Pokok-Pokok Pendidikan Agama Katolik di Sekolah

14 Pendidikan Agama Katolik. Pada bagian ketiga penulis menjelaskan pokok-pokok Pendidikan Agama Katolik di sekolah yang mendukung terwujudnya perkembangan iman siswa.

A. Pokok-Pokok Pendidikan Agama Katolik di Sekolah

1. Pengertian Pendidikan Agama Katolik Penulis menyampaikan pengertian Pendidikan Agama Katolik dari para ahli yakni Mangunwijaya sebagaimana dikutip Heryatno 2008: 15 yang menyatakan bahwa “hakikat dasar Pendidikan Agama Katolik sebagai komunikasi iman, bukan pengajaran agama”. Komunikasi iman dapat menumbuhkembangkan kepercayaan dalam diri manusia sedangkan pengajaran agama hanya sebagai pengetahuan manusia serta membantu manusia untuk menerapkannya. Sangat perlulah komunikasi iman antar sesama melalui sharing pengalaman. Sharing pengalaman dapat membantu seseorang agar imannya berkembang. Mangunwijaya sebagaimana dikutip Heryatno 2008: 16 mengungkapkan bahwa: Sebagai komunikasi iman Pendidikan Agama Katolik perlu menekankan sifatnya yang praktis, artinya bermula dari pengalaman penghayatan iman, melalui refleksi dan komunikasi menuju kepada penghayatan iman baru yang lebih baik. Bersifat praktis juga berarti Pendidikan Agama Katolik lebih menekankan tindakan kehidupan daripada konsep atau teori. Dengan sifatnya yang praktis, Pendidikan Agama Katolik menjadi mediasi transformasi iman yang berlangsung secara terus-menerus. Refleksi tidak dapat dipisahkan dari komunikasi iman karena dengan adanya refleksi yang dilakukan oleh siswa di sekolah, maka siswa dapat melakukan komunikasi iman dengan orang-orang yang berada di sekitarnya. Refleksi juga membantu siswa dalam menghayati pengalaman imannya sehingga 15 siswa semakin percaya kepada Tuhan. Perkembangan iman siswa dibantu melalui pengalaman iman yang direfleksikan karena dengan refleksi siswa mampu menemukan pengalaman imannya sehingga siswa bisa melakukan komunikasi iman terhadap sesama serta semakin mengimani Kristus sebagai Anak Allah. Siswa yang percaya kepada Tuhan selalu mengandalkan Tuhan dalam hidupnya. Pendidikan Agama Katolik di sekolah lebih menekankan tindakan nyata daripada teori karena Pendidikan Agama Katolik bertujuan untuk mengembangkan iman siswa secara konkrit dalam hidup siswa, hal ini dimaksudkan agar perkembangan iman siswa bukan hanya berguna bagi dirinya sendiri tetapi juga berguna bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Senada dengan pemikiran Mangunwijaya, Jacobs sebagaimana dikutip oleh Dapiyanta 2011: 4 mengungkapkan bahwa “Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan salah satu bentuk komunikasi iman yang meliputi unsur pengetahuan, pergumulan, dan penghayatan dalam pelbagai bentuk”. Komunikasi iman yang meliputi unsur pengetahuan dimaksudkan bahwa Pendidikan Agama Katolik di sekolah tidak begitu saja melupakan pengetahuan karena dengan pengetahuan yang dimiliki, siswa mampu melakukan tindakan nyata. Pengetahuan juga membantu siswa memahami apa yang harus mereka lakukan dan tidak merugikan diri sendiri serta orang lain. Pendidikan Agama Katolik di sekolah juga merupakan bentuk komunikasi berupa pergumulan dan penghayatan berbagai bentuk. Hal ini diartikan bahwa siswa tidak hanya mengetahui atau memahami saja tetapi siswa diharapkan mampu menghayati serta merangkul sesama dalam iman dan perbuatan, sehingga siswa semakin terbantu dalam mengembangkan 16 imannya dan mengimani Kristus sebagai sumber kehidupan. Heryatno 2008: 14- 15 berpendapat bahwa: Pendidikan Agama Katolik harus bervisi spiritual. Yang dimaksud spiritual disini adalah hal-hal yang berhubungan dengan inti hidup manusia. Maka bervisi spiritual berarti Pendidikan Agama Katolik secara konsisten terus berusaha memperkembangkan kedalaman hidup peserta didik, memperkembangkan jati diri atau inti hidup mereka. Dengan bervisi spiritual, Pendidikan Agama Katolik diharapkan dapat membantu perkembangan iman siswa melalui kepercayaan yang ada dalam diri siswa. Hal ini sangat penting untuk ditanamkan kepada siswa di sekolah agar siswa mendapatkan nilai-nilai yang bisa menopang kepercayaan yang terkandung di dalam Pendidikan Agama Katolik. Nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membantu siswa dalam menghadapi berbagai masalah pada masa remajanya. Pendidikan Agama Katolik mengajarkan kepada siswa agar pengetahuan dapat diterapkan dalam perbuatan nyata dan keduanya haruslah seimbang. Ajaran dan pedoman Gereja tentang Pendidikan Katolik sebagaimana dikutip oleh Dapiyanta 2011: 4 mengemukakan bahwa “Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan sarana atau pelaksanaan pewartaan Kristus”. Sarana merupakan alat agar manusia menjadi pewarta Kristus di dunia. Setiap orang mempunyai cara yang berbeda sebagai pewarta misalnya berbuat baik dan saling mengasihi sesama. Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan sarana agar siswa dapat mengenal Kristus sebagai pewarta iman yang sejati. Sarana yang diberikan guru terhadap siswa berupa pengetahuan dari materi yang disampaikan serta pekerjaan rumah PR agar siswa dapat menerapkannya di tengah keluarga, Gereja, dan masyarakat luas. 17 Lokakarya mengenai tempat dan peranan Pendidikan Agama Katolik di sekolah yang diadakan oleh Komkat KWI di Malino sebagaimana dikutip oleh Dapiyanta 2011: 4 mengemukakan bahwa “Pendidikan Agama Katolik merupakan bagian dari katekese yang berusaha membantu siswa agar dapat menggumuli hidupnya dari segi pandangan Kristiani”. Katekese merupakan pelayanan sabda dengan fungsi khas pendidikan iman. Pelayanan sabda yang dilakukan melalui pengajaran Pendidikan Agama Katolik di sekolah diupayakan dapat membantu siswa menemukan jati dirinya serta beriman kepada Kristus. Siswa yang beriman kepada Kristus akan senantiasa melayani sesama dengan sepenuh hati. Berdasarkan pengertian di atas, penulis lebih tertarik dengan pernyataan Ajaran dan pedoman Gereja tentang Pendidikan Katolik sebagaimana dikutip oleh Dapiyanta yakni Pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan sarana atau pelaksanaan pewartaan Kristus. Sarana merupakan alat, dimana alat tersebut dapat digunakan guru di sekolah untuk mendidik siswanya menjadi berkembang, baik berkembang dalam rohani maupun jasmani. Pendidikan Agama Katolik di Sekolah membantu siswa agar mampu mengenal dan mencintai Kristus. Sarana juga membantu siswa agar mewartakan kasih Allah. Selain itu, Pendidikan Agama Katolik menjadi tolak ukur siswa dalam perkembangan imannya. Berbagai cara dapat dilakukan dalam melaksanakan pewartaan Kristus, misalnya berdoa. Berdoa merupakan sarana agar manusia dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Di dalam Pendidikan Agama Katolik di sekolah, berdoa juga diajarkan guru kepada para muridnya, bahkan sebelum memulai dan mengakhiri kegiatan selalu diawali 18 dengan berdoa. Semuanya merupakan sarana agar manusia dekat dengan Tuhan serta mewartakan kasih Kristus. Suradibrata 1984: 2 mengungkapkan bahwa “mendidik adalah kegiatan untuk membantu sesama agar “jadi orang”, dengan segala keterbatasannya, secara berangsur-angsur, dalam kebersamaan dengan orang lain”. Guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah menempatkan diri sebagai guru yang mempunyai jiwa pendidik yang sepenuh hati mendidik siswanya agar siswa tersebut mendapat pengetahuan dan perkembangan iman yang utuh dan penuh sehingga dapat berguna bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah mempunyai keunikan masing-masing dalam mendidik siswanya agar dapat berkembang. Berbagai macam cara dilakukan agar siswa dapat memahami materi yang disampaikan dan dapat mewujudnyatakan dalam kehidupannya di tengah masyarakat luas. Groome 2010: 37 mengungkapkan bahwa: Pendidikan Agama Kristen adalah kegiatan politis bersama para peziarah dalam waktu yang secara sengaja bersama mereka memberi perhatian pada kegiatan Allah di masa kini kita, pada cerita komunitas iman Kristen, dan Visi Kerajaan Allah, benih-benih yang telah hadir diantara kita. Pada jaman dahulu Yesus menjadi guru bagi para murid-Nya dan mengajarkan nilai-nilai Kerajaan Allah. Tentu saja Yesus tidak hanya memberikan pengetahuan kepada para murid-Nya tetapi memberikan harapan agar para murid-Nya dapat menerapkan nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah dunia. Begitu pula Pendidikan Agama Katolik di sekolah, guru memberikan pengetahuan kepada siswa dengan harapan siswa mampu melaksanakan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Silabus 2010: 1 menyatakan bahwa: 19 Pendidikan Agama Katolik adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dengan tetap memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Pendidikan Agama Katolik di sekolah bertujuan agar siswa mampu memahami dan melakukan kegiatan sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, kegiatan yang dilakukan dapat membantu mengembangkan iman dan kepercayaan siswa. Siswa juga diajarkan untuk menghargai dan menghormati agama lain sejak dini baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah agar siswa dapat menjalin komunikasi yang baik antar sesama. Guru terlibat aktif dalam proses perkembangan siswa di sekolah agar siswa melakukan kegiatan secara terarah dan mempunyai dorongan yang kuat dari guru tersebut.

2. Tujuan Pendidikan Agama Katolik

Heryatno 2008: 23 mengungkapkan bahwa “tujuan Pendidikan Agama Katolik bersifat holistik artinya, sesuai dengan kepentingan hidup peserta didik, tujuan Pendidikan Agama Katolik di sekolah harus mencakup segi kognitif, afeksi dan praksis”. Segi kognitif pikiran, afeksi perasaan, dan praksis tindakan tidak dapat dipisahkan karena saling mendukung dalam perkembangan siswa, sehingga ketiganya diberikan secara seimbang oleh guru Pendidikan Agama Katolik kepada masing-masing siswa. Kemampuan siswa di kelas sangatlah beragam, oleh sebab itu guru Pendidikan Agama Katolik haruslah mempunyai kemampuan dalam mendidik siswanya, misalnya memberikan materi Pendidikan 20 Agama Katolik dengan cara yang mudah ditangkap dan menyenangkan oleh semua siswa, sehingga kreativitas guru sangat penting dalam mendidik. Berikut ini disampaikan 3 tujuan Pendidikan Agama Katolik yaitu 1 demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah: inti segala tujuan Pendidikan Agama Katolik di sekolah, 2 tujuan formal jangka panjang: kedewasaan iman, 3 iman yang dihayati membebaskan manusia.

a. Demi Terwujudnya Nilai-nilai Kerajaan Allah: Inti Segala Tujuan

Pendidikan Agama Katolik di Sekolah Heryatno 2008: 25 mengungkapkan bahwa: Sifat holistik tujuan Pendidikan Agama Katolik dapat lebih konkret kalau diletakkan pada inti dari segala tujuan proses penyelenggaraannya, yang sering disebut metapurpose yaitu untuk memperjuangkan terwujudnya nilai-nilai kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus. Yesus Kristus di dalam sabda, karya dan seluruh hidup-Nya mempunyai keprihatinan pokok mewartakan serta mewujudkan kerajaan Allah. Dapat juga dikatakan bahwa Yesus adalah kerajaan Allah. Yesus telah bersabda dalam hidup manusia. Yesus diutus Allah ke dunia dengan sabda, karya, serta menyerahkan seluruh hidup-Nya untuk manusia. Nilai- nilai Kerajaan Allah yang ditanamkan Yesus kepada manusia adalah nilai-nilai kebaikan, cinta kasih, saling menghargai, serta melayani sesama. Selama hidup di tengah dunia, Yesus berusaha mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah, melalui sabda dan karya-Nya. Guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah mengajarkan tentang karya Yesus di dunia agar siswa semakin mengenal dan mencintai Yesus. Tujuan Pendidikan Agama Katolik dalam proses penyelenggaraannya dimaksudkan tidak hanya untuk mengetahui dan memahami saja tetapi tindakan nyata merupakan salah satu cara untuk mewujudkan nilai-nilai Kerajaan Allah. 21

b. Tujuan Formal Jangka Panjang: Kedewasaan Iman

Heryatno 2008: 29 mengungkapkan bahwa “iman yang dewasa juga diartikan sebagai iman yang berkembang semakin matang secara penuh dan bersifat holistik karena mencakup segi pemikiran, hati, dan praksis.” Siswa yang memasuki masa remajanya membutuhkan proses untuk mencapai iman yang dewasa. Iman yang dewasa diartikan sebagai iman yang berkembang karena mencakup segi pemikiran, hati, dan praksis, artinya setiap siswa yang mempunyai keinginan untuk berkembang dalam iman akan mengandalkan pemikiran, hati, dan perasaan karena ketiganya merupakan penunjang agar siswa mampu melaksanakan sesuatu didasari oleh dorongan dalam diri mereka. Jika segi pemikiran, hati, dan perasaan berjalan secara seimbang, maka siswa akan lebih terbantu dalam proses pendewasaan iman serta mampu mengendalikan dirinya. Seseorang yang dianggap dewasa dalam iman adalah seseorang yang mampu mengendalikan dirinya sendiri dari hal-hal negatif atau yang merugikan dirinya sendiri serta orang di sekitarnya.

c. Iman yang Dihayati Membebaskan manusia

Heryatno 2008: 33 mengungkapkan bahwa “kebebasan merupakan kondisi utama bagi manusia untuk menghayati dan memperkembangkan imannya. Hanya di dalam suasana hati yang bebas manusia dapat sungguh menghayati dan mewujudkan imannya”. Melakukan pekerjaan tanpa adanya paksaan dari orang lain sangat menyenangkan bagi manusia, hal inilah yang dimaksud dengan kebebasan. Kebebasan merupakan kondisi utama bagi manusia untuk menghayati 22 dan memperkembangkan imannya. Hal ini dimaksudkan bahwa suasana hati yang bebas sangat dibutuhkan oleh semua orang karena manusia melakukan sesuatu berdasarkan kehendak dari diri sendiri bukan karena adanya paksaan dari orang lain. Tentu saja bebas tidak diartikan secara individualitas karena bebas disini adalah bebas untuk mengasihi sesama, bebas untuk melaksanakan nilai-nilai Kerajaan Allah, bebas menanggapi cinta kasih Allah. Iman manusia akan berkembang menjadi lebih baik dengan adanya kebebasan.

3. Konteks Pendidikan Agama Katolik

Heryatno 2008: 40 mengungkapkan bahwa “para guru Pendidikan Agama Katolik diharapkan mengenal dengan baik keadaan hidup peserta didiknya dan memiliki perhatian personal kepada mereka.” Guru di sekolah diharapkan mampu untuk mengenal siswa secara personal agar dapat membantu proses perkembangan siswa baik rohani maupun jasmani. Guru tidak hanya memberikan materi di kelas, tetapi guru juga memberikan dorongan atau motivasi sehingga siswa dapat berkembang di masa remajanya. Guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah memiliki perhatian personal bagi para siswa, artinya dengan segala kekurangan dan kelebihan yang siswa miliki, guru senantiasa membantu siswa untuk berkembang.

a. Sosialisasi Menuju Pribadi yang Lebih Matang

Heryatno 2008: 41 mengungkapkan bahwa: Sosialisasi merupakan proses yang berlangsung seumur hidup di mana seseorang memasukkan diri atau dimasukkan ke dalam etos hidup 23 bersama. Di dalam proses tersebut sebagai manusia kita menghadapi dan menanggapi pengaruh konteks sosial yang berupa tatanan hidup, nilai yang dianut, corak tingkah laku yang diharapkan, dll. Sosialisasi merupakan proses yang berlangsung seumur hidup, artinya sepanjang hidupnya manusia akan terus melakukan sosialisasi karena manusia selalu berinteraksi dengan sesama. Dalam lingkungan keluarga anak mulai belajar bersosialisasi dengan orangtua dan saudaranya, jika anak tersebut mampu melakukan sosialisasi dengan keluarganya maka kebiasaan tersebut akan membawa dampak yang baik ketika sudah berada atau berinteraksi di lingkungan sekolah serta masyarakat luas. Anak menjadi pribadi yang lebih matang ketika anak mampu menyesuaikan diri di tengah masyarakat luas maka nilai-nilai yang sudah ditanamkan oleh orangtuanya di rumah terus melekat dalam dirinya. Sosialisasi menjadi suatu kebutuhan bagi hidup manusia karena dengan adanya sosialisasi setiap manusia menjumpai banyak orang yang dapat mengubah dirinya menjadi lebih dewasa dalam bersikap.

b. Sosialisasi Menuju Hidup Beriman yang Dewasa

Heryatno 2008: 43 mengungkapkan bahwa: Untuk menjadi lebih Kristiani kita membutuhkan komunikasi dengan sesama umat Kristiani. Di dalam komunikasi dengan sesama umat Kristiani tersebut kita menjumpai cara hidup umat, harta kekayaan dan pengakuan iman mereka. Di dalam proses yang sama itu, kita mempelajari harta kekayaan iman Gereja, kita berkenalan dan mengambil bagian di dalam cara hidup umat sehingga kita makin mencintai, meyakini dan menghayati iman umat. Sosialisasi terhadap sesama umat Kristiani dengan cara menjalin relasi yang baik dengan sesama, secara tidak langsung membantu proses pendewasaan 24 iman seseorang. Hal ini dapat dilakukan melalui keterlibatan atau partisipasi umat dalam kehidupan menggereja, misalnya mengikuti pendalaman iman di lingkungan. Setiap mengikuti pendalaman iman di lingkungan, umat bisa saling bertukar pengalaman iman mereka dengan cara mensharingkannya, dari sharing tersebut umat saling memperkaya dan meneguhkan satu sama lain, pada akhirnya iman umat semakin diperkuat dan dipersatukan dalam nama Yesus. Untuk menjadi lebih Kristiani kita membutuhkan komunikasi dengan sesama umat Kristiani, artinya menjalin komunikasi antar umat Kristiani akan membantu setiap umat untuk berkembang.

c. Proses Sosialisasi Memerlukan Edukasi yang Bersifat Kritis

Heryatno 2008: 47 mengungkapkan bahwa: Dalam membantu memperkembangkan iman siswa Pendidikan Agama Katolik secara serentak memerlukan baik proses sosialisasi maupun edukasi yang bersifat kritis. Pendidikan Agama Katolik di sekolah memang harus bersifat kontekstual dan secara serius bertolak dari kenyataan hidup beriman siswa dan menanggapi kebutuhan mereka baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Dalam membantu memperkembangkan iman siswa Pendidikan Agama Katolik secara serentak memerlukan baik proses sosialisasi maupun edukasi yang bersifat kritis, hal ini dimaksudkan bahwa guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah membantu siswa dengan cara memberikan pendidikan kepada siswa, dimana pendidikan tersebut mampu membantu siswa untuk menemukan sendiri apa yang menjadi kebutuhan mereka berdasarkan hati nurani siswa. Edukasi yang bersifat kritis sangat diperlukan dalam bersosialisasi, artinya Pendidikan Agama katolik di sekolah membantu siswa untuk berkembang dalam iman dengan 25 dibekali pendidikan agar siswa mampu menjadi dirinya sendiri sehingga tidak terjadi keseragaman antar siswa. Siswa dapat saling melengkapi dengan segala perbedaan yang ada dalam diri mereka.

4. Model-Model Pendidikan Agama Katolik

Heryatno 2008: 49 mengungkapkan bahwa “istilah model perlu dimengerti sebagai suatu pendekatan tertentu yang memiliki suatu kerangka yang tertentu pula untuk suatu proses kegiatan penyelenggaraan pendidikan dalam iman dengan langkah-langkah yang kurang lebih tetap.” Pendidikan Agama Katolik di sekolah menempatkan siswa sebagai subjek dan guru sebagai fasilitator. Model perlu dimengerti sebagai suatu pendekatan hal ini dimaksudkan bahwa ada banyak cara atau pendekatan yang dilakukan oleh seorang guru agar siswanya dapat memahami apa yang disampaikan guru di kelas sehingga membantu siswa untuk berkembang, perkembangan tersebut tentu saja berasal dari dorongan yang ada dalam diri siswa sehingga guru dengan berbagai cara pula membantu dan mengarahkan siswanya dalam bertindak.

a. Tiga Unsur Pokok Pendidikan Agama Katolik

1 Pengalaman Hidup Peserta Didik Heryatno 2008: 50 mengungkapkan bahwa “pengalaman hidup mencakup seluruh kenyataan hidup peserta. Melalui refleksi terhadap pengalaman hidupnya peserta didik mengenali kehadiran Allah yang melimpahkan rahmat- Nya dan mengundang mereka untuk menanggapinya.” Pengalaman hidup dan 26 refleksi memang tidak dapat dipisahkan karena dalam kehidupan sehari-hari setiap orang akan mengalami banyak hal yang membuat manusia merefleksikannya baik pengalaman yang menyenangkan maupun pengalaman yang tidak menyenangkan. Hal ini merupakan suatu proses pembelajaran hidup menuju suatu perkembangan iman manusia. Dalam Pendidikan Agama Katolik di sekolah, guru selalu membiasakan siswanya agar merefleksikan semua pengalaman yang sudah siswa dapatkan baik dalam pelajaran maupun dalam kegiatan siswa sehari-hari. Refleksi melatih siswa agar mampu memperbaiki yang menjadi kekurangannya dan mempertahankan apa yang menjadi kelebihan atau bakatnya serta menanggapi kehadiran Allah dalam hidupnya. Pengalaman hidup membawa setiap orang untuk berkembang dalam pikiran, perbuatan, dan iman sehingga seseorang semakin percaya dan mengimani Kristus di tengah dunia. 2 Visi dan Kisah Kristiani Harta Kekayaan Iman Gereja Heryatno 2008: 51 mengungkapkan bahwa “visi dan kisah hidup Kristiani menjadi kerangka untuk menafsirkan pengalaman hidup konkret peserta, agar peserta menyadari makna pengalamannya dan dihantar untuk sampai pada pengakuan iman Katolik yang lebih personal dan otentik.” Visi dan kisah hidup Kristiani menjadi kerangka untuk menafsirkan pengalaman hidup konkret peserta, artinya setiap orang pasti mengalami pengalaman iman dalam hidupnya. Dari pengalaman iman tersebut seseorang menyadari makna pengalaman imannya bahwa pengalaman iman mampu mengubah hidup manusia menjadi lebih baik. Dalam kehidupan menggereja setiap umat yang sudah dibaptis percaya bahwa 27 Tuhan selalu hadir di tengah hidup manusia. Pengalaman dibaptis merupakan pengalaman iman karena manusia menyadari akan kehadiran Tuhan melalui baptisan tersebut. Setelah dibaptis setiap orang akan semakin diperteguh imannya dan hidup dalam nama Yesus sebagai Anak Allah. Hal inilah yang dimaksud dengan pengakuan Katolik yang lebih personal dan otentik karena setiap orang yang memutuskan dirinya untuk dibaptis maka orang tersebut siap dengan segala konsekuensinya mengikuti Kristus. 3 Komunikasi Hidup Konkret Peserta dengan Visi dan KisahTradisi Kristiani Heryatno 2008: 51 mengungkapkan bahwa “salah satu tugas utama Pendidikan Agama Katolik di sekolah adalah mendialogkan atau mempertemukan pengalaman hidup dengan harta kekayaan iman Katolik.” Dialog membantu siswa semakin menghayati imannya sebagai pribadi yang mengimani Krsitus. Tujuan Pendidikan Agama Katolik di sekolah adalah mendialogkan pengalaman hidup dengan harta kekayaan iman Katolik. Hal ini dimaksudkan agar Pendidikan Agama Katolik sungguh-sungguh membantu siswa agar mampu memaknai pengalaman hidupnya sehingga mampu menghayati dirinya sebagai anggota Gereja Katolik. Pengakuan dirinya sebagai anggota Gereja Katolik diwujudkan dalam kehidupannya sehari-hari yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Kerajaan Allah di tengah hidup manusia dan menghayati semangat injili dalam dirinya. Dialog diharapkan dapat memperkembangkan hidup siswa artinya siswa menyadari dan memaknai pengalaman hidupnya sehingga mampu membantu dirinya untuk mewujudnyatakan pengalaman hidup secara kontekstual 28

b. Beberapa Model Pendidikan Agama Katolik

1 Model TransmisiTransfer Heryatno 2008: 55 mengungkapkan bahwa “model ini berpusat pada guru yang mentransfer mengoper seluruh pengetahuannya pada siswa dengan menerapkan relasi guru dengan siswa.” Model transmisitransfer merupakan cara lama yang digunakan para guru dalam mengajar. Model ini kurang efektif karena tidak melibatkan siswa dalam kegiatan mengajarmemberikan materi. Dalam mengikuti pelajaran di kelas ada jarak antara guru dan siswa sehingga guru tidak kreatif dalam menyampaikan materi dan siswa kurang aktif mengikuti pelajaran di kelas. Hal ini tidak membantu perkembangan siswa baik secara kognitif maupun dalam iman karena guru tidak memberikan apa yang menjadi kebutuhan siswa. 2 Model yang Berpusat pada Hidup Peserta Heryatno 2008: 57 mengungkapkan bahwa “model pendidikan yang berpusat pada hidup peserta ini merupakan reaksi yang ekstrem terhadap model pendidikan yang bersifat dogmatis.” Pada jaman era globalisasi seperti saat ini, para guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah hanya sebagai fasilitator dengan berpusat pada hidup pesertapeserta didik. Model ini diyakini mampu memperkembangkan pengetahuan dan iman siswa secara utuh. Siswa terlibat aktif dalam kegiatan pengajaran di kelas dengan cara tanya jawab dan kerja kelompoksharing pengalaman, pada akhir pelajaran siswa diajak untuk merefleksikan pengalaman mereka selama mengikuti pelajaran di kelas berkaitan dengan pengalaman hidup mereka secara konkrit. 29 Kedua model di atas masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan, oleh sebab itu kedua model di atas saling melengkapi. Guru Pendidikan Agama Katolik di sekolah bukan hanya sebagai fasilitator tetapi guru juga memberikan pengetahuaninformasi sehingga membantu perkembangan kognitif siswa dan memfasilitasi siswa agar siswa aktif di kelas serta membantu perkembangan iman mereka.

5. Sosok Guru Pendidikan Agama Katolik Memandang Siswa Sungguh

Baik, Diciptakan Menurut Gambar Dan Rupa Tuhan

a. Antropologi Kristiani: Manusia Sungguh Baik

Heryatno 2008: 101 mengungkapkan bahwa “manusia diciptakan supaya dapat mengasihi Allah dan sesamanya. Manusia selalu berada di dalam relasinya dengan Tuhannya, sesamanya dan seluruh alam semesta lingkungannya.” Manusia diciptakan agar saling mengasihi Allah, sesamanya dan alam semesta, artinya setiap umat manusia harus saling mengasihi sebagaimana Allah mengasihi manusia serta menjaga alam semesta yang diciptakan Allah untuk manusia agar manusia hidup berkecukupan di dunia ini. Manusia diciptakan Allah dengan segala keunikannya, artinya manusia diciptakan Allah dengan segala perbedaan agar manusia saling melengkapi dan bekerjasama dengan sesama serta menjalin hubungan yang baik dengan sesama, karena Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya maka Allah memandang manusia sungguh baik. Walaupun manusia dapat berdosa dan berbuat jahat akan tetapi Allah selalu mengampuni manusia. Hal inilah bukti bahwa Allah sungguh mengasihi manusia. 30

b. Implikasi Antropologi Positif bagi Pengembangan Sikap Hidup para

Guru 1 Meneguhkan Pribadi dan Jati Diri Siswa Heryatno 2008: 104 menyatakan bahwa “sikap dasar guru Pendidikan Agama Katolik, yang meneguhkan dan menghormati lebih-lebih siswanya yang bermasalah, lemah dan nakal, diharapkan dapat mendorong dan memberdayakan siswa agar mereka sendiri dapat memperkembangkan hidupnya.” Manusia diciptakan Tuhan dengan kekurangan dan kelebihan yang dimiliki setiap orang. Sikap dasar guru Pendidikan Agama Katolik, yang meneguhkan dan menghormati siswanya yang bermasalah, lemah, dan nakal dimaksudkan bahwa guru Pendidikan Agama Katolik mampu mengenal siswa secara personal, sehingga guru dapat mendorong dan memberdayakan siswanya dengan cara memahami kebutuhan siswa tanpa memandang latar belakang mereka. Guru Pendidikan Agama Katolik membantu siswa berkembang dengan melihat bakat-bakat yang mereka miliki. Melalui bakat-bakat yang ada dalam diri siswa tersebut maka guru dengan kerendahan hatinya mendampingi siswa, menaruh harapan dan kepercayaan agar siswa berkembang menjadi lebih baik serta bersikap lembut dan murah hati apabila menghadapi siswa yang bermasalah, lemah, dan nakal serta berusaha mendampingi para siswa untuk berkembang. 2 Tetap Yakin dan Penuh Harap pada Siswa Heryatno 2008: 104 menyatakan bahwa: Sebagai guru kita tidak pernah kehilangan pengharapan dan keyakinan bahwa semua siswa dapat berkembang sesuai dengan bakat-bakat yang 31 mereka terima dari Allah mereka; karena kebaikan dan kemurahan hati- Nya semua siswa dapat sampai pada kelimpahan dan kepenuhan hidup. Sebagai pendidik guru tidak pernah kehilangan pengharapan dan keyakinan terhadap siswanya, artinya guru tidak hanya melihat kekurangan yang siswa miliki tetapi guru percaya bahwa di balik kekurangan ada kelebihan dalam diri siswa. Melalui kepercayaan tersebut guru sungguh-sungguh mempunyai keinginan yang tulus untuk membantu siswa dalam berkembang. Guru membantu siswa untuk menemukan bakat-bakat yang ada dalam diri siswa serta membantu siswa untuk mengembangkan bakat tersebut. Guru meyakini bahwa setiap anak bisa berkembang menjadi lebih baik ketika ia tersebut mempunyai keyakinan yang kuat bahwa dirinya mampu dan bisa melakukan apa yang menjadi cita- citanya. 3 Mengasihi Siswa Heryatno 2008: 105 menyatakan bahwa “beriman, berharap dan mengasihi hidup siswa itulah yang menjadi sikap, tekad dan kesadaran yang wajib mereka wujudkan di dalam menunaikan tugas panggilan mereka sebagai guru Pendidikan Agama Katolik.” Guru mengasihi siswanya seperti Yesus mengasihi para murid-Nya. Guru mengasihi siswa dengan tulus hati mendampingi siswa dan rela berkorban demi terwujudnya perkembangan iman siswa. Beriman, berharap dan mengasihi hidup siswa menjadi sikap dasar sebagai guru Pendidikan Agama Katolik. Hal ini dimaksudkan bahwa iman dilandasi dengan pengharapan dan diwujudnyatakan melalui kasih seorang guru kepada siswa. Guru memadukan keutamaan sifat-sifat ayah dan ibu, sifat ayah yang selalu tegar, kuat, serta rela 32 berkoban dan sifat ibu yang lemah lembut, sabar, serta rendah hati. Sifat-sifat inilah yang membantu seorang guru dalam meperkembangkan hidup siswa. 4 Menghormati Siswa Sebagai Subjek Heryatno 2008: 106 menyatakan bahwa “dengan memperlakukan mereka sebagai subjek, para guru Pendidikan Agama Katolik juga akan memberdayakan mereka sebagai pelaku pendidikan yang aktif, kreatif serta realistis.” Guru Pendidikan Agama Katolik memberdayakan siswa sebagai pelaku pendidikan yang aktif, kreatif, serta realistis artinya guru memfasilitasi siswa di kelas dengan penuh kepercayaan memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif menemukan apa yang menjadi kebutuhan mereka. Guru juga memotivasi serta mempermudah siswa sehingga siswa mempunyai kreativitas dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Hal ini secara realistis membantu perkembangan iman siswa secara utuh. 5 Menghormati Kebebasan, Hak dan Tanggungjawab Siswa Heryatno 2008: 107 menyatakan bahwa “kebebasan terwujud kalau para guru Pendidikan Agama Katolik menghormati hidup siswa sebagai pribadi di dalam totalitasnya dan mendorong mereka untuk bersikap serta bertindak berdasar hati nuraninya.” Setiap orang perlu menentukan pilihan dalam hidupnya berdasarkan hati nurani. Kebebasan terwujud apabila guru Pendidikan Agama Katolik menghormati hidup siswa sebagai pribadi serta bertindak berdasarkan hati nurani, artinya bahwa guru berkewajiban mendidik siswa tetapi guru tidak berhak 33 menentukan pilihan dalam hidup siswa. Siswa hanya dimotivasi dan difasilitasi agar siswa mampu menetukan pilihannya sendiri secara kontekstual, dengan penuh kesadaran bahwa apa yang menjadi pilihannya adalah yang terbaik dalam hidupnya. Kebebasan yang dimiliki oleh siswa berdasarkan kesadaran dan hati nurani tanpa adanya paksaan dari guru atau orang lain.

B. Perkembangan Iman