Konservasi Ex-situ Bambu Duri (Bambusa blumeana J.A. & J.H. Schultes) di Arboretum Bambu Kampus Darmaga

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bambu merupakan tumbuhan yang memiliki batang berbentuk buluh, beruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang berimpang dan mempunyai daun buluh yang menonjol. Berbeda dengan rotan buluh bambu sulit dibengkokkan dan memiliki potensi serbaguna bagi kebutuhan manusia (Sutiyono

et al. 1996). Menurut Sharma (1980) diacu dalam Aziz (2000), terdapat kurang lebih 1250 spesies bambu dari 75 genus yang tersebar di berbagai tempat di dunia dan 9 genus diantaranya meliputi 31 spesies dilaporkan berada di Indonesia. Pada pertemuan nasional Strategi Penelitian Bambu (Yayasan Bambu Lingkungan Lestari 1994) ditetapkan 12 spesies bambu langka yang merupakan indikator prioritas di Indonesia salah satunya adalahBambu duri (Bambusa blumeana J.A. & J.H. Schultes).

Bambu duri (B. blumeana) tergolong hasil hutan non kayu yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Tumbuhan ini memiliki potensi yang besar khususnya dalam fungsi ekologi yakni mempunyai sistem perakaran serabut dengan akar rimpang yang sangat kuat sehingga dapat menjaga sistem hidrologis sebagai pengikat tanah dan air serta akar yang mampu mencegah erosi dan dapat menyerap air hingga 90% sehingga dapat digunakan sebagai tanaman konservasi karena bambu yang berupa rumpun dapat menciptakan iklim mikro di sekitarnya. Selain itu, bambu merupakan penghasil oksigen paling besar dibanding tumbuhan berkayu (kemampuan fotosintesisnya 35% lebih cepat), daya serap karbon yang cukup tinggi, dan kemampuan yang cukup baik dalam memperbaiki lahan kritis.

Budidaya dan pemanfaatan bambu duri di Indonesia pada umumnya belum banyak diusahakan secara intensif, padahal tumbuhan ini dapat tumbuh subur dan dikembangkan dengan baik di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan bambu duri tahan terhadap kekeringan dan dapat tumbuh di daerah tergenang air selama 3 bulan (Heyne 1987). Pulau Jawa merupakan pengguna bambu paling banyak dengan konsumsi perbulan sekitar 456 juta batang, dimana 350 juta batang digunakan untuk perumahan. Menurut laporan FAO (1961)


(2)

diacu dalam Sastrapradja (1977) di Pulau Jawa 80% penggunaan bambu adalah untuk bahan bangunan dan 20% untuk keperluan lainnya. Menurut data BPS (1986-1999) permintaan ekspor rebung bambu diperlukan sampai 4500 ton setiap tahunnya.

Arboretum Bambu Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Darmaga mempunyai koleksi bambu duri (B.blumeana) yang keberadaannya saat ini belum banyak diketahui. Oleh karena itu, kajian terhadap konservasi bambu duri (B.blumeana) di Arboretum Kampus Darmaga sangat diperlukan sehingga dapat diketahui keberadaannya di Arboretum Bambu Kampus Darmaga dan kondisi kerusakan terhadap rumpun (buluh dan rebung) bambu duri (B.blumeana) serta dapat merumuskan mengenai program konservasi ex-situ bambu duri (B.blumeana).

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi kondisi kerusakan pada rumpun bambu duri (B. blumeana) di Arboretum Bambu Kampus Darmaga.

2. Mengidentifikasi faktor penyebab kerusakan rumpun bambu duri (B.blumeana).

3. Merumuskan program konservasi ex-situ bambu duri (B.blumeana) di Arboretum Bambu Kampus Darmaga.

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan data dan informasi mengenai keberadaan bambu duri (B.blumeana) sehingga konservasi ex-situ

bambu duri (B.blumeana) lebih ditingkatkan dan masyarakat lebih peduli serta tertarik untuk membudidayakannya.


(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-ekologi Bambu Duri 2.1.1 Taksonomi bambu duri

Bambu merupakan nama bagi kumpulan rumput-rumputan berbentuk pohon kayu atau perdu melempeng dengan batang yang biasanya tegak, kadang memanjat, mengayu dan bercabang-cabang serta dapat mencapai umur panjang yakni 40-60 tahun (Heyne 1987). Taksonomi Bambu duri (Bambusa blumeana

J.A. & J.H. Schlutes) menurut Dransfield dan Widjaja (1995) adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monokotil Ordo : Gramineae Famili : Poaceae Subfamili : Bambusideae Nama lokal : Bambu duri

Nama ilmiah : Bambusa blumeana J.A. & J.H.Schultes

Nama sinonim : Bambusa blumeana BI.ex.Schult.f., Bambusa spinosa Blume ex Nees (1825), B. pungens Blanco (1837), Bambus arundo

Blanco (1845)

Nama Inggris : Spiny bamboo dan thorny bamboo

Nama Indonesia : Bambu duri, haur cucuk (Sunda), pring gesing (Jawa).

2.1.2 Morfologi bambu duri

Bambu duri dicirikan oleh buluh yang berbiku-biku dengan duri pada cabang-cabangnya dan membentuk rumpun padat. Rebung muda berwarna hijau kekuningan dengan bulu hitam tersebar, kadang hijau dengan garis-garis kuning pada pelepahnya. Buluh bambu memiliki tinggi mencapai 25 m, diameter mencapai 15 cm, dinding tebalnya mencapai 3 cm atau kadang hampir tidak berlubang pada buluh yang tumbuh di dataran kering, ruas panjangnya 25-60 cm, gundul, hijau dengan buku-buku yang menonjol jelas. Buku-buku pada buluh


(4)

bagian pangkal tertutup akar udara. Percabangan muncul di seluruh buku-bukunya, cabang umumnya tumbuh secara horizontal dan ditumbuhi duri tegak atau melengkung, satu cabang lebih besar daripada cabang lainnya. Pelepah buluh mudah luruh dengan kuping pelepah buluh bercuping, tinggi 2-5 mm, dengan buluh kejur panjangnya 4-25 mm, daun pelepah buluh menyebar (Widjaja 2001).

2.1.3 Ekologi bambu duri

Habitat Bambu duri dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim kering, mulai dari dataran rendah sampai tempat dengan ketinggian 300 m dpl. Jenis ini dapat tumbuh di tanah yang terlalu basah saat musim hujan dan terlalu kering saat musim kemarau. Bambu duri banyak ditanam dan tumbuh liar di Jawa dan diduga berasal dari Jawa Timur (Sastrapradja et al. 1977).

Menurut Heyne (1987) bambu duri merupakan tumbuhan yang asli berasal dari India dan Srilangka kemudian menyebar luas hingga ke seluruh Asia Tenggara khususnya di Indonesia menyebar ke Sumatera, Kalimantan, Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Ambon, Maluku, Halmahera, Kepulauan Laut Ternate, dan Irian Jaya.

2.2. Arboretum

Konservasi terhadap kekayaan genetis yang mewakili flora dan fauna bertujuan untuk melestarikan dan mengamankan kekayaan biotik yang kita miliki Salim (1986) diacu dalam Dinata (2009). Menurut Dinas Kehutanan Republik Indonesia (1990), konservasi flora dan fauna dapat dilaksanakan baik di dalam kawasan (konservasi in-situ), maupun di luar kawasan (konservasi ex-situ). Tujuan dari konservasi tersebut adalah untuk melindungi dan melestarikan jenis, terutama pada flora dan fauna yang tergolong langka.

Konservasi ex-situ dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan semuajenis flora dan fauna untuk menghindari bahaya kepunahan.Salah satu alternatif bentuk aplikasi konservasi tumbuhan secara ex-situ adalah arboretum. Arboretum merupakan salah satu upaya untuk menangkarkan dan membudidayakan tanaman asli Indonesia. Selain itu, arboretum dapat ditata sedemikian rupa sehingga mampu menghubungkan bentuk antara kebun raya dan kebun koleksi kehutanan, terutama dalam fungsinya sebagai sumber plasma


(5)

nutfah. Menurut Taman (1955) diacu dalam Dinata (2009) arboretum adalah taman pohon-pohonan ataukayu-kayuan, termasuk jenis bambu yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuanterutama ilmu kehutanan.

Menurut SK Rektor Institut Pertanian Bogor tanggal 18 Agustus 1995nomor : 086/Um/1995 tentang pengelola Arboretum atau Taman Hutan Kampus Institut Pertanian Bogor Darmaga menyatakan bahwa keadaan Arboretum atau Taman Hutan Kampus Darmaga memiliki fungsi dan manfaat yang penting bagi pengelola baik sebagai upaya penghijauan kampus, upaya konservasi jenis secara ex-situ, keindahan maupun sebagai pengatur tata udara, tata air dan tata tanah bagi wilayah di sekitarnya.

2.3 Status Kelangkaan

International Union for Conservation of Natures (2011), mengelompokkan kategori kelangkaan tumbuhan menjadi 5 kategori sebagai berikut:

1. Punah (extinct): kategori untuk spesies tumbuhan yang diketahui telah musnah dan hilang sama sekali dari permukaan bumi.

2. Genting (endangered): kategori untuk spesies tumbuhan yang terancam kepunahan dan tidak akan dapat bertahan tanpa perlindungan yang ketat untuk menyelamatkan kelangsungan hidupnya.

3. Rawan (vulnerable): kategori untuk spesies tumbuhan yang tidak segera terancam kepunahan tetapi terdapat dalam jumlah yang sedikit dan ekploitasinya terus berjalan sehingga perlu dilindungi.

4. Jarang (rare): kategori untuk spesies tumbuhan yang populasinya besar tapi tersebar secara lokal atau daerah penyebarannya luas tetapi tidak sering dijumpai serta mengalami erosi berat.

5. Terkikis (indeterminate): kategori untuk spesies tumbuhan yang jelas mengalami proses kelangkaan tetapi informasi keadaan sebenarnya belum mencukupi untuk menempatkannya secara pasti dalam salah satu kategori di atas.


(6)

2.4 Konservasi Ex-situ

Konservasi menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan dan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Konservasi ex-situ adalah konservasi jenis flora dan fauna yang dilakukan di luar habitat alaminya (Widada et al. 2006). Konservasi ex-situ adalah upaya perlindungan, pemanfaatan dan pelestarian spesies di luar habitat aslinya berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian. Prioritas pelestarian ex-situ diberikan untuk spesies yang habitatnya telah rusak atau tidak dapat diamankan lagi. Menurut Zuhud et al. (2001) diacu dalam Hasanah (2008), tujuan pelestarian ex-situ adalah untuk diintroduksi kembali ke habitat aslinya yang bertujuan untuk kegiatan pemuliaan dan untuk tujuan penelitian dan pendidikan.

Menurut Sudarmonowati (2005) diacu dalam Farisa (2012), beberapa permasalahan dalam konservasi ek-situ antara lain keterbatasan fasilitas seperti fasilitas tempat penyimpanan koleksi untuk jangka panjang, keterbatasan tenaga terlatih dan keterbatasan dana karena upaya konservasi ex-situ memerlukan dana yang tidak sedikit. Teknik konservasi ex-situ di lapang memerlukan lahan yang luas dan tidak semua jenis tanaman dapat hidup di luar habitat aslinya. Sementara itu, konservasi ex-situ di laboratorium dengan kultur jaringan dapat menghemat tempat, namun masih banyak jenis tanaman yang belum dapat dikembangkan dengan kultur jaringan.

Konservasi ex-situ di lapang antara lain arboretum (kebun penelitian dan pendidikan), kebun raya, bank benih, bank gen lapangan dan kebun koleksi. Peranan dari kebun koleksi terutama adalah sebagai laboratorium hidup, gene pool

dan gene bank tumbuhan obat, dimana kisaran yang besar dari variasi genetik jenis dapat diperoleh. Bank keanekaragaman sumberdaya hayati ini berperan sangat penting sebagai sumber genetik untuk kegiatan penangkaran dan perakitan benih dan bibit unggul (Zuhud 1989). Kelemahan dari konservasi ex-situ di lapang adalah kemungkinan kehilangan koleksi akibat faktor alam seperti kemarau panjang, banjir, longsor dan lain-lain.


(7)

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, lembaga konservasi adalah lembaga yang bergerak di bidang konservasi tumbuhan atau satwa di luar habitat aslinya (ex-situ), baik berupa lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 pasal 15 menyatakan bahwa pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis tumbuhan dan satwa. Pemeliharaan meliputi juga koleksi jenis tumbuhan dan satwa di lembaga konservasi. Fungsi lembaga konservasi dijelaskan dalam pasal 22 yaitu: (1) pengembangbiakan dan atau penyelamatan tumbuhan dan satwa dengan tetap mepertahankan kemurnian jenisnya; (2) tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu pengetahuan.

2.5 Kegunaan Bambu

Menurut Sutrisno (2008) bambu memiliki 4 fungsi diantaranya : a. Fungsi ekologi

1. Tumbuhan bambu mempunyai sistem perakaran serabut dengan akar rimpang yang sangat kuat sehingga dapat menjaga sistem hidrologis sebagai pengikat tanah dan air dan dapat digunakan sebagai tanaman konservasi.

2. Tumbuhan bambu yang berupa rumpun dapat menciptakan iklim mikro di sekitarnya dan mampu menyerap Co2 dari udara.

3. Hutan bambu dalam skala luas memungkinkan mikroorganisme dapat berkembang bersama dalam jalinan rantai makanan yang saling bersimbiosis. 4. Melindungi DAS sebagai tanaman reboisasi, dengan pertimbangan bahwa

bambu digunakan sebagai tanaman untuk penghijauan karena memiliki pertumbuhan yang cepat, investasi kecil, tidak membutuhkan perawatan khusus, dalam usia 3-5 tahun telah memperoleh pertumbuhan yang baik dan dapat di panen setiap tahun.

5. Tumbuhan bambu dapat menimbulkan mata air karena efektif dalam konservasi air dan dapat menyerap air hujan sampai 90 %.

6. Tumbuhan bambu dapat meningkatkan permukaan air bawah tanah dan mampu menambah kapasitas air bawah tanah karena memiliki kemampuan


(8)

mempengaruhi retensi air dalam lapisan topsoil yang mampu meningkatkan aliran air bawah tanah.

b. Fungsi konstruksi

1. Kontruksi bangunan tahan gempa serta rancangan perumahan rumah sangat sederhana dengan menggunakan bahan bambu untuk tiang, dinding, kuda-kuda, dan atap.

2. Sebagai pagar alami di sekitar rumah masyarakat. c. Fungsi sosial budaya

1. Bambu menjadi kelengkapan dalam upacara adat, upacara pernikahan, dan lain-lainnya.

2. Sebagai alat musik khas komunitas tertentu seperti angklung, calung, suling, dan gambang.

3. Beberapa tempat, spesies bambu tertentu menjadi bagian dari mitos kelengkapan ritual masyarakat yang bernilai magis.

d. Fungsi ekonomi

1. Aneka bentuk kerajinan mulai dari kebutuhan rumah tangga, cinderamata, perdagangan, dan industri.

2. Pengembangan wirausaha kerajinan di Indonesia berusaha bersaing untuk meningkatkan kualitas, penampilan dan manfaat produk barang yang dihasilkan agar dipasarkan oleh pasar lokal maupun luar negeri.

2.6 Pemanfaatan Bambu Duri

a. Rebung

Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh yang tua. Rebung dapat digunakan untuk membedakan jenis bambu karena menunjukkan warna yang khas pada ujung dan bulu-bulu yang terdapat di pelepahnya. Sutiyono et al. (1996) menyatakan bahwa pucuk rebung bambu muda adalah bagian yang penting karena merupakan daerah pertumbuhan dengan ciri-ciri pendek, masif, penuh zat makanan dan terlindung oleh selubung yang kaku. Rebung bambu memiliki kandungan serat yang cukup tinggi sehingga sangat bermanfaat dalam proses pencernaan, mencegah kanker usus, menetralisir lemak dan melancarkan peredaran darah (Andoko 2003). Selain itu, menurut


(9)

Sutiyono et al. (1996), nilai gizi rebung bambuduri setiap 100 g rebung yang dimakan mengandung 87-88 g air; 3,9-4,4 g protein; 0,5 g lemak; 5,5 g karbohidrat; 1 g serat; 1 g abu; 20-24 mg Ca; 40-45 mg P; 0,1-0,4 mg Fe; 76 IU vitamin A; 0,16 mg vitamin B1; 0,05 mg vitamin B2 dan 0,3-0,5 mg vitamin C.

Jenis bambu duri memiliki kadar HCN kecil atau tidak ada. Menurut Asrori (2008) HCN atau asam sianida merupakan asam lemah yang bersifat korosif dan apabila dikonsumsi langsung akan membahayakan tubuh, senyawa HCN yang mudah larut dalam air dan mudah menguap pada suhu diatas 260C. Andoko (2003) menyatakan apabila rebung bambu mengandung HCN yang tinggi maka akan memiliki ciri rasa yang pahit dan berbahaya untuk dikonsumsi.

b. Daun

Masyarakat di daerah Jawa Barat atau dikenal dengan suku Sunda memanfaatkan daun bambu sebagai wadah pembungkus makanan. Makanan tersebut diantaranya adalah “koecang” yang terbuat dari beras yang dikukus menggunakan daun bambu. Daun bambu memberikan aroma khas pada makanan yang dibungkusnya dan memberikan warna hijau alami pada makanan tersebut.Menurut Sutiyono et al. (1996) daun bambu duri dapat digunakan untuk pakan ternak, obat pencuci mata, bronchitis, gonorrhea dan demam.

c. Buluh bambu (batang)

Menurut Sutiyono et al. (1996), buluh bambu duri memiliki buluh dengan diameter besar, berdinding tebal dan beruas pendek. Bambu jenis ini cocok digunakan untuk bahan bangunan seperti tiang, jembatan dan tanggul. Selain itu, bambu ini memiliki kandungan selulosa yang tinggi, lignin yang rendah dan serat yang mudah dipisahkan sehingga cocok digunakan untuk bahan pulp dan kertas.

Petani Filipina biasanya menggunakan bambu ini untuk ditanam di sekeliling rumah mereka sebagai penahan angin. Bambu ini juga ditanam sebagai pencegah erosi di tepi-tepi sungai. Bambu ini cocok digunakan sebagai pagar penahan angin karena buluhnya mudah dipotong, warna menarik, tumbuh dengan cepat, tajuknya rimbun dan mudah dibentuk, toleransi yang tinggi terhadap pemangkasan, serta pemeliharaan yang mudah dan melindungi tanah dari erosi (Sutiyono et al. 1996).


(10)

2.7 Budidaya Bambu

Perbanyakan secara generatif sulit dilakukan karena beberapa sifat dari pembungaan bambu. Sharma (1991) diacu dalam Aziz (2000) menyimpulkan beberapa hal mengenai pertumbuhan generatif bambu yaitu selamanya steril, selalu berbunga, dan mempunyai daur pembungaan. Umur bunga yang diketahui dapat mencapai 120 tahun. Setelah berbunga didapatkan tiga tipe perilaku yakni mempunyai pertumbuhan yang lambat, kematian di bagian atas tanah saja, dan kematian di bagian atas dan bawah tanah. Oleh sebab itu, selama ini sebagian besar perbanyakan bambu digunakan dengan cara vegetatif yakni stek.

Pembiakan bambu duri (B. blumeana) memiliki 2 teknik yakni secara vegetatif dan generatif. Stek merupakan cara perbanyakan tanaman secara vegetatif yang paling sederhana dan sudah cukup lama dilakukan masyarakat sebelum mengenal cangkok dan okulasi. Stek bambu dilakukan dengan cara memisahkan atau memotong beberapa bagian dari tanaman agar bagian tersebut membentuk akar (Andoko 2003). Pembiakan bambu duri (B. blumeana) memiliki 2 teknik yakni secara vegetatif dan generatif.

Buku batang, cabang, dan akar merupakan sumber potensial untuk menghasilkan tunas dan akar. Oleh karena itu dalam usaha memperoleh bibit bambu ketiga jenis tersebut perlu dimanfaatkan. Keuntungan pembibitan dengan stek batang, cabang, dan akar adalah relatif menghasilkan bahan bibit lebih banyak, tanaman cepat besar, cepat berproduksi, dan memiliki sifat yang sama dengan tanaman induknya (Andoko 2003) selain itu menurut Sutiyono et al.

(1996) keuntungan stek bonggol akar (rhizom) yakni tingkat keberhasilannya relatif sangat tinggi dan pertumbuhan bambu mencapai perumpunan normal relatif cepat (3-5 tahun). Sedangkan kelemahan menggunakan stek akar adalah harus membongkar induk rumpun yang tentunya kalau tidak hati-hati bisa merusak atau mematikan batang lain yang akarnya tidak diperlukan.

Oleh karena itu, dilakukan efisiensi dengan cara memanfaatkan seluruh batang yang dipilih untuk bibit mulai buku-buku sisa batang yang ditebang. Bahkan bisa juga dimanfaatkan cabang-cabang sebagai stek cabang. Oleh sebab itu, hanya dilakukan 2 jenis stek yakni stek batang (buluh bambu) dan stek cabang bambu duri. Stek bonggol akar tidak dilakukan karena membongkar indukan


(11)

rumpun dapat merusak buluh bambu lain dan mematikan akar rimpang disekitarnya.

2.7.1 Teknik pembibitan stek batang

Batang bambu yang baik untuk stek yakni dari batang bawah sampai tengah yang mengeluarkan batang tunas atau mata tunas pada buku-bukunya. Setelah batang induk ditentukan kemudian bagian yang akan di stek dipotong dengan gergaji sepanjang ± 20 cm di bawah dan atas buku-buku yang mengeluarkan tunas. Polybag persemaian yang telah berisi stek batang diletakkan pada tempat yang teduh dan lembab untuk merangsang keluarnya akar dan daun, untuk mempertahankan kelembapan, media persemaian dapat disiram air secara rutin atau sesuai dengan kebutuhan.Setelah 2-3 bulan stek telah mulai berakar dan mengeluarkan daun (Andoko 2003). Batang bambu dipotong-potong berukuran 10 cm dari bawah dan atas buku yang terdapat tunas atau calon tunas sehingga stek batang berukuran ± 20 cm dan siap di tanam (Sutiyono et al. 1996).

2.7.2 Teknik pembibitan stek cabang

Bahan bibit yang berasal dari stek cabang dipilih dari cabang yang menempel pada indukan kemudian dipotong cabang mulai dari pangkal yang menempel pada buku batang. Cabang yang telah dipotong kemudian dipotong lagi bagian ujung sehingga diperoleh panjang stek cabang ± 75 cm (3-4 ruas). Stek cabang tersebut kemudian dimasukkan ke dalam polybag yang telah terisi media tanam. Waktu pembibitan baik dilakukan pada musim hujan karena memiliki tingkat kelembapan yang relatif tinggi sehingga buku-buku batang dan cabang segera muncul tunas (Sutiyono et al. 1996) kemudian menurut Andoko (2003)

polybag persemaian stek cabang bambu tersebut diletakan di tempat yang teduh dan lembab serta disiram secara teratur untuk mempercepat keluarnya akar stek cabang. Setelah ± 2-3 bulan stek cabang bambu yang hidup akan mulai tumbuh akar.

2.8 Pertumbuhan Bambu

Pertumbuhan merupakan pembelahan sel (peningkatan jumlah) dan pembesaran sel (peningkatan ukuran) dan memerlukan sintesis protein dan prosesnya tidak dapat berbalik (Gardner et al. 1991 diacu dalam Nadeak 2009).


(12)

Pertumbuhan batang bambu dapat dibedakan menjadi 3 yakni pertambahan tinggi pada ujung batang (rebung) yang disebabkan oleh aktivitas sel-sel jaringan meristem apikal (Sutiyono et al. 1996). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bambu diantaranya :

a. Tanah

Semua jenis tanah dapat ditanami bambu kecuali tanah yang terdapat di dekat pantai jika tumbuh pertumbuhannya akan lambat dan ukuran batang kecil. Verhoef (1957) diacu dalam Sutiyono (1996) menyatakan bahwa berbagai keadaan tanah dapat ditumbuhi bambu mulai dari tanah berat sampai tanah yang kurang subur.Jenis tanah yang terletak di daerah Arboretum Bambu Kampus Darmaga merupakan jenis tanah latosol coklat kemerahan. Menurut Soepardi (1983) tanah latosol memiliki produktifitas yang baik dan relatif lebih subur dibanding tanah jenis lainnya.

Beberapa pengamatan menunjukkan ada kecenderungan bahwa tingkat kesuburan tanah berpengaruh terhadap ukuran batang baik panjang ruas, diameter, tebal dinding tetapi tidak terhadap jumlah ruas. Pada tanah yang memiliki kesuburan tinggi akan menghasilkan ukuran batang yang lebih besar (Sutiyono et al. 1996).

b. Ketinggian tempat

Tumbuhan bambu dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, dari pengunungan berbukit-bukit dengan lereng curam sampai landai, dari ketinggian 0-300 mdpl. Bambu duri akan tumbuh dengan baik pada selang ketinggian 0-600 mdpl (Sutiyono et al. 1996).

c. Iklim

Suhu udara, curah hujan, dan kelembapan udara merupakan fakor-faktor yang mempengaruhi iklim. Menurut Huberman (1959) diacu dalamSutiyono (1996) suhu yang cocok untuk pertumbuhan bambu berkisar antara 8,8oC-36oC, curah hujan 1020 mm/tahun dan kelembapan udara dibutuhkan minimal 80%. Tumbuhan bambu di Indonesia tumbuh pada berbagai tipe iklim mulai dari tipe curah hujan A,B,C,D sampai E atau dari iklim basah sampai kering. Semakin basah tipe iklim maka semakin banyak jumlah jenis bambu karena


(13)

tumbuhanbambu memerlukan banyak air. Hal ini terlihat oleh banyaknya tumbuhan bambu yang tumbuh di pinggir-pinggir sungai (Sutiyono et al. 1996). d. Hormon Tumbuhan

Hormon tumbuhan (Zat pengatur tumbuh) berasal dari bahasa Yunani yaitu hormaein memiliki arti merangsang, membangkitkan atau mendorong timbulnya suatu aktivitas biokimia sehingga fito-hormon tanaman dapat didefinisikan sebagai senyawa organik tanaman yang bekerja aktif dalam jumlah sedikit, ditransportasikan ke seluruh bagian tanaman sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan atau proses-proses fisiologi tanaman. Hormon hanya efektif pada jumlah tertentu. Konsentrasi yang terlalu tinggi dapat merusak bagian yang terluka. Bentuk kerusakannyaberupa pembelahan sel dan kalus yang berlebihan serta mencegah tumbuhnya tunas dan akar sedangkan apabila konsentrasi di bawah optimum maka menjadi tidak efektif (Wudianto 1994).


(14)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Arboretum Bambu Kampus Darmaga, selama satu bulan yaitu dari bulan November sampai Desember 2011.

3.2 Obyek dan Alat Penelitian

Obyek penelitian adalah spesies bambu duri (Bambusa blumeana J.A. & J.H. Schultes) yang diamati dan diambil di Arboretum Bambu Kampus Darmaga. Alat yang diperlukan untuk penelitian diantaranya meteran, penggaris, golok atau parang, kamera, GPS, dan alat tulis.

3.3 Jenis Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yakni data yang diperoleh dengan pengamatan langsung di lokasi penelitian sedangkan data sekunder yakni data yang diperoleh dari sumber literatur (media elektronik, pustaka, jurnal, dan lain-lain) yang digunakan sebagai penunjang di dalam hasil penelitian

3.3.1 Data primer

Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lokasi penelitian: 1. Karakter morfologi bambu duri yang terdiri dari :

a. Jenis rimpang (monopodial atau simpodial).

b. Bentuk rebung, warna pelepah rebung, warna buluh pada pelepah rebung, bentuk kuping pada pelepah rebung, dan pinggiran pelepah rebung.

c. Tipe buluh, tinggi buluh, warna buluh (tua dan muda), panjang ruas buluh, diameter buluh, ketebalan dinding buluh, dan karakter buku pada bambu. d. Jarak percabangan dari tanah, jumlah percabangan, tipe cabang, dan ujung

percabangan bambu.

e. Luruh atau tidaknya pelepah buluh, panjang pelepah buluh, warna, bentuk kuping, lipatan ujung kuping, bulu kejur pada kuping, tinggi dan pinggiran buluh.


(15)

f. Ukuran daun, warna daun, tekstur permukaan atas dan bawah daun, ada tidaknya bulu kejur pada kuping pelepah daun, tinggi ligula, dan ada tidaknya bulu kejur pada ligula.

2. Jumlah rumpun bambu yang ada di lokasi penelitian. 3. Kondisi rumpun bambu (buluh dan rebung bambu).

3.3.2 Data sekunder

Data sekunder didapatkan melalui kajian pustaka meliputi kondisi fisik lokasi penelitian, taksonomi dan morfologi bambu duri, karakteristik pertumbuhan bambu duri, tindakan konservasi untuk mengurangi kerusakan dan lain-lainnya.

3.4 Cara dan Pengumpulan Data

Data dikumpulkan melalui observasi lapang dengan cara mengamati kondisi rumpun (buluh dan rebung bambu) yang berada di lokasi penelitian meliputi jumlah buluh yang patah dan jumlah yang masih hidup serta kondisi rebung yang masih hidup dibandingkan dengan kondisi ideal yang ada pada kajian pustaka.

3.5 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif berdasarkan pengamatan langsung di lokasi penelitian serta menggunakan acuan literatur dari berbagai pustaka yang berhubungan dengan hasil penelitian. Hasil yang dianalisis adalah identifikasi dan karakteristik bambuduri (bambusa blumeana), identifikasi ancaman kerusakan, kondisi lingkungan (persaingan dan perlindungan) dan program konservasi ex-situ bambu duri (B.blumeana)


(16)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Umum Arboretum Bambu Kampus Darmaga 4.1.1 Letak dan luas

Arboretum Bambu Kampus Darmaga secara administratif masuk ke dalam wilayah Kampus IPB Dramaga, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jarak dari Kota Bogor ± 10 km ke arah barat. Secara geografis letak Arboretum Bambu Kampus Darmaga yakni antara 6o 33' 40.110" LS hingga 6o 33' 47.075" LS dan 106o 43' 17.172" BT hingga 106o 43' 29.647" BT sedangkan batas letak Arboretum Bambu Kampus Darmaga dengan luas 2 ha adalah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Jalan Agatis IPB (Kebun Karet). b. Sebelah Selatan : Jalan Raya Ciampea.

c. Sebelah Timur : Jalan Agatis IPB (Pintu Dua IPB).

d. Sebelah Barat : Sungai Cihideung (Kampung Leuwikopo).

Gambar 1 Lokasi bambu duri di Arboretum Bambu. Sumber : Citra google maps 2011.


(17)

4.1.2 Topografi, curah hujan dan iklim

Topografi di Arboretum Kampus Darmaga memiliki tapak yang miring dan bergelombang.Menurut Dinata (2009), curah hujan rata-rata tahunan di Arboretum Bambu Kampus Darmaga adalah 345 mm/thn dengan suhu rata-rata tahunan 26 0C. Menurut klasifikasi iklim Schmit dan Ferguson, Arboretum Bambu memiliki tipe iklim A dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3.552 mm, kelembapan nisbi rata-rata pertahun diatas 80% dan suhu udara rata-rata sepanjang tahun 25 0C.

4.1.3 Tanah

Jenis tanah di Arboretum Bambu Kampus Darmaga adalah tanah latosol coklat kemerahan yang terbentuk dari bahan tuf vulkan intermedier. Kadar pH tanahnya masam, yakni pada kisaran 5,6 dengan kandungan bahan organik yang cukup. Tanah tersebut, memiliki kedalaman solum lebih dari 90 cm. Menurut Soepardi (1983), tanah jenis latosol mempunyai produktifitas yang baik dan relatif lebih subur dibanding tanah jenis lainnya.

4.1.4 Sejarah Arboretum Bambu di Kampus Darmaga

Vegetasi bambu yang terdapat di Arboretum Bambu, Kampus Darmaga yang ditanam sejak tahun 1993 sebanyak 60 rumpun dan 39 spesies yang berbeda dengan jarak tanam 8m x 8m. Kondisi areal penanaman miring sehingga dibentuk berteras-teras dan pada bagian bawah terdapat sebuah anak sungai yang dialiri air (Dinata 2009).

Dinata (2009), Arboretum Bambu Kampus Darmaga dengan luas 2 ha yang merupakan kebun koleksi plasma nutfah untuk vegetasi bambu. Lokasi Arboretum Bambu Kampus Darmaga pada awalnya merupakan kebun karet, mulai dijadikan dan diresmikan sebagai Arboretum Bambu pada tanggal 26 Agustus 1998.

4.1.5 Pengelola Arboretum Bambu Kampus Darmaga

Menurut Surat Keputusan Rektor Institut Pertanian Bogor Nomor : 086/Um/1995 tanggal 18 Agustus 1995 mengenai pengelola Arboretum Kampus Darmaga menyatakan bahwa ketua pengelola Arboretum Bambu Kampus Darmaga adalah Kepala Laboratorium Konservasi Tumbuhan Fakultas Kehutanan IPB. Anggota yang mengelola yakni laboratorium di lingkungan Fakultas Kehutanan IPB yang terdiri dari Laboratorium Konservasi Tumbuhan,


(18)

Laboratorium Penangkaran Hidupan Liar, Laboratorium Ekologi Hutan, Laboratorium Silvikultur, Laboratorium Analisis Lingkungan, Laboratorium Pengelolaan DAS, Studio Rekreasi Alam, dan Laboratorium Perlindungan Hutan. Penanggung jawab arboretum bambu adalah Dekan Fakultas Kehutanan IPB dengan pengawas Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata serta Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.

4.1.6 Fungsi Arboretum Bambu Kampus Darmaga

Arboretum Bambu Kampus Darmaga menurut Surat Keputusan Rektor Institut Pertanian Bogor Nomor : 086/Um/1995 pada tanggal 18 Agustus 1995 menyatakan bahwa :

a. Arboretum Bambu Kampus Darmaga mempunyai fungsi dan manfaat yang penting bagi pengelola baik sebagai upaya penghijauan kampus, upaya konservasi jenis secara ex-situ, keindahan, maupun sebagai pengatur tata udara, tata air dan tata tanah bagi wilayah di sekitarnya.

b. Arboretum Bambu Kampus Darmaga memiliki arti penting bagi kelangsungan proses belajar mengajar di IPB Darmaga, terutama dalam fungsinya sebagai pengatur iklim mikro dan salah satu laboratorium alam.


(19)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Bambu duri di Arboretum Bambu Kampus Darmaga

Kondisi bambu duri (Bambusa blumeana J.A. & J.H. Schlutes) saat ini sangat memprihatinkan karena hanya memiliki satu rumpun bambu dengan jumlah buluh yang rusak lebih banyak dibandingkan dengan yang hidup. Tabel 1 Mengukur kondisi bambu duri di Arboretum Bambu IPB.

Tabel 1 Kondisi bambu duri (B.blumeana) di Arboretum Bambu Kampus Darmaga

No. Bagian Bambu Duri Ukuran Jumlah

1 Keliling Rumpun 3,5 m × 3,5 m 1

2 Buluh Bambu

Keliling Diameter Rusak dan Patah Hidup

18,6 cm -30 cm 5,9 cm -9,5 cm

49 29 20 4 5 Rebung Diameter ujung Diameter tengah Diameter pangkal Keliling ujung Keliling tengah Keliling pangkal Tinggi 5,1 cm 6,9 cm 8 cm 16 cm 21,6 cm 25 cm 60,8 cm 1

5.2 Morfologi Bambu duri

a. Akar rimpang

Akar rimpang pada bambu duri memiliki ruas yang pendek, arah percabangan yang tidak beraturan dan rapat. Ciri-ciri tersebut sesuai dengan jenis simpodial. Menurut Widjaja (2001), bambu duri merupakan jenis simpodial. Simpodial dicirikan oleh ruas yang pendek dengan leher yang pendek mempunyai kuncup yang akan berkembang dan tumbuh menjadi akar rimpang baru dan tumbuh ke atas membentuk rebung kemudian menjadi buluh. Akar rimpang


(20)

terletak di bawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang dapat dipakai untuk membedakan kelompok bambu. Bagian pangkal akar rimpangnya lebih sempit daripada bagian ujungnya dan setiap ruas mempunyai kuncup dan akar. Kuncup dan akar kemudian akan berkembang menjadi rebung yang memanjang dan akhirnya menghasilkan buluh. Pertambahan dimensi buluh akan berhenti bila puncak maksimum ukuran yang dimiliki oleh jenis tersebut telah tercapai. Rimpang simpodial juga memiliki ciri membentuk rumpun yang rapat dengan arah tumbuh rimpang yang tidak teratur.

Gambar 2 Akar rimpang simpodial. b. Rebung

Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh yang tua. Menurut Heyne (1987) buluh muda (rebung) akan menampilkan pertumbuhan yang cepat dan menakjubkan yang tidak dapat ditandingi dengan tanaman jenis lain. Semakin menuju ke ujung puncak, buluh bambu akan semakin tipis dan apabila mencapai panjang yang maksimal maka ujung puncaknya akan merunduk.

Rebung muda pada bambu duri berwarna hijau tua dan pelepahnya berwarna kekuningan serta dominan ditutupi oleh bulu-bulu halus berwarna hitam. Salah satu rebung bambu memiliki keliling bagian atas sebesar 16 cm; tengah 21,6 cm; dan bawah 25 cm serta tinggi rebung ini mencapai 60,8 cm.


(21)

Gambar 3 Rebung bambu.

Rebung muda ini dapat digunakan untuk membedakan jenis karena menunjukan ciri khas warna pada ujung dan bulu-bulu yang ada pada pelepahnya. Menurut Khrishnawamyi (1956) diacu dalam Sutiyono et al. (1996). Pertumbuhan bambu muda (rebung) berlangsung cepat dan mencapai ukuran tinggi maksimal setelah 2-4 bulan atau selama musim hujan.


(22)

c. Buluh

Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi maksimum dalam beberapa minggu. Buluh terdiri dari ruas dan buku-buku.Ukuran buluh bambu duri memiliki keliling berkisar 18,6-30 cm dengan diameter berukuran 10-18 cm. Total buluh bambu di Arboretum Bambu Kampus Darmaga berjumlah 49 dengan jumlah buluh bambu yang hidup yakni 20 sedangkan yang rusak dan patah berjumlah 29. Tipe buluh bambu duri tegak sampai berbiku-biku dengan tinggi maksimum ± 25 m. Warna pada buluh tua berwarna hijau tua sedangkan pada buluh muda berwarna hijau muda. Panjang ruas berkisar antara 25-60 cm dengan diameter ± 15 cm serta ketebalan dinding ± 3cm. Karakter buku pada pangkal tertutup oleh akar udara.

Menurut Widjaja et al. (2001), buluh bambu duri memiliki ruas yang pendek antara 25-60 cm dengan tinggi buluhnya mencapai 25 m, diameter mencapai 15-18 cm, dinding tebalnya mencapai 3 cm atau kadang hampir tidak berlubang pada buluh yang tumbuh di dataran yang kering, dan buku-buku yang menonjol dengan jelas.

Gambar 5 Buluh bambu.

Buluh bambu umunya berwarna hijau namun dan memiliki perbedaan dalam tingkatan warna. Karakter buluh bambu mengalami perubahan seiring perkembangan buluh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Banik (1993) diacu dalam Irawan et al. (2006) bahwa karakter morfologi buluh muda dan tua memiliki perbedaan yang cukup jelas dalam warna dan tekstur permukaan buluh. Buluh


(23)

berwarna hijau terang dengan buku-buku agak membengkak dan bagian bawah tumbuh akar udara. Akar udara merupakan akar yang tumbuh dari bagian batang di atas tanah dan mengantung di udara.

Gambar 6 Akar udara.

Allo (2009) menyatakan bahwa jumlah ruas dan panjang ruas akan menentukan tinggi batang bambu sehingga semakin banyak jumlah ruas dan panjang ruas maka batang akan semakin tinggi. Panjang ruas sangat dipengaruhi oleh curah hujan dan semakin tinggi curah hujan maka pertumbuhan batang pada generasi pertama masih berukuran kecil kemudian saat berumur dua tahun buluh bambu (batang) baru akan tumbuh serta berukuran lebih besar dibanding ukuran awalnya demikian seterusnya sehingga pada umur 3-8 tahun buluh bambu telah berukuran normal. Dalam keadaan normal ukuran buluh bambu (tinggi, diameter, dan keliling) bambu yang muncul setiap tahun selalu tetap sama dengan generasi sebelumnya. Besar kecilnya ukuran diameter batang sangat dipengaruhi oleh kesuburan tanah.Semakin subur tanah maka semakin besar diameter batang begitu pula sebaliknya.

d. Percabangan

Percabangan terdapat diatas buku-buku. Bambu ini memiliki sistem percabangan dengan satu cabang yang lebih besar daripada cabang lainnya yang lebih kecil (polykotome unequal). Cabang lateral yang tumbuh pada batang utama biasanya berkembang ketika buluh mencapai tinggi maksimum dan cabang muncul tepat di atas tanah serta menjadi rumpun padat di sekitar dasar rumpun


(24)

dengan duri. Selain itu, percabangan muncul di seluruh buku-bukunya, cabang tumbuh horizontal dan ditumbuhi duri tegak atau melengkung serta satu cabang lebih besar daripada cabang lainnya. Pada percabangan bambu ini juga tumbuh akar udara yang dan dapat dipotong untuk dijadikan stek cabang. Jarak percabangan dari tanah berukuran antara 1- 2 m. Jumlah percabangan sebanyak 5-15 cabang dengan tipe cabang satu cabang utama yang lebih besar dibanding yang lain atau disebut polykotome unequal. Bentuk percabangan, cabang tumbuh horizontal dengan duri tegak atau melengkung.

Gambar 7 Percabangan lateral.

Duri merupakan anak cabang aksiler (cabang yang tumbuh pada batang lateral) yang melengkung dan berujung lancip (Widjaja 2001). Satu cabang duri utama memiliki 20 anak cabang duri dengan panjang cabang utama 3,5 meter.


(25)

e. Pelepah buluh

Pelepah buluh merupakan hasil modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas yang terdiri dari daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh, dan ligula. Daun pelepah buluh terdapat pada bagian atas pelepah, sedangkan kuping pelepah buluh dan ligulanya terdapat pada sambungan antara pelepah dan daun pelepah buluh. Warna pelepah buluh hijau kekuningan tetapi pada bambu duri yang ada di Arboretum Bambu Kampus Darmaga umumnya telah tua dan mati. Bentuk daun pelepah terkeluk terbalik dengan bentuk kuping bercuping. Bulu kejur tidak ada. Sedangkan menurut Widjaja (2001) pelepah buluh berukuran 15-35 cm × 18-30 cm. Pelepah buluh mudah luruh dengan kuping pelepah bercuping, dengan buluh kejur dan daun pelepah yang menyebar.

Gambar 9 Pelepah buluh bambu duri.

f. Helai daun dan pelepah daun

Helai daun pada daun bambu duri berbentuk lanset (Gambar 9).Daun tua memiliki warna sama dengan daun muda yakni hijau muda dengan ukuran panjang ± 22,93 cm; lebar pangkal ± 3 cm; lebar tengah ± 3,8 cm; lebar ujung 1,4 cm sedangkan pada daun muda ukuran panjang ± 10,58 cm; lebar pangkal ± 1,55 cm; lebar tengah ± 2,33 cm, dan lebar ujung sebesar ± 1,23 cm.


(26)

Gambar 10 Perbandingan daun bambu duri.

Tekstur permukaan atas dan bawah daun tidak berbulu dan halus serta memiliki bentuk daun lokos (sifat permukaan daun yang licin tanpa sisik dan bulu). Selain itu, memiliki urat daun yang sejajar seperti rumput dan tiap daun mempunyai tulang daun yang menonjol.

Sharma (1991) diacu dalam Aziz (2000) menyimpulkan beberapa hal mengenai pertumbuhan generatif bambu yaitu selamanya steril, selalu berbunga, dan mempunyai daur pembungaan.Umur bunga yang diketahui dapat mencapai 120 tahun.Setelah berbunga didapatkan tiga tipe perilaku yakni mempunyai pertumbuhan yang lambat, kematian di bagian atas tanah saja, dan kematian di bagian atas dan bawah tanah.

Menurut Ginting (1990) bambu duri mulai berbunga bila telah berumur 30 tahun sedangkan menurut Dransfield et al. (1995) bambu duri berbunga sangat jarang terjadi umumnya pada rentang waktu antara 20 – 30 tahun dan tumbuhan akan mati setelah berbunga, di Filipina perkembangbiakan bunga telah diteliti sejak tahun 1990, rumpun bambu yang berumur 100 tahun memiliki 6 tangkai perbungaan sedangkan rumpun yang berumur 45 tahun memiliki 3 dan 5 tangkai perbungaan. Perbungaan terjadi dari bulan Januari sampai Oktober setelah tangkai perbungaannya mati maka tidak akan tumbuh buah.

Sedangkan menurut Sutiyono et al. (1996) perbungaan pada mulanya di ujung cabang yang berdaun dan akhirnya dihasilkan dalam kelompok kecil. Buliran semu pada buku-buku cabang yang tidak berdaun, buliran lanset ± 2 cm


(27)

terdiri dari 0-2 sekam kosong, 3-7 floret yang fertile dan 1-3 floret tidak sempurna. Floret merupakan salah satu bunga kecil penyusun bunga majemuk.

Gambar 11 Daun bambu duri (Sumber : Sastrapradja et al.1977).

5.3 Kondisi Buluh Bambu Duri 5.3.1 Produktivitas buluh

Produksi buluh bambu pada anakan berjumlah 4 buluh dengan diameter berkisar 3,1 cm – 5,9 cm dan buluh dewasa berjumlah 45 buluh dengan diameter berkisar 3,1 cm – 10 cm. Membedakan jenis buluh anakan dan dewasa adalah dengan cara melihat pertumbuhan buluh tersebut apabila buluh bambu masih menguncup dan belum terlihat tumbuhnya percabangan maka bambu tersebut adalah jenis anakan sebaliknya apabila bambu tersebut telah terlihat pelepah buluh dan telah tumbuh percabangan maka jenis tersebut adalah jenis dewasa.

Tabel 2 Produktivitas buluh bambu

No. Produksi Buluh Jumlah Buluh Diameter Buluh

1 Anakan 4 3,1 cm - 5,9 cm

2 Dewasa 45 3,1 cm -10 cm

5.3.2 Kerusakan buluh

Jenis buluh bambu yang rusak akibat patah berjumlah 29 jenis bambu dewasa dengan diameter 3,6 cm – 5,4 cm. Menurut Sutiyono et al. (1996), setiap tahun bambu duri dapat menghasilkan 5-20 buluh per rumpun tetapi jumlah bambu duri yang berada di Arboretum Bambu hanya berkisar 49 buluh bambu dimana 29 buluh bambu telah mengalami patah buluh. Kerusakan yang dialami


(28)

cukup parah hal ini dapat terlihat dari banyaknya buluh yang telah mati dan tidak mampu berproduksi sehingga sulit untuk menghasilkan rebung muda. Tetapi masih terdapat 4 anakan buluh bambu yang masih hidup sehingga proses regenerasi masih dapat terjadi.

Proses regenerasi ini dapat terjadi apabila dilakukan pemangkasan terhadap buluh-buluh bambu yang telah patah sehingga merangsang pertumbuhan bagi anakan untuk mendapatkan zat-zat makanan, ruang gerak dan cahaya matahari yang penuh. Selain itu, pembersihan cabang berduri dan dasar rumpun tua akan meningkatkan produksi batang (buluh) bambu. Buluh dalam satu rumpun sebaiknya tidak dibiarkan terlalu rimbun, harus terdapat jarak satu dengan yang lain. Pemangkasan secara rutin pada rumpun akan mempermudah merangsang pertumbuhan batang baru ditengah-tengah rumpun serta sesuai dengan pernyataan Andoko (2003), bahwa pemangkasan yang dilakukan secara teratur akan membuat seluruh zat makanan diserap oleh pertumbuhan buluh utama sehingga zat-zat makanan akan menstimulasi pertumbuhan rebung.

Gambar 12 Pengukuran buluh bambu. Gambar 13 Buluh bambu yang patah.

5.4 Kondisi Rebung Bambu Duri 5.4.1 Produktivitas rebung

Rebung muda yang hidup berjumlah 1 rebung. Rebung muda memiliki diameter ujung 5,1 cm; tengah 6,9; pangkal 8 cm dengan tinggi 60,8 cm serta rebung ini tidak mengalami kerusakan. Rebung muda memiliki warna hijau tua


(29)

dan pelepahnya berwarna kekuningan serta ditutupi bulu-bulu halus berwarna hitam.

Tabel 3 Produktivitas rebung muda bambu duri

No. Bagian bambu Ukuran Jumlah

1 Rebung

Diameter ujung Diameter tengah Diameter pangkal Tinggi

5,1 cm 6,9 cm 8 cm 60,8 cm

1

Menurut Dransfield et al. (1995), rebung bambu muda 1 rumpun/tahun dapat menghasilkan 6-7 rebung muda sedangkan jika dikelola dengan baik dan dilakukan pemeliharaan yang intensif bambu duri dapat menghasilkan rata-rata 15 rumpun/tahun sehingga dapat dihasilkan 90-105 rebung muda/tahun. Rebung yang tumbuh di Arboretum Bambu Kampus Darmaga kurang mendapatkan nutrisi yang cukup baik sehingga pertumbuhan rebung menjadi terhambat dan hanya menghasilkan 1 rebung muda.

5.4.2 Kerusakan rebung

Berdasarkan hasil pengamatan hanya ditemukan 1 rebung muda yang masih hidup. Rebung muda ini tidak mengalami kerusakan dan masih dalam kondisi yang baik. Menurut Dransfield et al. (1995), rebung bambu duri (B.blumeana) dapat menghasilkan rebung muda sekitar 6-7 rebung muda/tahun tetapi di lokasi penelitian hanya didapatkan 1 rebung muda. Hal ini disebabkan rebung muda kurang mendapatkan nutrisi yang baik, sebagian besar nutrisi diserap oleh spesies tumbuhan lain (pohon kedawung dan karet) selain itu terdapat buluh-buluh bambu yang rusak (patah) yang tidak di pangkas. Menurut Andoko (2003), pemangkasan yang dilakukan secara teratur akan membuat seluruh zat makanan diserap oleh pertumbuhan buluh utama sehingga zat-zat makanan akan menstimulasi pertumbuhan rebung.

5.5 Kondisi Tanah

Kondisi tanah di Arboretum bambu merupakan jenis tanah latosol kemerahan. Soedyanto et al. (1981) menyatakan tanah latosol mempunyai solum


(30)

tanah sedalam (1,5 m – 10 m) dengan batas horizon yang tidak jelas. Pori lapisan atas sampai bawah memiliki tekstur tanah liat, struktur remah dan konsistensi gembur. Reaksi tanah masam sampai agak masam (pH 4,5-6,5). Kandungan bahan organik lapisan atas (3-10) % dan memilki kandungan hara rendah sampai sedang.Permeabilitas tanah agak cepat, mudah merembeskan air, daya menahan air cukup baik, tanah tahan terhadap erosi, produktivitas tanah sedang sampai tinggi.Hal ini sesuai dengan pernyataan Dransfield et al. (1995) bahwa bambu duri cocok tumbuh di tanah latosol kemerahan karena spesies bambu duri (B.blumeana) dapat mentolerir pH tanah optimal 5-6,5 serta tumbuh di tanah padat yang mengandung tekstur liat yang tinggidan dapat hidup pada ketinggian diatas 300 meter.

Selain itu, bambu duri (B.blumeana) dapat tumbuh dengan baik di sepanjang sungai, lereng bukit, dan anak sungai air tawar tetapi tidak cocok di tanah yang mengandung garam (hutan pantai).

Gambar 14 Tanah latosol kemerahan.

5.6 Identifikasi Kerusakan 5.6.1 Faktor lingkungan

a. Persaingan Interspesifik

Bambu duri merupakan tumbuhan yang intoleran yakni membutuhkan ruang tumbuh dengan cahaya matahari yang penuh sehingga bambu tersebut akan tumbuh dengan cepat. Buluh bambu ini mengalami patah akibat adanya persaingan tumbuhan antara bambu dengan spesiestumbuhan lain (persaingan interspesifik).


(31)

Menurut Vickery (1984) diacu dalam Indriyanto (2006) persaingan yang terjadi diantara tumbuhan baik persaingan yang bersifat intraspesifik maupun interspesifik disebabkan masing-masing spesies tumbuhan mencoba menempati relung ekologi yang sama khususnya di dalam kompetisi menggunakan unsur-unsur lingkungan (unsur-unsur hara, mineral, tanah,air, cahaya dan ruang tumbuh) sebagai sumberdaya bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Buluh bambu di Arboretum Bambu Kampus Darmaga tertutup oleh spesies tumbuhan lain yakni pohon karet (Hevea brasiliensis) dan pohon kedawung (Parkia roxburghii) sehingga pertumbuhan bambu ini akan terhambat serta kemungkinan besar tidak dapat bertahan hidup dan akhirnya mati. Kecepatan perkecambahan biji dan pertumbuhan anakan (seedling) pohon karet (Hevea brasiliensis) dan pohon kedawung (Parkia roxburghii)yang lebih cepat dibandingkan bambu duri (B. blumeana) menyebabkan pertumbuhan bambu duri (B.blumeana) menjadi terhambat. Tumbuhan tersebut saling bersaing di dalam memperebutkan air, udara dan unsur hara yang berada di bawah tanah yang merupakan komponen esensial bagi tumbuhan. Kecepatan pertumbuhan akar juga mempengaruhi kemampuan untuk berfotosintesis. Ketidakmampuan tumbuhan bambu duri (B.blumeana) untuk bersaing terhadap unsur hara, air, tanah, dan udara yang berada di dalam tanah (substrat) akan mengakibatkan pengurangan pertumbuhan pucuk (tunas).

Pertumbuhan pucuk (tunas) yang bagus menyebabkan kemampuan fotosintesis menjadi lebih cepat dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap semua pertumbuhan organ seperti, batang, daun dan akar. Oleh sebab itu, perlunya pemangkasan pohon karet (Hevea brasiliensis) dan pohon kedawung (Parkia roxburghii) sehingga bambu duri (B.blumeana) dapat mendapatkan cahaya matahari dan tidak adanya kompetisi di dalam memperebutkan unsur-unsur lingkungan.


(32)

Gambar 15 Pohon kedawung. Gambar 16 Bambu duri yang patah.

Gambar 17 Pohon karet.

Rumpun bambu dapat menghasilkan batang (buluh) bambu dengan ukuran maksimal atau dewasa setelah 3-6 tahun. Pertumbuhan ukuran buluh bambu tergantung spesies, kondisi tanah, kelembaban, dan posisi batang dalam rumpun. Semakin batang dalam rumpun berada di posisi luar atau pinggir (terkena cahaya matahari) maka batang tersebut akan lebih cepat tumbuh dewasa dibandingkan yang tumbuh ditengah-tengah rumpun yang kurang mendapatkan cahaya matahari.

b. Jarak rumpun

Jarak rumpun antara bambu duri dengan jenis tanaman lain terlalu rapat. Hal ini menyebabkan bambu ini sulit mendapatkan unsur-unsur hara. Bambu duri (B.blumeana) merupakan jenis bambu yang memiliki diameter yang besar dengan


(33)

diameter berkisar antara 3,1 cm – 10 cm. Sebaiknya jarak rumpun disesuaikan dengan jenis bambu sehingga semakin besar buluh bambu maka jarak tanam akan semakin lebar. Hal ini sesuai dengan pernyataan (White 1948; Sindoesuwarno 1963 diacu dalam Sutiyono et al. 1996) yang menyatakan makin besar ukuran batang-batang bambu dalam rumpun maka jarak rumpunnya semakin lebar.

Jarak rumpun sebaiknya berukuran 8m × 8m sehingga pertumbuhan buluh bambu tidak terlalu rapat dengan jenis tumbuhan lain maupun jenis bambu lain yang ditanam di sekitar rumpun bambu duri (B.blumeana).

c. Angin kencang

Angin kencang yang bersamaan dengan hujan petir juga merupakan salah satu faktor alam yang dapat merusak kondisi buluh bambu duri. Kecepatan angin yang tinggi dapat menyebabkan buluh-buluh bambu patah. Pada bambu duri angin memberikan dampak tidak langsung seperti patahan buluh bambu spesies lain yang disebabkan oleh angin menimpa buluh bambu duri sehingga buluh bambu duri menjadi patah.

5.7 Program Konservasi Ex-situ Bambu Duri

5.7.1 Perbanyakan secara vegetatif dengan stek cabang dan batang

Perbanyakan bambu duri (B.blumeana) dapat dilakukan dengan cara menggunakan stek batang dan cabang dengan 6 sampel bibit. Masing-masing jenis stek terdiri dari 3 bibit.

Cara perbanyakan dengan stek batang yaitu dari batang bawah sampai tengah yang mengeluarkan batang tunas atau mata tunas pada buku-bukunya. Batang bambu dipotong dengan menggunakan parang atau golok kemudian setelah media tanam disiapkan maka batang dimasukkan ke dalam polybag yang telah berisi media tanam. Sedangkan pada stek cabang juga dipilih dari cabang yang menempel pada indukannya kemudian cabang dipotong mulai dari pangkal yang menempel pada buku batang. Cabang yang telah dipotong lalu dipotong lagi bagian ujungnya.Setelah itu masukan ke dalam polybag yang telah terisi media tanam. Menurut Uchimura (1980) dan Aziz et al. (1991) di acu dalam Aziz (2000) perbanyakan dengan buluh merupakan cara perbanyakan yang sejauh ini berhasil


(34)

untuk bambu simpodial dan mudah berakar. Tahapan-tahapan pengambilan bambu duri untuk stek batang dan cabang dapat disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18 Tahapan pengambilan bambu duri.

Waktu pembibitan baik dilakukan pada musim hujan karena memiliki tingkat kelembapan yang relatif tinggi sehingga buku-buku batang dan cabang segera muncul tunas (Sutiyono et al. 1996) kemudian menurut Andoko (2003)

polybag persemaian stek bambu tersebut diletakan di tempat yang teduh dan lembab serta disiram secara teratur untuk mempercepat keluarnya akar. Setelah ± 2-3 bulan stek cabang bambu yang hidup akan tumbuh akar.

5.7.2 Pemangkasan

Bambu duri (B.blumeana) yang berada di lokasi penelitian dibiarkan tumbuh dengan sendirinya akan membentuk cabang dan ranting yang rapat. Rumpun bambu yang membentuk cabang dan ranting yang rapat dapat membuat zat makanan hanya terkonsentrasi pada pertumbuhan cabang dan ranting.

Pemangkasan sebaiknya dilakukan pada cabang-cabang primer dan yang dapat menganggu pertumbuhan buluh bambu (batang) yang utama.Andoko (2003), pemangkasan yang dilakukan secara teratur akan membuat seluruh zat


(35)

makanan diserap oleh pertumbuhan buluh bambu utama sehingga zat-zat makanan tersebut akan menstimulasi pembentukan rebung.

Pemangkasan dilakukan sejak awal penanaman agar rumpunnya tidak terlalu rapat. Kegiatan pemangkasan dilakukan pada awal musim hujan sehingga dapat menstimulasi pertumbuhan rebung yang akan tumbuh pada musim hujan dan batang (buluh) bambu dapat menghasilkan ukuran yang besar. Pemangkasan cabang-cabang bawah dapat mengurangi serangan jamur karena adanya sirkulasi udara yang baik.Pembersihan cabang ini dapat membantu perbaikan pertumbuhan tanaman dan perbaikan kualitas bambunya. Selain itu, pembersihan cabang berduri dan dasar rumpun tua akan meningkatkan produksi batang (buluh) bambu. Buluh dalam satu rumpun sebaiknya tidak dibiarkan terlalu rimbun, harus terdapat jarak satu dengan yang lain. Pemangkasan secara rutin pada rumpun akan mempermudah merangsang pertumbuhan batang baru ditengah-tengah rumpun.

5.7.3 Penyiangan

Rumput, tumbuhan bawah dan semak-semak yang berada di sekitar bambu sebaiknya dibersihkan secara rutin.Penyiangan ini dilakukan agar seluruh hara tanaman dapat dimanfaatkan oleh bambu duri (B.blumeana) saja. Rumput dan semak-semak yang telah dibersihkan sebaiknya dibenamkan di sekitar rumpun bambu agar menjadi kompos yang bermanfaat bagi spesies bambu duri (B.blumeana).

Gambar 19 Tumbuhan bawah yang berada di sekitar rumpun bambu.

5.7.4 Pemasangan pagar

Pemasangan pagar di sekitar rumpun bambu duri (B.blumeana) perlu dilakukan untuk menghindari ketertarikan masyarakat setempat untuk mengambil spesies bambu duri (B.blumeana), sebelum dilakukan pemasangan pagar


(36)

sebaiknya tumbuhan bawah, rumput dan semak disiangi terlebih dahulu sehingga lebih mudah untuk pemasangan pagar.

5.7.5 Pembuatan dan pemasangan papan interpretasi

Pembuatan papan interpretasi perlu dilakukan. Isi dari papan interpretasi meliputi nama lokal, nama ilmiah, deskripsi morfologi, manfaat bambu duri, penyebaran, dan dicantumkan foto atau gambar bambu duri serta sebaiknya terbuat dari besi agar lebih tahan lama dan kuat sehingga tidak rusak oleh gangguan alam.

Pemasangan papan interpretasi ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya manfaat bambu duri dan dapat berupa himbauan atau larangan pengambilan dan perusakan rumpun bambu duri terutama terhadap rebung dan buluh bambu duri.

5.7.6 Kultur jaringan (in-vitro)

Kultur jaringan (Tissue Culture) merupakan istilah umum yang ditujukan pada budidaya secara in vitroterhadap berbagai tanaman yang meliputi batang, daun, akar, bunga, kalus, sel, dan protoplas, dan embrio. Bagian-bagian tersebut disebut eksplan yang diisolasi dari kondisi in-vivo dan dikultur pada medium buatan yang steril sehingga dapat beregenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman yang lengkap (Street 1997 diacu dalam Zulkarnain 2009).

Menurut (Vongvijitra 1988; Mascerenhos et al. 1998; Saxena 1990 diacu dalam Aziz 1999), tahap-tahap yang dilakukan adalah proferasi tunas kemudian pembentukan akar melewati kalus kemudian embryogenesis (Vongvijitra 1998diacu dalam Aziz 1999). Pada proliferasi tunas terbaik, Vongvijitra (1988) menggunakan media mushige dan skoog (MS) yang ditambah dengan 2 × 10-5 M BAP dengan laju perbanyakan 20-25 tunas.

Prutpongse dan Gavinletvatena (1992) diacu dalam (Aziz 1999) mendapatkan bahwa bahan eksplan yang baik untuk digunakan adalah yang berasal dari kuncup aksilar muda yang cabangnya belum berbunga. Kuncup-kuncup ini ditanam dalam bentuk potongan-potongan buku pada medium MS yang berisi 22 Um BA. Tunas-tunas yang muncul harus diakarkan pada medium MS yang berisi 5.4 Um NAA. Dari hasil percobaan-percobaan tahun 1997 atau 1998 didapatkan media MS dengan penambahan 3.0 ppm BAP dan 1.0 ppm


(37)

Kineting dapat mempertinggi tunas sedangkan media MS yang diperkaya dengan 2.0 BAP dan 0,5 ppm Kineting menginduksi pertunasan baru dari potongan buku serta untuk pembentukan kalus media MS yang diperkaya dengan Picloram 1.0 ppm adalah yang terbaik.

5.7.7 Penyiraman

Penyiraman dilakukan terutama pada bulan-bulan yang kering sehingga pertumbuhan bambu lebih cepat dan dapat menghasilkan rebung dan buluh bambu yang bermutu baik.

5.7.8 Pembersihan gulma

Pembersihan gulma melalui penyiangan dan pembuatan guludan yang dibuat di sekitar tanaman dan di dalam radius yang agak luas cukup dengan pembabatan atau penyemprotan hibrisida.

5.7.9 Pemupukan

Pemupukan sangat dianjurkan untuk meningkatkan pertumbuhan tumbuhan bambu. Sutrisno (2008), pemupukan dapat dilakukan setiap 3 bulan atau sekali dalam setahun tergantung kondisi tanahnya. Dosis pupuk per hektar hingga mencapai 300 kg nitrogen (1,5 kg setiap rumpun) atau rumpun batang jenis besar dapat mencapai 10 kg setiap satu rumpun. Penggunaan pupuk yang berlebihan terutama selama 4-6 minggu sebelum rebung tumbuh akan menyebabkan rebung menjadi lembek dan bertekstur kasar.

5.7.10 Pemberantasan hama dan penyakit

Dransfield et al. (1995), di Filipina bambu duri umumnya mengalami karat daun yang disebabkan oleh hama (Phakopsora loutidae) dan tungau yang disebabkan oleh hama (Schizostatranycus floressi). Tungau ini biasanya menyerang daun bambu. Penyakit dan hama tersebut tidak terlalu berdampak serius bagi pertumbuhan bambu.

Pemberantasan hama dan penyakit pada tanaman bambu dapat dilakukan dengan cara menyemprotkan fungisida atau insektisida yang sesuai dengan jenis hama atau penyakit yang menyerang tanaman bambu. Sutrisno (2008), pembasmian hama dapat menggunakan kerosene (5%), suspense air, dimetro ociclohexylphenol yang dilumuri resin, cresoto, garam wolman, borax, suspense garam anorganik atau minyak ranggon.


(38)

5.8 Skema Identifikasi Kerusakan pada Bambu Duri

Kerusakan yang terjadi pada buluh dan rebung muda bambu duri (B.blumeana) dapat dikategorikan cukup parah. Hal ini terlihat dari jumlah buluh bambu yang patah berkisar 29 buluh bambu dewasa, dimana jumlah buluh yang patah lebih banyak dibandingkan buluh yang masih hidup. Proses regenerasi pada buluh bambu duri (B.blumeana) masih dapat terjadi karena masih adanya 4 anakan buluh bambu yang dapat tumbuh menjadi buluh dewasa. Sedangkan jumlah rebung yang hidup hanya terdapat 1 rebung muda. Menurut Dransfield et al. (1995), bambu duri dapat menghasilkan 6-7 rebung muda dalam 1 rumpun/ tahun.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan pemangkasan terhadap buluh-buluh bambu yang telah patah sehingga merangsang pertumbuhan bagi anakan untuk mendapatkan zat-zat makanan, ruang gerak dan cahaya matahari yang penuh. Selain itu, pembersihan cabang berduri dan dasar rumpun tua akan meningkatkan produksi batang (buluh) bambu. Selain itu, menurut Andoko (2003), pemangkasan yang dilakukan secara teratur akan membuat seluruh zat makanan diserap oleh pertumbuhan buluh bambu utama sehingga zat-zat makanan tersebut akan menstimulasi pembentukan rebung.

Kerusakan bambu duri (B.blumeana) juga dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor manusia. Faktor lingkungan disebabkan oleh persaingan bambu duri (B.blumeana) dengan jenis tanaman lain atau disebut persaingan interspesifik. Persaingan ini meliputi persaingan memperebutkan unsur hara, mineral, tanah, air, cahaya, dan ruang tumbuh. Tumbuhan lain yang mampu menyerap unsur-unsur lingkungan lebih banyak maka tumbuhan tersebut akan tumbuh lebih cepat dan tumbuh subur sebaliknya apabila bambu tidak mampu atau sedikit menyerap unsur-unsur lingkungan maka pertumbuhan bambu ini akan terhambat, rusak (patah) dan tidak dapat bertahan hidup atau mati. Hal ini yang terjadi pada spesies bambu duri (B.blumeana) di Arboretum Bambu Kampus Darmaga.

Selain persaingan interspesifik terdapat faktor lain seperti jarak rumpun dan angin kencang. Jarak rumpun antara bambu duri dan tumbuhan jenis lain terlalu rapat sehingga bambu sulit mendapatkan unsur-unsur lingkungan (unsur hara,


(39)

mineral, tanah, air, cahaya dan ruang tumbuh). Bambu duri (B.blumeana) merupakan jenis bambu yang memiliki diameter yang besar berkisar 3,1 cm – 10 cm sehingga memerlukan jarak rumpun dengan ukuran yang lebih lebar. Jarak rumpun yang disarankan sebaiknya berukuran 8 m × 8 m. Faktor angin yang kencang juga mempengaruhi kerusakan pada bambu duri. Daerah Bogor terutama di Arboretum Bambu Kampus Darmaga memiliki tipe iklim A dengan curah hujan yang tinggi disertai hujan dan petir yang dapat merusak kondisi rumpun bambu.

Faktor manusia yang mempengaruhi kerusakan bambu duri (B.blumeana) yaitu kurangnya pemeliharaan sehingga bambu ini dibiarkan tumbuh dengan sendirinya tanpa adanya perawatan dan pemeliharaan. Oleh sebab itu, diperlukannya program konservasi ex-situ guna pelestarian spesies bambu duri (B.blumeana). Program konservasi ex-situ meliputi, percobaan perbanyakan vegetatif (stek cabang dan batang) terlihat pada Gambar 20, pemangkasan, penyiangan, pemasangan pagar, pembuatan dan pemasangan papan interpretasi, dan in-vitro). Berikut berupa skema identifikasi kerusakan bambu duri (B.blumeana).


(40)

Persaingan interspesifik

Jarak rumpun An gin ken can g

Program konservasi ex-situ

Pembuatan & pemasangan

papan interpretasi

Buluh Rebung

Kerusakan bambu duri

Perbanyakan vegetatif (stek batang dan cabang)

Penyiangan Pemasangan

Pagar Penyiraman

Pembersihan gulma Pemupukan Pemberantasan hama & penyakit Patah buluh 40 Diameter Produksi 29 buluh

Buluh dewasa : 3,1 cm -10 cm

4 buluh anakan

45 buluh dewasa Lingkungan

Pertumbuhan Produktivitas Kerusakan 1 Rebung muda 6-7 rbg/thn Tidak ditemukan


(41)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Arboretum Bambu Kampus Darmaga memiliki 1 rumpun bambu duri (B.blumeana J.A. & J.H. Schultes) yang telah mengalami tingkat kerusakan cukup parah. Hal ini terlihat dengan jumlah patah buluh (29) yang lebih banyak dibandingkan yang masih hidup (20).

2. Faktor penyebab kerusakan pada bambu duri disebabkan oleh faktor lingkungan di antaranya faktor persaingan interspesifik , jarak rumpun dan angin kencang.

3. Program konservasi ex-situ yang dapat dilakukan meliputi percobaan perbanyakan vegetatif (stek batang dan cabang), penyiangan tumbuhan bawah, pemasangan pagar, pembuatan dan pemasangan papan interpretasi, dan kultur jaringan (in-vitro).

6.2 Saran

1. Perlunya kegiatan perbanyakan individu bambu duri (B. blumeana) dengan menggunakan perlakuan-perlakuan tertentu untuk meningkatkan keberhasilan dalam proses perbanyakan individu bambu duri (B. blumeana) 2. Perlunya perawatan intensif bambu duri (B. blumeana) di Arboretum

Bambu Kampus Darmaga

3. Perlunya peran serta masyarakat untuk lebih mengenal bambu duri (B.blumeana) dan mengetahui manfaatnya sehingga masyarakat lebih tertarik untuk membudidayakan spesies bambu ini.


(42)

KONSERVASI

EX-SITU

BAMBU DURI

(

Bambusa blumeana

J.A. & J.H. Schultes) DI ARBORETUM

BAMBU KAMPUS DARMAGA

BRIGITTA PRITA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Allo. 2009. Koleksi Jenis-Jenis Bambu Di KHDTK Mengkendek Tana Toraja Sulawesi Selatan.Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar.

Andoko. 2003. Budidaya Bambu Rebung. Yogyakarta : Kanisius.

Asrori A. 2008. Efektivitas penghambatan ekstrak daging biji picung (Pangium edule) terhadap pertumbuhan Rhizoctonia sp. secara In Vitro [skripsi]. Bogor: Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.

Aziz, Ghulamahdi, Adiwirman. 1991. Kemungkinan cara pembibitan dan pemberian rootoone f pada perbanyakan bambu betung (Dendrocalamus asper (Schult.F) Backer ex Heyne). Seminar Nasional III Aplikasi Agrokimia dan Konsekuensi Lingkungannya, Juli 1991.

Aziz. 2000. Pemanfaatan teknik kulturjaringan untuk penyediaan bibit bambu betung berkualitas. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Berliana V dan Rahayu E. 1995. Bambu, Budidaya dan Prospek Bisnis Bambu. Jakarta: Penebar Swadaya.

Dinata Y M. 2009. Perancangan lanskap Arboretum Bambu sebagai obyek agroedutourism di Kampus Institut Pertanian Bogor. [Skripsi]. Bogor: Departemen Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Dransfield J, Rao A N, Dransfield S, Widjaja E A, Renuka C, Mohamad A. 1994.

Priority species of bamboo and rattan.Jakarta: INBAR & IBPGRI.

Dransfield S, Widjaja, E A. (Editors). 1995. Plant resources of South-East Asia No.7 Bambos. Backhuys Publishers, Leiden.189 pp.

Gardner F P, Pearce R B, Roger L M. 1981. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta: UI Press. 247-248 hal.

Heyne. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Jakarta: Jilid I : 332-346. Badan Penelitian Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan.

[IUCN] International Union for Conservation of Natures. 2011. IUCN red list of threatened species. Version 2011.1.www.iucnredlist.com [20 Januari 2012]. Mascarenhos A F, Nadgir A L, Thengane S R, Padhe C H, Kuspe S S, Shirgurkar

M V, Parasharanir V A and Nadgauda R S. 1988. Potential application of tissue culture for propagation of Dendrocalamus strictus.

Nadeak M N. 2009. Deskripsi budidaya dan pemanfaatan bambu di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat dan Desa Rumpin Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.


(44)

Prutpongse D and Gavinletvatena P. 1992. In-vitro microprogation of 54 species from 15 genera of bamboo. Hort. Sci.27 (5):453-454.

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Saefudin dan Rostiwati T. 2009. Pemilihan bahan vegetatif untuk penyediaan bibit bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea). Bogor: Lembaga Biologi Nasional dan Pusat Litbang Kehutanan- LIPI.

Salim E. 1986. Pembangunan berwawasan lingkungan. Jakarta: LP3ES. 237 hal. Sastrapadja S, Widjaja E.A, Mogea J P. 2000. Di Antara Alunan Bambu dan

Bisikan Rotan. Bogor: Naturae Indonesiana-NATURINDO.

Sastrapradja S, Widjaja E.A, Prawiroatmodjo, Soenarko S. 1977. Beberapa jenis bambu. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.

Saxena S. 1990. In-vitro propagation of the bamboo (Bambusa tulda) through shoot proliferation. Plant Cell Report. 9: 431-434.

Sharma Y M L. 1991. The flowering of bamboo-fallacies and facts in: Proceeding bamboo in Asia and The Pasific, Ed. G.Lessard and A. Chouinard, pp. 68-70, Singapore.

Soedyanto R.B.M, Sianipar, A. Susani dan Hardjanto. 1981. Bercocok tanam. CV.Yasa Guna. Jakarta.

Street H.E. 1997. Plant Tissue and Cell cultures.Oxford, London: Blackwell Scientific Publications.

Sutiyono. 2007. Koleksi jenis-jenis bambu pusat penelitian dan pengembangan hutan dan konservasi alam Bogor di stasiun penelitian hutan Arcamanik, Bandung. Di dalam: Makalah penunjang pada ekspose hasil-hasil Penelitian konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan: Padang, 20 September 2006. Bogor : LIPI. hlm 303.

Sutiyono, Hendromono, Marfu’ah, Ihak. 1996. Teknik budidaya tanaman bambu. Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan.

Sutrisno. 2008. Budidaya Bambu.Yogyakarta: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo.

Uchimura E. 1980. Bamboo cultivation. In: Proceeding of workshop in Singapore, May, 28-30 1980 bamboo research in Asia, Ed. G.Lessard and A. Chouinard, Singapore.

Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dinas Kehutanan Republik Indonesia.


(45)

Vongvijitra R. 1988. Traditional vegetative propagation and tissue culture of some Thai bamboo. In Rao I.V.R, R. Granahara, C.B Sharti (eds). Proceeding of Int. Bamboo Workshop. India.

Widada, Mulyati S, Kobayashi H. 2006. Sekilas tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Jakarta: Ditjen PHK-JICA.

Widjaja W.A.2001.Identikit Jenis-Jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI.

Wudianto R. 1994. Membuat Setek, Cangkok, dan Okulasi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. 1994. Strategi penelitian bambu Indonesia. Bogor. 201 hal.

Zuhud E A M. 1989. Strategi pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati tumbuhan obat Indonesia. Media Konservasi 2(4):1-7.

Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman Solusi Perbanyakan Tanaman Budidaya. Jakarta: Bumi Aksara.


(46)

KONSERVASI

EX-SITU

BAMBU DURI

(

Bambusa blumeana

J.A. & J.H. Schultes) DI ARBORETUM

BAMBU KAMPUS DARMAGA

BRIGITTA PRITA

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(47)

KONSERVASI

EX-SITU

BAMBU DURI

(

Bambusa blumeana

J.A. & J.H. Schultes) DI ARBORETUM

BAMBU KAMPUS DARMAGA

BRIGITTA PRITA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(1)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Arboretum Bambu Kampus Darmaga memiliki 1 rumpun bambu duri (B.blumeana J.A. & J.H. Schultes) yang telah mengalami tingkat kerusakan cukup parah. Hal ini terlihat dengan jumlah patah buluh (29) yang lebih banyak dibandingkan yang masih hidup (20).

2. Faktor penyebab kerusakan pada bambu duri disebabkan oleh faktor lingkungan di antaranya faktor persaingan interspesifik , jarak rumpun dan angin kencang.

3. Program konservasi ex-situ yang dapat dilakukan meliputi percobaan perbanyakan vegetatif (stek batang dan cabang), penyiangan tumbuhan bawah, pemasangan pagar, pembuatan dan pemasangan papan interpretasi, dan kultur jaringan (in-vitro).

6.2 Saran

1. Perlunya kegiatan perbanyakan individu bambu duri (B. blumeana) dengan menggunakan perlakuan-perlakuan tertentu untuk meningkatkan keberhasilan dalam proses perbanyakan individu bambu duri (B. blumeana) 2. Perlunya perawatan intensif bambu duri (B. blumeana) di Arboretum

Bambu Kampus Darmaga

3. Perlunya peran serta masyarakat untuk lebih mengenal bambu duri (B.blumeana) dan mengetahui manfaatnya sehingga masyarakat lebih tertarik untuk membudidayakan spesies bambu ini.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Allo. 2009. Koleksi Jenis-Jenis Bambu Di KHDTK Mengkendek Tana Toraja Sulawesi Selatan.Makassar: Balai Penelitian Kehutanan Makassar.

Andoko. 2003. Budidaya Bambu Rebung. Yogyakarta : Kanisius.

Asrori A. 2008. Efektivitas penghambatan ekstrak daging biji picung (Pangium edule) terhadap pertumbuhan Rhizoctonia sp. secara In Vitro [skripsi]. Bogor: Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.

Aziz, Ghulamahdi, Adiwirman. 1991. Kemungkinan cara pembibitan dan pemberian rootoone f pada perbanyakan bambu betung (Dendrocalamus asper (Schult.F) Backer ex Heyne). Seminar Nasional III Aplikasi Agrokimia dan Konsekuensi Lingkungannya, Juli 1991.

Aziz. 2000. Pemanfaatan teknik kulturjaringan untuk penyediaan bibit bambu betung berkualitas. [Skripsi]. Bogor: Jurusan Budidaya Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Berliana V dan Rahayu E. 1995. Bambu, Budidaya dan Prospek Bisnis Bambu. Jakarta: Penebar Swadaya.

Dinata Y M. 2009. Perancangan lanskap Arboretum Bambu sebagai obyek agroedutourism di Kampus Institut Pertanian Bogor. [Skripsi]. Bogor: Departemen Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Dransfield J, Rao A N, Dransfield S, Widjaja E A, Renuka C, Mohamad A. 1994. Priority species of bamboo and rattan.Jakarta: INBAR & IBPGRI.

Dransfield S, Widjaja, E A. (Editors). 1995. Plant resources of South-East Asia No.7 Bambos. Backhuys Publishers, Leiden.189 pp.

Gardner F P, Pearce R B, Roger L M. 1981. Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta: UI Press. 247-248 hal.

Heyne. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Jakarta: Jilid I : 332-346. Badan Penelitian Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan.

[IUCN] International Union for Conservation of Natures. 2011. IUCN red list of threatened species. Version 2011.1.www.iucnredlist.com [20 Januari 2012]. Mascarenhos A F, Nadgir A L, Thengane S R, Padhe C H, Kuspe S S, Shirgurkar

M V, Parasharanir V A and Nadgauda R S. 1988. Potential application of tissue culture for propagation of Dendrocalamus strictus.

Nadeak M N. 2009. Deskripsi budidaya dan pemanfaatan bambu di Kelurahan Balumbang Jaya Kecamatan Bogor Barat dan Desa Rumpin Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.


(3)

Prutpongse D and Gavinletvatena P. 1992. In-vitro microprogation of 54 species from 15 genera of bamboo. Hort. Sci.27 (5):453-454.

Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Saefudin dan Rostiwati T. 2009. Pemilihan bahan vegetatif untuk penyediaan bibit bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea). Bogor: Lembaga Biologi Nasional dan Pusat Litbang Kehutanan- LIPI.

Salim E. 1986. Pembangunan berwawasan lingkungan. Jakarta: LP3ES. 237 hal. Sastrapadja S, Widjaja E.A, Mogea J P. 2000. Di Antara Alunan Bambu dan

Bisikan Rotan. Bogor: Naturae Indonesiana-NATURINDO.

Sastrapradja S, Widjaja E.A, Prawiroatmodjo, Soenarko S. 1977. Beberapa jenis bambu. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.

Saxena S. 1990. In-vitro propagation of the bamboo (Bambusa tulda) through shoot proliferation. Plant Cell Report. 9: 431-434.

Sharma Y M L. 1991. The flowering of bamboo-fallacies and facts in: Proceeding bamboo in Asia and The Pasific, Ed. G.Lessard and A. Chouinard, pp. 68-70, Singapore.

Soedyanto R.B.M, Sianipar, A. Susani dan Hardjanto. 1981. Bercocok tanam. CV.Yasa Guna. Jakarta.

Street H.E. 1997. Plant Tissue and Cell cultures.Oxford, London: Blackwell Scientific Publications.

Sutiyono. 2007. Koleksi jenis-jenis bambu pusat penelitian dan pengembangan hutan dan konservasi alam Bogor di stasiun penelitian hutan Arcamanik, Bandung. Di dalam: Makalah penunjang pada ekspose hasil-hasil Penelitian konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan: Padang, 20 September 2006. Bogor : LIPI. hlm 303.

Sutiyono, Hendromono, Marfu’ah, Ihak. 1996. Teknik budidaya tanaman bambu.

Bogor: Pusat Litbang Hasil Hutan.

Sutrisno. 2008. Budidaya Bambu.Yogyakarta: Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Serayu Opak Progo.

Uchimura E. 1980. Bamboo cultivation. In: Proceeding of workshop in Singapore, May, 28-30 1980 bamboo research in Asia, Ed. G.Lessard and A. Chouinard, Singapore.

Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dinas Kehutanan Republik Indonesia.


(4)

44

Vongvijitra R. 1988. Traditional vegetative propagation and tissue culture of some Thai bamboo. In Rao I.V.R, R. Granahara, C.B Sharti (eds). Proceeding of Int. Bamboo Workshop. India.

Widada, Mulyati S, Kobayashi H. 2006. Sekilas tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Jakarta: Ditjen PHK-JICA.

Widjaja W.A.2001.Identikit Jenis-Jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI.

Wudianto R. 1994. Membuat Setek, Cangkok, dan Okulasi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Yayasan Bambu Lingkungan Lestari. 1994. Strategi penelitian bambu Indonesia. Bogor. 201 hal.

Zuhud E A M. 1989. Strategi pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati tumbuhan obat Indonesia. Media Konservasi 2(4):1-7.

Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman Solusi Perbanyakan Tanaman Budidaya. Jakarta: Bumi Aksara.


(5)

RINGKASAN

BRIGITTA PRITA. Konservasi Ex-situ Bambu Duri (Bambusa blumeana J.A. & J.H. Schultes) di Arboretum Bambu Kampus Darmaga. Dibimbing oleh EDHI SANDRA dan AGUS HIKMAT.

Bambu duri (Bambusa blumeana J.A. & J.H. Schultes) ditetapkan sebagai 12 spesies bambu langka yang merupakan indikator priotitas di Indonesia. Bambu duri merupakan tumbuhan konservasi karena memiliki fungsi ekologi dan sebagai penyangga sistem hidrologi. Arboretum Bambu Kampus Darmaga memiliki koleksi bambu duri yang kondisinya tidak banyak diketahui.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kerusakan pada rumpun bambu duri, mengidentifikasi faktor penyebab kerusakan rumpun bambu duri serta merumuskan program (upaya) konservasi ex-situ untuk melestarikan spesies bambu duri. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai keberadaan bambu duri di Arboretum Bambu Kampus Darmaga serta pelestarian bambu duri khususnya di dalam program konservasi ex-situ sehingga konservasi bambu duri ini lebih ditingkatkan.

Lokasi penelitian dilaksanakan di Arboretum Bambu Kampus Darmaga dengan waktu penelitian selama 1 bulan yakni pada bulan November s/d Desember 2011. Jenis data yang dikumpulkan yakni data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakter morfologi bambu duri, jumlah rumpun, kondisi rumpun bambu duri (buluh dan rebung) dan program konservasi ex-situ. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur meliputi kondisi fisik lokasi penelitian, morfologi bambu duri, karakterisitik pertumbuhan bambu duri dan program (upaya) konservasi untuk mengurangi kerusakan bambu duri. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bambu duri di Arboretum Bambu Kampus Darmaga hanya memiliki 1 rumpun bambu dengan total jumlah buluh sebanyak 49 buluh, 20 buluh yang masih hidup (4 anakan) dan 29 buluh yang patah. Kerusakan yang terjadi diakibatkan oleh faktor lingkungan (persaingan interspesifik, jarak rumpun dan angin kencang) dan faktor manusia (kurangnya pemeliharaan). Rebung muda yang hidup hanya terdapat 1 rebung muda. Kurangnya pertumbuhan rebung muda dapat disebabkan oleh faktor kurangnya zat-zat makanan atau nutrisi yang didapatkan oleh bambu duri dan tidak adanya pemeliharaan yang intensif. Oleh sebab itu diperlukannya program konservasi ex-situ untuk membudidayakan spesies bambu duri. Program konservasi ex-ex-situ dapat dilakukan dengan perbanyakan vegetatif (stek batang dan stek cabang), penyiangan, pemasangan pagar, pembuatan dan pemasangan papan interpretasi, kultur jaringan (in-vitro), penyiraman, pembersihan gulma, pemupukan serta pemberantasan hama dan penyakit. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa kondisi rumpun bambu duri mengalami kerusakan yang disebabkan oleh berbagai faktor dan untuk mengatasi kondisi tersebut diperlukan program konservasi.

Kata kunci : Bambu duri (Bambusa blumeana), Arboretum Bambu, Konservasi ex-situ.


(6)

SUMMARY

BRIGITTA PRITA. Ex-situ Conservation of Thorny Bamboo (Bambusa

blumeana J.A. & J.H. Schultes) in Bamboo Arboretum of Darmaga Campus.

Under supervision of EDHI SANDRA and AGUS HIKMAT.

Thorny bamboo has been settled as one of 12 rare bamboo species that was been established as priority indicator in Indonesia. Thorny bamboo is conservational plant because of its ecological function and its function as buffer for hydrological system. Bamboo Arboretum of Darmaga Campus has a collection of thorny bamboo.

The objectives of this research were to identify damage of the bamboo clump, to identify cause of factor damaged clump thorny bamboo and also to formulate the ex-situ conservation effort that suitable to conserve thorny bamboo. This research was supposed to provide information about morphology and existence of thorny bamboo in Bamboo Arboretum of Darmaga Campus and also conservation of thorny bamboo, especially in ex-situ conservation programme, thus conservation effort of thorny bamboo could be increased.

This research was carried out at Bamboo Arboretum of Darmaga Campus for one month, from November to December 2011. Collected data was including primary and secondary data. Primary data was consisted of characteristic of thorny bamboo, total of grove, bamboo groves condition (reed and shoot) and ex-situ conservation programme. Secondary data was obtained from literature study that including physical condition of research location, morphology of thorny bamboo, growth characteristic of thorny bamboo and conservation programme to reduce the damage of thorny bamboo. Data was analyzed descriptively and qualitatively.

This research of thorny bamboo in Bamboo Arboretum of Darmaga Campus was only one grove with the total number of reeds was 49 reeds, 20 are still alive (4 chicks) and 29 broken reed. This damage was caused by environmental factors (inter-specific competition, distance of grove and wind) and anthropogenic factor (lack of maintenance). Living young shoot was only one. The lack of young shoot growth could be caused by the lack of nutrients and the lack of intensive maintenance. Thus it needed an ex-situ conservation programme to cultivate thorny bamboo. Ex-situ conservation programme could be performed through vegetative reproduction (stem cutting and branch cutting), weed removing, installing of fence, production and installing of interpretation board and also tissue culture (in-vitro), watering, cleansing of weeds, fertilization and eradication of plant disease and pest. Conclusion of this research was the condition of thorny bamboo suffered damage caused by a variety of factors and to overcome those conditions as necessary conservation program.

Keywords : Thorny bamboo (Bambusa blumeana), Bamboo Arboretum, Ex-situ conservation.