36
dapat saling tolong-menolong, contohnya rukun tetangga, rukun warga, dan arisan.
c. Paguyuban karena jiwa fikiran gemeinschaft of mind, yang merupakan suatu Gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tidak
mempunyai hubungan darah atau tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan tetapi mereka mempunyai jiwa dan fikiran yang sama dan ideologi yang
sama. Paguyuban semacam ini biasanya ikatannya tidak sekuat paguyuban karena darah atau keturunan.
Dari teori yang dikemukakan Ferdinand Tonnies tersebut terlihat bahwa hubungan masyarakat saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya baik itu
dari ikatan darah, keluarga, maupun saudara jauh. Begitu juga dengan lembaga Ikatan Persaudaraan Muslim Socfindo IPMS yang berperan sebagai suatu
kelompok sosial dalam bidang keagamaan yang dapat mendekatkan masyarakat perkebunan dari berbagai status sosial dan ekonominya.
2.3. Masyarakat Perkebunan
Sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia memang sangat ditentukan oleh politik kolonial penjajah, terutama Belanda. Kebijaksanaan-
kebijaksanaan yang diterapkan dari waktu ke waktu telah mewarnai wajah perkebunan di Indonesia hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini. Dimulai
dari sejak berkuasanya VOC yang menerapkan sistem monopoli dan pungutan paksa terhadap usaha kebun di Indonesia, kemudian Daendels dan Raffles dengan
pandangan liberal, disusul kemudian oleh berkuasanya Gubernur Jenderal Van den Bosch yang menerapkan sistem tanam paksa dalam mengembangkan
37
perkebunan di Indonesia, hingga dikeluarkannya Agrarische wet tahun 1870 Mubyarto, 1992:16.
Kehadiran perkebunan kelapa sawit berpengaruh terhadap perubahan pola pekerjaan, yang diikuti dengan peningkatan penghasilan masyarakat. Konsekuensi
lain adalah berpengaruh terhadap pola hidup dan hubungan sosial yang ditandai dengan pergeseran berbagai irama kehidupan, perubahan pola interaksi sosial
yang sederhana dan bercorak lokal berubah ke pola interaksi yang kompleks serta menembus batas pedesaan, bertambahnya penduduk sehingga berbagai pola
kehidupan saling mempengaruhi. Secara umum pembagian tenaga kerja perkebunan dibedakan dalam empat
golongan yaitu administratur, pegawai staf, pegawai nonstaf, dan terakhir adalah buruh perkebunan. Dalam struktur organisasi perkebunan terdapat pembagian
tugas yang jelas dengan penempatan tenaga kerja menurut golongan. Pengelompokan berdasarkan perbedaan bangsa, warna kulit dan ras, ternyata juga
sangat mewarnai startifikasi pekerja perkebunan. Di dalam pengelompokannya, kelompok pertama selalu terdiri dari pegawai berkebangsaan Belanda dan Inggris
serta beberapa orang Cina, sedangkan kelompok di bawahnya adalah pegawai pribumi. Pejabat administratur, pegawai staf dan nonstaf perkebunan biasanya
termasuk dalam kelompok pertama, sedangkan bangsa pribumi senantiasa hanya menempati posisinya sebagai buruh rendahan. Dalam satu unit perkebunan,
tanggung jawab terbesar dipegang oleh seorang administratur. Sebagai pucuk pimpinan, administratur dibantu oleh seorang penasihat dan kontrolir yang lazim
disebut pegawai staf karena kedudukan mereka yang tidak terjun langsung mengawasi aktifitas di kebun. Seorang kontrolir membawahi beberapa kepala
38
bagian antara lain kepala bagian tanaman, bagian teknik, bagian pabrik dan staf administrasi, yang masih termasuk pegawai staf. Masing-masing kepala bagian
membawahi seorang asisten yang langsung diberi wewenang di lapangan. Dalam melaksanakan tugas dan pengawasan langsung di lapangan, seorang asisten
dibantu oleh beberapa orang mandor sesuai dengan jenis-jenis pekerjaan mereka, misalnya mandor tanam, panen, pengolahan, sortasi, pengepakan, dan sebagainya.
Lapisan terbawah dalam hirarki perkebunan adalah para buruh, baik buruh kebun maupun buruh pabrik. Di samping itu di setiap perkebunan dipekerjakan polisi-
polisi khusus penjaga perkebunan yang bertanggung jawab langsung dengan kontrolir. Para mandor biasanya adalah penduduk pribumi yang berasal dari
keluarga penguasa desa yang bekerja di perkebunan Mubyarto, 1992:115-116. Dalam tradisi kolonialis, sistem ini memang sengaja dibangun untuk
mengefektifkan proses produksi dan untuk mengakumulasikan keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sistem semacam ini merupakan perpaduan antara sistem
kapitalisme yang menghambakan pada pemupukan modal dan sistem feodalisme yang menghambakan ketaatan pada sang penguasa. Sistem masyarakat semacam
ini masih banyak menjadi fenomena di masyarakat perkebunan sekarang ini. Tidak banyak perubahan yang terjadi secara signifikan dalam masyarakat
perkebunan dari masa kolonial hingga sekarang. Secara geografis mereka terisolir, akses untuk informasi dan pendidikan sangat minim. Pagar pembatas atau palang
pintu untuk masuk dan keluar perkebunan dijaga ketat oleh security. Letak perumahan yang masih sangat membedakan antara kelas administratur dengan
buruh perkebunan. Perilaku elit adiministratur yang kurang manusiawi yang masih memandang rendah dan sebelah mata para golongan kaum buruh.
39
2.4. Defenisi Konsep