2.2 Data Populasi Pediatrik di Indonesia
Berikut ini adalah data jumlah total penduduk Indonesia dan persentasi jumlah penduduk usia muda 0-14 tahun yang diambil dari data profil kesehatan
Indonesia beberapa tahun terakhir Tabel 2.1. Tabel 2.1
Data Total jumlah penduduk dan persentasi penduduk usia muda
No. Tahun
Total Jumalah Penduduk Jiwa
Persentasi Penduduk Usia Muda 0-14 tahun
Referensi 1.
2. 3.
4. 5.
6. 7.
2004 2005
2006 2007
2008 2009
2010 217.072.346
218.868.791 222.192.000
225.642.124 228.523.342
231.369.592 237.641.326
29,61 29,04
28,26 29,30
27,23 26,96
28,87. Depkes RI, 2006
Depkes RI, 2007 Depkes RI, 2007
Depkes RI, 2008 Depkes RI, 2009
Depkes RI, 2010 Depkes RI, 2011
2.3 Konsep Fisiologi dan Kinetika pada Pediatrik
Pada pediatrik, secara fisiologi beberapa organ penting belum matang seperti halnya orang dewasa. Oleh karena itu akan mempengaruhi proses farmakokinetik
obat, dan perubahan akan terjadi sejalan dengan pendewasaan, sehingga mempengaruhi respon obat pada pasien anak-anak Hashem, 2005.
2.3.1 Fisiologi dan Kinetika pada Neonatus Term Newborn Infants
Variasi kerja obat terjadi pada neonatus karena adanya variasi karakteristik biologis pada bayi yang baru lahir, diantaranya massa tubuh yang kecil,
kandungan lemak tubuh rendah, volume air tubuh tinggi dan permeabilitas beberapa membran lebih besar seperti pada kulit dan sawar otak Hashem, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.3.1.1 Absorpsi pada Neonatus
Pada bayi yang baru lahir neonatus, waktu transit lambung lebih lama, pH lambung dan fungsi enzim bervariasi, tidak ada flora usus akan mempengaruhi
penyerapan obat yang diberikan secara oral Hashem, 2005. Dengan demikian selama periode neonatal, obat-obat yang tidak tahan asam seperti benzilpenisilin
dan ampisilin akan diserap lebih baik, sedangkan penyerapan obat-obatan seperti fenitoin, fenobarbital dan rifampisin rendah WHO, 2007.
Pada minggu pertama sejak lahir, neonates mengalami achlorhydria dan hanya setelah usia tiga tahun ekskresi asam lambung menyerupai orang dewasa.
Dalam usia hingga satu bulan waktu pengosongan lambung lebih lama dan gerak peristalsis tidak teratur. Massa otot rangka lebih terbatas dan kontraksi otot yang
berperan mendorong aliran darah untuk penyebaran obat yang diberikan secara intramuskular relatif lemah Rowland dan Tozer, 1995.
Tingkat perfusi perifer rendah dan mekanisme pengaturan panas belum sempurna pada neonatus mengganggu penyerapan. Obat topikal diserap lebih
cepat, dan biasanya lebih baik karena penghalang kulit neonatus masih relatif tipis sehingga risiko toksisitas yang lebih besar Hashem, 2005.
2.3.1.2 Distribusi pada Neonatus
Bayi yang baru lahir memiliki konsentrasi protein plasma dan kapasitas pengikatan albumin yang rendah, sehingga berpengaruh pada kemampuan
mengikat terhadap obat yang terikat ekstensif dengan protein plasma. Rendahnya kapasistas protein plasma mengikat obat menyebabkan beberapa efek obat yang
merugikan. Misalnya, protein plasma dapat mengikat bilirubin. Obat sangat kuat berikatan dengan protein dapat menggantikan bilirubin sehingga menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
kerusakan otak dari kernikterus akibat hiperbilirubinemia. Antibiotik sulfonamid adalah contoh obat utama pada kasus ini Hashem, 2005.
Volume distribusi dalam kompartemen tubuh bayi sangat berbeda dengan orang dewasa. Jumlah total kandungan air tubuh mencapai 70-80 dari berat
badan pada bayi prematur dan bayi baru lahir, dibandingkan dengan orang dewasa sekitar 50-55. Cairan ekstraseluler sekitar 40 dari total berat badan, sekitar
dua kali pada orang dewasa. Tingginya kandungan air tubuh dan rendahnya kapasitas protein plasma mengakibatkan volume distribusi obat yang larut dalam
air lebih besar. Sehingga dibutuhkan dosis relatif lebih besar untuk obat yang larut dalam air untuk menghasilkan efek terapi yang diinginkan Hashem, 2005.
Secara substansial jumlah lemak tubuh pada neonatus lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa, dan hal ini juga dapat mempengaruhi efek
terapi obat. Beberapa obat yang kelarutannya tinggi dalam lemak, distribusinya lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa. Sebagai contoh, perbedaan
volume distribusi diazepam berkisar 1,4-1,8 Lkg pada neonatus dan 2,2-2,6 L kg pada dewasa Nahata dan Taketomo, 2008.
2.3.1.3 Metabolisme pada Neonatus
Neonatus memiliki kemampuan lebih rendah untuk metabolisme obat yang rentan dibandingkan dengan bayi dan anak-anak Nahata dan Taketomo, 2008.
Secara umum metabolisme obat oleh enzim hati belum sempurna pada neonatus. Setelah lahir, kapasitas metabolisme akan naik secara dramatis dari sekitar
seperlima hingga sepertiga tingkat orang dewasa selama minggu pertama kehidupan Hashem, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Jalur utama metabolisme obat dibagi menjadi fase reaksi 1 dan fase reaksi 2. Fase 1 melibatkan reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan hidrasi. Jalur paling
utama adalah reaksi oksidasi yang melibatkan enzim sitokrom P450 CYP. Enzim-enzim CYP utama dibagi menjadi CYP1A2, CYP2B6, CYP2C8 - 10,
CYP2C19, CYP2D6, CYP2E1 dan CYP3A4 dan 5. Jalur untuk fase 2 melibatkan glukuronidasi, sulfasi, metilasi, asetilasi dan konjugasi glutation. Jumlah
kandungan sitokrom P450 di hati janin adalah antara 30 dan 60 dari nilai dewasa dan mendekati nilai-nilai orang pada usia 10 tahun Choonara, 2005.
Tempat utama metabolisme obat adalah dalam hati, selain saluran pencernaan, sel darah, dan organ lain juga terlibat dalam metabolisme obat. Tujuan biologis
metabolisme obat adalah untuk mengkonversi senyawa lipofilik larut dalam lemak menjadi lebih polar dan lebih larut dalam air dengan demikian lebih
mudah diekskresikan ke dalam empedu atau urin Choonara, 2005. Obat-obat yang nonpolar, dan larut dalam lipid misalnya diazepam, teofilin dan
parasetamol akan dimetabolisme dalam hati sehingga menjadi lebih polar. Sedangkan obat yang larut dalam air, biasanya diekskresikan dalam bentuk tidak
berubah oleh filtrasi glomerulus dan atau sekresi tubular pada ginjal misalnya aminoglikosida, penisilin, dan diuretik WHO, 2007.
Bayi baru lahir memiliki kemampuan memetabolisme obat yang rendah dibandingkan dengan bayi dan anak terutama pada neonatus prematur. Perubahan
metabolisme dapat mempengaruhi neonatus yaitu terjadinya resiko toksisitas obat lebih besar. Neonatus biasanya membutuhkan dosis obat yang lebih kecil dan
diberikan lebih jarang dari pada bayi dan anak-anak Choonara, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.3.1.4 Ekskresi pada Neonatus
Pada neonatus fungsi ginjal belum berkembang secara sempurna, sehingga ekskresi obat pada neonates obat lebih lambat. Neonatus memiliki kemampuan
yang rendah memekatkan urin sehingga pH urin rendah, sehingga mempengaruhi ekskresi beberapa senyawa. Fungsi ginjal secara keseluruhan mendekati tingkat
dewasa pada akhir atau tahun pertama sejak kelahiran Hashem, 2005. Fungsi ginjal sangat penting untuk disposisi obat pada periode neonatus.
Banyak pasien neonatus yang mengalami infeksi diberi antibiotik yang larut dalam air. Secara umum pada neonatus waktu paruh eliminasi obat semakin lama.
Laju eliminasi meningkat pesat selama minggu-minggu berikutnya, dan waktu paruh sama dengan orang dewasa biasanya dicapai pada akhir bulan pertama
WHO, 2010.
2.3.2 Fisiologi dan Kinetika pada Bayi dan Anak
Ada beberapa faktor fisiologis yang mempengaruhi pemberian obat pada bayi 5 - 52 minggu setelah dilahirkan dan anak-anak 1 -12 tahun. Pertumbuhan dan
kematangan biologis yang progresif menstabilisasi respon tubuh terhadap obat sampai memberikan respon yang akhirnya sama dengan perkiraan pada orang
dewasa. Selama pertumbuhan, terjadi peningkatan massa tubuh, perbedaan kandungan lemak, dan penurunan volume air tubuh. Semua hal itu akan
mempengaruhi penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat. Selain itu, hambatan anatomis seperti kulit dan sawar otak lebih efektif pada bayi.
Pertumbuhan yang cepat selama masa kanak-kanak dan pubertas juga dapat mempengaruhi respon obat Hashem, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2.1 Absorpsi pada Bayi dan Anak
Keasaman lambung belum mendekati nilai-nilai orang dewasa sampai usia sekitar dua sampai tiga bulan. Pada infant beberapa obat yang tidak tahan asam
seperti benzil penisilin, ampisilin, dan nafsilin oral dapat diabsorpsi dengan baik karena kurangnya asam lambung pada masa awal bayi. Hal ini disebabkan adanya
cairan ketuban dalam perut bayi sehingga pH lambung netral 6-8. Laju pengosongan lambung menyerupai orang dewasa sekitar usia 6 sampai 8 bulan.
Barrier seperti kulit dan sawar otak lebih efektif selama pertumbuhan bayi, hal ini menyebabkan anak berisiko lebih rendah terhadap efek toksik beberapa obat
Hashem, 2005; Milsap dan Jusko, 1994.
2.3.2.2 Distribusi pada Bayi dan Anak
Distribusi obat dalam tubuh dipengaruhi oleh jumlah dan karakter protein plasma, volume relative cairan tubuh, lemak, dan kompartemen jaringan tubuh.
Jumlah total air tubuh, dinyatakan sebagai persentase dari total berat badan. Bayi premature adalah 85 dan neonatus 78. Meningkatnya fraksi total air tubuh
berpengaruh terhadap nilai parameter volume distribusi obat yang berkaitan dengan konsentrasi obat Hashem, 2005; Milsap dan Jusko, 1994. Pengikatan
protein pada obat umumnya hampir sama pada orang dewasa dan dicapai pada usia satu tahun Hashem, 2005.
2.3.2.3 Metabolisme pada Bayi dan Anak
Tingkat metabolik pada bayi dan anak-anak usia dua sampai tiga tahun secara umum lebih tinggi dari orang dewasa. Dosis terapeutik obat relatif terhadap berat
badan, mungkin lebih besar untuk anak-anak dibandingkan orang dewasa, contohnya teofilin. Dosis harus individual untuk setiap anak berdasarkan berat
Universitas Sumatera Utara
badan, dan harus disesuaikan dosis tersebut dengan adanya variasi metabolism secara individu. Artinya, dosis harus individual untuk setiap anak berdasarkan
berat badan. Enzim hepatik dapat berubah sedemikian rupa pada anak yang sudah mature sehingga kliren teofilin akan berkurang, dan penyesuaian dosis lebih lanjut
mungkin dibutuhkan Hashem, 2005. Biotransformasi metronidazol lebih lambat oleh sistem enzim P450 pada bayi yang mengalami malnutrisi berat dibandingkan
pada bayi yang tidak mengalami malnutrisi Milsap dan Jusko, 1994.
2.3.2.4 Ekskresi pada Bayi dan Anak
Perubahan fungsi ginjal bergantung pada usia, sampai sekitar 6-12 bulan kematangan fungsi ginjal dan hati belum tercapai Milsap dan Jusko, 1994;
Hashem, 2005. Saat lahir, fungsi glomerulus lebih baik dari fungsi tubulus dan berlanjut sampai umur 6 bulan Milsap dan Jusko, 1994.
Pada pasien infant dan children pemberian obat dosis berganda harus diberikan secara hati-hati. Dosis obat diekskresikan sebagian besar dalam bentuk
tidak berubah unmetabolized oleh ginjal, seperti digoksin untuk gagal jantung kongestif dan gentamisin antibiotik aminoglikosida Hashem, 2005. Proses
filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, dan reabsorpsi tubulus, semuanya menentukan efisiensi eliminasi obat melalui ginjal seperti gentamisin, dan agen lainnya seperti
glukosa, fosfat, dan bikarbonat Milsap dan Jusko, 1994.
2.4 Interaksi Obat 2.4.1 Pengertian
Interaksi obat yaitu situasi ketika suatu zat biasanya obat lain mempengaruhi aktivitas obat ketika keduanya diberikan secara bersamaan. Aktivitas tersebut bisa
bersifat sinergis efek obat meningkat atau antagonis efek obat berkurang atau
Universitas Sumatera Utara
bisa menghasilkan efek baru. Interaksi dapat terjadi antara obat dengan obat, obat dengan makanan, dan obat dengan herbal Anonim
b
, 2012.
2.4.2 Mekanisme Interaksi Obat
Pemberian satu obat A dapat mengubah aksi obat lain B dapat terjadi melalui dua mekanisme umum yaitu interaksi farmakokinetik terjadi perubahan
konsentrasi obat B yang mencapai tapak kerja reseptor dan interaksi farmakodinamik terjadi modifikasi efek farmakologis obat B tanpa mengubah
konsentrasinya dalam cairan jaringan. Selain dua mekanisme tersebut masih ada yang disebut interaksi farmaseutik yaitu obat berinteraksi secara in vitro sehingga
satu atau kedua obat tidak aktif. Tidak ada prinsip-prinsip farmakologi yang terlibat dalam interaksi farmaseutik, hanya reaksi secara fisika atau kimia.
Hashem, 2005.
2.4.2.1 Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik yaitu interaksi yang dapat mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolism, dan ekskresi Baxter, 2008. Perubahan ini pada
dasarnya adalah terjadi modifikasi konsentrasi obat. Dalam hal ini dua obat bersifat homergic jika memiliki efek yang sama dalam organisme dan heterergic
jika efeknya berbeda Anonim
b
, 2012.
2.4.2.1.1 Interaksi Pada Level Absorpsi Obat
Absorpsi gastrointestinal diperlambat oleh obat yang menghambat pengosongan lambung, seperti atropin atau opiat, atau dipercepat oleh obat
misalnya metoklopramid yang mempercepat pengosongan lambung. Atau, obat A dapat berinteraksi dengan obat B dalam usus sedemikian rupa untuk
menghambat penyerapan obat B Hashem, 2005. Selain itu dapat juga terjadi
Universitas Sumatera Utara
karena dampak perubahan pH pencernaan, adsorpsi, khelasi dan mekanisme kompleks lainnya, perubahan motilitas gastrointestinal, induksi atau inhibisi
protein transporter obat, dan malabsorpsi disebabkan oleh obat Baxter, 2008. Beberapa contoh interaksi absorpsi obat:
a. Kalsium dan juga besi membentuk kompleks tak larut dengan tetrasiklin dan menghambat penyerapan obat,
b. Penambahan epinefrin pada suntikan bius lokal yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperlambat penyerapan obat bius, akibatnya
memperpanjang efek lokal obat bius tersebut Hashem, 2005.
2.4.2.1.2 Interaksi Pada Level Distribusi Obat
Mekanisme interaksi utama pada level distribusi adalah terjadinya kompetisi untuk berikatan dengan protein plasma. Dalam kasus ini, obat yang tiba pertama
berikatan dengan protein plasma akan meninggalkan obat lain yang larut dalam plasma, sehingga memodifikasi konsentrasi yang obat bebas Anonim
b
, 2012. Distribusi obat ke dalam otak dan beberapa organ lainnya seperti testis,
dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein aktif ini mengangkut obat keluar dari sel ketika obat telah secara pasif menyebar masuk ke
dalam sel. Ada beberapa obat dapat menghambat transporter ini sehingga meningkatkan penyerapan obat Baxter, 2008.
Beberapa contoh interaksi disitribusi obat: a. Salisilat menggantikan metotreksat pada tapak ikat albumin dan mengurangi
sekresinya ke dalam nefron. b. Quinidine dan beberapa obat lainnya termasuk antidisritmia verapamil dan
amiodaron menggantikan digoksin pada tapak ikat-jaringan sekaligus
Universitas Sumatera Utara
mengurangi ekskresi ginjal, dan akibatnya menyebabkan disritmia parah akibat toksisitas digoxin Hashem, 2005.
2.4.2.1.3 Interaksi Pada Level Metabolisme Obat
Interaksi pada Level Metabolisme terjadi karena metabolisme obat objek dirangsang atau dihambat oleh obat presipitasi. Terikat dengan metabolisme ini
ada dua hal penting. Pertama, diantara obat yang berinteraksi ada yang menginduksi enzim dan yang kedua ada yang menghambat aktivitas enzim.
a. Induksi Enzim Induksi enzim adalah perangsangan atau induksi enzim yang terjadi dalam
retikulum endoplasik sel hati dan sitokrom P 450 CYP oleh obat tertentu, sehingga aktivitas metabolik bertambah. Akibatnya metabolisme obat menjadi
lebih aktif dan konsentrasi obat objek dalam plasma berkurang, sehingga efektivitasnya pun menurun Dalimunthe, 2009.
b. Inhibisi Enzim Inhibisi enzim adalah apabila suatu obat menghambat metabolisme obat lain,
sehingga memperpanjang atau meningkatkan aksi obat. Sebagai contoh, allopurinol mengurangi produksi asam urat akibat hambatannya terhadap enzim
santin oksidase, pada waktu yang sama metabolisme beberapa obat yang berpotensial toksis seperti merkaptopurin dan azatioprin juga dihambat.
Penghambatan santin oksidase secara bermakna meningkatkan efek obat-obat tsb. Sehingga jika diberikan bersama allopurinol, dosis merkaptopurin atau azatioprin
harus diturunkan sampai 13 atau ¼ dosis biasanya Anonim, 2011.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2.1.4 Interaksi Pada Level Ekskresi Obat
Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal disepanjang arteri renal, pertama
kali akan dikirim ke glomeruli tubulusmo dan molekul-molekul kecil akan melewati membran glomerulus air, garam dan beberapa obat tertentu disaring ke
tubulus. Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan sel darah akan ditahan. Aliran darah kemudian melewati bagian lain tubulus ginjal sehingga
terjadi transport aktif yang memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel tubulus kemudian melakukan transport aktif maupun pasif
melalui difusi untuk mereabsorpsi obat. Interaksi bisa terjadi karena perubahan ekskresi aktif di tubulus ginjal, perubahan pH, dan perubahan aliran darah ginjal
Anonim, 2011.
2.4.2.2 Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik dapat terjadi dalam berbagai cara.. Berikut ini beberapa interaksi yang perlu dipertimbangkan. A
ntagonis β-adrenoseptor mengurangi efektivitas agonis β-reseptor, seperti salbutamol atau terbutaline.
Beberapa diuretik dapat menurunkan konsentrasi plasma kalium, sehingga meningkatkan efek digoksin dan menyebabkan risiko toksisitas glikosida tersebut.
Penghambat monoamin oksidase meningkatkan jumlah norepinefrin yang disimpan dalam terminal saraf noradrenergik dan interaksinya dengan obat lain
akan berbahaya, seperti efedrin atau tiramin yang bekerja melepaskan norepinefrin. Ini juga dapat terjadi dengan makanan kaya tiramin seperti keju hasil
fermentasi misalnya keju Camembert. Warfarin bersaing dengan vitamin K, mencegah sintesis hepatik berbagai faktor koagulasi. Jika produksi vitamin K
Universitas Sumatera Utara
dalam usus dihambat misalnya dengan antibiotik, aksi antikoagulan warfarin meningkat. Obat yang menyebabkan perdarahan dengan mekanisme yang berbeda
misalnya aspirin, yang menghambat biosintesis tromboksan A2 trombosit dan dapat merusak lambung akan meningkatkan risiko perdarahan yang disebabkan
oleh warfarin. Sulfonamid mencegah sintesis asam folat oleh bakteri dan mikroorganisme lainnya; trimetoprim menghambat pengurangan untuk
tetrahydrofolate. Jika diberikan bersama dengan obat yang memiliki aksi sinergis dalam mengobati Pneumocystis carinii. Non-steroid anti-inflammatory drugs
NSAID, seperti ibuprofen atau indometasin, menghambat biosintesis prostaglandin, yang bersifat sebagai vasodilator ginjal natriuretik prostaglandin
PGE2, diikuti PGI2. Jika diberikan kepada pasien yang menerima pengobatan untuk hipertensi, akan menyebabkan peningkatan tekanan darah, dan jika
diberikan kepada pasien yang menerima diuretik untuk gagal jantung kronis akan menyebabkan retensi garam dan air dan dekompensasi jantung. Antagonis
reseptor H1, seperti mepiramin, sering menyebabkan rasa kantuk sebagai efek yang tidak diinginkan. Ini lebih parah jika obat tersebut diberi bersamaan dengan
alkohol, dan dapat menyebabkan kecelakaan di tempat kerja atau di jalan Hashem, 2005.
2.5 Pemberian Dosis Obat pada Bayi
Pemberian dosis obat pada bayi perlu pertimbangan yang seksama karena adanya perbedaan antara bayi dan orang dewasa sehubungan dengan
farmakokinetika dan farmakologi obat. Perbedaan komposisi tubuh dan kesempurnaan pertumbuhan hati dan fungsi ginjal merupakan sumber yang
potensial dalam hal farmakokinetika obat yang berhubungan dengan umur. Untuk
Universitas Sumatera Utara
mudahnya, bayi yang dimaksud adalah anak yang berumur 0-2 tahun. Dalam kelompok ini diperlukan pertimbangan khusus untuk bayi yang berumur kurang
dari 4 minggu, karena kemampuannya memperlakukan obat-obat sering berbeda
dari bayi-bayi yang lebih tua.
Pada umumnya, fungsi hepatik belum tercapai sampai minggu ketiga. Proses oksidasi pada bayi berkembang cukup baik, tetapi ada kekurangan enzim
konjugasi. Sebagai tambahan, beberapa obat menunjukkan penurunan ikatan albumin plasma pada bayi.
Bayi yang baru lahir memiliki aktivitas ginjal 30-50 dibandingkan orang dewasa. Obat-obat yang sangat bergantung pada ekskresi ginjal akan mengalami
kenaikan waktu-paruh eliminasi yang tajam. Sebagai contoh, penisilin sebagian besar akan diekskresi melalui ginjal Shargel dan Yu, 1985.
2.6 Studi Retrospektif
Studi retrospektif adalah studi yang dilakukan setelah peristiwa yang diteliti terjadi. Kedua eksposur dan hasil sudah terjadi pada awal penelitian Strom dan
Kimmel, 2006.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimen survei dilakukan secara retrospektif terhadap rekam medik pasien yang dirawat di bagian rawat inap
Pediatrik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik RSUP H. Adam Malik Medan. Prinsip penelitian ini adalah menghitung frekwensi interaksi obat-obat
secara teoritik, mempelajari hubungan antara variabel bebas jumlah obat, pasien,dan jumlah diagnosis dengan variabel terikat interaksi obat, mempelajari
pola mekanisme interaksi, jenis obat yang berinteraksi, dan tingkat keparahan interaksi. Untuk maksud tersebut dilakukan melalui pengumpulan data lembar
rekam medis pasien rawat inap Pediatrik RSUP H. Adam Malik Medan, selama periode Januari-Juni 2012.
Hasil penelitian diperoleh adalah berupa: a. frekwensi interaksi obat-obat secara keseluruhan.
b. frekwensi interaksi obat-obat berdasarkan mekanisme interaksi farmakokinetik, farmakodinamik, dan unknown.
c. frekwensi interaksi obat-obat berdasarkan level severitas interaksi. d. analisis mengenai mekanisme interaksi obat-obat.
e. manajemen terhadap interaksi obat-obat yang terjadi untuk menghindari risiko interaksi yang dapat merugikan pasien di masa mendatang.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan, pada bulan Oktober – November 2012.
Universitas Sumatera Utara