Bab 1 sampai selesai fix

(1)

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1. Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

1.1 Definisi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Banyak definisi yang telah digunakan selama lebih 50 tahun untuk mendefinisikan gagal jantung. Gejala – gejala yang menjadi sorotan antara lain kompleks gejala seperti haemodynamik, konsumsi oksigen atau kapasitas melakukan kegiatan fisik. Gagal jantung merupakan gejala – gejala dimana pasien memenuhi ciri berikut: gejala – gejala gagal jantung, nafas pendek yang khas selama istirahat atau saat melakukan aktifitas, dan atau kelelahan; tanda – tanda retensi cairan seperti kongestif pulmonal atau pembengkakan tungkai.1

Selain itu gagal jantung dapat didefinisikan sebagai suatu sindroma klinis dimana pasien memiliki beberapa gambaran antara lain gejala khas gagal jantung (sesak napas saat aktifitas fisik atau saat istirahat, kelelahan, keletihan, pembengkakan pada tungkai) dan tanda khas gagal jantung (takikardia, takipnea, pulmonary rales, efusi pleura, peningkatan jugular venous pressure, edema perifer, hepatomegali) dan temuan objektif pada abnormalitas struktur dan fungsi jantung saat istirahat (kardiomegali, bunyi jantung ketiga, cardiac murmur, abnormalitas pada elektrokardiogram, penigkatan konsentrasi natriuretic peptide).2

1.2 Epidemiologi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Gagal jantung merupakan salah satu penyakit kardiovaskular dengan prevalensi yang terus meningkat. Gagal jantung mempengaruhi lebih dari 5.2 juta pernduduk amerika, dan lebih dari 550,000 kasus baru yang didiagnosis tiap tahunnya. Tiap tahunnya gagal jantung bertanggung jawab terhadap hampir 1 juta hospitalisasi. Mortalitas rata – rata rawatan yang dilaporkan pada 3 hari, 12 bulan, dan 5 tahun pada pasien yang dirawat di rumah sakit masing –masing adalah 12%, 33%, dan 50%. Rata – rata yang mengalami hospitalisasi kembali adalah 47% dalam 9 bulan.1

Beban ekonomi terhadap gagal jantung masih besar. Pada tahun 2007, biaya langsung dan tidak langsung yang dialokasikan untuk gagal jantung adalah 33.2 juta dolar. Biaya hospitalisasi untuk bagian yang lebih besar sekitar 54%.1


(2)

Kurangnya kepatuhan terhadap rekomendasi diet atau terapi obat merupakan penyebab paling umum dimana pasien gagal jantung masuk ke instalasi gawat darurat. Sekitar sepertiga kunjungan ke instalasi gawat darurat merupakan akibat ketidakpatuhan tersebut.1

Data yang diperoleh dari beberapa studi mengenai beberapa penggolongan klinis terhadap pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit dengan perburukan gagal jantung. Studi ini menunjukan bahwa mayoritas pasien yang dirawat dengan gagal jantung memiliki bukti hipertensi sistemik pada saat masuk rumah sakit dan umumnya mengalami left ventricular ejection fraction (LVEF).3

1.3 Etiologi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung. Penyebab yang paling umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi kerusakan atau hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan vaskuler dengan hipertensi, atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF). Penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi penyebab gagal jantung pada 70% dari pasien gagal jantung. Penyakit katup sekitar 10% dan kardiomiopati sebanyak 10%.2

Kardiomiopati merupakan gangguan pada miokard dimana otot jantung secara struktur dan fungsionalnya menjadi abnormal [dengan ketiadaan penyakit jantung koroner, hipertensi, penyakit katup, atau penyakit jantung kongenital lainnya] yang berperan terjadinya abormalitas miokard.2


(3)

Tabel 1. Penyebab umum gagal jantung oleh karena penyakit otot jantung (penyakit miokardial)2

Penyakit jantung coroner Banyak manifestasi

Hipertensi Sering dikaitkan dengan hipertrofi

ventrikel kanan dan fraksi ejeksi

Kardiomiopati Faktor genetic dan non – genetic (termasuk yang didapat seperti myocarditis)

Hypertrophic (HCM), dilated (DCM), restrictive (RCM), arrhythmogenic right ventricular (ARVC), yang tidak terklasifikasikan

Obat – obatan β - Blocker, calcium antagonists, antiarrhythmics, cytotoxic agent

Toksin Alkohol, cocaine, trace elements

(mercury, cobalt, arsenik)

Endokrin Diabetes mellitus, hypo/hyperthyroidism,

Cushing syndrome, adrenal insufficiency,

excessive growth hormone,

phaeochromocytoma

Nutrisional Defisiensi thiamine, selenium, carnitine. Obesitas, kaheksia

Infiltrative Sarcoidosis, amyloidosis,

haemochromatosis, penyakit jaringan ikat

Lainnya Penyakit Chagas, infeksi HIV, peripartum

cardiomyopathy, gagal ginjal tahap akhir 1.4 Patofisiologi Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Ketidakmampuan dan kegagalan jantung memompa darah secara langsung menciptakan suatu keadaan hipovolemik relatif yang lebih dikenal dengan arterial underfilling. Selain itu respon terhadap faktor – faktor neurohormonal (seperti sistem saraf simpatis, renin – angiotensin – aldosterone system, arginine vasopressin dan endotelin – 1) menjadi teraktivasi untuk mempertahankan euvolemia yang menyebabkan retensi cairan, vasokonstriksi, atau keduanya. Pada pasien tanpa gagal jantung, respon ini untuk mengakhiri volume cairan yang telah dipertahakan.4

Aktivasi neurohormonal juga menstimulasi aktivasi sitokin proinflamasi dan mediator – mediator apoptosis miosit. Elevasi neurohormonal dan imunomodulator yang diamati pada pasien dengan ADHF yang dikaitkan dengan perburukan gejala gagal jantung dan perburukan prognosis pasien (Gambar 1).4


(4)

Gambar 1. Dampak dari mediator secara patofisiologi pada hemodinamik pada pasien dengan gagal jantung. PCWP = pulmonary capillary wedge pressure; SNS = sympathetic nervous system; SVR = systemic vascular resistance.4

1.4.1 Aktifitas Neurohormonal pada Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Pada pasien dengan gagal jantung, aktivasi sistem saraf simpatik mencegah terjadinya arterial underfilling yang meningkatkan cardiac output sampai toleransi berkembang dengan dua mekanisme. Pertama, myocardial 1 – receptor terpisah dari second messenger protein, yang mengurangi jumlah cyclic adenosine 5¸-monophosphate (cAMP) yang dibentuk untuk sejumlah interaksi reseptor ligan tertentu. Kedua, mekanisme dephosphorylation menginternalisasi 1-reseptor dalam vesikula sitoplasma di miosit tersebut. Bahkan dengan latar belakang tingkat toleransi., peningkatan marker akut pada katekolamin diamati di antara pasien dengan ADHF masih mengangkat cAMP miokard, meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler dan tingkat metabolisme anaerobik. Hal ini dapat meningkatkan risiko tachyarrhythmias ventrikel dan kematian sel terprogram. Selain itu, overdrive simbol-menyedihkan menyebabkan ditingkatkan 1-reseptor rangsangan tidak mengakibatkan toleransi dan meningkatkan derajat vasokonstriksi sistemik, meningkatkan stres dinding


(5)

miokard. Selanjutnya, peningkatan vasokonstriksi sistemik mengurangi tingkat filtrasi glomerulus, sehingga memberikan kontribusi bagi aktivasi sistem renin angiotensin aldosterone.4

1.5 Gejala Klinis Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan kelelahan yang sering tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala – gejala ini juga dapat disebabkan pleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung, komplikasi yang diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini. variasi bentuk penyakit pulmonal termasuk pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli pulmonal, mungkin sangat sulit untuk dibedakan secara klinis dengan gagal jantung.3

Tabel 2. Manifestasi Klinis yang umum pada gagal jantung2

5 Gambaran Klinis yang

Dominan

Gejala Tanda

Edema perifer/ kongesti Sesak napas, kelelahan, Anoreksia

Edema Perifer,

peningkatan vena

jugularis, edema

pulmonal, hepatomegaly, asites, overload cairan (kongesti), kaheksia Edema pulmonal Sesak napas yang berat

saat istirahat

Crackles atau rales pada paru-paru bagian atas, efusi, Takikardia, takipnea

Syok kardiogenik (low output syndrome)

Konfusi, kelemahan, dingin pada perifer

Perfusi perifer yang buruk, Systolic Blood Pressure (SBP) < 90mmHg, anuria atau oliguria

Tekanan darah tinggi

(gagal jantung

hipertensif)

Sesak napas Biasanya terjadi

peningkatan tekanan darah, hipertrofi ventrikel kiri

Gagal jantung kanan Sesak napas, kelelahan Bukti disfungsi ventrikel kanan, peningkatan JVP,

edema perifer,


(6)

Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute Decompensated Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis acute decompensated heart failure antara lain tertera dalam tabel berikut.1

Tabel 3. Gejala dan Tanda Acute Decompensated Heart Failure1

Volume Overload

- Dispneu saat melakukan kegiatan - Orthopnea

- Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) - Ronchi

- Cepat kenyang - Mual dan muntah

- Hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegali - Distensi vena jugular

- Reflex hepatojugular - Asites

- Edema perifer Hipoperfusi

- Kelelahan

- Perubahan status mental - Penyempitan tekanan nadi - Hipotensi

- Ekstremitas dingin - Perburukan fungsi ginjal

1.6 Diagnosis Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Pasien dengan gagal jantung umumnya datang di instalasi gawat darurat dengan manifestasi klinis volume overload atau hipoperfusi atau keduanya (tabel 4). Pasien yang datang dengan keluhan volume overload relatif mudah untuk didiadnosis. Mereka umunya memiliki tanda dan gejala kongesti paru ( dispneu saat melakukan kegiatan, Orthopnea, Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND), dan Ronchi). Sedangkan manifestasi cepat kenyang, mual dan muntah merupakan akibat dari edema traktus gastrointestinal (GI). Kongesti pada hepar dan spleen atau keduanya menyebabkan Hepatosplenomegali, hepatomegali, atau


(7)

splenomegaly. Pasien juga menunjukan adanya peningkatan tekanan vena jugular dengan atau tanpa peningkatan reflex hepatojugular. Asites dan edema perifer juga muncul akibat akumulasi cairan pada kavitas peritoneum dan perifer.1.5

Gagal jantung dengan hipoperfusi sulit untuk didiagonosis karena kebanyakan gejala dan tanda tidak spesifik (tabel 4). Hipotensi dan perburukan fungsi ginjal merupakan tolok ukur objektif terhadap hipoperfusi.1

Kesulitan mendiagnosis gagal jantung berdasarkan gejala dan tanda memicu berkembangnya usaha untuk mengidentifikasikan biomarker terhadap penyakit ini. Pemeriksaan dengan katerisasi jantung kanan dengan menggunakan Swan Ganz Catheter yang merupakan gold standart untuk pengukuran tekanan intrakardiak dan cardiac output, sayangnya katerisasi jantung merupkan prosedur invasif yang mungkin menimbulkan komlokasi nantinya. Namun pemeriksaan biomarker terhadap gagal jantung seperti B – Type Natriuretic Peptide (BNP), yaitu suatu neurohormonal yang dilepaskan dari ventrikel jantung (miokardium) sebagai respon terhadap overload cairan dan peningkatan ketegangan dinding (misalnya perenggangan), merupakan penunjang dignostik untuk ADHF dan merupakan prediksi terhadap keparahan dan mortalitas yang dikaitkan dengan gagal jantung. Jantung selain berfungsi sebagai pompa juga berfungsi sebagai organ endokrin yang berfunsi bersama dengan sistem fisiologi lainnya untuk mengatur volume cairan. Miokardium dalam hal ini menghasilkan natriuretic peptide, salah satunya B – Type Natriuretic Peptide , suatu hormone diuretik, natriuretic dan bekerja menrelaksasi otot polos vascular.1.3.5.6

Pengukuran level B – Type Natriuretic Peptide (BNP) memiliki kaitan terhadap kondisi klinis tertentu antara lain yaitu :

Tabel 4. Kegunaan klinis terhadap level BNP serum6

Serum BNP < 100

- Normal atau gagal jantung terkompensasi baik Serum BNP 100 – 200

- Gagal jantung terkompensasi baik

- Normal (Usia lanjut, Wanita, Pengunaan Beta Blocker) - Cor pulmonal (gagal jantung kanan)


(8)

- Penyakit jantung iskemik Serum BNP 200 – 400

- Gagal jantung dekompensasi ringan sedang - Gagal jantung kronik terkompensasi

Serum BNP > 400

- Gagal jantung kongetif yang berat (hipervolemia) 1.7 Penatalaksanaan Acute Decompensated Heart Failure (ADHF)

Terapi untuk pasien acute decompensated heart failure tidak berubah secara signifikan selama 30 tahun. Algoritma terhadap acute decompensated heart failure yang digunakan untuk mengevaluasi diagnostik dan prognostik pasien dengan ADHF antara lain yaitu :


(9)

Gambar 2. Algoritma untuk stabilisasi awal pada acute decompensated heart failure di instalasi gawatdarurat.7


(10)

Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan pada Acute decompensated heart failure. ADHF, acute decompensated heart failure; AJR, abdominal jugular reflex; BiPAP, bi-level positive airway pressure; BNP, B-type natriuretic peptide; CI, cardiac index; CPAP, continuous positive airway pressure; DOE, dyspnea on exertion; HJR, hepatojugular reflex; JVD, jugular venous distention; PCWP, pulmonary capillary wedge pressure; PND, paroxysmal nocturnal dyspnea; SBP, systolic blood pressure; SCr, serum creatinine; SOB, shortness of breath; SVR, systemic vascular resistance.7


(11)

BP Blood pressure; D5W Dextrose 5% in water; ECG Electrocardiogram; IV Intravenous; SBP Systolic blood pressure

Gambar 4. Pilihan pengobatan pasien dengan acute decompensated heart failure7

2. Sindrom Koroner Akut

2.1 Definisi Sindrom Koroner Akut

Sindrom koroner akut atau acute coronary syndrome (ACS) merupakan suatu kondisi yang mengancam nyawa. Sindrom ini bervariasi dari pola angina pektoris tidak stabil hingga terjadinya infark miokard yang luas. Infark miokard merupakan nekrosis otot jantung terjadi secara irreversible.8

2.2 Patogenesis Sindrom Koroner Akut

Sekitar 90% dari kasus ACS dihasilkan oleh adanya gangguan atau rupturnya pada plak aterosklerosis dengan diikuti agregasi platelet dan pembentukan trombus intrakoroner. Penyebab lainnya dapat berupa sindrom vaskulitis, emboli koroner (dapat disebabkan oleh endokarditis atau katup jantung buatan), anomali arteri koroner kongenital, aneurisma, trauma, spasme arteri koroner berat, peningkatan viskositas darah (polisitemia vera, trombositosis), diseksi arteri koroner spontan, dan peningkatan kebutuhan yang besar akan oksigen untuk miokard.8


(12)

Adanya trombus pada daerah yang mengalami penyempitan karena plak dapat menyebabkan terjadinya sumbatan berat hingga total pada arteri koroner. Gangguan aliran darah tersebut dapat mengakibatkan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen untuk sel otot jantung. Trombus yang terjadi pada ACS dihasilkan oleh interaksi antara plak aterosklerosis, endotel koroner, platelet yang bersirkulasi dan tonus vasomotor dinding pembuluh darah.8

Sumbatan parsial trombus menyebabkan suatu kondisi yang berkaitan dengan sindrom unstable angina (UA) dan non-ST-elevation myocardial infarction (NSTEMI). Kedua kondisi ini dibedakan berdasarkan ada tidaknya nekrosis pada miokard. Pada unstable angina, belum terjadi nekrosis sel otot jantung sementara pada NSTEMI sudah ada. Dalam membedakannya, dilakukan pemeriksaan serum biomarker. Adanya peningkatan serum biomarker seperti troponin T dan CK/CKMB menandakan adanya nekrosis pada otot jantung. Namun, unstable angina yang tidak tertangani dapat berkembang menjadi NSTEMI hingga STEMI. 8

Jika sumbatan terjadi secara total, iskemia yang terjadi akan semakin berat dan nekrosis juga semakin luas. Hal ini dapat menyebabkan manifestasi peningkatan segmen ST pada STEMI (ST-elevation myocardial infarction). 8

2.3 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut

Berdasarkan luasnya, infark yang terjadi dapat berupa infark transmural dan infark subendokardium, Infark transmural melibatkan kematian sel pada seluruh ketebalan miokardium. Kondisi ini dihasilkan oleh oklusi yang bersifat total dan berkepanjangan pada arteri koroner epikardium. Sementara itu, infark subendokardium terjadi pada lapisan terdalam dari miokardium atau hanya di daerah subendokardium. Bagian subendokardium memang lebih rentan terhadap iskemia karena daerah ini mendapatkan tekanan yang tinggi dari ruang ventrikel, kolateral yang mensuplai darah sedikit, serta mendapatkan perfusi oleh pembuluh darah yang harus melewati lapisan miokardium yang berkontraksi. 8

Infark diinisiasi oleh adanya iskemia yang berkembang menjadi kematian sel yang berpotensi reversibel hingga yang irreversibel. Miokardium yang disuplai langsung oleh pembuluh darah yang tersumbat akan mati dengan cepat. Sementara itu, jaringan di sekitarnya tidak segera mati karena dapat diperfusi secara adekuat oleh pembuluh darah di sekitarnya yang masih paten. Namun, seiring berjalannya waktu, jaringan tersebut akan mengalami iskemia karena kebutuhan akan oksigen tetap ada sementara suplai oksigen berkurang. Oleh karena itu, regio infark dapat mengalami ekstensi. 8


(13)

Banyak dan luasnya jaringan yang mengalami infark dipengaruhi oleh massa miokardium yang diperfusi oleh pembuluh darah yang tersumbat, besar dan durasi aliran pembuluh darah yang tersumbat, kebutuhan oksigen pada area yang terpengaruh, kolateral pembuluh darah yang memberikan suplai darah dari arteri koroner sekitar yang tidak tersumbat dan derajat respon jaringan yang memodifikasi proses iskemia. 8

Pada infark miokard, terdapat early changes serta late changes. Pada early changes, di menit-menit awal terjadi turunnya kadar ATP serta penurunan kontraktilitas. Dalam 10 menit, dapat terjadi deplesi ATP hingga 50%, edema sel, penurunan potensial membran dan terjadi kerentanan mengalami aritmia. Cedera sel dapat menjadi irreversible dalam 20-24 menit. Dalam 1-3 jam pertama, terdapat gambaran wavy myofibers. Selanjutnya, terjadi perdarahan, edema dan infiltrasi PMN. Pada 18-24 jam, terjadi nekrosis koagulasi dengan disertai edema. Nekrosis koagulasi total terjadi dalam 2-4 hari disertai dengan munculnya monosit dan terjadi puncak dari infiltasi PMN. 8

Selain perubahan di masa awal infark, perubahan dapat terjadi jauh setelahnya, yang mana sering disebut sebagai late change. Dalam 5-7 hari pasca oklusi, terjadi yellow softening dari resopsi jaringan yang mati oleh makrofag. Remodeling ventrikel terjadi setelah 7 hari. Selanjutnya, fibrosis dan pembentukan scar dapat selesai pada minggu ketujuh.8 2.4 Gejala Klinis Sindrom Koroner Akut

2.4.1 Unstable Angina (UA)

Unstable angina merupakan suatu kondisi percepatan terjadinya gejala iskemia. Hal tersebut dapat berupa adanya pola cressendo pada pasien yang memang sudah sering mengalami stable angina secara kronis. Frekuensi, durasi dan atau intensitas episode iskemiknya meningkat. Kondisi lain yang juga merupakan tanda unstable angina adalah adanya angina yang terjadi saat istirahat, tanpa provokasi. Episode angina baru, yang dirasakan begitu berat, pada pasien yang sebelumnya belum pernah mengalami gejala penyakit arteri koroner. 8

2.4.2 Infark Miokard Akut

Tanda dan gejala pada infark miokard berkaitan dengan beratnya iskemia yang terjadi, serta komplikasi dari kematian sel. Nyeri pada infark miokard terjadi lebih berat, lebih lama dan dapat menjalar lebih luas. Nyeri secara tipikal terjadi pada daerah substernal yang dapat menjalar ke regio dermatom C7 hingga T4 seperti leher, pundak, dan lengan. Istirahat belum cukup untuk meredakan nyeri, begitu juga dengan pemberian nitrogliserin sublingual yang


(14)

hanya menghasilkan sedikit respon. Namun, tidak semua pasien infark miokard mengalami nyeri atau rasa tidak nyaman di dada. Sekitar 25% pasien ternyata dapat mengalami kejadian infark miokard akut yang asimptomatik, terutama pada pasien diabetes yang mengalami gangguan persepsi nyeri karena adanya neuropati perifer. 8

Selain nyeri, tanda dan gejala seperti berkeringat serta kulit dingin dan lembab dapat muncul karena adanya aktivasi simpatis. Di sisi lain, efek vagal dapat memicu timbulnya mual muntah serta rasa lemas. Pada pemeriksaan jantung bisa didapatkan gallop S3 dan atau S4, dyskinetic buldge dan murmur sistolik. Jika ada gagal jantung, bisa ditemukan ronki serta distensi vena jugularis.8

2.5 Diagnosis Sindrom Koroner Akut

Diagnosis pasien ACS didasarkan pada tiga dasar, yaitu gejala, abnormalitas EKG akut, dan deteksi penanda serum untuk nekrosis miokardium spesifik. UA didiagnosis berdasarkan gejala klinis, abnormalitas ST sementara pada EKG yang biasanya berupa depresi segmen ST, dan atau inversi gelombang T. Pada pemeriksaan biomarker serum tidak didapatkan adanya peningkatan. 8

Sementara itu, NSTEMI dibedakan dari UA dengan terdeteksinya biomarker serum penanda nekrosis miokardium. Selain itu, pada NSTEMI terdapat abnormalitas ST atau gelombang T yang lebih persisten. Pada STEMI, gambaran EKG menunjukan adanya elevasi segmen ST ditambah dengan terdeteksinya penanda serum untuk nekrosis miokardium. 8


(15)

Gambar 5. Abnormalitas EKG pada Unstable Angina dan NSTEMI8

Gambar 6. Evolusi EKG selama STEMI8

2.5.1 Pendekatan Klinis Nyeri Dada

Nyeri dada dapat disebabkan oleh gangguan bermacam organ seperti jantung, paru, pembuluh darah hingga organ pencernaan. Infark miokard menjadi diagnosis utama pasien yang datang ke rumah sakit karena nyeri dada. Selain infark miokard, kelainan pada saluran cerna seperti refluks gastroesofagus, kelainan motilitas esofagus, ulkus peptikus dan batu empedu rupanya menjadi diagnosis utama pasien nyeri dada yang datang ke rumah sakit. Selain itu, ada penyakit jantung iskemik, sindrom dinding dada, perikarditis, pleuritis, pneumonia, emboli paru, kanker paru, aneurisma aorta, stenosis aorta dan herpes zoster. 9

Terdapat beberapa karakteristik nyeri dada yang dapat membantu kita untuk mengarahkan pada penyebab nyeri tersebut, antara lain adalah9:

 Nyeri kostokondral atau dinding dada: nyeri terlokalisir, terasa seperti ditusuk-tusuk, tajam atau bisa juga nyeri tumpul dan persisten. Nyeri muncul apabila dilakukan tekanan pada area yang nyeri.

 Penyakit tulang belakang toraks dan leher dengan kompresi radiks saraf: nyeri tajam, dapat tersebar sesuai distribusi radikular. Nyeri diperberat dengan pergerakan leher dan punggung.

 Nyeri esofagus atau lambung: berkaitan dengan adanya disfagia atau GERD. Nyeri dapat diperberat dengan alkohol, aspirin, makanan tertentu, posisi supinasi. Nyeri seringkali mereda dengan pemberian antasida.

 Nyeri bilier: Berkaitan dengan intoleransi makanan berlemak, tenderness pada perut kanan atas.


(16)

 Iskemia Miokardium: Nyeri diperberat dengan aktivitas atau saat terjadi emosi. Pada pemeriksaan EKG, didapatkan adanya deviasi segmen ST. Nyeri dapat mereda dengan cepat, hanya sekitar (<5 menit) dengan pemberian TNG.

 Diseksio aorta: nyeri seperti robek (tearing atau ripping) dan menjalar dari dinding anterior dada ke bagian punggung sisi tengah. Diseksio aorta berkaitan sekali dengan hipertensi dan sindrom marfan. Pulsasi melemah dan dapat terjadi ketidaksimetrisan pulsasi perifer.

 Perikarditis akut: nyeri seperti diremas-remas, tajam, pleuritik, dan membaik apabila duduk condong ke depan. Perikarditis berkaitan dengan riwayat infeksi saluran nafas atas, atau kondisi lain yang menjadi predisposisi perikarditis.

 Emboli paru: nyeri pada emboli paru bersifat tajam, pleuritik, dan dapat disertai dengan batuk (dapat berdarah atau tidak). Seringkali berkaitan dengan imobilisasi atau riwayat operasi.

 Pneumotoraks akut: nyeri sangat tajam dan pleuritik. Berkaitan dengan riwayat trauma sebelumnya, atau penyakit paru obstruktif kronis.

 Ruptur esofagus: nyeri intens pada substernal dan epigastrium; biasanya disertai dengan muntah atau pun hematemesis. Kondisi ini berkaitan dengan riwayat muntah berulang sebelumnya.

2.5.2 Stratifikasi Risiko dengan TIMI Score

Pada saat melakukan diagnosis kasus sindrom koroneri akut, prognosis pasien juga perlu dipertimbangkan. Saat ini, salah satu sistem skoring yang sering digunakan adalah TIMI Score (Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI)). Skor TIMI berbeda antara kasus STEMI (ST-elevation myocardial infarction) dengan kasus NSTEMI (non ST-elevation myocardial infarction).10

Pada kasus N-STEMI, sebelumnya kita perlu perhatikan tanda dan gejala berupa: nyeri dada iskemi pada saat istirahat dalam 24 jam terakhir, dengan disertai bukti penyakit jantung koroner (dapat berupa deviasi segmen ST atau peningkatan penanda enzim jantung). Dalam menentukan skor TIMI untuk kasus N-STEMI, informasi yang perlu digali adalah sebagai berikut.10

1. Usia >=65 tahun

2. 3 atau lebih faktor resiko penyakit jantung koroner


(17)

4. Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir 5. Angina berat dalam 24 jam terakhir 6. Peningkatan penanda enzim jantung 7. Deviasi segmen ST >0,5 mm

Masing-masing kriteria mendapatkan 1 poin.10

Kaitan Skor TIMI tersebut dengan kematian dalam 2 minggu, resiko kematian akibat infark miokard, terjadinya miokard infark adalah sebagai berikut10

 0-1 point: 3-5%  2 poin : 3-8%  3 poin: 5-13%  4 poin: 7-20%  5 poin: 12-26%  6-7 poin: 19-41%

Sementara itu, untuk skoring TIMI pada kasus STEMI, kriteria sedikit berbeda, yaitu: (sebelumnya pertimbangkan tanda dan gejala berikut: nyeri dada lebih dari 30 menit, ST elevasi, onset kurang dari 6 jam).11

1. DM, riwayat hipertensi atau riwayat angina (1 poin) 2. Tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg (3 poin) 3. Denyut nadi > 100 BPM (2 poin)

4. Kelas Killip II-IV (2 poin)

5. Berat badan kurang dari 67 kg (1 poin)

6. ST elevasi pada lead anterior atau terdapat LBBB (1 poin) 7. Waktu onset hingga penatalaksanaan lebih dari 4 jam (1 poin) Ditambah dengan kriteria usia11:

1. usia lebih dari atau sama dengan 75 tahun (3 poin) 2. 65-74 tahun (2 poin)

3. kurang dari 65 (0 poin)

Skor ini memberikan informasi prediksi kematian dalam 30 hari sesudah terjadi infark miokard sebagai berikut.11


(18)

 1 poin: 1,6%  2 poin: 2,2%  3 poin: 4,4%  4 poin: 7,3%  5 poin: 12%  6 poin: 16%  7 poin: 23%  8 poin: 27%  9-14 poin: 36%

2.6 Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut

2.6.1 Tatalaksana Sindrom Koroner Akut tanpa Elevasi Segmen ST

Tatalaksana awal untuk pasien yang diduga mengalami sindrom koroner akut harus segera dilakukan. Dalam 10 menit, perlu dilakukan12:

 pemeriksaan tanda vital,  mendapatkan akses intravena,  perekaman dan analisis EKG,  anamnesis dan pemeriksaan fisik,

 pengambilan sediaan untuk pemeriksaan enzim jantung, elektrolit serta pemeriksaan koagulasi

EKG harus segera dilakukan. Selanjutnya, EKG direkam berkala untuk mendapatkan ada tidaknya elevasi segmen ST. Troponin T diukur saat masuk dan jika normal diulang 6-12 jam. Kemudian, CK dan CK-MB diperiksa pada pasien dengan onset <6jam dan pada pasien pasca infark <2 minggu dengan iskemik berulang untuk mendeteksi reinfark atau infark periprosedural. 12

Di unit emergensi, tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan sindrom koroner akut adalah pemberian oksigen 4L/menit (saturasi oksigen dipertahankan >90%). Kemudian, pasien diberikan aspirin 160 mg (dikunyah), nitrat 5 mg sublingual yang dapat diulang sebanyak tiga kali jika masih nyeri. Jika nyeri dada tidak teratasi dengan nitrat, dapat diberikan morfin 2,5-5 mg. 12


(19)

Tatalaksana lebih lanjut berdasarkan pada skor risiko TIMI. Pada pasien dengan resiko tinggi atau sedang, diberikan anti iskemik berupa beta blocker, nitrat atau calcium channel blocker. Beta blocker diberikan pada pasien dengan hipertensi dan takikardi. Nitrat intravena maupun oral juga dapat bermanfaat untuk meredakan nyeri dada akut. Sementara itu, CCB dapat mengurangi gejala pada pasien yang telah menerima nitrat dan beta blocker. Juga, CCB bermanfaat apabila terdapat kontraindikasi pemberian beta blocker serta pada angina vasospastik. Kontraindikasi pemberian beta blocker antara lain adalah terdapat tanda-tanda gagal jantung akut, hipotensi, dan peningkatan risiko syok kardiogenik. Kontraindikasi relatifnya berupa PR interval >0,24, blok AV derajat 2 atau 3, asma bronkial aktif atau kelainan saluran napas reaktif. 12

Antiplatelet oral berupa aspirin atau clopidogrel diberikan pada pasien sinrom koroner akut. Dosis awal aspirin untuk semua pasien sindrom koroner akut adalah sebesar 160-325 mg, selanjutnya diberikan 75-100 mg per hari. Pilihan lainnya adalah clopidogrel dengan dosis awal 300 mg per oral, dilanjutkan 75 mg per hari. Clopidogrel dapat diberikan hingga 12 bulan kecuali terdapat komplikasi perdarahan berlebihan. Apabila pasien direncanakan menjalani PCI, clopidogrel dapat diberikan dengan dosis loading 600 mg untuk mencapai inhibisi fungsi platelet yang lebih cepat dan optimal. Sebagai tambahan, antiplatelet intravena berupa penghambat reseptor GpIIb/IIIa seperti tirofiban dapat diberikan. 12

Antikoagulan diberikan pada semua pasien selain anti platelet berupa heparin (unfractioned heparin atau low molecular weight heparin). Antikoagulan yang tersedia berupa enoxaparin atau fondaparinux. 12

Pada pasien resiko sedang dan tinggi, angiografi koroner dini dilakukan <72 jam diikuti oleh PCI atau CABG. Jika pasien mengalami angina refrakter atau berulang disertai perubahan segmen ST, gagal jantung, aritmia yang mengancam hidup, atau hemodinamik tidak stabil, direkomendasikan dilakukan angiografi koroner urgensi. 12

Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah ACE inhibitor atau ARB dan statin. 12 Pada pasien dengan resiko rendah, terapi yang diberikan adalah aspirin dan beta blocker. Selanjutnya pasien dapat dipulangkan setelah dilakukan observasi di IGD. Selanjutnya, pada rawat jalan, dapat dipertimbangkan uji latih jantung dan ekokardiografi. 12 2.6.2 Tatalaksana Sindrom Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST

Pada pasien SKA dengan elevasi segmen ST, tatalaksana awal yang diberikan tidak jauh berbeda dengan SKA tanpa elevasi segmen ST. Termasuk di antaranya adalah pemberian oksigen, aspirin, nitrat hingga morfin. Namun, yang penting untuk diperhatikan adalah


(20)

pemilihan revaskularisasi dan reperfusi miokard yang harus dilakukan pada pasien STEMI akut dengan presentasi <12 jam. Di ruang perawatan intensif, dalam 24 jam pertama datang, pasien perlu dimonitor secara kontinyu 24 jam. Nitrogliserin oral kerja cepat dapat diberikan untuk mengatasi nyeri dada. Pemberian intravena kontinyu diberikan pada gagal jantung, hipertensi atau tanda-tanda iskemi yang menetap. 12

Terapi fibrinolitik direkomendasikan pada pasien dengan presentasi ≤3 jam atau jika tindakan invasif tidak mungkin dilakukan atau akan terlambat. Apabila waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon > 90 menit atau jika waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon dikurangi waktu antara pasien tiba sampai dengan proses fibrinolitik > 1 jam, terapi fibrinolitik tetap direkomendasikan. 12

Penggunaan heparin dilakukan dengan pemberian UFH sebagai ko-terapi bolus IV 60 U/kgBB maksimum 4000 U. Dosis pemeliharaan per drip 12 U/kgBB selama 24-48 jam dengan maksimum 1000 U/jam dengan target aPTT 50-70 detik. 12

Monitoring aPTT dilakukan pada 3,6,12,24 jam setelah memulai terapi. Selain UFH, dapat digunakan juga LMWH pada pasien berusia <75 tahun, dengan fungsi ginjal yang masih baik (Cr<2,5mg/dL pada laki-laki atau <2,0 mg/dL pada wanita). 12

Apabila terdapat fasilitas PCI (intervensi koroner perkutan primer), PCI direkomendasikan pada presentasi > 3 jam. Juga, apabila PCI dapat dilakukan dengan cepat, fibrinolitik dikontraindikasikan serta resiko tinggi dengan gagal jantung kongestif (killip kelas 3). 12

Kontraindikasi Fibrinolitik absolut di antaranya adalah12:  Riwayat perdarahan intrakranial

 Lesi struktural serebrovaskular  Tumor intrakranial

 Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali dalam 3 jam terakhir  Dicurigai diseksi aorta

 Adanya trauma, pembedahan, trauma kepala dalam waktu 3 bulan terakhir  Adanya perdarahan aktif (tidak termasuk menstruasi)

Kontraindikasi relatif fibrinolitik antara lain adalah12:  Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol

 Hipertensi berat yang tidak terkontrol saat presentasi (TD sistolik >180 mmHg atau TD diastolik > 110 mmHg)


(21)

 Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia atau kelainan intrakranial selain yang terdapat pada kontraindikasi absolut

 Resusitasi jantung paru traumatik atau lama > 10 menit atau operasi besar < 3 minggu  Perdarahan internal dalam 2-4 minggu terakhir

 Terapi antikoagulan oral  Kehamilan

 Non-compressible puncture  Ulkus peptikum aktif

 Khusus streptokinase atau anistreplase: riwayat pemaparan sebelumnya (>5 hari) atau riwayat alergi zat tersebut.

Bedah pintas dilakukan apabila terjadi kegagalan PCI di mana terjadi oklusi mendadak arteri koroner selama proses kateterisasi, PCI tidak memungkinkan, syok kardiogenik, pasien dengan kompilkasi ruptur septum ventrikel atau regurgitasi mitral, maupun pasien dengan iskemia berkepanjangan atau berulang setelah optimalisasi terapi medikamentosa dengan anatomi yang sesuai dengan tindakan bedah. 12

3. Penyakit Jantung Hipertensif 3.1 Difinisi

Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh tidak terkontrolnya tekanan darah tinggi dalam waktu yang lama, yang ditandai adanya hipertrofi ventrikel kiri, sebagai akibat langsung dari tingginya tekanan darah tersebut.13

3.2 Epidemiologi

Berdasarkan Riset Kesehtan Dasar Nasional telah terjadi penurunan prevalensi hipertensi dari 31,7% pada tahun 2007 menjadi 25,8% pada tahun 2013.14

3.3 Patogenesis

Peran hipertensi terhadap kelainan jantung terjadi melalui sejumlah mekanise yang kompleks. Hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang menyebabkan kompensasi berupa hipertrofi ventrikel kiri. Disfungsi diastolik dan sistolik, yang pada tahap selanjutnya menjadi gagal jantung. Namun tekanan darah tinggi juga menyebabkan kerusakan dinding


(22)

arteri sehingga mempercepat proses aterosklerosis. Dengan demikian, hipertensi juga menjadi faktor resiko terjadinya infark miokard.

Kompensasi jantung berupa dilatasi dan hipertropi ventrikel kiri tidak akan bertahan lama, seiring dengan semakin banyaknya kerusakan miosit dan perubahan struktur jaringan. Sebaliknya kerusakan sel dan jaringan akan turut meningkatkan kadar angiotension II dan norepinefrin yang pada akhirnya meyebabkan hipertrofi dan dilatasi semakin progresif. Aktifitas sistem RAA dan simpatis telah terbukti mengakibatkan proses fibrosis, apoptosis, hipertrofi seluler, perubahan molekular,dan miotoksisitas.

3.4 Tanda dan Gejala

Pada tahap awal pasien hanya ditemukan memiliki tekanan darah tinggi, pada tahap lebih lanjut, manifestasi klinis akan mulai muncul sesuai dengan kerusakan organ seperti: berdebar-debar, pusing, rasa melayang, mudah lelah, sesak nafas, nyeri dada, bengkak pada kedua tungkai dan perut, epistaksis, hematuria, pandangan kabur.

Dan pada pemeriksaan fisik jantung ditemukan: Batas-batas jantung melebar, Impuls apeks prominen, Bunyi jantung S2 meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta, Kadang-kadang ditemukan murmur diastolik akbat regurgitasi aorta, Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat peninggian tekanan atrium kiri, Bunyi S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri, Suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau kering, Pemeriksaan perut untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, limpa, ginjal, dan ascites, Auskultasi bising sekitar kiri kanan umbilicus (renal artery stenosis).

4. Dispepsia

Dispepsia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh salah satu atau lebih gejala utama area gastroduodenal berikut: nyeri epigastrium, rasa epigastrium, rasa penuh, atau sensasi cepat kenyang. Dispepsia bukan diagnosis melainkan sidrom yang harus dicari penyebabnya. Berdasarkan penyebabnya dispepsia dibagi menjadi dispepsia organik dan fungsional. Dispepsia organik dapat disebabkan kelainan struktural, biokimia atau sistemik. Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang setelah pemeriksaan mendalam tidak ditemukan adanya penyebab organik


(23)

4.1 Etiologi

 Kelainan struktural pada saluran cerna

 Ulkus peptikum, ulkus duodenum, refluks esofagus, gastritis kronis, grastitis OAINS, penggnaan obat-obatan seperti teofilin, digitalis dan anti biotik.

 Penyakit hepatobilier  Penyakit sistemik

 Kolesisitis kronis, pankreatitis kronis, hepatitis

 Deabetes militus , hiperkalsemia, keracunan logam berat, penyakit tiroid, gagal ginjal. BAB II

ILUSTRASI KASUS 2.1 Identitas Pasien

No. Rekam Medis : 01418380

Nama : Lenih Edas

Tempat/Tanggal Lahir : 02/11/1872

Umur : 43 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Ciputat

Pekerjaan : ART

Status perkawinan : Menikah Tanggal masuk : 3 Maret 2016 Tanggal pemeriksaan : 4 Maret 2016 2.2 Anamnesis


(24)

Pasien datang ke Rumah Sakit Umum Fatmawati dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh sesak napas sejak 1 hari SMRS, muncul ketika pasien sedang bekerja dan berkurang saat pasien beristirahat. Keluhan ini sudah muncul sejak beberapa hari belakangan, namun pasien tidak segera berobat dan hanya menghentikan pekerjaannya sementara waktu. Pasien mengaku ketika tidur lebih nyaman dengan bantal tinggi. Namun saat ini keluhan sudah berkurang.

Keluhan sesak napas disertai pusing mual muntah dan sakit ulu hati sejak 1 hari SMRS, pasien merasa keluhan timbul karena telat makan. Pasien juga merasa perutnya sangat kembung sehingga tidak nafsu makan. Belum meminum obat namun langsung pergi ke dokter. Pasien sering mengalami maag setiap kali telat makan. Pasien juga mengaku pernah merasa sakit dada namun hanya sebentar, dan sedang tidak sakit ketika dilakukan pemeriksaan.

Keluhan jantung berdebar, keringat dingin, demam, lemas dan batuk pilek disangkal.

Buang air kecil pasien lancar, warna kuning jernih, tidak nyeri.Belum buang air besar sejak 5 hari yang lalu, belum pernah mengalami hal ini sebelumnya, biasanya pasien BAB setiap 1-2 hari sekali, tidak nyeri, warna kuning kecoklatan. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 6 tahun yang lalu, saat ini masih mengkonsumsi obat penurun tekanan darah yaitu captopril 1 x 25 mg, namun pasien jarang kontrol dan tidak rutin minum obat. Pasien juga mengaku pernah mengalami pembengkakan jantung pada saat di rontgen dada 6 tahun yang lalu.

Penyakit kencing manis tidak diketahui pasien karena belum pernah periksa. Pasien mengaku kolesterol dan asam uratnya tinggi saat beberapa bulan diperiksa. Riwayat stroke, batuk lama, kejang disangkal pasien. Riwayat asma, alergi obat atau makanan, pembedahan, di rawat di rumah sakit, jatuh disangkal pasien.


(25)

Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini Penyakit jantung, stroke, kencing manis, alergi pada keluarga disangkal

2.3 Anamnesis Sistem

Sistem Keluhan

Penglihatan -

Pendengaran -

Kardiovaskular Sesak napas, muncul saat bekerja dan berkurang saat istirahat.

Paru-paru Sesak napas

Pencernaan Nyeri ulu hati, mual, muntah, perut begah

Saluran Kemih Tidak BAB sejak 5 hari yang lalu

Hematologi -

Endokrin

-Saraf

-Muskuloskeletal Bengkak pada tungkai kanan dan kiri

2.4 Pemeriksaan Fisik (4/6/2016) Kesadaran : Kompos Mentis

Status gizi : BB 54 kg; TB 155 cm; BMI 22,5 kg/m2 Tekanan darah : 160/100 mmHg

Nadi : 72x/menit,regular,isi cukup Pernafasan : 20 x/menit, regular


(26)

Kepala : Normocephal Mata :

konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokhor, RCL +/+, RCTL +/+ THT :

Tidak dilakukan pemeriksaan Gigi dan Mulut :

Tidak dilakukan pemeriksaan

Leher :

Inspeksi : massa (-), bengkak (-), eritema (-), trakea simetris, pembesaran KGB tidak tampak.

Palpasi : trakea simetris, pembesaran tiroid tidak teraba, pembesaran KGB tidak teraba. JVP 5+2 cmH2O

Thorax Paru :

Inspeksi: bentuk dada normal, pergerakan dada simetris statis & dinamis, penggunaan otot bantuan nafas (-), pelebaran sela iga (-).

Palpasi : pelebaran sela iga -/-, vokal fremitus sama pada lapang paru dextra & sinistra, nyeri tekan -/-, ekspansi dada +/+

Perkusi : sonor di semua lapang paru.


(27)

-/-Jantung :

Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat

Palpasi : iktus cordis teraba di ICS V MCL sinistra

Perkusi : batas jantung kanan ICS V PSL dextra, batas jantung kiri ICS V 3 jari lateral MCL sinistra, pinggang jantung ICS III parasternal line sinistra

Auskultasi: BJ1 BJ2 normal reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen

Inspeksi : abdomen membuncit Auskultasi : bising usus (+) normal.

Palpasi : supel, hepar dan limpa tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (+) Perkusi: timpani, shifting dullness (-)

Ginjal : CVA (-/-).

Rektum/anus dan kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan. Ekstremitas

Edema (+/+), akral hangat, CRT <3 detik, pulsasi a.dorsalis pedis teraba +/+

2.5 Pemeriksaan Laboratorium 03.03.2016 (1:24:09 AM)

Hematologi

Hb : 16.2 g/dL ↑ Ht : 48 % ↑ Leukosit : 7.8 ribu/uL


(28)

Trombosit : 228 ribu/uL Eritrosit : 5.43 juta/uL ↑ VER/HER/KHER/RDW

VER : 87.9 fL

HER : 29.8 pg

KHER : 33.9 g/dL

RDW : 13.6 %

KIMIA KLINIK FUNGSI HATI

SGOT/ SGPT : 50/67 U/l ↑ FUNGSI GINJAL

Ur/ Cr :39/ 0.7 mg/dL DIABETES

GDS : 165 mg/dL ↑

JANTUNG

CK : 65 U/l

CK-MB : 34 U/l ↑

Troponin I : <0.01 ng/mL Analisa Gas Darah

pH : 7.411

pCO2 : 30.0 mmHg ↓

pO2 : 153.3 mmHg ↑

HCO3 : 18.6 mmol/L ↓

SaO2 : 99.0 %

BE (Base Excess) : -4.6 mmol/L ↓ Total CO2 : 19.5 mmol/L

Elektrolit Darah

Natrium (darah) : 135 mmol/L Kalium (darah) : 3.32 mmol/L Klorida (darah) : 91 mmol/L ↓


(29)

2.5 Pemeriksaan Penunjang

1. EKG tanggal 2 Maret 2016 di RS Sari Asih

Hasil didapatkan T inversi yang menunjukkan adanya iskemia miocard 2. EKG tanggal 3 Maret di IGD RS Fatmawati

Hasil didapatkan aritmia, aksis LAD (Left Axis Deviation), Gel.P melebar (Left Atrial enlargement), serta PR interval memanjang (AV block derajat I). Namun tidak ditemukan ST elevasi pada semua lead.

4. EKG tanggal 4 Maret di rawat inap RS Fatmawati

Hasil didapatkan sinus takikardia (HR 107), lainnya dalam batas normal.

5. Foto thoraks tanggal 3 Maret 2016 di RS Fatmawati Hasil:


(30)

Trakea relatif di tengah

Mediastinum superior tidak melebar Jantung kesan membesar

Aorta baik Paru:

Kedua hilus tidak menebal

Corakan bronkovaskular kedua paru baik Tidak tampak infiltrat di kedua lapangan paru Diafragma dan sinus kostofrenikus normal Tulang-tulang costae intak

Kesan: Kardiomegali

Paru dalam batas normal

BAB III

PENGKAJIAN MASALAH

1. ADHF NYHA II pada ACS NSTEMI

Pasien mengeluh sesak nafas sejak 1 hari SMRS, muncul ketika pasien sedang bekerja dan berkurang saat pasien beristirahat. Keluhan ini sudah muncul sejak beberapa hari belakangan, namun pasien tidak segera berobat dan hanya menghentikan pekerjaannya sementara waktu. Pasien mengaku ketika tidur lebih nyaman dengan bantal tinggi. Namun saat ini keluhan sudah berkurang. Pasien juga mengalami pusing, mual dan muntah. Pada pemeriksaan fisik perkusi jantung didapatkan batas jantung kiri ICS V


(31)

3 jari lateral MCL sinistra, edema pada kedua tungkai bawah. Hasil EKG didapatkan irama aritmia, aksis LAD, Gel.P melebar (Left Atrial Enlargement) dan PR interval memanjang serta pada foto toraks didapatkan kesan kardiomegali. Diagnosis gagal jantung didasarkan pada gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien ini sudah dapat ditegakkan sebagai gagal jantung karena memenuhi kriteria 1 mayor dan 2 minor, yaitu dengan adanya kardiomegali, edema ekstremitas, dan sesak pada aktivitas. Berdasarkan gejala ringan (sesak nafas ringan) serta adanya keterbatasan ringan dalam aktivitas sehari-hari, derajat gagal jantung pada pasien ini adalah NYHA II. Pasien dengan gagal jantung umumnya datang di instalasi gawat darurat dengan manifestasi klinis volume overload atau hipoperfusi atau keduanya. Pada pasien ini didapatkan manifestasi klinis adanya volume overload yaitu sesak saat melakukan kegiatan, ortopnea, mual muntah dan edema perifer. Kondisi dispnea saat melakukan kegiatan dan ortopnea merupakan tanda dan gejala kongesti paru, mual muntah karena edema pada traktus GI, dan edema perifer disebabkan adanya akumulasi cairan di perifer.

Berdasarkan riwayat pasien sakit dada dalam 24 jam terakhir, walaupun hanya terasa sebentar, serta adanya peningkatan enzim jantung CKMB dan adanya hasil EKG yang menunjukkan iskemia, namun setelah beberapa kali dilakukan EKG tidak tampak adanya ST elevasi, maka pasien ini dpaat didiagnosis mengalami ACS NSTEMI.

2. HHD

Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi sejak 6 tahun yang lalu namun tidak kontrol dan minum obat secara rutin. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/100 mmHg yang tergolong hipertensi grade II.

Kurangnya kepatuhan terhadap rekomendasi diet atau terapi obat merupakan penyebab paling umum dimana pasien gagal jantung masuk ke instalasi gawat darurat. Sekitar sepertiga kunjungan ke instalasi gawat darurat merupakan akibat ketidakpatuhan tersebut.

Pada pasien ini dengan adanya tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama serta ditandai adanya tanda- tanda hipertrofi ventrikel kiri pada gambaran EKG, maka pasien mengalami penyakit jantung hipertensif (HHD).


(32)

Peran hipertensi terhadap kelainan jantung terjadi melalui sejumlah mekanise yang kompleks. Hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang menyebabkan kompensasi berupa hipertrofi ventrikel kiri. Disfungsi diastolik dan sistolik, yang pada tahap selanjutnya menjadi gagal jantung. Namun tekanan darah tinggi juga menyebabkan kerusakan dinding arteri sehingga mempercepat proses aterosklerosis. Dengan demikian, hipertensi juga menjadi faktor resiko terjadinya infark miokard.

Penurunan kapasitas awalnya akan dikompensasi oleh mekanisme hormonal: sistem saraf adrenergik, sistem renin-angiotensi-aldosteron, dan sistem sitokin yang bertujuan untuk menjaga curah jantung dengan meningkatkan tekanan pengisian ventrikel (preload) dan kontraksi miokardium. Namun seiring berjalannya waktu, aktivitas tersebut akan menyebabkan kerusakan sekunder seperti remodelling ventrikel dan dekompensasi jantung. Kadar angiotensin II, aldosteron, dan katekolamin akan semakin tinggi, mengakibatkan fibrosis dan apoptosis miokardium yang progresif, yang pada tahap lanjut beresiko menjadi aritmia jantung seperti yang sudah terjadi pada pasien kasus ini.

Tatalaksana pada pasien :

Penatalaksanaan awal untuk stabilisasi awal pada acute decompensated heart failure (ADHF) di IGD adalah pemberian oksigen, loop diuretic dengan nitrogliserin iv, serta edukasi pasien.

Tatalaksana non farmakologi terdiri dari: 1. Manajemen Perawatan Mandiri 2. Ketaatan pasien berobat

3. Pemantauan berat badan mandiri 4. Asupan Cairan

5. Pengurangan berat badan

6. Kehilangan berat badan tanpa rencana 7. Latihan fisik

Tatalaksana farmakologi yaitu: 1. Diuretik : Lasix 1 x 40 mg p.o


(33)

Diberikan pula KSR 1 x 1 tab p.o mencegah hipokalemia 2. ACE inhibitor : Ramipril 1 x 1,25 mg p.o

3. Beta bloker: Bisoprolol 1x1,25 mg p.o 4. Ascardia 1 x 80 mg p.o

Setelah terdiagnosis ADHF, terapi diberikan berdasarkan gejala dan tanda yang dialami pasien. Pasien ini memiliki gejala dan tanda volume overload ringan sehingga untuk penatalaksanaannya diberikan diuretik iv (Furosemide) dengan dosis awal 40 mg IV. Pemberian loop diuretik furosemid 1 x 40 mg merupakan anjuran pada kasus gagal jantung dengan retensi cairan atau gejala kongesti untuk mengeluarkan cairan sehingga mengurangi edema perifer, pemberian diuretik hingga edema hilang. Sebaiknya pemberian loop diuretik diberikan secara drip 5 mg/jam untuk mendapatkan hasil yang maksimal, karena pada kasus ini sesak dan pitting edema belum hilang.

Diuretik kuat atau loop diuretic yang paling umum digunakan untuk pengobatan HF adalah furosemide, tetapi beberapa pasien merespon lebih menguntungkan untuk agen lain dalam kategori ini (misalnya, bumetanide, torsemide) karena administrasi oral meningkat bioavailabilitas obat tersebut. Tujuan utama dari pengobatan diuretik adalah untuk menghilangkan retensi cairan. Diuretik umumnya dikombinasikan dengan pembatasan sodium diet moderat. Setelah retensi cairan telah diselesaikan, pengobatan dengan diuretik harus dipertahankan pada beberapa pasien untuk mencegah terulangnya volume overload.

Selain pemberian diuretik, pasien dengan gagal jantung diberikan ACEi (atau ARB bila tidak tertoleransi) serta diberi β blocker.

Pada pasien diberikan juga aspirin yang berguna untuk mencegah pembentukan thrombosis. Aspirin juga direkomendasikan pada gagal jantung dengan riwayat jantung koroner untuk mencegah timbulnya serangan ulang. Namun perlu diingat pasien ini memiliki gejala dispepsia sehingga harus dipilih jenis aspirin yang berselaput seperti Ascardia. Pada kasus ini hanya diberikan dosis pemeliharaan yaitu Ascardia 80 mg sehingga pemberian antiplatelet berselaput ini udah cukup, dan risiko efek samping terhadap gangguan gastrointestinal lebih rendah.

Restriksi cairan diharuskan untuk mengurangi beban jantung dan edema. Pemberian ringer laktat pada pasien ini kurang tepat sebagai terapi pemeliharaan kebutuhan cairan yang tepat untuk pasien gagal jantung. Tidak perlu diberikan terapi


(34)

cairan infus karena pasien sudah mengalami overload cairan yang ditandai dengan gejala kongesti. Kebutuhan cairan dapat melalui oral dan tetap harus dibatasi.

3. Konstipasi

Pasien mengeluh belum buang air besar sejak 5 hari yang lalu, dan merasa belum pernah mengalami hal ini sebelumnya, biasanya pasien BAB setiap 1-2 hari sekali, tidak nyeri, warna kuning kecoklatan.

Penatalaksaan yang diberikan adalah laxadin 1 x 1 C pada malam hari, serta memberikan edukasi pada pasien agar makan makanan berserat serta minum air mineral sesuai kebutuhan sehingga kotoran yang terbentuk lebih banyak mengandung air, lunak dan mudah dikeluarkan.

PROGNOSIS

Dengan sistem skoring TIMI score (Thrombolysis in Myiocardial Infarction):  Usia >=65 tahun

 3 atau lebih faktor resiko penyakit jantung koroner

 Riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya serta diketahui terdapat stenosis >50%  Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir

 Angina berat dalam 24 jam terakhir (YA)  Peningkatan penanda enzim jantung (YA)  Deviasi segmen ST >0,5 mm

Masing-masing kriteria tersebut mendapatkan 1 poin

Skor TIMI berkaitan dengan resiko kematian akibat infark miokard dalam 2 minggu. Pada pasien terdapat 2 poin, sehingga risiko kematiannya yaitu 3-8%

ad vitam : Dubia et malam ad fungtionam : Dubia et malam ad sanactionam : Malam


(35)

Daftar Pustaka

1. Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines in the Management of acute decompensated heart failure. [monograph on the internet]. California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting; 2006 [cited 2016 Mar 05]. Available from www.ashpadvantage.com/website_images/pdf/adhf_scios_06.pdf. 2. Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al.

ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Journal of Heart Failure [serial on the internet]. 2008 Aug [cited 2016


(36)

Mar 05]. Available from http://eurjhf.oxfordjournals.org/content/10/10/933.full.pdf #page= 1&view=FitH.

3. Lindenfeld J. Evaluation and Management of Patients with Acute Decompensated Heart Failure. Journal of Cardiac Failure [serial on the internet]. 2010 Jun [cited 2016 Mar 05]; 16 (6): [about 23 p]. Available from

http://www.heartfailureguideline.org/assets/document/2010_heart_failure_guideline_s ec_12.pdf.

4. McBride BF, White M. Acute Decompensated Heart Failure: Pathophysiology. Journal of Medicine [serial on the internet]. 2010 [cited 2016 Mar 05]. Available from http://www.medscape.com/viewarticle/459179_3

5. Hollander JE. Current Diagnosis of Patients With Acute Decompensated Heart Failure. [monograph on the internet]. Philadelphia : Departement of Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2001 [cited 2016 Mar 05]. Available from

www.emcreg.org.

6. Tallaj JA, Bourge RC. The Management of Acute Decompensated Heart Failure. [monograph on the internet]. Birmingham : University of Alabama; 2003 [cited 2016 Mar 05]. Available from http://www.fac.org.ar/tcvc/llave/c038/bourge.PDF

7. Kirk JD. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel Approaches To Cclassification Aand Treatment. [monograph on the internet]. Philadelphia : Departement of Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2004 [cited 2016 Mar 05]. Available from www.emcreg.org.

8. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease: Acute Coronary Syndrome. 5thed. Philadelphia: Lippincott Wliiams&Wilkins;2011 . p. 162-75

9. Fauci dkk. Harrison’s Manual Medicine: Common Patient Presentations. 17thed. Amerika Serikat: McGraw Hill; 2009. P. 175-7.

10. Antman EM, Cohen M, Bernink PJ. The TIMI risk score for unstable angina/non-ST Elevation MI: A method for prognostication and therapeutic decision making. JAMA. 2000 Aug 16; 284(7):835-42

11. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et. al. TIMI risk score for ST-elevation myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical score for risk assessment at presentation: An intravenous nPA for treatment of infarcting myocardium early II trial substudy. Circulation. 2000 oct 24;102(17):2031-7


(37)

12. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular di Indonesia: Penyakit Jantung Koroner. 2nd Ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2009. P.81-92

13. Mark H. Drazner. The progression of hypertensive heart disease. Dallas: University of Texas Southwestern Medical Center: 2011;123:327-334


(1)

Peran hipertensi terhadap kelainan jantung terjadi melalui sejumlah mekanise yang kompleks. Hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang menyebabkan kompensasi berupa hipertrofi ventrikel kiri. Disfungsi diastolik dan sistolik, yang pada tahap selanjutnya menjadi gagal jantung. Namun tekanan darah tinggi juga menyebabkan kerusakan dinding arteri sehingga mempercepat proses aterosklerosis. Dengan demikian, hipertensi juga menjadi faktor resiko terjadinya infark miokard.

Penurunan kapasitas awalnya akan dikompensasi oleh mekanisme hormonal: sistem saraf adrenergik, sistem renin-angiotensi-aldosteron, dan sistem sitokin yang bertujuan untuk menjaga curah jantung dengan meningkatkan tekanan pengisian ventrikel (preload) dan kontraksi miokardium. Namun seiring berjalannya waktu, aktivitas tersebut akan menyebabkan kerusakan sekunder seperti remodelling ventrikel dan dekompensasi jantung. Kadar angiotensin II, aldosteron, dan katekolamin akan semakin tinggi, mengakibatkan fibrosis dan apoptosis miokardium yang progresif, yang pada tahap lanjut beresiko menjadi aritmia jantung seperti yang sudah terjadi pada pasien kasus ini.

Tatalaksana pada pasien :

Penatalaksanaan awal untuk stabilisasi awal pada acute decompensated heart failure (ADHF) di IGD adalah pemberian oksigen, loop diuretic dengan nitrogliserin iv, serta edukasi pasien.

Tatalaksana non farmakologi terdiri dari: 1. Manajemen Perawatan Mandiri 2. Ketaatan pasien berobat

3. Pemantauan berat badan mandiri 4. Asupan Cairan

5. Pengurangan berat badan

6. Kehilangan berat badan tanpa rencana 7. Latihan fisik

Tatalaksana farmakologi yaitu: 1. Diuretik : Lasix 1 x 40 mg p.o


(2)

Diberikan pula KSR 1 x 1 tab p.o mencegah hipokalemia 2. ACE inhibitor : Ramipril 1 x 1,25 mg p.o

3. Beta bloker: Bisoprolol 1x1,25 mg p.o 4. Ascardia 1 x 80 mg p.o

Setelah terdiagnosis ADHF, terapi diberikan berdasarkan gejala dan tanda yang dialami pasien. Pasien ini memiliki gejala dan tanda volume overload ringan sehingga untuk penatalaksanaannya diberikan diuretik iv (Furosemide) dengan dosis awal 40 mg IV. Pemberian loop diuretik furosemid 1 x 40 mg merupakan anjuran pada kasus gagal jantung dengan retensi cairan atau gejala kongesti untuk mengeluarkan cairan sehingga mengurangi edema perifer, pemberian diuretik hingga edema hilang. Sebaiknya pemberian loop diuretik diberikan secara drip 5 mg/jam untuk mendapatkan hasil yang maksimal, karena pada kasus ini sesak dan pitting edema belum hilang.

Diuretik kuat atau loop diuretic yang paling umum digunakan untuk pengobatan HF adalah furosemide, tetapi beberapa pasien merespon lebih menguntungkan untuk agen lain dalam kategori ini (misalnya, bumetanide, torsemide) karena administrasi oral meningkat bioavailabilitas obat tersebut. Tujuan utama dari pengobatan diuretik adalah untuk menghilangkan retensi cairan. Diuretik umumnya dikombinasikan dengan pembatasan sodium diet moderat. Setelah retensi cairan telah diselesaikan, pengobatan dengan diuretik harus dipertahankan pada beberapa pasien untuk mencegah terulangnya volume overload.

Selain pemberian diuretik, pasien dengan gagal jantung diberikan ACEi (atau ARB bila tidak tertoleransi) serta diberi β blocker.

Pada pasien diberikan juga aspirin yang berguna untuk mencegah pembentukan thrombosis. Aspirin juga direkomendasikan pada gagal jantung dengan riwayat jantung koroner untuk mencegah timbulnya serangan ulang. Namun perlu diingat pasien ini memiliki gejala dispepsia sehingga harus dipilih jenis aspirin yang berselaput seperti Ascardia. Pada kasus ini hanya diberikan dosis pemeliharaan yaitu Ascardia 80 mg sehingga pemberian antiplatelet berselaput ini udah cukup, dan risiko efek samping terhadap gangguan gastrointestinal lebih rendah.

Restriksi cairan diharuskan untuk mengurangi beban jantung dan edema. Pemberian ringer laktat pada pasien ini kurang tepat sebagai terapi pemeliharaan


(3)

cairan infus karena pasien sudah mengalami overload cairan yang ditandai dengan gejala kongesti. Kebutuhan cairan dapat melalui oral dan tetap harus dibatasi.

3. Konstipasi

Pasien mengeluh belum buang air besar sejak 5 hari yang lalu, dan merasa belum pernah mengalami hal ini sebelumnya, biasanya pasien BAB setiap 1-2 hari sekali, tidak nyeri, warna kuning kecoklatan.

Penatalaksaan yang diberikan adalah laxadin 1 x 1 C pada malam hari, serta memberikan edukasi pada pasien agar makan makanan berserat serta minum air mineral sesuai kebutuhan sehingga kotoran yang terbentuk lebih banyak mengandung air, lunak dan mudah dikeluarkan.

PROGNOSIS

Dengan sistem skoring TIMI score (Thrombolysis in Myiocardial Infarction):  Usia >=65 tahun

 3 atau lebih faktor resiko penyakit jantung koroner

 Riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya serta diketahui terdapat stenosis >50%  Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir

 Angina berat dalam 24 jam terakhir (YA)  Peningkatan penanda enzim jantung (YA)  Deviasi segmen ST >0,5 mm

Masing-masing kriteria tersebut mendapatkan 1 poin

Skor TIMI berkaitan dengan resiko kematian akibat infark miokard dalam 2 minggu. Pada pasien terdapat 2 poin, sehingga risiko kematiannya yaitu 3-8%

ad vitam : Dubia et malam ad fungtionam : Dubia et malam ad sanactionam : Malam


(4)

Daftar Pustaka

1. Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines in the Management of acute decompensated heart failure. [monograph on the internet]. California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting; 2006 [cited 2016 Mar 05]. Available from www.ashpadvantage.com/website_images/pdf/adhf_scios_06.pdf . 2. Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al.


(5)

Mar 05]. Available from http://eurjhf.oxfordjournals.org/content/10/10/933.full.pdf #page= 1&view=FitH.

3. Lindenfeld J. Evaluation and Management of Patients with Acute Decompensated Heart Failure. Journal of Cardiac Failure [serial on the internet]. 2010 Jun [cited 2016 Mar 05]; 16 (6): [about 23 p]. Available from http://www.heartfailureguideline.org/assets/document/2010_heart_failure_guideline_s ec_12.pdf .

4. McBride BF, White M. Acute Decompensated Heart Failure: Pathophysiology. Journal of Medicine [serial on the internet]. 2010 [cited 2016 Mar 05]. Available from http://www.medscape.com/viewarticle/459179_3

5. Hollander JE. Current Diagnosis of Patients With Acute Decompensated Heart Failure. [monograph on the internet]. Philadelphia : Departement of Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2001 [cited 2016 Mar 05]. Available from www.emcreg.org .

6. Tallaj JA, Bourge RC. The Management of Acute Decompensated Heart Failure. [monograph on the internet]. Birmingham : University of Alabama; 2003 [cited 2016 Mar 05]. Available from http://www.fac.org.ar/tcvc/llave/c038/bourge.PDF

7. Kirk JD. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel Approaches To Cclassification Aand Treatment. [monograph on the internet]. Philadelphia : Departement of Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2004 [cited 2016 Mar 05]. Available from www.emcreg.org .

8. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease: Acute Coronary Syndrome. 5thed. Philadelphia: Lippincott Wliiams&Wilkins;2011 . p. 162-75

9. Fauci dkk. Harrison’s Manual Medicine: Common Patient Presentations. 17thed. Amerika Serikat: McGraw Hill; 2009. P. 175-7.

10. Antman EM, Cohen M, Bernink PJ. The TIMI risk score for unstable angina/non-ST Elevation MI: A method for prognostication and therapeutic decision making. JAMA. 2000 Aug 16; 284(7):835-42

11. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et. al. TIMI risk score for ST-elevation myocardial infarction: A convenient, bedside, clinical score for risk assessment at presentation: An intravenous nPA for treatment of infarcting myocardium early II trial substudy. Circulation. 2000 oct 24;102(17):2031-7


(6)

12. Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular di Indonesia: Penyakit Jantung Koroner. 2nd Ed. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia; 2009. P.81-92

13. Mark H. Drazner. The progression of hypertensive heart disease. Dallas: University of Texas Southwestern Medical Center: 2011;123:327-334