Karakterisasi Simplisia Dan Isolasi Senyawa Triterpenoida/Steroida Dari Herba Suruhan (Peperomiae pellucidae herba)

(1)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SENYAWA

TRITERPENOIDA/STEROIDA DARI HERBA SURUHAN

(Peperomiae pellucidae herba)

SKRIPSI

Oleh: PUJI LESTARI NIM 071524051

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SENYAWA

TRITERPENOIDA/STEROIDA DARI HERBA SURUHAN

(Peperomiae pellucidae herba)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Oleh: PUJI LESTARI NIM 071524051

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT karena kasih sayang dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Ayahanda Hartono dan Ibunda Rusmiati yang tercinta, adinda Citra Septantris dan adinda Indah Tusikowaty serta kepada semua keluarga atas perhatian, nasehat dan dorongan semangat serta dukungan doa yang tiada ternilai harganya.

Dengan segala ketulusan hati penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dra. Saleha Salbi, M.Si., Apt., dan Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab selama melakukan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dekan Fakultas Farmasi Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang

telah memberikan fasilitas kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, Apt., sebagai Dosen wali yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan.

3. Ibu dan Bapak staf penguji yang telah memberikan petunjuk dan bimbingannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Panal Sitorus, M.Si., Apt., selaku Kepala Laboratorium Farmakognosi beserta seluruh staf yang telah mengizinkan penulis menggunakan fasilitas laboratorium selama penelitian.

5. Bapak/Ibu dosen Fakultas Farmasi USU yang telah memberikan didikan dan bimbingan selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Farmasi USU

6. Kepada teman-teman dan sahabatku serta rekan Farmasi yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu menjadi teman berbagi suka duka, membantu dan memberi dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.


(4)

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu sangat diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.

Medan, Februari 2010

Penulis,

Puji Lestari


(5)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SENYAWA TRITERPENOIDA/STEROIDA DARI

HERBA SURUHAN (Peperomiae pellucidae herba)

ABSTRAK

Suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K.) adalah tumbuhan gulma yang banyak dijumpai di tempat lembab, agak terlindung dan memiliki banyak khasiat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik simplisia dan mengisolasi senyawa triterpenoida/steroida dari herba suruhan. Metode penelitian meliputi pengumpulan dan pengolahan sampel, pemeriksaan karateristik simplisia, pembuatan ekstrak, kromatografi cair vakum (KCV), kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif, uji kemurnian isolat dan identifikasi isolat secara spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri inframerah (IR). Dilakukan karakterisasi simplisia yang meliputi pemeriksaan makroskopik, pemeriksaan mikroskopik, kadar sari yang larut dalam air (18,80), kadar sari yang larut dalam etanol (12,83), kadar abu total (3,85%), kadar abu yang tidak larut dalam asam (1,17%), dan kadar air (6,66%). Hasil pengamatan makroskopik terhadap simplisia herba, daun tunggal, berkeriput, rapuh, helai daun berbentuk jantung, berwarna coklat kehijauan. Pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia menunjukkan adanya rambut penutup, sel minyak, stomata tipe anomositik, hablur kalsium oksalat berbentuk prisma dan drusse yang ujung kristalnya runcing dan tumpul, serbuk sari dan trakea. Ekstraksi dilakukan secara maserasi dengan menggunakan pelarut n-heksan, dilanjutkan dengan kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi cair vakum (KCV), dan KLT preparatif.Isolat yang diperoleh dianalisis secara spektrofotometri UV memberikan absorbansi maksimum pada panjang gelombang (λ) 223,3 nm menunjukkan adanya gugus kromofor dan hasil spektrofotometri IR diketahui adanya gugus -OH, ikatan C-H alifatis, gugus C=O, ikatan rangkap C=C, ikatan C-O, gugus CH2, dan gugus

CH3. Hasil analisis isolat menunjukkan bahwa isolat yang diperoleh adalah

senyawa golongan triterpenoida/steroida.


(6)

CHARACTERIZATION SIMPLESIA AND ISOLATION OF TRITERPENOID/STEROID COMPOUNDS FROM SURUHAN HERB

(Peperomiae pellucidae herb) ABSTRACT

Suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K) is weed abundamtly found in protected moist area and have many effects. One of chemistry compound is steroid. This objective of research would be to know characteristics of simplesia and isolating steroid compounds from suruhan herb. Characterization of simplesia that cover macroscopic, microscopic, water-soluble extract content, ethanol-soluble extract content, total ash content, acid-inethanol-soluble ash content and water content. The macroscopic examination from simplesia herb, single leaf, dwindle, fragile, leaf in form of tan heart green, brown green colour. The microscopic examination on simplesia powder indicated that there was the covering hairs, oil drip, stomata of anosocitic type, prism and druse shape that the end of crystal its become sharp and blunt, and stone cells. The examination result of simplesia characteristic indicated water-soluble extract content was 18,80%, ethanol-soluble extract content was 12,83%, total ash content 3,85%, acid-insoluble ash content 1,17%, and water content 6,66%. Extraction was made through maceration by using n-hexane solvent, followed by thin layer chromatography, vacuum liquid chromatography, and KLT preparative. The isolat gained was characterized by ultraviolet spectrophotometer indicated maximum absorbance in wafelength (λ) 223,3 nm to show the existence of chromophor cluster and the result of infrared spectrophotometer indicated the existence of OH-cluster, C-H aliphatic bonding, C=O cluster, double bonding C=C, C=O bonding, CH2 and CH3. The analysis

result of isolat indicating the compound of steroid type.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Hipotesis ... 2

1.4 Tujuan Penelitian ... 2

1.5 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Uraian Tumbuhan ... 4

2.1.1 Sistematika Tumbuhan ... 4

2.1.2 Nama Lain ... 4

2.1.3 Nama Daerah ... 4


(8)

2.2 Uraian Kimia ... 5

2.2.1 Terpenoida ... 5

2.2.2 Triterpenoida ... 6

2.3 Ekstraksi ... 11

2.3.1 Pengertian ... 11

2.3.2 Metode-Metode Ekstraksi ... 12

2.4 Kromatografi ... 13

2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis ... 14

2.4.2 Kromatografi Cair Vakum ... 16

2.4.3 KLT Preparatif ... 17

2.5 Spektrofotometri ... 18

2.5.1 Spektrofotometri UV ... 19

2.5.2 Spektrofotometri IR ... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

3.1 Alat-alat yang digunakan ... 23

3.2 Bahan-bahan yang digunakan ... 23

3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi ... 24

3.3.1 Pereaksi Dragendroff ... 24

3.3.2 Pereaksi Bouchardat ... 24

3.3.3 Pereaksi Mayer ... 24

3.3.4 Pereaksi Asam Klorida 2 N ... 24

3.3.5 Pereaksi Besi (III) Klorida 1% ... 24

3.3.6 Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M ... 25


(9)

3.3.8 Pereaksi Liebermann-Burchard ... 25

3.3.9 Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N ... 25

3.3.10 Pereaksi Asam Nitrat 0,5 N ... 25

3.3.11 Pereaksi Kloralhidrat ... 25

3.4 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel ... 25

3.4.1 Pengumpulan Sampel ... 25

3.4.2 Identifikasi Tumbuhan ... 26

3.4.3. Pengolahan Sampel ... 26

3.4 Pengumpulan dan Pengolahan Sampel ... 26

3.4.1 Pengumpulan Sampel ... 26

3.4.2 Identifikasi Tumbuhan ... 26

3.4.3. Pengolahan Sampel ... 26

3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 26

3.5.1 Pemeriksaan Makroskopik ... 26

3.5.2 Pemeriksaan Mikroskopik ... 27

3.5.3. Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Air ... 27

3.5.4 Penetapan Kadar Sari yang Larut dalam Etanol ... 27

3.5.5. Penetapan Kadar Abu Total ... 28

3.5.6 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dala Asam ... 28

3.5.7 Penetapan Kadar Air ... 28

3.6 Penapisan Fitokimia Serbuk Simplisia ... 29

3.6.1 Pemeriksaan Alkaloida ... 29

3.6.2 Pemeriksaan Flavonoida ... 30


(10)

3.6.4 Pemeriksaan Tanin ... 30

3.6.5. Pemeriksaan Glikosida ... 30

3.6.6 Pemeriksan Antrakuinon ... 31

3.6.7 Pemeriksaan Triterpenoida/Steroida ... 31

3.7 Pembuatan Ekstrak ... 31

3.8 Analisis Ekstrak n-heksan secara KLT ... 32

3.9 Fraksinasi Ekstrak n-heksan secara KLT ... 32

3.10 Analisis KLT secara KCV ... 33

3.11 Isolasi senyawa triterpenoida/steroida hasil fraksinasi secara KLT preparatif ... 33

3.12 Uji kemurnian kristal hasil isolat ... 34

3.13 Identifikasi Isolat ... 35

3.13.1 Identifikasi Isolat secara Spektrofotometri UV ... 35

3.13.2 Identifikasi Isolat secara Spektrofotometri IR ... 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Pemeriksan Karakteristik Simplisia ... 36

4.2 Isolasi Senyawa Triterpenoida/Steroida ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil Identifikasi Tumbuhan ... 43

2. Gambar Tumbuhan Suruhan ... 44

3. Gambar Herba Suruhan ... 45

4. Gambar Simplisia Herba Suruhan ... 46

5. Mikroskopik Serbuk Herba Suruhan ... 47

6. Perhitungan Hasil Karakterisasi Pemeriksaan Simplisia ... 48

7. Hasil Karakterisasi Serbuk Herba Suruhan ... 53

8. Bagan Ekstraksi Serbuk Simplisia Herba Suruhan ... 54

9. Kromatogram Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 55

10. Bagan Isolasi Triterpenoida/Steroida dari Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 56

11. Kromatogram Hasil KCV Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 57

12. Kromatogram Hasil KCV Fraksi F2 Ekstrak n-heksan Herba Suruhan .... 58

13. Kromtogram KLT Preparatif Fraksi A2 ... 59

14. Kromatogram KLT Dua Arah Isolat 2 ... 60

15. Spektrum Ultraviolet Isolat 2 ... 61


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Golongan Utama Terpenoid Tumbuhan ... 6 2. Hasil Karakterisasi Serbuk Herba Suruhan ... 53 3. Hasil Penapisan Fitokimia Serbuk Herba Suruhan ... 53


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur dari Beberapa Senyawa Triterpenoida ... 37

2. Struktur Dasar Steroida dan Sistem Penomorannya ... 37

3. Struktur Beberapa Senyawa Fitosterol ... 37

4. Struktur Dasar Spiroketal ... 37

5. Tipe Aglikon dari Glikosida Jantung ... 40

6. Tumbuhan Suruhan ... 37

7. Herba Suruhan ... 38

8. Simplisia Herba Suruhan... 39

9. Mikroskopik Serbuk Herba Suruhan ... 40

10. Bagan Ekstraksi Serbuk Simplisia Herba Suruhan ... 47

11. Kromatogram Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 48

12. Bagan Isolasi Triterpenodia/Steroid dari Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 49

13. Kromatogram Hasil KCV Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 50

14. Kromatogram Hasil KCV Fraksi A2 Ekstrak n-heksan Herba Suruhan ... 51

15.Kromatogram KLT Preparatif Fraksi A2 ...52

16. Kromatogram KLT Dua Arah Isolat 2...53

17.Spektrum Ultraviolet Isolat 2...54


(14)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN ISOLASI SENYAWA TRITERPENOIDA/STEROIDA DARI

HERBA SURUHAN (Peperomiae pellucidae herba)

ABSTRAK

Suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K.) adalah tumbuhan gulma yang banyak dijumpai di tempat lembab, agak terlindung dan memiliki banyak khasiat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik simplisia dan mengisolasi senyawa triterpenoida/steroida dari herba suruhan. Metode penelitian meliputi pengumpulan dan pengolahan sampel, pemeriksaan karateristik simplisia, pembuatan ekstrak, kromatografi cair vakum (KCV), kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif, uji kemurnian isolat dan identifikasi isolat secara spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri inframerah (IR). Dilakukan karakterisasi simplisia yang meliputi pemeriksaan makroskopik, pemeriksaan mikroskopik, kadar sari yang larut dalam air (18,80), kadar sari yang larut dalam etanol (12,83), kadar abu total (3,85%), kadar abu yang tidak larut dalam asam (1,17%), dan kadar air (6,66%). Hasil pengamatan makroskopik terhadap simplisia herba, daun tunggal, berkeriput, rapuh, helai daun berbentuk jantung, berwarna coklat kehijauan. Pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia menunjukkan adanya rambut penutup, sel minyak, stomata tipe anomositik, hablur kalsium oksalat berbentuk prisma dan drusse yang ujung kristalnya runcing dan tumpul, serbuk sari dan trakea. Ekstraksi dilakukan secara maserasi dengan menggunakan pelarut n-heksan, dilanjutkan dengan kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi cair vakum (KCV), dan KLT preparatif.Isolat yang diperoleh dianalisis secara spektrofotometri UV memberikan absorbansi maksimum pada panjang gelombang (λ) 223,3 nm menunjukkan adanya gugus kromofor dan hasil spektrofotometri IR diketahui adanya gugus -OH, ikatan C-H alifatis, gugus C=O, ikatan rangkap C=C, ikatan C-O, gugus CH2, dan gugus

CH3. Hasil analisis isolat menunjukkan bahwa isolat yang diperoleh adalah

senyawa golongan triterpenoida/steroida.


(15)

CHARACTERIZATION SIMPLESIA AND ISOLATION OF TRITERPENOID/STEROID COMPOUNDS FROM SURUHAN HERB

(Peperomiae pellucidae herb) ABSTRACT

Suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K) is weed abundamtly found in protected moist area and have many effects. One of chemistry compound is steroid. This objective of research would be to know characteristics of simplesia and isolating steroid compounds from suruhan herb. Characterization of simplesia that cover macroscopic, microscopic, water-soluble extract content, ethanol-soluble extract content, total ash content, acid-inethanol-soluble ash content and water content. The macroscopic examination from simplesia herb, single leaf, dwindle, fragile, leaf in form of tan heart green, brown green colour. The microscopic examination on simplesia powder indicated that there was the covering hairs, oil drip, stomata of anosocitic type, prism and druse shape that the end of crystal its become sharp and blunt, and stone cells. The examination result of simplesia characteristic indicated water-soluble extract content was 18,80%, ethanol-soluble extract content was 12,83%, total ash content 3,85%, acid-insoluble ash content 1,17%, and water content 6,66%. Extraction was made through maceration by using n-hexane solvent, followed by thin layer chromatography, vacuum liquid chromatography, and KLT preparative. The isolat gained was characterized by ultraviolet spectrophotometer indicated maximum absorbance in wafelength (λ) 223,3 nm to show the existence of chromophor cluster and the result of infrared spectrophotometer indicated the existence of OH-cluster, C-H aliphatic bonding, C=O cluster, double bonding C=C, C=O bonding, CH2 and CH3. The analysis

result of isolat indicating the compound of steroid type.


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Upaya pencarian tumbuhan berkhasiat obat telah lama dilakukan, baik untuk mencari senyawa baru ataupun menambah keanekaragaman senyawa yang telah ada. Hasil pencarian dan penelitian tersebut kemudian dilanjutkan dengan upaya pengisolasian senyawa murni dan turunannya sebagai bahan dasar obat modern atau pembuatan ekstrak untuk obat fitofarmaka.

Suruhan termasuk tumbuhan gulma yang dapat digunakan sebagai obat tradisional. Suruhan merupakan tumbuhan liar yang sering di jumpai dan banyak terdapat di tempat yang lembab, agak terlindung, sela batu, bawah pohon, tebing, pekarangan dan ladang. Saat ini gulma banyak dilirik dan digunakan oleh para ahli pengobatan untuk mengobati berbagai penyakit. (Djauhariya, 2004).

Menurut Hembing (2004), suruhan berkhasiat untuk mengatasi nyeri pada rematik, penyakit asam urat, sakit kepala, sakit perut, abses, bisul, jerawat, radang kulit, luka terpukul dan luka bakar ringan. Bagian yang digunakan adalah herba. Menurut hasil penelitian Muhtadi dkk (2004), tentang aktivitas antidiabetes ekstrak etanol dari herba suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K), hasil penapisan fitokimia dari ekstrak etanol menunjukkan adanya golongan senyawa steroida.

Golongan senyawa triterpenoida/steroida merupakan komponen aktif dari tumbuhan yang telah digunakan untuk mengobati beberapa penyakit dan digunakan dalam bidang farmasi untuk pembuatan obat-obat kontrasepsi, anabolik, dan antiinflamasi (Robinson, 1995).


(17)

Suruhan memiliki banyak khasiat sebagai obat, namun karakterisasinya belum ada dan masih sedikit yang meneliti tentang kandungan kimianya. Berdasarkan hal di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan karakterisasi terhadap simplisia, serta mengisolasi senyawa triterpenoida/steroida dari herba suruhan dengan cara kromatografi cair vakum (KCV) dan kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif yang dilanjutkan dengan identifikasi senyawa hasil isolasi secara spekrofotometri UV dan spektrofotometri IR.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan pada penelitian ini adalah: a. apakah karakterisasi simplisia dari herba suruhan perlu dilakukan?

b. apakah senyawa triterpenoida/steroida dari herba suruhan dapat diisolasi dari ekstrak n-heksan dan isolatnya dapat diidentifikasi secara spektrofotometri UV dan spektrofotometri IR?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka hipotesis penelitian ini adalah: a. karakterisasi simplisia herba suruhan belum ada pada literatur, maka

karakterisasi herba suruhan perlu dilakukan.

b. senyawa triterpenoida/steroida dari herba suruhan dapat diisolasi dari ekstrak n-heksan dan isolatnya dapat diidentifikasi secara spektrofotometri UV dan spektrofotometri IR.

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

a. untuk memperoleh informasi mengenai karakterisasi simplisia dari herba suruhan yang merupakan bagian dari standarisasi simplisia.


(18)

b. untuk mengetahui senyawa triterpenoida/steroida yang terdapat dalam herba suruhan dan mengidentifikasi isolat secara spektrofotometri UV dan spektrofotometri IR.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah informasi tentang herba suruhan sebagai obat tradisional.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Uraian Tumbuhan

2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Piperales

Suku : Piperaceae

Marga : Peperomia

Jenis : Peperomia pellucida H.B.&K

(Djumidi, 1997)

2.1.2 Nama daerah

Nama daerah tumbuhan ini adalah seladaan (Jawa), saladaan (Sunda), ketumpang ayer (Sumatera), gotu garoko (Maluku) (Dhauhariya, 2004).

2.1.3 Morfologi tumbuhan

Habistus : Herba, tinggi 10-20 cm Batang : Tegak, lunak hijau muda

Daun : Tunggal, duduk spiral, lonjong,panjang 1-4 cm, lebar 1,5-2 cm, ujung rncing, pangkal bertoreh, tepi rata, pertulangan melengkung, permukaan lici, lunak, hijau.

Bunga : Majemuk, bentuk bulir, diujung batang atau di ketiak daun,

panjang bulir 2-3 cm, tangkai lunak, putih kekuningan. Buah : Bulat, kecil, hijau


(20)

Biji : Bulat, kecil, hitam Akar : Serabut, putih

(Djumidi, 1997)

2.2Uraian Kimia 2.2.1 Terpenoida

Senyawa terpenoida mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan dan istilah terpenoida digunakan untuk menunjukkan bahwa secara biosintesis semua senyawa tumbuhan ini berasal dari senyawa yang sama. Senyawa terpenoida adalah senyawa yang berasal dari unit-unit isopren CH2=C(CH3)−CH2 dan

kerangka karbonnya dibangun oleh persambungan dua atau lebih satuan C5 ini

melalui kaidah persambungan “kepala dan ekor”. Terpenoida dapat mengandung dua, tiga atau lebih satuan isopren. Molekul-molekulnya dapat berupa rantai terbuka atau siklik, dan dapat mengandung gugus hidroksil, gugus karbonil atau gugus fungsional lainnya.

Terpenoida terdiri atas beberapa macam senyawa berdasarkan jumlah satuan isoprena yang terdapat dalam senyawa tersebut. Mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpena dan seskuiterpena (C10 dan C15), diterpena yang

lebih sukar menguap (C20), sampai ke senyawa yang tidak menguap yaitu

triterpenoida (C30), serta pigmen karotenoida (C40). Golongan senyawa


(21)

Tabel 1. Golongan terpenoida tumbuhan

Jumlah satuan isoprena Jumlah Karbon Golongan

1 2 3 4 5 6 8 n C5 C10 C15 C20 C25 C30 C40 Cn hemiterpenoida monoterpenoida seskuiterpenoida diterpenoida sesterpenoida triterpenoida tetraterpenoida politerpenoida 2.2.2 Triterpenoida

Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C-30 asiklik, yaitu skualena, senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi dan bersifat optis aktif yang umumnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya. Uji yang banyak digunakan untuk uji atau identifikasi triterpenoida ialah reaksi Lieberman-Burchard (anhidrida asetat – H2SO4 pekat) yang biasanya

menghasilkan warna hijau-biru (Harborne,1987).

Sebagian senyawa triterpenoida juga merupakan komponen aktif dalam tumbuhan dan telah digunakan untuk penyakit termasuk diabetes, gangguan menstruasi, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria. Beberapa senyawa menunjukkan aktivitas antibakteri, antifungi dan ada juga senyawa yang dapat menstimulasi serangga bertelur (Robinson, 1995).


(22)

Triterpenoida dapat dibagi menjadi empat golongan senyawa yaitu triterpena, steroida, saponin dan glikosida jantung.

a. Triterpena

Triterpena terutama terdapat dalam lapisan malam daun dan dalam buah yang berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba. Pembagian triterpena berdasarkan jumlah cincin yang terdapat dalam struktur molekulnya adalah:

1. Triterpena asiklik yaitu triterpenoida yang tidak mempunyai cincin

tertutup dalam struktur molekulnya, misalnya skualena.

2. Triterpena trisiklik yaitu triterpenoida yang mempunyai tiga cincin tertutup dalam struktur molekulnya, misalnya ambrein.

3. Triterpena tetrasiklik yaitu triterpenoida yang mempunyai lima cincin tertutup pada struktur molekulnya, misalnya lanosterol.

4. Triterpena pentasiklik yaitu triterpenoida yang mempunyai lima cincin tertutup pada struktur molekulnya, misalnya α-amirin pada buah apel (Harborne, 1987; Robinson, 1995).

Struktur dari senyawa triterpenoida tersebut dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.


(23)

Lanosterol α-amirin

Gambar 1. Struktur dari beberapa senyawa triterpenoida b. Steroida

Steroida adalah triterpenoida yang kerangka dasarnya adalah cincin siklopentana perhidrofenantren (Harbourne, 1987). Kerangka dasar dan sistem penomoran steroida (Robinson, 1995) dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2. Struktur dasar steroida dan sistem penomorannya

Dahulu steroida dianggap sebagai senyawa satwa tetapi makin banyak senyawa steroida yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan (fitosterol). Tiga senyawa yang biasa disebut fitosterol terdapat pada hampir setiap tumbuhan tinggi yaitu: sitosterol, stigmasterol, dan kampesterol (Harbourne, 1987).


(24)

Sitosterol

Stigmasterol

Kampesterol

Gambar 3. Struktur beberapa senyawa fitosterol

c. Saponin

Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat, menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis daram merah. Mula-mula disebut saponin karena sifatnya yang khas menyerupai sabun (bahasa latin, sapo : sabun). Dalam larutan yang sangat encer


(25)

saponin sangat beracun untuk ikan dan beberapa saponin bekerja sebagai anti mikroba.

Dikenal dua jenis saponin yaitu glikosida triterpenoida alkohol dan glikosida steroida yang mempunyai rantai samping spiroketal. Aglikonnya disebut sapogenin, diperoleh dengan hidrolisis dalam suasana asam atau hidrolisis memakai enzim (Robinson, 1995)

Inti steroida spiroketal mempunyai struktur berikut:

Gambar 4. Struktur dasar spiroketal d. Glikosida Jantung

Glikosida jantung merupakan senyawa yang mempunyai kemampuan sebagai pemacu jantung (mempunyai efek menambah daya kontraksi otot jantung). Struktur dari glikosida jantung ini menyerupai struktur saponin steroida (Robinson, 1995).

Aglikon dari glikosida jantung merupakan golongan triterpena steroida yang mempunyai inti siklopentano perhidrofenantrena dan cincin lakton yang jenuh pada atom C-17 dan mengandung gugus hidroksil pada atom C-14.


(26)

Aglikon yang mempunyai cincin lakton tersebut ada 2 macam yaitu:

1. Kardenolida, berupa steroida dengan atom karbon 23 yang mempunyai

rantai samping cincin lakton pentasiklik dengan sati ikatan rangkap dan satu buah gugus hidroksil pada C-14 (butirolakton, γ-lakton).

2. Bufadienolida, merupakan steroida dengan atom karbon 24 dengan rantai samping cincin lakton dan satu buah gugus hidroksil pada C-14

(valerolakton, δ-lakton) (Harborne, 1987; Robinson, 1995).

Tipe-tipe aglikon dari glikosida jantung dapat dilihat pada gambar 5 dibawah ini.

Kardenolida Bufadienolida

Gambar 5. Tipe aglikon dari glikosida jantung 2.3 Ekstraksi

2.3.1 Pengertian

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Pengetahuan tentang golongan senyawa yang dikandung simplisia akan mempermudah proses pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).


(27)

2.3.2 Metode-Metode Ekstraksi

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Ditjen POM, 2000) yaitu:

1. Cara dingin a. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman dalam pelarut sambil dilakukan beberapa kali pengocokan pada temperatur ruangan (suhu kamar).

Remaserasi berarti proses maserasi yang dilanjutkan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya sampai maserat tersebut jernih.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap perendaman antara, dan penampungan ekstrak. Untuk menentukan akhir dari pada perkolasi dapat dilakukan pemeriksaan zat secara kualitatif pada perkolat akhir.

2. Cara panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.


(28)

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi mengunakan pelarut yang selalu baru, dengan menggunakan alat soxhlet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan yang kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yang umumnya pada temperatur 40-50°C.

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut air di mana bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, pada temperatur 96-98°C selama 15-20 menit.

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih dari 30 menit dan temperaturnya mencapai titik didih air.

2.4Kromatografi

Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam, dapat berupa zat cair atau zat padat, dan fase gerak, dapat berupa gas atau zat cair (Ditjen POM, 1995; Stahl, 1985). Jika fase tetap berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan, jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi. Karena fase bergerak dapat berupa zat cair dan gas maka ada empat macam sistem kromatografi (Sastrohamidjojo, 1985) :

1. Fase bergerak zat cair – fase tetap padat (kromatografi serapan): - Kromatografi lapis tipis


(29)

- Kromatografi penukar ion

2. Fase bergerak gas – fase tetap padat (kromatografi serapan): - Kromatografi gas padat

3. Fase bergerak zat cair – fase tetap zat cair (kromatografi partisi): - Kromatografi cair kinerja tinggi

4. Fase bergerak gas – fase tetap zat cair (kromatografi partisi): - Kromatografi gas cair

- Kromatografi kolom kapiler

Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan terutama dilakukan dnegan mengunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada skala mikro maupun makro (Harborne, 1987).

2.4.1 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan yang memerlukan investasi yang kecil untuk perlengkapan, menggunakan waktu yang singkat serta pemakaian pelarut dan cuplikan dalam jumlah sedikit. KLT termasuk kromatografi serapan, dimana sebagai fase diam berupa zat padat yang disebut adsorben (penyerap) dan fase gerak adalah zat cair yang disebut larutan pengembang (Gritter dkk., 1991; Stahl, 1985).

Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan pengamatan langsung atau dibawah sinar ultraviolet jika senyawanya berwarna dan pengamatan dengan cahaya biasa atau cahaya ultraviolet setelah disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak. Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari


(30)

dengan sinar UV gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm) (Ditjen POM, 1995; Gritter dkk., 1991).

a. Fase diam (Lapisan Penyerap)

Pada kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, tetapi dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam. Lapisan melekat pada permukaan dnegan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum (pati). Penyerap yang umum dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumina, kieselgur, dan selulosa (Gritter dkk, 1991).

Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan homogenitasnya, karena adhesi terhadap penyokong sangat tergantung pada kedua sifat tersebut. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25 mikron. Partikel yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan salah satu cara untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah dengan menggunakan fase diam yang butirannya lebih halus. Butiran yang halus memberikan aliran pelarut yang lebih lambat dan resolusi yang lebih baik (Sastrohamidjojo, 1985). b. Fase gerak (Pelarut Pengembang)

Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa pelarut. Jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985).

Dalam pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur. Tujuan menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh pemisahan senyawa yang baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas polaritas


(31)

masing-masing pelarut, sehingga dengan demikian akan diperoleh sistem pengembang yang cocok. Pelarut pengembang yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain: n-heksana, karbontetraklorida, benzena, kloroform, eter, etil asetat, piridian, aseton, etanol, metanol dan air (Gritter dkk., 1991; Sudjadi, 1988).

c. Harga Rf

Untuk menggambarkan jarak pengembangan senyawa pada kromatogram dipakai istilah harga Rf (Stahl, 1985).

Jarak titik pusat bercak dari titik awal Rf =

Jarak garis depan pelarut dari titik awal

Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1985):

a. Struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan b. Sifat penyerap

c. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap d. Pelarut dan derajat kemurniannya

e. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana f. Teknik percobaan

g. Jumlah cuplikan yang digunakan h. Temperatur

i. Kesetimbangan

2.4.2 Kromatografi Cair Vakum

Cara ini pertama kali dipublikasikan oleh Coll dkk. Pada tahun 1977 dengan mengguanakan corong Buchner kaca masir atau kolom pendek untuk


(32)

mengisolasi diterpena sembrenoid dari terumbu karang Australia. Kolom kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan lagi. Kolom dihisap sampai kering dan sekarang siap dipakai.

Sampel, dilarutkan dalam pelarut yang cocok, dimasukkan langsung pada bagian atas kolom atau pada lapisan pra penyerap dan dihisap perlahan-lahan kedalam kemasan dengan memvakumkannya. Kolom, dielusi dengan campuran pelarut yang cocok, mulai dari pelarut yang kepolarannya rendah lalu kepolarannya ditingkatkan perlahan-lahan, kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi. Oleh karena itu kromatografi cair vakum menggunakan tekanan rendah untuk meningkatkan laju aliran fase gerak (Hostettmann, 1995).

2.4.3 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif

Salah satu metode pemisahan yang memerlukan biaya paling murah dan memakai peralatan sedarhana ialah KLT preparatif. Walaupun KLT preparatif dapat memisahkan dalam jumlah gram, sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah miligram. KLT preparatif dilakukan dengan menggunakan lapisan tebal (sampai 1 mm) sebagai pengganti lapisan penyerap yang tipis (0,10-0,25 mm). pita-pita sampel yang sudah dipisah dapat diperoleh kembali dengan cara mengerok penyerap dari plat KLT preparatif yang telah dikembangkan. Demikian kuatnya lapisan penyerap melekat pada kaca penyokong sehingga memungkinkan pengembangan plat berulang-ulang dengan pengembang yang sama atau


(33)

pengembang yang berbeda, dengan terlebih dulu mngeringkan plat sebelum pengembangan berikutnya (Harborne, 1987).

Fase diam yang paling sering dugunakan biasanya dengan ketebalan 0,5-2 mm dan ukuran plat kromatogram biasanya 20x20 cm. fase diam yang paling umum dipakai ialah silika gel dan dipakai untuk pemisahan berbagai campuran senyawa lipofil maupun senyawa hidrofil.

Sampel dilarutkan dalam sedikit pelarut sebelum ditotolkan pada plat KLT preparatif. Pelarut yang baik ialah pelarut yang mudah menguap (atsiri), karena jika pelarut kurang atsiri terjadi pelebaran pita. Konsentrasi sampel harus sekitar 5-10%. Sampel ditotolkan berupa pita yang harus ditotolkan sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Pemilihan pelarut ditentukan berdasarkan pemeriksaan pendahuluan memakai KLT analitik. Karena ukuran partikel penyerap kira-kira sama, pelarut yang dipakai pada KLT analitik dapat dipakai pada KLT preparatif.

Pengembangan plat KLT preparatif biasanya dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang dengan bantuan sehelai kertas saring yang tecelup ke dalam larutan pengembang. Keefisienan pemisahan dapat ditingkatkan dengan cara pengembangan berulang. Harus diperhatikan bahwa semakin lama senyawa berkontak dengan penyerap maka semakin besar kemungkinan penguraian (Hostettmann, 1995).

2.5 Spektrofotometri

Spektroskopi adalah studi mengenai interaksi antara cahaya dengan atom dan molekul. Umumnya spektroskopi dibagi menjadi dua kelompok yaitu:


(34)

spektroskopi serapandan spektroskopi emisi. Pengelompokkan ini berdasarkan atas apa yang diukur setelah terjadi interaksi antara radiasi elektromagnetik dan sampel. Pembagian dapat juga berdasarkan daerah-daerah panjang gelombang dalam spektrum elektromagnetik. Cara pengukuran yang berasarkan spektroskopi umumnya dinamakan spektroskopi dan jika sumber energi berupa sinar/cahaya dan sistem detektor menggunakan sel fotolistrik maka metode pengukuran ini dinamakan spektrofotometri (Noerdin, 1985).

2.5.1 Spektrofotometri Ultraviolet

Spektrofotometri ultraviolet merupakan suatu teknik analisis berdasarkan atas pengukuran serapan suatu larutan yang dilalui radiasi monokromatis ultraviolet. Kegunaan spektrofotometri ini terletak pada kemampuannya mengukur jumlah ikatan rangkap atau konyugas aromatis di dalam suatu molekul (Sudjadi, 1983).

Spektrum serapan kandungan tumbuhan dapat diukur dalam larutan yang sangat encer dengan pembanding blanko pelarut menggunakan spektrofotometer yang merekam otomatis. Senyawa tan warna diukur pada daerah panjang gelombang 200-400 nm, senyawa berwarna pada panjang gelombang 400-800 nm.

Pelarut yang banyak digunakan untuk spektrofotometri UV ialah etanol 95% karena kebanyakan golongan senyawa larut dalam pelarut tersebut. Alkohol absolut komersial harus dihindari karena mengandung benzena yang dapat menyerap di daerah sinar UV pendek. Pelarut yang sering digunakan ialah air, etanol, metanol, heksana, eter minyak bumi dan eter. Pelarut seperti kloroform


(35)

dan piridin umumnya harus dihindari karena menyerap kuat di daerah 200-260 nm (Harbourne, 1987).

2.5.2 Spektrofotometri Inframerah

Spektrum inframerah senyawa tumbuhan dapat diukur dengan spektrofotometri inframerah yang merekam secara otomatis dalam bentuk larutan (dalam kloroform, karbontetrakloroida 1-5%), atau bentuk padat yang dicampur dengan kalium bromida. Daerah pengukuran adalah daerah bilangan gelombang 4000-667 cm-1 atau panjang gelombang 2,5-15 µ m, dan perekaman spektrum memakan waktu kira-kira 3 menit (Noerdin, 1985).

Daerah pada spektrum inframarah di atas bilangan gelombang 1200 cm-1 menunjukkan pita spektrum atau puncak yang disebabkan oleh getaran ikatan kimia atau gugus fungsi dalam molekul yang ditelaah. Daerah di bawah 1200 cm-1 menunjukkan pita yang disebabkan oleh getaran seluruh molekul, dan karena kerumitannya dikenal sebagai daerah sidik jari. Intensitas berbagai pita direkam secara subjektif pada skala sederhana: kuat (K; strong, s), menengah (M; Medium, m) atau lemah (L; weak, w).

Kenyataan yang menunjukkan bahwa banyak gugus fungsi dapat diidentifikasi dengan menggunakan frekuensi getaran khasnya mengakibatkan spektrofotometri infra merah merupakan cara paling sederhana dan paling terandalkan dalam menentukan golongan senyawa yang terkandung dalam sebuah molekul (Harborne, 1987).

Penafsiran spektrum inframerah dari suatu senyawa yang belum diketahui harus ditujukan pada penentuan ada atau tidaknya beberapa gugus fungsional


(36)

umum dilakukan untk memeriksa pita-pita yang penting pada spektrum inframerah secara berurutan adalah (Pavia et al., 1988):

1. Gugus Karbonil

Gugus C=O memberikan puncak yang kuat pada daerah bilangan gelombag 1820-1660 cm-1.

2. Bila gugus C=O ada, periksalah gugus-gugus berikut (jika C-O tidak ada

langsung ke nomor 3).

Asam : periksalah gugus O-H, merupakan serapan melebar di daerah

3300-2200 cm-1.

Amida : periksalah gugus N-H, merupakan serapan medium di daerah

3500 cm-1, kadang-kadang dengan puncak rangkap.

Ester : periksalah gugus C-O, merupakan serapan medium di daerah

1300-1000 cm-1.

Anhidrida : mempunyai dua serapan C=O di daerah 1810 dan 1760 cm-1. Aldehida : periksalah gugus C-H, merupakan dua serapan lemah di daerah

2850 dan 2750 cm-1 yaitu di sebelah kanan serapan C-H. Keton : kemungkinan bila kelima gugus di atas tidak ada.

3. Bila gugus C=O tidak ada

Alkohol atau fenol : periksalah gugus O-H, merupakan senyawa melebar di daerah 3600-3300 cm-1 yang diikuti adanya serapan C-O di daerah 1300-1000 cm-1.

Amina : periksalah gugus N-H, yaitu serapan medium di daerah


(37)

Eter : Periksalah gugus C-O (tidak adanya O-H), yaitu serapan medium di daerah 1300-1000 cm-1.

4. Ikatan rangkap dua dan cincin aromatik

- Serapan lemah sampai medium dan tajam C=C di daerah 1650 cm-1.

- Serapan medium sampai kuat dan tajam pada daerah 1650-1450 cm-1 sering menunjukkan adanya cincin aromatis.

- Buktikan kemungkinan di atas dengan memperhatikan serapan pada daerah C-H aromatis di sebelah kiri 3000 cm-1, sedangkan C-H alifatis terjadi di sebelah kana daerah tersebut (2925 cm-1 dan 2850 cm-1).

5. Ikatan rangkap tiga

- Serapan medium dan tajam dari C≡N di daerah 2250 cm-1. - Serapan lemah dan tajam dari C≡C di daerah 2150 cm-1-1. 6. Gugus nitro

Dua serapan yang kuat di daerah 1600-1500 cm-1 dan 1390-1300 cm-1. 7. Hidrokarbon

- Apabila keenam serapan di atas tidak ada.

- Serapan C-H alifatis di daerah sebelah kanan 3000 cm-1 (yaitu 2925 cm-1 dan 2850 cm-1).

- Serapan yang sangat sederhana di daerah 1450 cm-1 (CH2) dan 1375 cm-1


(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah metode deskriktif meliputi pengumpulan dan pengolahan sampel, penapisan fitokimia, pemeriksaan karateristik, pembuatan ekstrak, KCV, KLT preparatif, uji kemurnian isolat dan identifikasi isolat secara spektrofotometri UV dan spektrofotometri IR.

3.1 Alat-alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, blender (Panasonic), eksikator, mikroskop (Olympus), seperangkat alat destilasi, separangkat alat penetapan kadar air, seperangkat alat kromatografi cair vakum, oven listrik (Stork), elektromantel (EM 2000), hairdryer (Maspion), neraca analitik (Vibra AJ), neraca kasar (Saherand), penangas air (Yenaco), seperangkat alat kromatogramrafi lapis tipis (Dessaga), lemari pengering, spektrofotometer UV (Milton Troy Spectronic 3000 array) dan spektrofometer IR (IR-Prestige 21).

3.2 Bahan-bahan yang digunakan

Bahan yang digunakan adalah herba suruhan (Peperomiae pellucidae herba). Bahan kimia yang digunakan kecuali dinyatakan lain berkualitas pro


(39)

analisis yaitu n-heksan, etilasetat, etanol, amil alkohol, metanol, eter, isopropanol,

α-naftol, ammonia pekat, besi (III) klorida, iodium, raksa (II) klorida, timbal (II) asetat, kalium iodine, asam asetat glasial, asam sulfat pekat, asam klorida pekat, serbuk magnesium, bismuth (III) nitrat, plat pra lapis silika gel GF254, silika gel

60H, kloralhidrat, n-heksan hasil destilasi dan air suling laboratorium.

3.3 Pembuatan larutan pereaksi

Pembuatan pereaksi dilakukan menurut Depkes (1979) yaitu untuk pereaksi asam klorida 2 N, natrium hidroksida 2 N; menurut Depkes (1989) untuk pereaksi asam nitrat 0,5 N, besi (III) klorida 1%, Bouchardat, Dragendroff, Mayer, Molish, timbal (II) asetat 0,4 M, kloralhidrat dan pereaksi Liebermann-Burchard.

3.3.1 Pereaksi Dragendroff

Sebanyak 0,85 g bismuth (III) nitrat dilarutkan dalam 100 ml asam asetat glasial, lalu ditambah 40 ml air suling. Pada wadah yang lain dilarutkan 8 g kalium iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling, kemudian kedua larutan dicampurkan sama banyak dan disimpan dalam botol yang gelap.

3.3.2 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam air secukupnya sampai larut sempurna. Iodium sebanyak 2 g dilarutkan dalam larutan kalium iodida, lalu volume dicukupkan hingga 100 ml.


(40)

Sebanyak 1,358 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam 60 ml air suling. Pada wadah lain dilarutkan 5 g kalium iodida dalam 10 ml air suling. Kedua larutan dicampur lalu ditambahkan air suling hingga 100 ml.

3.3.4 Pereaksi Asam Klorida 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml.

3.3.5 Pereaksi Besi (III) Klorida 1% (b/v)

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml.

3.3.6 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 gram timbal (II) asetat dilarutkan dalam air suling bebas karbondioksida hingga 100 ml.

3.3.7 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 gram α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga 100 ml.

3.3.8 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 5 ml asam asetat anhidrat ditambah 5 ml asam sulfat pekat, kemudian campuran dimasukkan ke dalam 50 ml etanol. Pengerjaan dilakukan dalam kondisi dingin dan pereaksi dibuat baru.

3.3.9 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8,001 gram kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml.

3.3.10 Pereaksi asam nitrat 0,5 N

Sebanyak 3,15 ml asam nitrat pekat diencerkan dengan air suling secukupnya hingga volume 100 ml.


(41)

3.3.11 Pereaksi kloralhidrat

Sebanyak 50 gram kloralhidrat ditimbang, dilarutkan dalam 20 ml air suling.

3.4 Pengumpulan dan pengolahan sampel 3.4.1 Pengumpulan sampel

Pengumpulan sampel dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan daerah lain. Sampel yang digunakan adalah herba suruhan yang diambil di lapangan, di bawah pohon, dan sela batu di sekitar kampus Universitas Sumatera Utara, kota Medan.

3.4.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi sampel dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI, Bogor. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 43. Gambar tumbuhan suruhan dan herba suruhan dapat dilihat pada lampiran 2 dan 3 pada halaman 43 dan 45.

3.4.3 Pengolahan sampel

Herba suruhan dibersihkan dari kotoran dengan cara mencuci di bawah air mengalir hingga bersih dan ditiriskan. Kemudian herba suruhan dikeringkan dalam lemari pengering pada suhu 40oC. Herba suruhan dianggap kering apabila sudah rapuh. Selanjutnya disimpan dalam wadah plastik di tempat yang terlindung dari cahaya sebelum digunakan.

3.5 Pemeriksaan karateristik simplisia

Pemeriksaan karateristik simplisia meliputi pemeriksan makroskopik dan mikroskopik, penetapan kadar sari yang larut dalam air, penetapan kadar sari yang


(42)

larut dalam etanol, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam dan penetapan kadar air (Ditjen POM, 1989; WHO, 1992).

3.5.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk simplisia yang menjadi karateristiknya. Gambar simplisia herba suruhan dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 46.

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap terhadap serbuk simplisia. Pemeriksaan terhadap serbuk simplisia dilakukan dengan cara menaburkan serbuk simplisia diatas kaca objek yang telah ditetesi dengan kloralhidrat dan ditutupi dengan kaca penutup kemudian dilihat di bawah mikroskop. Gambar mikroskopik dapat dilihat pada lampiran 5 halaman 47.

3.5.3 Penetapan kadar sari yang larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan 18 jam lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam air dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1989).


(43)

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan diudara dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 95% dalam labu bersumbat sambil dikocok selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol 95%, sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah ditara dan sisanya dipanaskan pada suhu 105°C sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam etanol dihitung dalam persen terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1989).

3.5.5 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan ke dalam krus porselen yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis kemudian didinginkan dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1989).

3.5.6 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu kemudian dicuci dengan air panas. Residu dan kertas saring dipijar sampai bobot tetap kemudian dididnginkan dan ditimbang. Kadar abu tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1989).


(44)

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (Destilasi Toluen). Alat-alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung, tabung penerima 5 ml.

Cara kerja : Kedalam labu alas bulat dimasukkan 100 ml toluen dan 1 ml air suling, didestilasi selama 2 jam, toluen didinginkan selama 30 menit dan volume air didalam tabung penerima dibaca. Kemudian kedalam labu dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit, setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes untuk tiap detik sampai sebagian air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen, destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, dibaca volume air dengan ketelitian 0,05 ml. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992). Perhitungan karakterisasi simplisia dapat dilihat pada lampiran 6 halaman 48. Hasil karakterisasi simplisia dapat dilihat pada lampiran 7 halaman 53.

3.6 Penapisan fitokimia serbuk simplisia

Penapisan fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa golongan alkaloida, flavonoida, saponin, tanin, glikosida, antrakuinon, dan triterpenoida/steroida.

3.6.1 Pemeriksaan alkaloida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit. Didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:


(45)

a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Mayer, akan terbentuk endapan menggumpal berwarna putih atau kuning.

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi

Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam.

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi

Dragendroff, akan terbentuk endapan warna merah atau jingga.

Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari tiga percobaan diatas (Depkes, 1989).

3.6.2 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambahkan 100 ml air panas, didihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, kedalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1996).

3.6.3. Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1989).


(46)

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru atau kehitaman menunjukkan adanya tanin. (Depkes, 1989).

3.6.5 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia disari dengan 30 ml campuran etanol 95% dengan air suling (7:3) dan 10 ml asam sulfat 2 N, direfluks selama 1 jam, didinginkan dan disaring. Pada 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3) dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Kumpulan sari air diuapkan dan sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa dimasukkan dalam tabung reaksi selanjutnya diuapkan diatas penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes larutan pereaksi Molish. Tambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat melalui dinding tabung, terbentuk cincin ungu pada batas kedua cairan menunjukkan adanya glikosida. (Depkes, 1989).

3.6.6 Pemeriksaan antrakuinon

Sebanyak 0,2 g serbuk simplisia ditambah 5 ml asam sulfat 2 N, dipanaskan sebentar, setelah dingin ditambahkan 10 ml benzena, dikocok dan didiamkan. Lapisan benzena dipisahkan dan disaring. Kocok lapisan benzena dengan 2 ml NaOH 2 N, diidamkan. Lapisan air berwarna merah dan lapisan benzena tidak berwarna menunjukkan adanya antrakuinon (Depkes, 1989).


(47)

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan pada sisanya ditambahkan 10 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Liebermann-Burchard). Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru menunjukkan adanya steroida/triterpenoida (Harborne, 1987). Hasil penapisan fitokimia serbuk simplisia dapat dilihat pada lampiran 7 halaman 53.

3.7 Pembuatan ekstrak

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut

n-heksan.

Cara kerja :

Sebanyak 300 g serbuk simplisia herba suruhan dimasukkan ke dalam wadah gelas bertutup (maserator) dengan pelarut n-heksan sampai seluruh serbuk terendam, ditutup dan dibiarkan pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya selama 24 jam sambil sering diaduk. Kemudian disaring hingga di dapat maserat. Ampas dimaserasi kembali dengan n–heksan menggunakan prosedur yang sama, maserasi dilakukan sebanyak 3 kali. Seluruh maserat digabung dan dipekatkan dengan bantuan alat penguap vakum putar pada temperatur tidak lebih dari 40°C. Bagan pembuatan ekstrak dapat dilihat pada lampiran 8 halaman 54.

3.8Analisis ekstrak n-heksan secara KLT

Terhadap ekstrak n–heksan dilakukan analisis secara KLT menggunakan fase diam silika gel GF 254 dan fase gerak campuran n-heksan – etilasetat dengan perbandingan (90:10), (80:20), (70:30), (60:40), dan (50:50). Sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard.


(48)

Ekstrak ditotolkan pada plat lapis tipis, kemudian dimasukan ke dalam chamber yang telah jenuh dengan uap fase gerak. Setelah pengembangan selesai plat dikeluarkan dan dikeringkan, plat disemprot dengan penampak bercak Liebermann-Burchard dan dipanaskan di oven pada suhu 105°C selama 15 menit lalu diamati warna yang terbentuk. Kromatogram ekstrak dapat dilihat pada lampiran 9 halaman 55.

3.9 Fraksinasi ekstrak n-heksan dengan KCV

Ekstrak n-heksan difraksinasi secara KCV menggunakan pelarut landaian

n-heksan - etilasetat dengan perbandingan (100:0), (90:10), (80:20), (70:30),

(60:40), (50:50), (40:60), (30:70), (20:80), (10:90), (0:100). Cara kerja:

Sebagai kolom digunakan corong Buchner kaca masir, lalu dimasukkan silika gel 60 H yang dikemas dalam keadaan kering ke dalam corong. Alat vakum dihidupkan untuk memperoleh kerapatan yang maksimum. Kemudian cuplikan yang telah dicampur dengan silika gel 60 H dimasukkan pada bagian atas kolom yang disebar secara merata, lalu di atasnya diletakkan kertas saring. Alat vakum dihidupkan kembali. Sampel dielusi dengan pelarut mulai dari kepolaran rendah lalu kepolaran ditingkatkan perlahan-lahan dan kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulan fraksi (Hostettmann, 1986). Bagan isolasi steroida dari ekstrak n-heksan herba suruhan dapat dilihat pada lampiran 10 halaman 56.

3.10 Analisis KLT hasil KCV

Hasil fraksinasi yang telah dipekatkan tersebut di KLT menggunakan fase diam plat pra lapis, pengembang n-heksan - etilasetat (90:10) dengan penampak bercak Liebermann-Burchard. Diperoleh 11 fraksi dan pola kromatogram yang


(49)

sama digabungkan. Kromatogram KLT dari fraksi-fraksi hasil KCV dapat dilihat pada lampiran 11 dan 12 halaman 57-58.

3.11 Isolasi senyawa steroida hasil fraksinasi secara KLT preparatif

Terhadap fraksi A2 yang mengandung bercak berwarna ungu dan merah ungu dilakukan isolasi secara KLT preparatif. Sebagai penyemprot digunakan pereaksi penyemprot LiebermanBurchard dan sebagai fase gerak digunakan n-heksan - etilasetat (90:10) dan fase diam silika gel GF254.

Cara kerja:

Fraksi ditotolkan pada jarak 2 cm dari tepi bawah plat KLT berukuran 20x20 cm yag telah diaktifkan sehingga membentuk pita. Setelah kering plat KLT dimasukkan kedalam bejana yang telah jenuh dengan uap fase gerak, pengembang dibiarkan naik membawa komponen yang ada. Setelah mencapai batas pengembangan plat dikeluarkan dari bejana lalu dikeringkan. Bagian tengah plat ditutup dengan kaca yang bersih sedangkan pada sisi kanan dan kiri plat disemprot dengan pereaksi penyemprot Liebermann-Burchard dan dipanaskan dengan alat pengering. Bagian tengah plat yang sejajar dengan bercak berwarna ungu dan merah ungu dikerok dan dikumpulkan, direndam dengan metanol satu malam lalu disaring kemudian pelarutnya diuapkan. Kemudian dilakukan uji kemurnian dengan KLT terhadap isolat yang diperoleh. Kromatogram dapat dilihat pada lampiran 13 halaman 59.

3.12 Uji kemurnian kristal hasil isolat

Terhadap isolat dilakukan uji kemurnian dengan KLT dua arah dengan menggunakan fase gerak I yaitu n-heksan - etilasetat (90:10) dan fase gerak II


(50)

yaitu kloroform - etilasetat (70:30) dengan fase diam plat pralapis dan pereaksi penyemprot Liebermann-Burchard.

Cara kerja:

Isolat ditotolkan pada plat pra lapis ukuran 10 x 10 lalu dielusi memakai fase gerak I yaitu n-heksan - etilasetat (90:10) hingga mencapai batas pengembangan, kemudian plat dikeluarkan dari dalam bejana dan dikeringkan. Setelah plat kering dielusi kembali dengan arah yang berbeda 90° memakai fase gerak II yaitu kloroform - etilasetat (70:30), disemprot dengan memakai pereaksi penyemprot Liebermann-Burchard, setelah itu plat dipanaskan pada suhu 105°C selama 10 menit lalu diamati warna yang terbentuk. Kromatogram KLT dua arah isolat dapat dilihat pada lampiran 14 halaman 60.

3.13 Identifikasi isolat

Identifikasi isolat secara spektrofotometri ultraviolet dan spektrofotometri inframerah dilakukan di Laboratorium Kimia Organik UGM, Yogyakarta.

3.12.1 Identifikasi isolat secara spektrofotometri UV

Cara kerja:

Isolat hasil isolasi dilarutkan dalam pelarut n-heksan, kemudian dimasukkan kedalam kuvet yang telah dibilas dengan larutan sampel. Selanjutnya absorbansi larutan sampel diukur pada panjang gelombang 200-400 nm. Spektrum ultraviolet isolat dapat dilihat pada lampiran 15 halaman 61.

3.12.2 Identifikasi isolat secara spektrofotometri IR

Cara kerja:

Identifikasi isolat secara spektrofotometri IR dilakukan dengan cara mencampurkan 1 mg isolat dengan 150 mg kalium bromida menggunakan alat


(51)

mixture vibrate, kemudian dicetak menjadi pelet pada tekanan 11,5 ton dan

dimasukkan kedalam spektrofotometer inframerah serta diukur absorbansinya pada frekuensi 4000-400 cm -1. Spektrum inframerah isolat dapat dilihat pada lampiran 16 halaman 62.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemeriksaan karakteristik simplisia

Hasil identifikasi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Bogor terhadap tumbuhan yang diteliti adalah suruhan (Peperomia

pellucida H.B. & K.) suku Piperaceae (lihat lampiran 1). Pemeriksaan karateristik

simplisia secara makroskopik yaitu, daun tunggal, berkeriput, rapuh, helai daun berbentuk jantung, berwarna coklat kehijauan, batang berwarna coklat kehijauan, buah bulat, kecil, berwarna coklat.

Pada pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia dijumpai adanya rambut penutup, berkas pembuluh, sel minyak, stomata tipe anomositik, hablur kalsium oksalat berbentuk persegi dan drusse yang ujung kristalnya runcing dan tumpul, serbuk sari dan trakhea.


(52)

Hasil pemeriksaan karateristik serbuk simplisia herba suruhan diperoleh kadar sari yang larut dalam air 18,8%, kadar sari yang larut dalam etanol 12,83%, kadar abu total 3,85 %, kadar abu yang tidak larut dalam asam 1,17 % dan kadar air 6,66 %. Hasil penapisan fitokimia serbuk herba suruhan menunjukkan adanya senyawa golongan flavonoida, glikosida, tanin, dan triterpenoida/steroida.

4.2 Isolasi senyawa triterpenoida/steroida

Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut n-heksan, hasil maserasi 300 g serbuk simplisia diperoleh ekstrak 7,935 g (2,64%). Analisis KLT dari ekstrak n-heksan menunjukkan bahwa fase gerak yang paling baik adalah n-heksan – etilasetat (90:10) karena menghasilkan pemisahan noda yang baik dan diperoleh 8 noda yang terdiri dari 1 noda berwarna ungu coklat, 3 noda berwarna ungu, 1 noda berwarna merah ungu, 2 noda berwarna biru ungu dan 1 noda berwarna biru hijau (lihat lampiran 9).

Selanjutnya terhadap ekstrak n-heksan dilakukan fraksinasi secara KCV untuk memisahkan senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak berdasarkan kepolarannya menggunakan pelarut landaian n-heksan - etilasetat dengan kepolaran yang semakin meningkat dan fase diam silika gel 60H. Hasil fraksinasi dilakukan KLT dengan fase gerak n-heksan – etilasetat (90:10) dengan penampak bercak Liebermann-Burchard. Dari 11 fraksi yang diperoleh fraksi yang mempunyai pola kromatogram yang sama digabung menjadi satu fraksi yaitu F1, F2, F3, F4, F5 (fraksi 5 dan 6), F6 (fraksi 7, 8, dan 9), sedangkan fraksi 10 dan 11 tidak menunjukkan adanya noda (lihat lampiran 11). Terhadap fraksi F2 dilanjutkan untuk di KLT preparatif karena pada fraksi F2 menunjukkan noda berwarna ungu dan merah ungu paling banyak dibandingkan fraksi yang lain.


(53)

Setelah dilakukan KLT preparatif ternyata hasilnya menunjukkan noda yang terlalu rapat sehingga perlu dilakukan KCV sekali lagi. Hasil KCV diperoleh 11 fraksi yaitu fraksi A1 – A11. Dari 11 fraksi yang diperoleh, fraksi yang mempunyai pola kromatogram yang sama digabung menjadi satu yaitu FA1, FA2 (A2 dan A3), FA3 (A4, A5, A6), FA4 (A7,A8,A9,A10,A11). Jadi dari 11 fraksi menjadi 4 fraksi yaitu FA1, FA2, FA3, dan FA4 (lihat lampiran 12).

Terhadap FA2 dilakukan KLT preparatif karena pada FA2 ini menunjukkan 3 noda yang berwarna ungu dengan Rf = 0,44, Rf = 0,52, Rf = 0,625dan 1 noda yang berwarna merah ungu dengan Rf = 0,77. Sedangkan fraksi FA1, FA3 dan FA4 tidak menunjukkan noda berwarna ungu dan merah ungu.

Hasil A2 secara KLT preparatif dengan menggunakan plat KLT preparatif ukuran 20x20 cm, fase gerak n-heksan - etilasetat (90:10). Hasil KLT menunjukkan tiga pita (lihat lampiran 13), kemudian masing-masing pita dikerok, direndam dengan metanol, diambil filtrat lalu diuapkan dan diperoleh 3 isolat yaitu isolat 1, isolat 2 dan isolat 3.

Pada uji kemurnian terhadap isolat 1 terdapat dua noda yang berwarna merah ungu dan kuning. Pada isolat 2 diperoleh satu noda yang berwarna ungu. Pada isolat 3 terdapat dua noda yang berwarna ungu dan kuning. Isolat yang akan diuji adalah isolat 2 karena pada isolat 2 hanya terdapat satu noda sedangkan pada isolat 1 dan 3 hasil kromatogram menunjukkan lebih dari satu noda. Pada isolat 2 dilakukan uji kemurnian dengan kromatografi lapis tipis dua arah dengan fase gerak pertama n-heksan - etilasetat (90:10) dan fase gerak kedua kloroform - etilasetat (80:20) dengan fase diam silika gel GF254. Setelah disemprot dengan


(54)

ungu dengan nilai Rf 0,93. Diduga senyawa tersebut adalah senyawa triterpenoida/steroida.

Hasil spektrofotometri ultraviolet isolat memberikan puncak absorbsi pada

panjang gelombang (λ) 223,3 nm yang menunjukkan adanya gugus kromofor

(lihat lampiran 15). Diduga senyawa tersebut adalah senyawa triterpenoida/steroida.

Hasil spektrofotometri inframerah isolat menunjukkan adanya ikatan O-H yang ditunjukkan oleh puncak melebar pada bilangan gelombang 3363,86 cm-1. Pita pada bilangan gelombang 2924,09 cm-1 bilangan gelombang 2854,85 cm-1 menunjukkan adanya ikatan C-H alifatis yang diperkuat oleh puncak pada bilangan gelombang 1458,18 cm-1 yang menunjukkan gugus CH2 dan puncak

pada bilangan gelombang 1373,32 cm-1 yang menunjukkan gugus CH3. Puncak

pada bilangan gelombang 1743,65 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O. Pita pada bilangan gelombang 1157,29 menunjukkan adanya ikatan C-O (lihat lampiran 16). Dari hasil spektrofotometri IR diduga senyawa tersebut adalah senyawa triterpenoida/steroida.

Dari data-data yang diperoleh, secara KLT dengan penampak bercak Liebermann-Burchard, spektrofotometri UV dan spektrofotometri IR maka disimpulkan bahwa senyawa yang diisolasi adalah senyawa triterpenoida/steroida.


(55)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Hasil dari pengamatan makroskopik yaitu, daun tunggal, berkeriput, rapuh, helai daun berbentuk jantung, berwarna coklat kehijauan, batang berwarna coklat kehijauan, buah bulat, kecil, berwarna coklat. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia dijumpai adanya rambut penutup, berkas pembuluh, tetes minyak, stomata tipe anomositik, hablur kalsium oksalat berbentuk persegi dan drusse yang ujung kristalnya runcing dan tumpul, sel batu, serbuk sari dan trakea. Karateristik serbuk simplisia suruhan diperoleh kadar sari yang larut dalam air 18,8%, kadar sari yang larut dalam etanol 12,83%, kadar abu total 3,85 %, kadar abu yang tidak larut dalam asam 1,17% dan kadar air 6,66 %.

Hasil analisis spektrum UV dan spektrum IR menunjukkan bahwa isolat 2 adalah senyawa golongan triterpenoida/steroida.


(56)

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk menentukan struktur senyawa triterpenoida/steroida yang terdapat dalam herba suruhan.

DAFTAR PUSTAKA

Carey, F.A. (2008). Organic Chemistry. Seventh Edition. USA: Mc Graw Hill. Page. 554-556

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Depkes RI. Hal. 748, 891

Ditjen POM. (1989). Materia Medika Indonesia. Edisi V. Jakarta: Depkes RI. Hal. 513-522, 536-541,549-553

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Hal. 1-11

Djauhariya, E., dan Hernani. (2004). Gulma Berkhasiat Obat. Jakarta : Penebar Swadaya. Hal. 1-5, 86-87

Djumidi, S.H., (1997). Inventaris tanaman Obat Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Hal. 137

Fransworth, N.R.(1966). Biological and Phytochemical Screening of Plants.

Journal of Pharmaceutical Science. Vol. 55(3): 257-259, 263

Fessenden, R.J., Fessenden, J.S. (1995). Kimia Organik. Penerjemah: Pudjaatmaka, A.H. Jilid 2. Edisi Ketiga. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hal. 407-409, 418, 437-439, 454-459


(57)

Gritter, R. J., Bobbitt, J. dan Schwarting, A. E. (1991). Pengantar Kromatografi. Penerjemah: Padmawinata, K. Ed 2. Penerbit ITB. Bandung. Hal. 107-146

Harborne, J. B. (1987). Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis

Tumbuhan. Penerjemah: Padmawinata, K dan Soediro, I. Ed. 2. Penerbit

ITB. Bandung. Hal. 48-49, 147-149

Hostettmann, K., Hostettmann, M., dan Marston, A. (1995). Cara Kromatografi

Preparatif : Penggunaan pada Isolasi Senyawa Alam. Penerjemah:

Padmawinata, K., Penerbit ITB. Bandung. Hal. 9-12, 33-34

Mc Murry, J. (2007). Organic Chemistry a Biological Approach. USA: Thomson Books. Page 430-431

Muhtadi, A., Susilawati, Y dan Mulqie, L. (2004). Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Etanol Herba Peperomia pellucida (L.) H.B.K. pada Tikus Putih yang Diinduksi Aloksan. Jurnal Farmaka. Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran.

Noerdin, D. (1985). Elusidasi Struktur Senyawa Organik dengan Cara

Spektroskopi Ultralembayung dan Inframerah. Bandung : Angkasa. Hal.

38, 106, 111

Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah: Padmawinata, K. Penerbit ITB. Bandung. Hal. 139, 152-156

Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi. Yogyakarta : Penerbit Liberty. Hal. 1-2, 29-32

Stahl. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopik. Penerjemah: Padmawinata, K. dan Soediro. Penerbit ITB. Bandung. Hal. 3-18

Utami, P. (2008). Buku Pintar Tanaman Obat. Cetakan I. Jakarta: Agromedia Pustaka. Hal. 232

Wijayakusuma, H. (2006). Atasi Asam Urat dan Reumatik ala Hembing. Jakarta: Puspa Swara. Hal. 46

World Health Organization. (1992). Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials. WHO/ PHARM/ 92.559. Switzerland : Geneva, P 25-28.


(58)

(59)

(60)

Gambar 6. Tumbuhan suruhan (Peperomia pellucida H.B.&K.)


(61)

Gambar 7. Herba suruhan (peperomiae pellucidae herba)


(62)

Gambar 8. Simplisia herba suruhan (Peperomiae pellucidae herba)


(63)

Gambar 9. Mikroskopik serbuk herba suruhan

Keterangan:

1. Trakhea

2. Rambut penutup

3. Stomata tipe anomositik 4. Sel epidermis

5. Serbuk sari

6. Berkas pembuluh tipe spiral

7. Kristal kalsium oksalat bentuk drusse dan prisma 8. Parenkim

9. Urat daun 10. Sel minyak


(64)

a. Perhitungan hasil penetapan kadar sari larut dalam air

1. Kadar sari larut dalam air I Berat simplisia = 5,000 g Berat sari = 0,180 g

Kadar sari larut dalam air = 0,180 x 100 x 100 % 5,000 20

= 18,10 % 2. Kadar sari larut dalam air II

Berat simplisia = 5,000 g Berat sari = 0,189 g

Kadar sari larut dalam air = 0,189 x 100 x 100 % 5,000 20

= 18,90 % 3. Kadar sari larut dalam air III

Berat simplisia = 5,000 g Berat sari = 0,195 g

Kadar sari larut dalam air = 0,195 x 100 x 100 % 5,000 20

= 19,50 % Kadar sari larut dalam air rata-rata =

3

18,10 % + 18,90 % + 19,50 % = 18,8 %

Lampiran 6 (Lanjutan)

Kadar sari larut dalam air = Berat Sari x 100 x 100 % Berat Simplisia 20


(65)

b. Perhitungan hasil penetapan kadar sari larut dalam etanol

1. Kadar sari larut dalam etanol I Berat simplisia = 5,000 g Berat sari = 0,132 g

Kadar sari larut dalam etanol = 0,132 x 100 x 100 % 5,000 20

= 13,20 % 2. Kadar sari larut dalam etanol II

Berat simplisia = 5,000 g Berat sari = 0,129 g

Kadar sari larut dalam etanol = 0,129 x 100 x 100 % 5,000 20

= 12,90 % 3. Kadar sari larut dalam etanol III

Berat simplisia = 5,000 g Berat sari = 0,124 g

Kadar sari larut dalam etanol = 0,124 x 100 x 100 % 5,000 20

= 12,40 % Kadar sari larut dalam etanol rata-rata =

3

13,20 % + 12,90 % + 12,40 %

= 12,83 %

Lampiran 6 (Lanjutan)

Kadar sari larut dalam etanol = Berat Sari x 100 x 100 % Berat Simplisia 20


(66)

c. Perhitungan hasil penetapan kadar abu total

1. Sampel I

Berat simplisia = 2,0070 g Berat abu = 0,0763 g

Kadar abu total = 0,0763 x 100 % 2,0070

= 3,81 % 2. Sampel II

Berat simplisia = 2,0010g Berat abu = 0,0480 g

Kadar abu total = 0,0482 x 100 % 2,0010

= 3,40 % 3. Sampel III

Berat simplisia = 2,0011 g Berat abu = 0,0870 g

Kadar abu total = 0,0870 x 100 % 2,0011

= 4,35 % Kadar abu total rata-rata =

3

3,81 % + 3,40 % + 4,35 %

= 3,85 %

Lampiran 6 (Lanjutan)

Kadar abu total = Berat Abu x 100 % Berat Simplisia


(67)

e. Perhitungan hasil penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

1. Sampel I

Berat simplisia = 2,0007 g Berat abu = 0,0228 g

Kadar abu tidak larut dalam asam = 0,0228 x 100 % 2,0007

= 1,14 % 2. Sampel II

Berat simplisia = 2,0010 g Berat abu = 0,0184 g

Kadar abu tidak larut dalam asam = 0,0184 x 100 % 2,0010

= 0,92 % 3. Sampel III

Berat simplisia = 2,0011 g Berat abu = 0,0293 g

Kadar abu tidak larut dalam asam = 0,0293 x 100 % 2,0011

= 1,45 % Kadar abu tidak larut dalam asam rata-rata =

3

1,14 % + 0,92 % + 1,45 %

= 1,17 %

Lampiran 6 (Lanjutan)

Kadar abu tidak larut dalam asam = Berat Abu x 100 %


(68)

a. Perhitungan hasil penetapan kadar air.

1. Sampel I

Berat sampel = 5,000 g Volume air = 0,40 ml Kadar air = 0,40 5,000

x 100 %

= 8,00 % 2. Sampel II

Berat sampel = 5,002 g Volume air = 0,30 ml Kadar air = 0,30 5,002

x 100 %

= 6,00 % 3. Sampel III

Berat sampel = 5,001 g Volume air = 0,30 ml Kadar air = 0,30 5,001

x 100 %

= 6,00% Kadar air rata-rata =

3 8,00 + 6,00 + 6,00

= 6,66%

Lampiran 7

Kadar air = Volume air ( ml ) x 100 % Berat sampel ( g )


(69)

Tabel 2. Hasil karakterisasi serbuk herba suruhan

No. Pemeriksaan Karateristik Simplisia Hasil

1. 2. 3. 4. 5.

Penetapan kadar sari yang larut dalam air Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Penetapan kadar abu total

Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Penetapan kadar air

18,8 % 12,83 %

3,85% 1,17% 6.66%


(70)

Serbuk simplisia herba suruhan

diekstraksi secara maserasi dengan pelarut n-heksan

dipekatkan dengan penguap vakum putar pada

suhu 40°C

Gambar 10 . Bagan ekstraksi serbuk simplisia herba suruhan

Lampiran 9

Maserat Ampas


(71)

Gambar 11. Kromatogram ekstrak n-heksan herba suruhan

Keterangan: Fase diam silika gel GF 254, fase gerak n-heksan – etilasetat, penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan, bp = batas pengembangan, u = ungu, mu = merah ungu, bu = biru ungu, b = biru, bh = biru hijau, uc = ungu coklat.


(72)

Isolat 1 Isolat 2 Isolat 3

di KCV dengan pelarut landaian n-heksan : etil asetat dan fase diam silika gel 60 H

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 (100:0) (90:10) (80:20) (70:30) (60:40) (50:50) (40:60) (30:70) (20:80) (10:90) (0:100)

di KCV dengan pelarut landaian

n-heksan:etil asetat dan

fase diam silika gel 60 H

A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 (100:0) (90:10) (80:20) (70:30) (60:40) (50:50) (40:60) (30:70) (20:80) (10:90) (0:100)

di KLT Preparatif dan direndam dengan methanol

diuji kemurnian dengan KLT dua arah

diidentifikasi dengan spektrofotometri UV dan IR

Gambar 12. Bagan isolasi triterpenoida/steroida dari ekstrak n-heksan herba

suruhan

Lampiran 11

Ekstrak n-heksan 5,586 g

11 fraksi

F1 F2 F3 F4 F5 F6

FA1 FA2 FA3 FA4

Spektrum Isolat murni


(73)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

(100:0) (90:10) (80:20) (70:30) (60:40) (50:50) (40:60) (30:70) (20:80) (10:90) (0:100) Gambar 13. Kromatogram hasil KCV ekstrak n-heksan herba suruhan

Keterangan: Fase diam silika gel GF 254, fase gerak n-heksan - etilasetat (90:10), penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan, bp = batas pengembangan, u = ungu, bu = biru ungu, j = jingga, mu = merah ungu, bh = biru hijau, c = coklat, p = pink (merah muda), h = hijau, hc = hijau coklat.


(74)

Gambar 14. Kromatogram hasil KCV fraksi F2 ekstrak n-heksan herba suruhan

Keterangan: Fase diam silika gel GF 254, fase gerak n-heksan - etilasetat (90:10), penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan, bp = batas pengembangan, u = ungu, j = jingga, mu = merah ungu, bu = biru ungu, h = hijau, uc = ungu coklat, k = kuning.


(75)

………...bp

mu

u

u

………... ……... tp

Gambar 15. Kromatogram KLT preparatif fraksi FA2

Keterangan: Fase diam silika gel GF 254, fase gerak n-heksan - etilasetat (90:10), penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan, bp = batas pengembangan, u = ungu, mu = merah ungu,


(76)

bp2

bp1

A1

tp

A2

Gambar 16. Kromatogram KLT dua arah isolat 2

Keterangan: Fase diam silika gel GF 254, fase gerak I = n-heksana - etil asetat (90:10), fase gerak II = kloroform – etil asetat (70:30), penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan, bp1 = batas pengembangan pertama, bp2 = batas pengembangan kedua, A1 = arah pertama, A2 = arah kedua, u = ungu.


(77)

panjang gelombang (nm)

Gambar 17. Spektrum ultraviolet isolat 2


(78)

%T

Bilangan gelombang (cm-1)


(1)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 (100:0) (90:10) (80:20) (70:30) (60:40) (50:50) (40:60) (30:70) (20:80) (10:90) (0:100) Gambar 13. Kromatogram hasil KCV ekstrak n-heksan herba suruhan

Keterangan: Fase diam silika gel GF 254, fase gerak n-heksan - etilasetat (90:10), penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan, bp = batas pengembangan, u = ungu, bu = biru ungu, j = jingga, mu = merah ungu, bh = biru hijau, c = coklat, p = pink (merah muda), h = hijau, hc = hijau coklat.

Lampiran 12


(2)

Gambar 14. Kromatogram hasil KCV fraksi F2 ekstrak n-heksan herba suruhan

Keterangan: Fase diam silika gel GF 254, fase gerak n-heksan - etilasetat (90:10), penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan, bp = batas pengembangan, u = ungu, j = jingga, mu = merah ungu, bu = biru ungu, h = hijau, uc = ungu coklat, k = kuning.


(3)

………...bp

mu

u

u

………... ……... tp

Gambar 15. Kromatogram KLT preparatif fraksi FA2

Keterangan: Fase diam silika gel GF 254, fase gerak n-heksan - etilasetat (90:10), penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan, bp = batas pengembangan, u = ungu, mu = merah ungu,

Lampiran 14


(4)

bp2

bp1

A1

tp

A2

Gambar 16. Kromatogram KLT dua arah isolat 2

Keterangan: Fase diam silika gel GF 254, fase gerak I = n-heksana - etil asetat (90:10), fase gerak II = kloroform – etil asetat (70:30), penampak bercak Liebermann-Burchard, tp = titik penotolan, bp1 = batas pengembangan pertama, bp2 = batas pengembangan kedua, A1 = arah pertama, A2 = arah kedua, u = ungu.


(5)

panjang gelombang (nm)

Gambar 17. Spektrum ultraviolet isolat 2

Lampiran 16


(6)

%T

Bilangan gelombang (cm-1)