Penerapan maslahah mursalah dalam Khi dan pengaruhnya terhadap Putusan Hakim: studi kasus Putusan Cerai gugat karena suami poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007

(1)

PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH DALAM KHI DAN

PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM

Studi Kasus Putusan Cerai Gugat Karena Suami Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007”

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

oleh :

Taufikurrohman NIM : 105044101433

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SAYKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH DALAM KHI DAN

PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM

Studi Kasus Putusan Cerai Gugat Karena Suami Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh

Taufikurrohman NIM :105044101433

Di bawah Bimbingan

Drs. H. A. Basiq Djalil ,SH, MA. NIP : 150 169 102

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudulPENERAPAN MASLAHAH MURSALAH DALAM KHI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM “Studi Kasus Cerai Gugat Karena Suami Poligami di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007” telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 29 April 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 5 Mei 2009 Mengesahkan Dekan

PROF.DR.H.Muhammad Amin Suma, S.H.,MA.,MM. NIP : 150 210 422

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs.H.A.Basiq Djalil ,S.H., MA. ( ) NIP: 150 169 102

Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag., MH . ( )

NIP: 150 285 972

Pembimbing : Drs.H.A.Basiq Djalil, SH., MA. ( ) NIP: 150 169 102

Penguji I : DR.H.Juaini Syukri, Lc., MA. ( ) NIP: 150 256 969

Penguji II : JM. Muslimin, MA.,Ph.D. ( ) NIP: 150 295 489


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata satu (S 1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 18 Januari 2009


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna. Diantara salah satu kesempurnaannya adalah Allah karuniakan manusia pikiran dan kecerdasan. Shalawat dan salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner ummat Islam sedunia tiada lain yakni, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan ummatnya yang selalu berpegang teguh hingga akhir zaman.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis betul-betul menyadari adanya rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis guna penyempurnaan skripsi ini.

Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis ingin mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih tiada terhingga terutama kepada :

1. Prof.Dr.KH.Muhammad Amin Suma, S.H., MA.,MM. dekan Fakultas Syariah dan Hukum


(6)

2. Drs.H.A.Basiq Djalil, S.H., MA. Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan rasa terima kasih dan do’a semoga Allah SWT membalasnya.

3. Kamarusdiana, S.Ag.,M.H. sekretaris Prodi Ahwal Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama yang telah sabar dalam membantu proses transkif nilai, semoga Allah membalasnya.

4. Seluruh dosen Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, serta karyawan-karyawan dan staf perpustakaan yang telah mempasilitasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Teristimewa buat Ayahanda, Allahumagfirlah H. Sanwani (Rohimahullah) mudahmudaham Allah membalas semua amal kebaikannya dan Ibunda Hj. Mubinah, serta kakak adik kandungku seluruh keluarga tercinta. Terima kasih atas segala do’a, kesabaran, jerih payah dan pengorbanan serta nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga ananda dapat menyelesaikan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan do’a, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan.

6. Kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta selatan Drs. Pahlawan Harahap.,SH,MA beserta staf, dan para hakim yang telah bersedia untuk


(7)

wawancara langsung, Penulis ucapkan banyak terima kasih atas partisipasi dan bantuannya.

7. Kepada teman-teman seperjuangan baik dalam organisasi intra atau ekstra kampus yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas idea dan dukungan serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. Jasa kalian akan dikenang sampai akhir hayat.

8. Teman-teman angkatan 2005/2006 kelas Syariah dan Hukum Konsentrasi Peradilan Agama, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaannya selama penulis belajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, semoga persahabatan kita terjalin hingga rambut memutih.

Mudahmudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik kita di sisi Allah SWT, Akhirnya, semoga setiap bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Amin yaa robbal alamien.

Jakarta, 18 Februari 2009 M Penulis


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………...v

DAFTAR ISI...viii

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah……….1

B.Pembatasan dan perumusan masalah……….10

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian………...11

D.Studi Review………...12

E.Metodologi Penelitian………...14

F. Tekhnik Pengumpulan Data………15

G.Sistematika Penulisan………..17

BAB II MASLAHAH MURSALAH DALAM KHI A.Pengertian dan Dasar Hukum Maslahah Mursalah………18

B.Metode Analisa Maslahah Mursalah………..23


(9)

D.Tinjauan Maslahah Dari Segi Kepentingan dan Kualitas………...30 E.Illat Hukum Penerapan konsep Maslahah Mursalah Dalam KHI………..34

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KHI

A.Sejarah Singkat Lahirnya Kompilasi Hukum Islam………...40 B.Kandungan Maslahah Mursalah Dalam KHI………...52 C.Perceraian Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif…………58 D.Poligami dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif…………...66 E.Teori Kebolehan Dalam Konsep Maslahah Mursalah KHI………....77

BAB IV PENGARUH PENERAPAN MASLAHAH MURSALAH TERHADAP PUTUSAN HAKIM

A.Profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan………..78 B.Perkara Perceraian di PA Jak-Sel Pada tahun 2006 – 2007………...83 C.Duduk Perkara Cerai Gugat Dengan Alasan Suami Poligami………86 D.Analisa Pengaruh Penerapan Maslahah Mursalah Terhadap Putusan……95

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan………...9

9


(10)

DAFTAR PUSTAKA………...………...101

LAMPIRAN………...………..104

1. Surat Pengajuan Proposal Skripsi……….105

2. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi…………...106

3. Surat Permohonan Data dan Wawancara………..107

4. Surat Bukti Wawancara……….108

5. Hasil Wawancara Dengan Hakim……….109

6. Putusan Nomor 1702/pdt.G/PAJS……….110


(11)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Sebagian orang menjadikan akal dan perasaan sebagai timbangan maslahat dan mafsadat, jika suatu perkara dianggap oleh akalnya sebagai suatu hal yang bermanfaat maka dianggap maslahat walaupun perkara tersebut pada hakikatnya melanggar syari’at. Adapun tentang mengambil ketetapan hukum dengan maslahah mursalah dikatakan oleh syaikh Muhammad al-Amin asy-syingithi pada dasarnya para sahabat bergantung dengan maslahah mursalah yang tidak dibatalkan oleh dalil, dan tidak bertentangan dengan mafsadat yang lebih kuat atau sama kuatnya. Pada dasarnya seluruh madzhab bergantung pada maslahah mursalah akan tetapi, yang benar bahwa pengambilan hukum terhadap suatu perkara harus berhati-hati hingga benar kebenaran maslahatnya. Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan ummat Islam Indonesia. Ia bukan berupa madzhab baru tapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab satu persoalan fiqh.1

Landasan yuridis terciptanya KHI adalah Undang-undang No.14/1970 Tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 20 ayat (1) yang berbunyi : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,

1

Team Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, KompilasiHukum Islam diIndonesia,


(12)

mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, keadaan masyarakat selalu berubah, ilmu fiqh sendiri selalu berkembang karena menggunakan metode-metode yang sangat memperhatikan keadilan masyarakat diantara metode tersebut adalah maslahah mursalah.2

Agama Islam membolehkan suami-istri bercerai, tentunya dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT.3Perceraian (Thalaq) merupakan suatu ajaran Islam dalam pernikahan, namun hal itu sangatlah dibenci oleh Allah meskipun halal (boleh), karena dengan perceraian berarti tujuan perkawinan menjadi pudar dan tidak tercapai, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

!

"ﻝ

.4

Artinya: “Ibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: yang

hukumnya halal tetapi Allah paling benci terhadapnya adalah talaq.” (H.R.Abu

Daud dan Ibnu Majah)

2

A. Basiq Djalil, PernikahanLintasAgamaDalamPerspektifFiqhdanKompilasiHukum Islam, ( Jakarta: Qolbun Salim, 2005),Cet Pertama, h.84.

3

Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet ke-2, h.102.

4


(13)

Perceraian adalah sesuatu yang dibenci oleh Allah walaupun hal itu merupakan perbuatan yang halal dan sebagai jalan keluar bagi suami-istri yang sudah tidak ada kecocokan lagi untuk meneruskan perkawinannya Karena itu, ketika keadaan pertengkaran terus-menerus terjadi dalam rumah tangga maka ada unsur dharurat yang membolehkan pasangan suami-istri itu untuk bercerai, unsur

dharuriyah itulah yang membolehkan. Salah satu asas perkawinan yang ada

adalah mempersulit adanya perceraian artinya mempertahankan rumah tangga dengan cara yang baik.5

Perceraian dalam Islam bukan merupakan sesuatu yang harus dilakukan ketika antara pihak suami dan istri sudah tidak akur lagi, akan tetapi ketika terjadi percekcokan maka antara kedua belah pihak suami ataupun istri mendelegasikan juru damai (hakam). Hakam ini berfungsi untuk menjembatani kemungkinan untuk membina kembali rumah tangga, juga melerai pertengkaran suami-istri agar keutuhan pernikahan mahligai rumah tangga dapat berlanjut sampai akhir hayat.6

Kasus-kasus perceraian sering terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat entah itu di lakukan karena inisiatif suami untuk permohonan cerai-thalaq, atau inisiatif istri untuk menggugat cerai suaminya. Dalam Kompilasi Hukum Islam

5

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Prenada Media, 2007), Cet. Kedua, h. 190.

6

Satria M Zein, Yurisprudensi Hukum Keluarga Islam Kotemporer Analisis Yurisprudensi


(14)

(KHI) secara umum dijelaskan mengenai perceraian diatur dalam pasal 113 sampai dengan 148 di bab tentang putusnya perkawinan.

Cerai gugat secara khusus diatur dari pasal 132 ayat 1 yang berbunyi:7

“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada

pengadilan agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat

kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.”

Sampai dengan pasal 148 ayat 1 yang berbunyi:8

Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan

khulu menyampaikan permohonannya kepada pengadilan Agama yang

mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan-alasannya”.

Dalam KHI pasal 116 terdapat alasan-alasan perceraian antara lain yaitu:9

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya yang sukar untuk disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dalam jangka waktu 2 (dua) tahun secara terus-menerus tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapatkan pidana 5 (lima) tahun penjara atau hukuman lain yang lebih berat.

7

Kompilasi Hukum Islam Pasal 132 Ayat 1.

8

Kompilasi Hukum Islam Pasal 148 ayat 1.

9


(15)

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman yang membahayakan keselamatan anggota keluarga.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami-istri.

f. Terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran antara kedua belah pihak sehingga tidak ada harapan untuk hidup harmonis (terdapat juga dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat 2)

g. Suami melanggar taklik talaq

h. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

i. Undang-undang UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menyebutkan beberapa syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan.

Syarat demikian ditetapkan untuk memberikan landasan hukum yang kuat agar dapat diciptakan suasana perkawinan yang mendukung dan tercapainya tujuan perkawinan, seperti telah disebutkan pada pasal 1 UU Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, Sehingga tujuan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah akan terwujud, sebagaimana tujuan perkawinan dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa: “perkawinan ialah


(16)

ikatan lahir bathin antara suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang

bahagia.”10

Seorang suami yang melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama maka perkawinannya dapat dibatalkan oleh istrinya dengan cara melakukan gugatan kepengadilan Agama.11 Poligami dalam Islam memang bukan sesuatu yang dilarang. Sejarah poligami memang terjadi dan sudah ada sebelum Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, Setelah Islam datang kemudian Nabi Muhammad SAW membatasi para sahabat untuk beristri maksimal empat orang saja.12

Dalam UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, peraturan pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI13 telah tercatat bahwa suami yang ingin melakukan poligami harus seizin dari istri yang pertama melalui mediasi Pengadilan. Itupun (izin poligami) terdapat syarat-syarat yang ketat bagi suami yang hendak melakukan poligami, seperti istri tidak dapat melahirkan keturunan, ataupun mendapat penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang menyebabkan tidak dapat

10

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

11

A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), Cet Ke-4, h. 239

12

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 176. 13

Mengenai izin suami melakukan poligami, tertera dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 2, juga pasal 4 dan 5 Jo. PP No 9 tahun 1975 pasal 40, 41, 42 dan pasal 43. Jo. KHI Pasal 55 sampai dengan pasal 59.


(17)

melayani suaminya secara lahir bathin. Dan suami yang berpoligami pun harus berlaku “adil” terhadap istri-istrinya.14

Pada pasal 4 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa seorang yang ingin beristri lebih dari satu maka ia wajib mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan setempat. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 menerangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonan, yaitu: 15.

1) Adanya persetujuan istri

2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka

Sedangkan dalam KHI pasal 57 juga menyebutkan alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal tersebut berbunyi:16

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

2. Istri mendapatkan cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

14

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, h. 177. 15

Undang-Undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan

16


(18)

Apabila syarat tersebut telah terpenuhi Pengadilan Agama akan memberikan izin kepada suami yang ingin berpoligami. Dalam pasal 4 ayat 3 diterangkan tentang alasan kebolehan suami berpoligami, terdapat tiga poin seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Sehingga ketika istri mendapat salah satu saja diantara tiga alasan tersebut suami boleh mengajukan permohonan poligami.17

Pada dasarnya ijtihad telah dilakukan pada zaman nabi Muhammad.SAW dan dibenarkan oleh beliau, baik dalam keputusan konteks pemerintahan yang didelegasikan kepada hakim ataupun hakim dalam konteks sekarang (qadhi) yang ditugaskan oleh beliau untuk memutuskan perkara pertikaian dalam masyarakat, atau sebagai individu biasa dalam kehidupan sehari-hari. Kisah yang paling terkenal adalah pemutusan Mu’adz bin Jabal sebagai wakil pemerintah dan wali didaerah Yaman. Ia secara tegas mengatakan kepada Nabi bahwa ia akan memutuskan perkara berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah, dan bila ia tidak menemukan dalam kedua sumber ini maka ia akan memutuskan perkara tersebut berdasarkan pemikirannya sendiri melalui ijtihad.18

Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa pelaku ijtihad dalam menetapkan hukum mendapatkan tempat yang khas dalam pandangan Islam apabila seseorang tersebut telah melakukan usaha yang maksimal untuk memutuskan perkara berdasarkan pertimbangannya yang matang, bila ia benar maka akan

17

Wawancara Khusus Dengan M. Abduh Sulaiman dan Harum Rendeng, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

18

A.Basiq Djalil, PernikahanLintasAgama DalamPerspektif Fiqh danKompilasi Hukum Islam, h. 84.


(19)

mendapatkan dua pahala, dan bila ternyata salah maka akan mendapatkan satu pahala di sisi Allah. SWT.19 Dalam memutuskan masalah, manusia diminta untuk mendekati Allah dalam hal keadilan, kedalaman ilmu, integritas diri keterikatan kepada ketentuan (kitab, ketentuan Allah dan kitab-Nya), kebijaksanaan yang lahir dari keluasan wawasan. Hal itu karena dalam diri manusia yang berasal dari ciptaan tuhan yang terdapat kwalitas-kwalitas ketuhanan. Yang tersebut itu menunjukan bahwa salah satu kwalitas Allah adalah al-hakim (pemutus perkara, penguasa yang bijak). 20

Kata “pemutus” di sini jelas tidak hanya berarti memutuskan perkara di pengadilan dengan pengertian “mengadili” atau memutus antara pihak yang bersengketa atau lebih, akan tetapi bermakna menyangkut sikap semua orang yang berada dalam posisi membuat keputusan,21 namun dalam pembahasan ini penulis hanya akan menekankan pada pemutus hukum di pengadilan saja yaitu seorang hakim. Pengertian hukum tersebut akan menjadi lebih jelas dengan memperhatikan pengertian adil dan keadilan menurut A-Qur’an. Keadilan dan hukum adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, dan keadilan antara lain tidak mungkin ditegakan tanpa adanya kepastian hukum.22

19

Al Bukhori, Shahihal-Bukhori,jilid II (Istanbul : al maktabahalIslami”,h.157.

20

Rifyal Ka’bah, HukumIslamdiIndonesia, (Jakarta, Universitas Yarsi, 1999) Cet. Pertama, h.26.

21

A. Basiq Djalil, PernikahanLintasAgamaDalamPerspektifFiqh danKompilasiHukum Islam, ( Jakarta: Qolbun Salim, 2005),Cet Pertama, h.17.

22

Rifyal Ka’bah, HukumIslamdiIndonesia, (Jakarta, Universitas Yarsi, 1999) Cet. Pertama, h.28.


(20)

Berkaca dari pembahasan di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam penetapan hukum di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Maka dari itu penulis mengambil objek penelitian di Pengadilan Agama, yang merupakan lembaga peradilan yang menangani kasus perceraian bagi orang yang beragama Islam. Khususnya dibatasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dengan latar belakang di atas penulis mengambil skripsi dengan judul:

“Penerapan Maslahah Mursalah Dalam KHI dan Pengaruhnya Terhadap Putusan Hakim” Studi Kasus Putusan Cerai Gugat karena Suami poligami di

Pengadilan Agama Jakarta Selatan Tahun 2007.

B.Pembatasan Dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan ini lebih terarah, maka penulis membatasi yakni, hanya menekankan pada Penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap hakim dalam memutuskan perkara perceraian sebagai metode penetapan hukum dari awal persidangan sampai pada pengambilan putusan.

2. Perumusan Masalah

Masalah dalam skripsi ini dapat penulis rumuskan sebagaimana berikut “Banyaknya hal yang dibolehkan dalam syariat dan kitab-kitab fiqih, akan tetapi pada kenyataannya dalam pasal Kompilasi Hukum Islam dilarang dan sebagiannya dipersulit. Hal ini yang ingin penulis telusuri dalam penulisan skripsi ini”


(21)

Dari rumusan di atas penulis dapat merinci dalam bentuk beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah sesuatu masalah yang dibolehkan oleh syari’at tidak boleh dilarang atau dipersulit oleh pemerintah dengan alasan kemaslahatan, dan bagaimana konsep kebolehan serta pengkompromian nilai dalam Kompilasi Hukum Islam?

2. Bagaimanakah penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam dan pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam konsep metode ijtihad dalam menetapkan hukum?

C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas hukum yang ada di lingkungan Pengadilan Agama, khususnya dalam ruang lingkup penerapan maslahah mursalah dan pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam memutuskan perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, secara lebih terperinci penelitian ini bertujuan untuk :

1. Dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi hakim dalam memutuskan perkara perceraian dengan penerapan kandungan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam serta signifikansinya terhadap konsep maslahah.

2. Memberikan gambaran apakah larangan adalah lawan dari kebolehan maksudnya apakah sesuatu yang dibolehkan oleh syari’at tidak boleh


(22)

dilarang oleh pemerintah, Adakah fakta-fakta autentik dan pembuktian sebagai metode penetapan hukum yang lebih dikedepankan oleh hakim dari pada hukum positif dalam memutuskan perkara, serta seberapa besar kecendrungan hakim dalam mengambil putusan berdasarkan ijtihad dengan landasan maslahah mursalah.

Adapun manfaat penelitian ini adalah penulis ingin memberikan gambaran kepada masyarakat maupun akademisi khususnya mahasiswa yang bergelut dibidang hukum mengenai bagaimana sebenarnya penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam pada konteks tatanan peraktis di Pengadilan Agama dan seberapa besar signifikansi pengaruh terhadap pengambilan putusan hakim.

D.Studi Review

Sepanjang pengetahuan penulis topik penelitian yang sama dengan topik yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan utama ataupun perpustakaan fakultas syari’ah dan hukum, belum pernah diteliti oleh peneliti lainnya, namun ada beberapa judul skripsi yang mendekati permasalahan bahasan penulis diantaranya adalah:

1. Tinjauan Kaidah Fiqhiyah Tentang Konsep Maslahah Dalam Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Skripsi tersebut terdaftar dalam katalog perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2000 SJAS. Skripsi


(23)

tersebut membahas secara lebih spesifik tentang konsep maslahah secara umum di dalam Kompilasi Hukum Islam ditinjau dari kaidah fiqhiyah. Yang mana lebih mengedepankan konsep kaidah fiqih imam malik dalam teori maslahahnya sedangkan maslahah dalam skripsi yang saya tulis lebih spesifik tentang kandungan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam baik melalui teori pengkompromian nilai ataupun kebolehan dalam merumuskannya. Adapun kaitannya judul skripsi tersebut dengan skripsi yang saya tulis adalah Kompilasi Hukum Islam fiqh Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan ummat Islam Indonesia. Ia bukan berupa madzhab baru tapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab satu persoalan fiqh.

2. Pemikiran Maslahah Dan Signifikasi Terhadap Konsep Fiqih Modern, Skripsi tersebut terdaftar dalam katalog perpustakaan utama pada tahun 2005 SJPMH. Skripsi tersebut mengulas pemikiran maslahah secara umum dan signifikansinya terhadap konsep fiqih modern, dilihat dalam berbagai aspek perubahan-perubahan jaman dan realita yang ada khususnya pada masyarakat Indonesia. Pemikiran tersebut lebih kepada ijtihad menghadapi tantangan jaman dengan konsep maslahah. Adapun kaitannya dengan skripsi yang saya tulis skripsi tersebut menguatkan bahwa prosedur poligami adalah bagian dari fiqh yang lahir dalam konteks modern dengan konsep maslahah yang dirumuskan oleh para ulama Indonesia guna mencapai kemaslahatan secara umum.


(24)

E. Metode Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksplanatoris analisis, yaitu suatu penelitian untuk menerangkan, memperkuat atau menguji suatu teori atau hipotesa-hipotesa serta terhadap hasil-hasil penelitian yang ada.23Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini adalah:

a. Study Lapangan (Field Research) untuk memperoleh informasi yang akurat dan obyektif dari tempat penelitian baik dengan observasi langsung maupun dengan menggunakan data-data dalam bentuk resmi dari lembaga pengadilan. Sedangkan tempat penelitian adalah Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

b. Study Pustaka (Library Research) yaitu metode pengumpulan data yang dipergunakan bersama-sama metode lain seperti wawancara, pengamatan (observasi) dan kuesioner.24 Pada tahapan ini penulis mencari landasan teoritis dari rumusan masalah yang ada dan studi kepustakaan merupakan separuh dari keseluruhan aktivitas penelitian.25 pencarian literatur secara umum dengan buku-buku, seminar-seminar ataupun media elektronik yang menunjang pembahasan penulis.

23

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) Cet. Ke 2, h. 9.

24

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek., h. 50.

25

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta, PT. Raja grafindo Persada, 2003) Cet. Ke. 6, h. 113.


(25)

2. Sumber Data a. Data primer

Data primer yaitu bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan.26Diantaranya adalah buku, seminar, laporan penelitian, majalah, disertasi dan seterusnya. Data tersebut di dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan berupa putusan cerai gugat, dan Wawancara terhadap Hakim.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer.27dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran, Hadis, buku-buku ilmiah, Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, UUPA (undang-undang peradilan Agama) No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama, KHI, serta dokumen lainnya.

F. Tekhnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini di lakukan dengan cara : a. Menganalisis terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

26

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum, (Jakarta, Pusat Dokumentasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1986) h. 34.

27

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum, h. 35.


(26)

b. Interview atau wawancara yaitu metode yang dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam pengumpulan data primer di lapangan.28 Yaitu penulis mengadakan dialog langsung dengan responden dalam hal ini adalah hakim, panitra ataupun pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

c. Analisis Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, Dalam menganalisis data penulis menggunakan analisis deskriptif yaitu suatu metode analisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian. Sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.29

d. Tekhnik Penulisan

Dalam penyusunan metode penulisan, semua berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

28

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek., h. 57.

29

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung, Alfabeta, 2007), cet ke-III, h. 244


(27)

G.Sistematika Penulisan

BAB Pertama, Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB Kedua, Tinjauan umum konsep maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam sub bab ini terbagi menjadi Pengertian maslahah mursalah menurut para ulama dan Dasar Hukumnya, syarat-syarat maslahah mursalah untuk bisa dipakai sebagai hujjah, tinjauan maslahah dari segi kepentingan dan kualitas maslahah, ‘illat hukum penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam.

BAB Ketiga, pada sub bab selanjutnya, Sejarah singkat Kompilasi Hukum Islam, Beberapa kandungan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam, Poligami dan perceraian dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif, Teori hukum Islam dalam kebolehan dan Tatanan nilai konsep maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam.

BAB Keempat, Pada bab ini berisikan profil Pengadilan Agama Jakarta Selatan, kasus perceraian dalam kurun waktu 2006/2007 dan Studi analisis putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Mengenai konsep maslahah mursalah pengaruhnya terhadap putusan hakim dalam memutuskan perkara perceraian, diantaranya yaitu dua kasus cerai gugat akibat poligami tahun 2007.


(28)

BAB II

MASLAHAH MURSALAH DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Pengertian dan Dasar Hukum Maslahah Mursalah

Untuk memahami maslahah mursalah secara baik, terlebih dahulu perlu diketahui makna maslahah dalam kajian ushul fiqh. Kata maslahah semakna dengan kata manfaat, yaitu bentuk masdar yang berarti baik dan mengandung manfaat. Maslahah merupakan bentuk mufrod (tunggal) yang jama’nya (plural) mashalih. Dari makna kebahasaan ini dipahami bahwa maslahah meliputi segala yang mendatangkan manfaat, baik melalui cara mengambil dan melakukan suatu tindakan maupun dengan menolak dan menghindarkan segala bentuk yang menimbulkan kemudharatan dan kesulitan.30

Said Ramadhan al-Buthi mendepinisikan Maslahah mursalah adalah:31

! " ﻥ!

ی % ﺡ 'ﻡ

ﻡ)!

*ﻥ!

+ ,

. / ﺕ1ﺕ

2

Artinya: “Al-Maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’i untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu diantaranya.”

30

Said, Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (Beirut: Muassah al-Risalah, 1977), Cet. Ke-3, h. 2.

31Ibid


(29)

Sedangkan Abu Zahrah mendepinisikan maslahah mursalah sebagai berikut :

34 "5 !)

"1

6

ﻡ4"7

ﻡ94

6

9 : 7 !) ; 7 ﺏ < = >ﺹ)

ی5!

2

32

Artinya: “Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang sejalan dengan

maksud syar’i tetapi tidak ada nash secara khusus yang memerintahkan dan

melarangnya.”

Dari depinisi tersebut, tampak yang menjadi tolak ukur maslahah adalah tujuan syara’ atau berdasarkan ketetapan syar’i. Inti kemaslahatan yang ditetapkan syar’i adalah pemeliharaan lima hal pokok (Kulliyat al-Khams). Semua bentuk tindakan seseorang yang mendukung pemeliharaan kelima aspek ini adalah maslahah. Begitu pula segala upaya yang berbentuk tindakan menolak kemudharatan terhadap kelima hal ini juga disebut maslahah.33 Oleh karena itu, al- Ghazali mendepinisikan maslahah sebagai mengambil manfaat dan menolak kemadharatan dalam rangka memelihara tujuan syara’ (Kulliat al- Khams).34

32

Ibid., hal. 2.

33

Firdaus, Ushûl Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Cet. Pertama, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 81.

34

Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî al-ushûl, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1983), Jilid 1, h. 286.


(30)

Sejalan dengan prinsip maslahah sebelumnya, Syatibi menjelaskan bahwa kemaslahatan tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat, karena kedua bentuk kemaslahatan ini selama bertujuan memelihara

Kulliat al-khams, maka termasuk dalam ruang lingkup maslahah.35 Sifat dasar dari

maqasid al-syari’ah adalah pasti, dan kepastian di sini merujuk pada otoritas

maqasid al-syari’ah itu sendiri. Dengan demikian eksistensi maqasid al-syari’ah

pada setiap ketentuan hukum syari’at menjadi hal yang tidak terbantahkan baik yang bersifat perintah wajib ataupun larangan.36

Al-Ghazali mengajukan teori maqasid al-syari’ah ini dengan membatasi pemeliharaan syari’ah pada lima unsur utama yaitu Agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda.37Konsep pemeliharaan tersebut dapat diimplementasikan dalam dua metode: pertama, metode konstruktif (bersifat membangun) dan kedua, metode preventif (bersifat mencegah). Dalam metode konstruktif, kewajiban-kewajiban Agama dan berbagai aktivitas sunat yang baik dilakukan dapat dijadikan contoh dalam metode ini. Sedangkan berbagai larangan pada semua perbuatan bisa dijadikan sebagai contoh preventif kedua metode tersebut bertujuan mengukuhkan elemen maqasid al- syari’ah sebagai jalan menuju kemaslahatan.38

35

Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi, Al-Muwâfâqât fî Ushûl al-Syarî’ah, (Dar ibn Affan, 1997), Cet. Pertama, jilid 2, h. 17-18.

36

Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kotemporer, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gaung Persada Pers, 2007), h. 129.

37

Al- Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî al-ushûl , h. 286.

38Ibid


(31)

Sebagian para ulama menerima dan menggunakan maslahah mursalah dijadikan sebagai dalil sedangkan sebagian lagi menolaknya. Ulama yang tidak menerima maslahah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum, diantaranya adalah ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama menilai imam syafi’i termasuk ulama yang menolak penggunaan maslahah mursalah sebagai dalil karena ketegasannya menolak ‘istihsan dalam pandangan imam Syafi’i berdasarkan atas maslahah.39

Sementara itu, sebagian ulama menerima dan menggunakan maslahah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum. Di antaranya adalah imam Malik dan imam Ahmad. Penggunaan maslahah mursalah sebagai dalil didasarkan pada sejumlah alasan berikut:40

1. Bahwa syari’at Islam diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Demikian pula dengan kebolehan bagi orang yang berada dalam keadaan dharurat atau terpaksa mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan dalam batas tertentu sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan, seperti dijelaskan dalam surat al-Maidah, 5:4 berikut:

!

"

#$%& '()*+

,- *.

/

0

1235

6 ( 789

:

;8

<

=

>? @A*.

B C

?

41

39

Ali Hasballah, Ushûl al- Tâsyrî al-Islâmî, (Kairo: Dar al-Fikr al-arabi, 1997), Cet. Ke-7, h.141.

40Ibid

., h. 141-142.

41Ibid


(32)

Artinya: “Maka barang siapa terpaksa Karena kelaparan tanpa sengaja

berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang.”( Q.S. al- Maidah : 4 )

2. Bahwa kemaslahatan manusia yang berhubungan dengan persoalan duniawi selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Apabila kemaslahatan itu tidak diperhatikan dan diwujudkan tentu manusia akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya. Oleh sebab itu Islam perlu memberikan perhatian terhadap berbagai kemaslahatan dengan tetap berpegang pada prisip-prinsip syariat Islam.

3. Bahwa syar’i menjelaskan alasan (illat) berbagai hukum ditetapkan dengan berbagai sifat yang melekat pada perbuatan yang dikenai hukum tersebut. Apabila dapat diterima, maka ketentuan seperti ini juga berlaku bagi hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahah mursalah. Misalnya firman Allah surat al- Maidah, 5:91:

D0 E

G)H )

(CIJ

8KL

M

N )

O P

Q R2S

TU KV

G

W(

XB(

2/(

K

!

"

H

' )(Y

,Z[ R

(

K

-O \[G]&2) K

2

H (\

^

2 K

U` Tab&

c

-d

e

f g0KL

28 hi2 Qj5

42

Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan

42

Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, Yayasan penyelenggara penterjemah/pentafsir Al-Qur’an, (Bandung, Lubuk Agung, 1989, ) h. 177.


(33)

berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka

berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaanitu)……” ( Q.S. al-Maidah : 91 )

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ‘illat larangan meminum khamar dan judi karena menimbulkan kemudharatan bagi manusia. Kemudharatan itu dapat berbentuk permusuhan, menghalangi manusia dari mengingat Allah untuk melakukan shalat dan perbuatan-perbuatan yang melanggar syari’at lainnya.

B. Metode Analisa Maslahah Mursalah

Sebagaimana halnya metode analisa yang lain, maslahah juga merupakan metode pendekatan istinbat (penetapan hukum) yang persoalannya tidak diatur secara eksplisit dalam al- Qur’an dan al-Hadis. Hanya saja metode ini lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung. Sebagaimana dikemukakan oleh Abd. Karim Zaidan, Maslahah Mursalah adalah kajian hukum dengan mempertimbangkan aspek kemaslahatan serta menghindari kebinasaan, untuk sesuatu perbuatan yang tidak diungkapkan secara ekspisit dalam al-Qur’an,43akan tetapi masih terjangkau oleh prinsip-prinsip ajaran yang diungkapkan secara induktif oleh al- Qur’an dalam satu perbuatan yang berbeda-beda. Dalam konteks ini al-Qur’an tidak berperan sebagai dalil yang menunjukan norma hukum tertentu, tapi menjadi saksi (syahid) atas kebenaran fatwa-fatwa hukumnya

43


(34)

tersebut. Dengan demikian sistem analisa tersebut dibenarkan karena sesuai dengan kecendrungan syari’ dalam penetapan hukumnya.44

Pendekatan maslahah mursalah dalam metode kajian hukum dimulai dengan perumusan kaidah-kaidahnya yang dilakukan melalui sistem analisa induktif terhadap dalil-dalil hukum suatu perbuatan yang berbeda satu sama lain namun memperlihatkan substansi ajaran yang sama. Kesamaan pada dimensi substansinya itulah yang dijadikan premis-premis dalam perumusan induktifnya, sehingga dapat dirumuskan menjadi kaidah-kaidah maslahah mursalah yang merupakan kaidah kulli.45

Husein Hamid Hasan menyimpulkan bahwa sistem analisa maslahah mursalah tiada lain adalah aplikasi makna kulli terhadap furu’ yang juz’i.46sistem analisanya sama dengan sistem analisa qiyas, bahkan lebih kuat dari qiyas, karena pola qiyas adalah menganalogikan furu’ pada asal yang hanya didukung oleh satu ayat atau nash. Sedangkan pada sistem analisa maslahah mursalah hukum asal-nya didukung oleh beberapa ayat atau nash akan tetapi nash atau ayat tersebut bukan dijadikan sebagai dalil terhadap ketetapan hukumnya, namun diambil sebagai makna substansi sebagai premis-premis dalam pengambilan kesimpulan

44

Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum, hal. 68.

45Ibid.,

h. 71.

46

Husein Hamid Hasan, Nazâriyat al-maslahah fî al-fiqh al-Islâmî, Kaherah, Maktabah al-Mutanabbi, 1981, hal. 65-92.


(35)

induktifnya untuk merumuskan kaidah-kaidah kulliyah tentang maslahah mursalah tersebut.47

Pada dasarnya mayoritas ulama ahli ushul menerima pendekatan maslahah dalam metode kajian hukumnya.48 Namun pendekatan ini cendrung telah menjadi identitas fiqih mazhab Maliki, dimana fatwa-fatwa hukum yang dikeluarkan senantiasa beranjak dari pertimbangan kemaslahatan. Ada beberapa argumentasi yang dikemukakan para ulama malikiyah tentang penggunaan pendekatan maslahah dalam metode kajian hukumnya, yaitu: 49

1. Bahwa para sahabat Nabi s.a.w. memperlihatkan sikap orientasi kemaslahatan dalam berbagai tindakan dan perbuatan keagamaannya, seperti menghimpun dan menulis kembali ayat-ayat al-Qur’an secara utuh ke dalam mushaf-mushaf, serta menyebarluaskannya pada masyarakat.

2. Bahwa selama maslahah berjalan selaras dengan maksud syar’i dalam penetapan hukum, maka ia akan sesuai pula dengan kehendak syar’i terhadap para mukallaf.

3. Jika penetapan hukum tidak mempertimbangkan aspek kemaslahatan, maka setiap mukallaf akan menghadapi berbagai kesukaran dalam kehidupannya.

47

Dede Rosyada, Metode Kajian Hukum ., h. 71.

48

Mustafa Zaid, al Maslahat fî al fiqh al-Islâmî wâ najmû al-Dîn al tûfi, Kaherah, Dar al-fikr al- Arabi, 1964, hal. 48.

49


(36)

Sedangkan Mustafa Zaid mengemukakan beberapa argumentasi penggunaan maslahah mursalah dalam kajian hukum, sebagai berikut: 50

1. Bahwa tujuan diturunkannya syari’at adalah agar para mukallaf tidak melakukan suatu tindakan atau perbuatan mengikuti hawa nafsunya, karena jika hawa nafsu yang menjadi landasan perbuatan, maka mereka akan dihadapkan pada mafsadat (kerusakan)

2. Para ulama sepakat bahwa dalam setiap perbuatan dan tindakan selalu terdapat aspek maslahat atau mafsadat. memelihara atau mewujudkan maslahat merupakan bagian terpenting untuk memperoleh kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.

3. Kebanyakan maslahat atau mafsadat dipengaruhi oleh perkembangan kondisional. Oleh karena itu, kajian maslahah harus dilakukan secara kontinyu dengan senantiasa memperhatikan perkembangan kondisi masyarakat.

Menurut al-Syatibi, sebagaimana yang dikutip oleh Husein Hamid Hasan, ada beberapa kaidah yang biasa digunakan oleh para ulama dalam melakukan analisa maslahah mursalah,51yaitu:

1) Hukum perbuatan sama dengan hukum musababnya. Kaidah ini dirumuskan setelah memperhatikan beberapa ketentuan hukum, antara lain Allah s.w.t

50

Mustafa Zaid, al Maslahat fî al fiqh al-Islâmî ., h. 50.

51


(37)

mengharamkan setiap mukallaf untuk mendekati zina (khalwat). Kedudukan hukum khalwat yang merupakan penyebab terjadinya perjinahan, dalam konteks ini, sama dengan hukum perbuatan zina itu sendiri yang merupakan musabab dari khalwat.

2) Mendahulukan kemaslahatan umum daripada kemaslahatan khusus. Kaidah ini dirumuskan dengan memperhatikan beberapa norma hukum antara lain, larangan terhadap orang kota untuk membeli barang produk-produk orang desa di desa mereka, jika orang desa tersebut tidak mengetahui perkembangan harga pasar.

3) Menghindari kemudharatan yang lebih besar, Kaidah ini dirumuskan setelah memperhatikan beberapa ayat yang memerintahkan ummat Islam untuk berjihad di jalan Allah. Meskipun harus melalui peperangan.

4) Memelihara jiwa. Kaidah ini dirumuskan setelah memperhatikan berbagai norma hukum yang mewajibkan orang Islam membayar zakat untuk didistribusikan pada fakir miskin. Secara substansial kaidah tersebut mereflesikan semangat ajaran Islam untuk memelihara jiwa dan kehidupan. 5) Menutup peluang-peluang untuk melakukan tindak kejahatan. Kaidah ini

dirumuskan sebagai implikasi dari kaidah-kaidah maslahah mursalah yang telah dirumuskan di atas.


(38)

C. Syarat Berhujjah Dengan Maslahah Mursalah

Ulama yang menerima maslahah mursalah sebagai dalil untuk menetapkan hukum memberikan beberapa syarat yaitu:52

1. Bahwa kemaslahatan tersebut bersifat hakiki bukan didasarkan pada praduga semata. Tegasnya, maslahat itu dapat diterima secara logika keberadaannya. Sebab, tujuan pensyariatan suatu hukum dalam Islam bertujuan untuk mendatangkan manfaat atau menghilangkan kemudharatan. Hal ini tentunya tidak akan terwujud apabila penetapan hukum didasarkan pada kemaslahatan yang didasarkan pada praduga (wahmiah)

2. Kemaslahatan itu sejalan dengan maqasid syari’ah dan tidak bertentangan dengan nash atau dalil-dalil qath’i artinya, kemaslahatan tersebut harus sejalan dengan kemaslahatan yang ditetapkan syar’i.

3. Kemaslahatan itu berlaku umum bagi orang banyak, bukan kemaslahatan bagi individu atau kelompok tertentu hal ini selaras dengan nash bahwa Islam adalah Agama rahmat bagi semesta alam.

Bagi mereka yang melakukan studi terhadap hukum Islam (fiqh), tentunya akan mengetahui contoh-contoh hukum yang dirumuskan berdasarkan maslahah mursalah, mulai dari periode sahabat, tabi’in sampai pada periode imam madzhab.

52

Wahbah al-Zuhaili, Ushûl al-fiqh al- Islâmî, (Beirut: Daar al-fikr, 2001), Jilid 1, cet. Ke-2, h. 799-800. Abdul wahab Khallaf, ílmû Ushûl al-fiqh, (Kuwait: Dar al-Qolam, 1978), Cet. Ke-12, h. 86-87.


(39)

Berikut ini beberapa contoh pengambilan hukum melalui pendekatan maslahah mursalah:53

Abu Bakar Shiddik melalui pendekatan maslahah mursalah menghimpun lembaran-lembaran bertuliskan ayat-ayat al-Qur’an yang berserakan menjadi satu mushaf,54 dengan berpegang pada prinsip maslahah juga Abu Bakar mengangkat Umar bin Khattab menjadi khalifah kedua setelah wafatnya. Demikian juga halnya Umar bin Khattab membuat undang-undang perpajakan, mengkodifikasikan buku-buku, membangun kota-kota, membangun penjara dan hukuman ta’jir dengan berbagai macam sangsi. Bahkan, Umar Bin Khattab tidak memberikan sangsi pemberlakuan potong tangan bagi pencuri yang mencuri untuk mempertahankan hidupnya pada musim paceklik, serta dengan pertimbangan maslahah mursalah juga Umar Bin Khattab menetapkan 80 kali hukum cambuk sangsi bagi peminum khamar.55

Dengan landasan maslahah mursalah juga, Utsman Bin affan menetapkan warisan bagi istri yang dicerai suaminya yang sakit tidak mendapatkan warisan ketika suami meninggal,56Demikian juga halnya sahabat Muadz Bin Jabal

53

Firdaus, Ushûl Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Cet. Pertama, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 93.

54

Al buthi, Dhawâbît al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-Islîmiyah., h. 353-354.

55Ibid.

, h. 353-354.

56

Yusuf al- Qardhawi, Al-Mâdkhâl fî Dîrâsat al-Syarî’ah al- Islâmiyah, Terjemahan oleh Muhammad Zakki dan Yasir Tajid dalam membumikan syari’at Islam (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), Cet. Ke-1, h. 169.


(40)

mengambil baju buatan Yaman sebagai pengganti dari makanan dalam zakat buah-buahan.57Atas dasar maslahah mursalah pula, para fuqoha’ madzhab Hanafi dan syafi’i serta kelompok Maliki membolehkan membelah perut seorang perempuan yang telah meninggal guna mengeluarkan janinnya, jika ada dugaan kuat melalui medis bahwa janin tersebut akan hidup, meskipun kehormatan mayat harus dipelihara menurut syara’ akan tetapi kemaslahatan menyelamatkan sang janin mengungguli kerusakan terhadap mayit.58

D. Tinjauan Maslahah Mursalah Dari Segi Kepentingan Dan Kualitas

Ditinjau dari segi kepentingan maslahah bagi kehidupan manusia, ahli ushul fiqh membagi maslahah kepada tiga tingkatan.

1. Maslahah Dharuriyat

Kemaslahatan dharuriyat adalah suatu kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia di dunia dan akhirat. Demikian penting kemaslahatan tersebut, apabila luput dalam manusia akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan dalam tatanan kehidupan manusia. Kemaslahatan ini meliputi pemeliharaan Agama, diri, akal, keturunan dan harta. Pemeliharaan kemaslahatan ini dalam bentuk penanaman tauhid seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, puasa, haji dan melaksanakan perintah serta menjauhi larangan Allah. Pemeliharaan diri dan akal manusia dilakukan dalam bentuk makan, minum, berpakaian, bertempat

57Ibid

., h. 170.

58


(41)

tinggal, sedangkan pemeliharaan keturunan dan harta dilakukan dalam bentuk muamalat atapun jinayat dan perintah menegakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. 59

2. Maslahah Hajiyat

Kemaslahatan hajiyat adalah suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan kemaslahatan pokok mereka dan menghilangkan kesulitan yang dihadapi. Termasuk dalam kemaslahatan ini adalah keringanan bagi manusia dalam beribadah, contohnya adalah qashar shalat, kebolehan berbuka puasa bagi orang yang musafir. Dalam bentuk muamalat, keringanan ini terwujud dalam bentuk dibolehkan berburu binatang halal, memakan makan yang baik, kebolehan dalam jual beli (bay’ salam), kerjasama pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqqah). Semua kegiatan ini disyari’atkan oleh Allah guna memudahkan manusia dalam kehidupan dan sekaligus mendukung perwujudan kemaslahatan pokok di atas.60

3. Maslahah Tahsiniyat

Maslahat ini sering disebut maslahat takmiliyat, yaitu suatu kemaslahatan yang bersifat pelengkap dan keleluasaan terhadap kemaslahatan dharuriyat dan hajiyat. Kemaslahatan ini dimaksudkan untuk kebaikan dan kebagusan budi pekerti. Sekiranya, kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan

59

Nasrun Harun, Ushûl fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997), cet. Ke. 116.

60Ibid


(42)

dalam kehidupan, tidaklah sampai menimbulkan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Meskipun demikian kemaslahatan ini tetap dibutuhkan manusia.61

Dengan demikian, dari ketiga maslahat dari segi kepentingan dapat kita simpulkan kemaslahatan dharuriyat harus lebih didahulukan dari hajiyat, dan kemaslahatan hajiyat harus lebih didahulukan dari tahsiniyat.62

Ditinjau dari segi kualitas maslahah ada tidaknya dalil yang mengatur terbagi menjadi tiga macam:63

1. Maslahah al-Mu’tabarah

Maslahah al-mu’tabarah adalah suatu kemaslahatan yang dijelaskan dan diakui keberadaannya secara langsung oleh nash. Misalnya untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia, Islam menetapkan hukuman qisash terhadap pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah, 2: 178:

$ikGKlD 2)

2"m

N=

c

Q25

%a

3 \

O P(CTa2n

o

%&

E(

!

"

?Ta p E(

c

q 2(Y

Hs 2(Y

S

G-t

W(

K

G-/

W(

S

`u 70vw

K

`u 70vw

S

`

!Zx

yL

5

ZzKL

>

u*

/

2t

U

Z

K

W

(

S

KL

K

61

Firdaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, Cet. Pertama, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 84.

62Ibid.

, h. 84.

63


(43)

(C

E

%

<

S

P

/

V ^

}

C

A()K5

~5

-O P

TS ?

}$

? K

P

64

P

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian

itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.”……… ( Q.S.

al-Baqarah 2:178 ) 2. Maslahah al-Mulghah

Maslahah mulghah adalah kemaslahatan yang bertentangan dengan ketentuan nash. Karenanya segala bentuk kemaslahatan seperti ini di tolak syara’. Menurut Abdul Wahab Khallaf, salah satu contoh relevan dengan ini adalah fatwa seorang ulama mazhab Maliki di sepanyol yang bernama Laits ibn sa’ad (94-175) dalam menetapkan kaffarat bagi orang yang melakukan hubungan suami istri pada siang bulan Rhamadhan. Kasus ini terjadi terhadap seorang penguasa di spanyol. Dengan pertimbangan kemampuan seorang penguasa, apabila kaffaratnya memerdekakan budak tentu dengan mudah ia dapat membayarnya sehingga Laits ibn sa’ad menetapkan kaffarat terhadap penguasa tersebut dengan berpuasa dua

64

Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, Yayasan penyelenggara penterjemah/pentafsir Al-Qur’an , (Bandung, Lubuk Agung,, 1989), h. 43.


(44)

bulan berturut-turut.65Kemaslahatan seperti ini dalam pandangan ulama yang disebut dengan maslahah al- mulghah.66

3. Maslahah al-Mursalah

Ada beberapa depinisi maslahah mursalah Dalam pandangan para ulama diantaranya Said Ramadhan al-Buthi mendepinisikan Maslahah mursalah

adalah:67

! " ﻥ!

ی % ﺡ 'ﻡ

ﻡ)!

*ﻥ!

. / ﺕ1ﺕ + ,

Artinya: “Al-Maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar’I untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan harta mereka sesuai dengan urutan tertentu diantaranya.”

Maslahah mursalah ini adalah maslahah yang akan penulis sajikan dalam skripsi ini sebagaimana penulis terangkan di atas.

E. ‘Illat Hukum Penerapan Konsep Maslahah Mursalah Dalam KHI

1) Depinisi ‘Illat Hukum

Secara etimologi, illat berarti nama sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Misalnya, penyakit disebut

65

Khallaf., ílmû Ushûl al-fiqh.,h. 87.

66

Fidaus, Ushul Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam., h. 86.

67


(45)

‘illat karena dengan adanya penyakit kondisi tubuh manusia berubah dari sehat menjadi sakit. Menurut Abd. al-Hakim Abd al-Rahman, ‘illat secara etimologi bermakna “sebab” Meskipun ada yang mengatakan bahwa ‘illat bermakna penyakit, namun pemaknaan sebagai “sebab” hukum jauh lebih relevan, karena secara substansial ‘illat bermakna sebagai penetapan hukum pada furu’. 68

Secara terminology, terdapat beberapa rumusan depinisi ‘illat yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain:

a) Menurut al-Baidawi, sebagian ulama hanafiyah, dan juga sebagian ulama hanabilah, ‘illat al-hukm adalah suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenal bagi suatu hukum. Maksudnya, apabila terdapat suatu ‘illat pada suatu hal maka di situ terdapat hukum, karena dari keberadaan ‘illat itulah hukum itu bisa diidentifikasi. 69

b) Menurut al-Amidi, ‘illat al-hukm adalah suatu sifat yang jelas dan konsisten, dengan menetapkan hukum sesuai dengan sifat tersebut apa yang layak menjadi tujuan penetapan hukum tersebut dapat diperoleh. Baik hukum tersebut berbentuk itsbat maupun nahyi yang bertujuan untuk memperoleh kemaslahatan maupun mencegah kerusakan.70

68

Abd. Al-Hakim Abd al- Rahman, Mâbâ-hîts al-îllât fi al-Qiyâs ‘índâ Usûlîyyîn, Beirut: Dar al-Basya-ir al-Islamiyah, cet.Ke-1,1986, h. 68.

69Ibid.

, h. 70.

70


(46)

c) Menurut Ibn al-Hajib,’illat adalah suatu sifat yang jelas dan konsisten, artinya ketika menetapkan hukum atas dasar sifat tersebut, secara logika, akan diperoleh apa yang akan menjadi tujuan orang-orang yang berakal, baik yang memperoleh kemaslahatan maupun mencegah kerusakan. Jadi, ‘illat merupakan motif dibalik penetapan hukum yaitu kemaslahatan yang menjadi tujuan syari’ah.71

d) Menurut Abdul Wahab Khallaf, ‘illat adalah sifat yang terdapat dalam hukum asal yang digunakan sebagai dasar hukum, yang dengan ‘illat tersebut akan diketahui hukum di dalam furu. Misalnya, memabukan adalah sifat yang ada pada khamar, yang kemudian dijadikan dasar diharamkannya khamar. Dengan ‘illat tersebut maka dapat diketahui haramnya setiap minuman yang memabukan. 72

Sejumlah depinisi di atas menekankan bahwa suatu ‘illat hukum haruslah jelas, konsisten, dan selaras dengan maqasid syari’ah, yaitu membawa kemaslahatan. Adanya ‘illat merupakan sifat yang merupakan petunjuk adanya hikmah.

2) Kriteria ‘Illat Hukum

Tidak setiap yang diduga sebagai ‘illat hukum dapat dijadikan ‘illat hukum. Sesuai dengan definisi ‘illat hukum yang dikemukakan di atas, maka sesuatu yang

71Ibid

., h. 90.

72


(47)

dapat dikatakan sebagai ‘illat hukum apabila telah memenuhi sejumlah kriteria berikut ini:73

a) ‘Illat itu mestilah berupa sifat yang jelas, yakni dapat disaksikan oleh salah satu panca indra. Sebab ‘illat itu gunanya untuk mengenal hukum yang akan diterapkan pada cabangnya (furu), maka ia mesti berupa sifat yang jelas dapat dilihat pada asalnya sebagaimana dilihat pada cabangnya. Misalnya, sifat yang memabukan yang dilihat pada khamar juga mesti dilihat pada perasan yang memabukan sebagai cabang.

b) ‘Illat itu mesti berupa sifat yang sudah pasti artinya ia mempunyai hakikat yang nyata dan tertentu yang memungkinkan untuk mengadakan hukum pada cabang dengan tepat. Karena asal qiyas adalah menyamakan ‘illat hukum pada cabang dengan tepat. Persamaan ini menuntut adanya ‘illat secara pasti, sehingga memungkinkan persamaam hukum antara kedua pristiwa tersebut. ‘Illat mestilah berupa sifat yang sesuai dengan hikmah hukum. Artinya bahwa ‘illat itu menurut dugaan kuat, cocok dengan hikmah hukumnya.

c) ‘Illat itu bukan hanya terdapat pada asal. jadi, ‘Illat itu mesti berupa sifat yang dapat diterapkan pada beberapa masalah selain pada masalah asal tersebut. Sebab maksud mencari ‘illat pada asal itu adalah untuk menerapkannya pada cabang. Oleh karena itu, jika ‘illat tersebut hanya

73Ibid


(48)

diperoleh pada asal saja, maka tidak dapat dijadikan dasar qiyas. Seperti Nabi Muhammad s.a.w. boleh mengawini wanita lebih dari empat orang dan tanpa mahar. Sebab ‘illat dibolehkannya perkawinan seperti itu hanya berlaku khusus bagi beliau sendiri.

Dari uraian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa sifat yang dapat dijadikan ‘illat itu mestilah sifat yang nyata, jelas dan dapat dijangkau nalar.

3). ‘Illat Hukum Dalam Penerapan Maslahah Mursalah KHI

Para ulama sepakat bahwa tujuan Allah s.w.t. mensyari’atkan hukum adalah untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu ada kalanya dalam bentuk mengambil manfaat dan ada kalanya dalam bentuk menolak kerusakan.74 Dalam penerapan konsep maslahah mursalah Kompilasi Hukum Islam penulis berpendapat bahwa hal tersebut termasuk dalam komponen penetapan hukum jenis ‘illat al-munasib al-mursal, yakni bahwa ‘illat untuk sesuatu ketetapan hukum tersebut tidak pernah diungkapkan oleh nash, dan juga tidak ada nash lain yang mengungkapkan ‘illat hukum yang sesuai dengan ketentuan hukum itu. Akan tetapi penetapan hukum tersebut sesuai dengan ketentuan maqasid al-syari’ah. Jika sesuai dengan maqasid al-syari’ah, maka kesesuaian tersebut merupakan ‘illat yang dapat membantu penetapan hukum.75

74

Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kotemporer., h. 96.

75Ibid.


(49)

Penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam menurut penulis bisa dikategorikan ‘illat hukum berdasarkan ijma, sebagaimana dikemukakan oleh Abd. al-Hakim Abd.al-Rahman jika para mujtahid suatu periode tertentu telah sepakat mengenai sebuah ‘illat suatu hukum dengan cara ijma dapat diterima sebagai illat.76Menurut penulis hal ini dapat dianalogikan dalam konteks penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam merupakan hasil ijtihad para ulama Indonesia dengan perumusan 4 metodologi yang diterapkan: pertama, Al-Qur’an dan hadits sebagai sumber utama; kedua, pendapat atau doktrin mahjah hanya sebagai orientasi; ketiga, mengutamakan pemecahan problema masa kini; keempat, metodologi kompromistis.77

Dalam artian metodologi yang dikemukakan oleh Yahya harahap, yakni kebebasan berfikir mencari kebenaran dalam metodologi sejarah, sosiologi dan psikologi, bahwa penetapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam yang meliputi pelarangan menikahi perempuan ahli kitab, pembatasan dengan syarat dalam poligami, perempuan hamil dapat dinikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya, ahli waris pengganti, harta bersama, dan wasiat wajibah bagi anak angkat adalah bagian dari ijtihad ulama Indonesia tanpa terkait pada madzhab tertentu. Dengan kata lain Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan ummat Islam

76

Abd al-Hakim Abd-Rahman., Mâbâ-hîts al-íllât fî al-Qiyas ‘înda Usûlîyyîn, h. 340-341.

77

Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Di Indonesia, Tahun 1995-1996 Jakarta, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, h. 308.


(50)

Indonesia. Ia bukan berupa madzhab baru tapi ia mempersatukan berbagai fiqh dalam menjawab satu persoalan fiqh.78

Dengan demikian dalam konteks penerapan maslahah mursalah dalam Kompilasi Hukum Islam menurut penulis bisa dikategorikan pada ‘illat

al-munasibal-mursal atau ‘illat berdasarkan ijma.

78

A.Basiq Djalil, Pernikahan LintasAgama Dalam PerspektifFiqh dan Kompilasi Hukum Islam, ( Jakarta: Qolbun Salim, 2005),Cet Pertama, h. 84.


(51)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG KHI A.Sejarah Singkat Lahirnya Kompilasi Hukum Islam

Sejarah terbentuknya Kompilasi Hukum Islam mengalami suatu proses yang panjang, karena pada dasarnya kebutuhan akan kompilasi Hukum Islam bagi Peradilan Agama sudah terjadi pada tahun 1985. Hal #$# terbukti dengan adanya surat edaran kepala biro Peradilan Agama nomor B/1/737 tanggal 18 pebruari 1985 tentang pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 45 Tahun 1957 yang mengatur tentang pembentukan Pengadilan Agama/ Mahkamah syari’iyah di luar Jawa dan Madura.79

Di dalam huruf B edaran tersebut dijelaskan sebagai berikut : “Untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara maka para hakim Pengadilan Agama /Mahkamah syar’iyah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab tersebut di bawah ini : 1. Al-Bajuri ; 2. Fathulmuin ; 3. Syarqowi Alat Tahrir ; 4. Qolyubi/Mahalli ; 5. Fathul Wahab dengan syarahnya ; 6. Tuhfah ; 7. Targhibul Musytaq ; 8. Qawanin Syar’iyah Li Sayyid bin Yahya ; 9. Qawanin Syar’iyah Li Sayyid Shadaqah Dahlan ; 10.

79

A.Basiq Djalil, Pernikahan LintasAgama Dalam PerspektifFiqh dan Kompilasi Hukum Islam, ( Jakarta: Qolbun Salim, 2005),Cet Pertama, h.79.


(52)

Syamsuri fil fara’idl ; 11. Bugyatul Mustarsyidin ; 12. Al-fiqhu Ala Madzahibuil Arba’ah ; 13. Mugnil Muhtaj. Dengan menunjukan ketiga belas buku ini maka langkah kearah kepastian hukum semakin nyata.80

Dalam perjalanan sejarahnya sekalipun pada tahun 1973 pemerintah hindia belanda mengeluarkan kewarisan dan kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Madura, Hukum Islam secara de facto tetap menjadi pilihan ummat Islam di Jawa dan Madura dalam menyelesaikan masalah kewarisannya melalui Pengadilan Agama.81

Menurut Yahya Harahap Penunjukan pada ketiga belas kitab itu merupakan langkah ke arah kepastian hukum, karena pada saat itu bahwa praktik penerapan hukum yang semata-mata, mendasarkan penemuan hukum dari sumber kitab-kitab mengarah pada praktik penegakan hukum menurut selera dan persepsi hakim. Ummat Islam Indonesia belum memiliki wujud Islam secara kongkrit dan positif. Yang kita miliki baru berupa “abstraksi” hukum yang substansinya terdapat dalam qur’an dalam bentuk “wahyu matluw” dan sunnah dalam bentuk wahyu “goiru

matluw”.82

80

Team penyusun, Himpunan peraturan perundang-undangan Badan Peradilan Agama Di Indonesia, Proyek pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, Tahun 1976, h.117.

81

A. Basiq Djalil., PernikahanLintasAgamaDalamPerspektifFiqh danKompilasiHukum Islam, h. 80.

82

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta, CV Akademika Pressindo, 2007), Cet ke-5, h. 28.


(53)

Langkah terwujudnya kepastian hukum tentunya bukan hanya sebatas wacana, akan tetapi sudah sampai pada tahapan penyusunan, langkah kongkrit tersebut dapat kita lihat Dengan tahapan sebagai berikut:

a. Tahap I : tahap persiapan

b. Tahap II : tahap pengumpulan data, melalui: 1) Jalur utama

2) Jalur kitab-kitab fiqih

3) Jalur yurisprudensi Peradilan Agama

4) Jalur studi perbandingan di negara lain khususnya di Negara-negara timur tengah.83

c. Tahap III : Tahapan penyusunan rancangan Kompilasi Hukum Islam dari data-data tersebut

d. Tahap VI : Tahap penyempurnaan dengan menggumpulkan masukan-masukan akhir dari para ulama/cendikiawan Muslim seluruh Indonesia yang dirujuk melalui loka karya.84

Penjelasan singkat tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Latar Belakang Gagasan Kompilasi Hukum Islam

Menurut Bustanul Arifin bahwa ide kompilasi hukum Islam timbul setelah berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung (MA) membina teknis yustisial Peradilan Agama.Tugas pembinaan ini berdasar pada

83

Ibid., h. 28.

84


(54)

undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 11 ayat 1 yang menentukan bahwa pengaturan personal keuangan dan organisasi pengadilan-pengadilan yang ada diserahkan kepada Departemen masing-masing. Sedangkan pengaturan teknis yustisial ditangani oleh Mahkamah Agung. Meskipun Undang-undang tersebut telah ditetapkan tahun 1970. Akan tetapi pelaksanaannya dilingkungan Peradilan Agama baru bisa dilakukan pada tahun 1982 setelah ditandatanganinya surat keputusan bersama (SKB) oleh ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama. SKB itu merupakan jalan pintas tanpa menunggu lahirnya Undang-undang pelaksanaan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 di atas untuk Peradilan Agama. Menurut Ismail Suny, pada bulan Maret 1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKB (Surat Keputusan Bersama) ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang membentuk proyek Kompilasi Hukum Islam.85 Selama pembinaan tersebut, dirasakan adanya beberapa kelemahan seperti, hukum Islam yang diterapkan di Peradilan Agama yang masih berbentuk abstraksi hukum. Yaitu, belum ada hukum positif yang dirumuskan secara sistematis sebagai landasan rujukan mutlak. Sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagi lingkungan Peradilan

85Ibid.,


(55)

Agama yang dapat dijadikan pedoman oleh para hakim, untuk menjamin adanya kepastian hukum.86

2) Gagasan Dasar Kompilasi Hukum Islam

a) Untuk dapat berlakunya Hukum (Islam) di Indonesia, harus ada kepastian hukum dan dapat dilaksanakan baik oleh para penegak hukum maupun masyarakat.

b) Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah akan dan sudah menyebabkan:

1. Ketidakseragaman dalam menentukan hukum Islam (ma’anzala Allahu)

2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfidziyah)

3. Tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-undang Dasar 1945, dan perundang-undangan lainnya. c) Dalam sejarah Islam pernah dua kali pada tiga Negara, hukum Islam

diberlakukan sebagai perundang-undangan Negara, yaitu:

1.Di India masa raja An Rijeb yang membuat dan memberlakukan perundang undangan Islam yang terkenal dengan fatwa Alamfiri. 2.Pada kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan nama Majalah Al

Ahkam Al Adliyah.

86 Ibid.,


(56)

3.Di Sudan, tahun 1983 Hukum Islam dikodifikasikan.

Dengan dibatasinya hanya 13 buah kitab kuning dari kitab-kitab yang selama ini dipergunakan di Pengadilan Agama, merupakan upaya kearah kesatuan dan kepatian hukum yang sejalan dengan yang dilakukan ketiga Negara tersebut. Hal tersebut mendorong munculnya gagasan penyusunan Kompilasi Hukum Islam sebagai buku hukum bagi Pengadilan Agama.87 d) Landasan Yuridis

Undang-undang no.14/ 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman pasal 20 ayat (1) yang berbunyi : “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dan di bawah fiqh ada kaedah yang mengatakan bahwa: “Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat dan keadaan.

Keadaan masyarakat selalu berubah, ilmu fiqh sendiri selalu berkembang karena mempergunakan metode-metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Di antara metode tersebut adalah maslahah mursalah, istihsan, uruf dan lain-lain.

e) Landasan Fungsional

87

A. Basiq Djalil, PernikahanLintasAgamaDalamPerspektifFiqhdanKompilasiHukum Islam, h. 83.


(57)

Kompilasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia, ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan ummat Islam Indonesia. Ia bukan berupa madzhab baru tapi dia mempersatukan berbagai fiqih dalam menjawab persoalan fiqh. Ia mengarah pada unifikasi madzhab dalam hukum Islam. Dalam sistem hukum Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional Indonesia.88

3) Realisasi Kompilasi Hukum Islam

Tahapan selanjutnya dalam proses pembentukan Kompilasi Hukum Islam adalah penyusunan yang dilaksanakan oleh sebuah tim pelaksana proyek dengan SKB Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985 dan No.25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985.

Di dalam SKB tersebut ditentukan para pejabat Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan Peradilan Agama. Disamping ada pelaksana bidang kitab /yurisprudensi, bidang wawancara dan bidang pengumpul dan pengolah data. Jangka waktu pelaksanaan proyek ditetapkan selama 2 tahun terhitung sejak ditetapkannya SKB. Dan tata kerja serta jadwal waktu proyek telah ditetapkan sebagai lampiran dari SKB. Sedang biaya dibebankan kepada dana bantuan

88

Team penyusun, Himpunan peraturan perundang-undangan Badan Peradilan Agama Di Indonesia, h. 142.


(58)

yang diperoleh dari pemerintah, Keppres No.191/SOSRROKH/1985 (Bantuan Presiden RI) dan No.068/SOSROKH/1985.89

Tugas pokok proyek adalah melaksanakan usaha pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi hukum Islam. Sasarannya mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum nasional. Proyek pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi dilakukan dengan cara:

a. Pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan penelaahan/pengkajian kitab-kitab

b. Wawancara dilakukan dengan para ulama

c. Loka karya dengan maksud seminar sebagai hasil penelaahan dan pengkajian kitab-kitab dan wawancara

d. Sdudi perbandingan dengan maksud untuk meperoleh sistem/kaidah-kaidah hukum/seminar satu sama lainnya dengan jalan perbandingan terhadap Negar-negara Islam lainnya.90

1. Penelitian

Penelitian dilakukan melalui empat jalur :91

89

A. Basiq Djalil, PernikahanLintasAgamaDalamPerspektifFiqhdanKompilasiHukum Islam, h. 85.

90Ibid


(59)

a. Jalur penelitian kitab

1) Pokok Hukum Materiil yang diteliti ada 160 masalah dalam bidang hukum keluarga (perkawinan, kewarisan, wasiat, Hibah, dan wakaf, serta shadakah):

2) Kitab yang diteliti sebanyak 38 kitab; dan

3) Penelitian kitab-kitab tersebut dilakukan oleh 10 IAIN dalam waktu 3 bulan, mulai tgl 7 Maret sampai 21 juni 1985.92

4) Penelitian kitab-kitab tersebut diolah lebih lanjut oleh tim proyek bagian pelaksanaan bidang kitab dan yurisprudensi.

b.Wawancara

1) Pokok masalah yang telah disusun dan disajikan sebagai bahan wawancara dimuat dalam sebuah buku guide questioner berisi 102 masalah dalam bidang hukum keluarga (perkawinan) kewarisan wasiat dan hibah serta wakaf);

2) Wawancara dilakukan di 10 lokasi Pengadilan Tinggi Agama.93

91

A. Basiq Djalil, PernikahanLintasAgamaDalamPerspektifFiqh danKompilasiHukum Islam, h. 88.

92

IAIN Arraniri Banda Aceh 6 kitab ; IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 6 kitab; IAIN Antasari Banjar Masin 6 kitab ; IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta 5 kitab ; IAIN Sunan Ampel Surabaya 5 kitab ; IAIN Alaudin Ujung Pandang 5 kitab ; dan IAIN Imam Bonjol Padang 5 kitab, Ibid., h. 88.

93

Di Banda Aceh 20 orang ulama; Medan 19 ulama; Padang 20 ulama; Palembang 20 ulama; Bandung 20 ulama; Surakarta 20 ulama; Surakarta 18 ulama; Banjar masin 20 ulama; Ujung pandang 19 ulama; Mataram 20 ulama. Ibid., h. 88.


(60)

c. Penelitian yurisprudensi dilaksanakan oleh direktorat pembinaan badan Peradilan Agama Islam terhadap putusan Peradilan Agama yang telah dihimpun dalam 15 buku.

d. Studi Perbandingan

1) Studi perbandingan dilaksanakan di timur tengah yaitu di Negara-negara :

a) Maroko b) Turki c) Mesir

2) Studi perbandingan dilaksanakan oleh unsur Mahkamah Agung dan departemen Agama:

3) Banyak pihak yang dihubungi di Negara Maroko, Turki, dan Mesir.94

2. Pengolahan Data Hasil Penelitian

a. Hasil penelitian bidang kitab, yurisprudensi, wawancara dan studi perbandingan diolah oleh Tim Besar Proyek Pembinaan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi yang terdiri dari seluruh pelaksana proyek ;

b. Hasil dari Rumusan Tim Besar dibahas dan diolah lagi dalam sebuah tim kecil yang merupakan Tim Inti yang berjumlah 10 orang. Setelah

94

A. Basiq Djalil, PernikahanLintasAgamaDalamPerspektifFiqh danKompilasiHukum Islam, h. 89.


(61)

mengadakan sebanyak 20 kali rapat, akhirnya TIM Inti dapat merumuskan dan menghasilkan 3 buku naskah rancangan Kompilasi Hukum Islam yaitu :

1) Hukum Perkawinan ; 2) Hukum Kewarisan ; 3) Hukum Wakaf ;

Rancangan tersebut selesai disusun dalam kurun waktu 2 tahun 9 bulan yang telah siap dilokakaryakan. Sehingga pada tanggal 29 Desember 1987 secara resmi rancangan tersebut oleh pimpinan proyek diserahkan kepada Ketua Mahakamah Agung RI dan Menteri Agama RI.95

3. Lokakarya

Pada tanggal 2-6 Februari 1988 lokakarya dilaksanakan bertempat di Hotel Kartika Candra Jakarta selama 2 hari yang dihadiri 124 orang. Lokakarya tersebut dibuka oleh Ketua Mahkamah Agung dan ditutup oleh Menteri Agama.

Pelaksanaan pembahasan naskah rancangan dibagi dalam dua instansi yaitu sidang komisi dan sidang pleno yang dihadiri oleh seluruh peserta melakukan perbaikan umum, dan mengesahkan hasil lokakarya. Adapun sidang komisi terdiri dari :

a. Komisi Hukum Perkawinan ;96

95Ibid.,


(1)

B. Saran-Saran

1. Dirasakan perlu sosialisasi melalui media-media cetak, seminar-seminar, ataupun pengajian majelis ta’lim tentang Kompilasi Hukum Islam secara utuh mengenai muatan-muatan yang terkandung di dalamnya ataupun segala sesuatu yang berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam, Karena rendahnya kesadaran dan terbatasnya pengetahuan tentang hukum dalam masyarakat. Pemahaman tentang Kompilasi Hukum Islam secara menyeluruh akan didapatkan dengan pemahaman terhadap dua hal. Pertama, pemahaman melalui pendekatan yang digunakan Kompilasi Hukum Islam; Kedua, pemahaman tentang metodologi yang digunakan dalam penyusunannya. 2. Diharapkan kepada akademisi untuk memberikan penyuluhan-penyuluhan

hukum kepada masyarakat melalui media elektronik seperti radio ataupun media cetak baik dalam bentuk artikel, majalah, dan media cetak lainnya guna menumbuhkan kesadaran hukum, khususnya pada permasalahan poligami yang dilakukan secara illegal. Dalam lembaga peradilan Agama kiranya perlu mendidik secara khusus mediator-mediator handal dari kalangan hakim atau ahli bidang keilmuan lainnya seperti psikolog, sosiolog untuk mengoptimalkan mediasi guna meminimalisir angka perceraian.

3. Kompilasi Hukum Islam perlu disosialisasikan dengan memasukan ke dalam kurikulum sekolah Tsanawiyah dan Aliyah.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aulawi, Wasit, Arsosastroatmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Arto , A.Mukti, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet. Ke-4, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta. Akademika Pressindo, 1997 Al Bukhori, Shahihal-Bukhori, jilid II, Istanbul : almaktabahalIslami”. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, b Thalaq, Beirut, Dar Ibn Hazm.

Amin, Ma’ruf, Fatwa Dalam Sistim Hukum Islam, Jakarta: eLSAS, 2008.

Buthi, Said Ramadhan al-, Dhawabit al- maslahah fi al syari’ah al Islamiyah, Cet. Ke-3, Beirut: Muassah al- Risalah, 1977.

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke -2, 2006.

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, Cet. Ke.- 6, 2003.

Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemahnya, Yayasan penyelenggara

penterjemah/pentafsir Al Qur’an, Cet. Keenam, Bandung,CV Diponegoro, 2005.

Departemen Agama RI, Al-Qurandanterjemahnya, Yayasan penyelenggara penterjemah/pentafsir Al-Qur’an , Bandung, Lubuk Agung, 1989.

Djalil, Basiq, H. A., Drs., S.H.,MA., Pernikahan lintas Agama dalam Perspektif fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, Cet. Pertama, Penerbit: Qolbun Salim, Jakarta, 2005.

Daud Ali , Muhammad, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Cet. Ke-2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

DEKDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. kedua, edisi kedua, 1994.


(3)

Ka’bah , Rifyal, HukumIslamdiIndonesia, Cet. Pertama, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999.

Kamal, Abu Malik, Fiqh Sunnah Wanita, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007.

Khalaf, Abd al- wahab, Ilmu Ushul Al-fiqh, Cet. Ke-12, Kairo : Dar al- Qolam, 1978. Manan , Abdul, H, DR., S.H., S.ip.,M.Hum.,EtikaHakimDalamPenyelenggaraan

Peradilan Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam, Cet. Pertama, Penerbit: Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.

______, ReformasiHukumIslamDiIndonesia, Cet.Pertama, Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Nuruddin, Amiur dan Akmal A Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih UU No 1 /1974 Sampai KHI,

Jakarta : PT. Prenada Media, 2004.

Raji Abdullah, M. Sufyan, Poligami dan eksistensinya, Jakarta: CV. Cahaya Esa, 2004.

______, Peradilan Agama Di Indonesia,Cet ke-1, Jakarta. Kencana, 2006.

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Cet. Ke-3, Bandung, Alfabeta, 2007.

Soeroso, R, Praktek Hukum Acara Perdata, Cet ke-5, Jakarta: Sinar Grafika, 2003. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, Cet ke-27,

1995.Muhammad, Abd Kodir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet VIII, Bandung. PT. Citra Aditya Bakti, 2002.

Syarifuddin, Amir, Ushul fiqh, Jilid 2, Jakarta : Logos, 1999.

______, Hukum Kewarisan Islam, Cet ke- 1, Jakarta: Prenada Media, 2004. ______,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, Cet ke-2, Jakarta, Prenada Media, 2007. Syatibi, abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa Ibn Muhammad, al Muwafaqat fi Ushu al-


(4)

Team Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, KompilasiHukum Islam di

Indonesia, Direktorat pembinaan Badan Peradilan Agama, Tahun 1991/1992. Umar, Hasbi, M, Nalar Fiqh Kotemporer, Cet Ke- 1, Jakarta : Gaung Persada Pers,

2007.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang UU Pokok Perkawinan (UUP). Undang-Undang No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No.3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Yahya Harahap, Muhammad, Kedudukan Kewenangan Dalam Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini, Cet ke-1 1990.

_____,Kompilasi Hukum Di Indonesia, Jakarta, Jakarta, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Tahun 1995-1996.

Zalikha, Siti, dkk, Wanita dan Islam,Cet. Ke-1, Penerbit Lapena: Banda Aceh, 2006. Zuhaili, Wahbah, al ushu al Fiqh al Islami, Jilid 1, Cet ke- 2, Beirut : Dar al Fikr,

2001.

Zein, Satria Efendi M., Ushul Fiqh, Jakarta : t.p. 1997.

______,Problematika Hukum Keluarga Islam Kotemporer Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Cet ke-1, Jakarta, Prenada Media, 2004. Zein Muhammad, Efendi Satria, Problematika Hukum Keluarga, Cet ke-4, Jakarta:


(5)

(6)