Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tanah Longsor .1 Penggunaan Lahan

Tipe penutupan lahan kebun campuran paling sering ditemukan pada daerah kejadian longsor. Dari 24 kasus longsor, terdapat 8 titik kejadian longsor atau sekitar 33,3 yang penutupan lahannya berupa kebun campuran yaitu di Kp. Cilaya, Kp. Wangun Landeuh, Kp. Wangun 1, Kp. Cimandala, Kp. Garungsang Pasir, Kp. Curug, Kp. Cikeas, dan Kp. Legok Banteng. Jenis tanaman yang mengisi kebun campuran ini biasanya terdiri dari tanaman singkong, pisang, nanas, dan pandan. Jenis tanaman kebun campuran yang bertajuk kecil dan sangat jarang kurang rapat menyebabkan energi butir-butir hujan saat terjadinya hujan lebat memiliki kekuatan perusak yang tinggi dan ini bermakna meningkatnya tingkat erosivitas hujan yang jatuh langsung di atas permukaan tanah. Meningkatnya kemampuan erosivitas hujan ini menyebabkan peluang terjadinya longsor semakin besar pula. Selain itu, tanaman-tanaman tersebut juga memiliki perakaran yang kurang dalam sehingga tidak mampu menembus lapisan tanah yang kedap air, sehingga tidak membantu dalam menjaga kemantapan agregat tanah. Apalagi perakarannya berupa perakaran serabut yang relatif kurang kuat menghujam dan mengikat tanah sehingga mudah tergoyahkan jika terjadi hujan deras yang berangin kencang. Sebagian kebun campuran yang terdapat di lokasi kejadian longsor merupakan hasil perambahan masyarakat setempat terhadap tegakan pinus yang ada. Perubahan tata lahan dengan mengganti tanaman keras seperti pinus ini menjadi tanaman semusim menyebabkan resiko longsor menjadi lebih besar. Tanaman semusim membutuhkan tanah yang gembur, padahal tanah yang gembur menyerap air permukaan dengan baik, sehingga saat hujan datang air permukaan ini akan terus terserap dan menjenuhi tanah sehingga beban tanah bertambah yang beresiko menyebabkan terjadinya longsor. Gambar 8. Penampang longsor rotasional dengan tipe nendatan pada kejadian longsor di Kp. Wangun 1 Berdasarkan data dari KPH Bogor Kabupaten Bogor ada beberapa titik longsor yang terjadi di kawasan hutan dan penyebab utama kejadian longsor tersebut adalah perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Adapun luasan total dari perambahan hutan pinus oleh masyarakat adalah seluas 180,9 ha. Areal perambahan tersebut digunakan masyarakat setempat untuk lahan kebun campuran berupa tanaman singkong dan pisang dan lahan pemukiman. Hal ini makin diperparah karena mereka membangun pemukiman dan kebun campuran tersebut di lokasi dengan kelerengan curam hingga sangat curam dan tanpa pengelolaan yang sesuai. Kejadian longsor di kawasan hutan ditemukan di kawasan hutan pinus yang dikelola Perhutani, tepatnya di Kelompok Hutan Hambalang Barat, RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor. Kejadian longsor tersebut terjadi pada petak 17 di Kp. Cibingbin dan petak 20 di Kp. Muara Desa Bojong Koneng dengan luasan longsor masing-masing sebesar 10 ha dan 3 ha. Sedangkan di Desa Karang Tengah terjadi pada petak 15 dan petak 16 di Kp. Cimandala dan pada petak 4 di Kp. Wangun 2 dengan luasan longsor masing- masing sebesar 7 ha dan 15 ha. Penutupan lahan kedua yang banyak ditemukan pada lokasi kejadian longsor adalah alang-alang dan semak belukar yang ditemukan di 6 titik kejadian longsor yaitu di Kp. Wangun Landeuh 2, Kp. Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp. Curug, dan 2 titik di Kp. Gombong. Semak belukar yang paling banyak ditemukan adalah paku-pakuan, alang-alang, jenis rumput-rumputan, dan sedikit tanaman keras seperti cengkeh atau pinus. Sebagian semak belukar tersebut sebelumnya adalah berupa tegakan hutan pinus, namun karena perawatan yang tidak intensif dan adanya perambahan hutan oleh masyarakat setempat, tegakan pinus tersebut terlantar dan berubah menjadi semak belukar. Menurut petugas KPH Bogor, hal itu dimungkinkan karena areal tersebut merupakan lahan sengketa yang sampai kejadian longsor tersebut berlangsung sengketanya belum terselesaikan, akibatnya berpengaruh pada terhambatnya perawatan dan penanaman pada areal tersebut. Berdasarkan analisis Peta Penutupan Lahan Kabupaten Bogor Tahun 2005, hampir 64 penutupan lahan di wilayah Kecamatan Babakan Madang berupa kebun campuran dan semak belukar. Jumlah ini mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2000 luasan kebun campuran dan semak belukar hanya meliputi 46,36 wilayah Kecamatan Babakan Madang dan pada tahun 2003 sebesar 46,44 . Peningkatan luas kebun campuran dan semak belukar ini diikuti penurunan luasan hutan dan perkebunan. Selama periode 2000 – 2005 luasan hutan menurun dari 1.452,5570 ha atau 15,82 dari luasan wilayah Kecamatan Babakan Madang menjadi hanya sekitar 1118,9460 ha atau 12,2 dari luasan wilayah. Sedangkan luasan perkebunan menurun dari 815,4170 ha 8,88 menjadi 281,3020 ha 3,06 . Banyaknya perubahan penutupan vegetasi ini sebagai tutupan lahan dari areal tegakan hutan atau vegetasi lebat menjadi kebun campuran, semak belukar, pemukiman, atau menjadi lahan kosong akan sangat berpengaruh besar terhadap kestabilan lereng terutama terutama pada areal hutan yang diubah menjadi lahan pertanian agricultural, sehingga menyebabkan Kecamatan Babakan Madang selalu mengalami kejadian longsor tiap tahunnya. Dan dalam kenyataanya, deforestasi yang terjadi pada lahan-lahan berlereng selalu diikuti kejadian longsor. Selain itu, kegiatan manusia lainnya seperti penambangan, pembangunan jalan dan pemukiman dengan memotongmemapas lerengbukit atau mengubah tata lahan pertanian juga mendorong terjadinya bencana longsor. Penutupan lahan lainnya yaitu lahan kosong, lahan yang arealnya tidak ditumbuhi oleh vegetasi apapun di atasnya atau belum dimanfaatkan oleh masyarakat. Kejadian longsor dengan tipe penutupan berupa lahan kosong ditemukan di 4 titik yaitu di Kp. Babakan Ngantai, Kp. Gunung Batu Kidul 3, Kp. Curug 2, dan Kp. Cijayanti. Lahan kosong ini memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap kejadian longsor. Selain tanpa penutupan yang menyebabkan titik hujan mudah memicu erosi, apabila hujan turun dengan intensitas yang cukup tinggi akan langsung terserap oleh tanah sehingga tanah menjadi cepat jenuh terhadap air yang mengakibatkan bobot tanah menjadi bertambah dan lebih labil. Hal ini semakin diperparah karena lahan kosong tersebut menempati badan lereng yang cukup curam 31-63. Hal ini sangat beresiko besar terhadap peluang terjadinya kejadian longsor terutama saat berlangsungnya hujan lebat dalam waktu relatif lama yang menyebabkan kawasan ini lebih rawan terhadap terjadinya tingkat erosi yang tinggi akibat pekanya tanah tergerus energi kinetik hujan. Lahan kosong di wilayah penelitian umumnya tidak hanya tersebar pada lokasi kejadian longsor, tapi juga nampak pada bukit-bukit dan lereng-lereng yang curam tanpa pengelolaan. Menurut pihak KPH Bogor sebagian lahan kosong tersebut merupakan lahan Hak Guna Usaha HGU yang diberikan pemerintah Kabupaten Bogor kepada beberapa perusahaan real estate dan perkebunan, namun karena belum dikelola akhirnya lahan-lahan tersebut terlantar dan menjadi lahan kosong tanpa penutupan. Penutupan lahan di daerah penelitian yang sebagian besar berupa kebun campuran, semak belukar, dan tanah kosong tersebut turut memicu terjadinya longsor. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya penanaman pepohonan berupa tanaman keras pada lahan-lahan kosonglahan gundul dan semak belukar, juga perlu diintensifkannya penanaman tanaman keras yang dipadukan di dalam kebun campuran dalam mekanisme agroforestri yang sesuai. Penanaman tanaman keras ini perlu digalakkan karena terbukti efektif. Sebagai pembanding, di beberapa titik dekat lokasi bencana longsor terdapat sebidang lahan yang ditanami tanaman keras tahunan seperti tanaman kayu afrika Maesopsis eminii, ketapang Terminalia catappa, dan sengonjeunjing Paraseriantehs falcataria, ternyata tempat ini tidak mengalami longsoran. Gambar 9. Lahan dengan tegakan Kayu Afrika Maesopsisi eminii yang tidak mengalami longsor di Kp. Babakan Ngantai Menurut Wahyu Wilopo dan Priyono Suryanto 2005 sistem pertanaman dengan model agroforestri mampu menyerap air secara maksimal dan penggunaannya yang efisien. Konsep kesetimbangan air dalam agroforestri mendudukan agroforestri pada posisi yang strategis untuk mengurangi peluang peran air dalam terjadinya tanah longsor. Namun, pemilihan jenis pohon atau tegakan pun harus disesuaikan dengan kondisi tiap daerah serta harus memperhatikan aspek litologis, geologis, ekonomis, dan kelerengannya. Ini dikarenakan kejadian longsor juga ternyata terjadi pada daerah dengan penutupan lahan berupa tegakan tanaman keras yang memiliki kerapatan tinggi seperti pada kasus longsor di Kp. Legok Banteng 1 Desa Cijayanti. Kp. Legok Banteng 1 yang bentang lahannya berbukit bergelombang dengan kemiringan lereng agak curam 22 memiliki penutupan vegetasi berupa pohon yang cukup rapat dengan tegakan batang yang tinggi dan berdiameter relatif besar 15-25 cm. Pepohonan yang terdapat pada lokasi longsor tersebut diantaranya adalah pohon manggis, menteng, pisitan, bembem, gandaria, kelapa, dan rumpun bambu. Keadaan penutupan vegetasi berupa tegakan campuran yang memiliki profil yang besar dan rapat tersebut ternyata malah menambah beban lereng terutama ketika tanah jenuh air akibat hujan lebat. Ini dikarenakan pohon-pohon besar bila akarnya tidak menancap pada batuan dasar akan justru membebani lereng, terutama bila lereng tersebut ditimpa hujan yang diikuti oleh angin. Beban pohon besar yang telah miring dan tertiup angin kencang merupakan beban dinamis yang menambah resiko longsornya tanah. Hal inilah yang menjadikan lahan rawan terhadap gerakan tanah dan akhirnya menyebabkan longsor. Sutikno 2000 dalam Alhasanah 2006 menyatakan bahwa peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks. Pada kasus tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yang mendorong terjadinya longsor. Namun, pemotongan pohon- pohonan secara tidak tepat untuk mencegah longsornya tanah tidak dibenarkan karena rongga-rongga di dalam tanah yang terbentuk akibat lapuknya akar tumbuh tumbuhan dapat menambah tampungan air di dalam rongga pori tanah sehingga menambah potensi kelongsoran lereng. Oleh karenanya, perlu dilakukan rekayasa vegetatif untuk menanggulangi hal ini yaitu dengan menanami lereng dengan tanaman pohon yang memiliki kemampuan akar yang kuat menembus batuan dasar bahan induk sebagai pengikat atau pasak yang mampu menahan gerakan tanah namun memiliki bobot dan tajuk yang ringan sehingga tidak menambah beban terlalu besar terhadap lereng. Apabila pada kondisi lereng di mana lapisan batuan dasar relatif jauh dari permukaan lereng, maka dapat digunakan tipe tanaman yang dapat mengurangi infiltrasi aliran air ke dalam tanah. Atau tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang tinggi agar air cepat diuapkan oleh tanaman. Menurut Manan 1976 dalam Dahlan 2004, tanaman yang dapat menguapkan air dengan baik menguapkan dalam skala sedang sampai tinggi diantaranya adalah : nangka Artocarpus integra, sengon Paraserianthes falcataria, Acacia vilosa, Indigofera galegoides, sonokeling Dalbergia latifolia, mahoni Swietenia spp., jati Tectona grandis, Kihujan Samanea saman dan lamtoro Leucaena glauca. Adapun jenis vegetasi yang direkomendasikan Bank Dunia dalam pengembangan dan pengelolaan lahan pada kawasan budidaya yang rawan longsor yaitu pohon yang dapat menghasilkan seperti pohon buah-buahan dan kemiri. Sedangkan pada kawasan lindung ditanami vegetasi atau pohon yang sesuai dengan kondisi setempat seperti akasia, pinus, mahoni, johar, jati, kemiri, dan damar. Untuk daerah berlereng curam di lembah dapat ditanami bambu. Sitorus, 2006.

5.3.2 Kemiringan Lereng dan Topografi

Unsur topografi yang paling besar pengaruhnya terhadap bencana longsor adalah kemiringan lereng. Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap longsor, dimana makin curam lereng, makin besar dan makin cepat longsor terjadi. Kemiringan dan panjang lereng juga merupakan 2 unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi Arsyad, 1989. Hardjowigeno 1992 menyatakan bahwa erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang, apabila lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat, sehingga kekuatan mengangkut meningkat pula, dan lereng yang semakin panjang menyebabkan volume air yang mengalir menjadi semakin besar. Selanjutnya, Wahyunto 2003 menambahkan bahwa tanah longsor umumnya dapat terjadi pada wilayah berlereng, makin tinggi kemiringan lerengnya akan semakin besar potensi tanah longsornya. Berdasarkan Peta Kelas Lereng Kabupaten Bogor Tahun 2005, daerah penelitian diklasifikasikan menjadi 5 kelas kemiringan lereng seperti pada Tabel 25. Tabel 25. Kelas Kemiringan Lereng Desa Kelas Kemiringan Lereng Datar 0-8 Landai 8-15 Agak Curam 15-25 Curam 25-45 Sangat Curam 45 Karang Tengah 679.9330 527.1530 847.7870 1424.1000 75.7970 Bojong Koneng 447.9620 575.6480 356.9870 479.4640 24.7020 Cijayanti 911.5720 615.8990 140.9370 15.5030 0.2500 Sumur Batu 172.2670 59.2920 23.2090 4.7990 0.5000 Babakan Madang 211.3860 66.8380 43.6290 6.3200 - Cipembuan 232.5810 11.5950 3.7130 2.0310 0.2420 Citaringgul 251.5700 66.5960 35.9690 8.1860 0.2500 Kadumanggu 462.3690 29.7680 3.9020 1.0600 - Sentul 344.9870 8.6410 3.3140 2,2500 - Berdasarkan pengamatan, 29,17 kejadian tanah longsor 7 kasus terjadi pada kondisi lereng sangat curam, 25 terjadi pada kondisi lereng curam 6 kasus, 20,83 5 kasus terjadi pada kondisi lereng agak curam, sedangkan 25 lainnya terjadi pada kondisi lereng yang landai. Frekuensi kejadian longsor pada tingkat kelerengan 30 pada kondisi lereng sangat curam dan curam ditemukan sebanyak 10 kasus, tersebar pada beberapa lokasi yaitu di Kp. Cilaya, Kp. Babakan Ngantai, Kp. Wangun Landeuh 2 kasus, Kp. Wangun 1, Kp. Wangun 2, Kp. Wangun 3, Kp. Cimandala, Kp. Gunung Batu Kidul, dan Kp. Cijayanti dengan karakteristik tanah longsor keseluruhannya berupa nendatan slump. Sedangkan 6 kasus kejadian longsor dengan tipe nendatan lainnya terjadi pada tingkat kelerengan agak curam 13-28 yaitu di Kp.Curug 2 kasus, Kp. Legok Banteng 2, Kp. Cikeas 2 dan Kp. Gombong 2 kasus. Sedangkan longsor dengan karakteristik amblesan atau penurunan tanah umumnya terjadi pada tingkat kelerengan landai 6-24, ditemukan sebanyak 8 kasus yaitu di Kp. Garungsang Pasir, Kp. Gunung Batu Babakan, Kp. Gunung Batu Kidul 1 dan 2, Kp. Curug 3 dan 4, Kp. Legok Banteng 1, dan Kp. Cikeas. Gambar 10. Longsor tipe nendatan pada lahan kosong di Kp. Babakan Ngantai Kejadian longsor yang terjadi di Desa Karang Tengah keseluruhannya merupakan longsor dengan tipe nendatan slump, hal ini dikarenakan sebagian besar wilayahnya 40,06 berada pada wilayah dengan kemiringan curam sehingga memicu terjadinya nendatan. Sedangkan di Desa Bojong Koneng tipe longsor yang terjadi merata antara tipe nendatan dan tipe amblesan, hal ini juga dipengaruhi pula oleh kondisi lapangan yang sebaran kemiringan lerengnya hampir merata mulai dari datar hingga curam. Namun, karena kemiringan lereng di Desa Cijayanti dominan datar 54,13 , maka kejadian longsor yang terjadi di sana lebih banyak berupa tipe penurunan tanahamblesan yang dipicu terjadinya gerakan tanah. Gambar 11. Longsor tipe nendatan pada penggunaan lahan kebun campuran tanpa tegakan tanaman keras di Kp. Cimandala Pada beberapa titik longsor terlihat adanya pemotongan lereng dalam upaya pembangunan infrasturktur jalan dan pemukiman. Ini terlihat terutama pada kasus longsor di Desa Karang Tengah yaitu di Kp. Cilaya, Kp. Babakan Ngantai, Kp. Wangun Landeuh 1, Kp. Wangun Landeuh 2, Kp. Wangun 1, Kp. Wangun 2, dan Kp. Wangun 3. Pembangunan jalan membentuk gawir yang cukup terjal. Pada beberapa gawir memang sudah dilakukan penanaman vegetasi penguat lereng berupa tegakan campuran atau rumpun bambu, tapi karena penanaman tersebut umumnya tidak diikuti pembuatan terasering maka usaha tersebut tidak mampu menahan laju gerakan tanah dan hujan lebat yang melanda wilayah tersebut pada awal Februari 2007 lalu. Apalagi bila terjadi hujan lebat yang disertai angin kencang, maka akar pepohonan tersebut akan ikut bergerak dan menggoyahkan lereng yang terjal. Pemotongan lereng ini selain dapat menambah kemiringan lereng juga beresiko meningkatkan tegangan geser lereng shear strength yang menyebabkan kemantapan lereng berkurang. Hal ini menyebabkan lereng menjadi rawan terhadap gerakan tanah dan kejadian longsor, terutama saat berlangsungnya hujan lebat dalam waktu lama. Pembangunan pemukiman dan jalan yang memotongmemapas lereng juga membuat kestabilan tanah menjadi terganggu sehingga tanah menjadi rentan longsor saat ada sedikit saja pergerakan tanah. Gambar 12. Jalan yang dibangun tanpa adanya bangunan konservasi pelindung tebing jalan di Kp. Wangun 1 Hal lain yang membuat kemantapan lereng berkurang dan menyebabkannya rawan terhadap gerakan tanah dan kejadian longsor adalah adanya penambangan batuan batu gunung pada lereng yang curam. Ini terlihat pada kasus longsor di Kp. Wangun 1 Desa Karang Tengah, Kp. Gunung Batu Kidul Desa Bojong Koneng, dan pada badan jalan menuju Kp. Wangun 3, lihat gambar 12. Penambangan batu tersebut dilakukan pada badan lereng yang memiliki kecuraman masing-masing 57 dan 63. Penambangan batu ini menjadikan badan lereng bagian bawah menjadi tidak stabil dan rentan gerakan tanah akibat hilangnya tahanan bagian bawah lereng. Gambar 13. Penambangan batu gunung di Kp. Gunung Kidul3 dan Kp. Wangun 3 Pada kasus longsor di Kp. Wangun 2 dan Kp. Wangun 3, Desa Karang Tengah, terlihat banyak rembesan air pada tebing dan kaki tebing terutama pada batas antara tanah dan batuan di bawahnya yang kedap air. Ini sangat beresiko terhadap kejadian longsor selanjutnya. Karena ketika tanah sudah jenuh air akibat hujan lebat, dengan medan gelincir yang mendukung dapat menyebabkan terjadinya longsor. Lereng yang rentan terhadap longsor pada umumnya memiliki tutupan vegetasi berupa pepohonan atau tanaman yang berakar serabut seperti singkong, pisang, pandan, dan rimpang-rimpangan pada kebun campuran. Tapi ternyata pada lereng yang ditanami pohon yang massanya besar dengan jarak tanam yang rapat pun tak luput dari potensi terjadinya bencana longsor seperti yang ditemukan pada kasus kejadian longsor di Kp. Legok Banteng 1 Desa Cijayanti. Ini menyebabkan lereng dengan penutupan hanya berupa kebun campuran, semak belukar, atau rumput-rumputan menjadi rawan terhadap kejadian longsor. Hal ini dikarenakan meski tajuk daun tanaman dan penutupan rumput tersebut mampu menghalangi dan mengurangi kekuatan energi kinetik hujan, namun keadaan tersebut menjadi kurang efektif saat terjadinya hujan yang lebat dalam waktu relatif lama. Air hujan tetap dapat meresap ke dalam tanah membuat tanah jenuh air sehingga mengurangi ikatan kohesi tanah dan membuat tanah rentan terhadap gerakan tanah, apalagi jika tanah tersebut berada pada lapisan batuan yang kedap air dan berada pada tingkat kemiringan lereng yang mendukung terjadinya longsor. Namun, tidak semua lahan dengan kondisi miring mempunyai potensi untuk longsor, hal ini tergantung pada karakter lereng terhadap respon tenaga pemicu terutama respon lereng terhadap curah hujan. Pola penggunaan lahan untuk persawahan, kebun campuran, tegalan, maupun semak belukar terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat mengakibatkan tanah menjadi gembur yang lambat laun akan mengakibatkan terjadinya gerakan tanah atau kelongsoran. Kondisi litologibahan induk yang berupa batuan dan tanah merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya proses gerakan tanah. Dan kandungan air permukaan juga merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya gerakan tanah atau kelongsoran kecepatannya tergantung dari tekstur dan struktur tanah.

5.3.3 Karakteristik Tanah

Berdasarkan hasil tumpangsusun antara peta lokasi kejadian longsor dan peta tanah tinjau, terdapat 2 jenis tanah yang ditemukan pada lokasi kejadian longsor yaitu jenis tanah gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan, dan jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol. Adapun sebaran ditemukan jenis tanah tersebut terlihat pada Tabel 26. Tabel 26. Jenis Tanah di Daerah Penelitian Jenis Tanah Deskripsi Lokasi Kejadian Longsor Persentase Ditemukan Gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan Latosol merupakan jenis tanah Kp. Cimandala Kp. Garungsang Pasir Kp. Gn. Batu Babakan Kp. Gn. Batu Kidul 3 kasus Kp. Curug 4 kasus Kp. Gombong 2 kasus Kp. Cikeas 2 kasus Kp. Legok Banteng 2 kasus 66,67 Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol Litosol merupakan jenis tanah yang umumnya berpasir, pada umumnya dengan semakin besarnya ukuran partikel tanah tekstur kasar, maka akan memiliki tingkat kepekaan bahaya longsoran yang besar Kp. Cilaya Kp. Babakan Ngantai Kp. Wangun Landeuh 2 kasus Kp. Wangun 1 Kp. Wangun 2 Kp. Wangun 3 Kp. Cijayanti 33,33 Jumlah 24 kasus 100 Sumber : Data primer diolah Jenis tanah yang paling luas ditemukan di Kecamatan Babakan Madang adalah jenis gabungan antara latosol coklat dan latosol kemerahan. Tanah latosol merupakan jenis yang memiliki tekstur tanah liat, konsistensi yang gembur dan tetap dari atas sampai bawah, serta struktur lemah sampai gumpal lemah. Tanah ini mempunyai tingkat permeabilitas yang tinggi, sifat tersebut menyebabkannya mempunyai tingkat kepekaan terhadap erosi yang kecil. Adapun keadaan erosi di daerah penelitian berdasarkan Peta Kemampuan Lahan Kabupaten Bogor, hampir 88 wilayah daerah penelitian tidak peka terhadap erosi. Sedangkan yang peka terhadap erosi hanya lebih kurang 12. Sedangkan berdasarkan hasil tumpangsusun peta lokasi kejadian longsor dengan peta kesesuaian lahan, hanya 4 kejadian longsor atau sekitar 16,67 saja yang terjadi pada wilayah yang peka terhadap erosi yaitu di Kp. Cimandala, Kp. Cijayanti, dan Kp. Legok Banteng 2 kasus, sedangkan 83,33 sisanya terjadi pada wilayah tidak peka erosi. Ketidakpekaan tanah di lokasi penelitian terhadap kejadian longsor didukung dengan nilai erodibilitas atau nilai kepekaan erosi tanah latosol yang sangat kecil hanya sebesar 0,067 sedangkan pada jenis tanah kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan litosol hanya 0,064, seperti terlihat pada Tabel 27 dan Tabel 28 Namun, menurut Arsyad 1989, indeks erodibilitas yang ditetapkan di laboratorium tidak dapat dimanfaatkan untuk menduga besarnya erosi yang akan terjadinya sebenarnya di lapangan. Suatu tanah yang mempunyai kepekaan rendah mungkin mengalami erosi yang berat jika tanah tersebut terletak pada lereng yang curam dan panjang serta curah hujan dengan intensitas yang selalu tinggi. Sebaliknya suatu tanah yang mempunyai kepekaan erosi yang tinggi, mungkin memperlihatkan gejala erosi yang ringan atau tidak memperlihatkan adanya erosi jika terdapat pada lereng yang landai, dengan tanaman penutup tanah yang baik dan hujan yang tidak berintensitas tinggi. Tabel 27. Nilai Erodibilitas Tanah pada Lokasi Kejadian Longsor No. Jenis Tanah Nilai Erodibilitas K 1 Asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat 0,067 2 Kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan litosol 0,064 Sumber: Nilai Erodibilitas Tanah untuk 50 Jenis Tanah di Jawa. Puslitbang Pengairan. Bandung Wulandary, 2004 Tabel 28. Kepekaan Erosi Tanah di Indonesia Hasil Penelitian Lapangan Kelas Nilai K Harkat 1 0,00 – 0,10 Sangat rendah 2 0,11 – 0,20 Rendah 3 0,21 – 0,32 Sedang 4 0,33 – 0,43 Agak tinggi 5 0,44 – 0,55 Tinggi 6 0,56 – 0,64 Sangat tinggi Sumber : Sitorus 2006 Menurut Arsyad 1971, beberapa sifat-sifat tanah lainnya yang mempengaruhi bencana longsor adalah tekstur, struktur, kandungan bahan organik, sifat lapisan bawah, kedalaman tanah, dan tingkat kesuburan tanah. Tekstur, struktur tanah, dan kedalaman tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Hampir 85 tanah di wilayah penelitian sekitar 8344,04 ha memiliki kedalaman efektif sedang hingga dalam 60 - 90 cm sehingga kurang peka terhadap erosi. Menurut Arsyad 1989, tanah-tanah yang dalam dan permeable kurang peka terhadap erosi daripada tanah yang permeable tapi dangkal hal ini dikarenakan hanya sebagian kecil yang menjadi air limpasan permukaan. Namun, berdasarkan hasil pemerian tanah secara langsung dengan metode uji rasa rabaan diketahui tekstur tanah di lokasi kejadian longsor didominasi tekstur lempung liat pasiran dan tekstur lempung sampai liat. Tekstur tanah lempung liat pasiran ditemukan di 15 lokasi kejadian longsor atau meliputi 62,5 dari seluruh kejadian longsor dan 9 kasus lainnya 37,5 kasus memiliki tekstur tanah lempung sampai liat. Tanah lempung sangat mudah menyerapmeresapkan air hujan terutama dalam kondisi kering. Tanah lempung ini dapat terbentuk dari hasil pelapukan batuan terutama batuan gunung api. Tanah hasil pelapukan batuan gunung api ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir merupakan jenis tanah yang mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya jika tertimpa hujan. Apabila tanah pelapukan tersebut berada di atas batuan kedap air pada perbukitanpunggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah tersebut menggelincir menjadi longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana tanah longsor. Sedangkan pada kondisi dengan tanah liat, tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat. Hal ini menyebabkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang hebat atau sering disebut sebagai longsor. Longsor bisa disebabkan karena rapuhnya struktur tanah dan terlalu berlebihannya kandungan air tanah tanpa adanya penyerap yang berfungsi sebagai penahan, seperti pepohonan. Tanah yang memiliki tingkat kerapatan tinggi tidak sarang akan memiliki tingkat kestabilan yang tinggi pula. Tanah di lokasi kejadian longsor memiliki struktur berupa butiran halus sampai dengan butiran kasar berbentuk granular atau prisma. Tanah-tanah yang berstruktur kersai atau granular ini lebih terbuka dan lebih sarang sehingga akan menyerap air lebih cepat daripada yang berstruktur dengan susunan butir-butir primernya lebih rapat. Hal ini menyebabkan struktur tanah lebih rapuh akibat tanah yang cepat jenuh air saat terjadi hujan lebat dalam waktu lama yang akhirnya berdampak pada terjadinya longsor.

5.3.4 Pergerakan Tanah

Berbagai tipe dan jenis luncuran dan longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan dengan terjadinya gempa yang memicu gerakan tanah. Menurut masyarakat setempat kejadian longsor didahului dengan terjadinya gerakan tanah. Gerakan tanah ini memicu terjadinya lungsuran material longsor berupa tanah dan batuan yang berasal dari badan lereng perbukitan Gunung Wangun dan Gunung Pancar. Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah di lokasi ini antara lain kondisi lapisan tanah berupa lempung, lempung liat berpasir, hingga liat yang mempunyai sifat mengembang swelling clay apabila basah dan menyusut dalam kondisi kering sangat rentan terhadap terjadinya gerakan tanah. Berdasarkan prinsip fisika-kimia lempung, interaksi antara lapisan tipis lempung dan air clay-water interaction merupakan fenomena fisika-kimia tanah lempung yang sangat menarik. Masuknya air di antara fraksi lempung atau partikel ikatan silikat lempung tertentu terutama montmorillonite, vermiculite, dan illite, akan menyebabkan membesarnya jarak antar fraksi lempung dan mengakibatkan kenaikan volume tanah atau mengembang Hermawan Tri Endah Utami, 2003. Akibat dari peristiwa gerakan tanah terjadi banyak sekali kerusakan pada bangunan pemukiman penduduk karena terjadinya pergeseran pondasi bangunan berupa retakan-retakan atau patahan yang terlihat jelas pada beberapa kejadian longsor seperti di Kp. Wangun 3 Desa Karang Tengah, Kp. Gunung Batu Kidul, Kp. Curug dan Kp. Cikeas Desa Bojong Koneng, dan Kp. Legok Banteng Desa Cijayanti. Pada kasus longsor di Kp. Gunung Batu Kidul, patahan akibat gerakan tanah ini memanjang hingga menyebabkan 60 rumah rusak ringan hingga rusak berat hancur. Sedangkan pada kasus longsor di Kp. Curug patahan menyebabkan 8 rumah hancur dan 50 rumah rusak ringan miring dan sebagainya. Sementara di Kp. Cikeas, patahan menyebabkan sekurang-kurangnya 1 rumah rusak ringan dan 1 rumah rusak berat. Begitu pun longsor yang terjadi di Kp. Wangun 3 Desa Karang Tengah juga dipicu gerakan tanah yang sedikitnya menyebabkan 2 rumah rusak berat akibat retakan dan timbunan material longsor sedangkan di Kp. Legok Banteng Desa Cijayanti patahan yang terjadi memanjang sekitar 2 km ke arah Barat Daya. Patahan atau retakan yang terjadi berkisar antara 10-20 cm. Retakanpatahan yang terjadi kini telah tertutup kembali akibat proses sedimentasi dan infiltrasi air saat hujan. Gambar 14. Rekahan besar akibat gerakan tanah di Kp. Wangun 3 Umumnya kasus longsor dengan patahan akibat gerakan tanah ini berkarakteristik longsor berupa amblesan subsidence. Adapun terjadinya amblesan pada kejadian longsor tersebut telah membentuk suatu gawir dengan tanah turun sedalam 0,5-4 m. Amblesan atau nendatan ini dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu penurunan permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau perubahan volume suatu lapisan tanah. Penurunan lapisan tanah ini biasa terjadi secara alami dalam waktu yang lama lambat. Akan tetapi, proses ini dapat berjalan lebih cepat bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor daya dukung tanahnya. Akibat beban di atasnya, lapisan tanah ini akan termampatkan dan permukaan tanah di atasnya akan menurun. Pada kasus kejadian longsor di Kecamatan Babakan Madang, terjadinya dengan karakteristik amblesan atau penurunan tanah ini selain dipicu adanya gerakan tanah juga dikarenakan padatnya pemukiman di sekitar lokasi kejadian longsor yang membebani lereng misalnya yang terjadi di Kp. Gunung Batu Babakan, Kp. Curug, dan Kp. Cikeas. Selain itu, pembebanan lereng dapat pula disebabkan adanya tegakan pohon yang berbatang besar dan tinggi dengan kerapatan tinggi yang membebani lereng. Hal ini seperti yang terjadi pada kasus longsor di Kp. Legok Banteng Desa Cijayanti. Rekahan besar akibat gerakan tanah Gambar 15. Kondisi gerakan tanah dan amblesan pada kejadian longsor di Kp. Gunung Batu Kidul dan Kp. Curug. Menurut Sutikno 2000, struktur geologi yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan, rekahan, sesar, dan perlapisan batuan yang terlampau miring. Berdasarkan interpretasi Peta Geologi Lembar Bogor, daerah penelitian terletak pada wilayah patahan dan sesar fault terutama pada kawasan Gunung Pancar dan Gunung Hambalang serta memiliki struktur geologi berupa antiklin dan sinklin yang terdapat pada Formasi Jatiluhur. Selain itu, adanya lapisan batupasir tufaan dan batu lempung dari Formasi Jatiluhur yang kedap air menjadi pemicu terjadinya gerakan tanah di daerah penelitian, karena lapisan batuan tersebut berperan sebagai bidang lincir gerakan tanah. Amblesan pada kejadian longsor di Kp. Gn. Batu Babakan

5.3.5 Curah Hujan

Curah hujan merupakan salah satu pemicu terjadinya longsor. Infiltrasi air hujan ke dalam lapisan tanah akan melemahkan material pembentuk lereng, sehingga memacu terjadinya longsor. Curah hujan yang tinggi, intensitas dan lamanya hujan berperan dalam menentukan longsor tidaknya suatu lereng. Faktor curah hujan yang berpengaruh terhadap bahaya longsoran adalah besarnya curah hujan, intensitas curah hujan, dan distribusi curah hujan. Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi, selanjutnya sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air yang mengalir di atas permukaan tanah tergantung pada kemampuan tanah untuk menyerap air kapasitas infiltrasi. Oleh karena itu, untuk mencegah agar tanah tidak terdispersi, maka perlu adanya vegetasi yang menutupi permukaan tanah, sehingga air yang turun diserap dan disimpan oleh vegetasi tersebut. Pada hari sebelum dan selama kejadian longsor berlangsung, di Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor hujan turun dalam jangka waktu yang cukup lama yaitu mulai pukul 21.00 WIB sampai dengan pagi hari berikutnya. Karena kondisi lahan pada kawasan hutan sudah gundul, maka tenaga potensial yang dihasilkan oleh air hujan semakin besar. Sebelum terjadinya longsor, di Kecamatan Babakan Madang hujan berlangsung lama dan lebat, mencapai 245 mmhari dan berlangsung lebih dari 6 jam. Keadaan tersebut di luar batas normal dan terbilang tinggi. Curah hujan dapat mempengaruhi kadar air di dalam tanah. Semakin tinggi curah hujan maka kadar air dalam tanah pun tinggi, hal ini menyebabkan kuat geser lereng menurun karena meningkatnya massa tanah akibat tanah jenuh air. Kondisi ini menyebabkan menurunnya nilai kohesi, agregat tanah mudah lepas dan memicu terjadinya gerakan tanah dan longsor. Berdasarkan hasil tumpangsusun peta curah hujan dan peta lokasi kejadian longsor, 19 kasus longsor 79,17 berada pada wilayah dengan iklim sedang dengan curah hujan tahunan 2.000 – 2.500 mmtahun dan 5 kasus lainnya 20,83 berada pada wilayah iklim basah dengan curah hujan tahunan 2.500 – 3.000 mmtahun. Bulan basah pada iklim sedang di daerah penelitian terjadi sekitar 5-6 bulan dan bulan keringnya berkisar 3-6 bulan. Sedangkan bulan basah pada iklim basah terjadi 7-9 bulan dengan bulan kering kurang dari 3 bulan. Dominannya bulan basah yang terjadi menjadikan daerah penelitian sering mengalami hujan terutama pada bulan-bulan November-April. Hal inilah yang memicu sering terjadinya peristiwa longsor di daerah penelitian.

5.3.6 GeologiBatuan Induk

Kondisi geologi yang perlu diperhatikan meliputi sifat fisik tanahbatuan, susunan dan kedudukan batuan, serta struktur geologi. Struktur geologi atau batuan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya longsor. Berdasarkan hasil tumpangsusun antara peta lokasi kejadian longsor dan peta Geologi Kabupaten Bogor diketahui bahwa struktur geologi yang terdapat di 10 lokasi kejadian longsor atau 41,67 dari keseluruhan kejadian longsor adalah jenis batuan gunung api Qvk berupa bongkahan andesit dan breksi andesit dengan banyak sekali fenokris piroksen dan lava basal, sedangkan 14 kasus kejadian longsor lainnya 58,33 berstruktur geologi jenis batuan sedimen Tmj berupa napal dan serpih lempungan, dan sisipan batu pasir kuarsa Tabel 29. Tabel 29. Jenis Batuan di Daerah Penelitian Klasifikasi Geologis Jenis Batuan Deskripsi Lokasi Kejadian Longsor Persentase Ditemukan Q VK Batuan Gunung Api Bongkahan andesit dan breksi andesit dengan banyak sekali fenokris piroksen dan lava basal Kp.Wangun 2 Kp. Curug 4 kasus Kp. Gombong 2 kasus Kp. Cikeas 2 kasus Kp. Cijayanti 41,67 Tmj Batuan Sedimen Napal dan serpih lempungan, dan sisipan batu pasir kuarsa Kp. Cilaya, Kp. Babakan Ngantai, Kp. Wangun Landeuh 2 kasus, Kp. Wangun 1 Kp. Wangun 3, Kp. Cimandala Kp. Garungsang Pasir, Kp. Gn. Batu Babakan, Kp. Gn. Batu Kidul 3 kasus, Kp. Legok Banteng 2 kasus 58,33 Jumlah 24 kasus 100 Sumber : Data primer diolah Menurut Wilopo dan Agus 2005, batuan formasi andesit dan breksi merupakan faktor pemicu terjadinya longsor karena sifatnya yang kedap air. Sehingga batuan yang bersifat andesit dan breksi tersebut dapat dijadikan sebagai bidang gelincir untuk terjadinya longsor. Dalam keadaan jenuh air pada musim hujan, ditambah dengan tekstur tanah lempung pasiran maka pada daerah yang memiliki batuan induk bersifat andesit menjadi rawan longsor. Gambar 16. Penampakan batuan andesit pada lokasi longsor di Kp. Wangun 2 Lereng-lereng di lokasi kejadian longsor pada permukaannya juga tertutup tanah lempung pasiran hasil pelapukan lapisan batu andesit dan breksi andesit. Adapun sifat tanah lempung pasiran ini bersifat plastis dalam kondisi basah atau dapat mengembang. Namun, dalam kondisi kering lapisan tanah ini menjadi pecah-pecah. Oleh karena itu, ketika musim hujan tiba, air hujan cenderung mengalir melalui lereng-lereng curam yang ada di Kecamatan Babakan Madang ini. Namun, selama melalui lereng ini air hujan ini tak dapat meresap lebih dalam karena terhalang oleh batuan andesit. Akibatnya, air hujan akan terakumulasi di sekitar lereng dan akan terus mendorong lapisan tanah lempung yang ada di atasnya hingga terjadilah peristiwa longsor . Faktor tekstur tanah turut berperan sebagai pemicu longsor dalam kaitannya dengan kondisi geologis yang ada. Tanah bertekstur lempung berpasir dan dikombinasikan dengan batuan induk bersifat andesit, basalt, atau breksi, serta dengan kemiringan yang curam, maka akan menjadikan daerah tersebut rawan longsor. Tanah bertekstur pasir berperan dalam meningkatkan infiltrasi tanah. Jika tanah dalam keadaan jenuh air, massa tanah akan menjadi lebih berat. Berdasarkan tumpangsusun peta sebaran geologi dan peta wilayah administratif Kabupaten Bogor tahun 2005 menunjukkan bahwa daerah penelitian juga terletak pada satuan endapan tanah permukaan yang mempunyai daya dukung rendah dan sangat tidak stabil. Jika di atas endapan tanah permukaan tersebut terdapat bangunan atau penggunaan lahan lainnya yang tidak sesuai dengan daya dukung tanahnya maka akan dapat memicu terjadinya gerakan tanah. Gerakan tanah ini dapat berupa longsoran, retakan, dan pergeseran tanah yang terindikasi pada dinding bangunan yang retak maupun amblesan pada lahan atau badan jalan. Kejadian retakan maupun pergerakan yang signifikan ini mempengaruhi terjadinya longsoran. Apalagi jika retakan-retakan hasil pergerakan tanah tersebut tidak segera ditutupi dengan tanah kembali akan beresiko menyebabkan air masuk ke dalam tanah dan membuat tanah cepat jenuh air sehingga massa tanah menjadi lebih berat dan memicu terjadinya longsor. Selain itu, tanah hasil pelapukan batuan merupakan salah satu parameter yang menentukan terjadinya longsor. Batuan dan tanah pelapukan di daerah penelitian tersusun dari breksi vulkanik, tufa breksi, dan lava serta adanya sisipan batupasir serta lempung hitam yang bagian permukaannya telah mengalami pelapukan berupa lempung pasiran-lempung lanauan yang cukup tebal. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir, merupakan jenis tanah yang mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya jika tertimpa hujan. Apabila tanah tersebut berada di atas batuan kedap air pada kemiringan tertentu maka air yang masuk akan tertahan dan tanah pada kemiringan tertentu akan berpotensi menggelincir menjadi longsor Rekapitulasi ditemukannya tiap parameter penyebab terjadinya ongsor di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 30 di bawah ini. Tabel 30. Frekuensi Ditemukannya Variabel-Variabel Penyebab Terjadinya Tanah Longsor Indikator Parameter Jumlah Ditemukan Persentase Jenis Tanah Kompleks latosol merah kekuningan, latosol coklat kemerahan, dan litosol 16 66,67 Gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan 8 33,33 Tekstur Tanah Lempung liat berpasir 10 41,67 Lempung sd liat 14 58,33 Kondisi Erosi Erosi 20 83,33 Tidak Erosi 4 16,67 Ketebalan Tanah 0-5 7 29,17 5-10 2 8,33 10-15 9 37,5 15-20 - - 20-25 - - 25-30 1 4,17 30 5 20,83 Tutupan Vegetasi Tegakan Campuran 6 25 Semak Belukar 6 25 Kebun Campuran 8 33,33 Lahan KosongLap. Rumput 4 16,67 Kebun Campuran Dengan tan. keras 2 8,33 Tanpa tan. keras 22 91,67 Kemiringan Lereng 0-8 2 8,34 8-15 5 20,83 15-25 5 20,83 25-40 4 16,67 40 8 33,33 Kondisi Perbukitan Datar - - Berombak 1 4,17 Bergelombang 5 20,83 Berbukit 8 33,33 Bergunung 10 41,67 Kejadian Longsor Pernah 14 58,33 Belum pernah 10 41,67 Tipe Infrastruktur Jalan 12 50 Pemukiman 12 50 Bangunan Konservasi Bronjong penahan 3 12,5 Saluran air 1 4,17 Pembuatan teras 1 4,17 Tidak ada 19 79,16 Cuaca Kering - - Sedang 19 79,17 Basah 5 20,83 Sangat Basah - - Jenis Batuan Batuan sediment 14 58,33 Batuan gunung api 10 41,67 Tipe Longsor Nnedatan Slump 16 66,67 Penurunan TanahAmblesan Subsidence 8 33,33 Sumber : Data Primer diolah

5.4 Penetapan Tingkat Kerawanan Daerah Kejadian Longsor

Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor di daerah penelitian didasarkan kepada model pendugaan kawasan rawan tanah longsor oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana GeologiDVMBG 2004. Penetapan tingkat kerawanan daerah kejadian longsor dilakukan dengan cara memberikan bobot atau nilai pada setiap parameter penyebab terjadinya longsor. Pemberian proporsi nilaipembobotan berbeda pada setiap parameter karena diasumsikan bahwa peranan setiap parameter terhadap terjadinya tanah longsor tidak sama, tergantung keperluan dan permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan analisis dari model pendugaan yang dilakukan Tim DVMBG, diketahui bahwa parameter yang berpengaruh tinggi terhadap terjadinya bencana tanah longsor adalah jumlah curah hujan sehingga proporsi nilainya lebih tinggi dari parameter lainnya. Dari semua faktor-faktor penentu parameter kerawanan kejadian tanah longsor didapat suatu persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai kerawanan tanah longsor di suatu kawasan yaitu : Skor = 30 x faktor kelas curah hujan + 20 x faktor kelas geologi + 20 x faktor kelas jenis tanah + 15 x faktor kelas penggunaan lahan + 15 x faktor kelas lereng Untuk kejadian longsor di daerah penelitian, setelah dilakukan penghitungan total skor dari seluruh parameter penyebab terjadinya longsor sesuai dengan nilai bobotnya masing-masing, dihasilkan 3 tingkat kerawanan daerah kejadian longsor yaitu daerah dengan tingkat kerawanan longsor rendah, menengah, dan tinggi. Pengkelasan tingkat kerawanan longsor ini berdasarkan pembagian rentangan nilai skor kumulatif ke dalam 3 kelas dengan selang skor interval yang sama. Berdasarkan hasil penghitungan total skor untuk seluruh kejadian longsor diketahui bahwa skor tertinggi yaitu 6,3 untuk kasus longsor di Kp. Gn. Batu Kidul 3 dan skor terendah yaitu 3,75 pada kasus longsor di Kp. Cikeas 1. Sehingga pengkelasan tingkat kerawanan kejadian longsor ditetapkan seperti pada Tabel 31 berikut ini. Tabel 31. Pengkelasan Tingkat Kerawanan Longsor No. Total Skor Tingkat Kerawanan Longsor 1 3,75 – 4,5 Rendah 2 4,55 – 5,4 Menengah 3 5,45 – 6,3 Tinggi Berdasarkan nilai skor kumulatif tiap kasus kejadian longsor diketahui bahwa terdapat 8 kasus yang termasuk ke dalam kejadian longsor dengan tingkat kerawanan tinggi, 9 kasus dengan tingkat kerawanan menengah, dan 7 kasus dengan tingkat kerawanan rendah. Adapun rincian sebaran daerah kejadian longsor berdasarkan tingkat kerawanannya dapat di lihat pada Tabel 32 sedangkan sebaran ditemukannya tiap parameter pada tiap tingkat kerawanan kejadian longsor di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 32. Daerah Sebaran Tingkat Kerawanan Longsor Tingkat Kerawanan Longsor Tinggi Menengah Rendah 1. Kp. Gn. Batu Kidul 3 2. Kp. Wangun 3 3. Kp. Cimandala 4. Kp. Babakan Ngantai 5. Kp. Wangun 1 6. Kp. Cijayanti 1. Kp. Legok Banteng 2 2. Kp. Curug 2 3. Kp. Cilaya 4. Kp. Curug 1 5. Kp. Wangun Landeuh 2 6. Kp. Cikeas 2 1. Kp. Garungsang Pasir 2. Kp. Curug 3 3. Kp. Curug 4 4. Kp. Gn. Batu Kidul 2 5. Kp. Gn. Batu Babakan 6. Kp. Gn Batu Kidul 1