c. vena
terdiri dari sejumlah kecil otot polos dan jaringan elastik pada dindingnya
dan relatif dapat mengembang Kanski, 2007.
2.3 Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik merupakan kelainan pada retina penderita DM yang
bukan karena radang Ilyas, 2008. Retinopati diabetik adalah suatu
mikroangiopati progressif yang ditandai dengan kerusakan dan sumbatan
pembuluh darah kecil. Perubahan patologis paling awal adalah penebalan
membran basal endotel kapiler dan berkurangnya jumlah perisit, yang kemudian
berkembang membentuk mikroaneurisma, perdarahan, dilatasi pembuluh darah,
hard exudate, soft exudate, pembentukan pembuluh darah baru, edema retina,
terbentuk parut akhirnya menyebabkan kebutaan Ilyas, 2008; Vaughan et.al.,
2000. Retinopati diabetik masih merupakan penyebab utama kebutaan di
Negara ‐negara Barat. Di Amerika Serikat terjadi kebutaan 5.000 orang per tahun
akibat retinopati diabetik, sedangkan di Inggris retinopati diabetik merupakan
penyebab kebutaan nomor 4 dari seluruh penyebab kebutaan Ilyas, 2008.
Frekwensinya bertambah sejalan dengan lamanya penyakit DM. Beberapa
penyelidikan menunjukkan adanya hubungan erat antara kadar gula darah yang
tidak terkendali dengan meningkatnya insiden serta tingkat keparahan
retinopati. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan sebab‐akibat atau
apakah hal ini merupakan bentuk progressif semakin parahnya penyakit
Vaughan et.al., 2000.
Universitas Sumatera Utara
2.3.1 Patofisiologi
Mekanisme yang tepat untuk menerangkan DM penyebab retinopati
belum jelas. Hiperglikemia mempunyai 4 jalur biokimia menuju terjadinya
komplikasi mikroangiopati dan komplikasi menahun lainnya, yaitu melalui :
a. Efek
langsung : melalui endotel, membran basalis, kolagen, otot polos, semuanya
mengalami disfungsi. Beberapa kelainan membran basalis yang dapat
mengganggu faalnya antara lain : i.
meningkatnya deposit kolagen di membran basalis.
ii. meningkatnya
kadar glikoprotein di membran basalis. iii.
menurunnya kadar sistin di membran basalis, sehingga
memudahkan kebocoran.
Penebalan membran basalis dengan kualitas rendah akibat banyaknya endapan
glikoprotein akan memudahkan kebocoran. Tergantung pada status
regulasi DM, membran basalis pasien DM mempunyai kecenderungan
menebal, endotel tidak utuh lagi, sehingga faal kapiler terganggu,
menimbulkan kebocoran, serta keluarnya protein dan sel‐sel darah
diakibatkan antara lain : i.
tekanan onkotik jaringan menurun edema setempat akibat
keluarnya albumin.
ii. pertahanan
jaringan setempat menurun akibat keluarnya sel‐sel darah
seperti leukosit.
Universitas Sumatera Utara
iii. perfusi
jaringan menurun sehingga terjadi hipoksia akibat eksudasi dan
akhirnya edema makula serta dengan adanya kerapuhan kebocoran
kapiler menyebabkan perdarahan. Kerusakan
endotel menyebabkan kebocoran karena deposit lemak, proliferasi
otot polos di bawah membran basalis akibat rangsangan insulin,
growth hormone, dan growth factor yang dikeluarkan trombosit yang
rusak. b.
Efek reologi : baik melalui kelainan seluler maupun darah dan plasma.
Trombosit penderita DM mempunyai sifat‐sifat antara lain :
i. mudah
mengalami adhesi kerjasama dengan faktor VIII dan faktor von
Willebrand endotel dan glikoprotein I dari trombosit dan mudah
pula terjadi agregasi dibantu oleh glikoprotein II, III, dan tromboksan.
Agregasi trombosit, fibrinogen, dan trombin mempermudah
terbentuknya mikrotrombus. ii.
umur trombosit DM lebih pendek dan keluarnya bahan yang
mempermudah koagulasi dan keluar pula growth factor untuk
merangsang proliferasi sel otot polos pembuluh darah
Tjokroprawiro, 1996.
Faktor VIII dan faktor von Willebrand pada DM meningkat. Faktor
koagulasi ini yang berperan penting dalam proses adhesi dan agregasi
trombosit sehingga terbentuk mikrotrombus. Antitrombin III penting
untuk menghambat faktor Xa sehingga pembentukan trombin terhambat.
Oleh karena pada DM kadar fibrinogen juga meningkat, maka trombin
Universitas Sumatera Utara
meningkat dan pembentukan plasmin menurun, jadi pada DM kadar
faktor VIII meningkat, sekresi aktifator oleh endotel menurun, sehingga
pembentukan fibrin dan agregasi trombosit meningkat dan terjadi
pertambahan mikrotrombus yang cepat Gambar 2.4 Tjokroprawiro,
1996. Faktor Xa AT III
Protrombin Trombin
AT III Fibrinogen Fibrin
Plasminogen
Plasmin Mikrotrombus
Aktifator plasminogen endotel
Trombosit Agregasi
Faktor VIII
Gambar 2.4 Gangguan sistim fibrinolitik pada Diabetes melitus
Keterangan : merangsang menghambat
c. Jalur
poliol : dengan adanya akumulasi sorbitol dalam sel, mengakibatkan peningkatan
tekanan osmotik dan menurunkan kadar mioinositol dan aktivitas
NaK‐ATPase. Pada normoglikemia, sebagian besar glukosa seluler
mengalami fosforilasi menjadi glukosa‐6‐fosfat oleh enzim heksokinase.
Bagian kecil dari glukosa yang tidak mengalami fosforilasi
Universitas Sumatera Utara
memasuki jalur poliol, yakni jalur alternatif metabolisme glukosa.
Melalui jalur ini glukosa dalam sel diubah menjadi sorbitol dengan
bantuan enzim aldose reduktase AR Sufriyana, 2010. Endotel yang
utuh akan resisten terhadap penempelan trombosit dan mencegah
terjadinya adhesi dan agregasi trombosit. Adanya lesi endotel akan
mempermudah timbulnya proses tersebut dan juga kebocoran. Endotel
mempunyai enzim aldose reduktase yang mengubah glukosa menjadi
polialkohol sorbitol melalui reduksi gugus aldehid glukosa, kemudian
sorbitol diubah menjadi fruktosa. Kedua senyawa ini menyerap air
sehingga endotel membengkak dan akhirnya merusak endotel dengan
proses biokimia sehingga terjadi gangguan faal endotel antara lain
kebocoran dan agregasi trombosit. Gangguan faal endotel ini akan
mempermudah timbulnya komplikasi DM melalui proses :
i. sintesis
faktor von Willebrand oleh endotel meningkat, dan faktor inilah
yang berperan utama dalam proses adhesi dan agregasi trombosit.
ii. konversi
asam arakidonat ke PGI
2
prostasiklin menurun, sedangkan
bahan ini sangat penting untuk menghambat agregasi trombosit
selain sebagai vasodilator. iii.
sintesis aktivator plasminogen menurun, sehingga menurunkan
plasmin, rendahnya plasmin akan mempermudah terbentuknya
fibrin dan mikrotrombus Tjokroprawiro, 1996.
Universitas Sumatera Utara
d. Proses
glikosilasi non‐enzimatik : mengubah proses fisika‐kimia sifat‐sifat sel
dan membentuk advanced glycosilation end‐products AGEs yang berperan
dalam komplikasi menahun pada DM. AGEs ini mengendap pada
jaringan, pada protein‐protein tubuh yang turn‐overnya lambat seperti
: kolagen, mielin, kristalin, elastin, lipoprotein LDL, albumin, dan IgG
Tjokroprawiro, 1996. AGEs merupakan produk glikasi non‐enzimatik dan
oksidasi protein dan lipid yang bersifat ireversibel. Protein yang dirusak
oleh AGEs akan mengubah struktur dan fungsi jaringan, sehingga terjadi
penurunan elastisitas dinding pembuluh darah. Protein yang telah dimodifikasi
AGEs dapat menghambat pertumbuhan sel normal. AGEs juga
mengganggu fungsi enzim pengatur pengeluaran zat yang memvasodilatasi
dan adhesi sel di dalam pembuluh darah. Kadar AGEs di jaringan
berhubungan dengan laju perkembangan aterosklerosis disertai akumulasi
protein plasma, lipoprotein, dan lipid pada dinding pembuluh darah.
Lesi aterosklerotik dapat ruptur dan menimbulkan trombus yang menyumbat
kapiler fokal di mata Sufriyana, 2010. Akumulasi AGEs di berbagai
jaringan merupakan sumber utama radikal bebas yang berperan dalam
peningkatan stres oksidatif, serta terkait dengan patogenesis komplikasi
DM mirip pada penuaan. Pada DM, akumulasi AGEs secara umum
mempercepat terjadinya aterosklerosis, nefropati, neuropati, retinopati,
serta katarak Setiawan dan Suhartono, 2005. AGEs terjadi dari
beberapa tahapan reaksi kimia akibat hiperglikemia. Pada keadaan hiperglikemia,
produksi berbagai gula pereduksi antara lain glukosa,
Universitas Sumatera Utara
glukosa ‐6‐fosfat, dan fruktosa meningkat melalui glikolisis dan jalur poliol.
AGEs atau prekursornya juga dapat berasal dari luar tubuh, misalnya
tembakau dan makanan modern western diet. Kandungan AGEs pada
makanan tergantung pada kandungan lemak, protein, dan karbohidrat.
Juga tergantung dari cara mengolah makanan, lama memasak, dan
temperatur memasak makanan yang mengawali terjadinya pembentukan
derivat a‐β dicarbonyl yang bersifat tidak stabil hasil reaksi glikosidasi dan
lipoksidasi Peppa dan Vlassara, 2005. Glukosa sebagai gula pereduksi
bersifat toksik, karena kemampuan kimiawi gugus karbonil aldehidnya.
Aldehid merupakan senyawa yang mampu berikatan secara kovalen
sehingga terjadi modifikasi protein secara enzimatik dan non‐enzimatik.
Selain protein, target kerusakan lain adalah lipid amino seperti
fosfatidiletanolamin, dan DNA Peppa dan Vlassara, 2005; Setiawan dan
Suhartono, 2005. Reaksi pengikatan aldehid pada protein dinamakan
reaksi glikasi. Reaksi ini memiliki kemaknaan patologis yang besar.
Berbagai contoh reaksi glikasi protein antara lain hemoglobin glikosilat
HbA1c, albumin, dan kristal lensa mata. Reaksi secara non‐enzimatik
glukosa darah dengan protein di dalam tubuh akan berlanjut sebagai
reaksi browning dan oksidasi. Reaksi tersebut selanjutnya dapat
menyebabkan akumulasi modifikasi kimia protein jaringan. Perubahan
kimia ini dikenal sebagai reaksi Maillard Setiawan dan Suhartono, 2005.
Reaksi Maillard juga berkaitan dengan komplikasi kronik DM. Reaksi ini
secara umum terdiri atas empat tahap, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
i. kondensasi
non‐enzimatik gula pereduksi, aldehid atau ketosa, dengan
gugus amino bebas dari protein atau asam nukleat membentuk
glikosilamin. Reaksi ini dikenal sebagai fase 1 serta secara
alamiah bersifat reversibel dan terjadi dalam beberapa jam kurang
dari 24 jam. ii.
pada fase 2 akan terjadi penataan ulang glikosilamin menjadi
produk Amadori suatu senyawa ketoamin. Komponen khas pada
Amadori adalah HbA1c yang merupakan marker jangka panjang
glikemia pada DM Sufriyana, 2010. Reaksi ini terjadi akibat kadar
glukosa yang masih tinggi dalam waktu lebih dari 24 jam. Produk
Amadori tersebut bersifat toksik bagi jaringan namun masih
reversibel. Kadar produk Amadori pada sejumlah protein
meningkat sebanding dengan derajat hiperglikemia pada DM.
iii. penataan
ulang dan dehidrasi berganda produk Amadori menjadi amino
atau senyawa karbonil reaktivitas tinggi seperti 3
‐deoxyglucosane. iv.
reaksi antara senyawa karbonil dengan gugus amino lain
dilanjutkan proses penataan ulang membentuk beragam
advance glycosylation end products AGE‐productsAGEs sebagai
petunjuk cross linking dan browning pada protein.
v. pengikatan
AGEs terhadap reseptor makrofag spesifik
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan sintesis sitokin dan faktor pertumbuhan serta
peningkatan stres oksidatif Setiawan dan Suhartono, 2005.
Sampai sekarang masih belum dapat dipastikan adalah elusidasi struktur
AGEs, sehingga metode pemeriksaan AGEs belum konsisten. Metode
pemeriksaan yang sudah pernah dilakukan adalah dengan HPLC,
chromatography, fluoresens dan Elisa Peppa dan Vlassara, 2005. Pasien
dengan DM yang lama mempunyai kadar AGEs dua kali orang normal.
Fluoresens meningkat pada pasien dengan retinopati dan nefropati berat
Piliang, 2001.
e. Faktor vasoproliferatif
Faktor vasoproliferatif dilepaskan oleh retina dan epitel pigmen retina
yang menginduksi terjadinya neovaskularisasi. Secara in vitro VEGF menghambat
pertumbuhan sel endotel telah dibuktikan terjadi pada retinopati diabetik. Dari
penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa VEGF memiliki hubungan
langsung dengan abnormalitas pembuluh darah retina yang terjadi pada DM.
Pada binatang ditemukan adanya hubungan antara VEGF dengan perkembangan
dan regresi neovaskularisasi Kanski, 2007. Konsentrasi VEGF lebih tinggi di
dalam vitreous mata dengan PDR dibandingkan pada mata dengan NPDR.
Pemberian inhibitor VEGF menyebabkan terjadinya neovaskularisasi yang
dirangsang hipoksia pada binatang percobaan. Pelepasan VEGF untuk
membentuk neovaskularisasi adalah respon terhadap iskemia yang terjadi pada
retina Kanski, 2007.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Klasifikasi
Retinopati Diabetik
Berdasarkan prognosis dan pengobatannya, retinopati diabetik dibagi
menjadi dua bentuk yaitu non‐proliferatif dan proliferatif. Retinopati diabetik
non ‐proliferatif diklasifikasikan lagi menjadi retinopati diabetik dasar
background diabetic retinopathy atau retinopati pre‐proliferatif.
a. Retinopati
diabetik non‐proliferatif. Pada retinopati diabetik dasar terjadi
peningkatan permeabilitas dan inkompetensi dinding pembuluh darah.
Pada kapiler terbentuk tonjolan kecil bulat mikroaneurisma, dan
vena retina melebar dan berkelok‐kelok. Di seluruh retina pada bagian
‐bagian yang berlainan terlihat berbagai bentuk perdarahan, seperti
bentuk nyala api flame hemorrhages karena letaknya di dalam
lapisan serabut saraf yang horisontal, bentuk titik dot haemorrhages,
dan bentuk bercak blot haemorrhages terdapat di retina
yang lebih dalam tempat sel dan akson mengarah vertikal. Kapiler
yang bocor mengakibatkan sembab retina terutama di makula, sehingga
retina menebal dan terlihat berawan Gambar 2.5 http:www.vrmny.com.
Walaupun cairan serosa diserap, masih akan tetap
ada presipitat lipid kekuning‐kuningan dalam bentuk eksudat keras
hard exudate. Jika pada fovea sembab atau iskemi atau terdapat
eksudat keras, maka tajam penglihatan sentral akan menurun.
Pada tahap ini umumnya tidak progresif. Dengan bertambah progresifnya
sumbatan mikrovaskular, gejala iskemia akan semakin bertambah
berat. Keadaan ini disebut retinopati diabetik pre‐
Universitas Sumatera Utara
proliferatif. Perubahan yang sangat khas adalah terlihatnya sejumlah
bercak mirip kapas multiple cotton wool spots atau disebut eksudat
lunak soft exudates, yang merupakan mikro infark lapisan serabut
syaraf Gambar 2.6 www.cekjournal.org
. Gejala lain adalah kelainan
vena seperti ikalan loops, segmentasi vena boxcar phenomenon dan
kelainan mikrovaskular intraretina yaitu pelebaran alur kapiler yang
tidak teratur dan terjadi hubungan pendek antar pembuluh darah
shunt intra retina. Pada retinopati pre‐proliferatif, risiko timbulnya
neovaskularisasi meningkat, dan pada penderita ini harus dipantau
ketat walaupun belum ada gejala.
Edema makula
Perdarahan
Hard exudate
Dilatasi vena
Gambar 2.5 Retinopati diabetik non‐proliferatif
Universitas Sumatera Utara
Keadaan ‐keadaan yang dapat memperberat retinopati diabetik adalah :
i. Pada
DM tipe 1 dan kehamilan dapat merangsang timbulnya perdarahan dan
proliferasi. ii.
Arteriosklerosis dan proses menua pembuluh‐pembuluh darah
memperburuk prognosis.
iii. Hiperlipoproteinemia
diduga mempercepat perjalanan dan progresifitas kelainan
dengan cara mempengaruhi arteriosklerosis dan kelainan hemobiologik.
iv. Hipertensi
arteri memperburuk prognosis terutama pada penderita usia tua.
v. Hipoglikemia
atau trauma dapat menimbulkan perdarahan retina yang mendadak
Ilyas, 2008.
Perdarahan Hard
exudate Edema
makula
Dilatasi vena
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6 Retinopati diabetik pre‐proliferatif
b. Retinopati
diabetik proliferatif. Bentuk retinopati diabetik paling parah adalah
PDR yang sangat berisiko menyebabkan kebutaan. Karakteristik PDR
adalah pembentukan pembuluh darah baru pada atau di dalam satu
diameter diskus 1 DD diskus optikus, di luar diskus dan 1 DD dari batas
diskus Gambar 2.7 www.revoptom.com ,
proliferasi fibrosis pada
atau di dalam 1 DD diskus optikus atau tempat lain di retina, pre
‐retinal hemorrhage, dan atau perdarahan vitreous Cavallerano, 2009.
Neovaskularisasi
Gambar 2.7 Retinopati diabetik proliferatif
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Gambaran
Klinis
Pada retinopati diabetik non‐proliferatif dapat terjadi perdarahan pada
semua lapisan retina. Ada pun gejala subjektif retinopati diabetik non‐proliferatif
adalah penglihatan kabur, kesulitan membaca, penglihatan tiba‐tiba kabur pada
satu mata, melihat lingkaran‐lingkaran cahaya, melihat bintik gelap dan cahaya
kelap ‐kelip. Sedangkan gejala objektif dari retinopati diabetik non‐proliferatif
adalah :
a. Mikroaneurisma.
Mikroaneurisma merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah
vena, dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak di dekat
pembuluh darah terutama polus posterior. Kadang pembuluh darah ini
demikian kecilnya sehingga tidak terlihat Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas,
2008; Rahmawati, 2007. Mikroaneurisma merupakan kelainan DM pada
m
ata
Gambar 2.8 www.Seebetterflorida.com.
Mikroaneurisma
Gambar 2.8 Mikroaneurisma pembuluh darah retina
Universitas Sumatera Utara
b. Dilatasi
pembuluh darah balik Dilatasi
pembuluh darah balik dengan lumen ireguler dan berkelok‐kelok. Hal
ini terjadi akibat kelainan sirkulasi, dan kadang‐kadang disertai kelainan endotel
dan eksudasi plasma
Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007
Gambar 2.9
www.neec.com
Dilatasi vena
Gambar 2.9 Dilatasi pembuluh darah balik
c. Perdarahan
haemorrhages Perdarahan
dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak
dekat mikroaneurisma di polus posterior. Bentuk perdarahan dapat memberikan
prognosis penyakit dimana perdarahan yang luas memberikan prognosis
yang lebih buruk dibandingkan dengan perdarahan yang kecil.
Universitas Sumatera Utara
Perdarahan terjadi akibat gangguan permeabilitas pada mikroaneurisma atau
pecahnya kapiler Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007 Gambar
2.10 www.neec.com.
Perdarahan
Gambar 2.10 Perdarahan pada retinopati diabetik non‐proliferatif
d. Hard exudate
Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya
khusus yaitu ireguler dan berwarna kekuning‐kuningan. Pada permulaan eksudat
berupa pungtata, kemudian membesar dan bergabung Ilyas dan Tanzil, 2003;
Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007 Gambar 2.11 www.neec.com
.
Universitas Sumatera Utara
Edema makula
Hard exudate
Gambar 2.11 Edema makula dan hard exudat di fovea
e. Edema
retina Edema
retina ditandai dengan hilangnya gambaran retina terutama di daerah
makula. Edema dapat bersifat fokal atau difus dan secara klinis tampak sebagai
retina yang menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat intra
retina. Dapat berbentuk zona‐zona eksudat kuning kaya lemak, berbentuk bundar
di sekitar kumpulan mikroaneurisma dan eksudat intra retina Gambar 2.12
www.vrmny.com
Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Edema makula signifikan secara klinis Clinically significant macular oedema
CSME jika terdapat satu atau lebih dari keadaan dibawah ini :
i. edema
retina 500 μm 13 diameter diskus pada fovea sentralis. ii.
hard exudate jaraknya 500 μm dari fovea sentralis, yang
berhubungan dengan retina yang menebal.
iii. edema
retina yang berukuran 1 disk 1500 μm atau lebih, dengan jarak
dari fovea sentralis 1 disk.
Edema makula
Gambar 2.12 Funduskopi edema makula
2.3.4 Pengobatan
Universitas Sumatera Utara
Pada retinopati diabetik yang harus diperhatikan ialah apakah gula darah
dan hipertensi terkontrol secara optimal. Edema makula dapat sembuh dengan
sendirinya, tetapi jika tajam penglihatan sangat menurun, dan jika sumber
kebocoran dapat ditentukan melui angiogram, maka penggunaan fotokoagulasi
laser dapat dipertimbangkan Kadarisman, 1996.
Retinopati diabetik proliferatif merupakan indikasi untuk fotokoagulasi
laser argon panretina. Perdarahan pre‐retina atau perdarahan badan kaca dan
neovaskularisasi pada papil optik mempunyai risiko tertinggi. Fotokoagulasi
panretina mengurangi kemungkinan terjadinya perdarahan badan kaca masif dan
ablasi retina dengan terjadinya regresi, bahkan pada beberapa kasus
neovaskularisasi menghilang. Caranya ialah dengan membidikkan beberapa ribu
tembakan laser di seluruh retina secara tersebar dan teratur kecuali daerah
sentral yang dibatasi oleh papil optik dan arkade vaskular temporal mayor.
Mekanisme foto koagulasi tersebut adalah menyebabkan berkurangnya
rangsangan angiogenik oleh retina yang iskemia. Bila perdarahan badan kaca
yang menyebabkan menurunnya tajam penglihatan ini, dalam 6 bulan tidak
menjernih secara spontan, dapat dilakukan vitrektomi. Pembedahan ini harus
segera dikerjakan jika secara klinis atau berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi
diduga ada ablasi retina yang progresif. Pada ablasi retina, traksi yang mengenai
atau mengancam makula, bisa dilakukan vitrektomi untuk membebaskan traksi
dan scleral buckling untuk membantu mempertautkan retina kembali
Kadarisman, 1996.
Universitas Sumatera Utara
Neovaskularisasi retina sendiri tidak mengganggu penglihatan. Jika tidak
ada kelainan patologis di makula, mungkin tidak ada keluhan. Karena banyak
penyulit yang berat yang dapat diatasi dengan pengobatan laser dalam waktu
singkat, maka deteksi dini dan pengamatan teratur adalah sangat penting
Kadarisman, 1996.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei
analitik seksional silang cross sectional. Dalam penelitian seksional silang,
variabel bebas dan terikat yang terjadi pada objek penelitian diukur secara
simultan dalam waktu yang bersamaan Notoatmodjo, 2005. Dalam penelitian
ini yang termasuk variabel bebas adalah DM terkontrol dan tidak terkontrol,
sedangkan variabel terikat adalah retinopati diabetik.
3.1 Desain Penelitian