Analisis Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutuskan Perkara No.

menimbulkan perselisihan dan percekcokan terus menerus disebabkan fitrahnya untuk berkuasa, sombong dan ingin menjadi pemimpin. 35 Islam bersikap memerangi terhadap tindakan kasar dan semena-mena terhadap orang lain, termasuk kepada isteri dan anak-anak. Islam memerintahkan untuk berlaku santun kepada segala sesuatu sebagaimana firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 159, yang berbunyi ]Fh i 0“ W L”S3 L• … W 4 ?–L V• C MO3–P’ ’} . + — ——— ’ ’ Artinya ; “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. Menurut penulis seorang suami ataupun isteri harus saling menjaga rumah tangga mereka masing-masing agar tidak terjadi gugat cerai seperti di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan no. 078Pdt.G2007PA.JP dan untuk menghindari kecemburuan dari pihak suami, seorang isteri yang shalehah harus menjaga dirinya ketika suami tidak di rumah, dewasa dalam berfikir, dan sangat terpercaya dan mengenai kebutuhan rumah tangga baik lahir maupun batin adalah kewajiban seorang suami, karena ketika seseorang sudah berstatus sebagai suami maka ia tidak boleh mementingkan dirinya sendiri, karena ini akan menanamkan kebencian di hati isteri dan memutuskan tali cinta kasih antara suami isteri.

B. Analisis Sumber dan Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutuskan Perkara No.

078Pdt.G2007PA.JP. 35 Iman Sulaiman, Problematika Rumah Tangga Kunci Penyelesaiannya. Penerjemah Nabil Muhammad, Jakarta : Qisthi Press, 2005 , Cet ketiga, h.171. Berdasarkan asas-asas, peraturan hukum Islam, hukum acara, serta doktrin dapat digunakan sebagai pisau analisis terhadap sumber dan pertimbangan hukum hakim Peradilan Agama Jakarta Pusat dalam memutus perkara No. 078Pdt.G2007PA.JP. sebagaimana akan penulis uraikan dibawah ini. Menurut penulis Pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara gugat cerai tersebut terdapat sedikit kekurangan dan kesalahan dalam pengambilan kaidah fiqhiyah yang tercantum dalam kitab Al-Ashbah wan Nadhoir, menurut penulis kaidah fiqhiyah yang lebih tepat digunakan terdapat dalam buku Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh yaitu qa’idah furu yang kedua atau cabang kedua dari qa’idah fiqhiyyah yang keempat : ﺏ . 2 3 4 Artinya : “ Dlarar yang lebih besar dihilangkan dengan dlarar yang lebih ringan”. 36 Qaidah tersebut menegaskan bahwa untuk menghilangkan suatu bahaya disyaratkan harus tidak menimbulkan bahaya yang. Suatu bahaya dapat dihilangkan dengan menimbulkan bahaya yang lain, jika kadar bahaya yang ditimbulkannya tidak seimbang dan tidak lebih besar dari pada bahaya yang dihilangkan. Oleh karenanya, seorang yang hendak menghilangkan suatu bahaya, harus memperhitungkan terlebih dahulu dampak yang akan ditimbulkannya. Apabila dampaknya seimbang atau bahkan lebih besar dari pada bahaya yang hendak dihilangkan, maka ia harus mengurungkan niatnya, namun apabila dampak yang ditimbulkan lebih kecil daripada bahaya yang dihilangkan maka ia bebas meneruskan niatnya menurut penulis Qaidah ini terkait dengan perkara gugat cerai, no perkara 078Pdt.G2007PA.JP yaitu apabila pihak isteri dan pihak suami disatukan pernikahannya, maka akan menimbulkan 36 Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Persfektif Fiqh, Jakarta : Radar Jaya Offset, 2004 , Cetakan Pertama, h.140. mudhorot yang lebih besar dalam kehidupan pernikahan selanjutnya, yaitu rumah tangga yang tidak dapat harmonis lagi, sedangkan bila pihak isteri dan suami dipisahkan dengan perceraian kehidupan kedua belah pihak akan menjadi lebih baik. Selain itu seharusnya hakim juga mempertimbangkan Pasal 39 ayat 2 Undang - undang Perkawinan pada huruf d yaitu “salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat terhadap pihak yang lain ”, 37 dan pelanggaran taklik talak poin 3 , karena di dalam gugatan Penggugat menjelaskan bahwa Tergugat di dalam rumah tangga kalau ada masalah kecil selalu menjadi besar dan diakhiri dengan ucapan kasar serta pemukulan dan dikuatkan dengan keterangan dari ibu kandung Penggugat selaku saksi pernah melihat di depan rumahnya Tergugat pernah mencekik Penggugat dan menendang sampai Penggugat Tersungkur sesuai dengan alasan-alasan perceraian yang tercantum dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf d Undang- undang Perkawinan dan diulang lagi dalam pasal 19 Peraturan Pelaksana. Selain menginginkan perceraian dengan suaminya di dalam gugatannya Penggugat juga menginginkan pengasuhan anak jatuh ke tangannya, dan Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat dengan menetapkan pengasuhan anak kepada Penggugat selaku ibunya, menurut penulis keputusan tersebut sudah tepat dengan mempertimbangkan pasal 105 huruf a dan pasal 3 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002, mengingat anak dari hasil perkawinan antara Tergugat dan Penggugat masih sangat kecil dan belum mumayyiz. Selain itu keterangan Majelis Hakim yang menjelaskan bahwa Tergugat selaku ayahnya dapat berkunjung untuk memberikan kasih sayang kepada anaknya dengan tidak mengganggu waktu dan kegiatan anak dengan mempertimbangkan pasal 41 huruf a Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi 37 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta : Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001 , h.140. “Akibat Putusnya perkawinan karena perceraian ialah baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya”. 38 Adalah sudah tepat karena walaupun sudah bercerai, tanggung jawab atas pemeliharaan anak tetap berada pada tangan kedua orang tuanya. Anak yang bernama MMK tidak diketahui keberadaannya karena dibawa oleh Tergugat sampai putusan tersebut diputus maka Majelis Hakim menguhukum kepada Tergugat ataupun keluarga Tergugat untuk menyerahkan anak tersebut kepada Penggugat dengan mempertimbangkan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT Pasal 1 angka 1 Pasal 2 angka 1, pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 49. Menurut penulis putusan Majelis Hakim untuk menghukum kepada Penggugat dengan mempertimbangkan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Pasal 1 angka 1 Pasal 2 angka 1, pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 49 sudah tepat karena seorang ibu ketika dipisahkan dan tidak dapat bertemu dengan anaknya akan tersiksa dan hal tersebut bisa mengganggu psikologi Penggugat sebagai seorang ibu sebagaimana di jelaskan dalam Undang-undang No. 23 tahun 2004 pada pasal 5 poin b bahwa kekerasan tidak hanya ada kekerasan fisik tapi kekerasan psikis juga diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Tuntutan lain dari Penggugat adalah berupa nafkah anak yang harus ditanggung oleh Tergugat perbulan sebesar Rp.5.000.000,-lima juta rupiah dan Majelis Hakim hanya mengabulkan setengah dari gugatan Tergugat yaitu biaya nafkah anak sebesar Rp. 750.000,- tujuh ratus lima puluh ribu rupiah perbulan. Berdasarkan hal tersebut penulis menyatakan bahwa keputusan Majelis Hakim mengabulkan setengah dari gugatan Penggugat mengenai 38 Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, h.141. nafkah anak dengan pertimbangan surat At-Talak ayat 7 pasal Pasal 41 huruf b Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 105 KHI huruf c adalah hal yang tepat, karena jika Majelis Hakim mengabulkan tuntutan dari Penggugat berupa nafkah anak sebesar Rp. 5.000.000,- lima juta rupiah menurut penulis terlalu berlebihan untuk ukuran satu orang anak dan memberatkan Tenggugat apalagi Allah di dalam surat At-Talak ayat 7 menjelaskan bahwa “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya”. Mengenai tuntutan Penggugat agar Putusan pengasuhan anak dapat dilaksanakan terlebih dahulu dan permohanan putusan sela, Majelis Hakim berpendapat permohonan putusan sela tidak sesuai dengan hukum acara gugatan Penggugat dan tentang putusannya dapat dilaksanakan terlebih dahulu, mengenai hal tersebut penulis tidak sependapat dengan Majlis Hakim karena menurut penulis keputusan Majelis hakim tidak sesuai dengan ketentuan hukum acara di Pengadilan Agama seharusnya apabila Penggugat menginginkan tuntutan pengasuhan anak dan nafkah terhadap anak dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Penggugat harus membuat gugatan provisi sesuai dengan hukum acara yang berlaku yaitu pasal 180 ayat 1 HIR dan Pasal 191 ayat 1 R.Bg, dan Majelis Hakim dapat memutuskan gugatan provisi tersebut dengan putusan sela provisionil. Dalam hal rekonpensi dari pihak Tergugat ditolak karena majelis hakim telah menetapkan dalam konpensi bahwa seorang anak yang bernama MMK berada dalam asuhan dan pemeliharaan Penggugat konpensi menurut penulis Majelis Hakim sudah melakukan hal yang benar dengan mempertimbangkan kondisi anak yang masih kecil lebih dekat kepada ibunya dan memerlukan belaian kasih sayang dari ibunya. Sesuai dengan pendapat para ulama bahwa seorang ibu berhak menjadi pemeliharaan atas seorang anak lelaki sampai tujuh tahun dan anak perempuan sampai usia puber. Selain itu di dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 105 huruf a juga dijelaskan bahwa dalam hal terjadi perceraian pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Mengenai Eksepasi yang diajukan Tergugat, Majelis Hakim berpendapat bahwa ijin atasan bagi seorang Pegawai Negeri Sipil bukan merupakan suatu syarat formal atau hukum acara bagi pengadilan agama dan tidak menghalangi seorang Pegawai Negeri Sipil untuk menyelesaikan perceraiannya, karena izin atasan langsung bisa diperoleh sebelum maupun sesudah perkara didaftarkan. Majelis hakim berpendapat bahwa adalah sangat bertentangan dengan asas kebebasan hakim apabila pemeriksaan perkara perceraian harus diberhentikan hanya karena tidak ada izin pejabat, hal itu merupakan campur tangan pihak extra judicial. Maka berdasarkan pertimbangan- pertimbangan tersebut diatas dihubungkan dengan bukti P-16 Asli Surat izin atasan Nomor : DJ.IHK.03.43402007 tanggal 9 April 2007 dari Direktur Jenderal Pendidikan Islam. Penggugat telah memperoleh izin atasan yang bersangkutan, oleh karenanya Eksepsi Tergugat di tolak. 39 Dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan keputusan Majelis hakim serta pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim karena Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil pada pasal 3 ayat 1 yang menjelaskan bahwa “Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin lebih dahulu”. 40 39 Putusan Putusan Pengadilan Agama PA Jakarta Pusat tentang gugat cerai No. 078Pdt.G2007PA.JP, h.17. 40 Undang-undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Khusus Untuk Anggota ABRI Anggota POLRI Pegawai Kejaksaan Pegawai Negeri Sipil, Jakarta : Sinar Grafika , h.130. Telah diubah oleh Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil dalam pasal 1 dijelaskan mengubah beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil yaitu : Mengubah ketentuan Pasal 3 sehingga seluruhnya berbunyi sebagai berikut : 1. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat; 2. Bagi Pegawai Negeri sipil yang berkedudukan sebagai penggugat atau bagi pegawai negeri sipil yang berkedudukan sebagai tergugat untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus mengajukan permintaan secara tertulis; 3. Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasarinya . 41 Maka berdasarkan hal tersebut seharusnya sebelum Penggugat mengajukan gugatannya, Penggugat harus memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat sesuai dengan pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Mengenai putusan Majelis hakim yang membebankan biaya perkara kepada Penggugat adalah hal yang sudah tepat karena dalam lingkup Peradilan Umum untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya pasal 4 ayat 2, 5 ayat 2 UU 141970, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 41 Badan Kepegawaian Negara, “ Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Spil ”, artikel ini diakses pada 1 Juni 2009 dari http:www.bkn.go.idperaturan-pp- isi.php?news_id=411. ayat 4, 192-194 Rbg; biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. 42 Sedangkan dalam lingkup Peradilan Agama sesuai dengan pasal 54 yang berbunyai “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dan lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Maka Pasal 89 ayat 1 ini yang bersifat khsusus yaitu “biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada Penggugat atau Pemohon”. 43

C. Analisis Tentang Putusan Hakim.