Daun X sebagai Alternatif Upaya Penanganan Diabetes Melitus Tipe 1

(1)

DAUN X SEBAGAI ALTERNATIF UPAYA PENANGANAN DIABETES MELITUS TIPE I

Oleh :

R. WINNY GUNANTIANI DEWI F24101057

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

DAUN X SEBAGAI ALTERNATIF UPAYA PENANGANAN DIABETES MELITUS TIPE I

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh :

R. WINNY GUNANTIANI DEWI F24101057

Dilahirkan pada tanggal 19 Juni 1982 Di Matsumoto, Jepang

Tanggal lulus :

Menyetujui, Bogor, Januari 2006

Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Dosen Pembimbing I

Dr. drh. Tutik Wresdiyati Dosen Pembimbing II


(3)

Ketua Departemen ITP

R. Winny Gunantiani Dewi. F24101057. Daun X Sebagai Alternatif Upaya Penanganan Diabetes Melitus Tipe I. Dibawah bimbingan: Made Astawan dan Tutik Wresdiyati. 2006.

RINGKASAN

Diabetes melitus adalah suatu kondisi dimana pankreas tidak menghasilkan insulin yang cukup bagi tubuh atau berhenti menghasilkan insulin sama sekali. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat diserap oleh sel-sel tubuh yang membutuhkan energi. Diabetes melitus memiliki beberapa tipe, yaitu tipe I, tipe II, gestational diabetes dan beberapa tipe lainnya (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang belum memiliki rangkaian penanganan yang dapat menyembuhkan secara permanen. Biaya dan ketidakpatuhan penderita terhadap diet atau jadwal minum obat menjadi kendala yang cukup berat dalam penanganan diabetes melitus. Oleh karena itu, WHO sejak tahun 1980 merekomendasikan penggunaan tanaman-tanaman berkhasiat obat sebagai alternatif cara dalam penanganan diabetes melitus agar kualitas hidup penderita menjadi lebih baik. Daun X merupakan salah satu tanaman yang dipercaya secara tradisional memiliki aktivitas anti-hiperglikemik.

Tujuan penelitian ini adalah (1) menguji aktivitas hipoglikemik daun X, sekaligus sebagai pembuktian secara ilmiah dari khasiat tradisional daun X sebagai ramuan penyembuh diabetes melitus tipe I, (2) mengevaluasi pengaruh pemberian ekstrak daun X dalam berbagai tingkatan dosis terhadap kadar glukosa darah pada tikus percobaan diabetes melitus tipe I, dan (3) mendapatkan gambaran histologi pulau Langerhans dan jumlah sel pada jaringan pankreas tikus diabetes melitus tipe I akibat pemberian ekstrak daun X.

Penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Dalam penelitian pendahuluan dilakukan ekstraksi daun X menjadi tepung ekstrak daun X dan dilakukan analisis proksimat terhadap tepung ekstrak daun X dan ransum pelet. Dalam penelitian utama dilakukan pengujian aktivitas hipoglikemik ekstrak daun X terhadap penurunan glukosa darah tikus diabetes melitus.

Kondisi diabetes pada tikus percobaan diciptakan melalui induksi alloxan secara intraperitoneal dengan dosis 100 mg/kg bobot tikus (Kesenja, 2005). Tikus percobaan dibagi menjadi delapan kelompok, yaitu kontrol negatif (tanpa induksi alloxan, tanpa pemberian ekstrak daun X), kontrol positif (dengan induksi alloxan, tanpa pemberian ekstrak daun X), kelompok diabetes yang diberi perlakuan ekstrak daun X sebanyak 8 mg/ekor/hari (kelompok A), 16 mg/ekor/hari (kelompok B), 32 mg/ekor/hari (kelompok C), 64 mg/ekor/hari (kelompok D) dan 128 mg/ekor/hari (kelompok E) serta kelompok diabetes yang diberi perlakuan obat diabetes komersial (kelompok F).

Pemberian ekstrak daun X atau obat selama 30 hari berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar glukosa darah hari ke-28, peningkatan jumlah pulau Langerhans per lapang pandang 30 hari dengan pembesaran 100x luasan pulau Langerhans per lapang pandang 30 hari dengan pembesaran 400x, dan peningkatan jumlah sel per lapang pandang 30 hari dengan pembesaran 100x


(4)

dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Dosis yang rendah memberikan hasil yang lebih konsisten dan positif. Dosis 8 mg ekstrak daun X per hari merupakan dosis yang optimum untuk memberikan kesembuhan pada tikus yang menderita diabetes melitus.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Matsumoto, Jepang pada tanggal 19 Juni 1982 dari pasangan Bapak Wisnu Gunarso (Alm.) dan Ibu Dewi Murtianingsih, merupakan putri pertama dari tiga bersaudari. Pendidikan dasar penulis diselesaikan di SD Regina Pacis Bogor pada tahun 1995. Pendidikan lanjutan pertama penulis diselesaikan pada tahun 1998 di SLTP Regina Pacis Bogor. Tahun 2001, penulis lulus dari SMU Regina Pacis Bogor dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

Selama kuliah penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan dan kegiatan organisasi, baik tingkat departemen maupun institut, diantaranya sebagai anggota HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan), ketua Science and Technology Department dalam Food Chat Club (2004-2005) dan sebagai Deputy Chairperson dalam IPB Debating Community (2004-2005).

Prestasi penulis semasa kuliah adalah beberapa kali menjuarai lomba karya tulis bahasa Inggris tingkat IPB maupun tingkat nasional dan pernah terpilih menjadi salah satu pemakalah dalam konferensi pangan tingkat nasional (2003). Penulis juga beberapa kali mewakili IPB dalam kejuaraan debat bahasa Inggris antar universitas antara tahun 2004-2005, baik sebagai peserta maupun juri.

Penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PT. Indokom Samudra Persada, Lampung dengan judul laporan Aspek Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Udang Beku di PT. Indokom Samudra Persada, Lampung. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi yang berjudul Daun X Sebagai Alternatif Upaya Penanganan Diabetes Melitus Tipe I.


(6)

KATA PENGANTAR

Ahamdulillahirabbilalamin. Penulis menghaturkan syukur dan berterima kasih ke hadirat Allah SWT yang telah memberi waktu, kesehatan, dan kesempatan untuk menimba ilmu di kampus IPB serta dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang berjudul Daun X Sebagai Alternatif Upaya Penanganan Diabetes Melitus Tipe I.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan dan ketulusan hati penulis menyadari selama kegiatan penelitian berlangsung telah banyak menerima bantuan, baik materil maupun spirituil. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. selaku Pembimbing I atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis, juga atas bantuan dana penelitian yang telah diberikan serta dalam pengadaan sampel (daun X).

2. Dr. drh. Tutik Wresdiyati selaku Pembimbing II atas kesabaran, bimbingan dan kebaikan dalam memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga bagi penulis.

3. Ir. Sri Widowati, MAppSc. selaku dosen penguji dari Balai Penelitian Pasca Panen yang bersedia memberikan berbagai masukan yang sangat bermanfaat bagi perbaikan tulisan ini.

4. Alm. Papa, Mama, Onya dan Baby tercinta atas limpahan doa, nasehat, dukungan, pengorbanan dan kasih sayangnya yang begitu indah yang selalu menyertai penulis sampai kapanpun.

5. Keluarga Oom Djoko Ismujono beserta Tante Tety dan keluarga yang senantiasa memberikan dukungan yang tak henti-hentinya, baik materiil maupun spirituil.

6. Rio Armindo atas perhatian, dorongan semangat, dukungan, pengorbanan dan doanya yang tulus.

7. Ibu Waysima dan Ibu alumni yang senatiasa menjadi tumpuan harapan penulis dalam susah dan senang.


(7)

8. Ibu Dewi, Miss Sherly dan seluruh keluarga besar Kinderfield dan Mutiara Montessori School atas pengertian, kebaikan hati dan dukungannya selama ini.

9. Bapak Adi Winarto dan Bapak I Ketut M. Adnyane untuk bantuan dan keramahannya selama penulis melakukan penelitian di Laboratorium Histologi, FKH.

10.Pak Adi, Pak Ganda, Pak Wahid, Pak Sobirin, Ibu Rubiyah, Pak Rojak, Teh Ida dan semua keluarga laboran TPG-IPB atas bantuan yang diberikan selama penulis menjalankan penelitian.

11.Evi Nurdin, teman seperjuangan yang selalu tabah dan menyenangkan.

12.Kakak-kakakku yang baik, Bang Pandi dan Mbak Reni yang banyak membantu penulis.

13.Teman-teman terbaikku, Eva, Wewen, Hendry, Aria, dan juga semua teman-teman TPG 38, terutama golongan B, atas semua kebersamaan yang berharga dan dukungannya selalu.

14.Semua pihak-pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu atas dukungannya selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Januari 2006


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Diabetes Melitus ... 4

B. Kadar Glukosa Darah ... 7

C. Tanaman Obat Untuk Terapi Diabetes Melitus ... 8

D. Insulin ... 10

E. Pankreas ... 13

F. Alloxan ... 15

G. Analisis Histologi ... 17

H. Tikus Sprague-Dawley ... 21

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 23

A. Bahan ... 23

B. Alat ... 24

C. Metode Penelitian ... 25

1. Penelitian Pendahuluan ... 25

a. Pembuatan tepung ekstrak daun X ... 25

b. Analisis fisiko kimia ... 25

2. Penelitian Utama ... 30

a. Masa adaptasi hewan percobaan ... 31

b. Injeksi Alloxan ... 31

c. Seleksi tikus dan kelompok perlakuan ... 31


(9)

e. Pengukuran bobot tubuh ... 33

f. Pengukuran jumlah konsumsi ransum pelet ... 33

g. Pembedahan tikus ... 34

h. Analisis kolesterol serum ... 34

i. Analisis hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) ... 35

j. Analisis histologi jaringan pankreas ... 35

k. Pengamatan dan pemotretan ... 41

D. Rancangan Percobaan ... 42

E. Waktu dan Tempat Penelitian ... 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Penelitian Pendahuluan ... 43

1. Tepung Ekstrak Daun X ... 43

2. Analisis Proksimat Ransum Pelet Dan Tepung Ekstrak Daun X.. 44

B. Penelitian Utama ... 45

1. Aktivitas Hipoglikemik Tepung Ekstrak Daun X ... 45

2. Konsumsi Ransum dan Perubahan Bobot Tubuh Tikus ... 51

3. Analisis Kolesterol Lengkap Serum Darah Tikus ... 54

4. Analisis Hemoglobin Terglikosilasi (HbA1c) ... 56

5. Analisis Histologi Jaringan Pankreas ... 57

a. Pengamatan terhadap jaringan pankreas tikus 30 hari ... 58

b. Pengamatan terhadap jaringan pankreas tikus 60 hari ... 65

V. KESIMPULAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Tanaman-tanaman obat berkhasiat untuk diabetes melitus ... 33 Tabel 2. Prosedur analisis kolesterol lengkap ... 35 Tabel 3. Hasil analisis proksimat ransum pelet dan tepung ekstrak

daun X ... 45 Tabel 4. Hasil uji statistik kadar glukosa darah masing-masing kelompok

berdasarkan periode ... 50 Tabel 5. Konsumsi ransum dan kenaikan bobot tubuh tikus ... 52 Tabel 6. Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL, dan LDL Serum Tikus

Percobaan ... 55 Tabel 7. Kadar HbA1c tikus percobaan ... 57 Tabel 8. Jumlah, luasan pulau Langerhans dan jumlah sel tikus 30 hari .. 59 Tabel 9. Jumlah, luasan pulau Langerhans dan jumlah sel tikus 60 hari .. 64


(11)

DAUN X SEBAGAI ALTERNATIF UPAYA PENANGANAN DIABETES MELITUS TIPE I

Oleh :

R. WINNY GUNANTIANI DEWI F24101057

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

DAUN X SEBAGAI ALTERNATIF UPAYA PENANGANAN DIABETES MELITUS TIPE I

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh :

R. WINNY GUNANTIANI DEWI F24101057

Dilahirkan pada tanggal 19 Juni 1982 Di Matsumoto, Jepang

Tanggal lulus :

Menyetujui, Bogor, Januari 2006

Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Dosen Pembimbing I

Dr. drh. Tutik Wresdiyati Dosen Pembimbing II


(13)

Ketua Departemen ITP

R. Winny Gunantiani Dewi. F24101057. Daun X Sebagai Alternatif Upaya Penanganan Diabetes Melitus Tipe I. Dibawah bimbingan: Made Astawan dan Tutik Wresdiyati. 2006.

RINGKASAN

Diabetes melitus adalah suatu kondisi dimana pankreas tidak menghasilkan insulin yang cukup bagi tubuh atau berhenti menghasilkan insulin sama sekali. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat diserap oleh sel-sel tubuh yang membutuhkan energi. Diabetes melitus memiliki beberapa tipe, yaitu tipe I, tipe II, gestational diabetes dan beberapa tipe lainnya (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang belum memiliki rangkaian penanganan yang dapat menyembuhkan secara permanen. Biaya dan ketidakpatuhan penderita terhadap diet atau jadwal minum obat menjadi kendala yang cukup berat dalam penanganan diabetes melitus. Oleh karena itu, WHO sejak tahun 1980 merekomendasikan penggunaan tanaman-tanaman berkhasiat obat sebagai alternatif cara dalam penanganan diabetes melitus agar kualitas hidup penderita menjadi lebih baik. Daun X merupakan salah satu tanaman yang dipercaya secara tradisional memiliki aktivitas anti-hiperglikemik.

Tujuan penelitian ini adalah (1) menguji aktivitas hipoglikemik daun X, sekaligus sebagai pembuktian secara ilmiah dari khasiat tradisional daun X sebagai ramuan penyembuh diabetes melitus tipe I, (2) mengevaluasi pengaruh pemberian ekstrak daun X dalam berbagai tingkatan dosis terhadap kadar glukosa darah pada tikus percobaan diabetes melitus tipe I, dan (3) mendapatkan gambaran histologi pulau Langerhans dan jumlah sel pada jaringan pankreas tikus diabetes melitus tipe I akibat pemberian ekstrak daun X.

Penelitian ini terdiri dari penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Dalam penelitian pendahuluan dilakukan ekstraksi daun X menjadi tepung ekstrak daun X dan dilakukan analisis proksimat terhadap tepung ekstrak daun X dan ransum pelet. Dalam penelitian utama dilakukan pengujian aktivitas hipoglikemik ekstrak daun X terhadap penurunan glukosa darah tikus diabetes melitus.

Kondisi diabetes pada tikus percobaan diciptakan melalui induksi alloxan secara intraperitoneal dengan dosis 100 mg/kg bobot tikus (Kesenja, 2005). Tikus percobaan dibagi menjadi delapan kelompok, yaitu kontrol negatif (tanpa induksi alloxan, tanpa pemberian ekstrak daun X), kontrol positif (dengan induksi alloxan, tanpa pemberian ekstrak daun X), kelompok diabetes yang diberi perlakuan ekstrak daun X sebanyak 8 mg/ekor/hari (kelompok A), 16 mg/ekor/hari (kelompok B), 32 mg/ekor/hari (kelompok C), 64 mg/ekor/hari (kelompok D) dan 128 mg/ekor/hari (kelompok E) serta kelompok diabetes yang diberi perlakuan obat diabetes komersial (kelompok F).

Pemberian ekstrak daun X atau obat selama 30 hari berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar glukosa darah hari ke-28, peningkatan jumlah pulau Langerhans per lapang pandang 30 hari dengan pembesaran 100x luasan pulau Langerhans per lapang pandang 30 hari dengan pembesaran 400x, dan peningkatan jumlah sel per lapang pandang 30 hari dengan pembesaran 100x


(14)

dibandingkan dengan kelompok kontrol positif. Dosis yang rendah memberikan hasil yang lebih konsisten dan positif. Dosis 8 mg ekstrak daun X per hari merupakan dosis yang optimum untuk memberikan kesembuhan pada tikus yang menderita diabetes melitus.


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Matsumoto, Jepang pada tanggal 19 Juni 1982 dari pasangan Bapak Wisnu Gunarso (Alm.) dan Ibu Dewi Murtianingsih, merupakan putri pertama dari tiga bersaudari. Pendidikan dasar penulis diselesaikan di SD Regina Pacis Bogor pada tahun 1995. Pendidikan lanjutan pertama penulis diselesaikan pada tahun 1998 di SLTP Regina Pacis Bogor. Tahun 2001, penulis lulus dari SMU Regina Pacis Bogor dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

Selama kuliah penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan dan kegiatan organisasi, baik tingkat departemen maupun institut, diantaranya sebagai anggota HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan), ketua Science and Technology Department dalam Food Chat Club (2004-2005) dan sebagai Deputy Chairperson dalam IPB Debating Community (2004-2005).

Prestasi penulis semasa kuliah adalah beberapa kali menjuarai lomba karya tulis bahasa Inggris tingkat IPB maupun tingkat nasional dan pernah terpilih menjadi salah satu pemakalah dalam konferensi pangan tingkat nasional (2003). Penulis juga beberapa kali mewakili IPB dalam kejuaraan debat bahasa Inggris antar universitas antara tahun 2004-2005, baik sebagai peserta maupun juri.

Penulis melaksanakan Praktek Lapangan di PT. Indokom Samudra Persada, Lampung dengan judul laporan Aspek Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Udang Beku di PT. Indokom Samudra Persada, Lampung. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis menyusun skripsi yang berjudul Daun X Sebagai Alternatif Upaya Penanganan Diabetes Melitus Tipe I.


(16)

KATA PENGANTAR

Ahamdulillahirabbilalamin. Penulis menghaturkan syukur dan berterima kasih ke hadirat Allah SWT yang telah memberi waktu, kesehatan, dan kesempatan untuk menimba ilmu di kampus IPB serta dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang berjudul Daun X Sebagai Alternatif Upaya Penanganan Diabetes Melitus Tipe I.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan dan ketulusan hati penulis menyadari selama kegiatan penelitian berlangsung telah banyak menerima bantuan, baik materil maupun spirituil. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. selaku Pembimbing I atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis, juga atas bantuan dana penelitian yang telah diberikan serta dalam pengadaan sampel (daun X).

2. Dr. drh. Tutik Wresdiyati selaku Pembimbing II atas kesabaran, bimbingan dan kebaikan dalam memberikan pelajaran hidup yang sangat berharga bagi penulis.

3. Ir. Sri Widowati, MAppSc. selaku dosen penguji dari Balai Penelitian Pasca Panen yang bersedia memberikan berbagai masukan yang sangat bermanfaat bagi perbaikan tulisan ini.

4. Alm. Papa, Mama, Onya dan Baby tercinta atas limpahan doa, nasehat, dukungan, pengorbanan dan kasih sayangnya yang begitu indah yang selalu menyertai penulis sampai kapanpun.

5. Keluarga Oom Djoko Ismujono beserta Tante Tety dan keluarga yang senantiasa memberikan dukungan yang tak henti-hentinya, baik materiil maupun spirituil.

6. Rio Armindo atas perhatian, dorongan semangat, dukungan, pengorbanan dan doanya yang tulus.

7. Ibu Waysima dan Ibu alumni yang senatiasa menjadi tumpuan harapan penulis dalam susah dan senang.


(17)

8. Ibu Dewi, Miss Sherly dan seluruh keluarga besar Kinderfield dan Mutiara Montessori School atas pengertian, kebaikan hati dan dukungannya selama ini.

9. Bapak Adi Winarto dan Bapak I Ketut M. Adnyane untuk bantuan dan keramahannya selama penulis melakukan penelitian di Laboratorium Histologi, FKH.

10.Pak Adi, Pak Ganda, Pak Wahid, Pak Sobirin, Ibu Rubiyah, Pak Rojak, Teh Ida dan semua keluarga laboran TPG-IPB atas bantuan yang diberikan selama penulis menjalankan penelitian.

11.Evi Nurdin, teman seperjuangan yang selalu tabah dan menyenangkan.

12.Kakak-kakakku yang baik, Bang Pandi dan Mbak Reni yang banyak membantu penulis.

13.Teman-teman terbaikku, Eva, Wewen, Hendry, Aria, dan juga semua teman-teman TPG 38, terutama golongan B, atas semua kebersamaan yang berharga dan dukungannya selalu.

14.Semua pihak-pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu atas dukungannya selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, Januari 2006


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Diabetes Melitus ... 4

B. Kadar Glukosa Darah ... 7

C. Tanaman Obat Untuk Terapi Diabetes Melitus ... 8

D. Insulin ... 10

E. Pankreas ... 13

F. Alloxan ... 15

G. Analisis Histologi ... 17

H. Tikus Sprague-Dawley ... 21

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 23

A. Bahan ... 23

B. Alat ... 24

C. Metode Penelitian ... 25

1. Penelitian Pendahuluan ... 25

a. Pembuatan tepung ekstrak daun X ... 25

b. Analisis fisiko kimia ... 25

2. Penelitian Utama ... 30

a. Masa adaptasi hewan percobaan ... 31

b. Injeksi Alloxan ... 31

c. Seleksi tikus dan kelompok perlakuan ... 31


(19)

e. Pengukuran bobot tubuh ... 33

f. Pengukuran jumlah konsumsi ransum pelet ... 33

g. Pembedahan tikus ... 34

h. Analisis kolesterol serum ... 34

i. Analisis hemoglobin terglikosilasi (HbA1c) ... 35

j. Analisis histologi jaringan pankreas ... 35

k. Pengamatan dan pemotretan ... 41

D. Rancangan Percobaan ... 42

E. Waktu dan Tempat Penelitian ... 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Penelitian Pendahuluan ... 43

1. Tepung Ekstrak Daun X ... 43

2. Analisis Proksimat Ransum Pelet Dan Tepung Ekstrak Daun X.. 44

B. Penelitian Utama ... 45

1. Aktivitas Hipoglikemik Tepung Ekstrak Daun X ... 45

2. Konsumsi Ransum dan Perubahan Bobot Tubuh Tikus ... 51

3. Analisis Kolesterol Lengkap Serum Darah Tikus ... 54

4. Analisis Hemoglobin Terglikosilasi (HbA1c) ... 56

5. Analisis Histologi Jaringan Pankreas ... 57

a. Pengamatan terhadap jaringan pankreas tikus 30 hari ... 58

b. Pengamatan terhadap jaringan pankreas tikus 60 hari ... 65

V. KESIMPULAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Tanaman-tanaman obat berkhasiat untuk diabetes melitus ... 33 Tabel 2. Prosedur analisis kolesterol lengkap ... 35 Tabel 3. Hasil analisis proksimat ransum pelet dan tepung ekstrak

daun X ... 45 Tabel 4. Hasil uji statistik kadar glukosa darah masing-masing kelompok

berdasarkan periode ... 50 Tabel 5. Konsumsi ransum dan kenaikan bobot tubuh tikus ... 52 Tabel 6. Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDL, dan LDL Serum Tikus

Percobaan ... 55 Tabel 7. Kadar HbA1c tikus percobaan ... 57 Tabel 8. Jumlah, luasan pulau Langerhans dan jumlah sel tikus 30 hari .. 59 Tabel 9. Jumlah, luasan pulau Langerhans dan jumlah sel tikus 60 hari .. 64


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Gambaran kinerja insulin terhadap sel ... 12

Gambar 2. Posisi Pankreas ... 13

Gambar 3. Struktur Kimia Alloxan ... 16

Gambar 4. Tikus Sprague Dawley ... 21

Gambar 5. Dislocatio cervicalis ... 34

Gambar 6. Tissue Embedding Console ... 38

Gambar 7. Mikrotom.. ... 39

Gambar 8. Tepung ekstrak daun X.. ... 43

Gambar 9. Ransum pelet ... 45

Gambar 10. Hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus perlakuan ... 46

Gambar 11. Perubahan kadar glukosa darah tikus selama perlakuan ... 48

Gambar 12. Fotomikrograf pulau Langerhans tikus 30 hari hasil pewarnaan hematoksilin-eosin pada perbesaran 100x ... 60

Gambar 13. Fotomikrograf sel pulau Langerhans pada jaringan pankreas tikus 30 hari hasil pewarnaan imunohistokimia pada perbesaran 100x ... 64

Gambar 14. Fotomikrograf pulau Langerhans tikus 60 hari hasil pewarnaan hematoksilin-eosin pada perbesaran 100x ... 67

Gambar 15. Fotomikrograf sel pulau Langerhans pada jaringan pankreas tikus 60 hari hasil pewarnaan imunohistokimia pada perbesaran 100x ... 69


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Pengukuran kadar glukosa darah tikus selama masa

perlakuan ... 77 Lampiran 2. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus hari

ke-0 ... 78 Lampiran 3. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus hari

ke-28 ... 79 Lampiran 4. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus hari

ke-60 ... 79 Lampiran 5. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus

kelompok kontrol negatif berdasarkan periode ... 80 Lampiran 6. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus

kelompok kontrol positif berdasarkan periode ... 80 Lampiran 7. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus

kelompok 8 mg berdasarkan periode ... 81 Lampiran 8. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus

kelompok 16 mg berdasarkan periode ... 82 Lampiran 9. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus

kelompok 32 mg berdasarkan periode ... 82 Lampiran 10. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus

kelompok 64 mg berdasarkan periode ... 83 Lampiran 11. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus

kelompok 128 mg berdasarkan periode ... 84 Lampiran 12. Hasil uji statistik terhadap kadar glukosa darah tikus

kelompok obat berdasarkan periode ... 85 Lampiran 13. Konsumsi ransum tikus selama perlakuan. ... 86 Lampiran 14. Bobot tubuh tikus selama perlakuan ... 91 Lampiran 15. Hasil uji statistik terhadap jumlah konsumsi ransum tikus


(23)

Lampiran 16. Hasil uji statistik terhadap jumlah konsumsi ransum tikus selama 30 hari kedua ... 94 Lampiran 17. Hasil uji statistik terhadap persentase kenaikan bobot tubuh

tikus selama 30 hari pertama ... 95 Lampiran 18. Hasil uji statistik terhadap persentase kenaikan bobot tubuh

tikus selama 30 hari kedua ... 95 Lampiran 19. Hasil perhitungan jumlah pulau Langerhans per lapang

pandang tikus 30 hari (perbesaran 100x) ... 96 Lampiran 20. Hasil uji statistik terhadap jumlah pulau Langerhans per

lapang pandang pada tikus 30 hari (perbesaran 100x) ... 97 Lampiran 21. Hasil uji statistik terhadap luasan pulau Langerhans per

lapang pandang pada tikus 30 hari (perbesaran 400x) ... 98 Lampiran 22. Hasil uji statistik terhadap jumlah sel pankreas per

lapang pandang pada tikus 30 hari (perbesaran 100x) ... 99 Lampiran 23. Hasil perhitungan jumlah pulau Langerhans per lapang

pandang tikus 60 hari (perbesaran 100x) ... 100 Lampiran 24. Hasil uji statistik terhadap jumlah pulau Langerhans per

lapang pandang pada tikus 60 hari (perbesaran 100x) ... 101 Lampiran 25. Hasil uji statistik terhadap luasan pulau Langerhans per

lapang pandang pada tikus 60 hari (perbesaran 400x) ... 102 Lampiran 26. Hasil uji statistik terhadap jumlah sel pankreas per


(24)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus adalah suatu kondisi dimana pankreas tidak menghasilkan insulin yang cukup bagi tubuh atau berhenti menghasilkan insulin sama sekali. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat diserap oleh sel-sel tubuh yang membutuhkan energi. Diabetes melitus memiliki beberapa tipe, yaitu tipe I, tipe II, gestational diabetes dan beberapa tipe lainnya (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Diabetes melitus adalah salah satu penyakit yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat secara luas. Selain itu, diabetes melitus juga merupakan penyakit yang memiliki komplikasi sangat banyak, terutama terhadap jaringan otak (stroke), mata (katarak dan kebutaan), jantung (serangan mendadak dan kegawatan), ginjal (gagal ginjal), serta gangren. Diabetes melitus merupakan penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi kedua setelah jantung (Mangoenprasodjo, 2005). Oleh karena itu, diabetes melitus tercantum dalam urutan keempat prioritas penelitian nasional untuk penyakit degeneratif setelah penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler dan geriatri (Tjokroprawiro, 2003).

Berdasarkan penelitian diabetes di Surabaya dan analisis data dari Poliklinik Diabetes di seluruh Indonesia, rata-rata prevalensi diabetes melitus di Indonesia tahun 1994 adalah sebesar 1.5 hingga 2.5 % dari jumlah penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun dengan 95 % kasus diabetes melitus tipe I terjadi pada penduduk berusia di bawah 25 tahun. Prevalensi terbesar terdapat di Manado, yaitu sebesar 6.1 % (Rimbawan dan Siagian, 2004). Tahun 2000, penderita diabetes melitus meningkat menjadi 4 juta jiwa dan pada tahun yang sama, sedikitnya 175.4 juta jiwa penduduk dunia menderita penyakit tersebut (Tjokroprawiro, 2003).

Saat ini, diperkirakan sedikitnya 5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes melitus. Hal ini berarti satu dari 40 orang penduduk Indonesia mengidap diabetes (Mangoenprasodjo, 2005). Pada tahun 2020, diperkirakan Indonesia dengan 178 juta penduduk berusia di atas 20 tahun dan prevalensi


(25)

diabetes melitus sebesar 4.6 %, maka 8.2 juta penduduk Indonesia diperkirakan akan menderita diabetes melitus. Angka ini merupakan angka yang sangat besar dan perlu diantisipasi serta dicegah sedini mungkin untuk menghindari dampak buruk yang ditimbulkannya (Tjokroprawiro, 2003).

Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang belum memiliki rangkaian penanganan yang dapat menyembuhkan secara permanen. Obat-obat diabetes penurun glukosa darah atau insulin yang diberikan secara intramuskular hanya memiliki efek sementara dan tidak memberi kesembuhan. Oleh karena itu, penderita diabetes melitus harus menjalani diet rendah glukosa dan mengkonsumsi obat suplemen insulin sepanjang hidupnya. Hal ini memberikan berbagai keterbatasan bagi penderita diabetes melitus. Mahalnya biaya perawatan dan pengobatan diabetes melitus serta kejenuhan dan ketidakpatuhan penderita terhadap diet atau jadwal minum obat seringkali menjadi kendala yang cukup berat dalam penanganan diabetes melitus.

Expert Committee on Diabetes Mellitus, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sangat tanggap terhadap masalah tersebut, maka sejak tahun 1980 mereka merekomendasikan penggunaan berbagai bahan alami seperti tanaman-tanaman berkhasiat obat sebagai alternatif cara dalam penanganan diabetes melitus agar para penderita dapat memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Hal ini akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

Dalam penelitian ini akan dilakukan uji aktivitas hipoglikemik (aktivitas penurunan kadar glukosa darah) terhadap ekstrak suatu tanaman yang dipercaya berkhasiat sebagai obat diabetes melitus, terutama dari bagian daunnya. Selanjutnya substansi yang diujikan ini akan disebut sebagai daun X. Penggunaan daun X telah menyebar luas secara tradisional sebagai minuman jamu yang dipercaya sebagai ramuan penyembuh diabetes melitus. Pengujian ekstrak daun X sebagai salah satu alternatif penanganan diabetes melitus tipe I dilakukan dengan menggunakan tikus percobaan.


(26)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk :

1. Menguji aktivitas hipoglikemik daun X, sekaligus sebagai pembuktian secara ilmiah dari khasiat tradisional daun X sebagai ramuan penyembuh diabetes melitus tipe I.

2. Mengevaluasi pengaruh pemberian ekstrak daun X dalam berbagai tingkatan dosis terhadap kadar glukosa darah pada tikus percobaan diabetes melitus tipe I.

3. Mendapatkan gambaran histologi pulau Langerhans dan jumlah sel pada jaringan pankreas tikus diabetes melitus tipe I akibat pemberian ekstrak daun X.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DIABETES MELITUS

Diabetes melitus atau biasa disebut diabetes adalah penyakit kronik yang timbul karena terlalu banyak glukosa yang terkandung dalam darah. Hal ini disebabkan oleh gangguan sekresi insulin sehingga kadar insulin rendah, aktivitas metabolik insulin yang rendah, atau keduanya. Kadar glukosa darah normal adalah 80-120 mg/dl (puasa) atau 100-180 mg/dl (setelah makan). Kadar glukosa darah saat istirahat atau tidur berkisar antara 100 hingga 140 mg/dl darah (Rimbawan dan Siagian, 2004). Diabetes melitus juga merupakan sekelompok gangguan metabolik dengan suatu manifestasi umum, yaitu hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi) (Mayfield, 1998). Kadar glukosa darah penderita diabetes melitus adalah >120 mg/dl saat puasa atau >200 mg/dl setelah makan (Mayfield, 1998 ; Tjokroprawiro, 2003).

Hiperglikemia yang berkepanjangan dapat merusak pembuluh darah dan jaringan-jaringan tubuh secara permanen. Komplikasi lain yang mungkin terjadi akibat hiperglikemia adalah kerusakan otak (stroke), penyakit kardiovaskuler, gangguan penglihatan dan kebutaan, gangren dan amputasi, penyakit periodontal, kerusakan ginjal (nephropathy) dan kerusakan sel-sel neuron (neuropathy) yang menyebabkan insensitivitas saraf pada kaki dan telapak kaki serta kanker (Foster, 2004 ; Mangoenprasodjo, 2005 ; Smith, 2005).

Gejala-gejala umum yang menyertai penderita diabetes melitus adalah sering merasa lapar (polifagia), haus berlebih dan dehidrasi (polidipsia), frekuensi buang air kecil tinggi (poliuria), berat badan menurun secara bertahap, kelelahan, pandangan sering kabur, sering mengalami infeksi dan waktu penyembuhan luka yang lama serta sering mengalami kesemutan pada tangan atau kaki (Anonim, 2003 ; Mangoenprasodjo, 2005).

Badan Kesehatan Dunia (WHO), melalui laporan kedua Expert Committee on Diabetes Mellitus mengelompokkan diabetes menjadi dua kelompok utama, yaitu insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) dan non-insulin dependent diabetes melitus (NIDDM). Pada IDDM, pankreas tidak


(28)

menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup, sementara NIDDM disebabkan oleh insulin yang dihasilkan tidak mampu bekerja dengan baik (WHO, 1980). Insulin adalah hormon yang disekresikan pankreas sebagai respon terhadap perubahan kadar glukosa darah. Insulin adalah polipetida yang disintesis di dalam sel pada pulau langerhans, suatu bagian kecil dari pankreas (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Tahun 1997, Expert Committee on Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus (ECDCDM) menyepakati sistem klasifikasi baru diabetes melitus. Mereka mengelompokkan diabetes menjadi diabetes melitus tipe I, tipe II, diabetes selama kehamilan (gestational diabetes) dan beberapa diabetes tipe lainnya (ECDCDM,1997).

Diabetes melitus tipe I (yang sebelumnya disebut sebagai IDDM atau juvenile diabetes) dicirikan oleh kerusakan sel yang disebabkan oleh proses autoimun. Diabetes melitus tipe I biasanya berujung pada defisiensi insulin absolut. Diabetes melitus tipe I biasanya bersifat akut. Penderita diabetes melitus tipe 1 membutuhkan insulin eksogen untuk mempertahankan hidupnya dan memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya ketoasidosis. Prevalensi diabetes melitus tipe I sama besar terhadap pria dan wanita. Persentase penderita diabetes melitus tipe I adalah 5-10 % dari seluruh penderita diabetes (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Menurut Gepts (1981), diabetes melitus tipe I ditandai oleh adanya defisiensi insulin akut akibat menurunnya jumlah sel pankreas. Pada kasus diabetes melitus tipe I tahap awal (early onset) penurunan jumlah sel hanya menyisakan 10 % dari jumlah normalnya dan jumlah ini akan terus menurun tanpa penanganan yang tepat. Sebagian besar pasien diabetes melitus tipe I telah kehilangan seluruh sel -nya. Lebih jauh Gepts (1981) menambahkan bahwa kerusakan dan destruksi sel dapat disebabkan oleh terjadinya insulinitis. Insulinitis adalah proses masuknya sel darah putih ke dalam sel pada pulau langerhans pankreas dan menyebabkan reaksi autoimun (Rimbawan dan Siagian, 2004). Insulitis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus. Virus tersebut diduga dapat mengikatkan dirinya ke dalam DNA dan


(29)

merusak sekuen yang mengkode pembentukan sel dalam pulau langerhans pankreas (Gepts, 1981).

Diabetes melitus tipe II (sebelumnya disebut NIDDM atau adult-onset) terdapat dalam beberapa bentuk yang bervariasi mulai dari resistensi insulin yang disertai defisiensi insulin relatif, atau adanya gangguan pada sekresi insulin yang disertai resistensi insulin pada jaringan perifer (ECDCDM,1997). Diabetes tipe II adalah jenis penyakit diabetes paling lazim berkaitan dengan riwayat diabetes keluarga, usia lanjut, obesitas, perubahan pola makan dan aktivitas fisik yang kurang. Resistensi insulin dan hiperinsulinemia pada akhirnya menyebabkan kerusakan toleransi glukosa. Sel yang rusak menjadi lemah, selanjutnya mendorong intoleransi glukosa dan hiperglikemia. Etiologi diabetes tipe II ini adalah multifaktor dan kemungkinan berkaitan dengan faktor genetik (Mayfield, 1998). Penderita diabetes melitus tipe II mengambil persentase 90 hingga 95 % dari seluruh penderita diabetes melitus (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Menurut Foster (2004), penderita diabetes melitus tipe II memiliki resiko yang lebih besar terhadap penyakit degeneratif lain, terutama penyakit kardiovaskuler. Resiko utama yang dihadapi dari golongan penyakit kardiovaskuler adalah serangan stroke dan penyakit jantung koroner.

Diabetes selama kehamilan (gestational diabetes) adalah klasifikasi operasional dan bukan klasifikasi berdasarkan kondisi patofisiologis. Diabetes yang diderita sebelum hamil disebut juga sebagai pregestational diabetes. Wanita yang mengalami diabetes tipe I pada saat hamil dan wanita yang asimptomatik diabetes tipe II yang tidak terdiagnosis, dikelompokkan menjadi gestational diabetes. Namun, sebagian besar wanita penderita gestational diabetes memiliki homeostatis glukosa yang normal selama paruh pertama (hingga bulan kelima) masa kehamilannya. Selain itu, juga mengalami defisiensi insulin relatif pada paruh kedua (antara bulan keempat dan kelima) masa kehamilan. Umumnya kadar glukosa darah akan kembali normal setelah melahirkan. Meskipun demikian, gestational diabetes meningkatkan resiko diabetes tipe II pada usia lanjut (Rimbawan dan Siagian, 2004).


(30)

Diabetes melitus tipe lain dapat disebabkan oleh hal-hal berikut:

a. Kerusakan genetik fungsi sel beta (genetic defect of ß cells). Kerusakan ini diwariskan melalui pola gen autosom dominan yang dapat terjadi pada kromosom 12, kromosom 7 (glukokinase), kromosom 20, dan DNA mitokondria

b. Mutasi pada reseptor insulin yang mempengaruhi kerja hormon insulin c. Penyakit eksokrin pankreas, diantaranya akibat adanya trauma/

pankreatektomi, infeksi, pankreatitis, neoplasma, systicfibrosis, hemochromatosis, atau pankreatopati fibrokalkulus

d. Endokrinopati akibat kerja hormon yang saling antagonis, seperti yang terjadi karena sindroma cushing, pheocromocytoma, hipertiroidisme, somatostannoma, aldosteronoma dan akromegali

e. Pengaruh dari penggunaan obat atau zat kimia seperti vacor, pentamidin, asam nikotinat, dilantin, glukokortikoid, hormon tiroid, tiazid, dan inter-feron alfa

f. Penyakit infeksi, seperti rubella kongenital dan CMV (Cytomegalovirus) g. Adanya abnormalitas proses imunologi seperti pada sindroma Stiffman,

dan antibodi yang menghalangi kerja reseptor insulin

h. Adanya sindroma genetik lain seperti sindrom down, klinefelter, turner, wolfram, friedriech ataxia, huntington chorea, laurence-moon-biedl, myotome distrophy, porphyna, dan sindrom prader-willi

B. KADAR GLUKOSA DARAH

Kadar glukosa darah adalah besarnya jumlah glukosa yang terdapat dalam darah. Setelah makan, kadar glukosa darah akan meningkat dan tetap bertahan dalam waktu yang singkat untuk kemudian secara berangsur-angsur kembali menurun. Kondisi ini oleh para dokter digambarkan sebagai kurva glukosa darah sesudah makan (postprandial). Normalnya, kurva ini berada di antara 65-139 mg/dl. Kadar glukosa darah setelah makan yang sangat tinggi adalah suatu tanda umum dari diabetes (Smith, 2005). Penderita diabetes melitus memiliki glukosa darah yang terlalu banyak, sehingga meningkatkan resiko komplikasi dan penyakit degeneratif lainnya.


(31)

Glukosa darah yang tiba-tiba meningkat setelah makan merupakan sinyal yang diartikan oleh pankreas sebagai stimulan sekresi insulin. Insulin merangsang perubahan glukosa menjadi glikogen untuk disimpan dalam otot skeletal dan jaringan adiposa. Insulin juga menurunkan pembentukan glukosa oleh hati (Rimbawan dan Siagian, 2004). Selama beberapa jam berikutnya, bila konsentrasi glukosa darah dan kecepatan sekresi insulin berkurang, maka hati akan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Dalam hal ini, hati berperan sebagai suatu sistem penyangga glukosa darah yang sangat penting.

Mekanisme peningkatan kadar glukosa darah diatur oleh hormon glukagon dari sel alpha, growth hormone dari hofise anterior, epinefrin dari medulla adrenal, serta glukokortikoid dari korteks adrenal (Mangoenprasodjo, 2005).

Konsentrasi glukosa dalam darah harus dijaga agar konstan dan stabil, oleh karena itu, harus diusahakan agar konsentrasi glukosa dalam tubuh tidak terlalu rendah (hipoglikemia). Bila keadaan ini terjadi, gejala yang timbul adalah gugup, pusing, lemas, dan lapar. Akan tetapi, konsentrasi glukosa darah juga harus dijaga agar tidak meningkat terlalu tinggi, hal ini dikarenakan beberapa hal : (1) glukosa sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik dalam cairan ekstraseluler, dan bila konsentrasi glukosa meningkat berlebihan akan mengakibatkan terjadinya dehidrasi seluler, (2) sangat tingginya konsentrasi glukosa darah menyebabkan ditemukannya glukosa dalam urin, dan (3) keadaan-keadaan di atas dapat menimbulkan diuresis ginjal, yang akan mengurangi jumlah cairan tubuh dan elektrolit (Guyton, 1993).

C. TANAMAN OBAT UNTUK TERAPI DIABETES MELITUS

Salah satu cara untuk mengatasi diabetes melitus adalah dengan melakukan suatu terapi yang disebut sebagai terapi herbal. Terapi herbal merupakan proses penyembuhan diabetes melitus menggunakan ramuan yang dibuat dari tanaman berkhasiat obat (Utami, 2004). Saat ini, terapi herbal sedang populer dalam masyarakat. Beberapa alasan yang mendasarinya adalah karena pengobatan jenis ini memiliki efek samping yang sedikit, harganya murah dan mudah didapat. Umumnya, terapi herbal dilakukan sebagai


(32)

pengobatan alternatif. Meskipun demikian, ada juga sebagian masyarakat yang menggunakannya sebagai tindakan preventif.

Menurut Utami (2004), beberapa definisi tanaman obat, diantaranya (1) tanaman obat merupakan suatu jenis tanaman yang sebagian, seluruh tanaman, dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai obat, bahan atau ramuan obat-obatan, (2) tanaman obat dibagi atas tiga kelompok, yaitu :

• Tanaman obat tradisional

adalah jenis tanaman yang dipercaya masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional.

• Tanaman obat modern

adalah jenis tanaman yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

• Tanaman obat potensial

adalah jenis tanaman yang mengandung senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan penggunaannya secara medis.

Sedangkan definisi tanaman obat menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah sebagai berikut :

• Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan obat tradisional atau disebut juga jamu.

• Tanaman atau bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan pemula bahan baku obat (prekursor).

• Tanaman atau bagian tanaman yang diekstraksi dan ekstraknya digunakan sebagai obat.

Berdasarkan dari definisi yang ada, maka daun X dapat dikategorikan sebagai tanaman obat potensial yang ekstraknya digunakan sebagai obat. Tanaman obat adalah tanaman yang memiliki kegunaan sebagai obat. Kini, tanaman obat tidak hanya diperoleh dari alam, tetapi juga telah banyak yang dibudidayakan. Dalam Tabel 1 dapat dilihat berbagai macam tanaman obat, terutama yang dapat mengobati diabetes melitus.


(33)

Tabel 1. Tanaman-tanaman obat berkhasiat untuk diabetes melitus N

o Nama Tanaman

Bagian Tanaman

yang dimanfaatkan Senyawa Aktif 1 Mimba

(Azadirachta indica) Daun, biji, kayu

Azadurachtin, fenantenon 2 Sambiloto Daun, batang, akar Lakton, flavonoid 3 Alpukat

(Persea sp.) Daun, biji, buah

Saponin, alkaloid, flavonoid

4 Ciplukan

(Physalis peruviana L.) Daun, akar, batang

Alkaloid, asam klorogenik 5 Daun sendok

(Plantago sp.) Daun, akar, biji Plantagin, aucubin 6 Kumis kucing

(Orthosiphon sp.) Daun

Saponin, orthosipon glukosida

7 Lidah buaya

(Aloe vera L.) Daun, bunga, akar

Aloin, isobarbaloin, aleonin, aleosin 8 Pare

(Momordia charantia) Daun, buah, biji, akar

Charantin, momordisin 9 Mengkudu

(Morinda citrifolia)

Daun, akar, buah, kulit batang, bunga

Morindin,

morindon,soranjidiol 10 Salam

(Syzigium polyanthum)

Daun, kulit batang,

buah, akar Flavonoid, eugenol 11 Daun dewa

(Gynura segetum (Lour)) Daun, akar, batang Saponin, flavonoid 12 Sambung nyawa

(Gynura procumbens) Daun

Alkaloid, saponin, flavonoid

13 Daun sembung

(Blumea balsamifera) Daun, akar, batang

Flavonoid, kamper, tanin

14 Bawang putih

(Allium sativum L.) Umbi

Garlisin, alliin, allistatin 15 Brotowali

(Tinospora crispa) Kulit batang Alkaloid, kokulin Sumber : Utami (2004)

D. INSULIN

Insulin pertama kali ditemukan oleh Frederick Banting dan Best pada tahun 1921 dengan mengikat saluran pankreas sehingga kelenjar eksokrin dan bagian asinar mengalami atropi. Insulin adalah suatu hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-sel dari pulau Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1 % massa pankreas. Insulin adalah salah satu hormon terpenting yang mengkoordinasikan penggunaan energi oleh jaringan. Efek metaboliknya adalah anabolik seperti sintesis glikogen, triasilgliserol dan


(34)

protein (Champe dan Harvey seperti dikutip oleh Rimbawan dan Siagian, 2004).

Insulin dibentuk oleh 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai polipeptida (rantai A dan rantai B). Rantai A dihubungkan dengan rantai B melalui jembatan disulfida. Molekul insulin juga mengandung jembatan disulfida intramolekuler antara residu asam amino 6 dan 11 pada rantai A.

Struktur insulin manusia berbeda dengan struktur insulin sapi atau babi. Pada rantai A, posisi asam amino treonin dan isoleusin (residu ke-8 dan ke-10) pada insulin manusia, berturut-turut digantikan oleh alanin dan valin. Sementara treonin pada ujung C (terminal-C) rantai B digantikan oleh alanin. Insulin babi berbeda dengan insulin manusia hanya pada ujung C rantai B, yaitu alanin menggantikan treonin pada insulin manusia (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Secara alami, kebutuhan insulin di dalam tubuh dipenuhi dengan mensintesisnya (biosintesis) dari dua prekursor, yaitu preproinsulin dan proinsulin. Sintesis ini berlangsung dalam sitoplasma sel pankreas. Prekursor ini secara berurutan pecah membentuk hormon aktif. Insulin disimpan dalam sitosol dalam bentuk granula yang dengan rangsangan tepat dilepaskan oleh eksositosis. Insulin didegradasi oleh enzim insulinase yang terdapat dalam hati dan dalam jumlah kecil terdapat di ginjal. Insulin memiliki waktu paruh plasma sekitar 6 menit.

Tahapan biosintesis insulin sebagai berikut : (1) gen yang memberi kode untuk insulin ditranskripsikan ke mRNA di nukleus, (2) setelah memasuki sitoplasma, mRNA ditranslasikan oleh polysom yang menempel ke retikulum endoplasma kasar, (3) sintesis polipeptida dimulai dengan pembentukan suatu sinyal peptida ujung-N yang menembus membran retikulum endoplasma kasar, (4) pemanjangan lanjutan mengarahkan rantai polipeptida ke dalam lumen retikulum endoplasma kasar yang menghasilkan preproinsulin, (5) sinyal peptida dipecah dan proinsulin dibentuk di ruang eksternal retikulum endoplasma kasar, (6) proinsulin diangkut dari retikulum endoplasma kasar ke kompleks golgi untuk dipecah membentuk insulin, (7) insulin dan C-peptida


(35)

terdapat dalam granula sekretori, (8) granula sekretori dilepaskan dari sitoplasma dengan mekanisme eksositosis (Rimbawan dan Siagian, 2004).

Sekresi insulin oleh sel dari pulau Langerhans pankreas dikoordinasikan dengan pelepasan glukagon dari sel α pankreas. Jumlah relatif insulin dan glukagon yang dilepaskan oleh pankreas diatur sehingga laju pembentukan glukosa di hati dijaga agar sama dengan laju penggunaan glukosa pada jaringan perifer. Dari peran koordinasinya, sel merespon berbagai rangsangan. Secara khusus, sekresi insulin ditingkatkan oleh glukosa, asam amino, hormon gastrointestinal dan glukagon.

Insulin akan berikatan dengan reseptor insulin dan meningkatkan permeabilitas sel terhadap glukosa, asam amino, ion kalium, nukleosida, dan fosfat anorganik pada jaringan otot dan lemak, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel dan disimpan oleh tubuh. Gambaran kinerja insulin tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Di dalam otot, glukosa akan diubah menjadi glikogen, sedangkan pada jaringan lemak glukosa akan diubah menjadi trigliserida dan asam lemak. Penggunaan dan penyimpanan glukosa dalam otot dan jaringan lemak menyebabkan penurunan kadar glukosa dalam darah.

Gambar 1. Gambaran kinerja insulin terhadap sel,

(a) glukosa darah ( ) tidak dapat masuk ke dalam sel tanpa insulin, (b) insulin ( ) menempel pada reseptor ( ) di dinding sel dan memungkinkan glukosa darah masuk ke dalam sel


(36)

Penurunan kadar glukosa darah akan merangsang pembentukan glukagon, adrenalin dari kelenjar adrenal, dan hormon pertumbuhan dari hipofise anterior yang akan merangsang proses glikogenolisis di hati. Kadar glukosa yang rendah juga merangsang terbentuknya glukokortikoid dari kelenjar adrenal yang merangsang proses glukoneogenesis di hati. Kedua mekanisme tersebut akan menghasilkan glukosa dan akan meningkatkan kadar glukosa darah dalam upaya menjaga stabilitasnya.

E. PANKREAS

Pankreas merupakan kelenjar yang besar dan memiliki peranan-peranan yang penting. Pankreas merupakan suatu organ yang lunak, terletak pada rongga perut di belakang lambung dan menempel memanjang pada limpa, bagian pangkalnya terletak dekat dengan duodenum sementara bagian ujungnya menempel pada limpa. Pankreas umumnya berwarna putih hingga merah muda. Dengan mata telanjang, permukaan pankreas terlihat memiliki banyak tonjolan (Ham dan Leeson, 1961 ; Roesma, 2005). Posisi pankreas dalam tubuh dapat dilihat pada Gambar 2.

Pankreas merupakan kelenjar majemuk, terdiri dari kelenjar eksokrin yang menghasilkan enzim-enzim pankreas (pancreatic amylase, lipase, dan peptidase) yang dialirkan masuk ke dalam duodenum, dan kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon-hormon (insulin, glukagon, somatostatin, dan pancreatic polypeptide).

Gambar 2. Posisi pankreas

Lambung

Pankreas Hati


(37)

Fungsi endokrin pankreas ada pada sekelompok sel yang telah ditemukan oleh Langerhans pada tahun 1869, sehingga sekelompok sel tersebut dinamakan ”pulau Langerhans” yang menghasilkan hormon. Terdapat empat jenis sel utama pada pulau Langerhans, yaitu sel α, sel , sel dan sel . Sekitar 70 % sel-sel pulau Langerhans adalah sel .

Keempat sel tersebut memiliki aktivitas hormonal yang kemudian disekresi oleh pulau Langerhans pankreas. Hormon-hormon tersebut berperan penting dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Oleh sebab itu, pankreas sering disebut sebagai bagian dari sistem pencernaan. Dua hormon penting yang disekresi oleh pulau langerhans adalah yaitu hormon insulin yang disekresi oleh sel dan hormon glukagon yang disekresi oleh sel α. (Ham dan Leeson, 1961).

Kedua hormon ini berlawanan dalam keseluruhan kinerjanya dan dalam banyak hal disekresi pula secara berlawanan. Insulin merupakan hormon anabolik, meningkatkan simpanan glukosa, asam lemak, dan asam amino. Glukagon bersifat katabolik, memobilisasi glukosa, asam lemak dan asam amino dari tempat penyimpanan ke dalam darah. Glukagon dapat menyebabkan hiperglikemia, sebaliknya insulin menyebabkan hipoglikemia. Kekurangan insulin dapat menyebabkan diabetes melitus, kelebihan glukagon akan memperburuk diabetes melitus.

Pada abad 19 telah diketahui bahwa perubahan pankreas berkaitan dengan penyakit diabetes melitus. Frerichs seperti dikutip oleh Gepts (1981) menyatakan bahwa ada perubahan besar pada pankreas di sebagian besar kasus penyakit diabetes melitus. Perubahan ini dapat terjadi secara kuantitatif maupun kualitatif. Perubahan kuantitatif pada pulau Langerhans dapat berupa pengurangan jumlah pulau Langerhans dimana pengurangan ini lebih banyak terjadi pada diabetes mellitus tipe 1 daripada diabetes melitus tipe 2. Perubahan ukuran pulau Langerhans akibat terjadinya hipertrofi dan perubahan proporsi pulau Langerhans akan lebih terlihat pada diabetes melitus tipe 1 (Gepts, 1981).

Perubahan kualitatif yang terjadi berupa perubahan hidropik sel beta, hipertrofi pada sel beta, degranulasi pada sel beta, atrofi pada sel-sel pulau


(38)

Langerhans, perubahan inti, penimbunan lemak, fibrosis pulau Langerhans, kalsifikasi pulau Langerhans, infiltrasi sel-sel radang pada pulau Langerhans (insulinitis), amyloidosis, hialinisasi, dan kemungkinan regenerasi sel pada pulau Langerhans. Menurut Gepts (1981), penurunan sel beta terjadi hingga 90 % dari keadaan normal pada diabetes melitus tipe 1, dan penurunan terjadi sebanyak 50-60 % dari keadaan normal pada diabetes melitus tipe 2.

F. ALLOXAN

Hewan seperti tikus, kelinci maupun monyet telah digunakan secara luas sebagai hewan model dalam penelitian diabetes melitus. Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan hewan model dapat menggambarkan dengan baik berbagai keadaan diabetes pada manusia, baik dari aspek fisiologi maupun morfologi. Selain itu, hewan model juga merupakan sarana yang baik untuk memanipulasi beberapa keadaan yang tidak memungkinkan dilakukan pada manusia (Andayani, 2003).

Rane dan Reddy seperti dikutip oleh Andayani (2003) menyatakan bahwa diabetes eksperimental pada hewan model dapat terjadi melalui beberapa cara diantaranya dengan pankreatektomi ataupun dengan menggunakan bahan kimia diabetogenik, seperti alloxan dan streptozotosin dengan dosis yang dapat menyebabkan kerusakan selektif terhadap sel-sel β pankreas, sehingga menghasilkan keadaan hiperglikemia permanen yang merupakan salah satu etiologi dari IDDM.

Alloxan (2,4,5,6-tetraoksipirimidine;5,6-dioksiurasil) pertama kali ditemukan oleh Brugnatelli tahun 1818, tetapi Dunn et al seperti yang dikutip oleh Cooperstein dan Watkins (1981) melaporkan adanya toksisitas alloxan terhadap sel β, dimana alloxan dosis tinggi yang disuntikkan ke dalam tubuh kelinci mampu menimbulkan kematian sel-sel pulau Langerhans pada kelinci. Lukens seperti yang dikutip oleh Cooperstein dan Watkins (1981) kemudian melaporkan bahwa hewan percobaan seperti tikus dan kelinci yang disuntik alloxan mengalami kondisi hiperglikemik permanen, walaupun tidak dapat bertahan hidup lama untuk menderita diabetes. Dosis pemberian alloxan bervariasi tergantung pada spesies, nutrisi dan rute pemberian. Dosis


(39)

pemberian alloxan pada tikus umunya berkisar antara 70-120 mg/kg bobot tubuh tikus (Szkudelski, 2001). Struktur kimia alloxan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur kimia Alloxan

Akumulasi alloxan dalam tubuh meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit jantung, multiple sclerosis, arthritis, kanker payudara dan kolon, serta diabetes. Dosis pemberian alloxan bervariasi tergantung pada spesies, nutrisi, dan rute pemberiannya (Szkudelski, 2001).

Injeksi alloxan akan mempengaruhi kadar glukosa darah, yang apabila diplotkan dalam kurva, terbagi atas tiga fase. Fase pertama, yaitu 1-4 jam setelah injeksi, adalah terjadinya hiperglikemia. Kemudian diikuti dengan hipoglikemia pada selang waktu 6-12 jam setelah injeksi. Akhirnya pada fase ketiga terjadi hiperglikemia permanen, yaitu pada 12-24 jam setelah induksi (Cooperstein dan Watkins, 1981). Pengaruh alloxan di dalam tubuh sangat dipengaruhi oleh kadar thiol dalam darah (semakin tinggi kadar thiol, maka pengaruh alloxan akan semakin rendah), genetik, tempat dan cara pemberian, lama pemberian, serta umur hewan percobaan.

Afinitas alloxan terhadap komponen sel yang memiliki gugus thiol, gluthation tereduksi (GSH), sistein, dan kelompok protein (termasuk enzim) bergugus thiol, sangat tinggi. Glukokinase merupakan suatu enzim yang mengandung gugus thiol dan berperan penting dalam sekresi insulin dengan induksi glukosa. Dengan demikian, glukokinase sangat mudah bereaksi dengan alloxan membentuk ikatan disulfida dan menyebabkan inaktivasi enzim (Szkudelski, 2001).

O

O O O

C C

C N N

C


(40)

Reduksi alloxan akan menghasilkan asam dialurat disertai adanya radikal oksigen (O2•) yang menghadirkan hidrogen peroksida (H2O2). Adanya reaksi Fenton dengan logam bebas seperti Fe akan dapat menghasilkan radikal hidroksil yang sangat reaktif. Radikal bebas yang terjadi merusak sel β pankreas sehingga mengganggu produksi insulin (Andayani, 2003).

G. ANALISIS HISTOLOGI

Mikroteknik atau teknik histologi merupakan ilmu atau seni mempersiapkan organ, jaringan atau bagian jaringan untuk diamati dan ditelaah. Penelaahan umumnya dilakukan dengan bantuan mikroskop, karena struktur jaringan secara terperinci pada galibnya terlalu kecil untuk diamati dengan mata telanjang. Metode yang umum digunakan dalam teknik histologi adalah sediaan utuh, sediaan irisan, sediaan uraian, sediaan ulasan, sediaan rentang, sediaan gosok dan sediaan supravital (Gunarso, 1989).

Metode sediaan utuh mempersiapkan sediaan yang terdiri atas keseluruhan organisme, baik hewan maupun tumbuhan, secara utuh, spesimen kultur, organ maupun bagian organ, embrio, sel telur, spermatozoa, potongan saraf, pembuluh darah, jenis-jenis selaput tipis dan sebagainya. Metode sediaan irisan dianggap sebagai teknik baku bagi penyiapan spesimen histologi maupun histopatologi. Tebal tipisnya sayatan tergantung pada pengalaman serta tujuan penyiapan spesimen. Tebal sayatan yang umum berkisar antara 6-15 mikron.

Metode sediaan uraian dapat berarti juga pembedahan dalam skala kecil, tingkatnya berada antara pembedahan biasa (regular dissecting) dan pembedahan mikro (micro dissecting). Metode ini memungkinkan dilakukannya penguraian organ maupun jaringan menggunakan jarum pengurai. Metode sediaan ulas merupakan pengerjaan preparat dengan penyapuan sampel jaringan pada gelas preparat, sampel yang diamati umumnya berbentuk cairan. Metode sediaan rentang memungkinkan organ untuk mendekati keadaan aslinya dengan perentangan. Metode sediaan gosok diberlakukan terhadap jaringan yang keras sifatnya, seperti tulang, gigi, kuku dan organ lain yang sulit untuk dijadikan sayatan. Metode sediaan supravital


(41)

merupakan metode yang menggunakan jaringan tanpa difiksasi. Dengan kata lain, jaringan masih dalam keadaan hidup dan dapat diamati pertumbuhan, perkembangan serta fungsinya.

Metode parafin merupan metode irisan yang merupakan metode rutin atau standar. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam metode ini adalah : (1) pembiusan (narcose), (2) pengambilan jaringan (diseksi), (3) fiksasi (fixation), (4) pencucian (washing), (5) dehidrasi (dehydration), (6) penjernihan (clearing), (7) infiltrasi (infiltration), (8) penanaman (embedding), (9) penyayatan (sectioning), (10) afiksing (afixing), (11) deparafinisasi (deparaffination), dan (12) pewarnaan (staining).

Pembiusan tidak mutlak dilakukan, tetapi tergantung pada jenis hewan yang akan diambil jaringannya untuk dijadikan preparat mikroteknik. Penelaahan yang menyangkut kelenjar-kelenjar (endokrinologi) umumnya tidak memerlukan proses pembiusan, karena mungkin akan berpengaruh terhadap hormon-hormon yang terkandung di dalamnya. Fiksasi bertujuan untuk mematikan (menghentikan proses-proses metabolisme) jaringan dengan cepat sehingga keadaannya sedikit banyak mendekati keadaan aslinya, mencegah autolisis dan menaikkan daya pewarnaan karena adanya bahan-bahan keras (mordant) yang merupakan kombinasi cairan fiksatif.

Pencucian (washing) dapat dilakukan sebelum dan setelah fiksasi serta setelah pewarnaan. Biasanya pencucian memerlukan waktu yang lebih lama daripada fiksasi atau pembiusan. Tujuan pencucian adalah untuk menghilangkan cairan maupun bahan yang masih tertinggal pada jaringan yang tidak terikat jaringan maupun berlebihan sifatnya. Cairan pencuci yang digunakan umumnya adalah air dengan selalu diganti baru atau dialirkan. Dalam penelitian ini dilakukan pencucian organ sebelum fiksasi dengan NaCl fisiologis. Organ yang telah difiksasi dengan larutan Bouin, langsung dimasukkan dalam alkohol 70 %.

Dehidrasi merupakan langkah penting yang memerlukan perlakuan yang prosesnya tidak terputus-putus. Dehidrasi adalah proses pengeluaran air dari dalam jaringan dengan menggunakan bahan-bahan kimia tertentu. Kesalahan yang terjadi dalam dehidrasi dapat mengakibatkan terhalangnya


(42)

proses penanaman dalam parafin (embedding) yang merupakan proses lanjutan setelah dehidrasi tersebut, karena mungkin tisu akan menjadi keras dan rapuh jika terlalu lama didehidrasi. Dehidran yang paling umum digunakan dalam metode mikroteknik media parafin adalah alkohol, dioksan, N-butil alkohol, minyak anilin dan minyak bergamot.

Tujuan utama penjernihan adalah menggantikan tempat alkohol dalam jaringan yang telah mengalami proses dehidrasi dengan suatu solven atau medium penjernih menjelang proses penanaman sebelum dilakukan penyayatan. Setelah dilakukan penjernihan, jaringan akan tampak transparan. Xylol merupakan penjernih yang paling sering digunakan karena murah, bekerja cepat, membuat jaringan cepat menjadi transparan, cepat menyingkirkan dan mengganti kedudukan alkohol dari proses dehidrasi. Xylol sendiri tempatnya mudah digantikan oleh parafin waktu proses infiltrasi dan cepat pula menggantikan kedudukan parafin dalam proses deparafinisasi selama proses pewarnaan.

Infiltrasi adalah usaha menyusupkan media penanaman (embedding media) ke dalam jaringan dengan jalan menggantikan kedudukan dehidran dan bahan penjernih (clearing agents). Media penanam yang umum digunakan adalah parafin. Parafin dibedakan berdasarkan titik didihnya, jadi ada yang bertitik didih 48, 54, 56, dan 58 oC. Untuk jenis jaringan hewan umumnya digunakan parafin bertitik didih 58 oC. Proses infiltrasi parafin dilaksanakan dan dilangsungkan dalam dua cara, yaitu dengan oven biasa dan oven vakum.

Penanaman (embedding) merupakan proses memasukkan atau menanam jaringan ke dalam blok-blok parafin (cetakan) sehingga memudahkan pada saat penyayatan dengan bantuan mikrotom. Proses penyayatan mencakup berbagai cara yang akan menghasilkan sayatan tipis. Afiksasi merupakan proses perlekatan atau penetapan sayatan jaringan pada kaca preparat dengan bantuan media perekat tertentu. Dalam penelitian ini penyayatan dilakukan dengan mikrotom. Hasil sayatan diapungkan dalam akuades dan dibentangkan dalam akuades hangat (35-40 oC). Sayatan yang baik kemudian ditempelkan pada gelas obyek.


(43)

Pewarnaan dilakukan dengan tujuan mempertajam dan memperjelas berbagai elemen jaringan, terutama sel-selnya, sehingga dapat dibedakan dan ditelaah dengan mikroskop. Tanpa pewarnaan, jaringan akan transparan sehingga sukar untuk melakukan penelaahan melalui mikroskop. Pewarnaan akan memperjelas rinci suatu jaringan sehingga mudah untuk dipelajari.

1. Pewarnaan hematoksilin-eosin

Pewarnaan hematoksilin-eosin merupakan salah satu teknik pewarnaan ganda. Dalam pewarnaan ganda, umumnya pewarna yang digunakan satu bersifat asam sedangkan yang lain bersifat basa. Paduan sifat demikian adalah menyebabkan bagian-bagian jaringan yang bersifat asidolitik dan basolitik dapat ditonjolkan.

Hematoksilin selalu digunakan lebih dahulu, dan baru setelah melalui proses diferensiasi, maka barulah eosin digunakan. Pertukaran tempat keduanya tampaknya akan menimbulkan kesukaran, karena pewarna hematoksilin akan mewarnai jauh lebih cepat daripada pewarna paduannya yang umum berperan sebagai counterstain yang intensitas pewarnannya dapat diatur tanpa mempengaruhi pewarnaan hematoksilin.

2. Pewarnaan imunohistokimia

Imunohistokimia adalah metode pewarnaan jaringan yang merupakan gabungan dari tiga cabang ilmu, yaitu imunologi karena prinsip pewarnaan ini adalah ikatan antara antigen dan antibodi, histologi karena menyangkut penggunaan preparat dengan ketebalan mikro yang pengamatannya dilakukan dengan mikroskop cahaya, dan ketiga adalah kimia karena pewarnaan dilakukan berdasarkan reaksi kimia. Manfaat dari teknik imunohistokimia adalah untuk mempelajari distribusi enzim yang spesifik serta mendeteksi keberadaan komponen sel, serta biomakromolekul seperti protein, karbohidrat dan enzim termasuk antioksidan (Griffith dan Hoppeler, 1986).

Proses pengamatan, deteksi dan identifikasi dilakukan dengan menggunakan bantuan mikroskop cahaya, terhadap kompleks


(44)

antigen-antibodi yang telah dilabel sebelumnya. Menurut Kuhlmann (1984), substansi yang cocok untuk melabel kompleks antigen-antibodi tersebut adalah yang dapat memberi reaksi warna yang tegas, yaitu kromogen. Kromogen yang digunakan dalam metode imunohistokimia pada penelitian ini adalah DAB (diaminobenzidine) yang menghasilkan kromoganin berupa endapan coklat. Kromoganin tersebut akan timbul dengan adanya substrat H2O2 dan peroksidase.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah polymer peroxidase. Metode ini merupakan salah satu metode dari teknik imunohistokimia yang menggunakan dua antibodi, yaitu antibodi primer (antibodi monoklonal terhadap insulin) dan antibodi sekunder yang telah dikonjugasi dengan peroxidase. Kelebihan metode ini adalah penggunaan antibodi sekunder (Dako Envision Peroxidase) yang telah dikonjugasikan peroxidase sehingga bereaksi dengan berbagai jenis antibodi monoklonal yang disekresi oleh beberapa jenis hewan.

H. TIKUS Sprague-Dawley

Terdapat lima macam basic stock tikus putih yang biasa digunakan, yaitu Long Evans, Osborne Mendel, Sherman, Sprague Dawley, dan Wistar (Muchtadi, 1989). Tikus Sprague Dawley (Gambar 4) telah diketahui sifatnya dengan baik, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan peka terhadap pengaruh perlakuan dalam komponen dietnya.


(45)

Beberapa karakteristik tikus Sprague Dawley adalah: (1) Nocturnal, berarti aktif pada malam hari dan tidur di siang hari, (2) Tidak mempunyai kantung empedu (gall blader), (3) Tidak dapat mengeluarkan isi perutnya (muntah), dan (4) Tidak pernah berhenti tumbuh, walaupun kecepatannya menurun setelah berumur 100 hari. Zat-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tikus hampir sama dengan manusia, yaitu: (1) karbohidrat, (2) minyak atau lemak, (3) protein, (4) mineral atau elemen anorganik, dan (5) vitamin (Muchtadi, 1989).


(46)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan

1. Bahan Pengujian Aktivitas Hipoglikemik

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun X, tikus Rattus novergicus strain Sprague Dawley jantan dengan berat ± 150–250 gram yang diperoleh dari Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, akuades, obat diabetes Amaryl® 1 mg, ransum pelet merk SINTA (diperoleh dari penyalur resmi di Cibanteng, Kabupaten Bogor), sekam, alloxan, kristal NaCl murni, larutan NaCl fisiologis, kapas, obat antiseptik dan alkohol 70 %.

2. Bahan Ekstraksi dan Analisis Fisiko-Kimia Tepung Ekstrak Daun X dan Ransum Pelet

Akuades, n-heksana, kertas saring, kapas, HCL 0.01 N, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, H3BO3, indikator merah metil 0.2 % dalam alkohol, metilen blue 0.2 % dalam alkohol dan Na2S2O3.

3. Bahan Sampling dan Analisis Jaringan Pankreas

Pada akhir penelitian diperlukan serum darah tikus, organ pankreas, kertas label, kertas film, larutan pemfiksasi organ (larutan Bouin yang terdiri dari asam pikrat jenuh, formalin p.a, dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15 : 5 : 1), alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70, 80, 90 dan 95 %, serta alkohol absolut I, II, III), xylol I, II, III, parafin cair I, II, dan III. Bahan lain yang juga diperlukan akuades, air kran, gliserin, pewarna Hematoxylin-Eosin, entelan, pemucat Hematoxylin (HCl 0.5% dalam alkohol 70%), serta bahan perekat preparat (neophren : toluen = 1 : 9), Na2HPO4.12H2O, NaH2PO4.2H2O, NaCl, NaOH, HCl, timerosal, deionized water, antibodi monoklonal insulin, es batu dan reagen-reagen untuk analisis kolesterol lengkap serta HbA1c.


(47)

B. Alat

1. Alat Penanganan Tikus

Alat-alat penanganan tikus terdiri dari pembuat larutan ekstrak (neraca analitik, sudip, gelas piala), sonde, glukometer Elite® beserta stripnya, alat pemeliharaan tikus (kandang, botol minum, plastik klip dan wadah ransum), timbangan tikus dan alat pembedahan serta pengambilan sampel (papan bedah, tissue, aluminium foil, gunting, pinset, cawan petri, syringe, microsentrifuse tube, tabung sentrifus dan sentrifus).

2. Alat Penanganan daun X

Alat pembuatan tepung daun X meliputi oven, willey mill dan blender kering. Alat pembuatan ekstrak terdiri dari gelas piala 1000 ml, hotplate, gelas pengaduk, corong, kain saring, rotary evaporator dan freeze-dryer.

3. Alat Analisis Fisiko-Kimia Tepung Ekstrak Daun X dan Ransum Pelet Alat-alat yang digunakan dalam analisis fisiko-kimia adalah sudip, neraca analitik, cawan aluminium, oven, desikator, cawan porselin, tanur, labu lemak, tabung Soxhlet, heating mantle, labu Kjeldahl, hotplate, destilator, labu Erlenmeyer, buret, pH meter, labu takar, tissue, sendok, tabung sentrifuse, sentrifuse, pipet dan vortex.

4. Alat Analisis Jaringan Pankreas

Alat-alat pengamatan histologi yang digunakan adalah inkubator, tabung film, silet, tissue embedding console, bunsen, cetakan pagoda, balok kayu (ukuran 3 cm x 1 cm x 1 cm), mikrotom, penangas, gelas obyek, gelas penutup, staining jar, corong gelas, lap, stop watch, kotak preparat dan mikroskop, gelas ukur, magnetic stirer, kertas saring, alumunium foil, akuades dalam botol semprot, styrofoam, jarum, mikrotip, label, keranjang preparat, handuk, dan refrigerator.


(48)

C. Metode Penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah pembuatan tepung ekstrak daun X serta analisis fisiko-kimia. Analisis fisiko-kimia hanya dilakukan terhadap tepung daun X sedangkan pelet ransum tikus hanya diujikan secara kimia. Analisis fisika yang dilakukan terhadap daun X meliputi penentuan rendemen, kapasitas pengikatan air dan indeks kelarutan air. Analisis kimia yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat pangan dan kadar karbohidrat (by difference).

a. Pembuatan tepung ekstrak daun X

Daun X kering diblender kering dan ditimbang bobot awalnya. Daun X kemudian dimasukkan ke dalam gelas piala yang berisi akuades dan dipanaskan dengan pengadukan di atas penangas listrik selama dua jam hingga volumenya berkurang 50 %. Hasil pemanasan kemudian disaring menggunakan kertas saring untuk memperoleh filtratnya. Filtrat dipekatkan menggunakan rotary evaporator bersuhu 75 oC selama satu jam. Filtrat pekatan kemudian dikeringbekukan (freeze dried) menggunakan freeze dryer. Tepung yang diperoleh kemudian ditimbang untuk menentukan rendemen.

b. Analisis fisiko-kimia

Prosedur analisis fisika yang dilakukan terhadap daun X adalah sebagai berikut :

1) Penentuan rendemen daun X

Rendemen daun X dihitung berdasarkan bobot keringnya. Rendemen daun X dapat dihitung dengan rumus :


(49)

Bobot tepung ekstrak daun X

Rendemen (%) = --- x 100 % Bobot tepung daun X

2) Kapasitas Pengikatan Air dan Indeks Kelarutan Air, metode Anderson (Paton dan Spratt, 1984)

Sebanyak 2.5 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse yang telah diketahui bobotnya (t), kemudian ditambahkan 25 ml akuades, divortex agar seluruh sampel terdispersi dalam air. Tabung berisi suspensi kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot awalnya (a-t). Setelah itu, tabung disentrifusi dengan kecepatan 2000 rpm pada suhu ruang selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh dituang secara hati-hati ke dalam wadah lain yang telah diketahui bobotnya untuk mengetahui bobot supernatan (b).

Sementara itu, 2 ml supernatan ditempatkan dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (x). Cawan tersebut kemudian dipanaskan dalam oven bersuhu 105 oC selama satu jam. Setelah satu jam, cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang kembali (d). Indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air ditentukan dengan rumus berikut :

(a-t) - b Indeks penyerapan air (g/g) = --- bobot sampel

d - x

Indeks kelarutan air (g/ml) = --- volume sampel

Prosedur analsis kimia yang dilakukan terhadap daun X dan pelet ransum tikus adalah sebagai berikut :


(50)

Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode oven. Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator hingga mencapai suhu ruang, kemudian ditimbang (A). Neraca di-nol-kan lalu sebanyak + 5 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang kembali (B). Cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven bersuhu 100 oC selama enam jam. Selanjutnya cawan berisi sampel dikeluarkan dari oven dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Setelah itu dilakukan penimbangan akhir hingga bobotnya konstan (C).

B - ( C – A )

Kadar air (% b/b) = --- x 100 % B - A

2) Kadar Abu (AOAC, 1995)

Cawan porselin dikeringkan dalam tanur bersuhu 500 oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sebanyak 3-5 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan kemudian ditimbang kembali (B). Cawan berisi sampel kemudian dibakar di atas hotplate hingga tidak berasap lagi, lalu dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 500 oC selama enam jam hingga diperoleh abu berwarna putih. Selanjutnya cawan berisi sampel dikeluarkan dari tanur dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Setelah itu dilakukan penimbangan akhir (C).

C - A

Kadar abu (% b/b) = --- x 100 % B - A

3) Kadar Protein Kasar (metode Kjeldahl) (AOAC, 1995)

Sampel sebanyak 0.1-0.15 gram ditimbang, kemudian dimasukan ke dalam labu Kjeldahl. Ditambahkan 2 ml H2SO4 pekat, 1.9 gram


(51)

K2SO4, 40 mg HgO dan beberapa batu didih. Sampel didestruksi hingga larutan berwarna jernih. Setelah dingin, ditambahkan sejumlah kecil air secara perlahan-lahan dan kemudian didinginkan. Isi labu dipindahkan ke dalam alat destilasi, labu dicuci dan dibilas 2-3 kali dengan akuades dan air cuciannya dipindahkan ke dalam alat destilasi dengan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Labu Erlenmeyer 125 ml yang berisi larutan 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran 1 bagian metil merah 0.2 % dalam alkohol dengan 1 bagian metilen blue 0.2 % dalam alkohol) dihubungkan dengan destilator, dimana ujung saluran destilator harus terendam di dalam larutan H3BO3. Selanjutnya dilakukan destilasi hingga tertampung kira-kira 15 ml destilat berwarna hijau dalam Erlenmeyer. Selanjutnya destilat dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi ungu dan dilakukan juga titrasi blanko.

(ml HCL – ml blanko)

% N = --- x N x 14.007 x 100 mg sampel

% protein = % N x 6.25

4) Kadar Lemak Kasar Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Labu lemak dikeringkan dalam oven bersuhu 100 oC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (A). Sebanyak + 5 gram sampel dibungkus kertas saring dan dimasukkan ke dalam tabung Soxhlet. Kondensor dirangkaikan pada bagian atas dan bagian bawahnya dihubungkan dengan labu lemak yang berisi 30 ml pelarut heksana di atas heating mantle. Refluks dilakukan selama kira-kira enam jam.

Setelah itu, sampel dikeluarkan dari tabung Soxhlet dan dilakukan destilasi heksana. Labu lemak yang berisi lemak sampel hasil ekstraksi kemudian dipanaskan dalam oven bersuhu 105 oC selama 30 menit hingga pelarut menguap seluruhnya. Setelah dikeluarkan


(52)

dari oven, labu lemak didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan kemudian ditimbang (B).

B - A

Kadar lemak (%) = --- x 100 %

Bobot sampel

5) Kadar serat pangan, metode enzimatik

Sebanyak 2 gram sampel diekstrak lemaknya dengan petroleum eter selama 15 menit. Kemudian diambil 1 gram dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan 25 ml 0.1 M buffer fosfat pH 6.0 serta dicampur secara menyeluruh. Lalu ditambahkan 0.1 ml alpha amylase (termamyl 120 l) dan labu ditutup dengan aluminium foil. Diinkubasi dalam penangas air panas (80 oC) bergoyang selama 15 menit. Selanjutnya dibiarkan dingin dan ditambahkan 20 ml air destilata, pH diatur menjadi 1.5 dengan HCl dan elektroda dibersihkan dengan beberapa ml air. 0.1 gram pepsin ditambahkan, ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 oC selama 60 menit, kemudian ditambahkan 20 ml air destilata dan diatur pH menjadi 6.8 dengan NaOH dan elektroda kembali dibersihkan dengan 5 ml air.

Selanjutnya ditambahkan 0.1 gram pankreatin, kemudian labu ditutup dengan aluminium foil dan kembali diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40 oC selama 60 menit, serta pH diatur menjadi 4.5 dengan HCl. Kemudian disaring dengan crucible, dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata.

Residu (Insoluble fiber).

Residu dalam crucible dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 90 % dan 2 x 10 ml aseton. Crucible dikeringkan pada suhu 105 oC sampai bobot tetap dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Kemudian diabukan pada suhu 550 oC selama 5 jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang (L1).


(53)

Filtrat (Soluble fiber).

Volume filtrat diatur dan dicuci dengan air sampai 100 ml, kemudian ditambahkan 400 ml etanol 95 % hangat (60 oC) dan dibiarkan presipitasi selama satu jam (waktu dapat diperpendek). Lalu disaring dengan crucible yang kering (porositas 2) yang mengandung 0.5 gram celite, selanjutnya dicuci berturut-turut dengan 2 x 10 ml etanol 78 %, 2 x 10 ml etanol 95 % dan 2 x 10 ml aseton.

Setelah filter gelas dikeringkan dalam desikator (D2), dan terakhir diabukan pada suhu 550 oC selama 5 jam serta ditimbang setelah pendingingan dalam desikator (L2). Dilakukan pula perhitungan nilai serat blanko dengan menggunakan prosedur di atas tetapi tanpa menggunakan sampel.

Perhitungan:

% serat pangan tak larut = [ (D1-L1-B1) / W] x 100% ….(1) % serat pangan larut = [ (D2-L2-B2) / W] x 100% ….(2) % Total serat pangan = (1) + (2)

Keterangan:

W = berat sampel (gram)

D = berat setelah pengeringan (gram) L = berat setelah pengabuan (gram) B = berat blanko bebas abu (gram)

6) Kadar karbohidrat (by difference)

Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan dengan metode pengurangan (by difference) sebagai berikut :

Kadar karbohidrat (%) = 100%--(kadar air + abu + protein + lemak) %

2. Penelitian Utama

Penelitian utama akan menguji pengaruh dosis tepung ekstrak daun X terhadap kadar glukosa darah tikus, yang menderita diabetes melitus tipe I


(54)

akibat induksi alloxan secara intraperitoneal, bila dibandingkan dengan pengaruh obat diabetes komersial.

a. Masa adaptasi hewan percobaan

Tikus percobaan diadaptasikan terlebih dahulu sebelum diberi perlakuan. Masa adaptasi bertujuan untuk membiasakan tikus terhadap lingkungan percobaan dan juga untuk menstabilkan bobot tubuh tikus minimal pada angka 150 gram. Setelah tikus berbobot minimal 150 gram, tikus siap untuk diinjeksi alloxan dan dibagi menjadi kelompok-kelompok perlakuan. Tikus-tikus yang akan dijadikan kelompok-kelompok kontrol negatif, dipisahkan.

b. Injeksi alloxan

Injeksi alloxan dilakukan untuk menginduksi tikus percobaan agar menderita diabetes melitus tipe I. Untuk memudahkan perhitungan dosis injeksi, dibuat larutan stok alloxan dengan konsentrasi 5 % (5 gram alloxan dalam 100 ml NaCl fisiologis). Dosis alloxan yang digunakan adalah 100 mg/kg bobot tubuh tikus (Kesenja, 2005).

Sebelum dilakukan injeksi, tikus dipuasakan selama satu malam. Injeksi alloxan dilakukan secara intraperitoneal pada semua tikus, kecuali tikus yang telah dipisahkan sebagai kontrol negatif. Setelah diinjeksi, tikus diberi ransum pelet dan air minum.

c. Seleksi tikus dan kelompok perlakuan

Dua hari setelah tikus diinjeksi, tikus diukur glukosa darahnya menggunakan perangkat glukometer Elite®. Pengukuran glukosa darah dilakukan dengan mengambil darah dari ekor tikus, yang telah dibersihkan, sebanyak satu tetes. Darah tikus tersebut kemudian diteteskan pada strip glukometer yang telah terpasang pada glukometer Elite®. Hanya tikus yang memiliki kadar glukosa darah spontan lebih dari 250 mg/dl yang digunakan dalam perlakuan.


(1)

Lampiran 21. Hasil uji statistik terhadap luasan pulau Langerhans per

lapang pandang pada tikus 30 hari (perbesaran 400x)

Oneway

ANOVA L_PL30

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups

Within Groups Total

4.07E+08 7.50E+08 1.16E+09

7 72 79

58204375.520 10411234.312

5.591 .000

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

L_PL30 Duncana

KELOMPOK N Subset for alpha = .05

1 2 3 F

E K(+) B D C A K(-) Sig.

10 10 10 10 10 10 10 10

5417.94 6085.85 8214.54

.070

8214.54 9301.25 9488.67 9510.70

.101

10898.23 12823.28

.186 Means for groups in homogeneous subsets are displayed

a

. uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000

Report

Std. Deviation

KELOMPOK L_PL30

K(-) 4035.7959 K(+) 3164.4918 A 3861.2795 B 2104.7833 C 3415.8148 D 3547.9703 E 3686.3620 F 3835.7471 Total 4042.8477


(2)

Lampiran 22. Hasil uji statistik terhadap jumlah sel

β

pankreas per lapang

pandang pada tikus 30 hari (perbesaran 100x)

Oneway

ANOVA BETA_30

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between Groups Within Groups Total

12209.600 2806.800 15016.400

7 32 39

1744.229 87.712

19886 .000

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

BETA_30 Duncana

KELOMPOK N Subset for alpha = .05

1 2 3 K(+)

D E C F B A K(-) Sig.

5 5 5 5 5 5 5 5

7.80 9.60 11.00 12.60 13.80 16.60

.202

16.60 26.80

.095

64.20 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed

a

. uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000

Report

Std. Deviation

KELOMPOK BETA_30 K(-) 18.240

K(+) 3.271 A 10.426 B 13.012

C 3.435 D 4.506 E 4.000

F 5.675 Total 19.622


(3)

Lampiran 23. Hasil perhitungan jumlah pulau Langerhans per lapang

pandang tikus 60 hari (perbesaran 100x)

Kelompok 1 2 3 4 5

Rata-rata

Rata-rata

PL/lpg pndg

/ekor

K(-)-1

P1

4 5 3 4 5 4.2

4.30

P2 2 5

6

6

3

4.4

K(-)-2

P1

4 5 3 4 4

4

3.80

P2 3 5 3 3 4 3.6

K(+)-1

P1

2 0 1 1 2 1.2

1.00

P2 1 1 0 1 1 0.8

K(+)-2

P1

1 2 1 0 2 1.2

1.20

P2 3 0 0 1 2 1.2

A3

P1

4 6 2 3 4 3.8

3.30

P2 2 4

1

3

4

2.8

A4

P1

9 4 3 3 2 4.2

4.20

P2 4 7 5 1 4 4.2

B3

P1

2 7 4 4 2 3.8

3.50

P2 4 2

5

3

2

3.2

B4

P1

4 2 0 1 1 1.6

2.10

P2 2 2 2 4 3 2.6

C3

P1

3 2 1 4 1 2.2

2.20

P2 1 2 4 2 2 2.2

C4

P1

3 4 5 3 7 4.4

4.60

P2 3 4 8 4 5 4.8

D3

P1

1 1 2 1 1 1.2

1.70

P2 2 2

2

3

2

2.2

D4

P1

2 3 2 1 2

2

1.90

P2 2 2 2 1 2 1.8

E3

P1

2 3 2 2 2 2.2

2.30

P2 4 2

1

3

2

2.4

E4

P1

6 4 2 3 4 3.8

3.90

P2 7 2 3 4 4

4

F3

P1

7 5 4 4 5

5

5.10

P2 5 5 6 7 3 5.2

F4

P1

2 2 3 1 2

2

2.00


(4)

Lampiran 24. Hasil uji statistik terhadap jumlah pulau Langerhans per

lapang pandang pada tikus 60 hari (perbesaran 100x)

Oneway

ANOVA PL_60

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between Groups Within Groups Total

144.044 338.450 482.494

7 152 159

20.578 2.227

9.242 .000

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

PL_60 Duncana

KELOMPOK N Subset for alpha = .05

1 2 3 K(+)

D B E C F A K(-) Sig.

20 20 20 20 20 20 20 20

1.10 1.80

.140

2.80 3.10 3.40 3.55

.074

3.55 3.75 4.05 .095 Means for groups in homogeneous subsets are displayed

a

. uses Harmonic Mean Sample Size = 20.000

Report

Std. Deviation

KELOMPOK PL_60 K(-)

K(+) A B C D E F Total

1.099 .852 1.943 1.609 1.875 .616 1.483 1.849 1.742


(5)

Lampiran 25. Hasil uji statistik terhadap luasan pulau Langerhans per

lapang pandang pada tikus 60 hari (perbesaran 400x)

Oneway

ANOVA L_PL60

Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Between Groups

Within Groups Total

4.72E+08 9.30E+08 1.40E+09

7 72 79

67390274.891 12916543.143

5.217 .000

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

L_PL60 Duncana

KELOMPOK N Subset for alpha = .05

1 2 3 D

E F K(+) C B A K(-) Sig.

10 10 10 10 10 10

5445.46 6729.40 7198.97 8214.54 8382.84

.108

6729.40 7198.97 8214.54 8382.84 10038.03

.069

10038.03 12096.71 12823.28

.106 Means for groups in homogeneous subsets are displayed

a

. uses Harmonic Mean Sample Size = 10.000

Report

Std. Deviation

KELOMPOK L_PL60 K(-)

K(+) A B C D E F Total

4035.7959 3164.4918 4445.0603 3210.1039 3434.7710 2876.7834 3691.1830 3642.6629 4212.2832


(6)

Lampiran 26. Hasil uji statistik terhadap jumlah sel

β

pankreas per lapang

pandang pada tikus 60 hari (perbesaran 100x)

Oneway

ANOVA BETA_60

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between Groups Within Groups Total

16781.900 10367.200 27149.100

7 32 39

2397.414 323.975

7.400 .000

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

BETA_60 Duncana

KELOMPOK N Subset for alpha = .05

1 2 3 E

K(+) B D C F A K(-) Sig.

5 5 5 5 5 5

6.20 7.80 9.00 14.00 29.40 29.80

.076

29.40 29.80 52.80 .060

52.80 64.20 .324 Means for groups in homogeneous subsets are displayed

a

. uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000

Report

Std. Deviation

KELOMPOK BETA_60 K(-)

K(+) A

18.240 3.271 42.376

B 3.536 C 13.939 D 6.595 E 1.643 F 14.132 Total 23.967