance glycosylation end products AGE‐productsAGEs sebagai petunjuk cross linking dan browning pada protein. v. pengikatan AGEs terhadap reseptor makrofag spesifik Universitas Sumatera Utara mengakibatkan sintesis sitokin dan faktor pertumbuhan serta peningkatan stres oksidatif Setiawan dan Suhartono, 2005. Sampai sekarang masih belum dapat dipastikan adalah elusidasi struktur AGEs, sehingga metode pemeriksaan AGEs belum konsisten. Metode pemeriksaan yang sudah pernah dilakukan adalah dengan HPLC, chromatography, fluoresens dan Elisa Peppa dan Vlassara, 2005. Pasien dengan DM yang lama mempunyai kadar AGEs dua kali orang normal. Fluoresens meningkat pada pasien dengan retinopati dan nefropati berat Piliang, 2001. e. Faktor vasoproliferatif Faktor vasoproliferatif dilepaskan oleh retina dan epitel pigmen retina yang menginduksi terjadinya neovaskularisasi. Secara in vitro VEGF menghambat pertumbuhan sel endotel telah dibuktikan terjadi pada retinopati diabetik. Dari penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa VEGF memiliki hubungan langsung dengan abnormalitas pembuluh darah retina yang terjadi pada DM. Pada binatang ditemukan adanya hubungan antara VEGF dengan perkembangan dan regresi neovaskularisasi Kanski, 2007. Konsentrasi VEGF lebih tinggi di dalam vitreous mata dengan PDR dibandingkan pada mata dengan NPDR. Pemberian inhibitor VEGF menyebabkan terjadinya neovaskularisasi yang dirangsang hipoksia pada binatang percobaan. Pelepasan VEGF untuk membentuk neovaskularisasi adalah respon terhadap iskemia yang terjadi pada retina Kanski, 2007. Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Klasifikasi

Retinopati Diabetik Berdasarkan prognosis dan pengobatannya, retinopati diabetik dibagi menjadi dua bentuk yaitu non‐proliferatif dan proliferatif. Retinopati diabetik non ‐proliferatif diklasifikasikan lagi menjadi retinopati diabetik dasar background diabetic retinopathy atau retinopati pre‐proliferatif. a. Retinopati diabetik non‐proliferatif. Pada retinopati diabetik dasar terjadi peningkatan permeabilitas dan inkompetensi dinding pembuluh darah. Pada kapiler terbentuk tonjolan kecil bulat mikroaneurisma, dan vena retina melebar dan berkelok‐kelok. Di seluruh retina pada bagian ‐bagian yang berlainan terlihat berbagai bentuk perdarahan, seperti bentuk nyala api flame hemorrhages karena letaknya di dalam lapisan serabut saraf yang horisontal, bentuk titik dot haemorrhages, dan bentuk bercak blot haemorrhages terdapat di retina yang lebih dalam tempat sel dan akson mengarah vertikal. Kapiler yang bocor mengakibatkan sembab retina terutama di makula, sehingga retina menebal dan terlihat berawan Gambar 2.5 http:www.vrmny.com. Walaupun cairan serosa diserap, masih akan tetap ada presipitat lipid kekuning‐kuningan dalam bentuk eksudat keras hard exudate. Jika pada fovea sembab atau iskemi atau terdapat eksudat keras, maka tajam penglihatan sentral akan menurun. Pada tahap ini umumnya tidak progresif. Dengan bertambah progresifnya sumbatan mikrovaskular, gejala iskemia akan semakin bertambah berat. Keadaan ini disebut retinopati diabetik pre‐ Universitas Sumatera Utara proliferatif. Perubahan yang sangat khas adalah terlihatnya sejumlah bercak mirip kapas multiple cotton wool spots atau disebut eksudat lunak soft exudates, yang merupakan mikro infark lapisan serabut syaraf Gambar 2.6 www.cekjournal.org . Gejala lain adalah kelainan vena seperti ikalan loops, segmentasi vena boxcar phenomenon dan kelainan mikrovaskular intraretina yaitu pelebaran alur kapiler yang tidak teratur dan terjadi hubungan pendek antar pembuluh darah shunt intra retina. Pada retinopati pre‐proliferatif, risiko timbulnya neovaskularisasi meningkat, dan pada penderita ini harus dipantau ketat walaupun belum ada gejala. Edema makula Perdarahan Hard exudate Dilatasi vena Gambar 2.5 Retinopati diabetik non‐proliferatif Universitas Sumatera Utara Keadaan ‐keadaan yang dapat memperberat retinopati diabetik adalah : i. Pada DM tipe 1 dan kehamilan dapat merangsang timbulnya perdarahan dan proliferasi. ii. Arteriosklerosis dan proses menua pembuluh‐pembuluh darah memperburuk prognosis. iii. Hiperlipoproteinemia diduga mempercepat perjalanan dan progresifitas kelainan dengan cara mempengaruhi arteriosklerosis dan kelainan hemobiologik. iv. Hipertensi arteri memperburuk prognosis terutama pada penderita usia tua. v. Hipoglikemia atau trauma dapat menimbulkan perdarahan retina yang mendadak Ilyas, 2008. Perdarahan Hard exudate Edema makula Dilatasi vena Universitas Sumatera Utara Gambar 2.6 Retinopati diabetik pre‐proliferatif b. Retinopati diabetik proliferatif. Bentuk retinopati diabetik paling parah adalah PDR yang sangat berisiko menyebabkan kebutaan. Karakteristik PDR adalah pembentukan pembuluh darah baru pada atau di dalam satu diameter diskus 1 DD diskus optikus, di luar diskus dan 1 DD dari batas diskus Gambar 2.7 www.revoptom.com , proliferasi fibrosis pada atau di dalam 1 DD diskus optikus atau tempat lain di retina, pre ‐retinal hemorrhage, dan atau perdarahan vitreous Cavallerano, 2009. Neovaskularisasi Gambar 2.7 Retinopati diabetik proliferatif Universitas Sumatera Utara

2.3.3 Gambaran

Klinis Pada retinopati diabetik non‐proliferatif dapat terjadi perdarahan pada semua lapisan retina. Ada pun gejala subjektif retinopati diabetik non‐proliferatif adalah penglihatan kabur, kesulitan membaca, penglihatan tiba‐tiba kabur pada satu mata, melihat lingkaran‐lingkaran cahaya, melihat bintik gelap dan cahaya kelap ‐kelip. Sedangkan gejala objektif dari retinopati diabetik non‐proliferatif adalah : a. Mikroaneurisma. Mikroaneurisma merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena, dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak di dekat pembuluh darah terutama polus posterior. Kadang pembuluh darah ini demikian kecilnya sehingga tidak terlihat Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007. Mikroaneurisma merupakan kelainan DM pada m ata Gambar 2.8 www.Seebetterflorida.com. Mikroaneurisma Gambar 2.8 Mikroaneurisma pembuluh darah retina Universitas Sumatera Utara b. Dilatasi pembuluh darah balik Dilatasi pembuluh darah balik dengan lumen ireguler dan berkelok‐kelok. Hal ini terjadi akibat kelainan sirkulasi, dan kadang‐kadang disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007 Gambar 2.9 www.neec.com Dilatasi vena Gambar 2.9 Dilatasi pembuluh darah balik c. Perdarahan haemorrhages Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat mikroaneurisma di polus posterior. Bentuk perdarahan dapat memberikan prognosis penyakit dimana perdarahan yang luas memberikan prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan perdarahan yang kecil. Universitas Sumatera Utara Perdarahan terjadi akibat gangguan permeabilitas pada mikroaneurisma atau pecahnya kapiler Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007 Gambar 2.10 www.neec.com. Perdarahan Gambar 2.10 Perdarahan pada retinopati diabetik non‐proliferatif d. Hard exudate Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu ireguler dan berwarna kekuning‐kuningan. Pada permulaan eksudat berupa pungtata, kemudian membesar dan bergabung Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007 Gambar 2.11 www.neec.com . Universitas Sumatera Utara Edema makula Hard exudate Gambar 2.11 Edema makula dan hard exudat di fovea e. Edema retina Edema retina ditandai dengan hilangnya gambaran retina terutama di daerah makula. Edema dapat bersifat fokal atau difus dan secara klinis tampak sebagai retina yang menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat intra retina. Dapat berbentuk zona‐zona eksudat kuning kaya lemak, berbentuk bundar di sekitar kumpulan mikroaneurisma dan eksudat intra retina Gambar 2.12 www.vrmny.com Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007. Universitas Sumatera Utara Edema makula signifikan secara klinis Clinically significant macular oedema CSME jika terdapat satu atau lebih dari keadaan dibawah ini : i. edema retina 500 μm 13 diameter diskus pada fovea sentralis. ii. hard exudate jaraknya 500 μm dari fovea sentralis, yang berhubungan dengan retina yang menebal. iii. edema retina yang berukuran 1 disk 1500 μm atau lebih, dengan jarak dari fovea sentralis 1 disk. Edema makula Gambar 2.12 Funduskopi edema makula

2.3.4 Pengobatan

Universitas Sumatera Utara Pada retinopati diabetik yang harus diperhatikan ialah apakah gula darah dan hipertensi terkontrol secara optimal. Edema makula dapat sembuh dengan sendirinya, tetapi jika tajam penglihatan sangat menurun, dan jika sumber kebocoran dapat ditentukan melui angiogram, maka penggunaan fotokoagulasi laser dapat dipertimbangkan Kadarisman, 1996. Retinopati diabetik proliferatif merupakan indikasi untuk fotokoagulasi laser argon panretina. Perdarahan pre‐retina atau perdarahan badan kaca dan neovaskularisasi pada papil optik mempunyai risiko tertinggi. Fotokoagulasi panretina mengurangi kemungkinan terjadinya perdarahan badan kaca masif dan ablasi retina dengan terjadinya regresi, bahkan pada beberapa kasus neovaskularisasi menghilang. Caranya ialah dengan membidikkan beberapa ribu tembakan laser di seluruh retina secara tersebar dan teratur kecuali daerah sentral yang dibatasi oleh papil optik dan arkade vaskular temporal mayor. Mekanisme foto koagulasi tersebut adalah menyebabkan berkurangnya rangsangan angiogenik oleh retina yang iskemia. Bila perdarahan badan kaca yang menyebabkan menurunnya tajam penglihatan ini, dalam 6 bulan tidak menjernih secara spontan, dapat dilakukan vitrektomi. Pembedahan ini harus segera dikerjakan jika secara klinis atau berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi diduga ada ablasi retina yang progresif. Pada ablasi retina, traksi yang mengenai atau mengancam makula, bisa dilakukan vitrektomi untuk membebaskan traksi dan scleral buckling untuk membantu mempertautkan retina kembali Kadarisman, 1996. Universitas Sumatera Utara Neovaskularisasi retina sendiri tidak mengganggu penglihatan. Jika tidak ada kelainan patologis di makula, mungkin tidak ada keluhan. Karena banyak penyulit yang berat yang dapat diatasi dengan pengobatan laser dalam waktu singkat, maka deteksi dini dan pengamatan teratur adalah sangat penting Kadarisman, 1996. Universitas Sumatera Utara BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei analitik seksional silang cross sectional. Dalam penelitian seksional silang, variabel bebas dan terikat yang terjadi pada objek penelitian diukur secara simultan dalam waktu yang bersamaan Notoatmodjo, 2005. Dalam penelitian ini yang termasuk variabel bebas adalah DM terkontrol dan tidak terkontrol, sedangkan variabel terikat adalah retinopati diabetik.

3.1 Desain Penelitian